ABSTRAK
GERAKAN SAMIN MELAWAN KOLONIALISME BELANDA: PERLAWANAN PETANI KAWASAN HUTAN DI BLORA
( ABAD XIX-XX)
Oleh: Nurmalitasari Universitas Sanata Dharma
2016
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisa tiga permasalahan pokok, yaitu: (1) latar belakang gerakan Samin melawan kolonialisme Belanda di Blora; (2) dinamika gerakan Samin melawan kolonialisme Belanda; (3) dampak gerakan Samin.
Penelitian ini disusun berdasarkan metode penelitian historis faktual dengan tahapan: pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi, interpretasi dan historiografi. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan multidimensional yaitu ilmu sosial-ekonomi dengan model penulisan deskriptif analitis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Munculnya gerakan Samin merupakan akibat dari berbagai kebijakan yang diterapkan oleh Belanda di Indonesia termasuk di Blora terkait dengan penguasaan hutan. (2) Dinamika gerakan samin menunjukkan perkembangan pengikut yang semakin pesat dan ajaran-ajaran Samin Surosentiko yang merupakan hasil gagasan orisinalnya terhadap permasalahn terkait dengan keselamatan masyarakat Blora. (3) Dampak dari gerakan Samin, pada akhirnya melahirkan komunitas masyarakat yang hingga kini masih menghidupi prinsip Saminisme.
ABSTRACT
SAMIN MOVEMENT AGAINST DUTCH COLONIALISM: FARMER RESISTANCE OF FOREST AREA IN BLORA
( ABAD XIX-XX)
By: Nurmalitasari Universitas Sanata Dharma
2016
This aims the research is to describe and analyze three main topics, namely: (1) background of Samin movement against Dutch colonialism in Blora; (2) the dynamics of the Samin movement against Dutch colonialism; (3) the impact of Samin movement.
This research used hitsorical factual methods. The stages of this method are: choosing the topics, collecting the sources, verivication, interpretation, and historiography. The approach used is a multidimensional approach, namely social sciences-economic. The type of the writing is descriptive analysis.
The result of this research showed that (1) the emergenc of Samin movement is the result of policies implemented by the Dutch in Indonesia including in Blora related to forest tenure. (2) The dynamics of movement followers Samin shows the development of increasingly rapid and teachings Samin Surosentiko which is the result of the original idea of the problems related to public safety of people in Blora. (3) The impact of the Samin movement eventually led to communities that still support the Saminisme principle.
(ABAD XIX-XX) SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Sejarah
Nurmalitasari NIM : 121314009
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
i
GERAKAN SAMIN MELAWAN KOLONIALISME BELANDA: PERLAWANAN PETANI KAWASAN HUTAN DI BLORA
(ABAD XIX-XX) SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Sejarah
Nurmalitasari NIM : 121314009
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
ii SKRIPSI
GERAKAN SAMIN MELAWAN KOLONIALISME BELANDA: PERLAWANAN PETANI KAWASAN HUTAN DI BLORA
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Sebagai ungkapan kasih, skripsi ini saya persembahkan kepada:
Kepada Allah SWT.
Kepada orang tua yang saya cintai.
Kedua kakak saya yang telah mendukung dan memberi semangat.
Sahabat-sahabat saya, Vega, Cimol, Tiwul, Lingga yang telah memberi
semangat dan dukungan agar skripsi ini cepat selesai.
Pacar saya Gibran yang selalu memberi semangat dan motivasi dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Teman-teman Pendidikan Sejarah angkatan 2012 yang telah berjuang
v MOTTO
Masa depan adalah milik mereka yang percaya akan keindahan impian-impian
mereka.
( Eleanor Rosevelt)
Hidup adalah sebuah pulau, karangnya harapan, pepohonannya mimpi,
bunga-bunganya kesepian, mata airnya semangat. Dan ia di tengah lautan sendiri dan
kesepian.
( Kahlil Gibran)
Janganlah berdoa untuk hidup yang mudah, tetapi berdoalah untuk menjadi
manusia yang tangguh.
( John F. Kennedy)
In order to succeed, we must believe that we can.
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah saya
sebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 20 Juni 2016
Penulis
vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswi Universitas Sanata Dharma
Nama : Nurmalitasari
Nomor Mahasiswa : 121314009
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
GERAKAN SAMIN MELAWAN KOLONIALISME BELANDA: PERLAWANAN PETANI KAWASAN HUTAN DI BLORA
( ABAD XIX-XX)
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada), dengan demikian saya
memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk
menyimpan, mengalihkannya dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam
bentuk pangkalan data, mendistribusikannya secara terbatas, dan
mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis
tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini
yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal 20 Juni 2016
Yang menyatakan
viii ABSTRAK
GERAKAN SAMIN MELAWAN KOLONIALISME BELANDA: PERLAWANAN PETANI KAWASAN HUTAN DI BLORA
( ABAD XIX-XX)
Oleh: Nurmalitasari Universitas Sanata Dharma
2016
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisa tiga permasalahan pokok, yaitu: (1) latar belakang gerakan Samin melawan kolonialisme Belanda di Blora; (2) dinamika gerakan Samin melawan kolonialisme Belanda; (3) dampak gerakan Samin.
Penelitian ini disusun berdasarkan metode penelitian historis faktual dengan tahapan: pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi, interpretasi dan historiografi. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan multidimensional yaitu ilmu sosial-ekonomi dengan model penulisan deskriptif analitis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Munculnya gerakan Samin merupakan akibat dari berbagai kebijakan yang diterapkan oleh Belanda di Indonesia termasuk di Blora terkait dengan penguasaan hutan. (2) Dinamika gerakan samin menunjukkan perkembangan pengikut yang semakin pesat dan ajaran-ajaran Samin Surosentiko yang merupakan hasil gagasan orisinalnya terhadap permasalahn terkait dengan keselamatan masyarakat Blora. (3) Dampak dari gerakan Samin, pada akhirnya melahirkan komunitas masyarakat yang hingga kini masih menghidupi prinsip Saminisme.
ix ABSTRACT
SAMIN MOVEMENT AGAINST DUTCH COLONIALISM: FARMER RESISTANCE OF FOREST AREA IN BLORA
( ABAD XIX-XX)
By: Nurmalitasari Universitas Sanata Dharma
2016
This aims the research is to describe and analyze three main topics, namely: (1) background of Samin movement against Dutch colonialism in Blora; (2) the dynamics of the Samin movement against Dutch colonialism; (3) the impact of Samin movement.
This research used hitsorical factual methods. The stages of this method are: choosing the topics, collecting the sources, verivication, interpretation, and historiography. The approach used is a multidimensional approach, namely social sciences-economic. The type of the writing is descriptive analysis.
The result of this research showed that (1) the emergenc of Samin movement is the result of policies implemented by the Dutch in Indonesia including in Blora related to forest tenure. (2) The dynamics of movement followers Samin shows the development of increasingly rapid and teachings Samin Surosentiko which is the result of the original idea of the problems related to public safety of people in Blora. (3) The impact of the Samin movement eventually led to communities that still support the Saminisme principle.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberi berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Gerakan Samin Melawan Kolonialisme Belanda: Perlawanan
Petani Kawasan Hutan Di Blora ( Abad XIX-XX)”. Skripsi ini disusun untuk
memenuhi salah satu syarat meraih gelar Sarjana Pendidikan di Universitas Sanata
Dharma, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Ilmu Pendidikan
Sosial, Program Studi Pendidikan Sejarah.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari
berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
2. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma yang
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
3. Dr. Anton Haryono, M.Hum selaku dosen pembimbing yang telah sabar
membimbing, membantu, dan memberikan banyak pengarahan, saran,
serta masukan selama penyusunan skripsi.
4. Drs, Y.R. Subakti, M.Pd selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah
membimbing, membantu, dan memberikan banyak pengarahan kepada
penulis selama proses studi.
5. Seluruh dosen dan sekretariat Program Studi Pendidikan Sejarah yang
telah memberikan dukungan dan bantuan selama penulis menyelesaikan
xi
6. Kedua orang tua penulis yang telah banyak memberi dorongan spiritual
dan material sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Universitas
Sanata Dharma.
7. Teman-teman seperjuangan di Pendidikan Sejarah angkatan 2012 yang
telah memberikan dukungan, bantuan, serta insiprasi dalam menyelesaikan
skripsi.
8. Semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu yang turut
membantu penulis menyelesaikan skripsi.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga skripsi
ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca.
Yogyakarta, 20 Juni 2016
Penulis
xii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... . ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
HALAMAN MOTTO ... v
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
BAB I PENDAHULUAN. ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penulisan ... 6
D. Manfaat Penulisan ... 7
E. Tinjauan Pustaka ... 7
F. Landasan Teori ... 13
G. Metodologi Penelitian ... 29
H. Sistematika Penulisan ... 33
BAB II LATAR BELAKANG GERAKAN SAMIN ... 35
A. Penguasaan Hutan oleh Belanda di Jawa ... 35
xiii
C. Arti Penting Hutan bagi Masyarakat Blora ... 44
D. Faktor Ekonomi ... 48
BAB III DINAMIKA GERAKAN SAMIN ... 52
A. Muncul dan Berkembangnya Gerakan Samin... 52
B. Samin dan Ajaran Ketuhanan... ... ... 56
C. Gerakan Tanpa Kekerasan ... 59
D. Bahasa sebagai Simbol Perlawanan ... 65
BAB IV DAMPAK GERAKAN SAMIN ... 69
A. Munculnya Masyarakat Samin ... 69
B. Identitas Diri Masyarakat Samin ... 72
C. Moral Ekonomi Masyarakat Samin ... 74
BAB V KESIMPULAN ... 77
DAFTAR PUSTAKA ... 80
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Peta Persebaran Gerakan Samin ... 84
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gerakan Samin muncul akibat semakin beratnya beban masyarakat akibat
kekuasaan pemerintah Belanda ketika berkuasa di Randublatung, kabupaten
Blora. Pihak kolonial berusaha menggali sumber daya alam sebanyak-banyaknya
di daerah jajahan. Aktivitas yang demikian ini memunculkan kesengsaraan rakyat.
Terjadinya berbagai penderitaan memunculkan gerakan protes masyarakat,
termasuk di daerah Blora.
Di daerah Blora, protes rakyat dilakukan oleh sekelompok masyarakat
yang ingin mempertahankan kawasan hutan jati yang telah menjadi sendi
kehidupan mereka. Memburuknya keadaan ekonomi masyarakat semakin
mempercepat terjadinya aksi protes. Salah satu gerakan protes yang pernah terjadi
di Blora adalah Gerakan Samin, sebuah gerakan protes petani yang anggotanya
terdiri dari petani kaya maupun petani miskin.
Perlawanan petani di Blora ini muncul seiring dengan menguatnya
hegemoni1 kekuasaan Pemerintah Belanda terhadap kehidupan rakyat. Dalam
kasus Blora, pemberlakuan pajak atas tanah serta alih fungsi hutan dari hutan
rakyat menjadi hutan negara telah mempersempit akses petani terhadap hutan.
1 Chris Barker, Cultural Studies, Teori dan Praktik, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2000, hlm. 62.
Seorang tokoh yang berperan penting dalam perlawanan petani Blora
adalah Samin Surosentiko yang pada waktu itu merupakan pemimpin gerakan. Ia
dilahirkan pada tahun 1859 di desa Ploso, Kediren, Randublatung, Kabupaten
Blora, Jawa Tengah.2 Ayahnya bernama Raden Surowijoyo. Nama asli Samin
sendiri adalah Raden Kohar, kemudian diubah menjadi Samin. Nama Samin
dipilih karena lebih bernafaskan kerakyatan.3
Gerakan Samin secara historis muncul pada tahun 1889, ketika Samin
mulai menentang kolonialisme Belanda di kabupaten Blora. Ia mampu
mengumpulkan masa untuk sama-sama melakukan perlawanan. Samin
mengawali perlawanannya dalam bentuk tanpa kekerasan. Sebuah konsep
penolakan terhadap praktek Belanda dan kapitalisme yang muncul pada masa
penjajahan Belanda pada abad ke-19 di Kabupaten Blora.
Sebagai gerakan yang cukup besar, gerakan ini tumbuh sebagai
perjuangan melawan kesewenangan Belanda yang merampas tanah-tanah yang
digunakan untuk perluasan hutan jati. Ketika intervensi Belanda di dalam
kehidupan desa menjadi langsung dan intensif pada akhir abad ke-19, gagasan
perlwanan dengan bayangan gagasan millenarian nampak jelas. Van der Kroef
mengkatagorikan gerakan Samin di antara lima gagasan mileniarisme.4 Kategori
2
Andrik Purwasito, Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger Yogyakarta, LKIS, 2003, hlm.18.
-Titi Mumfangati dkk, Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin, Kabupaten Blora,
Propinsi Jawa Tengah, Yogyakarta, Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2004, hlm.22.
3 Andrik Purwasito, Agama....op.cit,hlm.18.
4 Gagasan Milenari adalah harapan akan datangnya pemimpin yang adil serta sebuah sistem
khusus atas gerakan Samin dimungkinkan karena perlawanan Samin dan
pengikutnya memiliki ciri khusus yang tidak dimiliki oleh perlawanan yang lain.
Tempat kelahiran Samin yakni di desa Ploso Kadiren, Randublatung,
Blora memang merupakan penghasil kayu jati terbaik di Jawa. Struktur tanah
yang berkapur dan kering menyebabkan tanah di Blora dan beberapa wilayah di
seputar Karesidenan Rembang sangat cocok bagi jenis tanaman ini. Pada tahun
1920, proporsi luasan tanah yang dikuasai negara di kabupaten Blora mencapai
40% dari total wilayah kabupaten tersebut. Ini merupakan proporsi paling tinggi
bagi setiap kabupaten di Jawa kala itu.5
Pada tahun 1903-1905 pengikut Samin berjumlah 772 orang yang tersebar
di 34 desa di Kabupaten Blora. Pada waktu itu pula, Samin sebagai pemimpinnya
sudah dapat menggerakkan anggotanya untuk bertindak melawan pemerintah
kolonial atau pengawas desa dengan cara mengasingkan diri dan tidak tunduk
pada aturan desa terutama dalam membayar pajak.6
Pada tahun 1907, pengikut Samin mencapai 5000 orang dan kekuatan
mereka dianggap membahayakan pemerintah. Terlebih lagi, mereka akan
membangun kekuatan untuk memberontak.7 Rumor tentang akan adanya
pemberontakan Samin dan pengikutnya dihembuskan oleh Controleur.8 Pada
5
Harry J. Benda dan Lance Castles, The Samin Movement. Dalam Bijdragen Tot De Taal Land-en Volkenkunde, 1969, hlm. 221.
6
Ibid, hlm. 19.
7
Ibid, hlm. 20.
8
Controleur merupakan pejabat terendah dari korps pangreh praja Eropa. Jabatan kewilayahan
yang dipegang orang Eropa adalah Gubernur Jendral, Gubernur, asisten Residen, dan Controleur. Tugas dari Controleur adalah membantu Asisten Residen untuk mengawasi para Bupati serta memberikan laporan pengawasan kewilayahann ya tersebut kepada Asisten Residen untuk disampaikan kepada Residen. Lihat Hanis Nurcholis. 2007. Teori dan Praktik, Pemerintahan dan
tahun itu pula Samin dinobatkan oleh pengikunya sebagai ratu adil dengan gelar
Prabu Panembahan Surya Alam.9
Didengar kabar pada 1 Maret 1907 pengikut Samin akan mengadakan
perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Karena kabar ini, kontrolir
Belanda melakukan penangkapan atas sejumlah pengikut Samin yang pada saat
itu sedang mengadakan selametan salah satu keluarga di Kedungtuban.
Selametan kerabat ini dianggap jika orang-orang Samin sedang melakukan
persiapan perlawanan kepada kolonial Belanda. Saat itu Samin sendiri sedang
berada di Rembang. Ketika tertangkap, Samin beserta delapan pengikutnya
diinterogasi dan diasingkan ke Sumatera.10
Pada tahun 1911 sampai 1914, ajaran Samin meluas ke wilayah Grobogan
dan Pati. Mereka menyosialisasikan gerakan dengan tidak membayar pajak
bahkan melakukan aksi kekerasan melawan aparat kolonial Belanda, termasuk
polisi dan lurah. Periode ini dianggap sebagai periode puncak gerakan Samin atau
disebut geger Samin.11
Pada tahun 1916, pengikut Samin meluas ke wilayah Kudus. Ini diawali
dengan kegagalan penyebaran ajaran itu di Tuban. Perluasan ajaran Samin terus
berlangsung yang ditandai dengan kepemimpinan Pak Engkrek di wilayah
9
Ibid., hlm.19.
10Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora Jawa Tengah,Yogyakarta,
2004, hlm.23.
11 Geger Samin terjadi karena Belanda menaikkan pajak yang semakin mencekik masyarakat. Di
Grobogan dan Mbah Engkrek di wilayah Blora. 12 Sejarah dari perjuangan oleh
Mbah Engkrek inilah yang sampai sekarang masih menyisakan tradisi ajarannya.
Setelah Samin ditangkap serta meninggal di Padang pada 1914,
perlawanan masyarakat tidak berhenti. Pengikut maupun kerabat dekatnya
meneruskan perlawan di beberapa daerah sekaligus menyebarkan ajaran Samin.
Di Randublatung seorang bernama Samat telah menggantikan Samin dan
mengumumkan datangnya dua Ratu Adil sekaligus, yang satu dari timur dan
yang lain dari barat.
Dalam perkembangannya, ajaran Samin mulai meluas dan berkembang
hingga mampu menciptakan sebuah komunitas masyarakat atau yang lebih
dikenal sebagai masyarakat Samin. Sebuah komunitas masyarakat yang sering
menjadi cemoohan orang-orang di sekitarnya karena keluguan dan kepolosannya.
Terlepas dari anggapan banyak orang, masyarakat Samin adalah komunitas
masyarakat yang menjunjung tinggi nilai dan moral kehidupan yang lebih baik.
Penelitian ini mencoba menguraikan hubungan antara Samin dan
pengikutnya dengan hutan jati di Jawa abad XIX. Hubungan tersebut terutama
antara penduduk dengan pengelola hutan jati saat itu yakni pemerintah kolonial
Belanda. Dalam konteks sumber daya hutan, muncul berbagai peraturan hutan
jati oleh pemerintah Belanda. Samin memiliki dua prinsip pemerintahan hutan
yakni kelestarian serta dapat dimanfaatkan semua orang. Hipotesis awal dari
penelitian ini adalah penerapan dari prinsip-prinsip Samin atas pengelolaan
sumber daya alam yang terganggu oleh adanya peraturan-peraturan pemerintah
kolonial Belanda, sehingga muncul adanya perlawanan petani pengikut Samin.
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat
dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Apa saja latar belakang munculnya gerakan Samin dalam melawan
kolonialisme Belanda di wilayah Blora?
2. Bagaimana dinamika gerakan Samin dalam melawan kolonialisme Belanda di
wilayah Blora?
3. Apa dampak yang ditimbulkan dari gerakan Samin dalam melawan
kolonialisme Belanda di wilayah Blora dan sekitarnya?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan masalah yang dikemukakan, maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penulisan ini adalah:
1. Menjelaskan latar belakang munculnya Gerakan Samin melawan pemerintah
kolonial Belanda.
2. Mendeskripsikan dinamika Gerakan Samin pada masa kolonial Belanda.
3. Menjelaskan dampak yang ditimbulkan dari Gerakan Samin beserta
D. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Bagi Universitas Sanata Dharma
Membantu civitas akademika lainnya untuk melihat perjuangan masyarakat
kecil di Indonesia yang selama kurun waktu belakangan masih kurang
produktif. Perjuangan Samin dan pengikutnya sendiri masih dapat kita jumpai
hingga saat ini.
2. Bagi Dunia Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Memberikan sumbangan dalam menganalisa gerakan masyarakat bawah
dalam menentang praktek kolonialisme di daerah mereka.
3. Bagi penulis
Membantu penulis memahami bagaimana Samin dan pengikutnya
memperjuangkan hidupnya di bawah tekanan kolonial hingga mampu eksis
hingga sekarang.
4. Bagi Masyarakat Luas
Memperluas pengetahuan tentang dinamika rakyat kecil di Blora pada masa
pemerintah kolonial Belanda. Selama ini sejarah orang-orang kecil jarang
dibahas dalam buku-buku sejarah sekolah.
E. Tinjauan Pustaka
Sebagai suatu ilmu yang mempelajari masa lalu umat manusia, studi
sejarah menggunakan rekam peristiwa masa lalu sebagai sumber sejarah yang
lainnya, digunakan dalam penulisan skripsi ini. Dikarenakan keterbatasan
pengetahuan dalam menemukan sumber primer, maka sumber yang digunakan
dalam penulisan ini adalah sumber sekunder, yaitu sumber yang berasal dari
tangan kedua.
Beberapa buku yang digunakan antara lain Hutan Kaya, Rakyat Melarat:
Penguasa Sumber Daya dan Perlawanan di Jawa13 karya Nancy Lee Peluso.
Buku ini memberikan gambaran seputar politik kehutanan serta sikap resistensi
masyarakat sekitar hutan dalam menanggapi perkembangan model penguasaan
dan pengelolaan hutan jati di Jawa. Menurut Nancy, nilai-nilai masyarakat Samin
berpusat pada akses hutan pertanian. Kebanyakan petani pengikut Samin adalah
petani penggarap yang memiliki lahan. Banyak dari mereka adalah keturunan dari
cikal bakal atau pendiri desa dan pembuka hutan.14
Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris15
karya Denys Lombard. Pada masa kerajaan sebelum kedatangan VOC tidak
berarti belum ada peraturan perlindungan hutan. Pada masa pemerintahan Sultan
Agung di kerajaan Mataram telah terdapat sejumlah cagar alam untuk melindungi
buruannya dari pembabatan hutan. Menurut Lombard, pembabatan hutan
dilakukan hanya jika diperlukan perluasan pemukiman dan lahan pertanian, itu
saja masih kecil luasannya. Lazimnya, cagar alam hanya untuk hutan rimba,
bukan hutan yang sering digunakan penduduk untuk mendukung kehidupan
agrarisnya.
13 Nancy Lee Peluso,Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasa Sumber Daya dan Perlawanan di
Jawa,Jakarta,KOPHALINDO,2006.
14
Ibid., hlm.124.
15 Dennys Lombard,,Nusa Jawa Silang Budaya: Warisan kerajaan-kerajaan Konsentris,Jakarta:
Denys Lombard menambahkan, sistem pengetahuan Samin dan
pengikutnya terhadap keberadaan hutan berhubungan langsung dengan cerita
pewayangan yang dianggap memiliki keterkaitan dengan tanah Jawa. Dalam
cerita pewayangan , terdapat pemisahan yang jelas antara hutan dan cerang yakni
tanah lapang atau pemukiman. Hutan, di satu sisi merupakan tempat yang penuh
bahaya, dihuni oleh bangsa raksasa atau buta pemakan manusia. Namun di sisi
lain hutan juga sebagai tempat tinggal sang resi yaitu tokoh yang penuh dengan
kebajikan dan kesaktian.
Buku Sistem Tanam Paksa di Jawa16 karangan Robert van Niel,
menguraikan bagaimana pemerintah menerapkan sistem kolonial di Jawa pada
abad ke-19. Buku ini menjelaskan tentang kajian sosial dan ekonomi modern yang
dipraktikkan negara kolonial yang hidup berdampingan dengan sistem ekonomi
tradisional. Kajian sosial dan ekonomi abad ke-19 menunjukkan bahwa ekonomi
subsistensi17 mengalami gangguan yang serius akibat praktik-politik kolonial.
Menurut pengarang, gerakan-gerakan protes petani di Jawa abad ke-19 mau tidak
mau harus dikembalikan pada praktik kolonial yang diterapkan oleh pemerintah
kolonial Belanda.
Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di
Jawa dari Masa ke Masa18 karya Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan
16
Robert van Niel, 2003, Sistem Tanam Paksa di Jawa. Jakarta, LP3ES. Umumnya tanah-tanah yang diperluas menjadi milik individu ini merupakan tanah-tanah yang selama masa awal Tanam Paksa tidak dikenakan beban sewa tanah atau dapat dikatakan merupakan tanah simpanan. Tanah ini kemudian diperluas menjadi milik individu karena tuntutan untuk peningkatan produksi Tanam Paksa
17 Suatu masyarakat primitif yang kegiatannya sangat terbatas dan setiap rumah tangga.
18 Sediono M.P Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola
Wiradi menjelaskan tentang ekonomi desa di Jawa terkait dengan tanah sebagai
sarana utama gerak ekonomi. Tanah sebagai sarana produksi pertanian memiliki
pengaturan-pengaturan dalam pola penguasaannya. Secara umum pola
penguasaan tanah di Jawa abad XIX dapat digolongkan menjadi dua yakni tanah
individual (tanah pribadi) dan komunal (tanah milik bersama).
Buku karangan James. C. Scott dengan judul Perlawanan Kaum Tani19,
mencatat bahwa buruh tani yang masih berakar pada dusun menganut ikatan
guyub dimana daya swakarsa perorangan atau kolektif mampu mempertahankan
ketahanan mereka. Keterlibatan buruh tani di luar dusun umumnya tidak terlepas
dari perantaraan patron baru. Gotong royong petani Jawa disimpulkan oleh Scott
sebagai bentuk resistensi sekaligus tindakan bertahan hidup atas tekanan dari
pihak luar. Moral ekonomi petani mengandaikan kolektifitas kebertahanan hidup
melalui praktek-praktek seperti sistem bagi hasil dan selamatan yang dilakukan
oleh petani kaya sebagai tanda pembagian rezeki.
Pemberontakan Petani Banten menjadi sumber penulisan yang dipakai
selanjutnya. Tesis karya Sartono Kartodirdjo20 ini menjelaskan dinamika protes
petani di Banten sebagai reaksi atas kolonisasi yang pernah terjadi. Tujuan
pertama studi ini adalah membahas aspek-aspek dari gerakan sosial yang
melibatkan lapisan-lapisan luas rakyat biasa di Indonesia. Studi kasus mengenai
gerakan-gerakan sosial ini tidak hanya bertujuan menyampaikan informasi faktual
mengenai pemberontakan petani di Banten pada 1888, melainkan juga
dimaksudkan sebagai sumbangsih kepada usaha-usaha untuk menjelaskan proses
19
James. C. Scott, Perlawanan Kaum Tani, Yayasan Obor Indonesia,1993.
20
sosial umumnya di Indonesia pada abad XIX. Menurut Sartono, pemahaman
mengenai hakikat gerakan-gerakan sosial di masa lampau sering kali dapat
diterapkan kepada studi mengenai gerakan-gerakan di masa sekarang dan masa
yang akan datang.
Potret kehidupan petani Indonesia merupakan sebuah kajian yang menarik
dari masa ke masa. Banyak penulis maupun peneliti mengkaji topik-topik yang
berkaitan dengan dinamika kehidupan petani. Syahrul Kirom dalam tesisnya
berjudul Ajaran Moral Masyarakat Samin dalam Perspektif Etika: Relevansinya
Bagi Pengembangan Bangsa21 memberikan suatu analisa mengenai dinamika
kehidupan petani Samin dalam melawan kolonialisme Belanda dan juga dampak
dari ajaran Samin Surosentiko bagi masyarakat Blora. Syahrul mengatakan,
masyarakat Samin merupakan salah satu komunitas tertentu yang sudah ada sejak
zaman kolonial Belanda. Masyarakat Samin yang ada di Jawa merupakan warisan
dari nilai-nilai luhur budaya Nusantara.
Buku Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan
Tengger22 karya Dr.Andrik Purwasito, DEA, menjelaskan tentang komunitas
masyarakat Samin dan Tengger. Kedua komunitas ini menurut Andrik merupakan
potret masyarakat yang memiliki semangat revolusioner. Apa yang dilakukan
masyarakat Samin pada mulanya merupakan sebuah perlawanan terhadap
penguasa Belanda yang dianggapnya telah menginjak-injak martabat
21
Syahrul Kirom, Ajaran Moral Masyarakat Samin dalam Perspektif Etika:Relevansinya Bagi
Pengembangan Bangsa,Yogyakarta,Universitas Gadjah Mada,2011, hlm.9.
22
Andrik Purwasito, Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan
kemanusiaan. Masyarakat Samin melawan dengan joke-joke dan perilaku yang
sangat cerdas. Mereka sangat kuat memegang identitas dan kemandiriannya.
Suripan Sadi Hutomo dalam studinya tentang Samin dan
Ajaran-ajarannya23 menjelaskan mengenai ajaran-ajaran Samin. Temuan Suripan ini
sangat penting untuk melihat beberapa segi seputar nilai-nilai kehidupan
masyarakat Samin. Selain itu, temuan Suripan yang sangat penting adalah lima
kitab yang disebut Jamuskalimasada yang berisi ajaran-ajaran Samin Surosentiko
perihal konsep ketuhanan, etika kehidupan, etika politik, dan lain-lain.
Menurut Suripan, kaitan antara Samin dan kehutanan tidaklah sesederhana
bentuk-bentuk reaksi sosial yang lain sebagai tanggapan atas penetrasi kolonial.
Penetrasi yang begitu kuat dalam bidang ekonomi namun tidak menyinggung
sistem sosial masyarakat, kemungkinan tidak menimbulkan reaksi sosial berupa
perlawanan. Tergganggunya sistem-sistem sosial yang terdapat di kalangan
masyarakat justru yang memicu munculnya perlawanan Samin.
Skripsi karya Agus Budi Purwanto dengan judul Samin dan Kehutanan
Abad XIX24, menguraikan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Samin dan
pengikutnya dalam melestarikan hutan jati. Skripsi ini juga menjelaskan
bagaimana kehidupan masyarakat Samin pada abad ke-19 dimana masyarakatnya
masih menjunjung nilai-nilai spiritual. Menurut Agus, dalam hubungannya
dengan hutan, Samin dan pengikutnya memiliki sistem pengetahuan yang pada
intinya menyatakan bahwa tanah Jawa termasuk di dalamnya ciptaan Tuhan yang
dititipkan Pandawa kepada orang Jawa sekaligus Samin dan pengikutnya. Ciptaan
23
Suripan Sadi Hutomo, Samin dan Ajaran-ajarannya, Semarang,Citra Almamater,1996,.
24
Tuhan tersebut tidak boleh dikuasai atas pemanfaatannya. Terganggunya
kepercayaan masyarakat pengikut Samin atas dominasi hutan jati oleh Belanda
yang pada akhirnya memunculkan perlawanan dalam rangka melestarikan hutan
jati di kabupaten Blora.
F. Landasan Teori
Penggunaan landasan teori dalam penelitian ilmu-ilmu sosial menjadi hal
penting dalam mendekati sebuah pokok persoalan. Realitas sosial sehari-hari
memiliki ragam yang tidak terhitung sekaligus berserakan antara satu dengan
lainnya. Penggunaan teori-teori sosial dalam penelitian sejarah masih sangat
relevan diajukan. Teori-teori sosial menuntut peneliti sejarah untuk berfikir
teoritis historis dalam menemukan genealogi fakta sejarah dan menunjukkan
gerak sejarah seperti apa yang terjadi. Menjelaskan fenomena gerakan Samin
abad XIX-XX dengan menggunakan teori sosial dimungkinkan tidak hanya
dalam konteks tersebut di atas, namun juga dalam usaha penyusunan sejarah
gerakan Samin yang lebih memperhatikan gerak sejarah dari dalam.
Penelitian ini menggunakan beberapa konsep sebagai dasar landasan teori.
Konsep-konsep tersebut antara lain adalah petani, kehutanan, kolonialisme, dan
gerakan petani.
1. Petani
Petani adalah orang yang bergerak di bidang pertanian dengan cara
melakukan pengolahan tanah dengan tujuan untuk menumbuhkan dan memelihara
digunakan sendiri ataupun dijual kepada orang lain. Menurut Mubyarto, petani
merupakan komponen terpenting dalam membicarakan politik pertanian. Dua
komponen terpenting adalah petani dan pemerintahan. Di satu pihak ada petani
penggarap dan pengelola tanah, di lain pihak ada pemerintahan yang mengatur
dan mengusahakan suasana dan iklim segar agar pertanian dapat berkembang dan
terus-menerus mengalami kemajuan.25 Sedangkan menurut Thomas Stamford
Raffles dalam karyanya History of Java, politik pertanian adalah prinsip untuk
mendorong rakyat di Jawa dalam mengolah dan memperbaiki tanah, dengan
merangsang minat mereka pada hasil yang dapat diperoleh dari pekerjaan itu,
hanya dapat diharapkan bila ada perubahan mendasar dari keseluruhan sistem
pemilikan dan penguasaan tanah. 26
Menurut Mubyarto dalam karyanya yang berjudul Pengantar Ekonomi
Pertanian, pertanian dalam arti luas meliputi pertanian rakyat atau disebut
pertanian dalam arti sempit, perkebunan (termasuk di dalamnya perkebunan
rakyat dan perkebunan besar), kehutanan, dan perikanan. Fokus perhatian
berhubungan dengan seluruh kegiatan ekonomis yang berorientasi pada
perkebunan dalam sejarah ekonomi Indonesia.27
Menurut Gilarso, ilmu ekonomi mempelajari persoalan-persoalan yang
berhubungan dengan usaha manusia untuk mencari nafkah dan memenuhi
kebutuhan hidupnya.28 Gilarso menyebutkan dalam usaha untuk mencari nafkah
25 Mubyarto, Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Jakarta, Penerbit Sinar Harapan,
1983, hlm. 17.
26
Sir Thomas Stamford Raffles, The History of Java, London, John Murray, 1877, edisi kedua, 1830, hlm.170.
27
Mubyarto,op.cit., hlm.16.
28
dan memenuhi kebutuhan sangat luas meliputi konsumsi dan produksi,
perdagangan, uang dan pasar, ekspor, impor, pajak, investasi.29
Terdapat perbedaan status sosial antara penguasa dan kaum tani pada masa
kolonial. Di sisi lain, kekuasaan politik dan ekonomi dipegang oleh penguasa
kolonial. Kebijakan-kebijakan produk kolonial seperti sistem tanam paksa dan
land rent,30 semakin menempatkan posisi petani pada lapisan terbawah yang tidak
memiliki akses apapun untuk memperbaiki nasibnya.31
Keadaan yang semakin buruk, ternyata belum cukup untuk membuat
petani melawan dan memberontak. Sifat yang terbiasa hidup dalam kesusahan
membuat mereka tertempa untuk dapat mempergunakan berbagai cara untuk
mempertahankan tingkat subsistensi mereka.32 Eksploitasi yang dilakukan secara
berkelanjutan dengan kualitas terus meningkat, pada akhirnya menyebabkan
kemerosotan ekonomi bagi kehidupan petani di Indonesia.
Nasib petani yang memprihatinkan tersebut merupakan produk dari sistem
sosial dan politik yang telah hidup dalam masyarakat. Sisa-sisa konsep pandangan
feodalisme masih terasa pengaruhnya dalam kehidupan masyarakatnya. Petani
meskipun sebagai motor kehidupan dari suatu masyarakat agraris, namun peranan
mereka dalam sejarah belum banyak diketahui orang. Hal ini didasarkan oleh
29
Ibid, hlm. 18
30 Sistem sewa tanah dan wajib pajak yang harus diberikan kepada pemerintah kolonial. 31
Desi Rahmawati, Gerakan Petani dalam Konteks Masyarakat Sipil, 2003, hlm.332. Dalam jurnal Ilmu sosial dan politik volume 6, Nomor 3 bulan Maret 2003.
32
pemikiran yang bersifat konvensional dimana petani dilihat sebagai sumber energi
yang tidak memiliki hak untuk berperan dalam sejarah.33
2. Kehutanan
Hutan sebagai salah satu komunitas biologi memberikan kontribusi besar
bagi kehidupan. Selain sebagai tempat tinggal berbagai flora dan fauna, hutan
juga dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sebagai sebuah ekosistem, hutan
terbentuk oleh beberapa komponen yang tidak dapat terpisahkan satu dan lainnya.
Hutan oleh beberapa ahli didefinisikan sebagai berikut:
Menurut Undang-Undang RI No. 41 Tahun 1999, hutan adalah kesatuan
ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan
lainnya tidak dapat dipisahkan.34
Sedangkan menurut Arifin Arief, hutan merupakan kumpulan tetumbuhan
dan binatang yang hidup dalam lapisan dan di pemukiman tanah yang terletak
pada suatu kawasan, serta membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada
dalam keseimbangan dinamis.35
Helms berpendapat jika hutan adalah sebuah ekosistem yang bercirikan
oleh penutupan pohon-pohon yang cukup rapat dan luas, sering kali terdiri dari
tegakan-tegakan yang beraneka ragam sifat, seperti komposisi jenis, struktur,
kelas umur, dan proses-proses yang berhubungan. Hutan mencakup pula bentuk
33
A. Kardiyat Wiharyanto, Asia Tenggara Zaman Pranasionalisme,Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2005, hlm. 144.
34 Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167.
khusus, seperti hutan industri, hutan milik non industri, hutan tanaman, hutan
publik, hutan lindung, dan hutan kota.36
Hutan merupakan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan untuk
kesejahteraan manusia karena dapat memberikan sumbangan berupa hasil alam.
Selain itu, hutan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat kawasan hutan sebagai
sumber pemenuhan kebutuhan hidupnya baik berupa kayu, binatang liar, pangan,
rumput, lateks, maupun obat-obatan. Keberadaan hutan yang selama ini menjadi
paru-paru dunia diharapkan mampu memberi manfaat bagi umat manusia. Sebagai
sebuah ekosistem, hutan berperan sebagai penyedia sumber air, penghasil oksigen,
tempat hidup binatang dan tanaman, juga sebagai pencegah pemanasan global.
Bahkan hutan merupakan sumber daya alam yang diharapkan sebagai leading
sector37 bagi pembangunan. Hutan yang diharapkan dapat membantu
perekonomian sebuah negara mempunyai fungsi yaitu:
Undang-undang No. 41 Tahun 1999 pasal 638 menyebutkan bahwa hutan
mempunyai tiga fungsi yakni fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi
produksi. Pertama, Fungsi Konservasi yakni hutan dicadangkan untuk keperluan
pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Sebagai fungsi
konservatif, hutan dibagi menjadi dua golongan yakni kawasan suaka alam dan
kawasan pelestarian alam. Kedua pengertian fungsi hutan ini sama-sama memiliki
fungsi pengawetan keanekaragaman satwa, tumbuhan dan ekosistemnya.
Kedua, Fungsi Lindung yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi
pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan yang mengatur tata air,
36 www.academia.edu/8201808/HUTAN.
37 Sektor potensial yang dapat berperan sebagai penggerak bagi sektor lainnya. 38
pencegah banjir, pengendalian erosi, pencegah intrusi air laut39, dan pemelihara
kesuburan tanah.40 Hutan lindung mempunyai fungsi utama melindungi
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan,
dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan
berkelanjutan.
Ketiga, Fungsi Produksi yaitu hutan dimaksudkan untuk produksi kayu
dan hasil hutan lainnya untuk mendukung perekonomian negara dan masyarakat.
Hasil utama dari hutan produksi adalah berupa kayu sedangkan hasil hutan
lainnya disebut hasil hutan nirkayu yang meliputi rotan, bambu, rumput,
tumbuhan obat, biji, kulit kayu, daun, lateks, resin, dan zat ekstrasif lainnya.
Hutan merupakan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan. Manfaat langsung
yang dapat diperoleh adalah kayu serta hasil hutan lainnya. Sedangkan manfaat
tidak langsung adalah hutan sebagai pengaturan tata air, rekreasi pendidikan,
sumber udara yang bersih, mencegah banjir dan lainnya.
Rimbawan41 berusaha menggolongkan hutan sesuai dengan ketampakan
khas masing-masing. Tujuannya untuk memudahkan manusia mengenali hutan
secara tepat. Berdasarkan proses terjadinya, hutan dibedakan menjadi dua yakni
hutan asli (primer) dan hutan buatan (sekunder) . Hutan asli adalah hutan yang
terjadi secara alami dan belum terkena campur tangan manusia. Hutan rimba
39
Intrusi air laut adalah menyusupnya air laut ke dalam pori-pori batuan dan mencemari air tanah yang terkandung di dalamnya. Hal ini bisa disebabkan oleh pemompaan yang berlebihan, kekuatan air tanah ke laut, serta fluktuasi air tanah di daerah pantai.
40
Arifin Arif, Hutan: Hakikat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan, Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 1994, hlm.14.
41 Rimbawan merupakan seseorang yang mempunyai profesi pengelolaan hutan atau orang yang
adalah jenis hutan asli. Sedangkan hutan buatan adalah hutan yang pernah
ditebang dalam kurun waktu kurang lebih 30 tahun. Hutan ini dapat tumbuh
kembali secara alami setelah ditebang atau karena kerusakan yang cukup
luas.42Akibatnya, pepohonan di hutan sekunder terlihat lebih pendek dan kecil.
Sedangkan berdasarkan status kepemilikannya, hutan dibagi menjadi hutan
negara dan hutan rakyat. Hutan negara merujuk pada hutan yang statusnya
dimiliki oleh negara. Hutan ini berada di atas tanah negara yang tidak dibebani
hak atas tanah. Segala bentuk penguasaan dan pengelolaan harus seijin negara.43
Sedangkan hutan rakyat adalah hutan yang dibangun dan dikelola oleh rakyat.
Kebanyakan berada di atas tanah milik rakyat. Hutan rakyat kini telah banyak
yang dikelola dengan orientasi komersil yaitu untuk pemenuhan kebutuhan pasar
komoditas.44 Dulunya sekitar tahun 1980an, kebanyakan hutan rakyat berorientasi
subsisten yaitu untuk memenuhi kebutuhan petani sendiri.
Dalam sejarah Indonesia, hutan telah banyak mengalami perubahan
terutama dalam hal kepemilikan. Hutan yang awalnya merupakan hutan rakyat,
lambat laun beralih fungsi menjadi hutan milik negara. Selama ini model
penguasaan hutan yang dilakukan oleh negara telah membawa pengaruh dalam
pola kebijakan pengelolaannya. Ini berarti bahwa keberadaan sumber daya alam
tersebut diharapkan mampu menunjang arah dan tujuan yang ditetapkan dalam
setiap perencanaan pembangunan di Indonesia.
Jika menengok sekilas tentang sejarah penguasaan sumber daya hutan di
Jawa, maka pengelolaan hutan di Jawa merupakan pengelolaan hutan tertua di
42Indrayanto., op.cit,hlm.56.
Indonesia. Dimulai ketika VOC 45 berlabuh di Indonesia pada 1602, hutan di Jawa
mulai dimanfaatkan untuk tujuan perdagangan. Pohon jati pada abad ke-15 sangat
melimpah dan VOC melihat hal ini sebagai sumber penghasilan yang potensial
bagi mereka.46 Terlihat mulai adanya motivasi ekonomi dari pihak kolonial
Belanda.
Pada tahun 1808 didirikan Boschwezen (jawatan kehutanan) yang
merupakan cikal bakal lahirnya Perum Perhutani milik pemerintah Indonesia saat
ini. Jawatan kehutanan banyak didirikan di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Dalam perkembangannya, jawatan kehutanan dirubah statusnya menjadi
Perusahaan Negara Perhutani mulai tahun 1963.47 Namun sejak 1972 dirubah lagi
menjadi Perum Perhutani dan wilayah kelolanya diperluas hingga Jawa Barat.
Sistem yang digunakan oleh Perum Perhutani pada saat itu hingga
menjelang Orde Baru berakhir, adalah kebijakan yang menguntungkan Perum
Perhutani sendiri. Perum Pehutani mencoba menginisiasikan program Prosperity
Approach.48 Program ini kemudian disempurnakan menjadi PMDH (Program
Pembinaan Masyarakat Desa Hutan). Kebijakan pengelolaan hutan yang demikian
membawa implikasi bagi masyarakat desa kawasan hutan. Masyarakat hutan
hanya menjadi penonton saja atas segala kekayaan hutan yang ada di sekitarnya.
45
Verenigdee Oost Indische Compagnie yang merupakan persekutuan dagang asal Belanda yang memonopoli perdagangan di Asia.
46 Sulistyaningsih, Perlawanan Petani Hutan: Studi Atas Resistensi Berbasis Pengetahuan Lokal,
Yogyakarta: Kreasi Wacana,2013,hlm.3.
47
Sulistianingsih., op.cit.hlm.4.
48 Program kesejahteraan masyarakat dengan kegiatan subsidi saprotan dan saran air bersih,
Model penguasaan sumber daya hutan sebelum reformasi adalah model
penguasaan yang sangat sentralistik dan konvensional. Semua rencana yang
menyangkut tentang kebijakan kehutanan dibuat oleh Perum Perhutani Pusat di
Jakarta.49 Kebijakan ini diambil tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat
lokal. Pada model konservatif, biasanya pesanggem50 hanya menggarap lahan
selama 2-3 tahun dan sesudahnya mereka harus meninggalkan lahan garapannya.
Kondisi ini dirasa tidak adil dengan jerih payah yang telah dilakukan mereka baik
tenaga, waktu, dan uang.
Menurut Bachtiar51, model pengelolaan hutan yang konvensional dan
sentralistik menimbulkan berbagai persoalan. Pertama, perlakuan Perum
Perhutani, baik secara individual maupun institusional, kepada masyarakat
banyak menimbulkan konflik antara masyarakat desa hutan dan Perum Perhutani.
Perlawanan dan pembangkangan dilancarkan oleh masyarakat dengan berbagai
cara baik secara sembunyi-sembunyi maupun terbuka. Kedua, maraknya
penebangan liar dan penebangan resmi yang dilakukan di hutan Jawa
menimbulkan deforestasi yang memprihatinkan. Ketiga, dari sisi kenegaraan
hayati, berbagai jenis binatang liar dan tumbuhan yang pernah menjadi ciri khas
Pulau Jawa mulai sulit ditemukan, bahkan beberapa telah punah seperti harimau.
3. Kolonialisme
Kolonialisme adalah pengembangan kekuasaan sebuah negara atas
wilayah dan manusia di luar batas negaranya dan seringkali untuk mencari
49 Sulistianingsih., op.cit.hlm 11. 50
Petani yang menggarap sebagian lahan di kawasan hutan selepas tebang dengan ditanami padi atau aneka palawija.
51 Irfan Bachtiar, Hutan Jawa Menjemput Ajal, makalah dalam semiloka Temu inisiatif DPRD
dominasi ekonomi dan sumber daya.52 Kolonialisme juga dapat dikatakan sebagai
sebuah sistem yang digunakan negara dalam rangka menjalankan politik
pendudukan atau jajahan terhadap negara lain.
Berbicara mengenai masa kolonialisme Belanda, masalah yang seringkali
menjadi pembahasan pokok dalam setiap kajian sejarah adalah masalah ekonomi.
Khusus di Jawa, kolonialisme ekonomi Belanda lebih menekankan pada sektor
pertanian. Pemerintah kolonial membidik tanah Jawa sebagai lahan yang subur
bagi usaha-usahanya dalam memperoleh keuntungan ekonomi. Seperti diketahui,
pemerintah kolonial Belanda melihat tanah jajahan di Jawa memiliki potensi
ekonomi yang luar biasa menguntungkan, dalam artian Jawa memiliki sumber
daya manusia yang dapat dimanfaatkan.
Seperti telah diketahui, sejak kongsi dagang Belanda yaitu VOC,
menancapkan kekuasaannya di Nusantara tahun 1602, arah dan tujuan Belanda
telah nampak jelas yaitu mencari keuntungan ekonomi sebesar-besarnya. Bahkan
ketika kongsi ini harus dibubarkan pada tahun 1798 dan diambil alih oleh
pemerintah Belanda sendiri, tujuan penjajahan tetap berlanjut.53
Tidak dapat dipungkiri bahwa tujuan ekonomi telah menjadi suatu pola
utama bagi setiap periode penjajahan di berbagai belahan dunia. Penjajahan
berbasis ekonomi akan memberikan dampak tersendiri bagi wilayah yang
dijajahnya. Dari segi positif mungkin dampak penjajahan akan menghasilkan
suatu penemuan baru. Di Indonesia terlihat jika dampak kolonialisme lebih
kepada dampak negatif. Jika dilihat dari konteks historisnya, kecenderungan
52
http://irman.edi.blogspot/com/kolonialisme.
53 Marwati Djoened, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Jilid V, Jakarta, PN.Balai Pustaka.
keuntungan sepihak tetap dimiliki oleh pihak penjajah, sedangkan yang menjadi
korban adalah masyarakat pribumi.54
Bagi Indonesia sendiri, masa kolonialisme dapat dikatakan sebagai masa
tersulit. Kondisi sosial dan ekonomi pada masa 1800-an mengalami
ketidakstabilan yang cukup hebat akibat adanya sistem kolonial yang cenderung
memaksa55. Kondisi masyarakat Jawa tidak semakin baik tetapi semakin miskin
dan mengalami pembodohan yang dilakukan oleh pemerintah demi mencapai
keuntungan ekonomi tersebut. Masyarakat Jawa hanya sekedar dimanfaatkan
sebagai sumber penyedia tenaga kerja murah serta memiliki tanah sangat
potensial. 56
4. Gerakan Petani
Gerakan petani merupakan suatu bentuk perlawanan yang sengaja
dilakukan oleh sekelompok petani yang terorganisir untuk menciptakan terjadinya
perubahan dalam pola interaksi atau keadilan untuk petani di dalam masyarakat.57
Gerakan tersebut memiliki ciri-ciri seperti halnya gerakan sosial yaitu, (1) gerakan
sosial merupakan satu bentuk perilaku kolektif, (2) senantiasa memiliki tujuan
untuk membuat perubahan sosial atau mempertahankan sebuah kondisi, (3) tidak
identik dengan gerakan politik yang terlibat dalam perebutan kekuasaan, (4)
merupakan perilaku kolektif yang terorganisir, (5) lahir dari kondisi masyarakat
54 Ibidem.
55
Marwati Djoened, Nugroho Notosusanto, op.cit, hlm.5.
56 Ibid.
57 Sadikin, 2005, Perlawanan Petani, Konflik Agraria, dan Gerakan Sosial.Yayasan Akatiga,
yang berkonflik, (6) aktivitas dan gerakannya terus menurus.58 Kemunculan
gerakan ditandai adanya kegelisahan akibat kesenjangan antara nilai-nilai harapan
dan kenyataan hidup sehari-hari. Kelompok masyarakat menginginkan tatanan
hidup yang baru dengan membentuk sebuah gerakan yang terorganisir.
Sepanjang abad 19 sampai awal abad 20, dikatakan oleh Sartono
Kartodirdjo, sejarah Indonesia ditandai dengan meledaknya gejolak atau protes
sosial di kalangan pribumi. Kesemuanya ini dapat dimaklumi sebagai akibat
konflik yang terjadi antara rakyat dan pemerintah kolonial.59 Gerakan sosial yang
terjadi juga dilakukan oleh para petani untuk menentang pemerintah kolonial.
Sartono dalam bukunya Ratu Adil menjelaskan bahwa ada beberapa gerakan
petani. Macam-macam gerakan tersebut adalah:
a. Gerakan Millenarianisme
Gerakan millenarianisme merupakan gerakan yang didasarkan pada
keyakinan (ramalan) akan datangnya suatu abad keemasan. Ketidakadilan akan
diakhiri dan keharmonisan akan dipulihkan. Gerakan millenarianisme tentang
kebahagiaan dan perdamaian dipercaya akan ditandai dengan bencana alam,
dekadensi moral, dan kemelaratan di kalangan masyarakat. Gerakan
millenarianisme merupakan gerakan petani yang mengharapkan kehidupan lebih
baik pada masa akan datang. Mereka yakin gerakannya akan berhasil, perdamaian
dan kebahagiaan sempurna akan tercipta. Gerakan millenaristis kaum tani ini
tidak dapat dipisahkan dari pikiran keagamaan tradisional yang masih memainkan
58 Kasmanto Sunarto, 2004, Pengantar Sosiologi,Jakarta, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, hlm.47.
peranan penting dalam politik pedesaan.60 Gerakan-gerakan millenaristis
tradisional tumbuh subur bersama dengan gerakan sekuler modern dan
gerakan-gerakan keagamaan.
Gerakan-gerakan itu pada dasarnya dapat dianggap sebagai dinamika
intern masyarakat lokal atau regional dan merupakan sejarah mikro yang sering
menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintah kolonial.61 Masyarakat lokal
mengalami berbagai macam tekanan dari luar. Pandangan millenarian telah
menimbulkan dorongan di dalam gerakan rakyat untuk memberontak dan
kadang-kadang orang mencari perlindungan fisik dari kejadian-kejadian yang merupakan
bencana besar.62
Ideologi milleniarian mengandung unsur-unsur keakhiratan yang
merupakan faktor yang mempercepat gerakan perlawanan. Peralihan dari situasi
yang ada dibayangkan berlangsung secara radikal dan revolusioner.63 Orang-orang
yang percaya dan mengharapkan dapat selamat dari bencana alam dianjurkan
supaya mematuhi petunjuk pemimpin dalam melakukan kegiatan perlawanan.
Dari sini kemudian muncul seorang pemimpin yang dianggap sebagai Mesias atau
sering disebut sebagai Ratu Adil.
b. Gerakan Mesianisme
Gerakan mesianisme merupakan gerakan rakyat yang timbul atas
kepercayaan bahwa seseorang tokoh yang akan datang untuk membebaskan orang
dari segala penderitaan. Studi tentang gerakan-gerakan keagamaan selama zaman
60
Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, Jakarta, Sinar Harapan, hlm. 84.
61 Ibid. hlm.12. 62
Ibid. hlm.15.
kolonial dapat memanfaatkan sumber-sumber materi yang cukup dan diperoleh
dari para pejabat kolonial yang diserahi tugas untuk mengurus
pergolakan-pergolakan yang ada. Gerakan-gerakan bercorak Ratu Adil merupakan ancaman
potensial bagi rezim kolonial. Gerakan Ratu Adil di Jawa, walaupun kelihatannya
semata-mata bersifat keagamaan dan tidak berbau politik, pada praktiknya
dipandang sebagai provokasi berbahaya terhadap pemerintah yang ada.64
Ratu Adil secara sederhana diartikan sebagai pemimpin yang menjadi
pemegang kekuasaan serta melaksanakan kekuasaannya secara adil. Ratu Adil
merupakan manusia terpilih yang memiliki hubungan khusus dengan Tuhan,
sehingga sosoknya dianggap memiliki sifat bijaksana, taat ibadah, dan mampu
membawa rakyat keluar dari penderitaan.
Gerakan Ratu Adil sebagai gerakan sosial menolak secara menyeluruh
tertib sosial yang sedang berlaku. Gerakan ini ditandai oleh kejengkelan moral
untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang mempunyai hak istimewa.
Radikalisme menjadi suatu bagian dari Gerakan Ratu Adil yang bersifat
revolusioner. Keanggotaan gerakan sosial seperti itu terbatas pada strata sosial
rendah, kaum tertindas, dan orang-orang kurang mampu.65
Kebudayaan tradisional Jawa diliputi oleh suatu keyakinan yang kuat akan
hal-hal gaib. Kehidupan manusia berwujud di dalam suatu yang saling berkaitan
dengan waktu dan ruang kudus.66 Kaum petani dengan sangat mudah dipengaruhi
oleh kepercayaan akan kekuatan gaib dan ramalan-ramalan tentang Ratu Adil.
Orang-orang yang percaya dan mengharapkan dapapt selamat dari bencana alam
64 Sartono Kartodirdjo, Ratu,...op.cit.,hlm. 11. 65 Ibid.,hlm. 38.
66
dianjurkan supaya mematuhu petunjuk pemimpin gerakan dalam melakukan
pemberontakan. Ketidakberdayaan politik membuatnya tertarik akan unsur-unsur
kekuatan gaib.
c. Gerakan Nativisme
Gerakan nativisme merupakan gerakan petani yang menginginkan
bangkitnya kejayaan hidup yang sesuai dengan alam lingkungannya dimasa
lampau dengan dipimpin oleh raja yang adil dan memperhatikan kesejahteraan
rakyat. Gerakan ini menginginkan tampilnya pribumi sebagai penguasa adil
seperti yang terjadi sebelum masa penjajahan. Para nativis mengharapkan secara
khusus dengan membayangkan kedatangan suatu masyarakat di mana orang kulit
putih akan terusir dan sekutu-sekutu pribumi mereka akan digulingkan.67
Gerakan-gerakan sosial kepribumian kerap kali menyatakan keinginan
untuk menghidupkan kembali keadaan prajajahan dengan memproklamasikan
kembalinya sebuah kerajaan kuno. Kepribumian menambahkan suatu unsur
politik yang kuat terhadap pernyataan kepercayaan Ratu Adil dengan
menghubungkan kemerosotan martabat, khususnya dengan kekuasaan asing dan
pembantu-pembantunya serta kepada korupsi nilai-nilai dan patokan tradisional
yang diakibatkannya.68
Terdapat karakteristik umum dari perbedaan-perbedaan gerakan protes
yang terjadi di Jawa abad ke-19. Ekspresi perlawanan para petani pedesaan itu
terhadap otoritas kolonial memiliki akar kuat dalam masyarakat tradisional.
Kehadiran kolonial Belanda dianggap merusak tatanan nilai yang telah ada dalam
67 Ibid.
68
masyarakat tradisional mereka. Kehadiran kuasa kolonialisme di pedesaan Jawa
telah membawa perubahan sosial yang tak tertahankan, serta meningkatkan
potensi konflik.69
Penolakan radikal secara ideologis terjadi atas segala perubahan yang
dibawa modernitas kolonial lewat perambahan lahan-lahan yang menjadi sumber
kehidupan petani. Baik dilakukan secara sistematik atau paksaan,
perubahan-perubahan itu telah menaikkan posisi ide-ide keagamaan, magis, dan ritual-ritual
gaib dalam masyarakat petani pedesaan yang akhirnya bermuara pada
gerakan-gerakan protes.70 Semuanya itu bagi masyarakat pedesaan Jawa merupakan suatu
perlawanan terhadap pengaruh asing.
Perlawanan yang dilakukan oleh kaum tani dimaksudkan untuk
mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Bentuk perlawanan yang dilakukan
tidak sampai pada tahap pembangkangan secara terbuka dengan melakukan
pemberontakan secara fisik dan dilakukan secara kolektif. Bentuk perlawanan ini
antara lain dengan mencuri kecil-kecilan, pura-pura tidak tahu, mengumpat di
belakang, membakar, dan melakukan sabotase. Bentuk perlawanan ini sedikit
sekali yang membutuhkan koordinasi atau perencanaan, dan secara cerdas
menghindari setiap konfrontasi simbolis langsung dengan pihak-pihak penguasa.71
Karena nasibnya hampir selalu kalah, maka pemberontakan yang besar
sama sekali tidak taktis untuk mencapai suatu hasil yang maksimal. Pertarungan
yang sabar dan diam-diam, dilakukan dengan tekad kuat oleh masyarakat desa
69 Sartono Kartodirdjo,Protest Movements in Rural Java: A Study Of Agrarian Unrests in The
Nineteenth and Twentieth Centuries, Oxford University Press, 1973 ,hlm.186.
70 Ibid., hlm.187. 71
James C Scott, Senjatanya Orang-Orang Yang Kalah, Bentuk Perlawanan Sehari-Hari Kaum
selama bertahun-tahun akan lebih banyak mendatangkan hasil. Para petani
pedesaan biasanya melakukan perlawanan pada malam hari dan dilakukan secara
diam-diam. Perlawanan petani tidaklah dimaksudkan untuk mengubah dominasi
secara langsung,72 namun yang menjadi titik pijakan dari perlawanan ialah
bagaimana untuk tetap bisa bertahan hidup.
Masyarakat Jawa sebagian besar merupakan masyarakat agraris yang
memandang tanah sebagai aset penting dalam kehidupan. Hal ini dikarenakan
tanah merupakan sumber daya alam yang diolah untuk keperluan hidup. Tanah
bagi masyarakat agraris berfungsi sebagai aset produksi untuk dapat
menghasilkan komoditas hasil pertanian. Pada masa kolonial dikenalkan tanah
partikelir73 sebagai hasil penjualan oleh Belanda.74 Di tanah-tanah milik swasta
itu, pemilik memperoleh hak untuk menarik pajak dari para petani. Hal tersebut
tentu memberatkan para petani hingga akhirnya menimbulkan gejolak.
Perlawanan yang munculpun banyak dipimpin oleh tokoh-tokoh lokal, baik ulama
ataupun bangsawan lokal.
G. Metodologi Penelitian
Sebagai sebuah studi sejarah, penelitian ini menggunakan metode sejarah.
Metode sejarah dalam konteks penulisan ini adalah proses menganalisa secara
rekaman dan peninggalan masa lalu. Tulisan ini merupakan sebuah kajian
pustaka, sehingga metode yang akan dilakukan dalam penulisan ini adalah
72
Ibid, hlm.2.
73 Tanah partikelir adalah tanah yang dimiliki orang-orang swasta Belanda dan orang pribumi yang
mendapat hadiah tanah karena dianggap telah berjasa kepada pemerintah Belanda.
74
mengumpulkan sumber-sumber tertulis baik primer maupun sekunder. Akan
tetapi, karena keterbatasan dalam menemukan dan menggunakan sumber primer,
maka penulisan ini lebih banyak menggunakan sumber sekunder dan tersier.
Secara metodologis, penelitian ini mendasarkan diri pada tahapan
penelitian sejarah secara umum. Menurut Kuntowijoyo75, penelitian sejarah
mempunyai lima tahapan, yakni: pemilihan topik, pengumpulan sumber,
verivikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber), interpretasi berupa analisis dan
sintesis, dan yang terakhir adalah penulisan atau historiografi.
1. Pemilihan Topik
Pemilihan topik merupakan langkah pertama dalam penulisan sejarah.
Sebagaimana dengan hal tersebut, topik penelitian ini adalah “Gerakan Samin
Melawan Kolonialisme Belanda: Perlawanan Petani Kawasan Hutan di Blora
Abad XIX-XX”. Perkembangan sektor pertanian tradisional sangat menarik untuk
dibahas. Sektor ini mengalami perubahan seiring dengan kedatangan bangsa Barat
yang memanfaatkan hasil-hasil pertanian untuk memenuhi permintaan pasar
Eropa.
Topik yang dipilih memiliki nilai perjuangan tentang dinamika
masyarakat kecil yang tetap mempertahankan resistensi mereka di bawah tekanan
para penguasa. Perjuangan mereka pada akhirnya mampu menciptakan sebuah
masyarakat yang dapat hidup berdampingan dengan masyarakat lainnya.
2. Heuristik atau Pengumpulan Sumber
Setelah topik ditentukan, langkah selanjutnya adalah mengumpulkan
sumber-sumber sejarah (heuristik). Karena penelitian ini merupakan penelitian
pustaka, maka data-data diperoleh dari laporan-laporan penelitian tentang gerakan
Samin dan tentang politik kehutanan kolonial. Laporan-laporan tersebut terdapat
dalam buku, jurnal-jurnal, maupun artikel di internet. Karena keterbatasan sumber
di perpustakaan Sanata Dharma, maka penulis juga mencari sumber-sumber
terkait di perpustakaan lain.
3. Verifikasi atau Kritik Sumber.
Verifikasi atau kritik sumber merupakan tahap penelitian setelah
pengumpulan data. Kritik sumber sejarah adalah upaya untuk mendapatkan
otentisitas dan kredibilitas sumber. Yang dimaksud dengan kritik adalah kerja
intelektual dan rasional yang mengikuti metodologi sejarah untuk mendapatkan
obyektivitas suatu kejadian.76 Umumnya kritik sumber dilakukan terhadap
sumber-sumber pertama. Kritik ini meliputi verivikasi sumber, yaitu pengujian
mengenai kebenaran atau ketepatan dari sumber tersebut. Dalam metode sejarah
ada dua jenis kritik sumber, yaitu kritik eksternal dan kritik internal.77
Kritik eksternal adalah kritik yang dilakukan untuk mengetahui keaslian
sumber.78 Kritik ini dilaukan dengan cara meneliti bahan yang digunakan, sifat
bahan, gaya penulisan, bahasa tulisan, dan jenis huruf yang digunakan, apakah
membuktikan sumber yang didapat asli atau tidak. Sedangkan ktirik internal
ditujukan terhadap isi dari sumber sejarah. Apakah isi dari sumber yang dipakai
76 Suhartono W. Pranoto, Teori dan Metodologi Sejarah, Yogyakarta, Graha Ilmu,2010, hlm.35. 77 Ibid.,hlm. 103.
dapat dipercaya atau tidak. Untuk itu yang harus dilakukan adalah dengan
membandingkan kesaksian antar berbagai sumber. Sumber yang digunakan dalam
penulisan ini adalah buku-buku yang membahas tentang gerakan Samin dan
ajaran yang dihasilkannya. Teknik yang dilakukan peneliti adalah studi teks yang
didukung dengan studi pustaka. Sehingga data yang dipergunakan dalam
penulisan adalah berupa sumber tertulis. Sumber tertulis yang digunakan adalah
tulisan dari para peneliti lain yang juga pernah meneliti tentang gerakan Samin di
Blora. Selain sebagai sumber penulisan, teks tersebut juga untuk membandingkan
penelitian terkait gerakan Samin yang telah ada sebelumnya, dengan penelitian
yang akan dilakukan ini. Selain itu, penulisan ini juga menggunakan majalah yang
pernah memuat tulisan terkait gerakan Samin. Data yang diperoleh dibandingkan
dengan data lain yang berkaitan dengan topik dalam penelitian ini.
4. Interpretasi
Interpretasi data juga sering disebut penafsiran data. Interpretasi data harus
berdasarkan argumen yang memiliki landasan yang relevan. Terdapat dua macam
interpretasi yaitu analisis (menguraikan) dan sintesis (menyatukan). Fakta-fakta
yang diperoleh melalui sumber kemudian diinterpretasikan menjadi rangkaian
peristiwa yang dapat diuji kebenarannya. Dengan demikian interpretasi data
menjadi kuat karena berdasarkan data yang relevan.
Pendekatan sosial-ekonomi dipakai dalam memahami Gerakan Samin dan
pengikutnya serta dampaknya bagi masyarakat sekitar. Pendekatan
ekonomi negara jajahan. Dari permasalahan ekonomi tersebut kemudian ditarik ke
dalam permasalahan sosi