• Tidak ada hasil yang ditemukan

RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

RISALAH RAPAT PANITIA KERJA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG

PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

JENIS RAPAT : PANJA XII TANGGAL: 20 JULI 2011

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA

(2)

RISALAH RAPAT PANITIA KERJA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG

PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Masa Persidangan

Tahun Sidang Sifat

Jenis Rapat Hari / Tanggal Waktu Tempat Ketua Rapat Sekretaris Rapat Acara

Hadir

: : : : : : :

: : :

: IV

2010-2011 Terbuka

Panja dengan Dirjen Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia RI

Rabu, 20 Juli 2011

Pukul 16.00 WIB s.d. 23.07 WIB Ruang Rapat Pansus B

Gedung Nusantara II, Lantai 3 DR. H. DEDING ISHAK, S.H., M.H.

ENDANG SURYASTUTI, S.H., M.Si.

Membahas Materi Panja

A. Pimpinan Panja RUU tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan :

1. SUTJIPTO, S.H., M.Kn.

2. Dr. H. DEDING ISHAK, S.H., M.H.

3. H. RAHADI ZAKARIA, S.Ip., M.H.

B. Anggota Panja RUU tentang PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :

Fraksi Partai Demokrat:

4. IGNATIUS MULYONO Fraksi Partai Golongan Karya:

5. NURUL ARIFIN, S.IP., M.Si.

6. Drs. TAUFIQ HIDAYAT, M.Si.

7. H. ANDI RIO IDRIS PADJALANGI, S.H., M.Kn.

Fraksi Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia:

8. ARIF WIBOWO

Fraksi Partai Keadilan Sejahtera:

-

Fraksi Partai Amanat Nasional:

9. Drs. RUSLI RIDWAN, M.Si.

Fraksi Partai Persatuan Pembangunan:

10. H. MUHAMMAD ARWANI THOMAFI

(3)

aksi Partai Kebangkitan Bangsa :

1. RINDOKO DAHONO WINGIT, S.H., M.Hum.

aksi Partai Hati Nurani Rakyat:

-

Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia RI beserta jajaran

Fr -

Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya:

1 Fr

C. Undangan

- Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan

ALANNYA RAPAT:

J

ETUA RAPAT (Dr. H. DEDING ISHAK, S.H., M.H./F-PG):

K

ssalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

A

Selamat sore,

alam sejahtera bagi kita semua, S

Yang yang terhormat Saudara Pimpinan dan anggota Panja,

Saudara Direktur Jenderal Peraturan perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM beserta jajaran,

adirin yang berbahagia, H

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas perkenannya kepada kita semua sehingga kita dapat menghadiri rapat Panja pada sore ini.

Sesuai dengan laporan Sekretariat, Rapat Panja ini telah dihadiri oleh 9 orang dari 19 anggota Panja, oleh karena itu perkenankan kami membuka rapat ini karena sudah memenuhi kourum. Rapat kami

uka dan dinyatakan tertutup.

b

(RAPAT DIBUKA PADA PUKUL 16.00 WIB)

Pertama-tama kami ucapkan terima kasih kepada Saudara Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan yang telah hadir dalam rapat Panja pada sore ini, juga kepada Pimpinan dan anggota Panja. Sebelum kami melanjutkan rapat kami menawarkan acara rapat pada sore ini sebagai berikut:

1. Pengantar Ketua Rapat yang telah kami sampaikan,

2. Laporan Ketua Tim Perumus/Tim Sinkronisasi yang telah menyelesaikan tugasnya dengan baik dan hadir di sini salah seorang Ketua. Jadi Tim Perumus dan Timsin, tim gabungan, disetgabkan antara Pak Rahadi dengan Pak Soenman ini.

3. Pembahasan Timsin/Timus yang diserahkan kepada Panja. Jadi beberapa substansi yang oleh Timus dan Timsin untuk dibawa ke rapat Panja pada sore ini.

diusulkan 4. enutup. P

Insya Allah kalau tidak ada hal-hal yang lain dapat kita rancang sampai pukul 18.00 WIB, namun apabila masih ada hal yang perlu didiskusikan dapat diperpanjang sesuai dengan kesepakatan. Hanya untuk catatan saja bahwa nanti akan dilanjutkan dengan Raker Pansus bersama Menteri Hukum dan HAM.

Apakah bisa disetu jui agenda rapat?

etuju ya.

S

(RAPAT : SETUJU)

(4)

Baik.

Perlu kami sampaikan bahwa pada Panja tanggal 28 Juni 2011 yang lalu, Panja telah menyelesaikan pembahasan DIM RUU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan telah membentuk Tim Perumus, Timsin dengan 13 orang anggota termasuk Pimpinan dengan Ketua Timus Bapak Rahadi Zakaria bersama Bapak Soenmandjaja. Panja memberikan tugas kepada Tim Perumus dan Timsin untuk merumuskan dan mensinkronisasikan hasil-hasil keputusan Rapat Kerja dan Rapat Panja.

Pada sore hari ini Tim Perumus dan Timsin telah melaksanakan tugasnya termasuk menyelesaikan dua lampiran yang cukup penting begitu. Alhamdulillah sudah diselesaikan. Kami berharap kita dapat menyepakati hasil kerja Tim Perumus dan Timsin, dan apabila masih ada materi krusial yang belum terselesaikan dalam Tim Perumus dan Timsin kita dapat menyelesaikan pada Rapat Panja sore ini.

Untuk itu kami persilakan Pimpinan/Ketua Tim Perumus/Timsin, Bapak Soenmandjaja untuk menyampaikan informasi dan laporannya. Silakan.

KETUA TIMSIN (H. T.B. SOENMANDJAJA SD./F-PKS):

Terima kasih Pak Ketua Panja.

Assalamu'alaiku Warahmatullahi Wabarakatuh.

Selamat sore, dan Salam sejahtera,

Para Pimpinan dan anggota Panja yang terhormat, dan

Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Bapak Dirjen beserta jajaran,

Pada kesempatan ini kami akan membacakan Laporan Tim Perumus Rancangan Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, tanggal 20 Juli 2011.

Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamu'alaiku Warahmatullahi Wabarakatuh.

Saudara Dirjen Peraturan perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM beserta jajaran, Yang terhormat Pimpinan dan anggota Panja RUU tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, serta

Hadirin sekalian yang berbahagia,

Sebelum kami menyampaikan laporan hasil pembahasan Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi RUU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kami mengajak untuk senantiasa memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat, taufik dan hidayah-Nya kita dapat menyelesaikan pembahasan Timus/Timsin RUU tersebut yang akan kami laporkan hasilnya para Rapat Panja pada sore hari ini.

Hadirin yang berbahagia,

Sesuai dengan keputusan Rapat Panja RUU tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan pada tanggal 28 Juni 2011 telah diputuskan pembentukan Timus/Timsin RUU tersebut yang ditugaskan untuk merumuskan seluruh keputusan baik dalam Rapat Kerja maupun Rapat Panja atas 365 DIM yang telah disusun oleh Pemerintah, sekaligus melakukan sinkronisasinya.

Selama menjalankan tugasnya Timus/Timsin telah melakukan serangkaian rapat-rapat yang

dilakukan secara intensif bersama dengan Pemerintah dan cukup menyita waktu mengingat materi yang

harus diselesaikan Timus/Timsin tidak hanya draft RUU dan penjelasannya saja, melainkan termasuk

lampiran RUU, disamping terdapat beberapa perbedaan pandangan terkait dengan substansi terkandung

di dalam RUU ini. Meskipun demikian, kerja keras ke depan oleh Timus/Timsin RUU tersebut yang

(5)

Materi yang masih pending dan belum diputuskan oleh Panja sebagai berikut:

1. Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 Angka 1, pada angka 1 masih terdapat dua opsi rumusan yaitu:

Alternatif 1:

1. pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan perundang- undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan.

Alternatif 2:

1. pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan perundang- undangan yang pada dasarnya mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan.

2. Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 11 terdapat penambahan substansi baru terkait dengan Naskah Akademisnya itu. Naskah Akademis adalah hasil, maaf saya ulangi, 11. Naskah Akademis adalah naskah hasil penelitian atau pengajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu rancangan undang-undang, rancangan peraturan daerah provinsi atau rancangan peraturan daerah kabupaten/kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.

3. Rumusan Pasal 9 terkait dengan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 masih terdapat perbedaan pendapat yaitu:

Alternatif 1:

Pasal 9 ayat (1), dalam hal suatu undang-undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.

Ayat (2) dalam suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang diduga bertentangan dengan undang-undang pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Alternatif 2:

Pasal 9 ayat 1, pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.

Ayat (2), pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang- undang dilakukan oleh Mahkamah Agung.

4. Penambahan substansi baru berkait dengan tindak lanjut keputusan Mahkamah Agung yaitu Pasal 10A.

Alternatif 1, Pasal 10A, tindak lanjut atas Putusan Mahkamah Konsitusi sebagaimana dimaksud Pasal 10 huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden.

Ayat (2), ketentuan mengenai pengajuan mengenai rancangan undang-undang sebagai tindak lanjut atas Putusan Mahkamah Konstitusi diatur dalam peraturan presiden.

Alternatif 2, Pasal 10A, tindak lanjut atas Putusan Mahkamah Konstitusi dilakukan oleh Presiden atau DPR dengan mengajukan rancangan undang-undang.

Ayat (2), tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memedomani untuk tidak terjadinya kekosongan hukum.

Ayat (3), pengajuan rancangan undang-undang oleh Presiden diatur lebih lanjut dengan peraturan presiden.

Ayat (4), pengajuan rancangan undang-undang oleh DPR diatur lebih lanjut dengan peraturan DPR.

Seandainya rumusan Pasal 10A ini disetujui maka akan menambah jumlah pasal tentunya.

5. Kententuan Pasal 15 mengenai ketentuan pidana masih terdapat perbedaan apakah peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau Perppu dapat mencantumkan ketentuan pidana sebagaimana undang-undang, karena di dalam Pasal 7 ayat (1) draft RUU disebutkan bahwa Perppu adalah sejajar dengan undang-undang.

Selain permasalah dari draft RUU terdapat pula perbedaan pendapat pada draft penjelasan RUU

sebagai berikut:

(6)

1. Penjelasan Pasal 2 mengenai definisi sumber hukum negara terdapat tiga alternatif rumusan.

Alternatif 1, yang dimaksud dengan sumber hukum negara adalah kedudukan Pancasila sebagai citra hukum atau rei ide(?) dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Alternatif 2, penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Alternatif 3, penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea ke-4, Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijakasanaan dalam permusyaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai- nilai yang terkandung di dalam Pancasila.

2. Penjelasan Pasal 3 ayat (1) tentang definisi hukum dasar terdapat tiga alternatif:

Alternatif 1, ayat (1), yang dimaksud dengan hukum dasar adalah norma dasar bagi pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Alternatif 2, ayat (1), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat hukum dasar negara merupakan sumber hukum bagi pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Alternatif 3, ayat (1), yang dimaksud hukum dasar adalah norma dasar bagi pembentukan peraturan perundang-undangan yang merupakan sumber hukum bagi pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Penjelasan Pasal 12 mengenai menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya terdapat dua alternatif yaitu:

Alternatif 1, yang dimaksud dengan menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya adalah penetapan peraturan pemerintah dilakukan berdasarkan pendelegasian dari undang- undang yang bersangkutan atau tidak berdasarkan perintah secara tegas sepanjang diperlukan untuk menjalankan undang-undang yang bersangkutan.

Alternatif 2, yang dimaksud dengan menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya adalah penetapan peraturan pemerintah dilakukan berdasarkan pendelegasian dari undang- undang yang bersangkutan dan tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam undang-undang yang bersangkutan.

Hadirin yang kami muliakan,

Demikian hal-hal yang kami laporkan, kiranya persoalan-persoalan tersebut dapat diambil keputusannya dalam Rapat Panja ini sehingga pada Rapat Kerja nanti malam, Insya Allah, dapat kita ambil keputusan akhir pembahasan Tingkat I RUU ini.

Sebelum kami akhiri laporan ini kami ucapkan terima kasih kepada seluruh anggota Timus/Timsin dan Pemerintah serta Tim Pendukung yang telah memberikan kontribusi, waktu dan pikiran dalam melakukan pembahasan yang melelahkan hingga terselesaikan tugas Timus/Timsin ini.

Kami juga mohon maaf apabila dalam penyelenggaraan kegiatan Timus/Timsin ini ada hal-hal yang kurang pada tempatnya, serta kekurangan dan ketidaksempurnaan.

Terima kasih.

Wabillahitaufik walhidayah,

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

(7)

Tim Perumus/Tim Sinkronisasi RUU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Ketua

Soenmandjaja/A-70 Demikian,

Yang terhormat Bapak Ketua Panja, dan Ibu/Bapak Hadirin Sekalian yang terhormat,

Pembacaan Laporan Tim Perumus sudah kami sampaikan.

Terima kasih.

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

KETUA RAPAT:

Terima kasih.

Kita sampaikan kepada Ketua beserta anggota Timsin/Timus beserta Pak Dirjen dan jajaran Pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM yang telah berhasil menyelesaikan substansi- substansi termasuk yang diusulkan dan perbaikan/penyempurnaan redaksional serta sinkronisasi pasal dan penjelasan.

Selanjutnya, kita akan mengambil keputusan terhadap lima norma yang diusulkan oleh Timsin ke Panja ini, yang tiga itu berkaitan dengan penjelasan. Begitu, kalau tidak salah ya.

Baik, kita mulai dari rumusan Pasal 1, angka, 1 Bab I Ketentuan Umum, dalam draft RUU ini, ini sudah semua, Bapak-bapak dan Pak Dirjen beserta Ibu, juga sudah menerima draft yang dihasilkan oleh Timus untuk kita ambil keputusan pada sore ini. Pasal 1 apakah masih tetap alternatif yang pertama begitu sebagaimana usul dari DPR atau rumusan alternatif yang disampaikan oleh Timus dan Timsin ini ya.

Kami persilakan langsung saja dari Pak Mulyono barangkali, dari Demokrat.

F-PD (IGNATIUS MULYONO):

Barangkali Pemerintah saja dulu karena yang mengusulkan tambah yang “pada dasarnya”

Pemerintah.

KETUA RAPAT:

Oke. Baik. Silakan Pemerintah.

DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI:

Terima kasih.

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Selamat sore,

Salam sejahtera untuk kita semua,

Yang terhormat Pimpinan dan anggota yang kami hormati, Bapak/Ibu dari jajaran Pemerintah,

Memang usul Pasal 1 angka 1 ini mencakup atau terkait dengan kata “pada dasarnya”, yang

lainnya sama, jadi kalau yang di rancangan yang mencakup, kalau ini yang pada dasarnya, setelah itu

sama. Sama halnya yang pernah kita kaji, kita sampaikan, memang ini untuk supaya dalam

pemahamannya bahwa tahapan dan cakupan ini tidak harus seluruhnya dilalui dengan perencanaan,

penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, tetapi juga ada jenis atau hirarki perundang-

undangan yang tidak dibentuk atau dibuat dengan tahapan-tahapan itu, ya seperti rancangan peraturan

(8)

perundang-undangan yang tidak diatur di dalam rancangan ini, termasuk juga pembahasannya tidak tercakup yang diatur di dalam rancangan undang-undang ini, sehingga untuk menghindarkan jangan nanti menjadi mengikat harus dilakukan dengan cakupan tahapan itu. Dan kedua tidak adanya materi yang diatur di dalam ini seperti rancangan peraturan pemerintah, rancangan peraturan presiden dan di bawahnya itu tidak ada pengaturan bagaimana pembahasannya di dalam rancangan ini. Oleh sebab itu, kalau dengan ada “pada dasarnya” ya ini artinya hal itu memang perlu dan sedapatnya dilakukan tetapi apabila tidak dilakukan dengan tahapan itu atau bahasan atau substansinya tidak ada di sini, maka tidak menyalahi dari definisi ini.

Itu saya kira yang pernah kami sampaikan untuk itu. Terima kasih.

KETUA RAPAT:

Jadi penjelasan dari Pemerintah cukup jelas kalau menurut saya, jadi ada maksud bahwa ini ada semacam katup pengaman, fleksibilitas ya gitu, jadi “pada dasarnya”, ada ikhtiar untuk mencapai, tetapi kalau ini tidak, tidak menjadi pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan. Jadi kalau fraksi-fraksi bisa setuju bisa kita putuskan atau ada yang berbeda pandangan?

Silakan.

KETUA TIMSIN (H. T.B. SOENMANDJAJA SD./F-PKS):

Terima kasih Ketua dan terima kasih Pemerintah.

Memang mengenai alternatif ini cukup mendalam pembahasan, Pemerintah mempunyai alasan mengapa harus mencantumkan kata “pada dasarnya”, karena ketika ada peraturan perundang-undangan yang tidak menempuh ketentuan pendefinisian ini maka tidak dikatakan sebagai penyeludupan hukum itu, Pak, ya atau kesalahan atau istilah lainnya cacat hukum, terima kasih.

Sedangkan pandangan sebagian anggota pada waktu itu, apabila ada kata “pada dasarnya”

dicantumkan di situ, frase itu, maka dikhawatirkan sehingga definisi tidak tercapai, rangkaian yang mesti ditempuh kemudian bisa diabaikan, karena kata “pada dasarnya” itu tidak begitu memberikan kepastian dan ketegasan. Oleh karena itu supaya ada kepastian dalam definisi ini ada tawaran pada waktu itu supaya untuk peraturan-peraturan tertentu yang memang tidak bisa memenuhi ketentuan ini maka pada pasal yang berkenaan itu disebutkan, misalnya Perppu, Perppu itu tidak mungkin bisa memenuhi ketentuan ini misalnya, karena dia subjektif Presiden, Pemerintah dalam hal ini dan menghadapi kegentingan yang sangat memaksa begitu. Nah, mungkin untuk Perppu disebutkan ya menyimpang dari ketentuan ini. Demikian juga dengan peraturan presiden misalnya disebutkan begitu. Jadi ini sehingga pengecualiaan itu mempunyai makna begitu. Kalau tidak berarti definisi ini jadi tidak mengikat.

Demikian, Pak Ketua, yang ingin kami sampaikan. Sekali lagi ini belum dalam putaran fraksi ya, cuman ingin menyampaikan mengapa ini ada dua hal gitu.

Terima kasih.

KETUA RAPAT:

Baik.

Tetapi, mohon maaf sebelum ke yang lain, Pak Soenman, ada berkembang tidak pemikiran untuk juga memasukan tadi yang pengecualian, apakah dalam rumusan umum ini pengecualian Perppu dan Perpres ini atau pada norma dan penjelasan.

Terima kasih.

KETUA TIMSIN (H. T.B. SOENMANDJAJA SD./F-PKS):

Terima kasih Ketua.

Jadi waktu itu yang mencuat adalah pengecualian pada pasal yang berkenaan dengan peraturan tersebut, misalnya pasal tentang peraturan pemerintah pengganti undang-undang, di situ disebutkan ya bahwa di dalam penyusunan Perppu ini menyimpang dari ketentuan Pasal 1 angka 11 seperti itu, tetapi memang ini berkaitan dengan Legal Drafting itu ya bagaimana semestinya.

Sekali lagi ini, Bapak yang terhormat, jadi ketika ada ketentuan yang harus menyimpang begitu,

(9)

puncaknya, dari hulunya sudah dikatakan pada dasarnya sudah tidak lagi ikatan-ikatan yang mengharuskan peraturan perundang-undangan ditempuh sebagaimana mestinya. Itu yang berkembang.

Tetapi, mohon maaf, Timus dan Timsin waktu itu tidak sempat bersama Pemerintah menyepakati, menerbitkan rancangan rumusan itu. Pemerintah, demikian, Pak, ya? Jadi inilah kita bawa dulu hulunya nanti baru disusun di sini kalau ada perubahan-perubahan yang berkenaan dengan Pasal 1 angka 11 ini.

Demikian.

Eh Pasal 1 angka 1, maaf.

KETUA RAPAT:

Sebelum ke yang lain kebetulan Pak Ketua Pansus juga mengikuti perkembangan setelah Pak Soenman, oleh karena kami persilahkan. Pak Sutjipto silakan.

KETUA PANSUS (SUTJIPTO, S.H., M.Kn./F-PD):

Terima kasih Ketua Panja, Yang saya hormati Pak Dirjen, dan Para anggota Panja,

Pada saat itu sebenarnya kita sudah hampir mengerucut ya, memang cukup lama, tetapi karena memang ini substansinya Panja sehingga memang Timus membawa ke Panja, tetapi kalau tidak salah mudah-mudahan Pak Dirjen juga masih ingat, tadi kan dijelaskan pak Soenman bahwa di pasal-pasal nanti sudah ada, nanti bahwa kalau Perppu itu tidak pakai perencanaan segala macam ada. Tetapi kalau tidak salah jalan keluarnya waktu itu ada usulan dari Pemerintah bahwa dimasukan dalam penjelasan, jadi disatu pihak di dalam Pasal 1 ayat (1) ini “pada dasarnya” dihilangkan, karena jangan sampai bahwa norma yang ada itu lebih mudah disimpangi karena memang seolah-olah itu bukan norma yang mutlak gitu. Oleh karena itulah di dalam penjelasan di halaman 3 itu sudah ada di sini, jadi tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan penetapan serta pengundangan merupakan langkah-langkah yang pada dasarnya. Jadi sebenarnya sudah diakomodir di penjelasan umum gitu, tetapi norma itu tetap supaya berbunyi seperti aslinya. Jadi Oleh karena itu, kalau Pemerintah bersedia yang kita suah hampir mengerucut tetapi tidak bisa di Timus itu sebenarnya masalah ini sudah clear.

Itu, Pimpinan, terima kasih.

Ini halaman 3 di penjelasan itu sudah ada kata dasar dan kita sudah setujui. Di halaman 3 penjelasan.

KETUA RAPAT:

Baik. Atau Bapak?

F-PD (IGNATIUS MULYONO):

Terima kasih.

Singkat saja, karena makin kita cepat makin bagus kan, ikan sepat ikan gabus. Karena ini merupakan ketentuan umum yang yang pada dasarnya sebenarnya muatannya harus muatan yang nafasnya itu definisi. Maka sebetulnya kita jarang menemukan suatu definisi yang menggunakan kata

“pada dasarnya”, itu dari berbagai yang pernah kami ikuti, itu kita untuk ketentuan umum kita tidak menggunakan kata itu, sehingga saya menyarankan justru harus lebih tegas lagi. Contohnya, malah kata

“yang” pertama itu kalau perlu pun dibuang, pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan perundang-undangan mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan. Kata “yang” di sini itu, ini biasanya yang menyusun orang Jawa, jadi napas-napas kaulo Solo masuk di sini. Jadi kalau mau main tegas adalah begitu, pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan perundang-undangan mencakup tahapan perencanaan, penyusunan pembahasan, itu tegas jadi.

Itu saja, Pak. Ini supaya kalau ada suatu pengecualian-pengecualian dia di pasal yang bersangkutan jangan di sini.

Terima kasih Pak. Ikan sepat ikat gabus.

(10)

KETUA RAPAT:

Terima kasih Pak Mulyono.

Dari Pak Sutjipto dan Pak Mulyono saya pikir kita memberikan gambaran yang jelas bahwa sebetulnya solusi yuridisnya ini tidak di ketentuan umum, tetapi di penjelasan, tadi sudah disampaikan oleh Pak Tjipto di penjelasan halaman 3 ya, penjelasan umum, itu sudah terakomodir, pengecualian ya, alinea ke-2, paragraph ke-2 ya.

Oh, Ibu Nurul juga sudah ada dengan Pak ini.

Jadi begitu, Pak Dirjen. Jadi kita bisa menyepakati Pasal 1 angka 1 itu seperti rumusan asal begitu, bahkan Pak Mul ini kata-kata “yang” dihilangkan. Ini saya tanya ahli bahasa ya. Jadi sebetulnya kalau dihilangkan juga tidak mengurangi makna. Kan arti begitu ya, Pak Arif, mempertegas saja. Tetapi kalau “yang” juga tidak masalah cuma mubazir, jadi over body.

Baik, Pak Dirjen, bagaimana?

DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI:

Ya, sebelum diputuskan, dan memang sudah lama kita dalami, kita bercita-cita memang RUU ini pertama sebagai modul dan model, bahkan modal. Ya artinya modul ini petunjuk, model yang akan diikuti, dilihat, khawatir nanti tadi ditanya orang …(tidak dilanjutkan)…, jadi begitu, Pak, jadi ingin menjadi modul, ini betul modul, jadi model sehingga dicontoh, nah kami khawatir nanti, ini sekedar catatan tetapi kami serahkan mungkin juga kami kemarin sudah kita coba dialternatifkan di penjelasan umum ya di alinea yang sebelum terakhir itu. Maksudnya tadi memang kalau ketika kita menjelaskan modul ini lalu ada orang yang tanya kok ada yang tidak memenuhi ketentuan itu sedangkan di sini normanya langsung mencakup. Yang kedua memang kalau di setiap peraturan perundang-undangan itu dibuat pengeculian itu akan memang rumit, karena di Pasal itu jenis peraturan perundang-undangan, termasuk apa yang ditetapkan MPR, DPR, DPD, MA, MK, KY, BI, menteri atau lembaga yang setingkat, bahkan peraturan kepala desa. Nah, ini tentu jadi untuk pertanggungjawaban seperti itu ketika kita menjelaskan ini kok peraturan-peraturan yang ada di Pasal 8 kita sebutkan tadi tidak memakai perencanaan lalu apakah ini menyimpang atau tidak. Nah, itu saja tadi catatan kita.

Tetapi andaikata ini memang ini ya tadi ditampung di penjelasan, meskipun memang tidak in line ya. Penjelasan umum itu in line, tetapi untuk nanti kalau ditanya mengapa peraturan perundang-undangan di Pasal 8 itu tidak memakai tahapan-tahapan itu dan mengapa pengaturan mengenai pembahasannya tidak dimuat di sini ya paling kita berkilahnya dengan alinea ini, meskipun alinea ini tidak in line ya, karena kita tegakan itu, ya itu saja, selebihnya ya kami serahkan kepada kita semua untuk mungkin untuk kelancaran jalannya penyelesaian rancangan undang-undang ini.

Terima kasih Pak. Itu saja.

KETUA RAPAT:

Jadi Pemerintah pada prinsipnya setuju dengan penjelasan umum tetapi di sebelah saya Ketua Timsin mengingatkan saya begitu, karena ini berkaitan dengan pengaturan norma ya, jadi soal Perppu ini, apakah itu bisa menjawab, compatible tidak, begitu ya? Sebetulnya kan itu faktanya ada itu, Perppu, Perpres itu ada dan sebagainya yang tidak mengikuti tahapan sebagaimana pembentukan peraturan perundang-undangan. Nah, itu harus di norma juga begitu. Jadi ini juga ada pemikiran ini. Sebelum kita putuskan karena undang-undang ini akan menjadi model, modul, modal dan titik itu saja, maka saya pikir ini dibuka dulu lah barangkali ada pemikiran. Silakan. Sekarang Pak Arif barangkali, kemudian nanti Pak Rindhoko. Silakan Pak Arif, kemudian Pak Rusli, Pak Rindhoko.

F-PDIP (ARIF WIBOWO):

Terima kasih Pimpinan.

Yang disampaikan Pemerintah saya kira logic, dan karena kita sudah memahami benar bahwa

pembentukan yang disebut peraturan perundang-undangan itu tidak sekedar undang-undang tetapi ada

yang lain misalnya yang belum disebut soal keputusan MK yang memang harus ditindaklanjuti dengan

(11)

menggunakan rumusan DPR, rumusan kita, itu memang tegas tetapi itu tadi memang ada kekhawatiran seperti yang disampaikan Pemerintah kalau kemudian misalnya soal Perpres, Kepres, tiba-tiba ada warga masyarakat yang menggugat ke MK, kemudian MK membatalkan untuk sebagian dan karenanya terjadi kekosongan hukum maka harus ditindaklanjuti dengan undang-undang itu kan di luar perencanaan, di luar tahap-tahap yang semestinya. Saya kira itu yang mesti diatur atau di dalam pasal-pasal mengatur mengenai soal putusan MK misalnya tentang peraturan perundang-undangan yang lain Perpres, PP, dan sebagainya yang dibolehkan itu harus ada ini. Atau ditambahkan lagi satu ayat barangkali yang menyatakan tentang pengecualian jika ada yang seperti itu. Tetapi pada dasarnya kan kita ingin tertib gitu.

Nah, tetapi ini juga konsekwensinya, Pak, karena tadi mencakup nanti kalau kita mau seperti rumusan DPR maka pada aspek teknis sosialisasi kepada publik, kepada masyarakat memang harus intensif ini supaya tidak menimbulkan tafsir-tafsir yang berbeda seperti yang tidak dimengerti oleh masyarakat karena kalau pengertiannya sebagaimana pada rumusan DPR maka memang pengertian yang definitif, yang denotatif, yang pasti, apabila ditemukan ada penyusunan peraturan perundang-undangan di luar ketentuan ini maka orang akan bertanya paling tidak akan menyatakan loh itu tidak ada angin, tidak ada Pemda misalnya atau desa atau tiba-tiba Presiden mengeluarkan peraturan presiden dan sebagainya-dan sebagainya bisa menjadi problem hukum setidaknya menimbulkan pro kontra terhadap soal itu.

Nah, saya substansinya sebenarnya cenderung seperti yang disampaikan oleh Pak Soenman tetapi menurut saya kok tidak bisa dilekatkan pada pasal-pasal yang mengatur tentang beberapa hal yang dicontohkan, menurut saya ditambahkan saja satu ayat begitu yang mengatur tentang pengecualian.

Terima kasih.

KETUA RAPAT:

Baik, silakan Pak Rindhoko.

F-P. GERINDRA (RINDOKO DAHONO WINGIT, S.H., M.Hum.):

Terima kasih Ketua.

Jadi prinsip kami menggarisbawahi dari Pak Mulyono, suhu Baleg sekaligus Ketua, bahwa undang-undang ini mestinya, tahapan ini mestinya harus tegas supaya tidak memberikan peluang untuk bermain-main pada tahapan-tahapan ini. Tetapi mestinya nanti ada ruang-ruang tertentu yang berkaitan, misalnya dalam Pasal 1 ini kita tidak bicara tentang undang-undang, tetapi kita bicara peraturan perundang-undangan yang itu seperti kita ketahui dalam tata urutannya mencakup mulai dari undang- undang dan seterusnya sampai peraturan daerah kalau tidak salah. Sehingga tidak semuanya melalui tahapan-tahapan seperti yang dimaksud di dalam Pasal 1 angka 1 ini. Makanya kami mengusulkan bahwa untuk Pasal 1 angka 1 ini mestinya diberikan strike(?) begitu, batasan yang sangat tegas sehingga yang kita bicarakan di sini pembentukan peraturan perundang-undangan dan itu ruang-ruang juga diberikan dalam kerangka ruang peraturan perundang-undangan, tidak memberikan kesempatan kepada yang lain.

Kami lebih sependapat kalau Pasal 1 angka 1 menggunakan alternatif rumusan karena yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan mencakup beberapa hal.

Saya kira demikian, Pimpinan. Terima kasih.

KETUA RAPAT:

Yang “pada dasarnya”? Dengan Pak Mul ya? Jadi yang satu DPR ya? Oke, baik.

Pak Rusli.

KETUA TIMSIN (H. T.B. SOENMANDJAJA SD./F-PKS):

Pak Ketua,

Mohon izin sebelum ke Pak Rusli.

Jadi Bapak sekalian, ini mengingatkan khawatir ada pandangan bahwa rumusan ini hasil

Timus/Timsin tidak, jadi rumusan ini sudah disahkan dalam rapat kerja pada tanggal 23 Februari 2011

begitu, hanya di Timus/Timsin kemarin Pemerintah mengajukan, nah acuannya kita bawa ke sini. Dan

Panja juga sesungguhnya karena ini putusan Raker itu di sana di Timus dok-nya begitu, Pak, etikanya

(12)

begitu, tetapi ini kan kesepakatan kita lah kira-kira. Jadi maksud saya supaya jangan ada bayangan bahwa itu dikerjakan di Timus/Timsin, bukan, Pak, sudah dok di Raker kemarin.

Terima kasih Bapak.

KETUA RAPAT:

Silakan Pak Rusli. Ini tinggal persetujuan kan ini.

F-PAN (Drs. H. RUSLI RIDWAN, M.Si):

Terima kasih.

Saya sependapat dengan rumusan yang awal, karena ini adalah sebuah definisi memang harus mutlak harus dipenuhi, memang muncul kita maklumi apa yang disampaikan oleh Pemerintah itu ada ya semuanya bisa memenuhi, jadi harus ada pengeculian. Tetapi saya pikir ini sudah diwadahi di penjelasan, tadi sudah disampaikan di halaman 3, saya pikir ini sudah cukup memadainya di dalam penjelasannya.

Terima kasih.

KETUA RAPAT:

Terima kasih Pak Rusli.

Pak Taufiq.

F-PG (Drs. TAUFIQ HIDAYAT, M.Si):

Terima kasih Pimpinan.

Sependapat dengan beberapa fraksi yang lain saya kira ya untuk ketentuan umum rumusan Pasal 1 angka 1 itu pada draft awal di DPR. Kenapa? Ketegasan di dalam definisi di dalam ketentuan umum ini paling tidak ini akan mengurangi kemungkinan penyimpangan-penyimpangan, penafsiran-penafisiran yang dalam implementasinya juga akan bisa semakin jauh dari proses demokratis di dalam pembuatan sebuah undang-undang.

Kami mengerti bahwa ada saja dalam proses pembuatan itu yang atas kondisi tertentu yang tidak bisa menepati 100% dari cakupan dari proses pembuatan undang-undang itu. Dan menurut hemat saya, perundang-undangan yang diatur oleh undang-undang ini dalam konteks apapun menurut hemat kami perlu dilakukan melalui proses yang demokratif melalui tahapan-tahapan yang ada baik itu Perppu sekalipun. Ini juga untuk menghindari bahwa subjektivitas Presiden itu tanpa pengujian internal ini akan berbahaya. Pengujian internal maksud kami adalah bisa saja katakanlah tim hukum kepresidenan misalnya itu secara sepihak merumuskan draft ini tanpa melibatkan misalnya Departeman Teknis atau Departemen Kumham misalnya. Nah, ini harus dihindari proses-proses yang demikian. Sungguhpun itu merupakan subjektivitas Pemerintah atau Presiden, tetapi proses diskursus internal di Pemerintah melalui pengujian- pengujian secara teoritis, secara empiris itu perlu ditempuh sebelum menjadi suatu produk-produk hukum.

Nah, rumusan ini menurut hemat saya bukan menguji tetapi memberikan suatu ketentuan yang pasti bahwa prosedur itu harus demikian. Bahwa ini tentu ada penyimpangan, saya yakin pasti, akan lebih berbahaya lagi kalau rumusannya menggunakan kata sambung “pada dasarnya” maka proses detriorisasinya itu akan semakin lebar dan ini berbahaya menurut saya.

Saya kira itu, Pimpinan.

KETUA RAPAT:

Terima kasih.

Saya pikir sudah sangat jelas dan Pemerintah sendiri juga bisa memahami dan kita secara keseluruhan dari pandanga, oh ini satu lagi Pak Arwani.

F-PPP (H. MUHAMMAD ARWANI THOMAFI):

Terima kasih.

(13)

Pimpinan, Pemerintah dan rekan-rekan Panja yang kami hormati,

Memang sekilas atau kalau kita serius mencerna Pasal 1 ketentuan umum ini ya memang kurang bisa memenuhi azas suatu definisi ya, karena tidak secara total atau penuh bisa mencakup keseluruhan dari istilah peraturan perundang-undangan dimana ada salah satu peraturan perundang-undangan yang tidak bisa memenuhi prinsip ataupun definisi dari pembentukan peraturan perundang-undangan yang dimaksud dalam Pasal 1 ini misalnya Perppu. Namun tadi juga sudah sangat bisa dipahami bahwa ada penjelasan di ketentuan umum ya di halaman 3 ini terutama di paragraph tengah itu tahapan perencanaan dan sebagainya sampai perudang-undangan, namun tahapan tersebut tentu dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan atau kondisi serta jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan tertentu yang pembentukannya tidak diatur dengan undang-undang ini. Artinya penjelasan ini apakah sudah bisa mewakili, bisa menjelaskan maksud dari belum sempurnanya definisi ini, karena di sini justru yang disebut adalah peraturan perundang-undangan tertentu yang pembentukannya tidak diatur dengan undang-undang ini. Kalau Perppu kan pembentukannya diatur, walaupun tadi menafikan perencanaan tadi.

Jadi saya sepakat ya dengan usulan, ya artinya penjelasan ini apakah sudah bisa menjelaskan pasal ini gitu. Pada dasarnya sepakat dengan draft awal ya, tetapi pertanyaan saya seperti tadi, Pimpinan.

Terima kasih.

KETUA RAPAT:

Silakan Pak Rahadi Zakaria.

Terima kasih ya Pak Arwani.

Jadi prinsipnya sudah setuju dengan beberapa catatan, artinya apakah penjelasan ini sudah mampu menjelaskan apa yang menjadi beberapa pertanyaan, dan penjelasan Pak Ketua Pansus tadi sudah bisa mengakomodasi dan Pemerintah juga sudah bisa menerima, Pak, ya? Setuju? Baik saya ketuk ya. Belum.

F-PDIP (ARIF WIBOWO):

Tidak. Begini, initinya saya sependapat, sepakat dengan yang menjadi draft awal dari DPR begitu, tetapi memang beberapa hal itu mesti dipertimbangkan dari Pemerintah, satu misalnya penjelasan ini tidak in line, tidak in line itu artinya tidak secara langsung menjelaskan pasal yang kita pertanyakan tadi. Kan dalam Pasal 1-nya, Bab I, Pasal 1-nya kan cukup jelas, nah sementara bisa ditafsir tidak jelas, begitu, Pak.

Karena itu tadi saya kalau diperbolehkan saya mengusulkan masuk menjadi tambah satu ayat, tetapi kalau tidak di Pasal 1 saya kira mesti dijelaskan dikecualikan untuk yang seperti itu. Ya itu, itu saja, Pak, jadi tidak in line. Jadi bahwa intinya Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 kami berpendapat seperti rumusan DPR tetapi tentu dengan penjelasan yang memadai. Nah, penjelasan yang memadai itu menurut saya harus tersambung langsung yang menjelaskan pasal tersebut.

Ya itu saja, terima kasih.

KETUA TIMSIN (H. T.B. SOENMANDJAJA SD./F-PKS):

Kalau Pasal 1, Pak Ketua, mohon izin, tidak boleh ada penjelasan, tidak lazim ya penjelasan umum.

Mungkin begini, Pak Ketua, mohon izin, Pak. Saya mohon izin. Yang pertama yang saya coba pahami usul dari yang terhormat dari Bapak Arif Wibowo ini adalah mencari kemungkinan merumuskan satu pasal baru begitu. Pasal baru yang memungkinkan peraturan perundang-undangan yang dibentuk tidak berdasarkan proses Pasal 1 angka 1 ini tidak melanggar, begitu kan intinya. Kalau tadi saya mengatakan di pendahuluan itu, saran pertama itu apakah pada setiap peraturan itu diadakan pasal itu, hanya menurut Pemerintah tadi kan itu repot, begitu kan alasannya itu repot. Kemudian kalau kita ke penjelasan umum ya itu penjelasan umum juga karena dia tidak mengikat sama sekali ya, Pak, penjelasan umum itu, jadi kasihan Pemerintah ketika membentuk peraturan tidak berdasarkan Pasal 1 angka 1 ini ajdi salah gitu, karena itu penjelasan umum, karena untuk Pasal 1 tidak pernah ada penjelasan.

Nah, mungkin yang perlu dipertimbangkan usul Pak Arif tadi, Pak Ketua Panja, jadi apakah dimungkinkan mendraft satu pasal baru yang memungkinkan bisa mewadai peraturan perundang- undangan yang tidak mungkin ditempuh dengan cari itu. Mungkin begitu, Pak, ya.

Terima kasih.

(14)

KETUA RAPAT:

Sebelum ke anggota barangkali ke Pemerintah ya. Dari Pemerintah silakan bagaimana tanggapannya terhadap usul substansi norma dari Pak Arif ini ya supaya lebih firm begitu.

DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI:

Ya kalau kami melihat karena sudah cukup lama kita bahas dan kalau di kalangan kita saya kira memahami posisi ini dan tadi solusinya ada di penjelasan umum itu ya memang banyak masalah-masalah yang kita selesaikan model ini selama ini. Karena di ketentuan umum itu di pasal itu tidak boleh ada penjelasan pasal namanya definisi sudah definite, tidak ada penjelasan pasal, maka umumnya selama ini ditempuh ya ada penjelasan itu lalu ditaruhlah di ketentuan penjelasan umum. Tetapi itu tadi, karena ini undang-undang yang modul, model, lalu ada ditanya loh kok bisa begini, kan itu hanya pertanggungjawaban, meskipun kalau ditanya oh ini ada di penjelasan umumnya bahwa kalau ada yang yang tidak menempuh cara-cara itu sudah dijelaskan di penjelasan umum. Hanya memang mungkin timbul pertanyaan loh kok di penjelasan umum penjelasan ini. Artinya ini kan dipertanyakan nanti diikuti lagi begitu di bawah, tetapi kalau sampai sekarang ya memang banyak cara-cara atau model-model yang begini ini, banyak sekali sehingga yang penting ada penjelasannya, karena tidak boleh di penjelasan pasal lalu kita angkat di penjelasan umum tetapi itu tadi karena ini ketentuan undang-undang yang dianggap modul jangan sampai salah modulnya, kalau yang lain ya mungkin bisa kita inikan, tetapi kalau memang ini sudah diini ya kami paham apa yang disampaikan oleh DPR.

Saya kira secara umum itu, Pak, ya.

KETUA RAPAT:

Kan sekarang ini, ini sebetulnya Pemerintah sudah setuju dengan rumusan asal dari DPR definisinya ya. Jadi sudah keputusan Raker kan? Jadi tadi ini kan kita masuk ini karena Pemerintah ada mengusulkan rumusan baru yang “pada dasarnya” itu kan di situ, karena dalam prakteknya ada hal-hal yang escape lah, kira-kira begitu, dibuka ruang itu. Nah, itu ditempatkan di penjelasan umum begitu yang tidak in line katanya dengan apa yang kita maksudkan sehingga Pak Arif tadi mengusulkan dibuat norma baru begitu. Nah ini konkritnya di mana ini, Pak. Kan ini jadi ini. Sebelum kita berbagi pendapat dengan yang lain juga silakan Pak Sutjipto ini, Pak Ketua Pansus ya.

KETUA PANSUS (SUTJIPTO, S.H., M.Kn./F-PD):

Ya saya kira kalau kawan-kawan yang ikut di Timus/Timsin sebenarnya pembahasan dulu sangat mendalam, oleh karena itu solusi yang disampaikan Pemerintah dan Pemerintah sudah setuju, memang tidak secara tegas in line tetapi kata-kata ini kan jelas, jadi tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan penetapan serta pengundangan merupakan langkah-langkah yang pada dasarnya harus ditempuh. Jadi ini jelas pada dasarnya itu mulai perencanaan, penyusunan, pembahasan, sedangkan di pasal-pasal berikutnya itu sudah jelas bagaimana kalau membahas Perppu, bagaimana membahas mengenai rancangan undang-undang dan Perppu itu sudah ada. Sedangkan untuk peraturan perundang-undangan yang tidak masuk hirarkis itu di pasal sudah ada bahwa di situ sesuai dengan kebutuhan, begitu loh. Jadi sebenarnya saya mengerti apa yang disampaikan Pak Arif itu tetapi kalau itu norma, ada satu norma terus padahal norma ini norma dasar yang pada dasarnya tidak boleh disimpangi, justru itulah jangan pada dasarnya harus begini tetapi pada dasarnya tidak bisa disimpangi. Kalau nanti dibuatkan norma baru yang langsung menyimpang jadi seolah-olah yang lainnya lebih banyak boleh disimpangi begitu. Waktu itu perdebatannya begitu. Oleh karena itu, sesuai dengan usulan Pemerintah diakomodir di sini, ini tidak in line pas tetapi sebenarnya yang di kata mendasarnya ya itu tadi perencanaan segala macam ini tahapan-tahapan. Oleh karena itu, biar kita bisa jalan terus usulan Pemerintah dalam Timus, Pemerintah sudah sepakat untuk “pada dasarnya” kita mengertilah pikiran-pikiran Pak Arif, tetapi kita ngerombaknya saya kira tidak gampang. Oleh karena itu, kalau boleh saya usul ini …(tidak jelas)…

bisa disetujui.

Terima kasih.

(15)

KETUA RAPAT:

Terima kasih Pak Ketua.

Ini sebelum Pak Arif ya, di sini di halaman 3 ini, Pak, ini sudah agak jelas ya. Jadi agak jelas. Agak jelas ya, sudah baca juga, Pak, ya? Jadi termasuk peraturan pemerintah, rancangan peraturan presiden atau pembahasan dan sebagainya. Jadi sebetulnya meskipun tidak langsung begitu, tetapi ada penjelasan lah begitu.

F-PDIP (ARIF WIBOWO):

Ya justru begini, maksud saya begini, memahami ini bagi kita saja belum tentu mudah, artinya bagi apalagi masyarakat banyak. Dulu saya ingat betul berdebat mengenai soal Pemilukada ulang yang itu diatur dalam perubahan Undang-undang No. 12 Tahun 2008, tidak ada satu norma pun yang bisa mendesak kepada penyelenggara untuk melakukan Pemilukada, meskipun syarat-syaratnya terpenuhi.

Karena apa? Karena hanya dijelaskan di dalam penjelasan bukan menjadi norma, bukan menjadi norma.

Saya ingat betul itu waktu kita berdebat dengan Pemerintah, dengan Mendagri dijelaskan dan ya karena bukan norma bagaimana? Padahal kan pengertian memahami undang-undang kan sebagai satu kesatuan antara norma dasarnya dan penjelasannya adalah bagian yang tidak terpisahkan, tetapi pandangan hukum yang lain menyatakan harus normanya dong. Penjelasan itu kan sebenarnya hanya dibutuhkan, kalau undang-undang yang paling bagus sebenarnya yang tidak perlu ada penjelasan yang setiap orang membaca pasal-pasal dan ayat-ayat yang tertera di situ bisa memahami secara langsung, tetapi sekali pun begitu tetap dibutuhkan karena memang tidak mudah merumuskan pasal-pasal dan ayat, apalagi itu adalah bagian dari satu pergulatan politik pasti ada miring-miringnya sedikit.

Nah, karena itu maksud saya begini, Pak, saya sepakat bahwa prinsipnya harus seperti apa yang menjadi usulan rumusan dari DPR, tetapi juga harus secara mudah juga bisa menjelaskan mengenai apa yang menjadi keberatan Pemerintah dan menurut saya memang itu hal yang masuk akal begitu, agar nanti tidak menimbulkan problem di kemudian hari, apalagi undang-undang ini menjadi, menurut saya menjadi undang-undang yang sifatnya pokok, yang akan menjadi rujukan bagi undang-undang yang lain ketika kita akan menyusun peraturan perundang-undangan yang lainnya, bahkan undang-undang yang setiap harinya juga menjadi urusan DPR bersama Pemerintah untuk diputuskan.

Saya kembalikan lagi kepada forum kita artinya sepakat, tetapi kalau satu waktu ini dipertanyakan apakah cukup memadai kalau kita hanya menjawab, menjawabnya dengan loh lihat saja di penjelasan itu di halaman 3-nya, itulah yang akan menjelaskan tentang apa yang menjadi kerisauan Pemerintah, dan barangkali akan muncul, Pak, menjadi pertanyaan banyak pihak kelak ketika undang-undang ini dilaksanakan.

Itu, terima kasih.

F-PPP (H. MUHAMMAD ARWANI THOMAFI):

Saya, Pimpinan.

KETUA RAPAT:

Saya menawarkan jadi kita setuju dulu definisi Pasal 1 angka 1, kemudian kita mempertimbangkan ya, itu untuk diendapkan nanti setelah kita akan melanjutkan kepada pasal-pasal lain dan penjelasan yang diusulkan oleh Timus dan Timsin begitu maksud saya. Begitu supaya kita bisa jalan naik juga begitu, Pak Arif, ya. Jadi kita setuju dulu ini dengan mempertimbangkan tadi ini, apakah nanti cukup memadai di penjelasan atau memang kita akan rumuskan norma baru, tempatnya di mana, kan kita akan bahas kembali. Saya rasa begitu, Pak.

Tadi, Pak Arwani silakan.

F-PPP (H. MUHAMMAD ARWANI THOMAFI):

Ya, sepakat untuk agar bisa dipending dulu ya pembahasan atau mungkin finalisasi

kesepakatannya itu. Iya kan?

(16)

KETUA RAPAT:

Bukan. Definisinya disahkan.

F-PD (IGNATIUS MULYONO):

Sudah disetujui, Pak.

KETUA RAPAT:

Sudah disetujui. Disetujui ya. Cuma nanti dari pemikiran Pak Arif ini kita pertimbangkan apakah bisa nanti itu cukup memadai di penjelasan mesti bagaimana kita siapkan atau perlu dibuat norma barulah, kira-kira begitu soal itu ya.

F-PDIP (ARIF WIBOWO):

Ya betul.

Pimpinan,

Saya setuju, diatur di penjelasan umum juga setuju, tetapi di penjelasan umum itu yang perlu dijawab adalah dua problem, tidak hanya yang pertama bahwa problem dari Pasal 1 ini adalah peraturan perundang-undangan, yang pertama peraturan perundang-undangan yang diatur tetapi diatur di dalam undang-undang ini, tetapi tidak sesuai Pasal 1, tidak sempurna, misalnya tidak ada tahap perencanaan itu;

dan yang kedua adalah peraturan perundang-undangan yang sama sekali tidak diatur di dalam undang- undang ini, seperti yang ada di penjelasan. Jadi yang pertama itu belum ada di dalam penjelasan gitu.

Begitu, terima kasih.

KETUA RAPAT:

Tadi ada Pak Mul ini biasanya suka ada jalan keluar.

F-PD (IGNATIUS MULYONO):

Ya. Kalau saya, Pak, ini sudah jelas, kami kira untuk yang draft dari DPR ini sudah bisa kita setujui, soal kalau kita mau membikin klausul baru untuk memberikan pengecualian itu, itu yang susah, kalau itu masuk di definisi. Judulnya mau apa? Itu susah. Paling tinggi yang bisa kita kerjakan itu pada waktu kita membahas pada pasal yang berkaitan tidak memenuhi apa yang termuat di nomor urut satu dari Pasal 1 itu, di situ dikasih penjelasan bahwa perencanaan dan pembahasan tidak dilaksanakan di proses pembuatan ini-ini mengingat ini-ini. Nah, itu, sehingga letaknya di situ, Pak. Jadi tidak perlu anu kan nanti saja kalau memang kita lihat ya.

KETUA RAPAT:

Saya rasa apa yang disampaikan oleh Pak Mulyono ini menjadi solusi dan sekaligus sebagai penjelasan kepada kita semua bahwa pada saatnya kita sudah bisa menyetujui rumusan Pasal 1 angka 1 yang berasal dari DPR, Pak, ya.

Baik.

(RAPAT : SETUJU) Terima kasih.

Selanjutnya rumusan Pasal 1 angka 11, ini menyangkut definsi tentang definisi Naskah Akademis.

Di hadapan Bapak-bapak dan Ibu telah disampaikan.

Kami persilakan Pak Soenman sebagai Ketua Timus dan Timsin.

(17)

KETUA TIMSIN (H. T.B. SOENMANDJAJA SD./F-PKS):

Terima kasih Pak Ketua Panja.

Bapak sekalian dan Pemerintah yang terhormat,

Bahwa rumusan Pasal 1 angka 11 ini dipandang perlu, dipandang penting oleh Rapat Timus dan Timsin kemarin, itu mengingat esensi dari Naskah Akademik itu sendiri, sementara ketentuannya belum ada. Oleh karena itu, pada tanggal 8 Juli itu ada usulan yang pertama disepakati, kemudian yang kedua dirumuskan terakhir pada tanggal 18 Juli 2011.

Demikian, Ketua, jadi karena ada perintah bahwa setiap rancangan undang-undang dan rancangan Perda itu harus menyertakan Naskah Akademik maka tim memandang perlu waktu itu bersama Pemerintah disediakan satu ketentuan tentang Naskah Akademik. Demikian.

KETUA RAPAT:

Demikian penjelasan dari Ketuat Timus dan Timsin kenapa definisi Naskah Akademik ini dirumuskan pada ketentuan umum ini, karena memang kita sudah sepakat pentingnya Naskah Akademik dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan. Secara redaksional barangkali ini sudah dirumuskan ya apakah ini sudah memadai sebagai rumusan definisi-definisi dari Naskah Akademik. Saya persilakan kalau ada tanggapan. Pemerintah bagaimana? Atau yang ini?

Pemerintah dulu ya.

Sudah sepakat Pemerintah, sudah. Ini sebetulnya hasil tim bersama ini antara Timus/Timsin dengan Tim Pemerintah, dan kita tuangkan, kita sampaikan, harus diketok di Panja karena memang forumnya di sana, otoritasnya di sini gitu bukan di Timus begitu. Jadi kalau setuju ya kita ketok, kecuali ada yang tidak setuju, setuju semua ya.

Pemerintah.

DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI:

Setuju isinya, hanya penulisannya ini disinkronkan di lampiran itu juga didefinisikan, jadi rancangan undang-undang, rancangan undang-undang peraturan daerah provinsi itu kan huruf besar. Ya, itu saja. Di lampiran ini begitu, jadi kita sinkronkan, isinya sama.

KETUA RAPAT:

Baik. Oh sudah, silakan Pak Soenman. Terima kasih Pemerintah, Pak Dirjen.

KETUA TIMSIN (H. T.B. SOENMANDJAJA SD./F-PKS):

Terima kasih Bapak Ketua Panja.

Pak Dirjen,

Kita kemarin juga agak sedikit di luar forum mendiskusikan tentang peristilahan begitu, kalau dari disiplin ilmu bahasa gitu, dari EYD cederung memang huruf kecil, Pak Dirjen, tetapi ini kembali kepada ke persoalan politik ya gitu, apakah memang kita akan menggunakan huruf besar seperti yang diajukan Pak Dirjen tadi itu.

Itu saja, Pak Ketua, jadi penulisan ini semata-mata EYD begitu, tetapi kalau ada misalnya bahasa hukum yang mau dipertegas kita semua lah dari Timsin pada dasarnya sih tidak ada masalah.

Terima kasih Ketua.

KETUA RAPAT:

Baik.

Dari informasi Pak Soenman seperti itu, kemudian dari Tim Ahli ya. Ini juga sudah dikonsultasikan

dengan ahli bahasa sebetulnya, tetapi tentu saja apa yang disampaikan Pak Dirjen ini menjadi catatan

(18)

untuk semacam rekonsialisasi begitu atau apa begitu. Disisir lagi, dicermati lagi begitu ya. Dari rumusannya kita sudah bisa setuju, Pak, ya?

Setuju, Pak Mul?

Penulisan bagaimana?

DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI:

Ya, Pak, seperti di lampiran ini pakai huruf besar.

KETUA RAPAT:

Pakai huruf besar ya, disesuaikan ya?

DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI:

Ya.

KETUA RAPAT:

Disesuaikan ya?

Baik.

(RAPAT : SETUJU)

Lanjut Pasal 9, usul asal begitu di atas, ini kemudian di bawah usul rumusan ayat (1) dan ayat (2) baru. Jadi substansi tidak berubah ini, hanya kalau ini “dalam hal” begitu. Dalam hal pertentangannya, jadi peristiwanya, kejadiannya, tetapi kalau ini adalah satu tahapannya begitu, yang menjadi pengujian sebuah undang-undang. Itu saja. Ingin menunjukan ke mana dan di mana pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, kemudian pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, yang pertama Mahkamah Konstitusi, yang kedua Mahkamah Agung dari satu sisi bahasa begitu kalimatnya memang agak beda tetapi maksudnya seperti itu.

Kami persilakan Pemerintah. Usulan Pemerintah ini ya. Ya silakan penjelasan.

DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI:

Ya usulan rumusan ayat (1) dan (2) memang semula diambil dari RUU MK yang mungkin besok sudah ditandatangani karena sudah 30 hari. Tetapi setelah kami diskusikan juga konteks di rumusan MK memang konteks kewenangan, tetapi kalau yang dari DPR ini konteksnya ya dalam hal diduga suatu undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar begini. Jadi kami menerima kembali ke naskah dari DPR.

F-PD (IGNATIUS MULYONO):

Ya, ini justru saya tanda tanya kepada Pemerintah sekarang ini, ini kita bicara kewenangan atau

bicara, tidak, kalau kewenangan ya yang usulan Pemerintah itu, itu kita bicara kewenangan. Kalau yang itu

kewenangan memang di sini yang usul alternatif usulan ini, ini mengandung suatu kewenangan dan

kewajiban bahwa pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Jadi ada atau tidak ada pemohon untuk melakukan

yudicial review itu Mahkamah Konstitusi melakukan wajib itu menguji itu, tetapi kalau yang pertama itu

masih boleh lenggang kangkung Mahkamah Konstitusi, kalau memang tidak ada yang diduga ya uwis, itu

anunya di situ, Pak. Lah sekarang kita mau mana di dalam kita menyusun pembentukan peraturan

perundang-undangan itu yang mau kita mainkan yang mana? Itu yang saya anukan. Jadi saya hanya

membedakan itu saja. Kalau yang kedua itu otomatis ada yang mengajukan atau tidak, itu dia tanggung

jawab. Itu, Pak.

(19)

KETUA RAPAT:

Ya, sama, Pak.

F-PD (IGNATIUS MULYONO):

Jadi mau dipakai yang mana. Begitu loh.

KETUA RAPAT:

Pak Mul,

Jadi ini juga saya diingatkan oleh Pak Mul, juga diingatkan oleh risalah kita, ini tanggal 17 Maret ini kita sudah setuju dengan rumusan DPR, tetapi Pemerintah usul, dan sekarang Pemerintah tadi mencabut, jadi sadar kembali Pemerintah, karena ini bicara kewenangan itu ada di Undang-undang MK begitu, Pak, ya, tetapi ini adalah proses begitu.

Baik. kita kembali ke Pasal 9 draft DPR.

(RAPAT : SETUJU) Skors dulu ya. Skors dulu berapa menit?

KETUA TIMSIN (H. T.B. SOENMANDJAJA SD./F-PKS):

Usul, Pak Ketua Panja, usul, jadi ini kita sholat Magrib mungkin dilanjutkan dengan makan, Pak, jadi jangan terlalu lama lah, bisa kira-kira 90 menit begitu, Ketua, maksimum ya.

Terima kasih.

KETUA RAPAT:

Kita akan Raker ini pukul 19.30 WIB.

F-PD (IGNATIUS MULYONO):

Pukul 19.30 WIB kan dengan Menteri kan?

KETUA RAPAT:

Iya Raker, Pak.

F-PD (IGNATIUS MULYONO):

Maksud saya ini selesai dulu.

KETUA RAPAT:

Iya maksud saya selesai dulu, makanya waktunya jadi Pukul 18.30 WIB.

KETUA TIMSIN (H. T.B. SOENMANDJAJA SD./F-PKS):

Pimpinan, Pukul 19.00 WIB saja.

KETUA RAPAT:

Pukul 19.00 WIB saja ya?

(20)

KETUA TIMUS (RAHADI ZAKARIA/F-PDIP):

Saya usulkan ini, Pimpinan. Jadi maksudnya begini, saya sepakat dengan Pak Jenderal, ini diselesaikan dulu setelah ini selesai baru dengan.

KETUA RAPAT:

Oh, iya pastinya.

KETUA TIMUS (RAHADI ZAKARIA/F-PDIP):

Jangan-jangan ditumpuk-tumpuk itu waktunya itu maksudnya jangan dipatok begitu dari pada nanti gantung-gantung tidak karuan. Jadi maksudnya ini kan skors, kita masuk ini dulu, jadi Rakernya mundur begitu loh.

KETUA RAPAT:

Untuk mengatur waktu skors kita, jadi kita dengan menteri ini Pukul 19.30 WIB, jadi kita bisa masuk Pukul 19.00 WIB, mudah-mudahan dalam waktu 20 menit ini kita bisa menyelesaikan yang pembahasan Laporan Timsin ke Panja ini begitu.

Baik, rapat kita skors sampai Pukul 19.00 WIB.

(RAPAT DISKORS PADA PUKUL 18.00 WIB)

Jadi diberitahukan kepada Bapak/Ibu anggota Panja, Pak Dirjen beserta Kementerian Hukum dan HAM, baiklah skors rapat kami cabut.

(SKORS DICABUT PADA PUKUL 19.09 WIB)

Ke rumusan Pasal 10 ya. Ini usul Pemerintah ya 10 A ini. Ya, ini menyangkut materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang berisi:

a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang;

c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;

d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dan/atau;

e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Jadi Pasal 10 ini sudah disetujui, Pak Dirjen ya. Jadi ada penambahan Pasal 10A begitu ya, usulnya ini, itu menyangkut tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi ya. Pasal 10A ya huruf d, tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dan/atau, nah ini dengan usulan rumusan alternatif 1, menjadi Pasal 10A ayat (1) tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden. Ayat (2) ketentuan mengenai pengajuan rancangan undang- undang sebagai tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi diatur dengan peraturan presiden.

Kemudian rumusan alternatif 2 usulan Timus dan Timsin, Pasal 10A ayat (1), tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dilakukan oleh Presiden atau DPR dengan mengajukan rancangan undang- undang. (2) tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memedomani untuk tidak terjadinya kekosoangan hukum. (3) pengajuan rancangan undang-undang oleh Presiden diatur lebih lanjut dengan peraturan presiden. Ayat (4) pengajuan rancangan undang-undang oleh DPR diatur lebih lanjut dengan Peraturan DPR.

Jadi ada dua usulan rumusan mengenai penjabaran atau tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi. Ini silakan kita tanya Pemerintah dulu. Tetapi ada penjelasan dari Pak Soenman, silakan.

KETUA TIMSIN (H. T.B. SOENMANDJAJA SD./F-PKS):

(21)

Ibu/Bapak sekalian yang terhormat,

Sesungguhnya Pasal 10A ini adalah usulan baru yang berkembanng dalam forum Timus/Timsin kemarin, jadi rapat itu diantara anggota khususnya Pak Mulyono mengingatkan kita semua tentang atau maaf berkenaan dengan Pasal 10 huruf d itu. Nah, kemudian disepakatilah masing-masing kita merumuskan, Pak Ketua. Dan terima kasih kepada Pemerintah yang mengajukan rumusan, juga usulan daru yang terhormat Bapak Mulyono itu disepakati menjadi usulan dari Tim DPR, kira-kira begitulah Pak Mul, begitu ya.

Ibu, selamat datang.

Jadi yang Pemerintah itu alternatif satu, dari kita alternatif dua, karena Timus itu bukan dalam kapasitas melakukan pengesahan atas suatu yang substansial maka kedua usul rumusan ini dibawa ke Panja dengan harapan Panja dapat memutus nanti begitu. Jadi apabila ini disahkan tentu saja dia akan mengubah komposisi sistematika pasal penyesuaian ya.

Saya kira demikian, Ketua. Memang kita waktu itu tidak mengkompromikan secara ekstrim ya Pemerintah, hanya kita menampung silakan, digagas, dikapitalisasi, Pemerintah alternatif satu, dari kita alternatif dua, tetapi sepakat menjadi rumusan Timus/Timsin begitu.

Terima kasih Ketua.

KETUA RAPAT:

Terima kasih Pak Soenman.

Kami persilakan, jadi ada dua rumusan yang pertama dari Pemerintah, rumusan kedua dari Timus/Timsin, yang keduanya menjadi usulan dari Timus dan Timsin. Kami persilakan barangkali.

Silakan.

F-PD (IGNATIUS MULYONO):

Terima kasih Pak Pimpinan.

Mohon maaf terlambat, agak ngantuk-ngantuk tadi.

Oke. Terima kasih Pak Dirjen.

Selalu kami menggunakan ikan sepat ikan gabus, jadi menurut saya alternatif dua ini lebih enak ditampilkan sebagai substansi di Pasal 10A ini.

Terima kasih.

Yang alternatif dua, Pak.

KETUA RAPAT:

Golkar.

PDIP, Pak Arif.

F-PDIP (ARIF WIBOWO):

Kita alternatif satu, Pak.

KETUA RAPAT:

Masih satu ya.

F-PDIP (ARIF WIBOWO):

Satu DPR toh?

KETUA RAPAT:

Bukan. Yang dua DPR.

(22)

F-PDIP (ARIF WIBOWO):

Oh, ya dua.

KETUA RAPAT:

Dua ya.

Pak Rindoko.

F-P. GERINDRA (RINDOKO DAHONO WINGIT, S.H., M.Hum.):

Ikan sepat dua, Pak.

KETUA RAPAT:

Pak Arwani, PPP. Lebih rinci terinci lagi ya.

F-PPP (H. MUHAMMAD ARWANI THOMAFI):

Ya, dua, tetapi mungkin kalimatnya mungkin yang harus ada perbaikan-perbaikan.

KETUA RAPAT:

Kalimatnya maksudnya? Yang memedomani itu ya?

F-PPP (H. MUHAMMAD ARWANI THOMAFI):

Ya, misalnya Pasal 10A itu yang ayat (2) itu.

KETUA RAPAT:

Ya, harus menjadi pedoman ya.

Baik. Kemudian Golkar alternatif dua, kalaupun ada pembenahan rumusan kalimat saja, tetapi secara ini intinya sudah rumusan.

Silakan sebelum Pemerintah.

KETUA TIMSIN (H. T.B. SOENMANDJAJA SD./F-PKS):

Terima kasih.

Dari Fraksi PKS, jadi kalau kami memandang memang cenderung di rumusan alternatif kedua, hanya saja rumusan Pemerintah untuk ayat (1)-nya, Pak, itu merujuk begitu, dengan demikian memang saya memahami yang disampaikan Pak Arwani tadi itu, mudah-mudahan tidak salah dugaan saya supaya Pasal 10A ini tidak lepas dari Pasal 10 di atas, karena jelas sekali imperatifnya itu dari Pasal 10 huruf d yang berbunyi tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dan/atau begitu ya, sehingga tindak lanjut itu kita ambil lagi begitu, Pak, Pasal 10 huruf d itu diambil lagi didraft dimasukan ke dalam Pasal 10A baru itu.

Demikian, Pak, jadi hanya penegasan cantolannya lah kira-kira begitu, referensi.

Terima kasih Ketua.

Ya Pasal 10 huruf d ya digabung saja jadi itu rumusannya.

Terima kasih.

KETUA RAPAT:

Terima kasih dari Pak Soenman, PKS.

Pemerintah, Pak Dirjen.

(23)

DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI:

Terima kasih.

Pak Pimpinan dan anggota, serta rekan-rekan dari jajaran Pemerintah,

Ini rumusan alternatif 1, ada sedikit tambahan juga untuk kelengkapannya, jadi tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf dilakukan oleh DPR atau Presiden, tetap. Ayat (2)-nya, ketentuan mengenai tata cara pengajuan mengenai rancangan undang- undang sebagai tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi diatur dengan peraturan presiden. Dan penulisannya ya kembali RUU-nya dengan huruf besar.

Jadi di ayat (1) ini memang untuk merujuk kepada Pasal 10 huruf d jelas karena di Pasal 10 huruf d itu materi muatan yang harus diatur dan undang-undang berisi tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi, jadi merujuk itu. Kemudian ayat (2)-nya ketentuan mengenai tata cara pengajuan rancangan undang-undang sebagai tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi diatur dengan peraturan presiden.

Terima kasih Pak.

KETUA RAPAT:

Hanya dua ayat, Pak. Dua ayat ya. Masih sama dong. Alternatif 1 kan. Jadi kalau rumusan alternatif dari DPR dari Timus ini, ini lengkap, Pak, ya, lebih lengkap, hanya kita memang tambahkan memang Pasal 10A, ayat (1) tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 huruf d dilakukan oleh Presiden atau DPR dengan mengajukan rancangan undang-undang. Ayat (2) tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maksudnya ayat (1) Pasal 10A, harus memedomani untuk tidak terjadinya kekosongan hukum. Nah, ini yang mungkin tadi ada perbaikan, belum nyaman bahasanya. Ini saja. Tetapi inti rumusannya ini bisa dipahami substansinya ya, substansinya. Begitu.

Kemudian yang ayat (3) pengajuan rancangan undang-undang oleh Presiden diatur lebih lanjut dengan peraturan presiden, sementara pengajuan rancangan undang-undang oleh DPR diatur lebih lanjut dengan peraturan DPR.

F-PD (IGNATIUS MULYONO):

Ketua.

KETUA RAPAT:

Ya.

F-PD (IGNATIUS MULYONO):

Ini menambah pasal atau bagaimana? Kalau menurut saya kalau tidak menambah pasal juga bisa, Pak, tidak sulit amat ini. Yang kita kan sudah menyetujui untuk di Pasal 10 ini kan. Pasal 10 kan kita setuju, terus lanjutannya kita bikin 10A itu akan mengatur yang Pasal 10d kan, lah kenapa mesti kita susah-susah, sudah kasih di depan materi muatan itu kasih saja ayat (1), bawahnya kasih ayat (2) menunjuk dari itu, menunjuk dari yang 10d it, Pak.

Nah, itu. Kalau menurut saya begitu saja. Jadi tinggal ditempelkan menjadi satu ayat saja, Pak, tidak usah susah-susah lagi. Maksud saya itu. Ayat (1) materi muatan yang harus diatur dengan undang- undang berisi a, b, c, d, terus ayat (2)-nya itu tadi, tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dilakukan, artinya yang menggunakan yang b itu, Pak, nanti tinggal dirumuskan yang Pasal 10 huruf d itu.

Itu yang Pasal 10A itu ya, Pak, ya, Pasal 10A itu menjadi ayat (2), Pak, tetapi diubah seperti yang huruf a

yang ditambah merah itu. Sudah tidak usah susah-susah, Pak. Itu depannya ditulis, itu nanti di a, b, c,

dikurung-kurung gitu juga, begitu loh. Jadi itu lebih simple, kita tidak usah memikirkan. Ini jadi ayat (2) gitu

loh, Pasal 10A-nya ini yang sudah diperbaiki ini jadi ayat (2), Pak. Begitu loh, Pak. Jadi Pasal 10A itu jadi

ayat (2). Huruf A, baru tindak lanjut atas putusan ini-ini sebagaimana diatur dalam rancangan undang-

undang, tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang ini kan? Mestinya ayat (1)-nya diubah

menjadi apa ini ya, ayat (1) ini kalau jadi a gandul begitu kan sudah bisa atau jadi bagaimana itu nomor,

Referensi

Dokumen terkait

Demikian Rencana Strategis (Renstra) Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bengkulu Tahun 2019- 2023 ini kami susun untuk dapat menjadi acuan atau pedoman dalam

Gerakan Attack, gerakan attack adalah gerakkan aba-aba untuk memulai lagu Gerakkan attack untuk intro orkestra lagu Hymne UNY ini dibuat dengan gerakkan keluar

yang paling vital dalam perubahan organisasi di Puskesmas Sawangan II yaitu jumlah SDM, pendapatan Puskesmas Sawangan II yang rendah, kebutuhan sarana dan prasarana yang

UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN.. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang- undangan yang mencakup tahapan

(2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan

Jadi di sini kan kita lihat konsistensi juga antara usulan dari rancangan undang-undang dari Presiden, dari DPD, maupun dari DPR, artinya kalau logika yang disampaikan tadi

6 Lihat Pasal 1 angka (2), Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan

Pasal 12 Ayat (2), yang kemarin sore juga kita bicarakan, kita kaitkan dengan Pasal 14 Ayat (2), yaitu yang mengandung usulan mengenai tambahan kata-kata yang