• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengusap Kepala Ketika Wudlu, Sebagian atau Seluruhnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Mengusap Kepala Ketika Wudlu, Sebagian atau Seluruhnya"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

MENGUSAP KEPALA KETIKA WUDLU,

SEBAGIAN ATAU SELURUHNYA ??

م

د ادي س لا ىع و د ادي س ىع لص مهللا

Ini adalah ikhtilaf yg terjadi di kalangan para ulama fiqih semenjak dahulu. Yg satu tidak pernah menyalahkan yg lain. Begitulah seharusnya kita bersikap. Namun di akhir zaman ini, tidak sedikit kaum muslimin menyalahkan kelompok yg lainnya. Hal tsb juga sering kita temukan di website2 yg membahas masalah ini. Ada beberapa dari website2 tsb yg sangat menyalahkan pihak yg tidak sependapat dengannya dan menggunakan bahasa yg kurang santun. Misalnya suatu judul artikelnya “Kesalahan Fatal Orang Berwudlu”, “Kesalahan Orang2 Awam ketika Wudlu”, atau semacamnya, yg mana salah satu kesalahan yg mereka sebut adalah mengusap kepala hanya SEBAGIAN saja.

Yaa ikhwan ! Tahukah antum siapa yg sedang mereka katakan sebagai pelaku kesalahan fatal tsb ? Siapa yg sedang mereka katakan sebagai org2 awam ? Sepertinya mereka belum tahu. Jangan sampai kasus ini seperti kasus bahasan “Menyentuh Perempuan Dapat Membatalkan Wudlu”, yg mana ada seorang ustadz yg mengatakan bahwa org yg mengatakan wudlu batal karena menyentuh perempuan, maka ia adalah org yg goblok... Nah, kasusnya hampir sama, org yg mengatakan bahwa boleh mengusap kepala hanya sebagian saja, maka ia adalah org awam. Semoga hal2 semacam ini tidak pernah terjadi lagi. Hendaklah kita lebih arif dalam menghadapi perbedaan yg ada.

Semoga Allah melembutkan dan menyatukan hati kita semua, ummat Islam, Aamiin.

Dalam masalah ini, 4 madzhab berbeda pendapat:

a. Madzhab Hanafi mengatakan boleh sebagian kepala saja, yaitu minimal se-perempatnya.

b. Madzhab Maliki mengatakan tidak boleh sebagian kepala saja, harus seluruhnya. c. Madzhab Syafi‟i mengatakan boleh sebagian kepala saja, meskipun itu hanya satu

helai rambut.

d. Madzhab Hanbali mengatakan tidak boleh sebagian kepala saja, harus seluruhnya.

(2)

Imam Syafi‟i mengatakan dalam kitabnya, al-Umm, 2/56 – 57:

BAB MENGUSAP KEPALA

Imam Syafi‟i rohimahullahu ta‟ala berkata: “Allah SWT berfirman

اْ ُ ِو ُ ُ ِ او ُ َوْاو َ

: “Wamsahuu bi ru‟uusikum”: “Dan usaplah kepalamu” (al-Maa‟idah: 6). Dalam ayat tsb, maka masuk di akal apabila pengertiannya adalah barangsiapa telah mengusap sedikit dari kepalanya, maka sesungguhnya ia telah mengusap kepala. Tidak ada makna yg terkandung dalam ayat ini selain makna itu dan itu adalah makna yg paling jelas, atau pengertiannya adalah mengusap seluruh kepalanya. [Artinya, perintah dalam ayat ini adalah boleh mengusap sebagian kepala saja atau boleh seluruhnya]. Dan sunnah pun tidak menunjukkan bahwa seseorang harus mengusap kepala seluruhnya. Jika sunnah telah menunjukkan hal tsb, maka makna ayat di atas adalah seseorang boleh mengusap sedikit bagian dari kepalanya.”

Imam Syafi‟i berkata: “Jika seseorang mengusap bagian mana saja yg dikehendaki dari kepalanya, baik ia berambut atau tidak, maka rambut kepalanya itu bisa diusap baik dengan satu jari saja, atau beberapa jari, atau bagian dalam telapak tangannya, atau bahkan ia menyuruh org lain untuk mengusap kepalanya (maka ini semua sudah cukup baginya). Begitu pula jika ia mengusap kedua pelipisnya yg tak berambut, maka itu sudah cukup baginya karena itu termasuk bagian dari kepalanya.”

(3)

No. 70: Imam Syafi‟i berkata: “Telah mengabarkan kepada kami Muslim dari Ibnu Juraij, dari „Atho‟, ia berkata: “Sesungguhnya Rosulullah Saw berwudlu kemudian membuka sorban dari kepalanya. Beliau Saw mengusap bagian depan kepalanya.” Atau „Atho‟ berkata: “Beliau Saw mengusap ubun2nya dengan air.”

No. 71: Imam Syafi‟i berkata: “Telah mengabarkan kepada kami Ibrohim bin Muhammad dari „Ali bin Yahya, dari Ibnu Sirin, dari al-Mughiroh bin Syu‟bah: “Sesungguhnya Rosulullah Saw mengusap ubun2nya.” Atau al-Mughiroh berkata: “Beliau Saw mengusap bagian depan kepalanya dengan air.”

PENJELASAN:

Imam Syafi‟i berpendapat bahwa mengusap kepala ketika wudlu boleh hanya sebagian kepala saja, tidak harus seluruhnya. Beliau berdalil dengan dalil Naqli dan dalil ‘Aqli, yaitu al-Maa‟idah: 6. Dalam ayat tsb ada perintah

اْ ُ ِو ُ ُ ِ او ُ َوْاو َ

: “dan usaplah kepalamu”, beliau mengatakan bahwa sangatlah masuk akal (‘Aqli) apabila pengertian ayat tsb mengandung kebolehan mengusap sebagian kepala saja karena di ayat tsb tidak ada kalimat “usaplah seluruh kepalamu”, yg ada adalah “usaplah kepalamu”. Siapapun dapat menerima logika seperti ini. Penjelasan lebih lanjut tentang pengertian ayat ini sudah diterangkan oleh Imam an-Nawawi yg akan disebutkan nanti. Pengertian semacam ini juga didukung oleh sunnah dari Rosul Saw yg beliau riwayatkan, yaitu hadits no. 70 dan 71, bahwa Rosul Saw pernah mengusap sebagian kepalanya saja, yaitu bagian depan kepalanya sampai ubun2nya. Namun, hadits no. 70 ini mursal (tidak disebutkan siapa shohabat yg meriwayatkan perkataan Rosul ini, „Atho‟ adalah seorang tabi’in, bukan shohabat) sehingga kualitasnya dlo‟if. Akan tetapi, hadits no. 70 ini terangkat derajatnya dengan adanya hadits no. 71 yg maushul (bersambung), yaitu yg diriwayatkan oleh al-Mughiroh bin Syu‟bah, ia adalah seorang shohabat. Pembahasan lebih lanjut mengenai terangkatnya hadits mursal tsb (hadits no. 70) telah dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-„Asqolani (Amirul Mu‟minin fil Hadits) yg akan disebutkan nanti.

* * *

(4)

(Cabang): Penjelasan Madzhab2 „Ulama tentang Ukuran Minimal dalam Mengusap Kepala “Sungguh kami telah menuturkan bahwasannya yg masyhur dalam madzhab kami (Syafi‟iyyah) bahwa ukuran minimal mengusap kepala adalah apa yg dinamakan mengusap itu sendiri [yaitu menempelkan tangan yg basah ke kepala lalu menjalankan tangan tsb, sehingga ada bagian kepala yg basah karena usapan tangan tsb, meskipun tidak seluruh kepala]. Hal ini telah diriwayatkan oleh Ibnu ash-Shobbagh dari shohabat Ibnu „Umar rodliyallahu „anhuma. Ash-hab kami (para ulama Syafi‟iyyah) juga meriwayatkan hal tsb dari Hasan al-Bashri, Sufyan ats-Tsauri, dan Dawud azh-Zhohiri. Imam Abu Hanifah memiliki 3 pendapat yg masyhur dalam masalah ukuran minimal mengusap kepala: Pertama, minimal seperempat kepala; kedua, minimal sekadar ukuran 3 jari dan mengusapnya juga harus dg 3 jari; ketiga, seukuran sampai ubun2. Pendapat al-Qodli Abu Yusuf (sahabat Imam Abu Hanifah) adalah minimal setengah kepala. Pendapat Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam al-Muzani adalah harus seluruh kepala menurut riwayat yg masyhur dr mereka. Berkata Muhammad bin Salamah dari kalangan Malikiyyah: “jika meninggalkan usapan pada sepertiga kepala, maka itu boleh saja menurut salah satu pendapat dari Imam Ahmad.”

Imam an-Nawawi menjelaskan hujjah dr masing2 pendapat di atas:

(5)

“menempel”, [maksudnya, semua kepala harus menempel dengan usapan tangan], seperti firman Allah Ta‟ala:

اِ ْ ِ َ ْاوا ِ ْ َ ْا ِ او ُ َ َ َ ْاَ

: “walyaththowwafuu bil baitil „atiiq” : “dan hendaklah ber-thowwaf di sekeliling rumah tua (Baitullah)” [al-Hajj: 29]. Dan kewajiban mengusap seluruh kepala juga berhujjah dengan dalil yg tsabit (tetap) bahwa sesungguhnya Nabi Saw mengusap seluruh kepalanya. Dan kewajiban mengusap seluruh kepala juga berhujjah dengan Qiyas pada Tayammum dalam firman Allah Ta‟ala:ا

اْ ُ ِو ُ ُ ِ او ُ َوْا َ

: “famsahuu bi wujuuhikum” : “dan usaplah wajahmu” [al-Maa‟idah: 6], dan sudah jelas perintah tayammum dalam ayat tsb adalah mengusap wajah secara keseluruhan.”

PENJELASAN:

Para „ulama yg mengatakan bahwa mengusap kepala harus keseluruhan (yaitu Malikiyyah dan Hanabilah), berhujjah dengan ayat yg sama dengan yg dipergunakan oleh Syafi‟iyyah, yaitu

اْ ُ ِو ُ ُ ِ او ُ َوْاو َ

: “dan usaplah kepalamu”. Mereka mengatakan bahwa huruf “ ba‟ “ pada kata

اْ ُ ِو ُ ُ ِ

berfaedah “lil ilshoq” (menempel secara keseluruhan) sehingga perintah pada ayat ini adalah mengusap kepala secara keseluruhan. Pengertian semacam ini diambil

dari ayat

اِ ْ ِ َ ْاوا ِ ْ َ ْا ِ او ُ َ َ َ ْاَ

: “dan hendaklah ber-thowwaf di sekeliling Baitullah”, bahwa makna “ ba‟ “ pada kata

اِ ْ َ ْا ِ

adalah “sekeliling/keseluruhan Baitullah”, karena tidak mungkin ber-thowwaf hanya pada sebagian Baitullah saja. Maka makna “ba‟ “ pada

اْ ُ ِو ُ ُ ِ

juga bermakna sama, yaitu “keseluruhan kepala”. Mereka juga berhujjah dengan hadits bahwa Rosul Saw mengusap seluruh kepalanya (yaitu hadits riwayat Muslim. Penjelasan hadits ini akan dikemukakan nanti). Mereka juga berhujjah dengan menggunakan Qiyas pada perintah Tayammum dalam ayat

اْ ُ ِو ُ ُ ِ او ُ َوْا َ

:

“dan usaplah wajahmu”, bahwa makna “ba‟ “ pada kata

اْ ُ ِو ُ ُ ِ

berfaedah “lil ilshoq” yg artinya adalah seluruh wajah sesuai dengan ijma‟ (kesepakatan) ulama, bukan sebagian wajah saja. Maksudnya, jika pada ayat

اْ ُ ِو ُ ُ ِ او ُ َوْا َ

bermakna “dan usaplah KESELURUHAN wajah”, maka pada ayat

اْ ُ ِو ُ ُ ِ او ُ َوْاو َ

juga harus bermakna “dan usaplah KESELURUHAN kepala”, karena sama2 menggunakan perintah “usaplah” dan sama2 menggunakan huruf “ ba‟ “ pada objek yg diusap.
(6)

“Ash-hab kami (para ulama Syafi‟iyyah) berhujjah dengan pengertian bahwa yg namanya mengusap itu ada minimalnya dan maksimalnya. Dan telah tsabit (tetap) dalam hadits shohih bahwasannya Nabi Saw pernah mengusap kepalanya sampai sebatas ubun2nya saja, maka hadits tsb menolak pendapat wajibnya mengusap kepala secara keseluruhan dan juga menolak wajibnya mengusap kepala minimal seperempatnya, sepertiganya, atau setengahnya, karena sesungguhnya ubun2 itu kurang dari seperempat kepala, serta mengusap adalah apa yg dinamakan mengusap itu sendiri (menjalankan tangan yg basah ke kepala). Pendapat tsb telah dipegang oleh Imam al-Haromain dalam kitabnya, al-Asalib, pada pembahasan khilafiyyah permasalahan mengusap kepala. Maka dari itu, mafhum (yg dapat dipahami) dari mengusap adalah tidak disyaratkan harus menyeluruh. Hal ini juga didukung oleh hadits bahwa Nabi Saw mengusap sampai ubun2nya saja.”

(7)

pengertian tsb dari sebagian ahli bahasa Arab yg mana mereka (para ahli Bahasa Arab) berkata: “jika ba‟ masuk pada fi‟il yg me-muta’addi-kan dengan dirinya sendiri, maka ia bermakna “lit tab‟idl”, seperti firman Allah

اْ ُ ِو ُ ُ ِ او ُ َوْاو َ

: “dan usaplah kepalamu”, dan jika tidak muta’addi, maka ia bermakna “lil ilshoq”, seperti firman-Nya

ا ِ ْ َ ْا ِ او ُ َ َ َ ْاَ

اِ ْ ِ َ ْاو

: “dan hendaklah ber-thowwaf di sekeliling/keseluruhan Baitullah”.” [Fi‟il Muta‟addi ada pada ilmu Nahwu. Bagi yg paham ilmu Nahwu, pasti mengerti]. Ash-hab kami (para ulama Syafi‟iyyah) juga berkata: “pengertian semacam itu juga didapat dari penjamakan (penggabungan) antara ayat di atas dg beberapa hadits: Nabi Saw mengusap keseluruhan kepalanya dalam sebagian besar waktunya dan kami pun telah menerangkan keutamaannya. Tetapi Nabi Saw juga pernah mengusap sebagian kepalanya saja dalam suatu waktu dan kami juga menerangkan kebolehannya. Adapun Qiyas yg dilakukan oleh mereka (Malikiyyah dan Hanabilah) pada ayat Tayammum, maka sanggahannya ada dua macam: Pertama, sesugguhnya Sunnah menerangkan bahwa yg dituntut untuk diusap pada Tayammum adalah memang harus keseluruhan. Kedua, Imam Syafi‟i menerangkan bahwa mengusap wajah pada Tayammum adalah hal yg berbeda dengan mengusap kepala pada wudlu. Mengusap kepala adalah perkara yang asal (sudah ada dari sananya), sehingga pengambilan hukumnya adalah dari hukum lafazh-nya, sedangkan Tayammum adalah

pengganti dari membasuh wajah (pada wudlu), maka pengambilan hukumnya adalah dari hukum perkara yg diganti tsb (yaitu membasuh keseluruhan wajah).”

PENJELASAN:

Syafi‟iyyah menolak hujjah2 dari Malikiyyah dan Hanabilah dengan beberapa sanggahan berikut:

1. Yg namanya mengusap adalah apa yg dinamakan mengusap itu sendiri, yaitu asalkan ada bagian kepala yg sudah basah dari usapan tsb, maka ia sudah dikatakan mengusap.

2. Makna huruf “ ba‟ “ pada kata

اْ ُ ِو ُ ُ ِ

adalah berfaedah “lit tab‟idl” sesuai kaidah dalam ilmu Nahwu yg diutarakan oleh para ahli bahasa Arab, yaitu bahwa jika ba‟ masuk pada fi‟il muta‟addi pada dirinya sendiri, maka ia berfaedah “lit tab‟idl”, bukan “lil ilshoq”. Jadi, permasalahan makna “ ba‟ “ pada kata

اْ ُ ِو ُ ُ ِ

tidak bisa diambil dari ayat

اِ ْ ِ َ ْاوا ِ ْ َ ْا ِ او ُ َ َ َ ْاَ

: “dan hendaklah ber-thowwaf di sekeliling Baitullah”, hanya karena kesamaan penggunaan huruf “ ba‟ “ di situ. Justru makna kata

اِ ْ ِ َ ْاوا ِ ْ َ ْا ِ

juga diambil dari kaidah Nahwu di atas, yaitu karena ba‟ di situ masuk pada fi‟il yg tidak muta‟addi, maka ba‟ di situ berfaedah “lil ilshoq” sehingga maknanya “sekeliling / keseluruhan Baitullah”.
(8)

seluruh kepalanya. Hadits tsb adalah hadits no. 70 yg diriwayatkan Imam Syafi‟i di atas. [Penshohihan hadits no. 70 ini akan disebutkan di bawah].

4. Qiyas yg dilakukan Malikiyyah dan Hanabilah pada ayat tentang mengusap wajah pada Tayammum untuk menentukan hukum mengusap kepala pada wudlu, tidak bisa diterima. Karena:

a. Mengusap SELURUH wajah ketika tayammum memang merupakan Sunnah (hadits) yg tsabit yg merupakan contoh dari Rosul Saw. Kita semua tahu bahwa Sunnah (hadits) berfungsi sebagai penjelas bagi ayat2 al-Qur‟an. Nah, ketika ayat al-Quran memerintahkan untuk mengusap wajah pada tayammum, ternyata Sunnah menjelaskan bahwa mengusap wajah ketika tayammum itu harus seluruh wajah, tidak boleh sebagian saja. Jadi, hukum wajib mengusap seluruh wajah saat tayammum itu berasal dari Sunnah, bukan ditinjau dari segi bahasa, sehingga ini tidak bisa diqiyaskan untuk menentukan hukum mengusap kepala saat wudlu.

b. Mengusap kepala saat wudlu adalah perkara yg asal, yaitu sudah ada dari sananya, bukan merupakan pengganti dari sesuatu. Maka, pengambilan hukumnya harus dari segi hukum lafazh-nya, dan penjelasan lafazh mengusap kepala ini sudah diterangkan di atas, yaitu “lit tab‟idl”.

c. Mengusap wajah saat tayammum adalah PENGGANTI dari membasuh wajah ketika wudlu. Maka, hukum yg diambil untuk mengusap wajah pada tayammum adalah harus kembali pada hukum perkara yg diganti tsb, yaitu membasuh wajah. Nah, karena hukum membasuh wajah saat wudlu adalah harus seluruh wajah, maka mengusap wajah pada tayammum pun harus seluruhnya pula. Sedangkan mengusap kepala bukanlah perkara pengganti apapun, karena ia perkara yg asal. Jadi, qiyas yg dilakukan mereka (Malikiyyah dan Hanabilah) tidak dapat diterima.

* * *

(9)
(10)

pengaruh pada objek). Huruf ba‟ tsb boleh disebutkan dalam kalimat dan juga boleh tidak disebutkan (karena ia tidak mempengaruhi makna), seperti kalimat

ﻡ اﺍا

ﺃﺭا

ﺴﻣ

: “masahtu ro‟sal yatim” : “aku mengusap kepala anak yatim”. Dan boleh dikatakan pula

ا

ﺃﺭ

ا

ﻡ اﺍ

ﺴﻣ

: “masahtu bi ro‟sil yatim” (artinya sama saja). Namun ada pula yang mengatakan bahwa huruf ba’ pada firman Allah SWT

اْ ُ ِو ُ ُ ِ او ُ َوْاو َ

memberikan makna tersendiri, yaitu bahwasannya lafazh “membasuh” dalam bahasa Arab mengharuskan adanya sesuatu yang dipakai untuk membasuh. Sedangkan lafazh “mengusap” tidak berkonsekuensi adanya sesuatu yang dipakai untuk mengusap. Oleh karena itu, jika dikatakan

اْ ُ ِو ُ ُ ِ او ُ َوْاو َ

, maka boleh mengusap kepala dengan tangan tanpa air. Imam Syafi‟i berkata: “Firman Allah SWT

اْ ُ ِو ُ ُ ِ او ُ َوْاو َ

: “dan usaplah kepalamu”, dapat bermakna mengusap seluruh kepala DAN dapat pula bermakna mengusap sebagiannya. Dan Sunnah telah menjelaskan bahwa membasuh sebagian kepala sudah mencukupi. Perbedaan ayat di atas dengan firman Allah SWT

اْ ُ ِو ُ ُ ِ او ُ َوْا َ

: “dan usaplah wajahmu” dalam tayammum adalah bahwa di sini diharuskan mengusap seluruh wajah saat tayammum dan tidak diperkenankan hanya mengusap sebagiannya, karena tayammum adalah sebagai pengganti membasuh wajah saat wudlu. Sementara mengusap kepala adalah perbuatan asal, bukan sebagai pengganti. Dari sini, dapat dipahami perbedaan makna huruf “ ba’ “ pada kedua firman Allah SWT tersebut. Keterangan ini tidak dapat dikritik

dengan mengatakan bahwa kedua sepatu tidak mesti diusap secara keseluruhan, padahal perbuatan ini merupakan pengganti daripada membasuh kedua kaki, karena dalam hal ini telah ada ijma‟ yang menyatakan adanya keringanan dalam mengusap sepatu.” [Masalah mengusap sepatu ini sebenarnya bukan bahasan kita sekarang].

Apabila dikatakan “Mungkin Nabi Saw sengaja mencukupkan dengan mengusap ubun2nya karena safar (bepergian), dimana safar adalah saat yang banyak diberi keringanan, maka beliau Saw mengusap bagian atas sorbannya setelah mengusap ubun-ubunnya, sebagaimana yang dapat dipahami dari makna hadits riwayat Muslim dari al-Mughirah bin Syu‟bah.” Maka kami katakan: “Telah diriwayatkan bahwa beliau Saw pernah mengusap

bagian depan kepalanya saja tanpa meneruskannya dengan mengusap sorbannya dan tidak dalam keadaan safar.” Riwayat yang dimaksud adalah hadits yang dinukil oleh Imam Syafi‟i dari „Atho‟ (hadits no. 70), bahwa Rosulullah berwudlu lalu melepas sorban dari kepalanya kemudian mengusap bagian depan kepalanya saja. Meskipun dalam meriwayatkan hadits ini, si tabi‟in - dalam hal ini „Atho‟ - tidak menyebutkan nama shohabat yang meriwayatkannya sehingga dikategorikan sebagai hadits mursal, namun kedudukannya diperkuat oleh jalur periwayatan lain yang bersambung langsung kepada Nabi Saw (maushul). Riwayat tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dariAnas bin Malik, dan dalam sanadnya terdapat Abu Ma‟qil, seorang perowi yang tidak dikenal keadaannya. Kedua riwayat ini saling menguatkan satu sama lain, sehingga diperoleh kekuatan yang layak dijadikan sebagai dalil.

Riwayat ini pula yang dijadikan sebagai contoh oleh Imam Syafi‟i ketika menyebutkan syarat hadits mursal yang dapat diterima. Beliau mengatakan: “hendaklah hadits mursal tersebut didukung oleh hadits mursal yang lain, atau diriwayatkan pula dari jalur lain yang bersambung sampai kepada Nabi Saw (maushul).”

(11)

Sehubungan dengan persoalan ini, telah diriwayatkan pula dari „Utsman mengenai sifat wudlu Nabi Saw dimana dikatakan,

ﻪﺴﺃﺭاﻡﺩ ﻣا ﺴﻣ

: “wa masaha muqoddama ro‟risihi” : “lalu beliau Saw mengusap bagian depan kepalanya”. Hadits ini diriwayatkan oleh Sa‟id bin Manshur. Namun dalam silsilah periwayatannya terdapat Kholid bin Yazid bin Abu Malik, salah seorang perowi yang diperselisihkan keakuratan riwayatnya. Sementara itu, telah terbukti dalam riwayat lainnya bahwa Ibnu ‘Umar rodliyallahu ‘anhuma pernah mencukupkan dengan mengusap sebagian kepala saja saat berwudlu, seperti yang disebutkan oleh Ibnul Mundzir rohimahullah dan selain beliau. Lalu tidak ada satu pun riwayat shohih yg dinukil dari para shohabat Nabi Saw yang mengingkari perbuatan

Ibnu ‘Umar tersebut, seperti yg dikatakan oleh Ibnu Hazm rohimahullah. Riwayat2 mengenai perbuatan shohabat ini termasuk diantara hal2 yang menguatkan hadits mursal yang telah disebutkan tadi. Wallahu a‟lam.

Perkataannya:

ﻪﺴﺃﺭاﻡﺩ ﻣ اﺃﺩ

: “bada‟a bi muqoddami ro‟sihi: “Kemudian beliau Saw memulainya dengan bagian depan kepalanya”, secara lahiriah, lafazh ini termasuk hadits dan bukan kalimat yang disisipkan oleh Imam Malik. Oleh karena itu, lafazh ini menjadi bantahan terhadap mereka yang mengatakan bahwa termasuk sunnah memulai mengusap dari bagian belakang kepala atas dasar makna zhohir hadits, “Dia (shohabat Abdullah bin Zaid) mengusap kepalanya yang ke arah depan dan yang ke arah belakang.” Untuk alasan yang mereka kemukakan ini, dapat dijawab: “Kata sambung yang digunakan dalam teks hadits tersebut adalah huruf wawu (yang diartikan dengan “dan”), sementara kata sambung dengan menggunakan huruf wawu tidak memberi makna harus berurutan.”

Akan disebutkan oleh penulis hadits (Imam Bukhori) sebuah riwayat dari Sulaiman bin Bilal, dimana dikatakan; “Beliau (Abdullah bin Zaid) mengusapkan kedua tangannya ke arah belakang lalu ke arah depan.” Dengan demikian, makna zhohir riwayat yang mereka sebutkan tidak dapat dijadikan hujjah karena menarik tangan ke depan dan ke belakang adalah perkara yang relatif. Sementara dalam hadits tidak dijelaskan mana yang dimaksud dengan arah depan dan arah belakang. Padahal sumber penukilan kedua riwayat tersebut adalah sama. Oleh karena itu, keduanya memiliki makna yang sama pula.

Lalu dalam riwayat Imam Malik dijelaskan bahwa beliau Saw mulai mengusap bagian depan kepala. Dengan demikian, lafazh hadits yang berbunyi

ﻞ ﺃ

(menarik ke depan) harus dipahami sebagai salah satu bentuk gaya bahasa yang menamakan suatu perbuatan dengan permulaan perbuatan itu sendiri, sehingga makna hadits tersebut menurut pemahaman ini adalah: “Beliau memulai bagian depan kepalanya.” Namun, ada pandangan yang mengartikan lain. Hikmah mengarahkan tangan ke bagian depan dan bagian belakang adalah untuk meratakan sapuan ke seluruh kepala. Maka atas dasar ini, perbuatan tersebut berlaku khusus bagi mereka yang memiliki rambut. Akan tetapi, pandangan yang masyhur dari mereka (Malikiyyah dan Hanabilah) yang mewajibkan mengusap seluruh kepala bagi mereka yang memiliki rambut adalah wajib hukumnya. Sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki rambut, hukumnya sunnah. Nah, dari sini, menjadi sangat jelas kelemahan pendapat yang menjadikan hadits ini sebagai dalil untuk mengharuskan mengusap seluruh kepala. Wallahu a‟lam.” [Sampai di sini penjelasan Ibnu Hajar al-„Asqolani tentang masalah mengusap kepala, cukup jelas].
(12)

Sebagai tambahan, riwayat Ibnu „Umar rodliyallahu „anhuma yg disinggung oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dan Imam an-Nawawi di atas adalah diriwayatkan oleh „Abdurrozzaq dalam Mushonnaf-nya, 1/6 – 7, hadits no. 7, pada Kitab Thoharoh, Bab “Mengusap Kepala”, sbb:

“Abdurrozzaq dari Ma‟mar, dari Ayyub, dari Nafi‟ bahwasannya Ibnu „Umar rodliyallahu „anhuma memasukkan kedua tangannya ke dalam (bejana berisi air) untuk wudlu kemudian mengusap kepala dengan kedua tangannya dg sekali usapan pada bagian ubun-ubun saja.”

Sanad riwayat di atas adalah shohih; Ma‟mar, Ayyub as-Sikhtiyani, dan Nafi‟ adalah para perowi masyhur, tidak usah dipertanyakan lagi.

* * *

Semua hujjah yg digunakan oleh Malikiyyah dan Hanabilah sudah dapat disanggah, termasuk hadits riwayat Muslim bahwa Rosul Saw mempraktekkan cara mengusap kepala, yaitu memulai dari depan kepalanya lalu ke belakang kepala dan membalikkannya lagi ke depan, ini menunjukkan bahwa yg diusap oleh Rosul Saw adalah seluruh kepala. Hal ini sangat mudah disanggah. Di atas sudah disebutkan bahwa ada hadits2 lain (no. 70 dan hadits2 penguatnya) yg mengatakan bahwa Nabi Saw mengusap sebagian kepala saja, yaitu sampai ubun2nya saja, padahal beliau Saw membuka sorban di kepalanya yg mana tidak ada halangan bagi beliau Saw untuk mengusap semua bagian kepalanya. Ini menunjukkan bahwa mengusap kepala sebagiannya atau seluruhnya, semuanya telah dicontohkan oleh Nabi Saw. Apalagi hal tsb sudah dicontohkan jg oleh shohabat Ibnu „Umar rodliyallahu „anhuma. Maka, mengusap keseluruhan kepala bukanlah hal yg wajib, akan tetapi hanya sebagai keutamaan saja.

Lalu ada Qo‟idah Ushul fiqih: “semata-mata perbuatan Nabi Saw (yg tidak ada tanda2 perintah) adalah hanya menghasilkan hukum anjuran.” Jadi, mengusap seluruh kepala adalah anjuran saja, bukan kewajiban.

(13)

“Sunnah mengusap seluruh kepala karena ittiba‟ (mengikuti) Rosul Saw dan untuk menghindar dari menyelisihi Imam Malik dan Imam Ahmad. Jika hendak mengusap sebagian kepalanya saja, maka yg lebih utama adalah mengusap ubun2nya.”

(Fathul Mu‟in lis Syaikh Zainuddin al-Malibari asy-Syafi‟i, hal. 53, pada bahasan “Sunnah2 Wudlu”).

Jadi, mengusap seluruh kepala adalah sebagai kesunnahan dan keutamaan saja. Dan bagi yg ingin mengusap sebagiannya, maka yg lebih bagus adalah mengusap (sampai) ubun2nya. Tetapi, kalau hanya ingin mengusap kurang dari itu, maka tidak mengapa, meskipun hanya mengusap satu helai rambut saja. Hal ini disebabkan karena rambut merupakan bagian dari kepala sehingga boleh saja jika ia mengusap rambutnya saja. Dan satu helai rambut juga masih bagian dari kepala sehingga mengusap satu helai rambut saja, sudah mencukupi, seperti ucapan Imam al-Ghozali rohimahullah berikut:

“Fardlu keempat: Mengusap kepala. Paling sedikitnya mengusap kepala adalah apa yg dinamakan mengusap itu sendiri, meskipun pada satu helai rambut saja, dengan syarat usapannya itu tidak keluar dari batasan kepala. Tidak disunnahkan membasuh kepala, tetapi jika melakukannya, maka tidak dimakruhkan, menurut fatwa yg paling jelas.”

(Al-Wajiz fi Fiqh al-Imam asy-Syafi‟i lil Imam al-Ghozali, 1/123)

Dari nukilan di atas, kita mendapat informasi lain, yaitu tidak makruh (alias boleh) membasuh kepala, tidak sekedar mengusapnya, tetapi itu jg bukan kesunnahan.

* * *

(14)
(15)

dengan “membasuh”, ini adalah satu hal yang tidak diperselisihkan. “Membasuh” itu harus bersifat menyeluruh, sedangkan “mengusap” itu tidak harus menyeluruh.”

Kemudian beliau (Ibnu Hazm) melanjutkan:

“Beberapa ulama Salaf yg berpendapat seperti itu (mengusap kepala boleh sebagian

saja) adalah sebagai berikut: Kami meriwayatkan dari Ma‟mar, dari Ayyub

as-Sikhtiyani, dari Nafi‟, dari Ibnu Umar rodliyallahu „anhuma bahwasannya ia

memasukkan kedua tangannya ke dalam (bejana berisi air) untuk wudlu kemudian mengusap kepala dengan kedua tangannya dg sekali usapan pada bagian ubun-ubun saja. [Ini adalah riwayat „Abdurrozzaq di atas]. Dan kami juga meriwayatkan dari jalur „Ubaidillah bin „Umar dari Nafi‟, dari Ibnu „Umar. Dan juga riwayat dari Hammad bin Salamah, dari Hisyam bin „Urwah, dari Fathimah binti al-Mundzir bin az-Zubair (seorang Tabi‟in wanita), sesungguhnya ia mengusap rambut kepalanya yg kanan dengan tangan kanannya, dan mengusap rambut kepalanya yg kiri dengan tangan kirinya dari bawah jilbabnya. Dan Fathimah ini berjumpa dengan neneknya, yaitu Asma‟ binti Abu Bakar rodliyallahu „anha dan meriwayatkan darinya. [Artinya, mengusap sebagian kepala seperti yg dilakukan Fathimah binti al-Mundzir adalah perbuatan Asma‟ binti Abu Bakar juga]. Riwayat lainnya adalah dari Waki‟, dari Qois, dari Abu Hasyim, dari an-Nakho‟i (seorang Tabi‟in), ia berkata: “sesungguhnya ini – yakni bagian depan kepala dan kedua pelipisnya – maka itu sudah mencukupi – yakni dalam wudlu –“. Dan riwayat dari Waki‟, dari Isma‟il al-Azroq, dari asy-Sya‟bi (seorang Tabi‟in), ia berkata: “jika mengusap bagian belakang kepalanya saja, maka itu sudah mencukupi”. Dan Tabi‟in lainnya yg berpendapat demikian adalah „Atho‟, Shofiyyah binti Abu „Ubaid, „Ikrimah (maula Ibnu „Abbas rodliyallahu „anhuma), Hasan al-Bashri, Abul „Aliyyah, Abdurrohman bin Abi Laila, dan lainnya.”

(16)

”Berkata al-Imam Abu Muhammad: “tidak diketahui ada satu shohabat pun yang mengingkari perbuatan Ibnu „Umar rodliyallahu „anhuma yg kami riwayatkan di atas. Dan org yg menyelisihi kami tidak dapat berhujjah dg riwayat para shohabat yg mengusap seluruh kepalanya karena kami juga tidak mengingkarinya dan kami juga menyunnahkannya. Dan hanya saja kami menuntut mereka agar mendatangkan riwayat dari shohabat yang menyalahkan tindakan mengusap sebagian kepala ketika berwudlu ini, dan ternyata mereka tidak akan mendapatkannya”.Berkata „Ali: “Org2 yg menyelisihi kami dalam hal ini adalah orang-orang yang terjatuh dalam sikap tanaqudl (kontradiktif). Dalam masalah mengusap sepatu, mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mengusap sepatu adalah mengusapkan tangan yang jari-jarinya tidak merapat di atas sepatu sehingga usapan tersebut tidak mengenai seluruh bagian atas sepatu. Lalu, apa perbedaan mendasar antara mengusap sepatu, mengusap kepala, ataupun usapan lainnya ??” Kami katakan kepada mereka: “jika mengusap menurut kalian itu bersifat menyeluruh, maka mengusap dengan membasuh itu akan sama saja, lalu apa perbedaan di antara keduanya ???”

[sampai di sini penjelasan Ibnu Hazm yg saya kutip].

* * *

Dari semua paparan yg penjang lebar diatas, maka sudah amat sangat jelas permasalahan ini, dan amat sangat patut bagi kita untuk mengikutinya.

KESIMPULAN:

1. Makna ayat

اْ ُ ِو ُ ُ ِ او ُ َوْاو َ

adalah “usaplah sebagian (atau seluruh) kepalamu”, sesuai dalil ‘Aqli dan segi ilmu bahasa Arab.
(17)

3. Ada atsar shohih dari shohabat Ibnu „Umar rodliyallahu „anhuma yg melakukan usapan ke sebagian kepala saja, dan tidak ada seorang shohabat pun yg mengingkari perbuatan Ibnu Umar tsb.

4. Para Tabi‟in rohimahumullah juga melakukan apa yg dilakukan Ibnu „Umar rodliyallahu „anhuma.

5. Hujjah2 yg diutarakan oleh Malikiyyah dan Hanabilah semuanya dapat disanggah, baik ayat maupun hadits.

6. Dari poin 1 – 5, maka amat sangat bisa disimpulkan bahwa BOLEH mengusap sebagian kepala saja ketika berwudlu, meskipun usapan itu hanya pada satu helai rambut saja.

7. Mengusap seluruh kepala adalah sebagai kesunnahan dan keutamaan.

8. Syafi‟iyyah dan ulama lain yg sependapat berada dalam kebenaran dalam hal ini, insya Allah.

Wallahu a‟lam bis Showab.

Semoga bermanfaat.

Bandung, 22 April 2015 pada 20: 20,

Referensi

Dokumen terkait

banyak ditimbulkan oleh sumber-sumber cahaya buatan, misalnya dari lampu penerangan jalan, lampu-lampu reklame, lampu dekorasi, lampu taman, lampu dari stadion olahraga,

The hepatic microsomes of treated and control were subjected to fenitrothion oxydative de- sulfuration assay, protein and cytochrome P-450 content and another enzyme activities..

Berdasarkan wawancara dengan UMKM pengrajin batik di Kampoeng Batik Laweyan, ada satu UMKM (Griya batik luar biasa) yang membuat laporan keuangan (Laporan Laba/ Rugi,

Analisisnya berawal dari munculnya kepentingan bersama antara AS dan beberapa bagian negara di Eropa dalam melawan pengaruh Jerman di masa perang dunia, dan Rusia pada masa

mengetahui nilai pengaruh yang diberikan ketinggian tempat dan kandungan C-organik tanah terhadap kemampuan mikoriza dalam menginfeksi akar tanaman tanaman kopi

Berdasarkan konsep teori dan data lapangan, mekanisme pembiayaan pengalihan utang yang ada di Bank BRI Syariah Kantor Cabang Bandar Lampung sudah sesuai dengan

Praktik Pengalaman Lapangan adalah semua kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sebagai pelatihan untuk menerapkan teori yang diperoleh

[r]