• Tidak ada hasil yang ditemukan

VALIDITAS PROGNOSTIK SKORING PASIEN CEDERA KEPALA SEDANG DI BALI.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "VALIDITAS PROGNOSTIK SKORING PASIEN CEDERA KEPALA SEDANG DI BALI."

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

i

TESIS

VALIDITAS PROGNOSTIK SKORING PASIEN

CEDERA KEPALA SEDANG DI BALI

AMRUL MARPAUNG NIM 1014028206

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)

ii

VALIDITAS PROGNOSTIK SKORING PASIEN

CEDERA KEPALA SEDANG DI BALI

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana

AMRUL MARPAUNG NIM 1014028206

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 29 JANUARI 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr.dr. Nyoman Golden, Sp.BS(K) Prof.dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D

NIP 196203071989031001 NIP 19430215196021001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana

Universitas Udayana, Universitas Udayana,

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)

(4)

iv

Tesis ini Telah Diuji Pada Tanggal 26 Januari 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No : 605/UN14.4/HK/2016, Tanggal 25 Januari 2016

Penguji :

(5)
(6)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas karunia-Nya, tesis ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. dr. Nyoman Golden, Sp.BS(K), pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti pendidikan di program studi ilmu bedah-program pascasarjana, khususnya dalam menyelesaikan tesis ini. terima kasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D, pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.

(7)

vii

terwujud seperti ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada direktur Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar dr. Anak Ayu Saraswati, M.Kes, yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan pendidikan dan penelitian di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.

(8)

viii ABSTRAK

VALIDITAS PROGNOSTIK SKORING PASIEN CEDERA KEPALA SEDANG DI BALI

Latar Belakang: Studi ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor prognostik yang mempengaruhi outcome dan membuat suatu prognostik skoring penderita cedera kepala sedang.

Metode: Penelitian ini adalah kohort prospektif. Sampel didapat 150 penderita cedera kepala sedang dengan usia ≥ 16 tahun yang datang ke RSUP Sanglah

periode Januari 2015 – Desember 2015. Data sampel diambil dari rekam medis, dianalisis secara univarian, bivarian (chi square), dan multivarian.

Hasil: analisis bivarian faktor risiko terhadap outcome: usia > 60 tahun, RR 1,1 (95%CI 1,1-1,2; p = 0,000001), durasi pre-operasi >= 4 jam, RR 4,9 (95%CI 1,9-13,3; p = 0,002), brain swelling, RR 0,3 (95%CI 0,1-0,8; p = 0,0186), midline shift, RR 3,5 (95%CI 1,5-8,1; p = 0,0031), lesi SDH, RR 8,7 (95%CI 3,0-24,9; p = 0,00001), dan lesi ICH, RR 5,0 (95%CI 5,0; p = 0,0003). Analisis multivarian faktor risiko terhadap outcome: usia > 60 tahun, RR 1,1 (95%CI 1,1-1,4; p < 0,001) dan tindakan operasi, RR 2,9 (95%CI 1,4-6,1; p = 0,0005).

Kesimpulan: Pada penelitian ini didapatkan ada 3 variabel yang mempengaruhi secara bermakna terhadap outcome pasien-pasien cedera kepala sedang yaitu usia, tipe lesi intrakranial (lesi SDH, Lesi ICH, dan midline shift), dan durasi pre-operasi.

(9)

ix ABSTRACT

VALIDITY OF PROGNOSTIC SCORING PATIENT MODERATE HEAD INJURY IN BALI

Background : This study aims to determine the prognostic factors affecting the outcome and make a prognostic scoring moderate head injury patients..

Method: The study was a prospective cohort. Samples obtained 150 patients with head injury were ≥ 16 years of age who came to Sanglah period January 2015 -December 2015. The sample data taken from medical records, analyzed by univariate, bivariate (chi square), and multivariate.

Result: Bivariate analysis of risk factors for outcome: age> 60 years, RR of 1.1

(95% CI 1.1 to 1.2; p = 0.000001), the duration of the pre-operation> = 4 hours, RR 4.9 (95% CI 1.9 to 13.3; p = 0.002), brain swelling, RR of 0.3 (95% CI 0.1 to 0.8; p = 0.0186), midline shift, RR 3.5 (95% CI 1.5 to 8.1; p = 0.0031), SDH lesions, RR 8.7 (95% CI 3.0 to 24.9; p = 0.00001), and ICH lesions, RR 5.0 (95% CI 5.0; p = 0.0003). Multivariate analysis of risk factors for outcome: age> 60 years, RR of 1.1 (95% CI 1.1 to 1.4; p <0.001) and surgery, RR 2.9 (95% CI 1.4-6, 1; p = 0.0005).

(10)

x

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 8

...2.1 Cedera kepala..………8

2.1.1 Defenisi Cedera Kepala………...……8

2.1.2 Epidemiologi...9

(11)

xi

2.1.3.1 Laserasi Kulit Kepala ... 9

2.1.3.1 Fraktur Tulang kepala ... 9

2.1.4 Cedera Otak Fokal dan Difus ... 11

2.1.5 Patofisiologi Cedera Kepala...… 15

2.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Outcome...… 19

2.2.1 Demografi ... 19

2.2.2 Penyebab Cedera ... 21

2.2.3 Glascow Coma Scale ... 22

2.2.4 Refleks Pupil ... 22

2.2.5 Hipotensi dan Hipoksia ... 23

2.2.6 Gambaran Lesi Intrakranial... 24

2.2.7 Gangguan Faal Hemostasis ... 25

2.2.8 Hemoglobin... 26

2.2.9 Waktu Operasi... 27

2.3 Glascow Coma Scale - Extended ... 28

2.4 Validitas ... 31

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 33 3.1 Kerangka Berpikir ... 33

3.2 Konsep Penelitian ... 34

BAB IV METODE PENELITIAN... 37

4.1 Rancangan Penelitian ... 37

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 38

4.3 Subjek dan Sampel Penelitian... 38

4.3.1 Populasi target ... 38

4.3.2 Populasi terjangkau ... 38

4.3.3 Sampel penelitian ... 38

4.4 Kriteria pemilihan sampel ... 38

4.5 Besar sampel ... 39

(12)

xii

4.7 Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 41

4.8 Alur Penelitian ... 44

4.9 Analisis Data ... 45

BAB V HASIL PENELITIAN... ...……….47

5.1 Data Karakteristik Pasien…………...………47

5.1.1 Sebaran Karakteristik Variabel Bebas Subjek Penelitian……...47

5.1.2Sebaran Karakteristik Variabel Tergantung Subjek Penelitian……47

5.2 Analisis Hubungan Faktor Prognostik TerhadapOutcome.…………..48

5.2.1Analisis Bivariat Hubungan Faktor prognostik terhadapoutcome………...49

5.2.2 Analisis Multi-variat Faktor prognostik terhadap outcom…....…...52

BAB VI PEMBAHASAN...…. 59

6.1 Pembahasan………...…....59

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN... 66

7.1 Simpulan ... ... 66

7.2 Saran ...….67

DAFTAR PUSTAKA...…..68

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Tabel Halaman

Tabel 5.1 Gambaran Karakteristik Variabel bebas Subyek

Penelitian berdasarkan pemeriksaan fisik……… 53

Tabel 5.2 Gambaran Karakteristik Variabel bebas Subyek

penelitian berdasarkan Lesi Intrakranial………. 54

Tabel 5.3 Gambaran Karakteristik Variabel tergantung Subjek

Penelitian………... 55

Tabel 5.4 Hasil Analisis bivariat Faktor pengaruh factor

prognostik terhadap outcome pada pasien CKS ………… 55

Tabel 5.5 Hasil Analisis multivariat Faktor pengaruh faktor

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Gambar Hal

Gambar 01. Lesi intrakranial ………...………… 12

Gambar 02. Neuronal damage ………..………...………. 15

Gambar 03. Patofisiololgi Cedera Kepala Sekunder ………. 18

Gambar 04. Kurva ROC untuk mengetahui sensitivitas dan Spesifisitas……… 32

Gambar 05. Konsep penelitian ………...……… 34

Gambar 06. Skema rancangan ………...……… 37

(15)

xv

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

GOS : Glascow coma scale

GOS-E :Glascow coma scale–Extended TBI :Traumatic Brain Injury

CKR :Cidera Kepala Ringan CKS : Cidera kepala sedang CKB : Cidera kepala Berat

CT scan :Computerized Tomography Scan

EDH :Epidural Hematom

SDH : Subdural Hematom

SAH : Subarachnoid Hematom ICH : Intraserebral Hematom IVH :Intraventrikel Hemoragik

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Surat ijin penelitian ... 76

Lampiran 2. Surat keterangan kelaikan etik penelitian ... ... 77

Lampiran 3. Lembar persetujuan Penelitian ... 78

Lampiran 4. Daftar pasien sampel ... ... 79

(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Trauma kepala diprediksi akan menjadi pembunuh terbesar ketiga di negara berkembang pada tahun 2020. Jumlah kasus cedera kepala di Amerika Serikat mencapai 1,7 juta kasus setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, 52.000 orang meninggal, dimana 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari total pasien cedera kepala yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% cedera kepala sedang (CKS), dan 10% cedera kepala berat (CKB) (CDC, 2010).Di Indonesia data cedera kepala belum tercatat secara baik, tetapi data yang didapat dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, dari total pasien rawat inap, terdapat 60%-70% dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB, sedangkan angka kematian tertinggi mencapai 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal (PERDOSI, 2009). Di RSUP Sanglah Denpasar, insiden cedera kepala pertahun rata-rata diatas 2000 kasus, dimana 30% merupakan pasien cedera kepala sedang dan berat (Register IRD Sanglah, 2011).

(18)

2

otak primer) dan akibat proses metabolisme, hemostasis ion sel otak, hemodinamika intrakranial, compartment CSS yang terjadi setelah trauma(cedera otak sekunder). Gejala yang timbul pada pasien cedera kepala sedang mungkin bingung atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti perintah sederhana. Pasien dengan trauma kepala memerlukan penegakan diagnosis sedinimungkin (deteksi dini) dari faktor-faktor yang memperburuk , agar tindakan dan terapi yang tepat, akurat dan sistematis dapat segera dilakukan supaya terhindar dari komplikasi-komplikasi yang akan terjadi dan menghasilakan prognosis yang baik(Arifin, 2002;Golden,et al, 2013;Teuntje,et al, 2011).

Secara umum, prognosis cedera kepala sedangadalah baik, dimana sekitar90% penderita menngalami perbaikan. Walaupun cedera kepala primer tidak dapat dilakukan intervensi lebih jauh namun memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan cedera kepala sekunder. Oleh karena itu cedera kepala sekunder memerlukan penilaian faktor-faktor yang mempengaruhi perburukan dan penanganan sedini mungkin untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dari cedera primernya(Thurman,et al, 2003).

Beberapa faktor yang mempengaruhi hasil outcome penderita cedera kepala dapat diukur menggunakan Glasgow Outcome Scale Extended (GOSE) yang terbagi dalam delapan kategori, yaitu mati, vegetative state, lower severe disability, upper severe disability, lower moderate disability, upper moderate

(19)

3

hipotensi, hipoksia, gangguan faal hemostasis, waktu operasi, lama perawatan), serta indikator lain yang berdasarkan karakteristik Computerized Tomography Scan(hematom epidural, hematom subdural, pendarahan subarachnoid traumatik,

brain swelling, deviasi mid line shif) (Chantal,et al, 2005).Kombinasi faktor-faktor prognostik ini akan memberikan dasar yang kuat untuk memperkirakan probabilitas dari kategori GOSE (Glascow Outcome Scale Extended)yang dikategorikan menjadi unfavorable dan favorable pada pasien-pasien cedera kepala sedang dalam 3 bulanfollow up(Gordon,et al,2007).

Sampai Saat ini sistem skoring untuk menentukan penilaian prognosis dari pasien cedera kepala sedang belum ada, sehingga kami tertarik untuk meneliti faktor-faktor risiko yang mempengaruhi prognostik dan outcomepada pasien cedera kepala sedang.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka dirumuskan masalah sebagai berikut:

2.2.1 Apakah umur lebih dari 60 tahun memiliki risiko outcome unfavorable GOSElebih tinggi pada pasien cedera kepala sedang? 2.2.2 Apakah jenis kelamin laki-laki memiliki risiko outcome unfavorable

GOSElebih tinggi pada pasien cedera kepala sedang?

(20)

4

2.2.4 Apakah pupil anisokor memiliki risiko outcome unfavorable GOSE

yang lebih tinggi pada pasien cedera kepala sedang?

2.2.5 Apakah GCS awal rendah memiliki risiko outcome unfavorable GOSElebih tinggi pada cedera kepala sedang?

2.2.6 Apakah waktu (durasi pre-operasi) ≥ 4 jam setelah kejadian dilakukan tindakan operasi memiliki risiko outcome unfavorable GOSElebih tinggi pada pasien cedera kepala sedang?

2.2.7 Apakah dalam kondisi hipotensi memiliki risiko outcomeunfavorable GOSElebih tinggi pada cedera kepala sedang?

2.2.8 Apakah dalam kondisi hipoksia memiliki risiko outcome unfavorable GOSElebih tinggi pada cedera kepala sedang?

2.2.9 Apakah dengan adanyaperdarahan subarachnoid traumatik memiliki risiko outcome unfavorable GOSE lebih tinggi pada cedera kepala sedang?

2.2.10 Apakah dengan adanya brain swelling memiliki risiko outcome unfavorable GOSElebih tinggi pada cedera kepala sedang?

2.2.11 Apakah dengan adanya epidural hematoma memiliki risiko outcome unfavorable GOSElebih tinggi pada cedera kepala sedang?

2.2.12 Apakah dengan adanya subdural hematoma memiliki risiko outcome unfavorable GOSElebih tinggi pada cedera kepala sedang?

(21)

5

2.2.14 Apakah dengan intracerebral hematome memiliki risiko outcome unfavorable GOSElebih tinggi pada cedera kepala sedang?

2.2.15 Apakah dengan gangguan faal hemostatis (pemajanngan PTT, APPT) memiliki risiko outcome unfavorable GOSE lebih tinggi pada pasien cedera kepala sedang?

2.2.16 Apakah dengan anemia memiliki resiko outcome unfavorable GOSE

lebih tinggi pada pasien cedera kepala sedang?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum : Untuk mengetahui faktor-faktor prognostik yang mempengaruhi outcomedan membuat suatu prognostik skoring penderita cedera kepala sedang.

1.3.2. Tujuan Khusus :

1. Mengetahui umur lebih dari 60 tahun memiliki risiko outcome unfavorable GOSElebih tinggi pada pasien cedera kepala sedang 2. Mengetahui jenis kelamin laki-laki memiliki risiko outcome

unfavorable GOSElebih tinggi pada pasien cedera kepala sedang 3. Mengetahui kecelakaan lalu lintas memiliki risiko outcome

unfavorable GOSElebih tinggi pada pasien cedera kepala sedang 4 Mengetahui pupil anisokor memiliki risiko outcome unfavorable

(22)

6

5. Mengetahui GCS awal rendah memiliki risiko outcome unfavorable GOSElebih tinggi pada cedera kepala sedang

6. Mengetahui waktu ≤ 4 jam setelah kejadian dilakukan tindakan operasi memiliki risiko outcome unfavorable GOSE lebih tinggi pada pasien cedera kepala sedang

7. Mengetahui kondisi hipotensi memiliki risiko outcome

unfavorable GOSElebih tinggi pada cedera kepala sedang

8. Mengetahui kondisi hipoksia memiliki risikooutcome unfavorable GOSElebih tinggi pada cedera kepala sedang

9. Mengetahui adanya perdarahan subarachnoid traumatik memiliki risikooutcome unfavorable GOSE lebih tinggi pada cedera kepala sedang

10. Mengetahui adanya brain swelling memiliki risiko outcome unfavorable GOSElebih tinggi pada cedera kepala sedang

11. Mengetahui adanya epidural hematoma memiliki risiko outcome unfavorable GOSElebih tinggi pada cedera kepala sedang

12. Mengetahui adanya subdural hematoma memiliki risiko outcome unfavorable GOSElebih tinggi pada cedera kepala sedang

13. Mengetahui deviasi midline shift > 5mm memiliki risiko outcome unfavorable GOSElebih tinggi pada cedera kepala sedang

(23)

7

15. Mengetahui gangguan faal hemostatis (pemajanngan PTT, APPT) memiliki risiko outcome unfavorable GOSE lebih tinggi pada pasien cedera kepala sedang

16. Mengetahui anemia memiliki resiko outcome unfavorable GOSE

lebih tinggi pada pasien cedera kepala sedang

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini akan mendapatkan faktor-faktor prognostik yang tervalidasi dan memang berhubungan dengan outcome pasien, sehingga dapat digunakan sebagai instrumen prognostik dari cedera kepala sedang

1.4.2 Manfaat Praktis

(24)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. CEDERA KEPALA

2.1.1. Definisi Cedera Kepala

Trauma kepala didefinisikan sebagai trauma non degeneratif–non konginetal yang terjadi akibat ruda paksa mekanis eksternal yang menyebabkan kepala mengalami gangguan kognitif, fisik dan psikososial baik sementara atau permanen dan bisa juga menyebabkan kelumpuhan sampai kematian. Cedera kepala sedang merupakan cedera kepala dengan skala koma glassgow 9 – 12 (Osbornet al, 2003).

2.1.2 Epidemiologi

(25)

9

2.1.3. Morfologi Cedera Kepala

Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas: (Peteret al2009) 2.1.3.1. Laserasi kulit kepala

Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera cedera kepala. Kulit kepala terdiri dari lima lapisan (dengan akronim SCALP) yaitu skin, connective tissue, apponeurosis galea, jaringan ikat longgar dan perikranium. Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala sering terjadi robekan pada lapisan ini.

2.1.3.2. Fraktur tulang kepala

Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi: 1. Fraktur Linier

Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala.

2. Fraktur diastasis

(26)

10

3. Fraktur kominutif

Fraktur komunitif adalah jenis fraktur tulang kepala yang memiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.

4. Fraktur impresi

Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala. Fraktur impresi pada tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada duramater dan jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna terjadi jika tabula eksterna segmen yang impresi masuk dibawah tabula interna segmen tulang yang sehat.

5. Fraktur basis cranii

Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang tengkorak. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada duramater yang merekat erat pada dasar tengkorak. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya rhinorrhea dan racon eyes sign(Fraktur basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan battle’s sign (fraktur

(27)

11

2.1.4 Cedera Otak Fokal danDiffuse

Tobing, 2011 mengklasifikasikan cedera otak fokal dan cedera otak

diffuse:

A. Cedera otak fokal meliputi:

1. Perdarahan Epidural/Epidural Hematom (EDH)

EDH adalah adanya darah di ruang epidural yaitu ruang potensial antara tabula interna tulang tengkorak dan duramater. EDH dapat menimbulkan penurunan kesadaran, adanya lusid interval selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neurologis berupa hemiparesis kontralateral dan dilatasi pupil ipsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis. 2. Perdarahan subdural akut atausubdural hematom (SDH) akut

Perdarahan SDH adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut (3-6 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks cerebri.

3. Perdarahan subdural kronik atau SDH Kronik

(28)

12

4. Perdarahan intra cerebral/Intracerebral Hematomn(ICH)

Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak ataupembuluh darah kortikal dan subkortikal.

5. Perdarahan subarahnoid traumatik (SAH)

Perdarahan subarahnoid diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang subarahnoid dan disebut sebagai perdarahan subarahnoid (PSA).

(29)

13

B. Cedera otakdiffuse

Cedera otak diffuse merupakan terminologi yang menunjukkan kondisi parenkim otak setelah terjadinya trauma. Terjadinya cedera kepala

difuse disebabkan karena gaya akselerasi dan deselerasi gaya rotasi dan translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim yang sebelah dalam. Vasospasme luas pembuluh darah dikarenakan adanya perdarahan subarahnoid traumatik yang menyebabkan terhentinya sirkulasi di parenkim otak dengan manifestasi iskemia yang luas, edema otak disebabkan karena hipoksia akibat renjatan sistemik, bermanifestasi sebagai cedera kepala difuse. Dari gambaran morfologi pencitraan atau radiologi, cedera kepala difuse dikelompokkan menjadi (Sadewa, 2011):

1. Cedera aksondifuse(Diffuse aksonal injury)

Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan serabut yang menghubungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer (komisura) mengalami kerusakan. 2. Kontusio Cerebri

Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena efek gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab kontusio cerebri adalah adanya gayacoup dan

(30)

14

sanggup merusak struktur parenkim otak yang terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu kompak.

3. Edema Cerebri

Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala. Pada edema cerebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat pendorongan hebat pada daerah yang mengalami edema. Edema otak bilateral lebih disebabkan karena episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya renjatan hipovolemik.

4. Iskemia cerebri

Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang atau berhenti. Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama (kronik progresif) dan disebabkan karena penyakit degenerative pembuluh darah otak

2.1.5. Patofisiologi Cedera Kepala

Mekanisme cedera otak primer setelah trauma.

Cedera primer bisa berhubungan dengan koma yang berkepanjangan dan mempengaruhi respon motorik sebagai degenerasi subcortical matter yang tersebar, yang biasanya disebut sebagai diffused axonal injury ( DAI ). Setelah beberapa minggu setelah injuri axon dan degenerasi wallerian dari fiber tracts

(31)

15

yang bisa ditunjukkan dan bisa terjadi penyembuhan total secara klinis, koma yang berkepanjangan, bahkan kematian(Andrewset al,2002).

Cedera otak primer tidak dapat menjelaskan terjadinya deteriorasi dibandingkan dengan cedera otak sekunder yaitu proses seluler dan biokimiawi yang kompleks yang terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa hari setelah trauma(Jesset al, 2000).

Gambar 02. Neuronal damage (Paragon SC, 2008)

(32)

16

gambaran histopatologis dalam bentukpetechiaedalamsubstansia alba. Selain itu dapat pula terjadi contusio otak, hematoma (subdural, epidural, intracerebral) dan perdarahansubarachnoid(Andrewset al,2002).

Kerusakan pada cedera kepala dapat berupa fokal lesi maupun diffuse, terletak pada area spesifik atau tersebar. Diffuse injury sedikit terlihat pada gambaran neuroimaging namun akan tampak jelas pada pemeriksaan histopatologis post mortem secara mikroskopis. Dimana tipe dari diffuse injury

dapat berupa concusion atau diffuse axonal injury. Lesi fokal biasa berhubungan dengan fungsi dari kerusakan area yang terjadi, manifestasi berupa gejala hemiparesis atau aphasia. Gambaran fokal lesi yang dapat terlihat pada CT Scan berupaLaserasi Cerebri, Contusio Cerebri (bila darah bercampur dengan jaringan otak), Intrakranial hemoragik (bila darah tidak bercampur dengan jaringan otak). Lesi intra axial berupa Intracerebral hemoragik, dimana perdarahan terjadi pada jaringan otak itu sendiri. Sedangkan yang termasuk lesi extra-axial berupa Epidural Hematome(perdarahan antara skull dan duramater), Subdural Hematome (perdarahan antara duramater dengan arachnoid mater), Subarachnoid Hemoragik (perdarahan antara arachnoid membrane dengan piamater) dan Intraventrikuler Hemoragik (perdarahan didalam ventrikel) (Franco et al, 2000; Andrewset al, 2002).

Mekanisme cedera otak sekunder setelah trauma.

(33)

17

ion calsium dan sodium kedalam neuron, dimana menyebabkan disfungsi dari mitokondria(Jess et al, 2000).

(34)

18

Gambar 03. Patofisiololgi Cedera Kepala Sekunder.

2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Outcome

Banyak sekali studi yang meneliti faktor faktor yang mempengaruhi outcome, di antaranya: Umur, Skor GCS, Reflek Pupil, skor hipoksia, hipotensi, klasifikasi CT Scan, dan Perdarahan Sub arachnoid (Murray et al, 2007; Hukkelhoven et al, 2005; Jennett et al, 1976; Choi et al, 1991;Signorini et al, 1999; Braakman et al, 1980; Quigleyetal, 1997; Stablein et al, 1980; Lannoo et

al, 2000;Young et al, 1981; Narayan et al, 1981; Fearnside et al,1993; Schaan

(35)

19

Waktu prothrombin juga diidentifikasi sebagai faktor prognostik independent kuat, tetapi data ini hanya ditunjang oleh sedikit pasien pada 3 studi yang relevan (Murray et al, 2007). Dengan meneliti faktor - faktor prognostik tersebut, akan memberikan jalan bagi proyek IMPACT, yang berfokus pada perkembangan dari pendekatan terbaru dari rancangan dan analisis dari uji klinis pada Cedera Kepala Traumatis (Maaset al, 2007; Marmarouet al, 2007).

2.2.1 Demografi

Secara demografi faktor usia dan jenis kelamin penderita mempengaruhi

outcome penderita cedera kepala sedang. Umur adalah prediktor independen dari outcome pasien (Luerssen et al, 1988; Signoriniet al, 1999; Mosenthal et al, 2002; Hukkelhovenet al, 2003;Mushkudiani et al, 2007).Dari beberapa penelitian didapatkan bahwa penderita dengan usia lebih muda memiliki prognosis atau outcome yang lebih baik dibandingkan dengan usia yang lebih tua terutama pada usia diatas 65 tahun, ini dikarenakan banyaknya co-morbiditas yang dimiliki oleh penderita sejalan dengan meningkatnya usia, disamping itu juga pada penderita yang lebih tua memiliki daya tahan yang menurun, serta elastisitas pembuluh darah yang menurun pula, serta respon yang lebih buruk terhadap anemia (Tokutomi et al, 2008). Pasien yang lebih tua memiliki angka kematian yang lebih tinggi dan memiliki

(36)

20

intrakranial sesuai dengan usia mungkin disebabkan oleh perbedaan antara otak usia muda dan usia tua pada saat terjadinya cedera otak sekunder. Perubahan dari respon patofisiologisnya sangat berhubungan dengan perkembangan cedera otak sekunder terhadap suatu proses penuaan otak (Tokutomiet al,2008).

Jenis Kelamin dikatakan sebagai yang paling kontroversial di antara faktor-faktor yang lain. Walaupun angka insiden penderita cedera kepala didapatkan lebih besar pada laki-laki, namun prognosis atau

outcome yang didapatkan lebih buruk pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki, namun mekanismenya belum dapat dijelaskan. Pada beberapa penelitian menegaskan kelompok wanita pada observasi multiple mempunyai outcome yang lebih buruk setelah cedera kepala berat (Tateet al, 2001; Slewa-Younan et al, 2008; Macintyre et al, 1999; Ponsford et al, 2008). Pada suatu uji klinis terkontrol didapatkan pada binatang menunjukkan pemulihan yang lebih baik dan fungsi kognitif yang lebih baik di antara betina seteleh cedera kepala dibandingkan kelompok jantan(Bramlett and Dietrich, 2001; O’Connor et al, 2003, Wagner et al, 2004).

2.2.2 Penyebab cedera

(37)

21

dan penyebab cedera, dampak dari cedera terhadap otak mungkin berbeda, dan ini sangat berhubungan dengan konsekuensi langsung dari diagnostik

imagingdan manajemen terapinya (Butcheret al, 2007).

Terdapat sebuah hubungan univariat yang kuat antara penyebab cedera pasien dan outcome jangka panjang pada pasien cedera kepala sedang sampai berat. Kemungkinan hasil yang lebih buruk bagi mereka yang mengalami kecelakaan dibandingkan dengan oleh karena kekerasan maupun oleh karena jatuh dengan sendirinya. Mereka yang terluka karena olahraga atau rekreasi memiliki outcome yang lebih buruk dibandingkan dengan yang dikarenakan jatuh, sementara untuk kelompok "lain" dan "kecelakaan kerja" kemungkinan hasil yang lebih buruk yang mirip dengan kecelakaan lalu lintas (Butcheret al,2007).

2.2.3 GCS(Glascow Coma Scale)

(38)

22

dalam melakukan observasi penderita tersebut dapat dilakukan lebih ketat pada GCS lebih kecil (Kothari, 2006). Stein menemukan bahwa pasien dengan GCS 13 didapatkan kelainan patologis pada CT Scan Kepala pada 337 dari 997 kasus (33,8%), sedangkan pada 97 dari 899 (10,8%) pasien diindikasikan untuk operasi (Stein, 2001).

2.2.4 Reflek pupil

Pemeriksaan respons pupil dapat menyediakan informasi yang berharga dari derajat cedera kepala awal ataupun yang progresif (Andrea

et al, 2005).

Secara umum, dilatasi dan fiksasi dari pupil menandakan adanya herniasi dan penanda tidak langsung dari cedera batang otak (Rovlias, 2004; Goebertet al, 1970; Jamouset al, 2010).

Dilatasi pupil akut pada pasien cedera kepala menandakan kegawat daruratan. Secara tradisional, fenomena ini dipercayai disebabkan oleh herniasi unkus yang merupakan hasil dari edena otak atau suatu lesi masa, yang mengarah ke kompresi dari nervus 3 kranialis (Mauritz et al, 2009). Penyebab lain dari dilatasi pupil adalah penurunan aliran darah ke otak dan kemudian menghasilkan iskemia otak khususnya batang otak (Ritter,et al, 1999).

(39)

23

Hipoksia serebral bersama dengan hipotensi adalah faktor yang paling kritis dalam memperparah kerusakan sekunder setelah kejadian cedera kepala, khususnya setelah Cedera Kepala diffuse (McHugh et al, 2007; Miller,1993).

Hipoksia

Studi epidemiologis menunjukkan bahwa hingga 44% dari pasien cedera kepala berat, mengalami hipoksia otak, yang berhubungan komplikasi neurologis lain (Jeremitsky et al, 2003). Hipoksia dapat diinduksi oleh hipoperfusi serebral, apneu, dan hipoventilasi yang disebabkan oleh Cedera Otak traumatic yang berhubungan dengan cedera batang otak (Newcombe et al, 2010). Lebih lagi, hipoksia sistemik dapat disebabkan oleh cedera ektrakranial dan seringkali berdampingan dengan cedera kepala seperti sumbatan jalan nafas, trauma tembus paru, kehilangan darah berlebihan (Siegelet al, 1995).

Hipoksia juga merupakan tanda seberapa berat cedera otak yang didapat dan dapat menyebabkan kelainan otak sekunder(Manley G, 2001; Gao et al, 2010; Hellewelet al, 2010).

Hipotensi

(40)

24

terlalu signifikan dari peningkatan mortalitas pasien dengan GCS < 13 yang mengalami episode tunggal hipotensi selama dirawat di RS (Sistolik <= 90) (Manleyet al, 2001).

Pada serial penelitian oleh Vassar et al, yang dirancang untuk menekankan pilihan yang optimal dari cairan resusitasi, dalam mengkoreksi hipotensi, berhubungan dengan perbaikanoutcome(Vassaret al, 1993). Pentingnya pengukuran MAP dibandingkan dengan tekanan sistolik, harus ditekankan, bukan hanya karena peran dari MAP dalam menghitung tekanan perfusi serebral (CPP) tetapi juga karena kurangnya konsistensi hubungan antara tekanan sistolik dengan MAP membuat perhitungan berdasarkan tekanan sistolik tersebut tidak akurat (Bullock et al, 2007).

Cerebral blood flow yang rendah, tekanan oksigen yang rendah dan pelepasan asam amino berhubungan dengan terjadinya iskhemia dan hal tersebut dapat menyebabkan pemicu cascade kerusakan sel. Beberapa sistem yang berpengaruh terhadap gambaran patologis pada cedera kepala yaitu adanya faktor ekstrakranial (disebabkan adanya faktor diluar otak) atau intrakranial(disebabkan kerusakan jaringan di dalam otak) (Madikians, 2006; Manley, 2001;Moppett, 2007).

2.2.6Gambaran lesi intrakranial

(41)

25

terutama didasarkan pada jenis fokal lesi yang ada, ukuran besarnya. Dari semua lesi intrakranial yang disebutkan di atas dapat mempengaruhi keadaan umum dari penderita tersebut, dikarenakan terjadinya peningkatan volume intrakranial karena adanya hematom atau edema yang meningkatkan tekanan intrakranial sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran penderita yang dapat dinilai dari penurunan GCS, kondisi tersebut dapat memperburuk keadaan penderita secara umum dan adanya midline shift dapat disebabkan karena peningkatan tekanan volume intrakranial, sehingga stuktur midline nya terdorong ke lateral, menyebabkan cingulate gyrus herniasi di bawah tepi bebas dari falx, sesuai dengan kriteria marshall(Marshallet al, 1991; Robert et al, 2003; Lesko et al, 2012; Chestnut, 2000; Van Dongen et al, 1983; Cordobes et al, 1986; Younget al, 1981; Azian et al, 2001; Eisenberg et al, 1990;Fearnside et al, 1993; Lipper et al, 1985; Pillai et al,2003; Quattrocchiet al, 1991; Servadeiet al, 2000).

2.2.7Gangguan faal hemostasis

(42)

26

antikoagulan dapat berperan menyebabkan koagulopati dan gangguan perdarahan. Hipoperfusi menyebabkan ekspresi trombomodulin endotelial yang mengikat thrombin, sehingga menghambat pembentukan fibrin dari fibrinogen. Selain itu, kompleks trombomodulin-trombin mengaktivasi protein C, yang menghambat plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) dan faktor koagulasi Va dan VIIIa. Hal ini menyebabkan pelepasan tissue plasminogen activator (tPA) endotelial yang menyebabkan terjadinya fibrinolisis. Pada penderita cedera kepala sering terjadi hipotermia dan asidosis yang berperan dalam memperburuk hemostasis dan gangguan

outcome (Greuters, 2011). Selain itu kehilangan darah baik karena trauma cranial maupun sistemik dapat merangsang diathesis hemoragik

disebabkan olehdeplesiplatelet dan faktor pembekuan darah. Pada Cedera kepala, cedera tersebut dapat merangsang keadaan hiperkoagulasi, baik secara sistemik maupun local pada daerah penumbra dari contusion serebri dengan melepaskan faktor PCTF (Pro-Coagulant Tissue Factor). Peningkatan konsentrasi plasma dari produk degradasi Fibrin/fibrinogen dan 2-plasmin inhibitor dan menurunnya kadar fibrinogen berhubungan dengan outcome yang buruk setelah cedera kepala (Jackelien et al, 2007; Olson et al, 1989; Selladurai et al, 1997; Bredbackaand Edner, 1994; Hoots, 1997; Mineret al, 1982;Steinet al, 1992).

(43)

27

Pada cedera kepala akut, hemoglobin rendah mungkin akibat dari kehilangan darah atau pemberian cairan yang berlebihan. Sebagai konsekuensinya, kapasitas membawa oksigen darah akan menurun, dan berpotensi meningkatkan risiko kerusakan iskemik sekunder pada saat aliran darah otak sudah terganggu. Tingkat Hb yang tinggi namun akan meningkatkan viskositas dan kompromi perfusi. Secara teoritis hubungan antara Hb dan hasil mungkin sangat diharapkan. Kami menemukan hubungan linier teru-menerus.Bagaimanapun perlu dicatat bahwa tingkat tinggi Hb yang diamati sangat jarang, dan kemungkinan outcome buruk pada tingkat Hb diatas rentang diamati tidak bisa dikesampingkan. Abnormal nilai Hb rendah yang diamati pada sejumlah pasien (17%) dan terkait dengan parameter lain (misalnya, hipotensi). Anemia adalah masalah umum pada pasien sakit kritis dan berhubungan dengan hasil

outcome buruk yang telah didokumentasikanselama bertahun-tahun (du Cheyronet al, 2005; Hebertet al, 1997;Sanchez-Olmedoet al, 2005).

2.2.9Waktu operasi

(44)

28

probabilitas kelangsungan hidup yang baik dari trauma kepala (Ju Kim et al,2006; Leachet al, 2009).

2.3. GlasgowOutcome Scale Extended(GOSE)

Glasgow outcome scale (GOS) paling luas digunakan untuk menilai hasil akhir secara umum pada cedera otak. GOS dikelompokkan dalam lima katagori, yaitu mati, persistent vegetative state, ketidakmampuan yang berat, ketidakmampuan sedang dan kesembuhan yang baik. Penilaian secara tepat diperoleh pada 3, 6 dan 12 bulan setelah cedera otak. Validitas GOS sebagai suatu penilai hasil akhir cedera otak didukung oleh kuatnya hubungan dengan lamanya koma, beratnya kondisi pada awal trauma (diukur dengan GCS) dan tipe lesi intrakranial(Milleret al, 2005).

(45)

29

oleh spesialis saraf dan bedah saraf. Keduanya memutuskan bahwa penilaian ini sangat tepat pada 3 bulan, 6 bulandan 12 bulan pascatrauma (Jennetet al, 2005).

Skala penilaian prognosis Glasglow terdiri atas lima kategori yaitu: (Jennetet al,2005)

1. Pemulihan baik (good recovery= GR) diberi nilai 5.Pasien dapat berpartisipasi pada kehidupan sosial, kembali bekerja seperti biasa. Pemeriksaa ini dapat disertai komplikasi neurologis ringan, seperti defisit minor saraf kranial dan kelemahan ekstremitas atau sedikit gangguan pada uji kognitif atau perubahan personal.

2. Ketidakmampuan sedang (Moderate disability=MD, independent but disabled) diberi nilai 4. Kondisi pasien jelas berbeda sebelum cedera dan mampu menggunakan transportasi umum, tetapi tidak dapat bekerja seperti biasa. Pasien defisit memori/perubahan personal, hemiparesis, disfasia, ataksia, epilepsi paska traumatika, atau defisit mayor saraf kranial. Derajat ketergantungan pasien pada orang lain lebih baik dibandingkan dengan lansia dan kemampuan kebutuhan personal sehari-hari dapat dikerjakan tetapi, mobilitas dan kapasitas berinteraksi tidak dapat dilakukan tanpa asisten.

3. Ketidakmampuan berat (Severe disability=SD, conscious but dependent) diberi nilai 3. Pasien mutlak bergantung pada orang lain setiap saat (memakai baju, makan, dll), paralisis spastik, disfasia, disatria, defisit fisik dan mental yang mutlak memerlukan supervisi perawat/keluarga.

(46)

30

reflek, withdrawal sebagai pencerminan menuruti perintah, mengerang, menangis, kadang mampu mengatakan tidak sebagai bukti proses kembali berbicara.

5. Meninggal dunia (dead) diberi nilai 1. Pada tahun 1981 Jennet menelaah dan memodifikasi ulang skala GOS karena masalah sensitivitas statistik dan penggunaan yang lebih praktis pada uji klinis obat neuroproteksi, yaitu distribusi bimodal (dikotomisasi) antara hidup (GR, MD, SD) dan mati (PVS,

Dead)

GOSE adalah Suatu skala pengukuran outcome pada cedera kepala yang dipakai untuk menyatakan prognosis, dinilai 3,6,12 dan 24 bulan setelah cedera kepala, yang terdiri dari 8 kategori (Wilsonet al, 1998)

a. Death: Meninggal b. Vegetative: Vegetatif

c. Lower severe disability : memerlukan pertolongan dari orang lain hampr tiap saat sepanjang hari.

d. Upper severe disability : Dapat ditinggal dirumah sendiri kurang lebih 8 jam sehari, akan tetapi tidak dapat melakukan perjalanan jauh atau pergi bebelanja tanpa ditemani orang lain.

e. Lower moderate disability: Tidak mampu untuk bekerja. f. Upper moderate disability: Penurunan kapasitas bekerja.

(47)

31

h. Upper good recovery : Dapat kembali pada kehidupan normal tanpa ada masalah yang berhubungan dengan trauma kepala yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari

2.4. Validitas

Validitas mempunyai arti sejauh mana ketepatan dankecermatan suatu instrumen pengukurdalam melakukan fungsiukurnya. Suatu instrumnen dikatakan memiliki validitas yang tinggi apabilaalat tersebut menjalankan fungsi ukur secara tepat atau memberikanhasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukurantersebut. Artinya hasil ukur dari pengukuran tersebut merupakanbesaran yang mencerminkan secara tepat fakta atau keadaansesungguhnya dari apa yang diukur (Matondang, 2009).

Pengukuran validitas menggunakan kurva receiver operating characterisctics(ROC). Kurva ROC meghubungkantruepositive(sensitivitas) dan

(48)

32

Gambar

Gambar 1. Lesi intrakranial (Tomio, 2000).
Gambar 02.  Neuronal damage (Paragon SC, 2008)
Gambar 03. Patofisiololgi Cedera Kepala Sekunder.
Gambar 04. Kurva ROC untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas

Referensi

Dokumen terkait

Tujuannya adalah untuk mengetahui indikator-indikator pada webqual 4.0 mana yang dirasa masih kurang kinerja nya oleh pengguna atau tidak sesuai harapan pengguna,

Dari apa yang dikemukakan di atas, nampak bahwa ketentuan mengenai akses pasar ini mirip sekali dengan ketentuan mengenai Most Favoured Nation (MFN) sebagaimana telah

Biasanya perasa super akan merasakan sesuatu yang manis terasa lbeih manis, atau yang pahit lebih pahit, dan seterusnya terhadap asin dan asam.. Adanya juga golongan individu

Berkaitan dengan kegiatan komersiii ruang angkasa yang dilakukan oleh perusahaan swasta di suatu negara, jeias dalam kegiatan ini negara tidak melarang, justru negara

Praktik Pengalaman Lapangan adalah semua kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sebagai pelatihan untuk menerapkan teori yang diperoleh dalam

Beberapa faktor yang mendukung terlaksananya kegiatan PPL berjalan dengan baikantara lain keramahan dan keterbukaan dari sekolah latihan terhadap berbagai data yang

khususnya, adalah liga dimensi yang bedalian eral salu sama lain, anlara keliganya ini sudah semenjak tahun 1945 susul'menyusul adanya, dalam rangka mencari satu

Knowledge: (i) Students define angle, (ii) Students recognize angle measures, (iii) Students define right angle, (iv) Students construct geometric properties of triangle