• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa Remaja merupakan suatu fase transisi dari anak-anak menjadi dewasa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa Remaja merupakan suatu fase transisi dari anak-anak menjadi dewasa"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masa Remaja merupakan suatu fase transisi dari anak-anak menjadi dewasa (Passer & Smith, 2008). Fase remaja menunjukkan perkembangan transisional yang pesat seperti terjadinya pubertas dan perubahan fisik, peningkatan kemampuan kognitif, serta perubahan ekspektasi sosial. Peningkatan kemampuan kognitif yang terjadi membuat remaja lebih mampu memikirkan hal-hal yang abstrak. Berdasarkan teori Piaget (dalam Harter, 1999) fase operasional formal yang dilalui remaja memungkinkannya untuk berpikir abstrak, salah satunya adalah dengan membuat hipotesis deduktif yang didasarkan atas observasi. Kemampuan observasi akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan diri individu, bagaimana remaja melihat dirinya kemudian menilai dan mengenal dirinya.

Kemampuan kognitif yang berkembang pesat membuat remaja mampu memikirkan gambaran diri yang mungkin dicapai serta lebih mampu menyadari dan menghayati segala perubahan yang terjadi di dirinya. Remaja juga semakin mampu untuk berpikir ke depan, mampu memikirkan konsekuensi jangka panjang dari sebuah perbuatan, serta semakin terbuka terhadap berbagai pilihan yang akan menentukan dirinya kelak (Sigelman & Rider, 2009).

Masa remaja umumnya ditandai dengan terjadinya storm and stress. Situasi storm and stress yang umum terjadi adalah permasalahan identitas (Hall, dalam Passer & Smith, 2008). Hal ini juga dikemukakan dalam teori psikososial Erikson dimana masa remaja ditandai dengan adanya krisis identitas. Berdasarkan teori Erikson tersebut, penemuan identitas dan pemahaman diri menjadi tugas utama yang dihadapi remaja (Rice & Dolgin, 2008).

(2)

Selama tahap perkembangan remaja, individu harus mencapai fase dimana ia memiliki rasa yang kuat terhadap identitas diri serta menghindari terjadinya kebingungan identitas diri. Meskipun begitu, keadaan ini dapat dihadapi dan diselesaikan secara positif sehingga membentuk identitas yang stabil pada individu (Rice & Dolgin, 2008). Erikson (dalam Cobb, 2007) menyatakan bahwa individu dikatakan telah memiliki identitas diri ketika telah benar-benar mengenal dirinya secara koheren baik kelebihan maupun kekurangannya serta memiliki prinsip tujuan dalam hidupnya.

Pencarian identitas dimulai ketika individu mulai terpisah dengan dunia yang biasa dekat dengan dirinya. Ketika memasuki masa remaja individu bukan hanya melihat diri mereka sebagai seorang anak dari orang tuanya namun juga individu dalam berbagai konteks. Sering kali individu ditempatkan dalam suatu keadaan tanpa mengetahui apa yang ia lakukan (Cobb, 2007). Semakin berkembangnya pemikiran remaja dan meluasnya peran sosial, individu akan semakin memikirkan keadaan dirinya. Ketertarikan remaja terhadap keberadaan dirinya akan memotivasinya untuk mencari jati dirinya (Desmita, 2009). Hal tersebut didorong oleh kesadaran remaja untuk mengontrol diri dalam menjalani kehidupan serta adanya cita-cita yang harus ia capai untuk mencapai kesuksesan. Berdasarkan hal tersebut, remaja cenderung mencoba berbagai peran untuk mengetahui hal apa yang cocok dan ia sukai serta mengetahui bagaimana dirinya yang sebenarnya sebagai individu yang berbeda dari yang lainnya (Cobb, 2007).

Identitas diri pada individu terbentuk dari pengalaman-pengalaman yang dijalani individu (Calhoun & Acocella, 1990). Salah satu masa penting yang dilalui individu adalah masa sekolah dimana individu mengenal lingkungan yang lebih luas serta lebih banyak berinteraksi dengan individu lain di luar keluarganya.

Sekolah-sekolah di Indonesia biasanya dibagi atas berbagai peminatan yang mengelompokkan siswa berdasarkan peminatan akademiknya. Pengelompokkan juga terjadi sesuai dengan sistem pembelajaran seperti adanya kelas regular, akselerasi atau cerdas istimewa, dan kelas internasional. Terdapat 311 dari 126.000 sekolah umum dan

(3)

12 madrasah yang menyelenggarakan program akselerasi. Selain itu, terdapat 1.329 sekolah dari jenjang SD hingga SMA/SMK yang berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional (http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54428/I12n nl_BAB%20I%20Pendahuluan.pdf). Pengelompokan kelas yang juga berbeda dalam tingkat kesibukannya menimbulkan pengelompokan pertemanan karena adanya perbedaan kepentingan dalam berkegiatan sehingga siswa cenderung kurang bersosialisasi dengan teman di luar akselerasi (Hawadi, 2004).

Semenjak tahun 2004 pengadaan program akselerasi atau percepatan belajar banyak dilaksanakan di berbagai tingkatan baik Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Maupun Sekolah Menengah Atas (Prehaten, Hardjajani, Agustin, 2011). Akselerasi adalah program percepatan akademik yang memungkinkan siswa yang mengikuti program ini dapat menempuh pendidikan dalam jangka waktu yang lebih singkat. Kesibukan yang berbeda dibandingkan dengan kelas lain, membuat siswa akselerasi kekurangan waktu untuk beraktivitas dengan teman sebaya di luar teman sekelasnya. Individu juga kehilangan aktivitas sosial yang penting dalam usia sebenarnya. Individu juga tidak memiliki waktu untuk ikut serta dalam kegiatan ekstrakurikuler dimana ia bisa mencoba berbagai peran dan pengalaman, serta mengenal lebih banyak teman sebaya di luar teman-teman sekelasnya (Southern & Jones, 1991). Alsa (2007) menyatakan bahwa program akselerasi lebih memfokuskan pada peningkatan perkembangan kognitif individu namun kurang memperhatikan percepatan dalam ranah afektif dan psikomotorik.

Waktu lulus sekolah yang lebih cepat dibandingkan usia teman sebayanya dan membuat siswa akselerasi yang telah lulus dan memasuki perguruan tinggi harus berinteraksi dengan teman-teman yang berusia di atasnya (Prehaten, Hardjajani, Agustin, 2011). Hal ini kadang membuat individu kurang nyambung dengan pembicaraan teman-temannya sehingga terdapat jarak dengan teman-temannya (http://railsu-indo.blogspot.com/2011/03/kelas-akselerasi.html).

(4)

Wawancara pendahuluan dilakukan peneliti untuk mengetahui gambaran identitas diri yang dimiliki oleh individu yang pernah mengikuti program akselerasi semasa sekolah. Pengalaman yang dialami saat menjalani masa sekolah sebagai bagian dari akselerasi membentuk diri individu. Dikatakan oleh subjek bahwa yang ia alami selama di program akselerasi hanyalah percepatan akademik. Subjek juga mendapat tekanan dari berbagai pihak selama menjalani program tersebut.

“Jadi aksel yang gue alami itu semata-mata percepatan akademisnya aja. Tapi tekanan batin waktu dulu dari orang-orang disekitar yang juga ngebentuk gue kaya sekarang.” (WP.35-36)

Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Alsa (2007), mengenai kekurangan program akselerasi yang hanya menekankan sisi kognitif namun kurang memperhatikan sisi afektifnya. Selain itu subjek juga merasa bahwa banyak hal di luar pengalamannya di sekolah yang mempengaruhi. Banyaknya tekanan yang dirasakan dari berbagai pihak membuat subjek mengambil banyak pelajaran yang membentuk pribadinya saat berkuliah.

“Ada masalah eksternalnya juga waktu itu di keluarga gue atau pun hubungan sama pacar. Jadi bener-bener dua tahun itu berat banget buat gue dari segala aspek. Ngga cuma akademis. Lahir batin rasanya tersiksa gitu. Makanya waktu keluar aksel gue ngerasa banget perbedaannya ke gue.” (WP.9-12)

“Waktu kuliah ngga cuma tahan untuk tugas-tugas. Tapi gue juga lebih bisa jadi pendengar yang baik. Gue ngga pernah ngeremehin kemampuan seseorang walaupun di kampus nilainya jelek daripada gue. Lebih berani punya mimpi lebih soalnya gue ngerasa di SMA gue pun udah bisa ngebuktiin kalau gue bisa ngelakuin apa yang kata orang-orang ngga mungkin, jadi kali ini gue juga pasti bisa.” (WP.15-20)

Pernyataan subjek diatas menunjukkan bahwa pengalaman selama masa bersekolah di program akselerasi membentuk identitas diri subjek yang berbeda saat memasuki jenjang perkuliahan. Hal tersebut juga dipengaruhi berbagai faktor yang

(5)

mempengaruhi identitas diri seseorang, seperti keluarga, teman, serta orang-orang terdekat lainnya. Cobb (2007) mengemukakan bahwa keluarga berperan penting dalam pembentukan identitas remaja. Keluarga membantu membentuk dasar identitas individu sebagai seseorang yang berbeda dari individu lainnya. Keharmonisan serta stabilitas hubungan anak dengan orang tua serta gaya pengasuhan menentukan identitas individu kelak. Erikson (dalam Cobb, 2007) juga mengemukakan bahwa selain melalui interaksi dengan anggota keluarga, remaja mendapatkan rasa yang kuat atas diri mereka melalui interaksi yang intens dengan teman. Prehaten, Hardjajani, dan Agustin (2011) juga mengemukakan bahwa komunikasi keluarga merupakan salah satu hal yang berpengaruh dalam perkembangan siswa akselerasi.

Erikson (dalam Papalia, et. al., 2004) menyatakan bahwa bahaya utama yang dihadapi remaja selama tahap pencarian identitas adalah kebingungan identitas (identity confussion) karena dapat menghambat kedewasaan individu. Kebingungan identitas merupakan hal yang wajar terjadi karena selama prosesnya, individu akan mencoba berbagai hal yang benar-benar cocok untuk dirinya sehingga nantinya akan tercipta komitmen yang kuat untuk menunjukkan identitas diri mereka. Dikatakan oleh salah seorang subjek bahwa mereka masih bingung dengan dirinya. Subjek juga belum mengetahui kelemahan dari dirinya.

“Apa ya? Bingung sih…. Aku jalanin hidup sesantai mungkin ya dinikmatin aja gitu.”(W3.S1.356,358)

“Nggak tahu sih saya belum tahu (apa yang perlu dikembangkan).” (W2.S1.299) “Yang nggak disukain? Nggak tahu apa yang nggak disukain.” (W2.S1.302)

Kutipan wawancara di atas menunjukkan bahwa beberapa individu masih mengalami kebingungan dengan jati dirinya dan belum mengetahui dirinya secara utuh termasuk kelebihan dan kekurangannya. Santrock (2010) menyatakan bahwa pembentukan identitas setiap individu dapat berbeda satu dengan lainnya. Identitas diri bukanlah sesuatu yang benar-benar pasti sehingga akan terus berkembang sejalan

(6)

dengan berbagai pengalaman yang dialami individu (Calhoun & Acocella, 1990; Cobb, 2007).

Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa masa remaja merupakan saat dimana individu dihadapkan dengan tugas perkembangan yaitu menemukan identitas diri, yang akan membantu individu untuk mencapai kedewasaan (Cobb, 2007; Steinberg, 2011). Kenyataannya perkembangan identitas diri pada setiap individu berbeda-beda. Beberapa remaja telah mampu memahami dirinya sedangkan beberapa lainnya masih mengalami kebingungan identitas. Masa remaja juga merupakan masa dimana individu menuntut ilmu di jenjang sekolah. Program akselerasi yang banyak diterapkan di sekolah-sekolah di Indonesia menuntut siswa untuk lulus dan memasuki jenjang universitas lebih cepat dibandingkan teman-teman seusianya sehingga harus membaur dengan teman-teman yang lebih tua. Hal-hal tersebut membuat peneliti tertarik untuk mengetahui pembentukan identitas pada mahasiswa yang pernah mengikuti program akselerasi.

Penelitian mengenai siswa akselerasi menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif telah banyak dilakukan, namun peneliti belum menemukan penelitian yang mengangkat mengenai perkembangan identitas siswa akselerasi setelah lulus dari bangku sekolah. Penelitian mengenai identitas diri juga telah banyak dilakukan. Salah satu penelitian kualitatif mengenai perkembangan identitas di Indonesia sebelumnya dilakukan oleh Hadori (2010) mengenai pembentukan identitas pada santri di sebuah pondok pesantren. Melalui penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana pembentukan identitas pada mahasiswa yang pernah menjadi siswa akselerasi.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pembentukan identitas diri pada mahasiswa yang pernah menjadi bagian dari program akselerasi.

(7)

C. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu psikologi perkembangan, khususnya mengenai pembentukan identitas diri pada remaja.

Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pembentukan identitas diri pada remaja serta berbagai faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan identitas diri.

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi yang berjudul MUSIK DALAM UPACARA ADAT MAPAG PANGANTÉN PADA MASYARAKAT SUNDA DI KOTA MEDAN ini merupakan kulminasi dari perjuangan panjang menimba pengetahuan dalam bidang

Kini, surat menyurat melalui E-mail tidak hanya dapat dilakukan melalui kompoter meja atau desktop dan komputer junjing (laptop) melainkan juga telepon genggam (seluler)

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran mata pelajaran Fiqih yang dibuat oleh bapak SD dengan KD menjelaskan ketentuan-ketentuan shadaqah, hibah dan hadiah bisa dikategorikan

Berdasarkan hal di atas, maka dalam penelitian ini akan dicoba memformulasi ketoprofen yang praktis tidak larut air dalam bentuk dispersi padat dengan metoda pelarutan

Untuk pengembangan kegiatan budidaya ikan dalam KJA yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, hanya sekitar 10% dari potensi perairan pesisir yang secara efektif dimanfaatkan

Peranan keluarga dalam perawatan lansia antara lain menjaga atau merawat lanisa, mempertahankan dan meningkatkan status mental, memfasilitasi kebutuhan spiritual

Menurut Porter (1998), analisis Value Chain memandang perusahaan sebagai salah satu bagian dari rantai nilai produk sebagai alat untuk mengidentifikasi cara-cara menciptakan

a. Menjamin tersedianya tanah untuk kepentingan umum yang bersifat strategis nasional ataupun bersifat lintas provinsi. Menjamin tersedianya pendanaan untuk kepentingan