• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN. hasil penelitian. Sehingga pembahasan ini akan mengintegrasikan hasil penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN. hasil penelitian. Sehingga pembahasan ini akan mengintegrasikan hasil penelitian"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

69 BAB IV

ANALISIS HASIL PENELITIAN

Pada bab ini, peneliti akan menyajikan uraian pembahasan sesuai dengan hasil penelitian. Sehingga pembahasan ini akan mengintegrasikan hasil penelitian yang sudah dilakukan sekaligus memadukan dengan teori yang ada. Sebagaimana yang ditegaskan dalam teknik analisis. Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif dari data yang didapatkan melalui observasi, dokumentasi dan wawancara dari pihak-pihak yang mengetahui tentang data yang dibutuhkan.

Selanjutnya dari hasil tersebut dikaitkan dengan teori yang ada diantaranya sebagai berikut:

A. Implementasi Metode Sorogan dalam Pembelajaran Fikih di Kelas VIII MTs. Terpadu Daruttauhid Jepara

KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) sorogan Fathul Qarib dilaksanakan empat hari dalam sepekan dan setiap babnya dibagi-bagi secara klasikal mulai kelas VII sampai kelas IX. Adapun Fathul Qarib diajarkan pada jenjang kelas VIII oleh Bapak Ahmad Harir, S.Pd,.

Pembelajaran Fathul Qarib di MTs. Terpadu Daruttauhid Jepara tak jauh berbeda dengan metode sorogan di dunia pesantren. Yaitu sebelum guru pengampu mengajar, maka guru tersebut menunjuk beberapa peserta didik untuk membaca materi yang sebelumnya telah diajarkan. Peserta didik yang ditunjuk kemudian maju ke depan satu persatu menghadap guru untuk membaca kitab kuning yang kosong tanpa makna dan harokat (kosongan). Guru menyimak

(2)

dengan seksama setiap bacaan muridnya itu. Lafadz demi lafadz. Baris demi baris. Dan bila didapati kesalahan maka sang guru langsung mengingatkan dan membenarkan. Dan murid mengulangnya dengan bacaan yang benar sebagaimana arahan dari guru. Setelah dianggap cukup, maka peserta didik diperintah berhenti. Dan menterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia apa yang telah dia baca tadi. Seperti yang dipaparkan oleh Bapak Ahmad Harir, S.Pd, selaku guru pengampu fikih di kelas VIII MTs. Terpadu Daruttauhid Jepara:

“Prakteknya, sebelum memulai pelajaran berikutnya.. ada dua atau tiga santri maju untuk membaca kembali materi yang dikaji di pertemuan sebelumnya. Mereka maju satu persatu membaca kitab secara acak. Baris demi baris. Mereka membaca menggunakan kitab kosongan. Dan apabila ada yang salah, maka guru langsung membenarkannya”.93

Dari data di atas diketahui bahwa implemetasi metode sorogan di kelas VIII MTs. Terpadu Daruttauhid Jepara sudah benar dan sesuai dengan praktik sorogan yang ditentukan oleh Kemenag RI.

“Santri kemudian menirukan kembali apa yang dibacakan kyai atau ustadznya secara sama. Kegiatan ini biasanya diminta oleh kyai atau ustadz untuk diulang pada pengajian berikutnya sebelum dipindah pada pelajaran selanjutnya.

Kyai atau ustadz mendengarkan secara tekun pula apa yang dibaca santrinya sambil melakukan koreksi-koreksi seperlunya. Setelah tampilan santri dapat diterima, tidak jarang juga kyai atau ustadz memberikan tambahan penjelasan agar apa yang dibaca dapat lebih dimengerti”.94

Peserta didik yang ditunjuk membaca kosongan dipilih secara acak.

Sengaja tidak dijadwalkan agar semuanya belajar dan mempersiapkan diri untuk maju. Mereka disuruh maju satu persatu secara bergantian dengan batas baca yang ditentukan. Biasanya setiap anak mendapatkan porsi sekitar 5-7 menit.

93 Bapak Ahmad Harir, S.Pd, Guru Pengampu fikih di kelas VIII MTs. Terpadu Daruttauhid Jepara, wawancara pribadi, Jepara, 16 September 2019.

94 Departemen Agama RI, Pola Pembelajaran di Pesantren, (Jakarta: Ditpekapontren Ditjen Kelembagaan Agama Islam, 2003), hal. 74-78.

(3)

Peserta didik maju satu persatu membawa kitabnya masing-masing.

Pada dua bulan awal, maka peserta didik hanya diwajibkan menguasai tiga baris kosongan saja. Kemudian, di bulan berikutnya maka ditambah satu baris satu baris. Begitu seterusnya sampai semua bisa membaca kosongan dengan utuh.

Terkadang peserta didik yang disuruh maju membaca kosongan adalah dua orang atau tiga atau lebih tergantung waktu yang ada. Setelah sorogan kosongan dari murid selesai, barulah guru membacakan mapel Fathul Qarib di hari itu, melanjutkan materi kemarin. Materi fathul qarib diajarkan sesuai jadwal pelajaran dari madrasah. Setelah membaca satu pembahasan, maka guru berhenti dan menjelaskan dengan memakai bahasa Indonesia. Dan terkadang bertanya terkait nahwu shorof sebagai selentingan. Begitu seterusnya hingga jam KBM berakhir. Seperti apa yang dikatakan oleh Bapak Ahmad Harir, S.Pd, selaku guru pengampu fikih di kelas VIII MTs. Terpadu Daruttauhid Jepara:

“Setelah peserta didik dianggap cukup membaca kitab dengan metode sorogan ini, barulah gurunya melanjutkan materi berikutnya. Keterangannya menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah. Satu pembahasan demi satu pembahasan agar materi lebih mudah dipahami peserta didik”. 95

Dari data di atas diketahui bahwa implemetasi metode sorogan di kelas VIII MTs. Terpadu Daruttauhid Jepara sudah relevan dengan praktik sorogan yang ditentukan oleh Kemenag RI.

Kyai atau ustadz membacakan teks dalam kitab itu, baik sambil melihat maupun secara hafalan dan kemudian memberikan artinya dengan menggunakan bahasa melayu atau bahasa daerahnya. Panjang atau pendeknya yang dibaca sangat bervariasi, tergantung perkiraan guru terhadap kemampuan santri”.96

95 Bapak Ahmad Harir, S.Pd, Guru Pengampu fikih di kelas VIII MTs. Terpadu Daruttauhid Jepara, wawancara pribadi, Jepara, 16 September 2019.

96 Departemen Agama RI, Op. Cit., hal. 75

(4)

Kemudian sebelum ditutup, maka sebagian peserta didik disuruh membaca dan mengulangi lagi materi yang telah dibaca oleh sang guru tersebut.

Satu peserta didik ditunjuk membaca kitab kuning dengan keras, sementara peserta didik yang lain menyimak. Kali ini, si murid boleh membaca dengan kitab yang ada maknanya, alias bukan kosongan. Hal ini dilakukan jika waktu masih memungkinkan.

Sebagai contoh dalam praktik bahasa Jawa, diantaranya yang sering muncul adalah pengucapan lafal “utawi” berarti kata yang diucapkan itu berstatus sebagai “mubtada” atau sebagai subjek. Pengucapan “iki” berarti kata yang dilafalkan itu berstatus sebagai “khabar” atau predikat. Pelafalan kata “sopo”

menunjukkan bahwa kata yang disebutkan itu berstatus sebagai fa’il atau pelaku. Pengucapan kata “ing” menunjukkan bahwa kata yang diucapkan berkedudukan sebagai “maf’ul bih” atau sebagai objek dan seterusnya.97

Apabila ada peserta didik yang ditunjuk membaca kosongan dengan metode sorogan lantas tidak bisa maka peserta didik tersebut akan mendapatkan hukuman. Hukuman ini bervariasi macamnya. Terkadang berdiri di dalam kelas hingga KBM usai. Terkadang membaca sholawat dengan bilangan tertentu.

Adakalanya membaca Alqur’an beberapa halaman. Adakalanya membersihkan suatu tempat. Hal ini dilakukan untuk membakar motivasi murid tesebut dan peserta didik yang lain agar giat belajar sehingga tidak mengulani hal yang serupa.

97 Ibid.

(5)

Untuk menambah kemampuan anak dalam belajar sorogan, maka ada belajar wajib yang dilakukan di luar jam KBM normal. Belajar wajid ini dilaksanakan di lingkungan Pondok Pesantren Daruttauhid ‘Al ‘Alawiyyah Potroyudan Jepara yang masih satu yayasan dengan MTs. Terpadu Daruttauhid Jepara. Pesantren tersebut diasuh oleh KH. Mundziri Jauhari dan KH. Ahmad Roziqin, Lc., M.Pd. Belajar wajib ini dibimbing oleh para asatidz pesantren dan para kakak santri senior. Satu pembimbing membawahi sekitar 7-10 anak.

Belajar wajid dilakukan saat siang dan malam sesuai jadwal. Untuk itulah, dalam pelaksanaan metode pembelajaran sorogan ini dibutuhkan guru yang sangat banyak. Karena semakin sedikit santri yang dibimbing maka pembelajaran sorogan ini semakin efektif. Begitu juga sebaliknya.

Sesuai hasil wawancara peneliti, bahwa dengan diterapkan metode sorogan di MTs. Terpadu Daruttauhid Jepara ini bisa lebih efektif karena kyai atau guru dulu yang membaca dan mengartikan serta menjelaskan. Sehingga kemungkinan salah adalah lebih sedikit daripada peserta didik yang memaknai terlebih dahulu. Seperti praktik sorogan pada umumnya. Mengingat umur mereka yang masih belia. Maka tentu pengalaman dalam membaca dan memaknai kita sangatlah minim. Setelah itu, barulah peserta didik mengulangi dengan semirip mungkin bacaan kyai/ gurunya kemaren. Hal ini sesuai dengan keterangan yang ditulis oleh Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag:

“Metode sorogan secara didaktik-metodik terbukti memiliki efektivitas dan signifikansi yang tinggi dalam mencapai hasil belajar. Sebab metode ini memungkinkan kyai atau ustadz mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan santri dalam menguasai materi. Metode sorogan justru

(6)

mengutamakan kematangan dan perhatian serta kecakapan seseorang”.98

Dan dengan diterapkan metode pembelajaran sorogan ini bisa meningkatkan prestasi belajar santri, karena standar pembelajaran sorogan yaitu peserta didik diharuskan aktif. Selain itu peserta didik juga mendapatkan wawasan yang banyak dari arahan-arahan penyimak, dan juga motivasi. Dan ada kedekatan tersendiri tatkala peserta didik ditunjuk maju dan membaca kitab kosongan. Selain itu, guru memiliki peran tersendiri terhadap penerapan pembelajaran sorogan dalam meningkatkan belajar santri.

Contoh memaknai kitab di MTs. Terpadu Daruttauhid Jepara:

ٌﻞْﺼَﻓ ) ٌﺔﱠﻨُﺳ) ِﺔَﻌُﻤُﺠْﻟﺍ ِﺮْﻴَﻏ ِﺾِﺋﺍ َﺮَﻔْﻟﺍ ﻲِﻓ ِﻝﺎَﺟ ِّﺮﻠِﻟ (ِﺔَﻋﺎَﻤَﺠْﻟﺍ ُﺓَﻼَﺻ َﻭ) (

(ٌﺓَﺪﱠﻛ َﺆُﻣ ِّﻱِﻭ َﻮﱠﻨﻟﺍ َﺪْﻨِﻋ ﱡﺢَﺻَﻷْﺍ َﻭ ،ِّﻲِﻌِﻓﺍ ﱠﺮﻟﺍ َﻭ ِﻒِّﻨَﺼُﻤْﻟﺍ َﺪْﻨِﻋ .ٍﺔَﻳﺎَﻔِﻛ ُﺽ ْﺮَﻓ ﺎَﻬﱠـﻧَﺃ

( ٌﻞ ْﺼَﻓ) :

utawi iki iku ono fasal suwiji

(ِﺔَﻋﺎَﻤَﺠْﻟﺍ ُﺓَﻼَﺻ َﻭ) :

utawi sholat jamaah

ِﻝﺎَﺟ ِّﺮﻠِﻟ :

keduwe piro-piro wong lanang

ِﺾِﺋﺍ َﺮَﻔْﻟﺍ ﻲِﻓ :

ingdalem piro-piro sholat fardhu

ِﺔَﻌُﻤُﺠْﻟﺍ ِﺮْﻴَﻏ :

kang sak liyane sholat Jum’at

ٌﺔﱠﻨُﺳ :

iku sunnah

ٌﺓَﺪﱠﻛ َﺆُﻣ :

kang dikukuhake

ِﻒِّﻨَﺼُﻤْﻟﺍ َﺪْﻨِﻋ :

mungguhe mbah mushonnif

ِّﻲِﻌِﻓﺍ ﱠﺮﻟﺍ َﻭ :

lan Imam Rofi’i

ﱡﺢَﺻَﻷْﺍ َﻭ :

utawi pendapat kang luweh shohih

98 Mujamil Qomar, Pesantren: dari transformasi metodologi menuju demokratisasi institusi, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005), hal. 145.

(7)

ِّﻱِﻭ َﻮﱠﻨﻟﺍ َﺪْﻨِﻋ :

mungguhe Imam Nawawi

ﺎَﻬﱠـﻧَﺃ :

iku saktemene

ِﺔَﻋﺎَﻤَﺠْﻟﺍ ُﺓَﻼَﺻ ٍﺔَﻳﺎَﻔِﻛ ُﺽ ْﺮَﻓ :

iku fardhu kifayah.

Dari data di atas diketahui bahwa implemetasi metode sorogan di kelas VIII MTs. Terpadu Daruttauhid Jepara sudah relevan dengan praktik sorogan yang ditentukan oleh Kemenag RI.

“Selain mendengarkan, santri melakukan pencatatan atas: Pertama, bunyi ucapan teks Arab dengan melakukan pemberian harakat (syakal) terhadap kata- kata Arab yang ada dalam teks kitab. Pensyakalan itu yang sering juga disebut pendlabitan (pemastian harakat), meliputi semua huruf yang ada baik huruf awal, tengah maupun akhir (I’rab). Kedua, menuliskan arti setiap kata yang ada dengan bahasa Indonesia atau bahasa daerah langsung bawah setiap kata Arab (diafsahi) dengan menggunakan huruf Arab pegon dengan berbagai pertambahannya, untuk disesuaikan dengan susunan kata dalam bahasa pengantar. Kata-kata penyesuaian itu biasanya juga dicatat melalui perlambangan untuk menggambarkan kedudukan kata itu dalam kalimat Arab. Kata berkedudukan mubtada (subyek) misalnya diberi tanda huruf mim (singkatan dari mubtada) di depannya dan mengandung arti “adapun” atau utawi (Jawa). Misalnya lagi, kata depannya dengan huruf kha’

(singkatan dari khabar) dengan mengandung arti “itu” atau iku, niku (Jawa) atau nya eta (Sunda) dan seterusnya. Namun demikian, ada pula kyai atau ustadz yang tidak menghendaki pencatatan demikian, melainkan semuanya harus diingat dengan baik”.99

B. Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat Implementasi Metode Sorogan dalam Pembelajaran Fikih di Kelas VIII MTs. Terpadu Daruttauhid Jepara

Faktor pendukung implementasi metode sorogan di kelas VIII MTs.

Terpadu Daruttauhid Jepara adalah:

3. Kualitas pendidik.

Berhasil dan tidaknya metode sorogan di kelas VIII MTs. Terpadu

99 Departemen Agama RI, Loc. Cit.

(8)

Daruttauhid Jepara sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kompetensi pendidiknya.

Sehingga diharapkan mendapatkan hasil yang maksimal bagi peserta didik.

Seperti hasil wawancara dengan KH. Ahmad Roziqin, Lc. M.Pd:

“Faktor pendukungnya yaitu guru/ ustadz yang menguasai dalam ilmu ini secara teori dan praktek. Oleh karena itu kami pilih ustadz yang memang ahli di bidangnya sehingga mendapatka hasil yang maksimal”.100

Dari data di atas diketahui bahwa faktor pendukung implemetasi metode sorogan di kelas VIII MTs. Terpadu Daruttauhid Jepara sudah relevan dengan yang disebutkan oleh Imam Mokhtar:

“Guru yang baik tentunya mempunyai kemampuan atau kompetensi yang benar-benar siap dalam menyampaikan pelajaran di depan kelas sebagaimana diharapkan. Dengan kata lain guru yang baik adalah guru yang dapat mengajar dengan baik. Artinya, keberhasilan belajar peserta didik akan terlihat dari kualitas kemampuan dasar atau kompetensi guru tersebut. Peningkatan kualitas pendidikan dipengaruhi oleh banyak faktor. Namun, bila dilihat dari sisi proses, guru merupakan faktor penting yang ikut menentukan kualitas pendidikan disamping faktor lain seperti peserta didik, kurikulum, sarana dan prasarana dan sebagainya”.101

4. Waktu yang cukup.

Selain guru yang berkualitas, waktu yang cukup juga sangat mempengaruhi dalam keberhasilan implemetasi metode sorogan di kelas VIII MTs. Terpadu Daruttauhid Jepara. Bila alokasi waktu tidak cukup, maka sudah tentu materi tidak akan dapat tersampaikan secara menyeluruh kepada peserta didik. Hal ini senada dengan hasil wawancara bersama Bapak Ahmad Harir, S.Pd:

“Faktor pendukungnya adalah waktu yang cukup. Sehingga ustadz/ guru dapat menyampaikan materi-materi secara utuh. Dan juga bisa

100 KH. Ahmad Roziqin, Lc.M.Pd, Pengasuh PP. Daruttauhid Jepara, wawancara pribadi, Jepara, 15 September 2019.

101 Imam Mohtar, Problematika Pembinaan Pendidikan Agama Islam Pada Masyarakat, (Ponorogo: Uwais Inspirasi Indonesia, 2017), hal. 43.

(9)

mempraktikkannya kepada segenap peserta didik di kelas”.102

Dari data di atas diketahui bahwa faktor pendukung implemetasi metode sorogan di kelas VIII MTs. Terpadu Daruttauhid Jepara sudah relevan dengan apa yang disebutkan oleh Thursan Hakim:

“Waktu memang berpengaruh terhadap keberhasilan belajar seseorang, tentunya telah kita ketahui bersama. Sebenarnya yang sering menjadi masalah bagi siswa atau mahasiswa bukan ada atau tidak adanya waktu, melainkan bisa atau tidaknya mengatur waktu yang tersedia untuk belajar”.103

Adapun faktor penghambat implementasi metode sorogan di kelas VIII MTs. Terpadu Daruttauhid Jepara adalah:

4. Ketika guru udzur maka tidak ada guru pengganti.

Faktor penghambat metode sorogan di kelas VIII MTs. Terpadu Daruttauhid Jepara adalah ketidakhadiran guru di kelas dan tidak ada yang menggantikannya. Hal mengakibatkan para murid belajar sendiri tanpa ada yang mengawasi. Dalam kondisi seperti ini, peserta didik diberikan tugas tentang materi yang sudah diajarkan. Misal membuat resume, memberi beberapa soal untuk dikerjakan atau belajar kelompok.

Seperti yang telah dituturkan oleh KH. Ahmad Roziqin, Lc., M.Pd:

“Untuk faktor penghambatnya, yang pertama adalah keterbatasan jumlah ustadz, misalnya saja ketika ustadznya udhur, dan itu biasanya tidak ada yang menggantikan, jadi ya terpaksa para santri belajar secara mandiri”.104

Dan juga yang dikatakan oleh Bapak Ahmad Harir, S.Pd:

102 Bapak Ahmad Harir, S.Pd, Guru Pengampu fikih di kelas VIII MTs. Terpadu Daruttauhid Jepara, wawancara pribadi, Jepara, 16 September 2019.

103 Thursan Hakim, Belajar Secara Efektif, (Jakarta: Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara, 2008), hal. 20.

104 KH. Ahmad Roziqin, Lc., M.Pd, Pengasuh Pondok Pesantren Daruttauhid Jepara, wawancara pribadi, Jepara, 15 September 2019

(10)

“Adapun faktor penghambatnya, yang pertama datang dari guru pengajar yang tidak hadir, misalnya ketika ada kepentingan mendesak dan itu tidak ada yang menggantikan, sehingga peserta didik hanya belajar secara mandiri”.105

Dari data di atas diketahui bahwa faktor penghambat implemetasi metode sorogan di kelas VIII MTs. Terpadu Daruttauhid Jepara sudah relevan dengan yang disebutkan oleh Prof. Dr. Sudarwan Danim:

“Telah lama berkembang kesadarang publik bahwa tidak ada guru, tidak ada pendidikam formal. Telah muncul pula kesadaran bahwa tidak ada pendidikan yang bermutu tanpa kehadiran guru profesional dengan jumlah yang mencukupi”.106

5. Terbatasnya waktu.

Termasuk faktor penghambat metode sorogan di kelas VIII MTs. Terpadu Daruttauhid Jepara adalah terbatasnya waktu. Karena Proses pembelajaran dengan metode sorogan hanya dilakukan 3x tatap muka dalam sepekan. Dan setiap tatap muka durasinya hanya 40 menit. Yang terdiri dari 20-25 peserta didik dalam satu kelas. Sehingga perlu ditambah jam belajar bagi peserta didik di luar kelas yang dibimbing oleh ustadz atau santri senior agar pelaksanaan metode sorogan ini dapat lebih maksimal.

Seperti hasil wawancara dengan KH. Ahmad Roziqin, Lc., M.Pd:

“Yang kedua soal waktu. Alokasi waktu yang sedikit juga mempengaruhi. Oleh karenanya harus diimbangi dengan belajar di luar kelas”.107

Dan juga yang dikatakan oleh Bapak Ahmad Harir, S.Pd:

“Yang kedua soal waktu. Dalam satu minggu hanya 3 kali tatap muka.

Dalam sekali tatap muka durasinya 40 menit dan itu belum cukup. Oleh

105 Bapak Ahmad Harir, S.Pd, Guru Pengampu fikih di kelas VIII MTs. Terpadu Daruttauhid Jepara, wawancara pribadi, Jepara, 16 September 2019

106 Sudarwan Danim, Pengembangan Profesionalisme Guru, (Jakarta: Kencana, 2015), hal.

2.

107 KH. Ahmad Roziqin, Lc., M.Pd, Pengasuh Pondok Pesantren Daruttauhid Jepara, wawancara pribadi, Jepara, 15 September 2019

(11)

karenanya harus didukung dengan belajar di luar kelas seperti yang sudah kami jelaskan di atas”.108

Dari data di atas diketahui bahwa faktor penghambat implemetasi metode sorogan di kelas VIII MTs. Terpadu Daruttauhid Jepara sudah relevan dengan faktor penghambat implemetasi metode sorogan yang disebutkan oleh Zamachsari Dhofier:

“Bila dipandang dari segi waktu dan tenaga mengajar kurang efektif, karena membutukan waktu yang relatif lama apalagi bila santri yang belajar sangat banyak akan membutukan waktu yang sangat panjang dan banyak mencurahkan tenaga untuk mengajar”.109

6. Waktu menunggu yang lama.

Termasuk faktor penghambat metode sorogan di kelas VIII MTs. Terpadu Daruttauhid Jepara adalah waktu menunggu yang lama. Karena banyaknya peserta didik dan waktu yang terbatas sehingga tidak jarang mengakibatkan peserta didik lama menunggu sampai tiba gilirannya.

Seperti hasil wawancara dengan Ahmad Riyan Danil Mahasin, siswa kelas VIII MTs. Terpadu Daruttauhid Jepara:

Kendalanya yaitu menunggu giliran yang lama. Satu pertemuan cuma sekitar 40 menit. Dan siswanya banyak. Sehingga harus mengantri sampai nama kami dipanggil pak guru. Terkadang satu minggu hanya dapat sekali kesempatan saja”.110

Dari data di atas diketahui bahwa faktor penghambat implemetasi metode sorogan di kelas VIII MTs. Terpadu Daruttauhid Jepara sudah relevan dengan faktor penghambat implemetasi metode sorogan yang disebutkan oleh

108 Bapak Ahmad Harir, S.Pd, Guru Pengampu fikih di kelas VIII MTs. Terpadu Daruttauhid Jepara, wawancara pribadi, Jepara, 16 September 2019

109 Zamachsari Dhofier, Op.Cit., hal. 28.

110 Ahmad Riyan Danil Mahasin, Siawa kelas VIII MTs. Terpadu Daruttauhid Jepara, wawancara pribadi, Jepara, 16 September 2019

(12)

Zamachsari Dhofier:

“Bila dipandang dari segi waktu dan tenaga mengajar kurang efektif, karena membutukan waktu yang relatif lama apalagi bila santri yang belajar sangat banyak akan membutukan waktu yang sangat panjang dan banyak mencurahkan tenaga untuk mengajar”.111

111 Zamachsari Dhofier, Loc. Cit., hal. 28.

Referensi

Dokumen terkait

Manakala huraian stail pakaian pula menjelaskan dengan teliti tentang setiap ciri yang terdapat pada pakaian tersebut, sebagai contoh, lisu, belah, bahu mendatang ( yoke ) ,

Perhatian terhadap pentingnya memperkuat pembangunan desa dengan strategi membangun Indonesia dari pinggiran atau dengan konsep desa membangun, adalah untuk

Ketepatan (berasal dari kata dasar “tepat” yang berarti cocok atau betul) data kita artikan sebagai ketepatan dalam hal waktu pengumpulan, jenis dan macam data,

Diharapkan dapat mengembangkan teori sikap sosial pada anak usia Sekolah Dasar dan penilaian sikap sosial, sehingga dapat mengukur dan menilai hasil sikap

(20) Diisi nomor urut dari Buku Rekening Barang Kena Cukai Minuman yang Mengandung Etil Alkohol dalam angka.. (21) Diisi kantor yang mengawasi pengusaha pabrik minuman yang

Untuk membantu anak dalam bersosialisasi, program bimbingan dan konseling di sekolah dasar sebaiknya memasukan kegiatan permainan kelompok, hasil penelitian Landreth

Sumber data terdiri dari data primer dan data sekunder, data primer adalah hasil pengukuran usap alat medis di ruang perawatan, data sekunder meliputi data umum dan

Perbedaan dari ketiga video profile tersebut dengan Perancangan Video Profil sebagai Media Informasi Pada Lorin Solo Hotel adalah dilihat dari konsep video dengan