• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Posisi Dasar-Dasar Pengevaluasian Kebijakan Rektor Universitas Indonesia Tahun 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kajian Posisi Dasar-Dasar Pengevaluasian Kebijakan Rektor Universitas Indonesia Tahun 2015"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BK MWA UI UM 2015

Kajian Posisi

Dasar-Dasar Pengevaluasian Kebijakan Rektor Universitas Indonesia

Tahun 2015

Oleh Fadel Muhammad (Kepala Bidang Kajian BK MWA UI UM 2015)

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

ketertiban dunia…”

(Pembukaan UUD 1945 alinea keempat)

Terpapar dengan lantang dan jelas bahwa pencerdasan terhadap masyarakat secara umum adalah tujuan Negara. Oleh karenanya, Negara berkewajiban memenuhi tujuan tersebut secara serius dan berkelanjutan. Pencerdasan kehidupan bangsa dewasa ini lebih dikenal dengan terminologi pendidikan, yang salah satu tujuannya adalah untuk mendidik anak bangsa menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi. Pun terminologi pendidikan kerap dipisahkan menjadi beberapa tahap, yakni pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Secara proses tahapan mungkin tidak salah, namun penulis disini mengkritisi kebijakan pemerintah yang seakan pilih kasih terhadap pemeliharaan dan pengelolaan proses pendidikan tersebut. Penulis menilai bahwa seharusnya pendidikan dilihat secara komprehensif dan holistik. Oleh sebab itu, secara a contrario, pendidikan tidaklah boleh dilihat secara parsial karena hanya akan menimbulkan kesenjangan dan ketidakmerataan.

Negara wajib menyelenggarakan dan selalu berupaya untuk memenuhi tujuan Negara, seperti yang telah dituliskan dalam preambule konstitusi. Penyelenggaraan tujuan Negara tersebut haruslah dibagi berdasarkan kompetensi lembaga-lembaga yang diawasi langsung oleh Negara. Dalam penyelenggaraan tujuan Negara yang tertuang dalam poin ”mencerdaskan kehidupan bangsa”, Universitas Indonesia (UI) adalah salah satu institusi yang mengemban tanggung jawab atasnya. Pun secara mutatis mutandis, institusi ini adalah ujung tombak Negara untuk terus menghela nafas bagi setiap langkah pertumbuhannya, sebagaimana dikemukakan oleh Jacques Delors pada kalimat berikut:

(2)

BK MWA UI UM 2015 “Nowhere is the universities’ responsibility for the development of the society as a whole

more acute than in developing countries, where research done in institutions of higher learning plays a pivotale role in providing the basis for development programmes, policy formulation and the training of middle- and higher-level human resources”1.

Perlu dipahami betul bahwa UI dibentuk untuk membantu Negara menyelesaikan tugasnya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. UI tidak dibentuk untuk menjadi sebuah institusi yang haus akan keuntungan. Singkatnya, UI dibentuk oleh Negara untuk mencetak pribadi-pribadi unggul yang bertugas menjaga dan segera membangunkan Negara ini dari keterpurukan. Perlu dicamkan, bahwa seluruh warga Negara berhak menikmati fasilitas

yang diberikan Negara, dan UI adalah bagian darinya. Namun yang perlu dicermati ialah,

konsep ini tidak mengartikan seluruh warga Negara berhak secara serta merta menikmati fasilitas yang ada di UI, namun lebih mengarah kepada seluruh bibit unggul yang ada di Indonesia berhak menerima fasilitas pendidikan di UI, tanpa memandang kemampuan ekonominya.

Pun ditegaskan kembali bahwa Universitas hadir sebagai tulang punggung Negara, dan Negara yang bijak seharusnya mempertimbangkan hal demikian. Pun Hipotesa ini didukung oleh studi The Economist yang menyatakan:

“Universities are among the most important engines of the knowledge economy. Not only do

they produce the brain workers who man it, they also provide much of its backbone, from laboratories to libraries to computer networks”2.

Pertanyaan berikutnya ialah: Sudahkah UI melakukan hal demikian—membantu

melaksanakan fungsi Negara di bidang pendidikan? Sudahkah seluruh warga Negara Indonesia terjamin haknya untuk menikmati UI sebagai bagian dari fasilitas Negara?

1

Jacques Delors et. al. LEARNIG : The Treasure Within, Report to UNESCO of The International Commission on Education for Twenty First Century, (1998), Paris, UNESCO, hal. 131.

(3)

BK MWA UI UM 2015

A. UI sebagai Badan Hukum Publik

Dalam ilmu hukum, dikenal satu konsep dasar yang dinamakan subjek hukum. Subjek hukum diartikan sebagai pengemban hak dan kewajiban di muka hukum. Subjek hukum terbagi menjadi dua, yakni pribadi kodrati (naturlijk persoon) dan badan hukum (rechtspersoon). Pribadi kodrati sebagai subjek hukum adalah orang-orang yang secara mutlak mengemban hak dan kewajiban secara hukum, dan badan hukum ialah sebuah bentuk yang diprakarsai oleh sejumlah pribadi kodrati dan ia pun mengemban hak dan kewajiban secara hukum dan lahir berdasarkan perjanjian (overeenkomst), misalnya adalah Perseroan Terbatas (PT, badan hukum privat).

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi mengeluarkan terminologi baru di bidang hukum yakni Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH). Berbeda dengan badan hukum pada pengertian secara lazim, badan hukum yang dimaksudkan dalam UU a quo ialah badan hukum publik. Badan hukum publik dibentuk Negara dengan undang-undang atau pemerintah dengan kuasa undang-undang. Pun badan hukum publik ialah badan yang menjalankan fungsi atau tugas pemerintahan, dalam hal ini pada bidang pendidikan. Perbedaan mendasar lainnya antara badan hukum publik dan badan hukum privat ialah bahwa PTN-BH tidak dapat dialihkan kepada perseorangan atau swasta sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 65 ayat (4) UU a quo. Mengenai pendanaan, telah terbit pula Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan PTN-BH. Konsekuensi lain sebagai PTN-BH ialah akan ada statuta yang mengatur lembaga secara operasional. Untuk UI, telah ada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2013 tentang Statuta UI.

PTN-BH sangat erat dikaitkan dengan kebebasan/otonomi pada bidang akademik dan non-akademik. PTN-BH diberikan kewenangan secara luas untuk mengelola dirinya sendiri. Otonomi PTN-BH di bidang non-akademik meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan organisasi, keuangan, kemahasiswaan, ketenagaan, dan sarana prasarana. Mekanisme otonomi yang diterapkan pada PTN-BH kerap diartikan sebagai pelepasan tanggung jawab Negara akan pelaksanaan fungsi PTN. Padahal, jikalau UI telah percaya diri akan status PTN-BH yang diembannya, seharusnya UI telah sepenuhnya sadar bahwa derajat tanggung jawab yang diembannya akan semakin besar pula.

(4)

BK MWA UI UM 2015 Penulis disini berpendapat bahwa sebenarnya terdapat beberapa poin penting tentang

pelepasan tanggung jawab Negara pada PTN-BH. Pertama, ketika BOPTN yang diberikan kepada PTN-BH tidak sesuai dengan ketentuan pada Pasal 5 PP No. 58 Tahun 2013. Kedua, ketika aturan-aturan mengenai pembiayaan layanan pendidikan tinggi bermutu dan terjangkau oleh masyarakat secara non-diskriminatif dilanggar secara jelas oleh PTN-BH dan tidak ada penindakan tegas dari pemerintah. Ketiga, ketika terjadinya komersialisasi lahan pendidikan tinggi tidak semata-mata untuk tujuan meringankan penarikan pembiayaan dari mahasiswa. Keempat, ketika kegiatan swasta yang dilakukan PTN-BH tidak dikelola sedemikian rupa sehingga mengganggu kegiatan yang didanai pemerintah, termasuk biaya utilitas dan perawatan serta administrasi. Oleh sebab itu, UI sebagai PTN-BH seharusnya telah siap dengan konsekuensi bahwa filosofi kelahiran PTN-BH ialah untuk mengurangi pembiayaan PTN dari mahasiswa secara bertahap. PTN-BH dengan konsep dasar seperti badan hukum haruslah mengusahakan sumber dana lain (non-BP) untuk menunjang fungsi pendidikan dan penelitian. Bukanlah hal yang tepat ketika UI sedang butuh dana terus-menerus, lalu menengadahkan tangan pada mahasiswanya, melainkan seharusnya melakukan optimalisasi otonomi yang telah diberikan oleh Pemerintah melalui status PTN-BH.

Kesimpulan dalam poin pertama adalah bahwa sudah seharusnya UI mengoptimalkan otonomi yang diberikan oleh UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, tanpa harus melihat celah pembiayaan dari mahasiswanya sebagai suatu opsi. Poin evaluasi paling utama ialah bahwa UI belum menerapkan porsi ideal3 pembiayaan PTN-BH, yakni 1/3 dari masyarakat (hibah + BOP), 1/3 dari universitas, dan 1/3 dari Pemerintah.

B. Optimalisasi Pemasukan Non-BP dan Penghitungan Kembali Student Unit Cost

Senada dengan poin sebelumnya, UI memiliki kewenangan lebih dalam optimalisasi bidang non-akademik dengan diembannya status sebagai PTN-BH. Perbedaan mendasarnya ialah bahwa pada PTN-BH, anggaran dirancang secara mandiri. Sedangkan dalam PTN non-BH, anggaran diatur sesuai dengan kepentingan pemerintah.

3 Alldo Fellix Januardy, Tata Kelola Pendidikan Tinggi Universitas Indonesia Tahun 2002-2013, disampaikan

(5)

BK MWA UI UM 2015 Namun, seiring dengan perancangan anggaran secara mandiri, berdiri pula tanggung

jawab absolut akan anggarannya. Oleh sebab itu, PTN-BH diharapkan dapat melaksanakan tata kelola serupa dengan konsep yang diterapkan pada badan hukum pada umumnya.

Dalam cita-cita besar memperbaiki tata kelola UI, optimalisasi pemasukan non-BP dan penghitungan kembali SUC adalah dua hal yang berkaitan. Pun kedua hal tersebut ialah dua faktor paling utama dalam penentuan pembiayaan UI dari mahasiswa. Perlu dicermati kembali bahwa UI dengan status PTN-BH berhak mengoperasikan diri selayaknya sebuah Perseroan Terbatas, namun tetap dalam batas yang ditentukan Undang-Undang. Pemberian status PTN-BH terhadap universitas juga bukanlah secara serta merta melainkan dengan proses evolusi yang panjang dan bersifat selektif. Status PTN-BH hanya diberikan kepada universitas yang diharapkan mampu melahirkan berbagai inovasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak terkecuali untuk UI. Dengan harapan seperti yang telah dipaparkan, maka apabila UI tidak bisa membuktikan diri, evaluasi status UI sebagai PTN-BH wajib dilakukan.

Penghitungan SUC wajib dilakukan kembali mengingat SUC adalah syarat utama bagi pemerintah untuk menetapkan biaya yang ditanggung oleh mahasiswa. Dalam hal ini, pelibatan mahasiswa dalam penghitungan SUC adalah hal yang krusial demi menjamin transparansi dan akuntabilitas. SUC adalah syarat mutlak apabila akan dilakukan penyesuaian biaya yang ditanggung oleh mahasiswa sebagaimana diatur dalam Pasal 88 ayat (2) UU a

quo. Hemat penulis, optimalisasi tata kelola keuangan dalam rangka meningkatkan

pemasukan non-BP dan penghitungan kembali SUC adalah hal yang saling mendukung demi terciptanya UI sebagai PTN-BH yang tidak melanggar ketentuan pada UU a quo.

(6)

BK MWA UI UM 2015 Isu terbaru yang menyatakan bahwa kuota Bidik Misi untuk UI dikurangi dari 600

menjadi 350 sebagai dampak dari dikuranginya BOPTN untuk UI adalah hal yang secara serta merta melanggar ketentuan yang diucapkan pada Sidang Mahkamah Konstitusi bertanggal 31 Maret 2010. Dalam putusan tersebut dinyatakan bahwa Negara memiliki tanggung jawab utama dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, meskipun tidak dinegasikan adanya pemasukan lain dari masyarakat. Perlu dicamkan bahwa MK menambahkan frasa “utama” dalam rangkaian “tanggung jawab utama”. Oleh sebab itu, terlepas dari optimalisasi pemasukan non-BP dan penghitungan kembali SUC, pemerintah wajib tetap berperan sebagai pemegang kendali dan penyelesai atas segala permasalahan yang berpotensi merugikan peserta didik.

Kesimpulan dalam poin kedua adalah bahwa sudah seharusnya Negara tetap menjadi “investor” utama dalam pembiayaan universitas. Namun, optimalisasi pemasukan non-BP dan penghitungan kembali SUC tetaplah harus dilakukan secara serius mengingat tren pemasukan dari BP selalu melebihi pemasukan dari non-BP. Jelas dan terang bahwa UI seakan “melupakan” statusnya sebagai PTN-BH. Pun secara sah dan meyakinkan, UI telah melanggar original intent lahirnya UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menyatakan diri akan secara bertahap mengurangi pembiayaan dari mahasiswa 4.

4

Presiden Republik Indonesia, disampaikan dalam pernyataan tertulis pada Sidang Mahkamah Konstitusi Pengujian UU Pendidikan Tinggi terhadap UUD 1945. Kalimat lengkapnya: “Memastikan tanggung jawab Negara dalam menyediakan dan membiayai layanan pendidikan tinggi bermutu yang terjangkau oleh masyarakat secara non-diskriminatif”

(7)

BK MWA UI UM 2015

PENUTUP

Dua poin yang penulis paparkan di atas merupakan dasar dari segala permasalahan yang timbul dan wajib dievaluasi pada kepengurusan awal Rektor UI Prof. Muhammad Anis. Poin-poin tersebut menjadi motor utama bagi segala bentuk penyelewengan yang berpotensi terjadi di UI. Intisari permasalahannya ialah bahwa UI belum sepenuhnya sadar dengan filosofi PTN-BH. Meski demikian, terdapat berbagai langkah strategis yang dapat diambil untuk segera menyelesaikan masalah ini, tentu dengan penyeragaman tujuan walaupun dicapai dengan cara yang berbeda-beda. UU Dikti telah serta merta memayungi UI dengan berbagai ketentuan. Pun UU a quo telah menjamin keberadaan Negara dalam tiap penyelenggaraan pendidikan. Apabila UI melanggar ketentuan yang telah diatur dalam UU a

quo, maka pemerintah sudah seharusnya wajib hadir sebagai penanggung jawab utama dalam

Pendidikan Tinggi.

“Diam Tertindas atau Bangkit Melawan”

Taufik Basari – 2 Mei 2014

(8)

BK MWA UI UM 2015

Daftar Pustaka

Jacques Delors et. al. LEARNIG : The Treasure Within. Report to UNESCO of The International Commission on Education for Twenty First Century, (1998), Paris, UNESCO, hal. 131.

The Economist, “THE BRAIN BUSINESS : A Survey of Higher Education”, September 10, 2005.

Alldo Fellix Januardy, Tata Kelola Pendidikan Tinggi Universitas Indonesia Tahun 2002-2013, disampaikan dalam Sidang Mahkamah Konstitusi Pengujian UU Pendidikan Tinggi terhadap UUD 1945.

Presiden Republik Indonesia, disampaikan dalam pernyataan tertulis pada Sidang Mahkamah Konstitusi Pengujian UU Pendidikan Tinggi terhadap UUD 1945. Kalimat lengkapnya: “Memastikan tanggung jawab Negara dalam menyediakan dan membiayai layanan

Referensi

Dokumen terkait

Untuk merealiasasikan semangat yang ditunjukkan pada hadist tersebut dalam implementasi profesi konselor dapat dilakukan dengan penetapan kriteria deskripsi yang tepat

[r]

Sasaran dibuatnya Buku Pedoman Pelaksanaan Pengurangan Dampak Buruk Napza adalah institusi kesehatan, institusi pemerintah maupun non pemerintah yang terkait dengan

38 (Revisi 2012), pengalihan bisnis antara entitas sepengendali tidak mengakibatkan perubahan substansi ekonomi kepemilikan atas bisnis yang dialihkan dan tidak dapat

Keuangan sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 3. Peraturan Pemerintah Nomor 12

To grant the power of attorney to the Company’s Board of Directos to assign Notary for and on behalf of the Board of Directors to apply the approval of the amendment that has

penerapan model Discovery Learning dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif dan hasil belajar pembelajaran Tematik siswa kelas V SDN Sidorejo Kidul 02 Hasil

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 16 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun