• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prevalensi Kelainan Tajam Penglihatan pada Pelajar SD X Jatinegara Jakarta Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Prevalensi Kelainan Tajam Penglihatan pada Pelajar SD X Jatinegara Jakarta Timur"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Prevalensi Kelainan Tajam Penglihatan

pada Pelajar SD “X” Jatinegara

Jakarta Timur

Dedy Fachrian,* Arlia Barlianti Rahayu,* Apep Jamal Naseh,* Nengcy E.T Rerung,* Marytha Pramesti,* Elridha Ainun Sari,* Rutelica N.A.Y,* Eva Suarthana**

*Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta **Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Abstrak: Kelainan tajam penglihatan pada anak usia sekolah merupakan masalah kesehatan yang penting. Deteksi dini dan publikasi mengenai prevalensi dan faktor yang berhubungan dengan kelainan tajam penglihatan pada pelajar SD di Indonesia masih jarang dilakukan. Desain penelitian ini adalah cross sectional dengan menggunakan metode total sampling pada tanggal 28 Februari 2009 dan 5 Maret 2009. Responden adalah 79 pelajar sekolah dasar kelas V dan VI di SD “X” Jatinegara Jakarta Timur. Pemilihan sekolah dilakukan secara purposife. Pengambilan data dilakukan dengan pemeriksaan tajam penglihatan menggunakan kartu Snellen dan guided questionnaire. Variabel yang diteliti meliputi jenis kelamin, status gizi, riwayat kelainan tajam penglihatan dalam keluarga, dan aktivitas melihat dekat dan lama. Prevalensi kelainan tajam penglihatan (visus kurang dari 6/6) didapatkan sebesar 51,9%. Dari seluruh responden yang mengalami kelainan tajam penglihatan didapatkan sebesar 53,2% perempuan dan sebanyak 68,4% responden memiliki status gizi normal-lebih. Responden yang memiliki riwayat kelainan tajam penglihatan dalam keluarga sebesar 54,4%, sedangkan responden yang mempunyai aktivitas melihat dekat dan lama sebesar 55,7%. Aktivitas melihat dekat dan lama meningkatkan risiko kelainan tajam penglihatan sebesar empat kali lipat (OR 3,0; 95% CI 1,2 – 7,4). Tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara jenis kelamin, status gizi dan riwayat kelainan tajam penglihatan dalam keluarga dengan gangguan tajam penglihatan.

Kata kunci: aktivitas melihat dekat dan lama, anak usia sekolah dasar, kelainan tajam penglihatan, status gizi

(2)

Prevalence of Visual Impairment at Elementary School “X” Students Jatinegara East Jakarta

Dedy Fachrian, Arlia Barlianti Rahayu, Apep Jamal Naseh, Nengcy E.T Rerung, Marytha Pramesti, Elridha Ainun Sari, Rutelica N.A.Y,* Eva Suarthana**

*Community Medicine Integration Programme, Faculty of Medicine Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta

**Department of Community Medicine, Faculty of Medicine University of Indonesia Abstract: Visual impairment in school age children is a very important health problem. There is

lack of publication on early detection and prevalence of visual impairment and its related factors in Indonesia. A cross sectional study was conducted with total sampling method on February 28th

and March 5th, 2009. Respondents were students at 5th and 6th grades of “X” elementary school

in Jatinegara, East Jakarta. The school was selected purposively. The visual acuity was assessed using Snellen chart. The variables studied were sex, nutritional status, family history of visual impairment, and near work activity. The result indicated that 51.9% of the students had visual impairment (visus lower than 6/6). From all of the respondents who had visual impairment, 53.2% were female and 68.4% had normal to high nutritional status. There were 54.4% respon-dents who had family history of visual impairment and 55.7% had near work activity. Near work activity increased the risk of visual impairment by almost four times (OR 3.0, 95% CI 1.2 to 7.4). There was no association between sex, nutritional status, and family history of visual impairment with visual impairment prevalence.

Key words: near work activity, school age children, visual impairment, nutritional status.

Pendahuluan

Mata adalah panca indera penting yang perlu pe-meriksaan dan perawatan secara teratur. Pepe-meriksaan rutin pada mata sebaiknya dimulai pada usia dini. Pada anak 2,5-5 tahun, skrining mata perlu dilakukan untuk mendeteksi apakah menderita gangguan tajam penglihatan yang nantinya akan mengganggu aktivitas di sekolahnya.1

Jenis penyakit mata terus mengalami perkembangan baik dari segi faktor penyebab, teknik pengobatan, dan peralatan medis untuk penyembuhan, hingga keberadaan mitos penyakit mata itu sendiri.2 Gangguan penglihatan dan

kebutaan menjadi tantangan serius para ahli penyakit mata saat ini. Gangguan penglihatan merupakan masalah kesehatan yang penting, terutama pada anak, mengingat 80% informasi selama 12 tahun pertama kehidupan anak didapatkan melalui penglihatan.3 Dari penelitian yang

dilakukan pada 479 siswa di Kabupaten Karangasem pada bulan Agustus 2008, 95% mengalami kebutaan dan 4,6% mengalami gangguan penglihatan parah. Dari data tersebut 35,9% penyebab kebutaan atau gangguan penglihatan parah terletak pada bola mata, 18,9% pada retina, 16,4% pada lensa, serta 16,1% pada kornea. Sebagian besar tidak diketahui penyebabnya, akan tetapi 31,9% disebabkan oleh faktor herediter.4

Cedera dan penyakit mata bisa mempengaruhi peng-lihatan. Kejernihan penglihatan disebut ketajaman visus, yang berkisar dari penglihatan penuh sampai tanpa penglihatan. Jika ketajaman menurun, penglihatan menjadi kabur. Ketajaman penglihatan biasanya diukur dengan skala yang membandingkan penglihatan seseorang pada jarak 6 meter dengan seseorang yang memiliki ketajaman penuh. Visus 6/6 artinya seseorang melihat benda pada jarak 6 meter dengan ketajaman penuh.5

Pada kegiatan pemeriksaan tajam penglihatan anak-anak yang dilakukan bulan Agustus hingga Desember 2007 di 12 sekolah di Sambas dengan jumlah siswa mencapai 3.456 or-ang, ditemukan 715 siswa (20,7%) mengalami gangguan penglihatan. Kegiatan pemeriksaan kemudian dilanjutkan pada tahun 2008 periode awal Januari hingga April dengan program serupa. Pada tahun 2008 ini, ada 48 sekolah yang melakukan pemeriksaan tajam penglihatan. Dari 8.963 siswa yang diperiksa, 311 anak atau 3,5% terdeteksi mengalami gangguan penglihatan. Dari 311 anak tersebut, pada pemeriksaan lebih lanjut didapatkan 95 anak (30,5%) memerlukan kacamata.6

Berdasarkan hal–hal di atas, kelainan ketajaman penglihatan pada anak usia sekolah merupakan masalah kesehatan yang penting. Deteksi dini dan publikasi mengenai

(3)

prevalensi dan faktor yang berhubungan dengan kelainan tajam penglihatan pada pelajar SD di Indonesia masih jarang dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedua hal tersebut.

Metode

Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan pengambilan sampel secara total sampling dan dilaksanakan pada bulan Februari 2009 di SD “X” Jatinegara, Jakarta Timur. Populasi dan sampel yang diteliti adalah pelajar kelas V dan VI SD “X” Jatinegara, Jakarta Timur. Kriteria inklusi adalah pelajar kelas V dan VI SD “X” Jatinegara, Jakarta Timur tahun 2009 dan bersedia mengikuti penelitian. Kriteria eksklusi adalah pelajar SD “X” Jatinegara, Jakarta Timur yang tidak hadir di kelas saat pengambilan data, misalnya sedang sakit atau izin. Instrumen penelitian ini berupa guided questionnaire, penimbangan berat dan tinggi badan, serta pemeriksaan ketajaman penglihatan meng-gunakan kartu Snellen. Ketajaman penglihatan diukur dengan skala yang membandingkan penglihatan seseorang pada jarak 6 meter dengan seseorang yang memiliki ketajaman penuh. Ketajaman penglihatan dinyatakan baik jika pada pemeriksaan didapatkan visus 6/6; artinya seseorang melihat benda pada jarak 6 meter dengan ketajaman penuh.

Aktivitas melihat jarak dekat (near work) yang diteliti meliputi membaca buku dengan jarak kurang dari 30 cm; menonton televisi dengan jarak kurang dari 2 m; meng-gunakan komputer dengan jarak kurang dari 60 cm; dan atau bermain video game/ play station dengan jarak kurang dari 2m. Durasi aktivitas near work dinyatakan lama jika responden membaca buku lebih dari 2 jam sehari; menonton televisi lebih dari 2 jam sehari; menggunakan komputer lebih dari 8 jam sehari; dan atau bermain video game/play station lebih dari 2 jam sehari.

Status gizi diukur dengan menghitung indeks masa tubuh (IMT), yaitu berat badan (kg) dibagi kuadrat tinggi badan (m2). IMT diklasifikasikan sesuai usia responden

berdasarkan kriteria Center for Disease Control tahun 2002. Status gizi dinyatakan kurang jika nilai IMT kurang dari nilai normal dan di bawah persentil 5; normal jika nilai IMT sesuai dengan nilai normal dan antara persentil 5 dan 85; serta lebih jika nilai IMT lebih dari nilai normal dan di atas persentil 85.

Analisis Data

Semua data yang terkumpul dicatat dan dilakukan

edit-ing dan coding kemudian dimasukkan ke dalam program komputer Statistical Package for Social Sciences (SPSS) untuk windows versi 13.0 untuk diolah lebih lanjut. Analisis dilakukan dengan uji kemaknaan Chi-Square dan Fisher dengan tingkat kemaknaan p<0,05.

Hasil

Berdasarkan hasil pemeriksaan tajam penglihatan dengan menggunakan kartu Snellen, didapatkan 41

responden (51,9%) menderita kelainan tajam penglihatan (visus kurang dari 6/6). Persentase prevalensi kelainan tajam penglihatan dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini.

Gambar 1. Prevalensi Kelainan Tajam Penglihatan pada Responden

Jumlah responden perempuan (53,2%) lebih banyak dari laki-laki (46,8%). Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa responden yang memiliki status gizi normal (63,3%) lebih banyak bila dibandingkan dengan responden yang memiliki status gizi kurang (31,6%) dan status gizi lebih (5,1%). Sebanyak 54,4% responden memiliki anggota keluarga inti yang berkacamata dan 55,7% responden yang melakukan aktivitas dekat dan lama.

Tabel 1. Sebaran Responden Menurut Jenis Kelamin, Status Gizi, Riwayat Kelainan Tajam Penglihatan dalam Keluarga, dan Aktivitas Melihat Dekat

Karakteristik Frekuensi Persentase (%)

Jenis kelamin Perempuan 4 2 53,2

Laki-laki 3 7 46,8

Status gizi Kurang 2 5 31,6

Normal 5 0 63,3

Lebih 4 5,1

Anggota keluarga Ya 4 3 51,4

inti berkacamata Tidak 3 6 45,6

Aktivitas melihat Ya 4 4 55,7

dekat dan lama Tidak 3 5 44,3

Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa aktivitas dekat dan lama yang paling banyak dilakukan oleh responden adalah menonton televisi (48,1%).

Tabel 2. Sebaran Responden Menurut Aktivitas Melihat Dekat dan Lama

Karakteristik Frekuensi Persentase (%)

Membaca Ya 4 5,1 Tidak 7 5 94,9 Menonton televisi Ya 3 8 48,1 Tidak 4 1 51,9 Menggunakan komputer Ya 0 0 Tidak 7 9 100

Bermain video game/ Ya 1 1 13,9

(4)

Hubungan Antara Karakteristik Responden dengan Kelainan Tajam Penglihatan

Sebanyak 70,7% responden yang menderita kelainan tajam penglihatan memiliki status gizi normal-lebih. Tabel 3 menunjukkan bahwa jenis kelamin, status gizi, dan riwayat gangguan tajam penglihatan pada keluarga responden tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan kelainan tajam penglihatan.

Responden yang mempunyai kebiasaan membaca dalam jarak dekat dan lama hanya sebesar 4,9%. Berdasarkan uji kemaknaan, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan membaca dalam jarak dekat dan lama dengan kelainan tajam penglihatan (p=0,663).

Pada hasil penelitian didapatkan hubungan yang bermakna antara menonton televisi dalam jarak dekat dan lama dengan kelainan tajam penglihatan (p=0,005). Responden yang menonton televisi dalam jarak dekat dan lama memiliki risiko hampir empat kali lebih besar memiliki kelainan tajam penglihatan dibandingkan dengan responden yang tidak menonton televisi dalam jarak dekat dan dalam durasi lama (OR 3,0; 95% CI 1,2 – 7,4).

Responden yang mempunyai kebiasaan bermain video

game/playstation dalam jarak dekat dan lama sebesar 17,1%. Berdasarkan uji kemaknaan, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara bermain video game/playstation dengan kelainan tajam penglihatan (p=0,401).

Pembahasan

Penelitian ini memiliki beberapa keunggulan. Penelitian pada anak SD tentang prevalensi kelainan tajam penglihatan dan faktor-faktor yang berhubungan belum banyak dilakukan di Indonesia sehingga dapat menjadi data dasar bagi penelitian lain tentang prevalensi kelainan tajam penglihatan

Tabel 3. Hubungan Jenis Kelamin, Status Gizi, Riwayat Keluarga Inti Berkacamata, Aktivitas Melihat Dekat dan Lama dengan Kelainan Tajam Penglihatan

Kelainan tajam penglihatan Keterangan

Ya % Tidak %

Jenis kelamin Perempuan 2 2 53,7 2 0 52,6 Chi square p=0,927

Laki-laki 1 9 46,3 18 47,4 OR 1,0 (0,4–2, 5)

Status gizi Kurang 1 2 29,3 1 3 34,2 Chi square p=0,637

Lebih-normal 2 9 70,7 2 5 65,8 OR 0,8 (0,3–2,1)

Anggota keluarga inti berkacamata Ya 2 0 48,8 2 3 60,5 Chi square p=0,295

Tidak 2 1 51,2 1 5 39,5 OR 0,6 (0,3–1,3)

Aktivitas melihat dekat dan lama Ya 2 8 68,3 1 6 42,1 Chi square p=0,019

Tidak 1 3 31,7 2 2 57,9 OR 3,0 (1,2 – 7,4)

Membaca Ya 2 4,9 2 5,3 Fisher p=0,663

Tidak 3 9 95,1 3 6 94,7 OR 0,9 (0,1–6,9)

Menonton televise Ya 2 6 63,4 1 2 31,6 Chi square p=0,005

Tidak 1 5 36,6 2 6 68,4 OR 3,8 (1,5–9,6)

Menggunakan computer Ya 0 0 0 0 Tidak dapat dinilai

Tidak 4 1 100 3 8 100

Bermain video game/ Ya 7 17,1 4 10,5 Chi square p=0,401

play station Tidak 3 4 82,9 34 89,5 OR 1,8 (0,5–6,5)

dan faktor yang berhubungan pada anak SD, serta dapat digunakan untuk intervensi lebih lanjut oleh pihak lain khususnya institusi kesehatan.

Keunggulan lain penelitian ini adalah cara pemeriksaan tajam penglihatan yang mudah dan sederhana. Pemeriksaan tajam penglihatan hanya menggunakan uji kartu Snellen dan ruangan dengan panjang 6 meter namun dapat memberikan informasi skrining dalam mendeteksi adanya gangguan tajam penglihatan.

Akan tetapi penelitian baru dilakukan pada sebagian kecil pelajar SD di Jakarta Timur, sehingga masih perlu dilakukan penelitian dengan skala lebih besar dan tersebar di seluruh wilayah Jakarta untuk dapat memberikan gambaran ganguan tajam penglihatan pada populasi anak SD di Jakarta. Pada penelitian ini juga tidak dilakukan pinhole test untuk membedakan apakah kelainan yang dialami merupakan kelainan organik atau refraksi.

Prevalensi Kelainan Tajam Penglihatan

Pada penelitian ini, didapatkan prevalensi kelainan tajam penglihatan pada anak kelas V dan VI SD “X” Jatinegara, Jakarta Timur adalah sebesar 51,9%. Prevalensi ini lebih rendah dibandingkan penelitian yang telah dilakukan pada anak kelas V dan VI SD “Y” Manggarai Jakarta Selatan tahun 2006. Pada penelitian tersebut didapatkan prevalensi kelainan tajam penglihatan yang diakibatkan oleh kelainan refraksi sebesar 69%.3 Kedua penelitian ini menguatkan dugaan

tingginya prevalensi kelainan tajam penglihatan pada anak sekolah di daerah perkotaan.

Sebuah penelitian yang dilakukan di Sambas pada bulan Agustus hingga Desember 2007 menunjukkan prevalensi kelainan tajam penglihatan yang lebih rendah, yaitu 20,7%.6

(5)

lingkungan, yaitu sarana media visual seperti televisi, komputer, maupun video game yang lebih minimal, sehingga aktivitas melihat dekat dan lama lebih jarang dilakukan. Terdapat teori yang menyatakan bahwa faktor gaya hidup yaitu aktivitas melihat dekat yang terlalu banyak, seperti membaca buku, melihat layar komputer, bermain video game, menonton televisi, dapat menyebabkan lemahnya otot siliaris mata sehingga mengakibatkan ganguan otot untuk melihat jauh. Daerah perkotaan yang padat juga mengakibatkan sempitnya ruang bermain sehingga anak cenderung melakukan aktivitas bermain di dalam ruangan yang jarang menggunakan penglihatan jauh.3

Faktor gaya hidup ini didukung tingginya akses terhadap media akivitas visual. Pada penelitian ini, aktivitas melihat dekat dan lama yang paling banyak dilakukan adalah menonton televisi. Tingginya akses terhadap media visual ini apabila tidak diimbangi dengan pengawasan waktu dan jarak menonton anak oleh orang tua dapat meningkatkan kelainan tajam penglihatan. Menurut sebuah penelitian menonton televisi lebih dari 2 jam sehari dengan jarak 2 meter dapat meningkatkan resiko terjadinya kelainan tajam penglihatan.20

Besarnya responden yang memiliki kelainan tajam penglihatan pada penelitian ini dimungkinkan akibat rendahnya cut off point kelainan tajam penglihatan yang digunakan yaitu 6/6.12 Sebagian besar responden (51,9%)

memiliki visus yang lebih rendah dari 6/6. Apabila cut off

point yang digunakan dinaikkan menjadi 6/9 maka akan didapatkan angka kelainan tajam penglihatan yang lebih rendah (41,8%) dimana dengan ketajaman penglihatan sebesar 6/9 efisiensi penglihatan masih sebesar 90%.10

Namun Cut off point yang rendah ini memiliki keunggulan dimana akan lebih banyak kelainan tajam penglihatan dini yang terjaring, tetapi kelemahannya adalah akan banyak false

positive yang terjadi dan positive predictive value-nya lebih rendah daripada cut off point yang tinggi.

Satu hal yang menarik dari hasil penelitian prevalensi ini adalah bahwa dari 41 responden yang terdeteksi mengalami kelainan tajam penglihatan, 10 responden (24,4%) yang mengeluhkan adanya gangguan penglihatan saat membaca tulisan pada papan tulis. Dari 10 responden yang mengeluh tersebut terdapat 5 responden yang sudah menggunakan kacamata untuk kelainan tajam penglihatan berupa miopia. Hasil ini menunjukkan bahwa pentingnya dilakukan skrining gangguan tajam penglihatan pada anak sekolah dasar.

Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Kelainan Tajam Penglihatan

Pada penelitian ini, jenis kelamin responden tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian kelainan tajam penglihatan (p=0,927). Didapatkan bahwa persentase kejadian kelainan tajam penglihatan lebih banyak pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki (perempuan 53,2%

dan laki-laki 46,8%). Hal ini sesuai dengan pernyataan Supartoto bahwa penderita kelainan tajam penglihatan pada anak perempuan lebih besar daripada laki-laki dengan angka perbandingan 1,4 : 1.17

Namun hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan di Brazil tahun 2006 oleh Onuki Haddad dkk,9 dimana prevalensi kelainan tajam penglihatan

pada anak laki-laki lebih besar (51%) dibandingkan anak perempuan (49%). Perbedaan kedua hasil ini dapat disebabkan oleh perbedaan ras dimana ras kaukasiod yang diwakili oleh Amerika Serikat lebih tinggi (43%) daripada ras melanesoid (37,8%); perbedaan budaya yang mempengaruhi kebiasaan dan aktivitas sehari-hari; perbedaan lingkungan serta status gizi.

Hubungan Antara Status Gizi dengan Kelainan Tajam Penglihatan

Setelah dilakukan analisis, tidak didapatkan hubungan yang bermakna (p=0,637) antara status gizi dengan kelainan tajam penglihatan. Faktor yang berpengaruh langsung terhadap kelainan tajam penglihatan berupa total kalori asupan protein hewani, serat dan beberapa mikronutrien yang kurang. Namun asupan serat dan beberapa mikronutrien seperti kalsium, klorida dan selenium yang rendah ini terlalu lemah untuk mempengaruhi pertumbuhan sehingga tidak mempengaruhi indeks masa tubuh yang menjadi acuan penentuan status gizi responden.10,16 Hal ini sesuai dengan

Werbach16 yang menyatakan tidak ada hubungan yang

signifikan antara tinggi badan dan berat badan dengan kelainan tajam penglihatan pada anak usia 10 tahun. Dalam penelitian kami, tingginya prevalensi kelainan tajam penglihatan pada pelajar dengan status gizi normal-lebih disebabkan oleh faktor lain yang lebih dominan, yaitu aktivitas melihat dekat dan lama.

Hubungan Antara Riwayat Kelainan Tajam Penglihatan dalam Keluarga dengan Kelainan Tajam Penglihatan

Proporsi gangguan penglihatan pada kelompok yang memiliki keluarga berkacamata lebih tinggi dibandingkan yang tidak memiliki keluarga berkacamata, walaupun secara statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna. Menurut Lyhne et al10, faktor keturunan tidak berpengaruh terhadap

kelainan refraksi. Beberapa individu yang menderita miopia, kemungkinan besar terkait dengan genetik jika terpajan oleh faktor lingkungan tertentu. Dengan kata lain, bukan miopia yang diturunkan, namun kelemahan dari individu terhadap kondisi lingkungan tertentu seperti aktivitas melihat dekat yang berlebihan. Menurut Saw11, prevalensi miopia yang

tinggi pada beberapa kelompok etnik tertentu (Cina dan Jepang) menunjukkan bahwa genetik memainkan peranan yang penting, namun perubahan prevalensi pada beberapa generasi terakhir menunjukkan bahwa faktor lingkungan juga merupakan faktor yang penting.

Gambar

Tabel 1. Sebaran Responden Menurut Jenis Kelamin, Status Gizi,  Riwayat  Kelainan  Tajam  Penglihatan  dalam Keluarga, dan Aktivitas Melihat Dekat
Tabel 3. Hubungan Jenis Kelamin, Status Gizi, Riwayat Keluarga Inti Berkacamata, Aktivitas Melihat Dekat dan Lama dengan Kelainan Tajam Penglihatan

Referensi

Dokumen terkait

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

(1) Pencegahan tersier sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c merupakan upaya pencegahan terhadap pengguna yang sudah pulih setelah menjalani Rehabilitasi

Berdasarkan tabel diatas diperoleh bahwa pada indikator rasa senang untuk mengikuti proses pengajaran dan pembelajaran, secara signifikan peningkatan minat siswa kelas

Responden Prioritas lokasi potensial TOD sebagai dasar penentuan rute utama angkutan umum massal di wilayah perkotaan Pangkalan Bun.. dengan teknik purposive

Penelitian dilakukan dengan melakukan pengukuran langsung di lokasi pengukuran, dimana terdapat tiga lokasi pengukuran (H1, H2, H3) dan masing-masing di lokasi pengukuran

Lamanya waktu alir tersebut disebabkan oleh ukuran pori pada membran 1:4 (sari kulit nanas dan air) dan gula 5% b/v lebih kecil dan lebih rapat dibandingkan dengan membran

Dengan melaksan Dengan melaksanakan akan Prakte Praktek k erja erja +apangan ini, dapat membantu mengaplikasikan secara langsung materi' +apangan ini, dapat