• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak (WP) untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional.1

Dari definisi pajak tersebut di atas jelas bahwa pajak merupakan kewajiban kenegaraan dan pengabdian peran aktif warga negara dalam upaya pembiayaan pembangunan nasional. Kewajiban perpajakan setiap warga negara diatur dalam undang-undang perpajakan.

Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan

1Djoko Slamet Surjoputro, Buku Panduan Hak dan Kewajiban Wajib Pajak, (Jakarta : Direktorat Penyuluhan Pelayanan dan Humas, 2009), hal 3.

(2)

pada adanya surat ketetapan pajak.2 Wajib Pajak yang telah menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), maka Direktur Jenderal Pajak tidak akan menerbitkan ketetapan pajak, artinya semua surat pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak pada awalnya dianggap benar, sesuai dengan fungsi surat pemberitahuan sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang terutang. Apabila Wajib Pajak mengisi surat pemberitahuan dengan tidak benar, maka wajib pajak akan dikenakan sanksi sesuai dengan undang-undang perpajakan atas pajak yang kurang dibayarnya.

Undang-Undang Perpajakan memberikan kepercayaan kepada setiap wajib pajak untuk melakukan kegiatan perpajakannya sendiri mulai dari menghitung, membayar, dan melaporkan kewajiban perpajakannya ke kantor pelayanan pajak (KPP). Pajak yang dibayar oleh wajib pajak dimaksudkan untuk membantu pemerintah dalam membiayai keperluan penyelenggaraan kenegaraan yakni pembangunan nasional, dimana pelaksanaan pembangunan nasional diatur dalam Undang-Undang dan peraturan-peraturan untuk tujuan kesejahteraan bangsa dan negara.

Kepercayaan yang diberikan oleh pemerintah sesuai dengan sistem perpajakan yang dianut oleh pemerintah yakni sistem self assessment yang berarti sistem pemungutan yang memberi kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, melaporkan utang pajaknya yang tertuang dalam Surat Pemberitahuan (SPT),

2Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pasal 12 ayat 1.

(3)

kemudian menyetor kewajiban perpajakannya.3 Dengan adanya sistem self assessment tersebut, pemerintah mengharapkan kejujuran dan kesadaran dari setiap wajib pajak untuk melakukan kewajiban perpajakannya sesuai dengan Undang- Undang perpajakan yang berlaku. Dengan adanya pemberian kepercayaan yang tinggi kepada Wajib Pajak, maka harus ada penegakan hukum yang berfungsi sebagai pengawasan terhadap Wajib Pajak yang tidak membayar pajak yang terutang.

Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan - keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan-keinginan hukum dalam hal ini tidak lain adalah pikiran-pikiran badan pembuat Undang-Undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum tersebut4. Dengan demikian, apabila kita membicarakan mengenai penegakan hukum, maka pada hakikatnya kita berbicara mengenai penegakan ide-ide serta konsep- konsep yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan. Proses mewujudkan ide-ide inilah yang merupakan hakikat dari penegakan hukum. Apabila kita sudah berbicara mengenai perwujudan ide-ide yang abstrak menjadi kenyataan, maka sebetulnya kita sudah memasuki bidang manajemen5

Penegakan hukum pajak merupakan suatu hal yang mutlak harus dilakukan karena dengan penegakan hukum pajak dapat diwujudkan tujuan hukum, berupa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Tanpa penegakan hukum pajak, hukum

3Djoko Slamet Surjoputro, Op.Cit., hal 3.

4Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum (Bandung : Penerbit Sinar Baru, 1983), hal 24.

5Ibid., hal 15.

(4)

pajak hanya sekedar tulisan dalam bentuk norma hukum pajak yang tidak memiliki arti dan makna di kalangan wajib pajak, pejabat pajak, dan hakim pengadilan pajak.

Sebagaimana dikatakan oleh Mertokusumo, dalam penegakan hukum ada 3 unsur yang harus diperhatikan, yaitu:

1. Unsur keadilan 2. Unsur kemanfaatan 3. Unsur kepastian hukum

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.6Penegakan hukum dalam pemungutan pajak meliputi:

1. Pemeriksaan 2. Penyidikan 3. Penagihan

Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang undangan perpajakan.7

6Jimly Asshiddiqie, “Penegakan Hukum,”

http://www.jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf, diakses tanggal 29 Juni 2013.

7Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak, Pasal 1 angka 2.

(5)

Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi, serta menemukan tersangkanya. Penyidikan pajak dilakukan oleh pejabat pegawai negeri di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.8 Penyidikan pajak dilakukan sebagai akibat tindak lanjut dari pemeriksaan bukti permulaan. Penyidikan merupakan proses kelanjutan dari hasil pemeriksaan yang mengindikasikan adanya bukti permulaan tindak pidana perpajakan. Tindak pidana di bidang perpajakan meliputi perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau oleh badan yang diwakili orang tertentu (pengurus), memenuhi rumusan undang-undang, diancam dengan sanksi pidana, melawan hukum, dilakukan di bidang perpajakan, dan dapat menimbulkan kerugian bagi pendapatan negara.9

Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.10

8Thomas Sumarsan, Perpajakan Indonesia: Konsep, Aplikasi dan Kasus Pembahasan Berdasarkan Undang-Undang Terbaru, (Bogor: EsiaMedia, 2009), hal 119.

9Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pasal 44.

10Undang-Undang No.19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, Pasal 1 angka 9.

(6)

Tujuan penagihan pajak adalah agar Wajib Pajak atau Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. Agar tujuan penagihan pajak tersebut tercapai, maka diperlukan serangkaian tindakan yang dapat diambil oleh Jurusita Pajak mulai dari tindakan penerbitan Surat Teguran atau sejenisnya, kemudian penyampaian surat paksa, penyampaian surat perintah melakukan penyitaan dan pelaksanaan penyitaan, penjualan barang hasil penyitaan, sampai dengan tindakan pencegahan bepergian ke luar negeri dan penyanderaan.

Tindakan penagihan pajak berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan tidaklah harus tuntas dilakukan seluruhnya, namun urutan- urutan tindakan hanya dilanjutkan apabila Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajaknya. Misalnya saja atas suatu utang pajak telah dilakukan tindakan penagihan sampai dengan penyampaian Surat Paksa dan kemudian Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihannya, maka kegiatan penagihan selesai sampai pada tindakan penyampaian Surat Paksa.11

Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak, sehingga dalam hal penagihannya dapat dilakukan dengan Surat Paksa.12Selain Surat Ketetapan Pajak yang dihasilkan dari pemeriksaan pajak, dapat diterbitkan pula Surat Tagihan Pajak (STP) dalam hal dikenakannya sanksi

11Joko Prasetyo, “Penagihan Pajak (PPSP),”

http://satudpajak2011.blogspot.com/2012/06/penagihan-pajak.html , diakses tanggal 4 Juli 2013.

12Moch. Soebakir, et.al., Petunjuk Praktis Perpajakan, (Jakarta: Berita Pajak, 1996), hal 17.

(7)

administrasi yang dapat berupa denda, bunga, dan kenaikan.13 Surat Tagihan Pajak diterbitkan dalam hal:

a. Pajak Penghasilan (PPh) dalam tahun berjalan tidak atau kurang bayar;

b. Dari penelitian Surat Pemberitahuan (SPT) terdapat kekurangan pembayaran akibat salah tulis dan/atau salah hitung;

c. Pengenaan sanksi administrasi;

d. Pengusaha Kena Pajak (PKP) tidak lapor untuk dikukuhkan;

e. Pengusaha yang tidak/bukan Pengusaha Kena Pajak (PKP) membuat faktur pajak atau PKP tidak membuat faktur pajak.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak menyampaikan bahwa tingkat kepatuhan pajak paling rendah di Indonesia adalah di provinsi Sumatera Utara, wajib pajak yang ada di provinsi Sumatera Utara hanya 38% (tiga puluh delapan persen) yang melakukan pembayaran pajak, hal ini tentu saja sangat merugikan negara, upaya peningkatan kesadaran dan kepatuhan wajib pajak dalam pembayaran pajak harus diimbangi dengan adanya pengawasan.14 Dalam hal ini fungsi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) adalah melakukan pembinaan, pelayanan, pengadministrasian dan pengawasan, fungsi pengawasan inilah dilakukan dengan pemeriksaan pajak.

13Christiandy dan Sanjaya, “Pajak Untuk Pembangunan,”

http://www.pajak.go.id/content/Christiandy-Sanjaya, Pajak Untuk Pembangunan, diakses tanggal 25 Januari 2013.

14Ramdhania El Hida, “Kepatuhan Pajak di Sumut Paling Rendah,”

http://finance.detik.com/read/2011/03/04/123737/1584516/4/, diakses tanggal 2 mei 2013.

(8)

Pemeriksaan pajak bukan mencari kesalahan wajib pajak, tetapi untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pengujian kepatuhan, ketaatan dan kebenaran wajib pajak dilakukan melalui pemeriksaan. Pemeriksaan pajak mempunyai peran yang strategis dalam rangka pembinaan dan pengawasan kewajiban perpajakan agar pengenaan pajak berjalan dengan baik dan Wajib Pajak membayar dalam jumlah dan saat yang seharusnya.15

Ketidakbenaran dalam mengisi surat pemberitahuan dapat diketahui oleh fiskus dengan 2 (dua) cara yaitu:

1. Melalui pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan

2. Melalui data yang diperoleh fiskus dari pihak ketiga. Data yang diperoleh fiskus dari pihak ketiga akan dibandingkan dengan laporan Wajib Pajak.16 Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan adanya perbedaan atau selisih, fiskus berwenang mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak yang berfungsi sebagai Surat Tagihan Pajak. Surat Ketetapan Pajak yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak akan mengakibatkan pajak terutang menjadi kurang bayar, lebih bayar, atau nihil.

Pemeriksaan uji kepatuhan dilakukan dengan cara menelusuri kebenaran SPT yang disampaikan Wajib Pajak, pembukuan atau pencatatan dan pemenuhan kewajiban lainnya dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan Wajib Pajak

15Muhammad Mansur dan Teguh Hadi Wardoyo, Pemahaman Terapan dalam Kerangka Hukum Pajak, (Jakarta: TaxSys, 2004), hal 231.

16Richard Burton, Kajian Aktual Perpajakan, (Jakarta: Salemba Empat 2009), hal 51.

(9)

sebenarnya. Sedangkan pemeriksaan untuk tujuan lain biasanya dilakukan dalam rangka pemberian atau penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), penentuan daerah terpencil, sentralisasi pembayaran pajak dan lain sebagainya. SPT merupakan dasar yang mengawali untuk dilakukannya pemeriksaan. Dengan demikian, keadaan SPT yang dilaporkan oleh wajib pajak akan dapat menentukan apakah terhadap wajib pajak akan dilakukan pemeriksaan atau tidak.17

Hal inilah yang menyebabkan diperlukan suatu pengendalian terhadap keleluasaan yang diberikan DJP kepada Wajib Pajak. Maka sebagai implikasi atau konsekuensinya DJP berhak atau mempunyai wewenang untuk melakukan tindakan uji kepatuhan terhadap Wajib Pajak atas pelaksanaan kewajiban perpajakannya melalui proses pemeriksaan. Tindakan pemeriksaan tersebut berupaya untuk menguji apakah Wajib Pajak telah melakukan kewajiban perpajakan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. Oleh karena itu, kepatuhan Wajib Pajak merupakan sasaran utama dilakukan tindakan pemeriksaan.

Setelah Wajib Pajak diperiksa, maka pemeriksa pajak (fiskus) harus mengeluarkan Surat Permberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) kepada WP yang telah diperiksa dan mengundangnya dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (Closing Conference) agar WP tersebut mengerti isi dan maksud dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pemeriksa sebelum dikeluarkan produk hukum yang berupa Surat Ketetapan Pajak. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) Pasal 36 ayat (1) huruf d juga

17Hanantha Bwoga, et.al., Pemeriksaan Pajak di Indonesia, (Jakarta:PT. Grasindo, 2005), hal 3.

(10)

disebutkan bahwa hasil pemeriksaan pajak atau SKP dari hasil pemeriksaan itu batal apabila dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan dan atau pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak, hal ini disebabkan bahwa hasil pemeriksaan pajak yang dibuat oleh pemeriksa pajak tidak 100% (seratus persen) benar. Oleh karena itu, WP diberikan hak untuk memberikan argumennya terhadap ketidaksetujuannya atas hasil pemeriksaan yang dibuat pemeriksa pajak tersebut dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan agar tercipta keadilan bagi WP.

Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh fiskus, akan dihasilkan surat ketetapan pajak sebagai berikut:

1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) yaitu surat ketetapan pajak yang menyatakan bahwa masih terdapat kekurangan pembayaran pajak yang terutang.

2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), yaitu surat ketetapan pajak yang menyatakan bahwa masih juga terdapat kekurangan pembayaran pajak yang terutang walaupun telah pernah diterbitkan suatu surat ketetapan pajak.

3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), yaitu surat ketetapan pajak yang menyatakan bahwa terdapat kelebihan pembayaran pajak daripada yang seharusnya terutang.

(11)

4. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) yaitu surat ketetapan pajak yang menyatakan bahwa pajak yang telah dibayar besarnya sama dengan pajak yang seharusnya terutang.18

Dalam hal terjadi suatu sengketa pajak, wajib pajak berhak mendapat perlindungan hukum yang bertujuan menyelesaikan sengketa dan mencari keadilan.

Adapun upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak adalah melalui tingkat internal maupun tingkat external Direktorat Jenderal Pajak. Namun demikian, penyelesaian di tingkat external ini bukan merupakan alternatif dari penyelesaian di tingkat internal tetapi lebih pada proses yang berkelanjutan apabila proses di tingkat internal mengalami jalan buntu.

Surat Ketetapan Pajak yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak akan mengakibatkan terjadinya sumber sengketa pajak antara WP dengan fiskus. Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung pajak dengan pejabat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa19.

Penyelesaian sengketa di tingkat internal Direktorat Jenderal Pajak meliputi:

1. Pembetulan

2. Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi

18Waluyo dan Wirawan, Perpajakan Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2003), hal 43.

19Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Pasal 1 Angka (5).

(12)

3. Pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak 4. Pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak 5. Pembatalan hasil pemeriksaan

6. Keberatan.

Selain penyelesaian sengketa di tingkat internal Direktorat Jenderal Pajak, dapat juga diselesaikan di tingkat external Direktorat Jenderal Pajak meliputi:

1. Banding 2. Gugatan

3. Peninjauan Kembali.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan mencatat bahwa jumlah wajib pajak yang mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak periode September 2010 terdapat 6.500 (enam ribu lima ratus) kasus wajib pajak yang mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak.20 Selain pengajuan keberatan pajak, pengajuan banding pajak periode, September 2010 Ditjen Pajak mencatat ada 2.700 (dua ribu tujuh ratus) pengajuan banding pajak.21 Hal ini menunjukkan bahwa lembaga keberatan dan banding sangat besar pengaruhnya bagi WP untuk mencari keadilan.

Dengan adanya lembaga keberatan dan banding, bagi Wajib Pajak memudahkan akses untuk mencari keadilan dan sekaligus perlindungan hukum bagi

20Harian Kontan, “Wajib Pajak yang Mengajukan Keberatan Semakin Berkurang,”

http://www.ortax.org/ortax/?mod=berita&page=show&id=10496, diakses tanggal 2 mei 2013.

21Ibid.

(13)

Wajib Pajak yang merasa dirugikan atas Surat Ketetapan Pajak yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Dilatarbelakangi oleh pemikiran-pemikiran tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Upaya Hukum Wajib Pajak Badan terhadap Hasil Pemeriksaan Pajak”.

B. Perumusan Masalah.

1. Mengapa terhadap wajib pajak badan dilakukan pemeriksaan pajak?

2. Bagaimana upaya hukum yang harus ditempuh oleh wajib pajak badan atas diterbitkannya surat ketetapan pajak tanpa surat pemberitahuan hasil pemeriksaan (SPHP) atau pembahasan akhir hasil pemeriksaan (closing conference?

3. Bagaimana perlindungan hukum wajib pajak badan atas Surat Ketetapan Pajak yang dihasilkan dari pemeriksaan pajak tidak sesuai dengan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Perpajakan ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian merupakan bagian pokok ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk lebih mendalami segala aspek kehidupan, disamping itu juga merupakan sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, baik dari segi teoritis maupun praktis.22Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis latar belakang pemeriksaan pajak dilakukan terhadap wajib pajak badan.

22Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1998), hal 3

(14)

2. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya hukum yang harus ditempuh oleh wajib pajak badan atas diterbitkannya surat ketetapan pajak tanpa surat pemberitahuan hasil pemeriksaan (SPHP) atau pembahasan akhir hasil pemeriksaan (Closing Conference).

3. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana perlindungan hukum wajib pajak badan atas surat ketetapan pajak yang dihasilkan dari pemeriksaan pajak tidak sesuai dengan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Perpajakan.

D. Manfaat Penelitian.

Dalam penelitian ini kegunaan utama dari penelitian ini diharapkan tercapai, yaitu:

1. Kegunaan secara teoritis.

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan serta sebagai refensi tambahan pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan, khususnya mengenai upaya hukum wajib pajak badan terhadap hasil pemeriksaan pajak.

2. Kegunaan secara praktis.

Manfaat penelitian yang bersifat praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat seb agai bahan masukan bagi kalangan akademisi, praktisi maupun masyarakat umumnya serta dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang ingin melakukan penelitian di bidang yang sama.

(15)

E. Keaslian Penelitian.

Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik berdasarkan penelitian sebelumnya, khususnya pada Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dan sejauh yang telah diketahui bahwa belum ditemui adanya penelitian yang berkaitan dengan judul tesis ini yaitu “Upaya Hukum Wajib Pajak Badan terhadap Hasil Pemeriksaan Pajak” belum pernah diteliti oleh para Mahasiswa Kenotariatan yang lain, oleh karena itu penelitian ini adalah asli dan aktual sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara akademis ilmiah.

Adapun judul penelitian yang mendekati yang pernah dilakukan sebelumnya dengan judul penelitian tesis ini adalah Tesis saudara J.E. Melky Purba, NIM 097011015 dengan judul: “Upaya Hukum Keberatan Bagi Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Yang Ketetapan Pajaknya Terlalu Besar.”

Adapun permasalahan yang dibahas adalah :

a. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap wajib pajak bumi dan bangunan yang ketetapan atas Pajak Bumi dan Bangunannya terlalu besar?

b. Bagaimanakah upaya hukum keberatan ketetapan Pajak Bumi dan Bangunan yang dapat ditempuh oleh wajib pajak?

c. Bagaimanakah kendala yang dialami oleh Direktorat Jenderal Pajak Wilayah I Sumatera Utara dalam menangani keberatan Pajak Bumi dan Bangunan?

Pada dasarnya penelitian terdahulu yang dilakukan oleh peneliti tersebut diatas tidak sama dengan penelitian ini baik dari segi judul maupun pokok permasalahan yang

(16)

dibahas. Oleh karena itu secara akademik penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi.

1. Teori.

Menurut M. Solly Lubis yang menyatakan konsep teori merupakan:

“Kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, mengenai suatu kasus ataupun permasalahan (problem) yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan teori, yang mungkin ia setuju ataupun tidak disetujuinya merupakan masukan eksternal bagi peneliti”.23

Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi.24 Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita merekonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.25

Oleh sebab itu, teori atau kerangka teori mempunyai kegunaan paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut:26

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;

b. Teori sangat berguna di dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan defenisi-defenisi;

c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti;

23M. Solly Lubis (I), Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : CV. Mandar Maju, 1994), hal 80

24Satjipto Rahardjo, llmu Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1991), hal 254

25Ibid., hal. 253

26Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal 121

(17)

d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor- faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang;

e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti.

Menurut Mukti Fajar, teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori juga merupakan simpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum.27 Sedangkan suatu kerangka teori bertujuan menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasi dan menginterpretasi hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu28. Oleh karena itu teori yang digunakan sebaagai Grand Theory dalam penelitian ini adalah Teori Keadilan Hukum, selain Teori Keadilan Hukum dalam penelitian ini juga digunakan teori pendukung yaitu Teori Tujuan Hukum, Teori Kepatuhan dan Teori Demokrasi Deliberatif.

Suatu hukum atau peraturan perundang-undangan yang baik adalah adil, berkaitan dengan hal ini peraturan yang mendasari pemungutan pajak hendaknya harus sesuai dengan syarat-syarat keadilan. Keadilan dalam kebijakan perpajakan dapat dilihat dari :

1. keadilan dalam hubungan antara pemerintah dan wajib pajak,

2. keadilan dari alokasi beban pajak pada berbagai golongan masyarakat.

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata adil mempunyai arti:

27Mukti Fajar, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: PT. Pustaka Pelajar, 2010), hal 134

28Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hal 19

(18)

1. Tidak berat sebelah (tidak memihak);

2. Sepatutnya, tidak sewenang-wenang.

Sedangkan kata keadilan mempunyai arti sifat (perbuatan, perlakuan, dan sebagainya) yang adil, misalnya mempertahankan hak dan keadilan, keadilan masyarakat, keadaan yang adil bagi kehidupan dalam masyarakat.29

Sementara menurut Filsafat Hukum, hakekat keadilan adalah kesamaan (Gleichheit), sedangkan bentuknya berupa keumuman (Allgemeinheit), antara keduanya senantiasa terdapat hubungan ketegangan (Spannung). Adil adalah sikap hati dan perbuatan yang berwujud susila jujur (honeste vivere), tidak merugikan orang lain secara sewenang-wenang (Alterum non laedere), dan memberi kepada masing-masing pihak bagiannya menurut haknya.

Keadilan adalah keseimbangan lahiriah dan batiniah yang memberi kemungkinan dan perlindungan atas kehadiran dan perkembangan kebenaran, yang beriklim toleransi dan kebebasan.30

Pengertian “adil” sangat relatif, namun hukum pajak harus membuat keadilan dalam pemungutan pajak. Adil dalam pemungutan pajak bukan berarti bahwa setiap orang harus membayar pajak dalam jumlah yang sama, tetapi harus diusahakan agar pemungutan pajak diselenggarakan secara umum dan merata. Arti dari “umum dan merata” yaitu bahwa pemungutan pajak harus diselenggarakan sedemikian rupa sehingga setiap orang mendapat beban atau tekanan yang sama. Bila pemungutan pajak telah dilakukan secara adil, maka kesadaran rakyat untuk membayar pajak akan

29W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hal 16.

30Soehardjo Sastrosoehardjo, Filsafat Hukum, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1991), hal 5.

(19)

semakin tebal karena mereka yakin bahwa semua orang mendapat beban pajak sesuai kemampuannya.31

Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini, Teori Keadilan menganut 2 macam Prinsip Keadilan dalam pemungutan pajak yaitu Benefit Principle Approach dan Ability to Pay Principle Approach. Suatu sistem pemungutan pajak dikatakan adil menurut pendekatan Benefit Principle Approach apabila jumlah pajak yang dibayar oleh setiap Wajib Pajak sebanding dengan manfaat yang diterimanya dari kegiatan pemerintah. Informasi mengenai nilai manfaat yang dinikmati oleh Wajib Pajak atas fasilitas yang diberikan pemerintah yang dibiayai dari penerimaan pajak merupakan syarat mutlak untuk dapat menerapkan pembebanan pajak melalui pendekatan ini. contoh, setiap pengguna fasilitas jalan tol wajib membayar retribusi dengan tarif tertentu tergantung klasifikasi kendaraan yang dipakai untuk dapat menggunakan jalan tol. Jelas bahwa pemakai jalan bebas hambatan mengorbankan sejumlah pengeluaran untuk manfaat sepadan menggunkan jalan bebas hambatan langsung disediakan oleh pemerintah sedangkan pendekatan Ability to Pay Principle Approach terlihat lebih relevan untuk menjadi latar belakang sistem pemungutan pajak di Indonesia, karena prinsip ini menyarankan agar pajak itu dibebankan pada para pembayar pajak berdasarkan kemampuan untuk membayar masing-masing.

Penerapan prinsip ability to pay di Indonesia terkait dengan penggunaan tarif

31Slamet Munawir, et,al., Perpajakan, (Yogyakarta: BPFE, 1990), hal 9.

(20)

progresif dalam menentukan pajak penghasilan terutang. Tarif progresif ini diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan32.

Teori keadilan ini menjawab permasalahan dalam penelitian ini bahwa hasil dari pemeriksaan pajak yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak harus mencerminkan nilai-nilai keadilan baik bagi Wajib Pajak maupun aparat pemerintah (Direktorat Jenderal Pajak) dalam melaksanakan hak dan kewajibannya dalam pemungutan pajak.

Tujuan hukum menurut ajaran Yuridis Dogmatis, bahwa:

“Tujuan Hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian. Menurut aliran ini meskipun aturan hukum atau penerapan hukum terasa tidak adil dan tidak memberikan manfaat yang besar bagi mayoritas warga masyarakat, hal itu tidak menjadi soal asalkan kepastian hukum dapat terwujud. Hukum identik dengan kepastian.”33

Menurut pendapat Gustav Radbruch, tujuan hukum itu harus memenuhi 3 (tiga) hal pokok yang sangat prinsipil yang hendak dicapai yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.34 Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisebel terhadap tindakan sewenang-wenang, masyarakat mengharapkan adanya kepastian

32Ramona Gitta Poluan, “Pengaruh Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2008 jo.Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 2009Terhadap Laba Bersih Perusahaan Jasa Konstruksi (Studi Kasus Perusahaan Jasa Konstruksi yang Terdaftar Pada Bursa Efek Indonesia)”, (Tesis, Ilmu Ekonomi, Pasca Sarjana, UI, 2010), hlm. 16

33Achmad Ali, Menguak Hukum (suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta: Gunung Agung, 2002), hal 83.

34Artikel Politik Hukum, “Tujuan Hukum Menurut Gustav Radbruch,”

http://bolmerhutasoit.wordpress.com/2011/10/07/artikel-politik-hukum-tujuan-hukum-menurut-gustav- radbruch/, diakses tanggal 07 Mei 2013.

(21)

hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum.35Teori kepastian hukum yang dikemukakan Aristoteles bahwa “hukum harus membuat Allgemeine Rechtslehre (peraturan/ketentuan umum)”. Dimana peraturan/ketentuan umum ini diperlukan masyarakat demi kepastian hukum. “ Kepastian hukum sangat diperlukan untuk menjamin ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat.”36

Selanjutnya Van Kan mengatakan bahwa hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingan-kepentingan itu tidak diganggu.

Bahwa hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat.37 Kepentingan antara WP dengan Direktorat Jenderal Pajak harus mendapat perlindungan hukum, supaya hak-hak WP dan Direktorat Jenderal Pajak tidak terlanggar dan tujuan hukum yang meliputi keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dapat terwujud.

Berdasarkan teori kepatuhan (compliance theory) yang dikemukakan oleh Tyler, terdapat dua perspektif mengenai kepatuhan hukum, yang disebut instrumental dan normatif.

Perspektif instrumental mengasumsikan individu secara utuh didorong oleh kepentingan pribadi dan tanggapan terhadap perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perilaku.

35Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2003), hal 160.

36Yahya Ahmad Zein, Keadilan Dan Kepastian Hukum,

http://yahyazein.blogspot.com/2008/07/keadilan-dan-kepastian -hukum.html, diakses tanggal 18 April 2013.

37C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal 44.

(22)

Perspektif normatif berhubungan dengan apa yang orang anggap sebagai moral dan berlawanan dengan kepentingan pribadi mereka.

Seorang individu cenderung mematuhi hukum yang mereka anggap sesuai dan konsisten dengan norma-norma internal mereka. Komitmen normatif melalui moralitas personal (normative commitment through morality) berarti mematuhi hukum karena hukum tersebut dianggap sebagai suatu keharusan, sedangkan komitmen normatif melalui legitimasi (normative commitment through legitimacy) berarti mematuhi peraturan karena otoritas penyusun hukum tersebut memiliki hak untuk mendikte perilaku.38

Teori demokrasi deliberatif menyatakan bahwa penyusunan suatu hukum / peraturan yang demokratis menjamin semua kepentingan masyarakat, bila dalam proses penyusunannya memberi akses dan membuka komunikasi dengan semua masyarakat39. Teori ini digunakan untuk menganalisis permasalahan yang berkaitan dengan materi perundang-undangan perpajakan khususnya yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa pajak. Pajak meskipun dijadikan sebagai sumber penerimaan utama negara tetapi dalam pemungutannya tidak boleh sewenang-wenang dan mengorbankan kepentingan yang lain.

2. Konsepsi.

Sejalan dengan landasan teori tersebut, maka dalam penulisan hukum diperlukan kerangka konsepsional. Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang

38R. Saleh, Pengertian Teori Kepatuhan Menurut Para Ahli (Complience Theory), http://www.sarjanaku.com/2012/06/teori-kepatuhan-compliance-theory.html, diakses tanggal 27 Juli 2013.

39Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,1999), hal 23.

(23)

menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau akan diteliti. Konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.40 Kerangka konsep mengandung makna adanya stimulasi dan dorongan konseptualisasi untuk melahirkan suatu konsep baginya atau memperkuat keyakinannya akan konsepnya sendiri mengenai sesuatu permasalahan.41

Kerangka konsepsional dalam penelitian hukum, diperoleh dari peraturan perundang-undangan atau melalui usaha untuk merumuskan atau membentuk pengertian-pengertian hukum. Apabila kerangka konsepsional tersebut diambil dari peraturan perundang-undangan tertentu, maka biasanya kerangka konsepsional tersebut sekaligus merumuskan definisi-definisi tertentu, yang dapat dijadikan pedoman operasional di dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisa dan konstruksi data.42

Oleh karena itu, untuk menghindarkan terjadinya perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk mendefinisikan beberapa konsep penelitian agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan makna variabel yang ditetapkan dalam topik, yaitu :

40Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal 132

41M. Solly Lubis, Op.Cit, hal 80

42Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal137

(24)

1. Upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan putusan hakim.

Dalam teori dan praktek kita mengenal ada 2 (dua) macam upaya hukum yaitu, upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Perbedaan yang ada antara keduanya adalah bahwa pada azasnya upaya hukum biasa menangguhkan eksekusi (kecuali bila terhadap suatu putusan dikabulkan tuntutan serta mertanya), sedangkan upaya hukum luar biasa tidak menangguhkan eksekusi.

Upaya hukum biasa terdiri dari banding dan kasasi sedangkan upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali (PK).

2. Wajib Pajak menurut Pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan Undang-Undang perpajakan yang bersangkutan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.

Wajib Pajak dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:

a. Wajib Pajak Orang Pribadi

adalah mereka yang telah mempunyai penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dimana batasan PTKP telah ditentukan oleh undang- undang pajak penghasilan.

b. Wajib Pajak Badan

adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi

(25)

perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.43

3. Self Assesment System adalah sistem pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang dilunasi atau terhutang oleh wajib pajak dihitung sendiri oleh wajib pajak.

4. Surat Ketetapan Pajak adalah suatu keputusan yang diambil oleh Pejabat Kantor Inspeksi Pajak, yang dinyatakan secara tertulis mengenai besarnya utang pajak, serta jumlah yang dijadikan dasar perhitungan.44

5. Perlindungan hukum adalah luaran yang diperoleh berdasarkan penegakan hukum pajak, baik di luar maupun di dalam pengadilan pajak atas tindakan atau perbuatan yang tidak dilakukan maupun dilakukan oleh pejabat pajak tatkala hukum pajak ditegakkan.

6. Permohonan Pembetulan Surat Ketetapan Pajak (SKP) adalah permohonan yang dilakukan dalam hal terjadi kesalahan tulis dan atau kesalahan hitung dan atau

43Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pasal 1 angka 3.

44Rochmat Soemitro, “Pengantar Singkat Hukum Pajak”, (Bandung: PT.Eresco, 1992), hal 43.

(26)

kekeliruan dalam penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak (SKP).45

7. Permohonan Pembatalan Surat Ketetapan Pajak (SKP) adalah permohonan yang diajukan oleh wajib pajak terhadap surat pemberitahuan pajak terutang atau surat ketetapan pajak atau surat tagihan pajak yang mengandung kesalahan, tetapi yang tidak tergolong kesalahan tulis, kesalahan hitung, atau kesalahan penerapan undang-undang perpajakan, tetapi mengandung kesalahan/kekeliruan yang sifatnya material mengenai objek pajak.46

8. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang undangan perpajakan.47

9. Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung pajak dengan pejabat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang- undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa48.

45Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pasal 16.

46Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pasal 36 Ayat 1 huruf b.

47Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak. Pasal 1 Angka (2)

48Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Pasal 1 Angka (5).

(27)

10. Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku49.

11. Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan Pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan Gugatan berdasarkan peraturan perundang- undangan Perpajakan yang berlaku50.

12. Pengadilan adalah lembaga tempat pembelaan terhadap yang benar dan hukuman bagi yang salah dan dilaksanakan menurut hukum. Sedangkan Pajak dapat diartikan sebagai perikatan antara negara baik Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dengan rakyatnya, yang timbul karena Undang-undang yang mewajibkan warga negara untuk membayar sejumlah uang kepada negara, tanpa mendapatkan suatu imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara (rutin dan Pembangunan) atau sebagai alat untuk mengatur tujuan yang dikehendaki51.

13. Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) adalah surat yang berisi tentang hasil pemeriksaan yang meliputi pos-pos yang dikoreksi, nilai koreksi, dasar

49Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Pasal 1 Angka (6).

50Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Pasal 1 Angka (7).

51Djazoeli Sadhani, et.al., Mencari Keadilan di Pengadilan Pajak (Jakarta: PT. Gemilang Gagasindo Handal, 2008), hal 12.

(28)

koreksi, perhitungan sementara jumlah pokok pajak, dan pemberian hak kepada wajib pajak untuk hadir dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.52

14. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (closing conference) adalah pembahasan antara wajib pajak dan pemeriksa pajak atas temuan pemeriksaan yang hasilnya dituangkan dalam Berita Acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dan berisi koreksi baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui.53

G. Metode Penelitian.

Metode penelitian berasal dari kata “Metode dan Logos”. Metode yang artinya adalah cara yang tepat untuk melakukan sesuatu dan logos yang artinya ilmu atau pengetahuan. Jadi metodologi artinya cara melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan. Penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisis sampai menyusun laporannya.54

Penelitian sebagai suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran-kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten karena melalui proses penelitian tersebut dilakukan analisi dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.55

52Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak. Pasal 1 Angka (16)

53Ibid.

54Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT. Bumi Aksara 2002), hal 1.

50Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif-suatu tinjauan singkat, (Jakarta: Rajawali Pres, 1985), hal 1.

(29)

1. Spesifikasi Penelitian.

Spesifikasi penelitian dalam proposal ini merupakan penelitian hukum.

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya juga diadakan pelaksanaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut kemudian mengusahakan suatu pemecahan atau permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala yang bersangkutan.56 Untuk tercapainya penelitian ini, sangat ditentukan dengan metode yang dipergunakan dalam memberikan gambaran dan jawaban atas masalah yang dibahas.

Ditinjau dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat preskriptif analitis, yaitu suatu penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan saran-saran dalam mengatasi masalah-masalah tertentu.57

Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif,58 dimana dilakukan pendekatan terhadap permasalahan yang telah dirumuskan dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. Metode pendekatan hukum normatif dipergunakan dengan titik tolak penelitian dan analisis terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

56Ibid, hal 43

57Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1981), hal 10.

58Ronny Hamitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990,) hal 14.

(30)

2. Sumber Data/Bahan Hukum.

Penelitian ini menggunakan bahan dari hasil penelitian kepustakaan yakni dengan pengumpulan data sekunder yang meliputi:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu berbagai dokumen peraturan nasional yang tertulis, sifatnya mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini antara lain Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak, Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang berkaitan erat dengan bahan hukum Primer, dan dapat digunakan untuk menganalisa dan memahami bahan hukum primer yang ada. Semua dokumen yang merupakan hasil informasi atau hasil kajian tentang “Upaya Hukum Wajib Pajak Badan Terhadap Hasil Pemeriksaan Pajak” seperti hasil seminar atau makalah, dan juga sumber-sumber dari internet yang tentunya memiliki kaitan erat dengan persoalan yang akan dibahas.

c. Bahan Hukum Tersier, atau penunjang yang mencakup kamus bahasa untuk pembenahan tata bahasa Indonesia dan juga sebagai alat bantu pengalih bahasa beberapa literatur asing.

3. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan metode analisis kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode yang bersifat interaktif,59 yaitu metode yang lebih menekankan pada pencarian makna sesuai dengan realitas. Metode ini akan

59Miles and Hubberman, Analisis Data Kualitatif, Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru, (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1992), hal 15-20

(31)

menghasilkan data berupa pernyataan-pernyataan atau data yang dihasilkan berupa data deskriptif mengenai subjek yang diteliti.60 Lexy J. Moleong dalam bukunya Metode Penelitian Kualitatif, menjelaskan bahwa penelitian yang menggunakan metode ini memakai logika berpikir induktif, suatu logika yang berangkat dari kaidah-kaidah khusus ke kaidah yang bersifat umum.

Dengan demikian rangkaian kegiatan analisis data yang diperlukan dalam penelitian adalah sebagai berikut : semua data yang telah diperoleh terlebih dahulu diolah agar dapat memberikan gambaran yang sesuai kebutuhan, kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif, dimana data-data yang diperlukan guna menjawab permasalahan, baik data primer maupun data sekunder, dikumpulkan untuk kemudian diseleksi, dipilah-pilah berdasarkan kualitas dan relevansinya untuk kemudian ditentukan antara data yang penting dan data yang tidak penting untuk menjawab permasalahan. Dipilih dan disistematisasi berdasar kualitas kebenaran sesuai dengan materi penelitian, untuk kemudian dikaji melalui pemikiran yang logis induktif, sehingga akan menghasilkan uraian yang bersifat deskriptif, yaitu uraian yang menggambarkan permasalahan serta pemecahannya secara jelas dan lengkap berdasarkan data-data yang diperoleh dari penelitian sehingga hasil analisis tersebut diharapkan dapat menjawab permasalahan yang diajukan.61

60Ibid., hal 15

61Soerjono Soekanto, Op. Cit, hal 32

Referensi

Dokumen terkait

Nomor 32 Tahun 2OO4 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO8 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor +8afl;.. Undang-undang Nomor

Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa capital adequacy ratio, non perfoming loan dan loan to depositratio secara

NAMA PARTAI, NOMOR DAN NAMA CALON ANGGOTA DPRD

Dalam upaya pensinergiskan RTRW maka rencana pengembangan pertanian juga mengacu dan mempedomani UU No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pertanian Pangan Berkelanjutan

Kevalidan instrumen meliputi kesesuaian antara materi pembelajaran beserta tujuan pembelajaran dengan soal tes yang diberikan dan kesesuaian media gambar dengan

Untuk mengetahui pengaruh pembiayaan yang diberikan BPRS Sindanglaya Kotanopan terhadap diversifikasi produk UKM di Kecamatan Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal.

Penelitian ini bertolak dari kurangnya motivasi peserta didik pada pembelajaran sehingga nilai peserta didik pada materi klasifikasi makhluk hidup rata-rata di

Orang Asli suku kaum Jakun kaya dengan pelbagai budaya yang unik dan tersendiri. Arus globalisasi kini, telah memberi kesan kepada pengamalan kebudayaan warisan mereka dalam