• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah menunjukkan bahwa apa yang dinamakan tindak pidana akan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Sejarah menunjukkan bahwa apa yang dinamakan tindak pidana akan"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejarah menunjukkan bahwa apa yang dinamakan tindak pidana akan selalu berubah sesuai dengan waktu dan tempat tindak pidana itu didefinisikan oleh masyarakat.1 Pada dasarnya perkembangan tindak pidana tidak dapat dilepaskan dari perkembangan masyarakat, sehingga laju perkembangan tindak pidana akan seiring dengan perkembangan masyarakat.2 Semakin maju peradaban suatu bangsa, semakin canggih pula tindak pidana yang tumbuh dan berkembang pada bangsa tersebut. Oleh karena itu tindak pidana mempunyai jenis, pola dan dimensi yang beragam.3

Jenis-jenis tindak pidana (kejahatan) tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan tipologinya, yang dapat dibedakan menjadi empat yaitu: kejahatan tanpa korban (crime without victim); kejahatan terorganisir (organized crime); kejahatan kerah putih (white collar crime); kejahatan korporasi (corporate crime).4 Berdasarkan empat tipologi yang disebutkan di atas, jenis kejahatan terorganisir (organized crime) adalah yang paling rumit dan sulit pengungkapannya. Dalam kejahatan terorganisir dapat dimungkinkan jenis kejahatan lain seperti white collar crime, corporate crime dan transnational crime

1 Sudarto, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 106.

2 M. Arief Amrullah(1), 2003, Politik Hukum Pidana dalam Perlindungan Korban Kejahatan

Ekonomi di Bidang Perbankan, CV Bayu Media, Malang, hlm. 1.

3 Lilik Mulyadi(1), 2015, Perlindungan Hukum Whistleblower & Justice Collaborator dalam

Upaya Penanggulangan Organizd Crime, Alumni, Bandung, hlm. 32.

(2)

serta international crime berafiliasi.5 Kejahatan terorganisir adalah yang paling rumit diantara jenis kejahatan lain, oleh karena itu sedikit kejahatan-kejahatan terorganisir tersebut yang dapat dengan mudah diberantas aparat penegak hukum. Secara normatif kejahatan terorganisir telah dikriminalisasi, beberapa di antaranya tindak pidana yang bersifat serius seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir, yang telah menimbulkan masalah dan ancaman serius terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat.6

Pada dasarnya, negara telah melakukan upaya penanggulangan terhadap organized crime, khususnya terhadap tindak pidana korupsi yang belakangan semakin menjamur. Mulai dari penguatan kompetensi aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim), pendirian lembaga negara baru yang bersifat khusus (seperti Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban/LPSK), hingga rekonstruksi sistem hukum pidana (pembalikan beban pembuktian, legalisasi intersepsi bagi aparat penegak hukum tertentu, penerapan asas retroaktif).7

Selain melakukan upaya penegakan hukum secara institusional dalam rangka optimalisasi pembaharuan sistem penanggulangan kejahatan, partisipasi publik merupakan faktor yang penting dalam upaya menumbuhkembangkan partisipasi publik guna mengungkap tindak pidana sebagaimana dimaksud di atas,

5 Ibid., hlm. 34.

6 Mahkamah Agung RI, SEMA Nomor: 04 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor

(Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu).

(3)

harus diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum kepada setiap orang yang mengetahui, melaporkan, dan/atau menemukan suatu hal yang dapat membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap dan menangani tindak pidana tersebut.

Tanpa adanya upaya optimalisasi kompensasi berupa perlindungan hukum bagi para pelapor, saksi, saksi pelapor (whisteblower), korban ataupun saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) tersebut, aparat penegak hukum akan mengalami kesulitan dalam mengungkap suatu tindak pidana tanpa adanya partisipasi publik. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:8

a. Tindak pidana semacam ini kerap dilakukan secara terorganisir;

b. Para pelaku sama-sama diuntungkan dengan adanya tindak pidana sehingga sulit mengharapkan adanya laporan dari pihak yang dirugikan;

c. Pelaku tindak pidana tidak jarang melibatkan pihak yang memiliki kekuatan;

d. Pelaku mengetahui cara dan semakin canggih dalam menyembunyikan tindak pidana.

Halangan-halangan sebagaimana disebutkan di atas dapat diatasi apabila saksi pelapor maupun saksi pelaku yang bekerjasama turut berpartisipasi bersama aparat penegak hukum membongkar kejahatan terorganisir. Oleh karena itu sangat penting jaminan perlindungan hukum bagi saksi pelapor maupun saksi pelaku yang bekerjasama. Perlindungan ini merupakan salah satu refleksi penghargaan terhadap pihak-pihak yang memberi kontribusi dalam upaya mengungkap

8 Lilik Mulyadi(1), op.cit., hlm. 39.

(4)

kejahatan yang complicated dan berakibat serius sehingga memerlukan treatment khusus dan insentif untuk saksi pelapor maupun saksi pelaku yang bekerjasama yang berjasa.9

Sejarah perkembangan para pengungkap fakta di Amerika Serikat menunjukkan bahwa tidak sedikit di antara pengungkap fakta yang harus rela menanggung risiko kehilangan pekerjaan hingga beberapa tahun. Bahkan beberapa di antara pengungkap fakta kesulitan mendapat pekerjaan baru karena dipandang sebagai trouble maker (pembuat kekacauan) yang dikhawatirkan melakukan hal yang sama pada perusahaan atau institusi yang akan ditempatinya.10

Perkembangan ide justice collaborator sebenarnya bertitik tolak dari ketentuan Pasal 37 ayat (2) United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun 2003 yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003) yang ditegaskan bahwa, “Each State Party shall consider providing for the possibility, in appropriate cases, of mitigating punishment of an accused person who provides substantial cooperation in the investigation or prosecution of an offence established in accordance with this Convention”.11 (Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan untuk memberikan kemungkinan, dalam kasus tertentu, untuk

9 Djoko Sarwoko, 2011, “Reward bagi Whistleblower (Pelapor Tindak Pidana) dan Justice

Collaborator (Saksi Pelaku yang Bekerjasama) dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu”, Makalah,

disampaikan dalam Rakernas Mahkamah Agung dan Pengadilan Seluruh Indonesia, Jakarta, 18-22 September 2011, hlm. 13.

10 Lilik Mulyadi(1), op.cit., hlm. 54.

11 Pasal 37 ayat (2), United Nations Office on Drugs and Crime, United Nations Convention

(5)

mengurangi hukuman terdakwa yang memberikan kerja sama yang penting dalam penyidikan atau penuntutan kejahatan menurut konvensi ini).

Dalam Pasal 37 ayat (3) UNCAC kemudian dikemukakan bahwa, “Each State Party shall consider providing for the possibility, in accordance with fundamental principles of its domestic law, of granting immunity from prosecution to a person who provides substantial cooperation in the investigation or prosecution of an offence established in accordance with this Convention”.12 (Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan untuk memberikan peluang, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya, untuk memberikan kekebalan terhadap penuntutan kepada orang yang menunjukkan kerja sama yang penting dalam penyidikan atau penuntutan kejahatan menurut konvensi ini).

Ketentuan serupa juga terdapat dalam Pasal 26 United Nation Convention Against Transnasional Organized Crimes (UNTOC) tahun 2000, yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009. Pasal 26 ayat (2) UNTOC mengemukakan bahwa “Each State Party shall consider providing for the possibility, in appropriate cases, of mitigating punishment of an accused person who provides substantial cooperation in the investigation or prosecution of an offence covered by this Convention.13 (Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan untuk membuka kemungkinan, dalam keadaan yang tepat, pengurangan hukuman atas tertuduh yang memberikan kerjasama yang

12 Pasal 37 ayat (3), United Nations Office on Drugs and Crime, United Nations Convention

Against Corruption (UNCAC).

13 Pasal 26 ayat (2), United Nations Office on Drugs and Crime, United Nation Convention

(6)

berarti dalam penyelidikan atau penuntutan atas tindak pidana yang tercakup oleh konvensi ini).

Dalam Pasal 26 ayat (3) UNTOC kemudian disebutkan bahwa, “Each State Party shall consider providing for the possibility, in accordance with fundamental principles of its domestic law, of granting immunity from prosecution to a person who provides substantial cooperation in the investigation or prosecution of an offence covered by this Convention.14 (Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan untuk membuka kemungkinan, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya, pemberian kekebalan atas penuntutan terhadap seseorang yang memberikan kerja sama yang berarti dalam penyelidikan atau penuntutan atas tindak pidana yang tercakup oleh konvensi ini).

Untuk menentukan seseorang sebagai saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu (SEMA Nomor 4 Tahun 2011) diatur beberapa pedoman sebagai berikut:

1. Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut, serta memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan.

2. Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya menyatakan yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan sehingga

14 Pasal 26 ayat (3), United Nations Office on Drugs and Crime, United Nation Convention

(7)

penyidik dan/atau Penuntut Umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana.

3. Atas bantuannya tersebut, maka terhadap Saksi Pelaku yang bekerjasama sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana berupa penjatuhan pidana percobaan bersyarat khusus dan/atau menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan diantara terdakwa yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud.

Dalam ketentuan hukum positif Indonesia, whistleblower dan justice collaborator dalam kaitannya dengan tindak pidana korupsi sepintas diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, diantaranya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 pada Pasal 10A menyatakan bahwa saksi pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan. Penanganan secara khusus terhadap saksi pelaku dapat berupa:

1. pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak pidananya;

(8)

2. pemisahan pemberkasan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya; dan/atau;

3. memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.

Sedangkan penghargaan terhadap saksi pelaku atas kesaksian yang diberikannya dapat berupa:

1. keringanan penjatuhan pidana; atau

2. pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana.

Untuk memperoleh penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya kepada hakim, sedangkan untuk memperoleh penghargaan berupa pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.

(9)

Hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun perlindungan hukum yang signifikan menyangkut tentang perlindungan hukum justice collaborator tidak diatur.

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam Pasal 15 menentukan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi berkewajiban memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi.15

Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, dalam Pasal 34A pada pokoknya menyebutkan bahwa pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi, selain harus berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan, juga harus bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya dan telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.16

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama

15 Republik Indonesia, Pasal 15, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, LN Nomor 137, TLN Nomor 4250.

16 Republik Indonesia, Pasal 34A ayat (1), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, LN Nomor 225, TLN Nomor 5359.

(10)

(Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu pada butir 7 berbunyi bahwa jika menemukan tentang adanya orang-orang yang dapat dikategorikan sebagai pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama dapat memberikan perlakuan khusus dengan antara lain memberikan keringanan pidana dan/atau bentuk perlindungan lainnya.

Justice collaborator dapat berperan besar untuk mengungkapkan praktik-praktik koruptif lembaga publik, pemerintahan maupun perusahaan swasta. Oleh karena itu, tanpa adanya kejelasan dalam perlindungan hukum terhadap justice collaborator, maka antusiasme publik untuk berpartisipasi dalam membongkar tindak pidana menjadi lebih rendah sehingga praktik penyimpangan, pelanggaran, atau kejahatan pun akan semakin meningkat.17

Perlindungan hukum terhadap justice collaborator dari perspektif formulasi serta praktik belum memberi kejelasan dalam posisi bagaimana seseorang ditempatkan sebagai justice collaborator. Hal ini berarti, dari perspektif sistem peradilan pidana Indonesia pada posisi dimanakah seseorang dapat disebut sebagai justice collaborator, apakah parsial di tingkat penyidikan, penuntutan, peradilan, ataukah kolaboratif pada semua tingkat tersebut dimungkinkan.18 Selain itu, dalam tataran kebijakan formulatif dan aplikatif pada masa kini (ius constitutum) terdapat kekurangjelasan, kekurangtegasan dan kekurangsempurnaan terkait dengan kepastian pemberian penghargaan atas kesaksian yang diberikan, baik pada tahap pemeriksaan sidang melalui tuntutan penuntut umum maupun pada putusan hakim.

17 Lilik Mulyadi(1), op.cit., hlm. 12. 18 Ibid., hlm. 13-14.

(11)

Tidak adanya kepastian terkait pemberian penghargaan atas kesaksian yang diberikan dapat berdampak buruk pada partisipasi publik dalam pemberantasan tindak pidana korupsi ke depannya. Seperti halnya pada kasus Abdul Khoir yang divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp. 200 juta subsider 5 bulan kurungan, padahal tuntutan jaksa penuntut umum KPK meminta agar Abdul Khoir divonis 2 tahun dan 6 bulan dan denda sejumlah Rp. 200 juta subisder 5 bulan kurungan. Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya menyatakan yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan sehingga penyidik dan/atau Penuntut Umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, namun dalam pertimbangannya hakim berpendapat berbeda.19 Hal tersebut di atas tentu memberi dampak yang kurang baik dalam iklim pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga di masa mendatang (ius constituendum) diperlukan adanya sebuah konsep terkait pengaturan perlindungan hukum terhadap justice collaborator dalam rangka menanggulangi tindak pidana korupsi.20

Bertolak dari pemikiran di atas, penelitian “Implikasi Status Saksi Pelaku Sebagai Justice Collaborator terhadap Tuntutan Penuntut Umum dan Putusan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi”, ingin memberikan kejelasan bagi para pencari keadilan dan penegak hukum, bagaimana pengaruh dari status justice collaborator pada surat tuntutan (requisitoir) penuntut umum serta putusan

19 B Kunto Wibisono, “KPK ajukan banding terhadap putusan Abdul Khoir”,

http://www.antaranews.com/berita/567201/kpk-ajukan-banding-terhadap-putusan-abdul-khoir,

diakses pada tanggal 29 September 2016.

(12)

hakim, kemudian dikaji pula konsep pengaturan justice collaborator dalam tindak pidana korupsi.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dapat diformulasikan rumusan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh kedudukan saksi pelaku sebagai justice collaborator terhadap tuntutan penuntut umum dan putusan hakim dalam perkara tindak pidana korupsi?

2. Bagaimana seharusnya pengaturan saksi pelaku sebagai justice collaborator dalam perkara tindak pidana korupsi di masa mendatang?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut di atas maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaruh kedudukan status saksi pelaku sebagai justice collaborator terhadap tuntutan penuntut umum dan putusan hakim dalam perkara tindak pidana korupsi.

2. Untuk mengkaji pengaturan saksi pelaku sebagai justice collaborator dalam tindak pidana korupsi di masa mendatang.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut di atas maka penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut:

(13)

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan manfaat bagi khasanah ilmu pengetahuan Hukum Acara Pidana, guna pengembangan dunia peradilan pada khususnya dan ilmu hukum pada umumnya;

b. Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi arah kebijakan legislasi baru (ius constituendum) dalam memformulasikan pengaturan perlindungan hukum, khususnya perlindungan hukum terhadap justice collaborator di masa mendatang.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi masyarakat, khususnya yang bersinggungan langsung dengan tindak pidana yang melibatkan lebih dari seorang pelaku, guna mengetahui pengaturan perlindungan hukum yang diberikan pada justice collaborator agar turut berpartisipasi dalam penanggulangan tindak pidana korupsi;

b. Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi penegak hukum mulai dari tingkat penyidikan hingga pelaksanaan putusan pengadilan, agar dapat dicapai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, terkait penegakan perlindungan hukum terhadap justice collaborator dalam penanggulangan tindak pidana korupsi.

E. Keaslian Penelitian

Menyangkut keaslian penelitian dalam tesis ini, sepanjang pengetahuan penulis berdasarkan penelusuran terhadap kesamaan ataupun keterkaitan

(14)

mengenai judul ataupun permasalahan hukum pada beberapa penelitian hukum dari Perguruan Tinggi terkemuka di Indonesia dapat dinyatakan bahwa penelitian tentang ‘Implikasi Status Saksi Pelaku Sebagai justice collaborator terhadap Tuntutan Penuntut Umum dan Putusan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi’ belum pernah dilakukan sebelumnya. Namun demikian, terdapat beberapa penelitian hukum mengenai justice collaborator, antara lain:

1. Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Tindak Pidana Korupsi, Tesis di Program Studi Ilmu Hukum Universitas Udayana, 2015, atas nama Aditya Wisnu Mulyadi.21 Adapun permasalahan yang dikaji dalam tesis tersebut, yaitu:

a. Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Indonesia?

b. Bagaimana konsep kebijakan hukum pidana perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi di Indonesia pada masa mendatang (Ius Constituendum)?

Hasil penelitian yang diperoleh dalam tesis ini adalah kurang memadainya perlindungan hukum yang diterima oleh Whistleblower ataupun Justice Collaborator dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Konsep kebijakan hukum pidana perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi pada masa mendatang berorientasi pada dimensi konsep pendekatan non penal

21 Aditya Wisnu Mulyadi, 2015, “Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice

Collaborator dalam Tindak Pidana Korupsi”, Tesis, Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

(15)

berupakan pendekatan keadilan restorative dan perlindungan hukum terhadap orang yang bekerja sama kemudian penjatuhan hukum pidana dengan pidana bersyarat khusus, remisi istimewa dan pelepasan bersyarat yang dipercepat.

Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian penulis adalah dalam penelitian tersebut yang menjadi fokus bahasan yakni mengenai pengaturan perlindungan hukum dan konsep kebijakan perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi, penelitian tersebut sama sekali tidak membahas mengenai implikasi status justice collaborator terhadap tuntutan penuntut umum dan putusan hakim, sedangkan pada penelitian penulis selain memaparkan mengenai perlindungan hukum terhadap justice collaborator juga meneliti bagaimana implikasi status saksi pelaku sebagai justice collaborator terhadap tuntutan penuntut umum dan putusan hakim dalam perkara tindak pidana korupsi. 2. Perlindungan Hukum Terhadap Justice Collaborator terkait Penanganan

Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Tesis di Program Studi Ilmu Hukum Universitas Udayana, 2014, atas nama Rika Ekayanti.22 Adapun permasalahan yang dikaji dalam tesis tersebut, yaitu:

a. Bagaimana perumusan pengaturan perlindungan hukum bagi justice collaborator dalam hukum positif di Indonesia?

b. Bagaimanakah kekuatan pembuktian dari kesaksian yang diberikan oleh seorang justice collaborator?

22 Rika Ekayanti, 2014, “Perlindungan Hukum Terhadap Justice Collaborator terkait

Penanganan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”, Tesis, Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana.

(16)

Hasil penelitian yang diperoleh dalam tesis ini adalah perlindungan hukum terhadap justice collaborator di fokuskan dalam tahap penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Sesuai dengan peraturan bersama antara Menteri Hukum dan HAM, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kejaksaan Agung, Polisi Republik Indonesia (POLRI), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Mahkamah Agung (MA) justice collaborator merupakan alat bukti saksi yang dapat diajukan pada tahap penyidikan maupun pada tahap persidangan. Pada saat persidangan justice collaborator memberikan keterangan sebagai saksi untuk terdakwa tindak pidana korupsi lainnya dari hasil pengungkapan yang ia lakukan. Selain justice collaborator sebagai alat bukti saksi, namun harus ada alat bukti lain untuk mendukungnya sebagai bahan pertimbangan hakim sebelum memutuskan perkara, karena minimal pembuktian adalah adanya dua alat bukti yang ada kaitannya dengan suatu tindak pidana korupsi.

Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian penulis adalah dalam penelitian tersebut, yang menjadi fokus bahasan yakni mengenai kekuatan pembuktian dari kesaksian yang diberikan oleh seorang justice collaborator, penelitian tersebut juga memaparkan perumusan pengaturan perlindungan hukum bagi justice collaborator dalam hukum positif di Indonesia, namun tidak menganalisis bagaimana seharusnya pengaturan saksi pelaku sebagai justice collaborator dalam perkara tindak pidana korupsi ke depan. Penelitian tersebut memiliki fokus bahasan yang sangat berbeda dengan penelitian penulis, penelitian penulis tidak membahas mengenai kekuatan

(17)

pembuktian dari kesaksian yang diberikan oleh seorang justice collaborator, yang dalam penelitian tersebut menjadi permasalahan utamanya, penelitian penulis menekankan pada implikasi status saksi pelaku sebagai justice collaborator terhadap tuntutan penuntut umum dan putusan hakim, selain itu penelitian penulis juga membahas bagaimana seharusnya pengaturan saksi pelaku sebagai justice collaborator dalam perkara tindak pidana korupsi ke depan.

3. Perlindungan Hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Tesis di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, 2013, atas nama Nixon.23 Adapun permasalahan yang dikaji dalam tesis tersebut, yaitu: a. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan

Justice Collaborator dalam upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?

b. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum bagi Whistleblower dan Justice Collaborator dalam upaya pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia ke depannya?

Hasil penelitian yang diperoleh dalam tesis ini adalah bentuk perlindungan hukum whistleblower di beberapa negara telah mendapat perlindungan hukum secara tegas bahkan whistleblower mendapat kompensasi dari hasil pengembalian uang negara. Secara yuridis normatif, berdasar UU No.13 Tahun 2006, whistleblower dan justice collaborator

23 Nixon, 2013, “Perlindungan Hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator

dalam upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, Tesis, Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(18)

belum mendapatkan perlindungan hukum secara maksimal. Begitu juga SEMA Nomor 4 tahun 2011, whistleblower dan justice collaborator hanya mendapat keringanan hukuman. Bentuk perlindungan hukum yang ideal adalah memberikan perlindungan hukum kepada whistleblower dan justice collaborator secara maksimal yaitu diberikan reward, treatment dan protection dari segala tuntutan atas laporan yang telah diungkapkan baik bagian dari pelaku maupun bukan bagian dari pelaku.

Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian penulis adalah dalam penelitian tersebut yang menjadi fokus bahasan yakni mengenai bentuk perlindungan hukum terhadap whistleblower dan justice collaborator dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini dan dimasa mendatang, penelitian tersebut juga memberi perbandingan mengenai bentuk perlindungan hukum terhadap whistleblower di beberapa negara. Penelitian tersebut tidak membahas mengenai implikasi status justice collaborator terhadap tuntutan penuntut umum dan putusan hakim, sedangkan pada penelitian penulis selain memaparkan mengenai perlindungan hukum terhadap justice collaborator juga meneliti bagaimana implikasi status saksi pelaku sebagai justice collaborator terhadap tuntutan penuntut umum dan putusan hakim dalam perkara tindak pidana korupsi.

4. Perlindungan terhadap Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Tesis

(19)

di Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2012, atas nama Sigit Artantojati).24 Adapun permasalahan yang dikaji dalam tesis tersebut, yaitu: a. Bagaimanakan perbandingan konsep dan pengaturan perlindungan bagi

Justice Collaborator di beberapa Negara?

b. Bagaimanakah peran LPSK dalam memberikan perlindungan dan penghargaan bagi Justice Collaborator?

c. Bagaimana bentuk kerjasama LPSK dan komponen sistem peradilan pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) dalam perlindungan Justice Collaborator?

d. Bagaimana hambatan dan peluang pengaturan mengenai perlindungan Justice Collaborator?

Hasil penelitian yang diperoleh dalam tesis ini adalah perlindungan justice collabolator oleh LPSK ternyata berjalan tidak maksimal. Kerjasama antara LPSK dan penegak hukum dalam kaitanya dengan perlindungan justice collabolator dilakukan dengan di tandatanganinya Peraturan Bersama antara Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Ketua KPK dan LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku Bekerjasama. Hambatan pelaksanaan perlindungan justice collabolator dasi sisi substansi hukum adalah kelemahan dari Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 13 tahun 2006, kelemahan ini coba ditutupi dengan lahirnya SEMA Nomor 4 tahun 2011 namun sifatnya terbatas pada putusan hakim,

24 Sigit Artantojati, 2012, “Perlindungan Terhadap Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice

Collaborator) oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)”, Tesis, Program

(20)

SEMA Nomor 4 tahun 2011 diikuti dengan disepakatinya Peraturan Bersama Mentri Hukum dan Hak Asasi Manusia namun belum dapat berjalan secara maksimal karena kurangnya pemahaman dari penegak hukum khususnya di daerah karena kurangnya sosialisasi. Kendala sisi struktur hukum adalah berkaitan dengan kelembagaan LPSK yaitu harus didukung oleh instansi penegak hukum, sedangkan dari sisi budaya hukum kendala yang dihadapi adalah masalah koordinasi dan ego sektoral antara komponen sistem peradilan pidana.

Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian penulis adalah dalam penelitian tersebut membahas mengenai perbandingan konsep dan hambatan dalam perlindungan bagi Justice Collaborator serta bagaimana peran dan bentuk kerjasama LPSK dengan komponen sistem peradilan pidana dalam perlindungan Justice Collaborator. Penelitian tersebut memaparkan berbagai aturan terkait perlindungan Justice Collaborator di beberapa negara, namun tidak terdapat analisis yang mendalam terhadap aturan aturan yang dipaparkan, sedangkan pada penelitian penulis selain memaparkan aturan terkait perlindungan Justice Collaborator penelitian penulis juga menganalisa persamaan dan perbedaannya. Dalam penelitian tersebut menekankan pada peran LPSK dalam pemberian perlindungan hukum bagi Justice Collaborator sedangkan penelitian penulis berfokus pada jaksa dan hakim, yakni meneliti bagaimana implikasi status saksi pelaku sebagai justice collaborator terhadap tuntutan penuntut umum dan putusan hakim dalam perkara tindak pidana korupsi.

(21)

5. Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower Kasus Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Studi Kasus Susno Duadji), Tesis di Program Studi Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 2011, atas nama Imam Turmudhi.25 Adapun permasalahan yang dikaji dalam tesis tersebut, yaitu:

a. Apakah Susno Duadji termasuk dalam kategori sebagai Whistleblower yang berhak mendapatkan perlindungan hukum berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia?

b. Bagaimanakah kedudukan Whistleblower (peniup peluit, pengungkap fakta) kasus tindak pidana korupsi dalam sistem Peradilan Pidana di Indonesia?

c. Bagaimana pelaksanaan dan hambatan yang dihadapi oleh LPSK dalam memberikan perlindungan hukum terhadap Whistleblower yang terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban?

Hasil penelitian yang diperoleh dalam tesis ini adalah Susno Duadji adalah salah satu contoh yang dapat dikualifikasikan sebagai whistleblower dan berhak mendapatkan perlindungan hukum berdasarkan UU No. 13 Tahun 2006. Dalam perspektif sistem peradilan pidana Indonesia eksistensi dan kedudukan hukum seorang saksi dipandang sangat penting dalam proses penegakan hukum pidana dan bahkan saksi adalah merupakan alat bukti

25 Imam Turmudhi, 2011, “Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower Kasus Korupsi

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Studi Kasus Susno Duadji)”, Tesis, Program Studi Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

(22)

yang utama menurut hukum acara pidana Indonesia sebagaimana ditentukan dalam KUHAP sebagai acuan sistem peradilan pidana Indonesia. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memiliki tiga besaran bidang tugas substantif yakni pemberian perlindungan, pemberian bantuan, dan fasilitasi permohonan kompensasi serta restitusi. Permasalahan yang dihadapi oleh LPSK dalam memberikan perlindungan hukum kepada whistleblower salah satunya adalah adanya kelemahan Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yaitu: masih memiliki keterbatasan dalam berbagai definisi-definisi kunci yang terkait dengan lingkup pelaksanaan perlindungan saksi dan korban di Indonesia; adanya ragam penafsiran atas rumusan pasal yang berbeda-beda oleh instansi mitra LPSK atas lingkup kewenangan LPSK; terbatasnya kewenangan LPSK; whistleblower/pelapor dalam undang-undang yang saat ini berlaku kurang terelaborasi dengan memadai dalam rumusan-rumusan pasalnya.

Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian penulis adalah dalam penelitian tersebut, yang menjadi fokus bahasan yakni mengenai kedudukan whistleblower, bentuk perlindungan hukum bagi whistleblower kasus tindak pidana korupsi dalam sistem peradilan pidana serta pelaksanaan dan hambatan dalam memberikan perlindungan hukum terhadapnya. Penelitian tersebut juga masih menjadikan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai tinjauan utamanya, terbukti dari pemaparan kesimpulan dalam penelitian tersebut yang membahas kelemahan yang dimiliki oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006.

(23)

Selain objek bahasan yang berbeda, yakni dalan penelitian penulis meneliti mengenai justice collaborator sedangkan dalam penelitian tersebut meneliti mengenai whistleblower yang dalam penelitian tersebut di kerucutkan pada kasus Susno Duadji, penelitian penulis juga tidak hanya menjadikan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 sebagai landasan berpijak tetapi juga Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Berdasar pada beberapa penelitian hukum tersebut, penelitian yang penulis lakukan berbeda, penelitian yang dilakukan penulis secara spesifik membahas tentang Implikasi Status Saksi Pelaku (Justice Collaborator) terhadap Tuntutan Penuntut Umum dan Putusan Hakim dalam Tindak Pidana Korupsi. Dengan demikian, penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan serta dijamin keasliannya.

Referensi

Dokumen terkait

(2) ada perbedaan yang signifikan hasil belajar matematika antara kelas RSBI dan Reguler pada kelompok mata kuliah tertentu, yaitu pada kelompok mata kuliah MPB,

Perumusan Kebijakan: Perumusan Sasaran Permusan Kebijakan Implementasi Kebijakan Monitoring Kebijakan Evaluasi Kebijakan •Politik •Ekonomi •Administr asi •Teknologi •Sosial,

Penetapan Pejabat Pengelola Keuangan Satuan Kerja dan Tim Pengelola TP BOK dilakukan setelah Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menerima Surat Keputusan Menteri Kesehatan

Menurut Scott A.Bernard (2005, p73), Teknologi adalah jenis sumber daya yang memungkinkan informasi dan sumberdaya lainya mengalor untuk mendukung penciptaan dan

Kita dapat memperkirakan bahwa pada saat itu, Nazaret telah sedemikian rupa diabaikan sehingga tidak ada hal baik yang dapat diharapkan muncul dari mereka yang tinggal di

Pada proses utama, komputasi menggunakan metode Template Matching dan Hamming Distance, pola wajah akan dilatih untuk mendapatkan sebuah matriks bobot, yang selanjutnya

Maaf ya, aku tak menyangka baru seminggu setelah malam itu, kamu benar-benar ingin menjadi seorang penari dengan alasan yang menurutku itu keren banget.. Cuma, jujur aku malu

1 Tetap, gedung dan ruangan kantor UPT Uji Mutu Bahan Bangunan dan Perbengkelan saat ini 3.3 UPT Perkantoran Terpadu Perkantoran Terpadu gedung B lantai 2 sisi