• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Setiap budaya dari suatu kelompok masyarakat, pada dasarnya memiliki cara untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Setiap budaya dari suatu kelompok masyarakat, pada dasarnya memiliki cara untuk"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang

Setiap budaya dari suatu kelompok masyarakat, pada dasarnya memiliki cara untuk menghadapi “siklus kehidupan”, salah satunya kematian. Didalamnya terdapat nilai-nilai pendampingan pastoral yang secara tidak sadar telah ada sejak zaman dahulu, namun tidak diketahui istilahnya seperti sekarang ini. Nilai-nilai pendampingan pastoral inilah yang membuat masyarakat atau individu secara sadar atau tidak sadar merasakan adanya pendampingan pastoral sebagai upaya saling menolong dalam budaya tersebut, terutama ketika menghadapi kematian, kehilangan dan kedukaan. Hal ini juga terjadi dalam budaya Sabu.

Pendampingan adalah proses perjumpaan pertolongan antara pendamping dan orang yang didampingi. Perjumpaan itu bertujuan untuk menolong orang yang didampingi agar dapat menghayati keberadaannya dan mengalami pengalamannya secara penuh dan utuh, sehingga dapat menggunakan sumber-sumber yang tersedia untuk berubah, bertumbuh, dan berfungsi penuh secara fisik, mental, spiritial, dan sosial.1

Menurut Holifield, pastoral berkaitan erat dengan jabatan, wewenang, fungsi, dan tugas seorang pastor (yang tertahbiskan). Sedangkan pastoral care (cure of the souls), yang dalam bahasa Indonesia bearti pendampingan pastoral diartikan lebih pada perorangan (praktik umum), artinya dapat dilakukan oleh siapa saja yang ingin melayani sesama yang membutuhkan.2 Seseorang yang bersifat pastoral (pastoral adalah kata sifat dari pastor)

1

Totok S.Wiryasaputra, Ready to Care, (Yogyakarta : Galang Press, 2006) hal. 57-58

2

(2)

adalah seseorang yang bersedia merawat, memelihara, melindungi, dan menolong orang lain. Jadi warna khas kristen dari pendampingan digambarkan melalui istilah “pastoral”.3

Menilik makna pastoral yang seperti dimaksudkan diatas, maka dapat dikatakan bahwa yang menjadi objek pendampingan adalah manusia, khususnya anggota jemaat dimana pastor atau pelayan melakukan tugas-tugas pastoralnya. Namun dalam perkembangan pemahaman terhadap tugas-tugas gereja, pemaknaan pastoral pun mengalamai perkembangan, sehingga sering disebut bahwa pastoral juga mencakup pelayanan gereja secara khusus, maupun pelayanan di luar gereja, kepada semua manusia.

Orang Sabu memiliki sifat mobilitas tinggi. Hal ini mengakibatkan penyebarannya ke seluruh wilayah di Nusa Tenggara Timur cukup menyolok. Daerah yang biasa menjadi tujuan rantauan adalah Ende, Kupang, Sumba, dan beberapa daerah lainnya. Hampir semua orang Sabu yang merantau bertujuan untuk mencari pekerjaan dan sebagianya ada yang tinggal dan menetap selamanya di daerah tersebut. Jenis pekerjaan yang dicari beragam, sesuai dengan latar belakang pendidikan yang mereka punya. Sebagian bekerja sebagai pembantu rumah tangga, penjaga toko, kuli bangunan dan lain-lain. Sedangkan yang telah lama tinggal menetap di daerah tertentu atau yang orang Sabu yang lahir dan besar di luar daerah asal orang tuanya biasanya bekerja sebagai pegawai negeri dan beberapa pekerjaan lain.

Suku Sabu memiliki budaya yang unik dan menarik yang tampak dari berbagai seni (yang menonjol adalah seni tari dan tenun) dan upacara-upacara adat, seperti kematian, kelahiran dan lain-lain. Dapat dikatakan, kehidupan orang Sabu berjalan dari upacara satu ke upacara yang lain. Selain yang berkaitan dengan kegiatan musiman, ada upacara yang berkaitan dengan tahap-tahap hidup manusia, mulai dari upacara kelahiran, “permandian”,

3

(3)

sunat, upacara memasah gigi atau gosok gigi, upacara perkawinan, upacara bagi orang sakit sampai upacara kematian.4

Dari semua rangkaian upacara adat yang ada dalam budaya orang Sabu, penulis lebih tertarik untuk melakukan penelitian tentang upacara kematian. Dalam pandangan orang Sabu, kematian menandai berakhirnya hubungan yang ada dan sekaligus perpisahan menuju ke dunia gaib “nun jauh disana”.5 Orang Sabu mengenal dua jenis kematian, yakni made nata (mati manis) dan made haro (mati asin). Jenis kematian itu didasarkan pada cara terjadinya. Kematian wajar dan melewati proses yang berangsur-angsur seperti menderita panyakit, tergolong mati manis. Sebaliknya kematian yang datang secara tiba-tiba dan dianggap belum saatnya tergolong mati asin, misalnya disambar petir, jatuh dari pohon, tenggelam, kena benda tajam dan bunuh diri dan lain lagi. Kedua jenis kematian itu menyebabkan adanya perbedaan upacara yang dilakukan.6

Dalam upacara kematian orang Sabu, terdapat berbagai tahap yang harus dilakukan. Dalam setiap bagiannya terdapat makna dan artinya masing-masing. Seperti, jika terjadi kematian maka ada salah satu orang yang dituakan dalam keluarga itu, mendendangkan semacam nyanyian ratapan di samping jenazah mulai dari hari pertama meninggal sampai sebelum dimakamkan. Isi dari nyanyian ratapan ini adalah susunan silsilah dari keluarga (silsilah keturunan) orang yang meninggal sampai kepada yang meninggal. Tujuan umumnya adalah agar keluarga, baik keluarga yang tinggal serumah dengan orang yang meninggal maupun yang datang melayat serta teman dan kenalan orang yang meninggal ini mengetahui dari ratapan tersebut ada hubungan keluarga atau tidak. Menurut penulis hal ini mungkin dilakukan untuk tetap menjaga hubungan baik dengan anggota keluarga lainnya walaupun salah satu anggota keluarga ada yang telah meninggal.

4

Nico L. Kana, Dunia Orang Sawu, (Jakarta Timur: Sinar Harapan, 1983) , hal. 37

5

Ibid, hal.42

6

(4)

Setiap kebudayaan sebenarnya telah memuat berbagai “perangkat” dan “kebijaksanaan budaya” (cultural means and wisdom) untuk membantu warganya dalam menghadapi setiap tahap dari siklus perkembangan manusia. Kematiaan dan kedukaan merupakaan bagian integral dari siklus perkembangan kehidupan manusia, maka pastilah setiap “perangkat” dan “kebijaksanaan budaya” dapat membantu warganya melewati kematian dan kedukaan. Dengan “perangkat” dan “kebijaksanaan budaya” tersebut, paling tidak anggota masyarakat ditolong secara kultural. Orang yang sedang berduka dibantu sedemikian rupa sehingga tidak merasa sendirian dalam melintasi masa-masa sulit.7

Kematian merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Siapa saja pasti mengalami hal itu, baik tua maupun muda, miskin maupun kaya, ataupun lelaki dan perempuan, semuanya pasti akan mengalaminya. Kematian sering diibaratkan sebagai pencuri di malam hari ataupun sebagai tamu tak diundang, bahkan ada yang mengibaratkan kematian sebagai musuh yang kejam.8 Oleh karena itu orang yang berduka perlu terus didampingi selama masa berdukanya sehingga ia tidak mudah jatuh dalam keterpurukan. Salah satu bentuk pendampingan yang dilakukan adalah melalui kebudayaan yang dimiliki oleh orang yang berduka tersebut.

Orang Sabu masih memegang tradisi ritual kebudayaan mereka dengan kuat. Akan tetapi jika ada orang yang telah tinggal di luar pulau Sabu, ritual yang dilakukan tidak lagi serumit ritual asli yang masih dilakukan oleh orang-orang di pulau Sabu. Bagi orang yang masih melakukan ritual adat tertentu biasanya dikarenakan orang yang meninggal adalah orang sudah tua atau orang yang dituakan sehingga masih sering melakukan hal itu atau ada anggota keluarga yang mengetahui dengan jelas tata cara ritual itu sehingga mereka melakukan hal tersebut.

7

Totok S.Wiryasaputra, Mengapa Berduka, Kreatif mengelola perasaan berduka, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hal. 29

8

(5)

Bagi penulis hal ini menarik untuk diteliti, karena di zaman sekarang ini orang sering memandang adat istiadat sebagai sesuatu yang dianggap kuno dan sudah tidak sesuai lagi dengan zaman sekarang sehingga tidak dapat dipakai lagi, tanpa mencoba menciptakan metode atau model yang baru yang dapat dipakai untuk mewujudkan kepedulian dan pendampingan masyarakat dalam menghadapi krisis, sehingga menimbulkan semacam kekosongan eksistensial.9

Bagi penulis cara yang paling tepat adalah merevitalisasi adat istiadat tadi dengan mengisi nuasa baru, seperti menambahkan aspek pendampingan dan nuansa keagamaan. Hal tersebut menurut penulis merupakan cara yang tepat, daripada menghilangkan sama sekali adat istiadatnya. Oleh karena itu lewat ritual kematian yang dilakukan ini pastilah membawa dampak bagi keluarga inti yang sedang berduka, bagi keluarga besar serta teman-teman yang datang melayat dan mengikuti proses ini. Sehingga didalamnya pastilah terdapat semacam pendampingan pastoral tidak langsung yang terjadi.

Kedukaan tidak hanya bisa dialami oleh individu saja tetapi juga bisa dialami oleh suatu persekutuan yang bisa berduka karena kehilangan anggotanya. Dengan kata lain, baik individu, maupun persekutuan-persekutuan (seperti : keluarga, suku, bangsa) dapat memberikan reaksi dengan suatu sikap tertentu terhadap suatu kehilangan yang penting. 10 Kedukaan ialah respon terhadap kesedihan emosional karena kehilangan yang besar. Kehilangan seseorang atau sesuatu yang sangat berarti akan mengakibatkan kesedihan.11 Jika hal ini tidak ditangani dengan baik maka akan berpengaruh ke berbagai aspek kehidupan, seperti jasmani, mental, sosial, dan rohani orang yang mengalaminya.

Pastilah ritual ataupun upacara apapun yang diadakan pada saat kematian tidak mengakhiri masa berkabung, tetapi bantuan orang-orang lain dalam menyatakan dukacita sangat bermanfaat secara psikologis dan bahwa waktu berkabung benar-benar bisa menolong

9

Totok S.Wiryasaputra, Ready to Care, (Yogyakarta : Galang Press, 2006), hal. 21

10

J.L. Ch. Abineno, Pelayanan Pastoral Kepada Orang Berduka, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hal.3

11

(6)

keluarga dalam menghadapi kehilangan yang kritis yang akan mereka rasakan dalam hidup ini.12

Menurut pendapat penulis, ritual adat yang dilakukan oleh keluarga (dalam hal ini satu keturunan) pastilah membawa dampak bagi orang-orang yang berduka, karena terlihat rasa kepeduliaan dan rasa kekeluargaan yang sangat kental. Hal ini (ritual budaya) tetap perlu dijaga tetapi harus diberi makna baru (baik secara psikologis maupun agama) sehingga hal tersebut dapat digunakan sebagai bentuk pelayanan pastoral bagi yang berduka.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka judul penelitian yang dirumuskan adalah:

“Ritual Kematian Suku Sabu

(Kajian Pendampingan Pastoral Terhadap Ritual Kematian Bagi Orang Sabu)” 1. 2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan penulis diatas, maka berikut ini ada dua rumusan masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini, yaitu :

1) Bagaimana proses ritual kematian dalam suku sabu?

2) Apa dan bagaimana makna pastoral yang terkandung didalam ritual kematian suku sabu sebagai bentuk pendampingan pastoral tidak langsung?

1. 3. Batasan Masalah

Dalam penelitian yang akan penulis lakukan, penulis membatasi penelitian hanya pada bagi orang Sabu yang berada di kota Kupang, tepatnya di wilayah Oebobo, cabang Air atau yang biasa disebut Kampung Sabu. Dalam penelitian ini juga, penulis ingin melihat

12

(7)

Bagaimana ritual kematian orang Sabu? Apa dan Bagaimana makna pastoral yang terkandung didalamnya?

1. 4. Tujuan Penelitian i. Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk merumuskan proses ritual kematian suku Sabu

ii. Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi makna dan fungsi pastoral dalam ritual kematian suku Sabu.

1. 5. Sumbangan Penelitian

i. Secara teoritis, diharapkan dapat memberi kontribusi bagi Program Pascasarjana Magister Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana dalam melihat berbagai kebudayaan di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan kematian sebagai bentuk pendampingan ataupun konseling pastoral kedukaan, serta diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi peneliti yang akan melakukan penelitian lebih lanjut. ii. Secara praktis, penelitian ini pun diharapkan dapat memberi kontribusi bagi semua

elemen dalam masyarakat, baik manusia yang menjalankan adat istiadat itu sendiri dan gereja sebagai perwakilan Allah di dunia yang menjalankan tugas pastoral dalam melihat adat istiadat dengan kacamata atau cara pandang yang baru.

(8)

1. 6. Metode Penelitian 1) Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif ini bertujuan untuk memecahkan masalah yang diteliti dengan menggambarkan suatu masalah atau keadaan dalam masyarakat atau kelompok tertentu pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.13

2) Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode kualitatif secara umum menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata yang tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati.14

3) Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di kota Kupang, tepatnya di wilayah Oebobo, cabang Air (Kampung Sabu).

4) Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik yang dipakai untuk mengumpulkan data untuk penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Observasi, yakni teknik pengumpulan data dengan menggunakan pengamatan atau penginderaan langsung terhadap kondisi atau situasi lokasi dan objek penelitian.15 b. Wawancara, yakni dialog yang dilakukan pewawancara/interviewer untuk

memperoleh informasi dari key informan. Key informan dalam penelitian adalah orang yang mengetahui ritual kematian dalam budaya Sabu, yaitu orang Sabu yang

13

Faisal Sanapiah, Format-Format Penelitian Sosial, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 20

14

Lexy Maleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1989), hal.139

15

(9)

dituakan (tokoh-tokoh adat) yang tinggal di Kupang, orang Sabu yang pernah melakukan ritual tersebut, pendeta dan majelis. Bentuk wawancara yang dilakukan adalah dengan melakukan wawancara mendalam (in depth interview). Jenis wawancara ini dimaksudkan untuk kepentingan wawancara yang lebih mendalam dengan lebih memfokuskan pada persoalan yang menjadi pokok dari minat penelitian.16

c. Studi Kepustakaan, yakni teknik pengumpulan data dengan menelaah literatur-literatur yang berkaitan dengan penelitian ini, baik dari perputakaan, artikel, jurnal, bahan-bahan di internet dan lain sebagainya.

1. 7. Kerangka Penulisan

Secara garis besar penelitian ini akan disusun dalam lima bab dengan sistematika sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan

Dalam bab ini akan dipaparkan latar belakang, tinjauan pustaka, rumusan dan bataasan masalah, tujuan penelitian, sumbangan penelitian, signifikansi penelitian, metode penelitian, dan kerangka penulisan.

Bab II Landasan Teori

Bab ini berisikan landasan teori dan konsep yang digunakan sebagai dasar analisa, adalah Pendampingan Pastoral dan kedukaan.

Bab III Hasil Penelitian dan Analisa Data

Bab ini berisikan pemaparan hasil penelitian yang telah dilakukan serta analisanya. Bab IV Refleksi Teologis

16

(10)

Dalam bab ini akan dipaparkan tentang Refleksi teologis penulis terhadap penelitian yang telah dilakukan.

Bab V Penutup

Referensi

Dokumen terkait

Pada proses ini dilakukan pembacaan sumber data dari tabel transaksi di database penduduk yang kemudian di lookup dengan beberapa tabel dimensi,yaitu tabel

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai proses amidasi senyawa etil p -metoksisinamat melalui reaksi langsung dengan iradiasi microwave dan

Dalam aplikasi ini terdapat dua jenis akses data web server, yaitu akses data untuk download file kemudian menampilkan di perangkat seluler digunakan untuk modul learning dan

Dengan demikian jika suatu antena menerima daya, maka dapat dibayangkan antena seolah- olah mempunyai bidang atau aperture yang luasnya = daya tersebut dibagi dengan rapat daya

Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan.. kegiatan

Hasil eksplorasi di wilayah Riau tahun 2008-2009, telah ditemukan 7 jenis pohon lokal yang berpotensi untuk penghasil kayu pulp yaitu binuang, gerunggang, jabon,

• Kanak-kanak yang dapat melibatkan diri secara aktif dapat menambah pengalaman dari segi komunikasi dengan rakan yang lain, menguasai bahasa dengan lebih

c.Perluasan Pembangunan Puskesmas Pengasih II 3 Agustus 2010 d.Pembangunan Poskesdes Sukoreno Sentolo 24 Agustus 2010 e.Pembangunan Poskesdes Pandowan Galur 3 Agustus 2010