• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyusunan Naskah Akademik Ranperda Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan Pendidikan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penyusunan Naskah Akademik Ranperda Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan Pendidikan."

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

NASKAH AKADEMIK

RANPERDA

PENYELENGGARAAN

PENDIDIKAN

KERJASAMA

DEWAN PERWAKILAN

RAKYAT KABUPATEN

JEMBRANA

DAN

(2)

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN PERATURAN DAERAH

KABUPATEN JEMBRANA

TENTANG

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN

JEMBRANA TENTANG PENYELENGGARAAN

(3)

TIM PENELITI

1. I Ketut Sudiarta.,SH.,MH

2. Ni Luh Gede Astariyani.,SH.,MH

3. AA I Ari Atu Dewi.,SH.,MH

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBRANA BEKERJA SAMA

DENGAN PUSAT PERANCANGAN HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

2015

PUSAT PERANCANGAN HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

Jalan Bali Nomor 1 Denpasar

(4)

KATA PENGANTAR

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri

atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Setiap daerah tersebut

mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas

penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.

Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional disebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota

mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan

pendidikan yang berbasis keunggulan lokal, yang selanjutnya diatur dengan

Peraturan Pemerintah. Kemudian Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan

Pendidikan, menyebutkan bahwa Bupati/ Walikota berhak membentuk

kebijakan daerah dalam bentuk peraturan daerah di bidang pendidikan.

Sekalipun ada dasar hukum untuk menetapkan Peraturan Daerah Tentang

Penyelenggaraan Pendidikan, diperlukan pula argumentasi tentang

(urgensi) membentuk Peraturan Daerah tersebut, yang secara garis besar

meliputi argumentasi filosofis, sosiologis, dan yuridis. Dalam kerangka

inilah perlu disusun Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan Pendidikan.

(5)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar >> i

Daftar Isi >> ii

Daftar Tabel >>iv

BAB I. PENDAHULUAN >> 1

A. Latar Belakang >> 1

B. Identifikasi Masalah >>>9

C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik

>> 10

D. Metode Penelitian >>11

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS >>12

A. Kajian Teoritis >>12

B. Kajian Terhadap Asas yang Terkait Dengan

Penyusunan Norma >>15

C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan >>18 D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan

Terhadap Masyarakat Dan Dampaknya Terhadap Beban Keuangan Daerah

>>19

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT >>21

A. Kondisi Hukum Yang Ada dan Statusnya >>21 B. Keterkaitan Peraturan Daerah Baru Dengan

Peraturan Perundang-undangan Yang Lain >>21

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS

>>23

A. Validitas Peraturan Perundang-undangan :

Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis. >>23 B. Relevansi Validitas Dalam Penyusunan

Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pendidikan

>>28

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG

LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN

DAERAH KABUPATEN JEMBRANA TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

>>33

A. Arah dan Jangkauan Pengaturan >>33 B. Ruang Lingkup Materi Muatan >>33

BAB VI PENUTUP >>33

A. RANGKUMAN >>>78

B. KONKLUSI >>>81

C. REKOMENDASI >>>82

DAFTAR PERUNDANG-UNDANGAN >>>83

(6)

LAMPIRAN

1. Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan Pendidikan di Kabupaten Jembrana

(7)
(8)

Tabel 1 : Murid Berdasarkan Usia Tahun 2009-2013 2

Tabel 2 : Jumlah Murid Tiap jenjang Pendidikan Tahun 2009-2013 2

Tabel 3 : Jumlah Sekolah dan Tenaga Pengajar Tahun 2013 3

Tabel 4 : Rasio Guru Terhadap Murid di Kab. Jembrana Tahun 2013 4

Tabel 5 : Penduduk Jembrana Berdasarkan Pendidikan Akhir (Tingkat Pendidikan)

4

Tabel 6 : APK (%) Penduduk Kabupaten Jembrana Tahun 2008 – 2013

6

Tabel 7 : APM (%) Penduduk Kabupaten Jembrana Tahun 2008– 2013

7

Tabel 8 : Perkembangan Rata – rata Lama Sekolah di Kabupaten Jembrana

8

Tabel 9 : Jumlah Murid Tiap jenjang Pendidikan di Kabupaten Jembrana Tahun 2009-2013

9

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan Pasal 50 ayat (5) dan ayat (7) Undang-Undang Republik

Indonesia Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

Pendidikan Nasional menentukan bahwa :

(5) Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.

(7) Ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam Pasal 29 Ayat (2) Huruf F, Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan

Pendidikan, Bupati/ Walikota berhak membentuk kebijakan daerah dalam

bentuk peraturan daerah di bidang pendidikan. Penyelenggaraan

pendidikan adalah kegiatan pelaksanaan komponen sistem pendidikan

pada satuan atau program pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis

pendidikan agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan

tujuan pendidikan nasional.

Dalam Pasal tersebut juga menyebutkan bahwa Penyelenggaraan

Pendidikan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Sekalipun ada dasar

hukum untuk menetapkan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan

Pendidikan, diperlukan pula argumentasi tentang (urgensi) membentuk

Peraturan Daerah tersebut, yang secara garis besar meliputi argumentasi

filosofis, sosiologis, dan yuridis. Dalam kerangka inilah perlu disusun

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana

tentang Penyelenggaraan Pendidikan.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU P3 2011)

menentukan, Rancangan Peraturan Daerah disertai dengan penjelasan atau

keterangan dan/atau Naskah Akademik (Pasal 63 jo Pasal 56 ayat (2) UU

(10)

Rancangan Peraturan Daerah disertai dengan keterangan (atau penjelasan)

dan Naskah Akademik; atau (2) Rancangan Peraturan Daerah disertai

dengan keterangan (atau penjelasan) atau Naskah Akademik. Pilihan kedua

juga memuat pilihan, memilh Naskah Akademik atau keterangan (atau

penjelasan)Jumlah penduduk yang bersekolah berdasarkan usia dini.

Di Kabupaten Jembrana terbagi menjadi tiga kelompok usia, yaitu

:7- 12 tahun (SD/MI) ; 13 – 15 tahun (SLTP/ MTs) dan 16 – 18

(SMU/SMK/MA). Distribusi penduduk terbanyak pada tahun 2013adalah

pada kelompok usia 7 – 12 tahun (SD/ MI) sebanyak 28.353 penduduk

sedangkan paling sedikit adalah pada kelompok usia 16 – 18 tahun

(SMU/SMK/MA) dengan jumlah sebanyak 12.505 penduduk. Berikut

adalah disajikan tabel jumlah penduduk yang bersekolah berdasarkan usia

di Kabupaten Jembrana

Tabel 1. Murid Berdasarkan Usia Tahun 2009-2013

No. TAHUN

Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Jembrana

Jenjang pendidikan di Kabupaten Jembrana adalah terbagi menjadi :

SD/Sederajat, SLTP/Sederajat dan SMA/Sederajat. Jumlah murid paling

banyak pada tahun 2013 adalah jenjang pendidikan SD/Sederajat dengan

jumlah sebanyak 28.353 siswa sedangkan paling sedikit adalah jenjang

SMA/ Sederajat dengan jumlah sebanyak 12.505 siswa.

Tabel 2. Jumlah Murid Tiap jenjang Pendidikan Tahun 2009-2013

(11)

No. TAHUN Jumlah

Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Jembrana

Fasilitas pendidikan berupa sekolah merupakan persyaratan utama

agar kegiatan belajar dan mengajar dapat berjalan. Dengan adanya fasilitas

tersebut, guru yang merupakan tenaga pendidik utama dapat

melaksanakan tugasnya sehingga kegiatan belajar dan mengajar dapat

berjalan dengan baik. Berikut disajikan jumlah sekolah dan jumlah guru

tiap jenjang pendidikan di Kabupaten Jembrana.

Tabel 3. Jumlah Sekolah dan Tenaga Pengajar Tahun 2013

NO.

Sumber : Jembrana Dalam Angka, Tahun 2014

Rasio guru terhadap murid adalah jumlah guru tingkat pendidikan

dasar per 1.000 jumlah murid pendidikan dasar. Rasio ini mengindikasikan

ketersediaan tenaga pengajar. Di samping itu juga untuk mengukur jumlah

ideal murid untuk satu guru agar tercapai mutu pengajaran. Berikut adalah

rasio guru terhadap murid di Kabupaten Jembrana pada tahun 2013.

Tabel 4. Rasio Guru Terhadap Murid di Kab. Jembrana Tahun 2013

(12)

3 SLTA/SMU 6.731 544 12,37

4 SMK 4.454 363 12,27

Sumber : Jembrana Dalam Angka, Tahun 2014

Tingkat pendikan yang dimiliki oleh penduduk Kabupaten Jembrana

berjenjang mulai belum pernah menginjak bangku sekolah hingga sarjana.

Jumlah tertinggi adalah penduduk dengan tingkat pendidikan Tamat SD

sebesar 29%, kemudian posisi kedua diikuti dengan belum pernah sekolah

sebesar 23% dan hanya sebagian kecil saja prosentase jumlah penduduk

yang tamat akademi/Universitas yaitu sebesar 2 %.

Tabel 5. Penduduk Jembrana Berdasarkan Pendidikan Akhir (Tingkat Pendidikan)

(13)

Grafik Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan Akhirdi Kabupaten Jembrana Tahun 2013

Indikator Pencapaian Pendidikan

A. Angka Partisipasi Kasar

Angka Partisipasi Kasar (APK) didefinisikan sebagai perbandingan antara

jumlah murid pada jenjang pendidikan tertentu (SD, SLTP, SLTA dan

sebagainya) dengan penduduk kelompok usia sekolah yang sesuai dan

dinyatakan dalam persentase. Hasil perhitungan APK ini digunakan untuk

mengetahui banyaknya anak yang bersekolah di suatu jenjang pendidikan

tertentu makin tinggi APK berarti semakin banyak anak usia sekolah yang

bersekolah di suatu jenjang pendidikan pada suatu wilayah. Nilai APK bisa

lebih besar dari 100 % karena terdapat murid yang berusia di luar usia

resmi sekolah, terletak di daerah kota, atau terletak pada daerah

perbatasan.

Angka Partisipasi Kasar selama lima tahun terakhir pada semua

jenjang pendidikan mengalami fluktuasi dalam pencapaiannya. Pada tahun

2013 rata-rata pencapaian Angka Partisipasi Kasar tingkat Sekolah Dasar

mencapai 114,03 %. Sedangkan pada tingkat SLTP mencapai 118,04 % dan

(14)

partisipasi masyarakat pada tingkat SLTA masih perlu ditingkatkan.

Tabel 6. APK (%) Penduduk Kabupaten Jembrana Tahun 2008 – 2013

No. Angka Partisipasi Kasar

2008 2009 2010 2011 2012 2013

1. SD/ MI 110,27 110,63 115,55 115,55 113,95 114,03

2. SLTP/ Mtsn 105,38 106,46 110,50 110,50 117,01 118,04

3. SMA/ SMK/ MA 82,90 81,35 95,00 95,00 98,21 98,71

Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Jembrana, Tahun 2014

Gambar 2. Perkembangan Angka Partisipasi Kasar di Kabupaten Jembrana

Angka Partisipasi Murni (APM) didefinisikan sebagai perbandingan

antara jumlah siswa kelompok usia sekolah pada jenjang pendidikan

tertentu dengan penduduk usia sekolah yang sesuai dan dinyatakan dalam

persentase. Indikator APM ini digunakan untuk mengetahui banyaknya

anak usia sekolah yang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan yang

sesuai. Semakin tinggi APM berarti banyak anak usia sekolah yang

bersekolah di suatu daerah pada tingkat pendidikan tertentu.Angka

Partisipasi Murni dalam lima tahun terkahir di Kabupaten Jembrana

mengalami fluktuasi dalam pencapaiannya. Dibandingkan dengan tahun

sebelumnya pada tahun 2012 APM pada masing – masing jenjang

(15)

Berikut adalah APM di Kabupaten Jembrana selama lima tahun terakhir.

Tabel 7.APM (%) Penduduk Kabupaten Jembrana Tahun 2008– 2013

No. Angka Partisipasi Murni

2008 2009 2010 2011 2012 2013

1. SD/ MI 96,01 96,45 98,50 98,50 93,97 98,94

2. SLTP/ MTSn 80,13 85,89 90,00 90,00 86,03 94,02

3. SLTA/ SMA/ MA 64,37 69,78 75,60 75,60 100,00 89,10

Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Jembrana, Tahun 2014

Grafik Perkembangan Angka Partisipasi Murni di KabupatenJembrana

Rata-rata lama sekolah mengindikasikan makin tingginya pendidikan yang

dicapai oleh masyarakat di suatu daerah. Semakin tinggi rata-rata lama

sekolah berarti semakin tinggi jenjang pendidikan yang dijalani. Rata-rata

lama sekolah yaitu rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk

usia 15 tahun ke atas di seluruh jenjang pendidikan formal yang pernah

diikuti. Untuk meningkatkan rata-rata lama sekolah, pemerintah telah

mencanangkan program wajib belajar 9 tahun atau pendidikan dasar

hingga tingkat SLTP.

(16)

Keterangan

Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Jembrana, Tahun 2014

Salah satu indikator terlaksananya dengan baik pendidikan untuk

masyarakat dapat diketahui dengan meningkatnya angka melek huruf atau

kemampuan baca tulis dalam masyarakat tersebut. Indikator ini juga dapat

menggambarkan mutu dari SDM yang ada di suatu wilayah yang diukur

dalam aspek pendidikan, karena semakin tinggi angka kecakapan baca tulis

maka semakin tinggi pula mutu dan kualitas SDM. Berdasarkan data dari

Dinas Pendidikan, Pemuda Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan

Kabupaten Jembrana, Angka Melek Huruf di Kabupaten Jembrana setiap

tahunnya terus mengalami peningkatan. Angka Melek Huruf paling tinggi

adalah pada tahun 2013 dengan angka 92,65 %. Berikut adalah Angka

Melek Huruf di Kab. Jembrana selama 5 (lima) tahun terakhir.

Tabel 8. Angka Melek Huruf di Kab. Jembrana Tahun 2008-2013

Tahun Angka Melek Huruf ( % )

(17)

Gambar 6.4Perkembangan Angka Melek Huruf di Kabupaten Jembrana

Tabel 9 Jumlah Murid Tiap jenjang Pendidikan di Kabupaten Jembrana

Tahun 2009-2013

No. TAHUN Jumlah Murid SD

Jumlah Murid

SLTP

Jumlah Murid SLTA

1 2009 29.258 12.437 7.775

2 2010 29.485 12.852 10.496

3 2011 30.433 12.845 10.753

4 2012 29.907 12.674 10.957

5 2013 29.472 13.018 11.275

J u m l a h

148.555 63.826 51.156

Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Jembrana

Berdasarkan daya dukung yang dimiliki di Kabupaten Jembrana dan

dasar kewenangan pendelegasian pembentukan Peraturan Daerah yang

sangat penting dimana posisi Penyelenggaraan Pendidikan baik terhadap

masyarakat maupun terhadap pemerintah, maka diperlukan penyusunan

Naskah Akademik.

B. Identifikasi Masalah

Masalah yang diuraikan dalam Naskah Akademik ini meliputi 4

(18)

1. Penentuan kebijakan penyelenggaraan pendidikan, yang pada

prinsipnya meliputi kepastian tentang penyelenggaraan

pendidikan di Kabupaten Jembrana.

2. Perlunya Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan

Pendidikan.

3. Landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis penyusunan Rancangan

Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan.

4. Arah, jangkauan, dan ruang lingkup pegaturan Rancangan

Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan.

C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik

Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan

di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan

Daerah Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan Pendidikan

dirumuskan sebagai berikut:

1. Menjelaskan penentuan kebijakan penyelenggaraan pendidikan.

2. Menjelaskan perlunya Rancangan Peraturan Daerah tentang

Penyelenggaraan Pendidikan sebagai dasar untuk memastikan

objek dan subjek penyelenggaraan pendidikan.

3. Merumuskan perimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis

penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang

Penyelenggaraan Pendidikan.

4. Merumuskan arah, jangkauan, dan ruang lingkup pengaturan

Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan

Pendidikan.

Kegunaan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan

Daerah Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan Pendidikan adalah

sebagai acuan:

1.Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana

tentang Penyelenggaraan Pendidikan.

2.Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana

(19)

Partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan tertulis

dan/atau masukan lisan baik dalam penyusunan maupun pembahasan

Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang

Penyelenggaraan Pendidikan.

D. Metode Penelitian

Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Kabupaten Jembrana tentang Penyelenggaraan Pendidikan berbasiskan

metode penelitian hukum, dalam pengertian sumber bahannya adalah

norma hukum (dalam peraturan perundang-undangan) dan dianalisis

secara hermeneutika hukum yang berbasiskan pada penggunaan

interpretasi hukum secara holistik dalam memahami norma hukum baik

sebagai keseluruhan maupun sebagai bagian-bagiannya yang membentuk

sebagai keseluruhan itu.

Sumber bahan hukum tersebut di atas disebut juga sumber bahan

hukum otoritatif (atau bahan hukum primer) karena berasal dari lembaga

yang berkewenangan. Selain itu, digunakan juga sumber bahan hukum

persuasif yakni dari pandangan para ahli, dan didukung dengan sumber

bahan informatif (informasi dari masyarakat dan/atau pejabat publik)

mengenai tematik terkait dengan penyusunan Naskah Akademik

Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang

(20)

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. KAJIAN TEORITIS

Pada dasarnya pengertian pendidikan dalam UU Sisdiknas adalah

usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses

pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan

dirinya dan masyarakat. Menurut kamus Bahasa Indonesia Kata

pendidikan berasal dari kata „didik‟ dan mendapat imbuhan „pe‟ dan akhiran „an‟, maka kata ini mempunyai arti proses atau cara atau perbuatan mendidik.

Secara bahasa definisi pendidikan adalah proses pengubahan sikap

dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan

manusiamelalui upaya pengajaran dan pelatihan. Paradigma filsafat

pendidikan, telah berulang kali dinyatakan bahwa pendidikan adalah

persoalan yang melekat secaca kodrati di dalam diri manusia.1Pendidikan

terbesar di seluruh sektor baik kegiatan kehidupan masyarakat baik dalam

dimensi horizontal maupun vertikal, ketika manusia berinteraksi dengan

dirinya disitulah ada pendidikan.Ketika manusia berinteraksi dengan

sesamanya dalam setiap kegiatan kemasyarakatan disitu ada pula

pendidikan ketika manusia berinteraksi dengan alamnya disitu juga ada

pendidikan. Antara pendidikan dan manusia bagaikan wadah dengan

isinya. Dengan kata lain hubungan kodrat pendidikan dan manusia, pada

taraf eksistensial, bagaikan hubungan antara jiwa dan badan manusia. Jika

jiwa berpotensi menggerakkan badan kehidupan manusiapun digerakkan

oleh pendidikan ke arah pencapaian tujuan akhir, tanpa pendidikan

manusia kehilangan roh penggerak kehidupan sehingga kehidupan menjadi

tidak kreatif dan pada akhirnya mengancam kelangsungan seluruh

kehidupan itu sendiri.

(21)

Tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi anak didik

menyangkut intelektual, keterampilan serta kepribadiannya untuk

memerankan dirinya ditengah-tengah masyarakat.

Tujuan pendidikan menurut Langeveld adalah pendewasaan diri

dengan ciri-ciri yaitu : kematangan berfikir, kematangan emosional,

memiliki harga diri, sikap dan tingkah laku yang dapat diteladani serta

kemampuan pengevaluasian diri. Kecakapan atau sikap mandiri, yaitu

dapat ditandai pada sedikitnya ketergantungan pada orang lain dan selalu

berusaha mencari sesuatu tanpa melihat orang lain.

Tujuan pendidikan menurut Jacques Delors,cs.,dikenal Empat Pilar

Pendidikan versi UNESCO sebagai berikut:

a. Learning to know(belajar untuk mengetahui); b. Learning to do(belajar untuk dapat berbuat);

c. Learning to be(belajar untuk menjadi dirinya sendiri); dan

d. Learning to live together(belajar untuk hidup bersama dengan orang lain)2

Upaya menyiapkan sumber daya manusia masa depan untuk

membangun karakter bangsa (national character building), tujuan

pendidikan harus ada keseimbangan antara membangun intelektual,

emosional dan spiritualitas. Terlebih-lebih lagi dalam Negara yang

berdasarkan Pancasila, tugas pendidikan adalah untuk mengembangkan

pribadi yang bersusila, dan berada sebagai anggota dalam masyarakatnya,

masyarakat sekitarnya, masyarakat etnisnya, masyarakat bangsanya yang

bhinneka dan sebagai anggota masyarakat yang beradab.3

Menurut Dale ( 1989: 39-43) kontrol Negara terhadap pendidikan

umumnya dilakukan melalui 4 cara antaral lain :

1. Sistem pendidikan diatur secara legal;

2. Sistem pendidikan dijalankan sebagai birokrasi menekankan pada ketaatan pada aturan dan obyektivitas;

3. Penerapan wajib pendidikan (compulsory education); dan

2 JacquesDelors, 1996, “Learning: The Treasure Within” dikutip dari Ali Muhdi

Amnur (ed), Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, Pustaka Fahima, Yogyakarta, 2007, h.6.

3 H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, “Kebijakan Pendidikan (Pengantar Untuk

(22)

4. Reproduksi politik dan ekaonomi yang berlangsung disekolah berlangsung dalam konteks politik tertentu.4

Ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.

Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah

wajib membiayainya. Pemerintah mengusahakan dan menyelengarakan

satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan

ketaqwaan serta akhlak manusia dalam rangka mencerdaskan kehidupan

bangsa yang diatur dengan undang-undang. Negara memprioritaskan

anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran

dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk

memenuhi kebutuhan penyelengaraan pendidikan nasional. Pemerintah

memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi

nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta

kesejahteraan umat manusia (Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945,Pasal 31 ayat(1,2,3,4,5).

Dengan demikian, maka penyusunan rancangan Peraturan Daerah

tentang Penyelenggaraan Pendidikan, merupakan sesuatu yang amat urgen

dalam rangka pelaksanaan kewenangan daerah di bidang pendidikan, yaitu

dengan tujuan untuk menjadi acuan bersama dalam penyelenggaraan

sistem pendidikan guna mewujudkan ketentuan dalam Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang pada hakikatnya dalam

rangka mewujudkan cita-cita bangsa/negara,yaitu mencerdaskan

kehidupan bangsa.

4 M Sirozi, Politik pendidikan, “ Dinamika Hubungan Antara kepentingan

(23)

B. KAJIAN TERHADAP ASAS YANG TERKAIT DENGAN PENYUSUNAN NORMA

Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang

secara teoritik meliputi asas pembentukan peraturan perundang-undangan

yang baik yang bersifat formal dan asas pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik yang bersifat materiil.5

Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang

bersifat formal dituangkan dalam Pasal 5 UU P3 2011 (khususnya dalam

pembentukan Peraturan Daerah, asas-asas tersebut diatur dalam Pasal 137

UU Pemda), dengan sebutan “asas pembentukan Peraturan Perundang

-undangan yang baik”, yang meliputi:

a. kejelasan tujuan;

b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

d. dapat dilaksanakan;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. kejelasan rumusan; dan

g. keterbukaan.

Asas-asas materiil pembentukan peraturan perundang-undangan yang

baik diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU P3 2011 (khususnya

berkenaan dengan Perda diatur dalam Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) UU

Pemda), yakni: materi muatan Peraturan Perundang-undangan

mengandung asas:

a. pengayoman;

b. kemanusiaan;

c. kebangsaan;

d. kekeluargaan;

e. kenusantaraan;

f. bhineka tunggal ika;

(24)

g. keadilan;

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Selain asas tersebut, Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat

berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan

Perundang-undangan yang bersangkutan. Mengenai asas-asas materiil yang lain sesuai

dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan tertentu dijelaskan

dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (2) UU P3 2011, yang dimaksud dengan asas

sesuai dengan bidang hukum masing-masing antara lain:

a. dalam Hukum Pidana misalnya asas legalitas, asas tiada

hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan

asas praduga tak bersalah; dan

b. dalam Hukum Perdata misalnya dalam hukum perjanjian

antara lain asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan

itikad baik.

Relevansi asas-asas formal pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik dengan pengaturan penyelenggaraan pendidikan dapat

diuraikan sebagai berikut:

Pertama, kejelasan tujuan. Penyelenggaraan pendidikan bertujuan:

(1) memberikan kepastian bagi masyarakat mengenai siapa yang

bertanggung jawab dan apa tanggung jawabnya terhadap pengelolaan

pendidikan; dan (2) memperkuat dasar hukum bagi Pemerintah Daerah

melakukan penyelenggaraan pendidikan dan pelayanan kepada

masyarakat.Tujuan penyelenggaraan pendidikan adalah efektivitas,

efisiensi, dan akuntabilitas pengelolaan pendidikan.

Kedua, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat. Contoh:

Pengaturan penyelenggaraan pendidikan dengan Peraturan Daerah

dilakukan oleh WaliKabupaten Jembrana dengan persetujuan bersama

DPRD Kabupaten Jembrana. Rancangan dapat berasal dari Bupati atau

(25)

Ketiga, kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Penyelenggaraan

Pendididkan harus dengan Peraturan Daerah. Adapun materi pokok yang

diatur dengan Peraturan Daerah mengacu pada Peraturan Pemerintah.

Keempat, dapat dilaksanakan. Agar asas ini dapat diwujudkan

dengan dibentuknya Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan

Pendidikan adalah harus memperhatikan beberapa aspek: (1) filosofis,

yakni ada jaminan keadilan dalam pengenaan penyelenggaraan pendidikan;

(2) yuridis, adanya jaminan kepastian dalam penyelenggaraan pendidikan,

termasuk substansinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi; dan (3) sosiologis, pengaturan

penyelenggaraan pendidikan memang dapat memberikan manfaat, baik

bagi pemerintah daerah maupun bagi masyarakat, termasuk substansinya

tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum.

Kelima, kedayagunaan dan kehasilgunaan. Asas ini dapat diwujudkan

sepanjang pengaturan penyelenggaraan pendidikan memang benar-benar

dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan benegara. Salah satu indikasi pengaturan penyelenggaraan

pendidikan memang benar-benar dibutuhkan adalah adanya wajib

penyelenggaraan pendidikan, sebagaimana telah dikemukakan dalam

kondisi eksisting di atas.

Keenam, kejelasan rumusan. Asas ini dapat terwujud dengan

pembentukan Peraturan Daerah tentang penyelenggaraan pendidikan

sesuai persyaratan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan,

sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukum yang

jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam

interpretasi dalam pelaksanaannya. Singkatnya, rumusan aturan hukum

dalam Peraturan Daerah tentang penyelenggaraan pendidikan yang

menjamin kepastian.

Ketujuh, keterbukaan. Proses pembentukan Peraturan Daerah ini

harus menjamin partisipasi masyarakat, dalam artian masyarakat dijamin

haknya untuk memberikan masukan, baik tertulis maupun lisan, serta

kewajiban Pemerintah Daerah untuk menjamin masukan tersebut telah

(26)

masyarakat itu, maka terlebih dulu Pemerintah Daerah memberikan

informasi tentang proses pembentukan Peraturan Daerah bersangkutan.

Mengenai asas-asas materiil yang lain, sebagaimana dimaksud Pasal

6 ayat (2) UU P3 2011, dalam pengaturan tentang penyelenggaraan

pendidikan , yakni:

1. adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan

kelompok masyarakat dan horizontal artinya berlaku sama bagi

setiap anggota kelompok masyarakat.

2. secara politis dapat diterima oleh masyarakat, sehingga timbul

motivasi dan kesadaran pribadi untuk melaksanakan

pendidikan.

C. KAJIAN TERHADAP PRAKTIK PENYELENGGARAAN

Pemerataan dan perluasan akses pendidikan dapat diukur dari

tingkat pemenuhan kewajiban pemerintah daerah yang diukur dari layanan

pendidikan pada semua anak yakni: a) Apakah anak-anak yang masuk

SD/MI sudah siap bersekolah, b) Apakah anak-anak yang berusia SD/MI

sudah bersekolah, c) Apakah anak-anak yang lulus SD/MI melanjutkan

pendidikan ke jenjang SMP/MTs. Kondisi ini jika dimaknai bahwa

sesungguhnya bila ditinjau dari segi kesiapan secara fisik maupun mental

dan intelengensi anak-anak tersebut belum siap untuk memasuki jenjang

SD/MI . Hal tersebut berdampak pada prestasi belajar anak, utamanya di

kelas 1 ketika baru mulai beradaptasi dengan lingkungan pembelajaran di

tingkat SD/MI. Tingginya jumlah kelurahan/desa yang masih mempunyai

APS tinggi dapat di sebabkan oleh salah satu atau keduanya dari dua faktor

yaitu ketersediaan layanan yang masih rendah atau karena kemampuan

masyarakat yang rendah.

Mutu Pendidikan menjadi salah satu hal penting di dalam menilai

keberhasilan pembangunan di bidang pendidikan yakni bahwa mutu

pendidikan dapat dinilai dengan indicator: a) Angka Mengulang Kelas

(AMK), b) Angka Putus Sekolah (APS), c) Mutu dan Pemerataan input

Pendidikan,dan d) Mutu Lulusan. Berdasarkan hal tersebut maka realitas

(27)

bagi anak-anak SD dan SMP, serta SLTA, dan angka putus sekolah masih

cukup besar.

Berdasarkan fenomena tersebut di atas terlihat jelas bahwa terdapat

sejumlah masalah dalam bidang pendidikan yang tidak boleh dibiarkan

berlangsung terus menerus, karena hal tersebut jika diabaikan akan

menghambat pelaksanaan visi dan misi serta garis-garis besar program

pembangunan khususnya di bidang pendidikan, yang pada akhirnya akan

semakin jauh dari cita-cita bangsa Indonesia, yakni mencerdaskan

kehidupan bangsa dan mensejahterakan kehidupan bangsa

Indonesia.Berdasarkan paparan tersebut dapat diperoleh pemahaman,

bahwa beberapa permasalahan yang timbul dalam praktik penyelenggaraan

Penyelenggaraan Pendidikan, yang juga merupakan permasalahan yang

dihadapi masyarakat, perlu mendapat perhatian.

Selain hal tersebut, pembangunan pendidikan di diarahkan sejalan

dengan rencana strategis program pendidikan yakni pada pelayanan di

bidang pendidikan akan mencakupi:

1. Pendidikan anak usia dini (PAUD);

2. Wajib belajar Sembilan Tahun pada jenjang Sekolah Dasar dan

jenjang Sekolah Menengah Pertama;

3. Pendidikan Menengah;

4. Pendidikan Non formal;

5. Peningkatan Mutu Pendidik dan ke Pendidikan; dan

6. Manajemen Layanan Pendidikan.

Dengan demikian ada 6 (dua) isu hukum tentang kepastian hukum

yang perlu mendapat perhatian.

D. KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI PENERAPAN TERHADAP

MASYARAKAT DAN DAMPAKNYA TERHADAP BEBAN KEUANGAN DAERAH

Dalam lingkup pengaturan penyelenggaraan pendidikan, terdapat

dua komponen yaitu komponen yang sifatnya statis, dan komponen yang

(28)

a. Asas, fungsi, tujuan, dan prinsip penyelenggaraan

pendidikan;

b. Struktur atau kelembagaan dalam penyelenggaraan

pendidikan;

c. Tugas dan wewenang kelembagaan dalam penyelenggaraan

pendidikan;

d. Komposisi keanggotaan di dalam setiap kelembagaan

penyelenggaraan pendididkan;

e. Kelengkapan organisasi/kelembagaan penyelenggaraan

pendidikan;

f. Ketenagaan;

g. Kekayaan; dan

h. Sanksi.

Sedangkan yang dimaksud pengaturan penyelenggaran pendidikan

yang sifatnya dinamis adalah pengaturan kelembagaan pendidikan yang

meliputi tata cara atau prosedur, yang antara lain meliputi:

a. Pendirian sekolah;

b. Pengisian kelembagaan pendidikan;

c. Pengambilan keputusan di dalam satuan pendidikan;

d. Kerja sama sekolah dengan institusi lain;

e. Status aset sekolah;

f. Pengawasan penyelenggaraan pendidikan;

g. Pengadaan ketenagaan;

h. Penggabungan dan pembubaran sekolah; dan

i. Pengalihan bentuk sekolah.

Memperhatikan uraian tersebut di atas, maka adanya Peraturan

Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan ini tidak akan menimbulkan

dampak terhadap beban keuangan daerah, justru sebaliknya, akan ada

(29)

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

A. KONDISI HUKUM YANG ADA DAN STATUSNYA

Kabupaten Jembrana belum memiliki Peraturan Daerah tentang

Penyelenggaraan Pendidikan, berdasarkan Pasal 50 ayat (5) dan ayat (7)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

Pendidikan Nasional menentukan bahwa :

(5) Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.

(7) Ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah

Dalam Pasal 29 Ayat (2) Huruf F, Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan

Pendidikan, Bupati/ Walikota Berhak Membentuk Kebijakan Daerah Dalam

Bentuk Peraturan Daerah di Bidang Pendidikan. Penyelenggaraan

pendidikan adalah kegiatan pelaksanaan komponen sistem pendidikan

pada satuan atau program pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis

pendidikan agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan

tujuan pendidikan nasional.Dalam pasal itu juga disebutkan bahwa

Penyelenggaraan Pendidikan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Sekalipun ada dasar hukum untuk menetapkan Peraturan Daerah tentang

Penyelenggaraan Pendidikan, diperlukan pula argumentasi tentang urgensi

membentuk Peraturan Daerah tersebut, yang secara garis besar meliputi

argumentasi filosofis, sosiologis, dan yuridis.

B. KETERKAITAN PERATURAN DAERAH BARU DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG LAIN

Materi Pokok Penyelenggaraan pendidikan yang hendak diatur dalam

Peraturan Daerah yang sedang disusun Naskah Akademiknya, mempunyai

keterkaitan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan.

(30)

Tabel 10. Keterkaitan dengan Undang-Undang Lainnya.

Materi Muatan KETERKAITAN DENGAN

UU Pendidikan UU 23 Tahun 2014 Pasal 29 ayat (2) PP No.

17 Tahun 2010

Kebijakan daerah bidang pendidikan sebagaimana Tentang Sistem Pendidikan Nasional menentukan bahwa :

(5) Pemerintah

Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.

(7) Ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah

Sub Bidang: Manajemen pendidikan

Sumber : Diolah dari UU Pemda, UU Sisdiknas, PP Penyelenggaraan Pendidikan

Keterkaitan dengan hukum positif lainnya tidak saja dengan UU

Sisdiknas, melainkan juga dengan peraturan perundang-undangan

pelaksanaannya, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010

tentang PengelolaanPeraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang

Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah

Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan

Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 4 Tahun 2008 tentang Urusan

(31)

BAB IV

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN

YURIDIS

A. VALIDITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN: LANDASAN FILOSOFIS. SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

Istilah validitas atau geldigheid berarti keabsahan. Selain itu ada

istilah gelding yang berarti keberlakuan. Banyak penulis yang

mensinonimkan istilah validitas atau geldigheid dan istilah gelding, ungkap

Bruggink. Menurutnya, bahwa istilah validitas digunakan untuk logika,

yakni tentang penalaran yang sah (valid) jika suatu penalaran memenuhi

syarata-syarat yang dituntut oleh kaidah dan aturan logikal.6

Satjipto Rahardjo dengan mendasarkan pada pandangan Gustav

Radbruch mengungkapkan, bahwa validitas adalah kesahan berlaku

hukum serta kaitannya dengan nilai-nilai dasar dari hukum. Bahwasanya

hukum itu dituntut untuk memenuhi berbagai karya dan oleh Radbruch

disebut sebagai nilai-nilai dasar dari hukum, yakni keadilan, kegunaan

(zweckmaszigkeit), dan kepastian hukum.7

Satjipto Rahardjo menguraikan timbulnya masing-masing nilai-nilai

dasar dari hukum itu. Pertama, hukum adalah karya manusia yang berupa

norma-norma berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku. Ia merupakan

pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya

masyarakat itu dibina dan ke mana harus diarahkan. Oleh karena itu,

pertama-tama hukum itu mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih

oleh masyarakat tempat hukum itu diciptakan. Ide-ide ini adalah ide

mengenai keadilan. Kedua, hukum yang sengaja dibuat itu mengikatkan

diri kepada masyarakat sebagai basis sosialnya. Ini berarti, bahwa ia harus

memperhatikan kebutuhan dan kepentingan anggota-anggota masyarakat

6 J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidharta dari judul asli:

Rechts Reflecties, (Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996), h. 147.

7 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2000), hal.

(32)

serta memberikan pelayanan kepadanya. Meski tidak disebutkan oleh

Satjipto Rahardjo, inilah yang dimaksud dengan kemanfaatan sebagai salah

satu nilai-nilai dasar dari hukum. Ketiga, masyarakat tidak hanya ingin

keadilan diciptakan dalam masyarakat dan kepentingan-kepentingannya

dilayani oleh hukum, melainkan juga menginginkan agar dalam masyarakat

terdapat peraturan yang menjamin kepastian dalam hubungan-hubungan

mereka satu sama lain.8

Gustav Radbruch memahami hukum sebagai konsep budaya, yaitu

konsep yang berkenaan dengan nilai. Hukum sebagai konsep budaya

berurusan dengan nilai hukum dan ide hukum, yaitu hukum yang

diartikan sebagai gagasan untuk menjabarkan ide hukum. Gustav

Radbruch mengetengahkan 3 (tiga) ide hukum/cita hukum (the idea of the

law), yakni keadilan (justice), kelayakan/kemanfaatan (expediency), dan

kepastian hukum (legal certainty). Masing-masing ide dasar hukum itu

adalah:

1.Hakekat keadilan sebagai keadilan distributif atau kesetaraan yaitu

suatu bentuk perlakuan yang setara terhadap mereka yang memiliki

keadaan setara, dan perlakuan yang tidak setara bagi mereka yang

berada dalam keadaan yang berbeda, baik terhadap sesama manusia

maupun hubungan-hubungan diantara mereka.

2.Kemanfaatan atau kelayakan atau tujuan bersifat relatif, yaitu

tergantung pada pandangan-pandangan yang berbeda dari

pihak-pihak yang terlibat di dalam perkembangan sistematis tentang

hukum dan negara. Hukum sebagai pengatur kehidupan bersama

tidak dapat diserahkan kepada keinginan-keinginan perseorangan

dalam masyarakat itu, melainkan haruslah berlaku satu hukum bagi

kehidupan mereka.

3.Kepastian hukum menghendaki (1) hukum dalam bentuk positif

dalam artian jika ada sesuatu yang tidak dapat diselesaikan, maka

apa yang seharusnya atau apa yang dianggap benar yang harus

diberlakukan; dan (2) ini harus dilakukan oleh suatu badan atau

(33)

petugas yang mampu menerapkan apa yang diharuskan

diberlakukan.9

Gagasan hukum dari Gustav Radbruch tersebut diuraikan pula oleh

W. Friedmann. Menurut Radbruch, gagasan hukum sebagai gagasan

kultural tidak bisa formal, tetapi harus diarahkan kepada cita-cita hukum,

yakni keadilan. Selanjutnya dikemukakan:

1.Keadilan sebagai suatu cita ─ seperti telah ditunjukkan oleh

Aristoteles ─ tidak dapat mengatakan lain kecuali yang sama harus

diperlakukan sama, yang tidak sama diperlakukan tidak sama.

2.Pengertian kegunaan hanya dapat dijawab dengan menunjukkan

pada konsepsi-konsepsi yang berbeda tentang negara dan hukum.

Untuk mengisi cita keadilan ini dengan isi yang konkret, harus

menoleh pada kegunaannya sebagai unsur kedua dari cita hukum.

3.Untuk melengkapi formalitas keadilan dan relativitas kegunaan,

keamanan dimasukkan sebagai unsur ketiga dari cita hukum.

Kegunaan menuntut kepastian hukum. Hukum harus pasti.

Tuntutan akan keadilan dan kepastian merupakan bagian-bagian

yang tetap dari cita hukum, dan ada di luar

pertentangan-pertentangan bagi pendapat politik. Kegunaan memberi unsur

relativitas. Tetapi tidak hanya kegunaan sendiri yang relatif,

hubungan antara tiga unsur dari cita hukum itu juga relatif.

Seberapa jauh kegunaan lebih kuat dari keadilan, atau keamanan

lebih penting dari kegunaan, merupakan masalah yang harus

diputuskan oleh sistem politik masing-masing.10

Ketiga elemen dari ide hukum itu bersifat saling melengkapi antara

satu dengan lainnya – dan pada keadaan yang lain saling bertentangan satu

dengan yang lainnya.11Satjipto Rahardjo menanggapi hubungan yang

demikian dapat dimengerti, oleh karena ketiga-tiganya berisi tuntutan yang

berlain-lainan dan yang satu sama lain mengandung potensi untuk

9 Gustav Radbruch, “Legal Philosophy”, dalam Kurt Wilk, ed., The Legal Philosophies Of Lask, Radbruch, And Dabin, (Cambridge: Havard University Press, 1950), hlm. 107-109.

10W. Friedmann, Teori & Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis & Problema Keadilan

(susunan II), terjemahan Muhamad Arifin dari judul asli: Legal Theory, (Jakarta: Penerbit CV Rajawali, 1990), hal. 43.

(34)

bertentangan. Sebagai contoh, kepastian hukum, sebagai nilai ia segera

menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan ke samping. Yang utama bagi

kepastian hukum adalah adanya peraturan itu sendiri. Tentang apakah

peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakatnya,

adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum.12

Teori tentang validitas berpengaruh pada hukum positif di Indonesia.

Ini tampak pada keharusan adanya pertimbangan filosofis, sosiologis, dan

yuridis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.UU P3 2011

memberikan penjelasan mengenai unsur-unsur filosofis, sosiologis, dan

yuridis sebagai muatan konsiderans menimbang. Angka 18 dan 19 TP3

(vide Pasal 64 ayat (2) UU P3 2011) menentukan konsiderans memuat

uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan

alasan pembentukan Peraturan Perundang–undangan. Pokok pikiran pada

konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan

Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis

yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang

penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan

yuridis. Kemudian masing-masing unsur-unsur ini dijelaskan sebagai

berikut:

1. Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk

mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum

yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia

yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk

untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.

3. Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk

untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan

hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang

akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian

hukum dan rasa keadilan masyarakat.

(35)

Pemahaman mengenai unsur-unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis,

dapat pula diperoleh dari teknik penyusunan naskah akademik rancangan

peraturan perundang-undangan. Dasar hukum teknik penyusunan naskah

akademik rancangan peraturan perundang-undangan terdapat dalam Pasal

57 12/2011, yang menentukan:

(1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik.

(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

Berikutnya dalam Pasal 63 12/2011 ditentukan bahwa ketentuan

mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara mutatis mutandis

terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Artinya,

ketentuan tentang teknik penyusunan Naskah Akademik yang berlaku bagi

Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi,

berlaku pula bagi Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan

Daerah Kabupaten/Kota. Adapun penjelasan masing-masing unsur-unsur

tersebut, yang disebut landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan

yuridis, adalah sebagai berikut:

1. Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang

menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk

mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum

yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia

yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang

menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis

sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan

masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.

3. Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang

menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi

(36)

mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau

yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa

keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan

hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur

sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru.

Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah

ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih,

jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga

daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak

memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.

Aspek sosiologis dalam perancangan peraturan perundang-undangan

dimanfaatkan dalam konteks pembentukan dan bukan dalam konteks

pelaksanaan peraturan perundang-undangan, seperti tampak dalam bagan

berikut:

Bagan: Unsur sosiologis dalam konteks pembentukan dan pelaksanaan UU atau Perda.

B. RELEVANSI VALIDITAS DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

Berdasarkan pemahaman tentang validitas tersebut, maka unsur

filosofis, sosiologis dan yuridis, yang menjadi latar belakang pembuatan

undang-undang atau peraturan daerah, dapat dimaknai sebagai berikut:

1.Unsur filosofis adalah nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu

Negara (bagi Indonesia yang termaktub dalam Pancasila dan

Pembukaan UUD 1945) yang menjadi latar belakang dan alasan

(37)

2.Unsur yuridis adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi

latar belakang dan alasan pembuatan undang-undang atau

peraturan daerah, yang meliputi:

a. Dasar hukum formal, yakni peraturan perundang-undangan yang

menjadi dasar kewenangan pembentukan suatu peraturan

perundang-undangan. Termasuk keharusan mengikuti prosedur

tertentu.

b. Dasar hukum substansial, yakni peraturan Perundang-undangan

yang memerintahkan materi muatan tertentu diatur dalam suatu

Peraturan Perundang-undangan.Termasuk kesesuaian jenis dan

materi muatan.

3.Unsur sosiologis adalah gejala dan masalah sosial-ekonomi-politik

yang berkembang di masyarakat yang menjadi latar belakang dan

alasan pembuatan undang-undang atau peraturan daerah.

Relevansilandasan keabsahan tersebut dengan pengaturan

penyelenggaraan pendidikan adalah pengaturan penyelenggaraan

pendidikan mendasarkan pada tiga landasan keabsahan, yakni filofofis,

yuridis, dan sosiologis, sebagaimana diamanatkan UU P3 2011.

Pertama, Landasan Filosofis. Negara Kesatuan Republik Indonesia

merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk

memberikan pengayoman dan memajukan kesejahteraan masyarakat dalam

rangka mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera,

dan berkeadilan. Sejalan dengan itu, dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 ditentukan Negara Kesatuan Republik

Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri

atas daerah-daerah kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,

kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah. Masing-masing

pemerintahan daerah itu mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan

menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Otonomi dimaksud adalah

otonomi seluas-luasnya.

Ketentuan konstitusional tersebut dilaksanakan dengan

(38)

telah diubah beberapa kali terakhir denganUndang-Undang Nomor 12

Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23

tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33

Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintahan Daerah. Dengan berlakunya Undang-Undang ini, maka

penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan

kewenangan yang seluas-luasnya, disertai dengan pemberian hak dan

kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem

penyelenggaraan pemerintahan Negara.

Penyelenggaraan pendidikan daerah merupakan salah satu sumber

pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan

pemerintahan daerah. Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada

masyarakat dan kemandirian daerah, perlu dilakukan perluasan objek

penyelenggaraan pendidikan daerah dan pemberian diskresi dalam

penetapan tarif. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan daerah dan

penyelenggaraan pendidikan daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip

demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan

akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah.13

Berdasarkan uraian tersebut dapat ditegaskan, landasan filosofis

pengaturan penyelenggaraan pendidikan adalah bahwa penyelenggaraan

pendidikan merupakan sumber pendapatan daerah yang penting guna

membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah dan meningkatkan

pelayanan kepada masyarakat, sehingga perlu pengaturan penyelenggaraan

pendidikan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan,

peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi

daerah.

Jadi, Pemerintahan Daerah membuat Peraturan Daerah tentang

penyelenggaraan pendidikan, berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan

dan keadilan, peranserta masyarakat, dan akuntabilitas. Adapun tujuan

pembentukan Peraturan Daerah ini adalah sebagai landasan hukum

pemungutan penyelenggaraan pendidikan, yang merupakansalah satu

13 Didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

(39)

sumber pendapatan Kabupaten Jembrana yang penting gunamembiayai

pelaksanaan pemerintahan pemerintahan daerah dan meningkatkan

pelayanan kepada masyarakat di Kabupaten Jembrana.

Kedua, Landasan Yuridis. Berdasarkan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni Pasal 18 ayat (1), ayat (2),

dan ayat (5), penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri

atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut

mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas

penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.

Penyelenggaran Pemerintahan Daerah selanjutnya diatur dalam

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23

tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasiona, l

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 TAHUN 2010 Tentang

Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan, Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan dan

Penyelenggaraan Pendidikan.

Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, dan

kemudian ditegaskan lagi dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor

23 tahun 2014, pemerintah daerah menyelenggarakan urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan

yang oleh undang-undang, ditentukan sebagai urusan pemerintah (pusat).

Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

daerah, pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas

otonomi dan tugas pembantuan. Urusan wajib yang menjadi kewenangan

daerah untuk kabupaten dan kota yaitu, meliputi:

a. Pelaksanaan dan pengendalian pembangunan;

(40)

c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;

d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;

e. Penanganan bidang kesehatan;

f. Penyelenggaraan pendidikan;

g. Penanggulangan masalah social;

h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;

i. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;

j. Pengendalian lingkungan hidup;

k. Pelayanan pertanahan;

l. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil;

m.Pelayanan administrasi umum dan pemerintahan;

n. Pelayanan administrasi penanaman modal;

o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan

(41)

BAB V

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG

LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

KABUPATEN JEMBRANA TENTANG

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

A. ARAH DAN JANGKAUAN PENGATURAN

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka arah pengaturan adalah

mengarahkan agar pengaturan penyelenggaraan pendidikan dirumuskan

secara berkeadilan, berkemanfaatan, dan berkepastian hukum.

Jangkauan pengaturannya adalah agar penyelenggaraan pendidikan

secara abasah berdasarkan Peratruran Daerah. Jadi, pentingnya disusun

Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan pendidikan ini

adalah memberikan landasan hukum penyelenggaraan pendidikan, yang

disusun berdasarkan pertimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis, untuk

pencapaian keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum dalam

penyelenggaraan pendidikan tersebut.

B. RUANG LINGKUP MATERI MUATAN

Ruang lingkup materi muatan raperda penyelenggaraan pendidikan

adalah jangkauan materi pengaturan yang khas yang dimuat dalam raperda

penyelenggaraan pendidikan, yang meliputi materi yang boleh dan materi

yang tidak boleh dimuat dalam raperda penyelenggaraan pendidikan.14

Jadi, yang dimaksud dengan materi muatan baik mengenai batas materi

muatan maupun lingkup materi muatan.

Lingkup materi yang boleh dimuat ditentukan oleh asas otonomi

daerah dan tugas pembantuan maupun yang ditentukan secara

objektif-normatif dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagai

materi muatan Perda tentang penyelenggaraan pendidikan.

(42)

Pengelompokan tersebut mesti mengacu pada Teknik Penyusunan

Peraturan Perundang-undangan, angka 1 dan angka 62 TP3, mengenai

kerangka Peraturan Perundang-undangan dan pengelompokkan batang

tubuh Peraturan Perundang-undangan, yakni:

1. Judul

2. Konsiderans ( Menimbang)

3. Dasar hukum Mengingat

4. Bab I Ketentuan Umum

5. Bab II Tujuan, Ruang Lingkup dan Prinsip Penyelenggaraan

Pendidikan

6. Bab III Hak dan Kewajiban Pemerintah Daerah dan Masyarakat

7. Bab IV Satuan Pendidikan

8. Bab V Peserta Didik

9. Bab VI Pendidikan Formal

10.Bab VII Pendidikan Non Formal

11.Bab VIII Pendidikan Anak Usia Dini

12.Bab IX Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus

13.Bab X Pendidikan Keagamaan

14.Bab XI Pendidikan Bertaraf Internasional dan Pendidikan Berbasis

Keunggulan Lokal

15.Bab XII Penyelenggaraan Pendidikan Oleh Lembaga Asing

16.Bab XIII Pendidik dan Lembaga Kependidikan

17.Bab XIV Sarana dan Prasarana Pendidikan

18.Bab XV Evaluasi

19.Bab XVI Akreditasi

20.Bab XVII Pengawasan

21.Bab XVIII Wajib Belajar

22.Bab XIX Partisipasi Masyarakat

23.Bab XX Pendanaan Pendidikan

24.Bab XXI Penyidikan

25.Bab XXII Sanksi Administrasi

26.Bab XXIII Ketentuan Pidana

(43)

Adapun uraian dari seting produk hukum baru mengenai

Penyelenggaraan Pendidikan dalam bentuk Peraturan Daerah adalah

sebagai berikut :

1.Judul.

Sesuai dengan lampiran TP3 angka 2 dan 3 Judul

Perundang-undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun

pengundangan atau penetapan dan nama peraturan perundang-undangan

dan nama Peraturan Perundang-undangan dibuat secara singkat dan

mencerminkan isi Peraturan Perundang-undangan.

Judul yang digunakan adalah sesuai dengan jenis yang hendak diatur.

Sehingga judul yang digunakan adalah Peraturan Daerah Kabupaten

Jembrana Nomor…..Tahun…..tentang Penyelenggaraan Pendidikan

2. Konsiderans ( Menimbang).

Dasar pertimbangan yang digunakan dalam Rancangan Peraturan

Daerah ini meliputi pertimbangan yang bersifat filosofis, yuridis dan

sosiologis yakni :

a. bahwa pendidikan adalah hak seluruh warga negara Indonesia;

b. bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah Pemerintah Kabupaten Jembrana berwenang dalam Penyelenggaraan Pendidikan;

c. bahwa Penyelenggaraan Pendidikan di Kabupaten Jembrana diarahkan untuk mewujudkan upaya peningkatan sumber daya manusia yang memiliki daya saing global;

d. berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan;

3. Dasar hukum Mengingat.

Dalam merumuskan dasar hukum yang mengacu Pedoman angka 28

TP3, bahwa dasar hukum memuat dasar kewenangan pembuatan

Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan

Peraturan Perundang-undangan, dengan ungkapan lain dasar hukum

peraturan daerah memuat dasar hukum formal yakni yang berkaitan

(44)

substansial yakni yang berkaitan dengan substansi peraturan daerah Dasar

hukum formal maupun substansial yang dipergunakan dalam penyusunan

Rancangan Peraturan Daerah ini adalah sebagai berikut :

1. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-Daerah Tingkat I Bali nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1555);

2. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);

3. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44 37) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2008, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

4. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4586);

5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1990 tentang Pendidikan Prasekolah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3411);

(45)

Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3763);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3413) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3764);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3460);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3461);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1992 tentang Tenaga Kependidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3641) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1992 tentang Tenaga Kependidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3974);

12. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1992 tentang Peran Serta Masyarakat Dalam Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3485);

13. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

Gambar

Tabel 1. Murid Berdasarkan Usia Tahun 2009-2013
Tabel 3. Jumlah Sekolah dan Tenaga Pengajar Tahun 2013
Tabel 5. Penduduk Jembrana Berdasarkan Pendidikan Akhir (Tingkat Pendidikan)
Grafik Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan Akhirdi Kabupaten Jembrana Tahun 2013
+6

Referensi

Dokumen terkait

Pariwisata memberikan dampak yang baik untuk pembangunan di mana dengan adanya sebuah wisata di suatu daerah, maka pembangunan infrastruktur akan ada untuk

Model prediksi berkaitan dengan pembuatan sebuah model yang dapat melakukan pemetaan dari setiap himpunan variabel ke setiap targetnya, kemudian menggunakan model

Risiko dan cabaran yang seringkali dihadapi oleh penduduk kawasan ini ialah kejadian bencana banjir yang berlaku setiap tahun dengan kekerapan dan intensiti

Kopi robusta memiliki kandungan kafein yang tinggi, lebih tinggi dibandingkan kopi arabika, namun dapat diturunkan dengan proses dekafeinasi Penurunan kadar kefein

23 Menurut Suadi bahan baku adalah “bahan yang menjadi bagian produk jadi dan dapat diidentifikasikan ke produk jadi.” 24 Pengertian pangan menurut UU No 18 Tahun

Serta variabel dependen yang digunakan yaitu kinerja keuangan yang diukur menggunakan Rasio likuiditas yaitu current ratio untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam

Berdasarkan data diatas maka perhitungan secara manual dan secara software, mendapatkan hasil yang relatif sama, perbedaan adalah angka dibelakang koma, yaitu tiga angka dibelakang

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan produktivitas antara sapi Simmental dan Limousin yang dipelihara di BPTU-HPT Padang Mengatas yang