• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. mengalami peningkatan hingga mendominasi lapangan usaha di berbagai kota di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. mengalami peningkatan hingga mendominasi lapangan usaha di berbagai kota di"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Industri kuliner saat ini telah berkembang pesat, bahkan industri ini mengalami peningkatan hingga mendominasi lapangan usaha di berbagai kota di Indonesia (Noegroho et al., 2013). Meningkatnya jumlah penduduk dan pertumbuhan masyarakat middle class income, membaiknya proyeksi perekonomian yang disertai peningkatan daya beli masyarakat serta pesatnya gerai ritel modern menjadi driver permintaan industri makanan dan minuman (Bank Mandiri, 2015). Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengusaha lokal maupun asing untuk mencoba peruntungan di tengah persaingan yang semakin kompetitif di kancah perindustrian kuliner.

Bali adalah surga pariwisata nasional maupun internasional yang terkenal dengan alam dan adat budayanya. Sektor pariwisata di Bali telah memberikan multiplier effect pada sektor-sektor lainnya, khususnya industri kuliner. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) wilayah Bali, yaitu Ngurah Wijaya mengatakan bahwa sebagai destinasi pariwisata nasional dan internasional, bisnis kuliner di Bali ikut terangkat seiring dengan peningkatan popularitas pariwisata Bali (onjurnalindonesia.com, 2015).

(2)

2

Tabel 1.1 Perkembangan Jumlah Rumah Makan dan Café Provinsi Bali Tahun 2010 – 2014

No. Kabupaten/Kota Tahun

2010 2011 2012 2013 2014 1 Denpasar 376 377 76 75 449 2 Badung 629 625 623 96 833 3 Bangli 40 39 39 17 17 4 Buleleng 53 53 53 53 145 5 Gianyar 242 242 238 378 405 6 Jembrana 134 136 136 136 76 7 Klungkung 37 39 39 31 31 8 Karangasem 95 95 95 246 70 9 Tabanan 79 39 40 40 32 Total 1.685 1.645 1.339 1.072 2.059

Sumber : www.baliprov.go.id (telah diolah), diakses 27 April 2015

Tabel 1.1 menunjukkan perkembangan jumah restoran dan café di Bali selama lima tahun terakhir. Tahun 2010 jumlah restoran dan café di Bali mencapai 1.685 unit usaha dan di tahun berikutnya mengalami penurunan berturut-turut hingga tahun 2013. Peningkatan secara dramatis terjadi pada tahun 2014, di mana usaha restoran dan café mencapai 2.059 unit usaha, tumbuh dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Ini menunjukkan industri kuliner di Bali sangat kompetitif.

Berbagai jenis bisnis kuliner di Bali hadir dengan heterogenitas yang tinggi, mulai dari restoran, café, lounge and bar, dan lainnya dengan beragam konsep yang ditawarkan. Seiring dengan berjalannya waktu dan budaya, restoran, café, dan lainnya kini telah mengalami perluasan fungsi, dari yang semula hanya menawarkan makanan dan minuman untuk mengatasi rasa lapar, saat ini juga berfungsi sebagai penunjang gaya hidup seseorang (Dewanti et al., 2011).

(3)

3

Artinya, tempat-tempat seperti restoran, café, bar and lounge kini telah menjadi gaya hidup, bahkan sebagai sarana untuk menunjukkan selera, identitas diri, maupun status sosial seseorang yang bertujuan untuk mencapai kesenangan semata.

Seiring dengan berkembangnya jaman, masyarakat modern saat ini mengalami perubahan gaya hidup (Larasati & Suprapto, 2013). Gaya hidup merupakan referensi yang dipakai seseorang dalam bertingkah laku dan konsekuensinya akan membentuk pola perilaku tertentu (Aresa, 2012). Pergeseran gaya hidup di masyarakat terlihat dari tingkah laku mereka yang sudah lebih terbuka dan terbiasa untuk makan di luar rumah, karena selain efisien, juga dapat dijadikan sebagai sarana refreshing, baik bersama keluarga maupun kerabat (Oeyono & Dharmayanti, 2013).

Selain faktor gaya hidup, menurut Farisya (2012) konsumen Indonesia memiliki karakteristik gemar untuk berkumpul, ketika makan pun mereka senang makan bersama dengan keluarga maupun peer group (kelompok bermain) dan apabila mereka makan di restoran-restoran yang hanya memberikan makanan dan minuman, biasanya mereka kurang mendapatkan pengalaman makan yang berbeda. Untuk itu, saat ini konsumen tidak hanya membutuhkan tempat makan sebagaimana fungsi utamanya, tetapi juga membutuhkan pemenuhan dari sisi emosional.

Para konsumen telah mengubah tuntutan mereka, di mana saat ini mereka lebih tertarik pada gratifikasi hedonistik dalam konteks sosial dari pada memaksimalkan manfaat dan fungsi dari suatu produk (Aronne &Vanconcelos,

(4)

4

2009). Konsumsi hedonis adalah bagian penting dalam perilaku konsumen dan merupakan pola konsumsi yang berkaitan dengan kualifikasi emosional dan fokus untuk memenuhi kepuasan emosional (Kirgiz, 2014).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (kbbi.web.id), hedonisme adalah pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Sementara itu, menurut Hirschman & Holbrook (1982) dalam Snakers & Zajdman (2010) konsumsi hedonis mengacu pada gambar multi-indrawi konsumen, fantasi, dan gairah emosional dalam menggunakan produk. Kosumen seringkali tidak hanya memilih yang terbaik, melainkan juga hal-hal yang dapat membuat perasaan atau suasana hati mereka bahagia. Hal ini terlihat bahwa preferensi konsumen sejalan dengan strategi yang bertujuan untuk meningkatkan pengalaman hedonis pada akhir konsumsi (Kirgiz, 2014). Hal yang demikian menjadikan pemasar tidak lagi memperlakukan orang semata-mata sebagai konsumen, namun melakukan pendekatan dengan memandang mereka sebagai manusia seutuhnya, lengkap dengan pikiran, hati, dan spirit (Kotler et al., 2010:4).

Perubahan gaya hidup dan karakteristik pola konsumsi masyarakat telah membawa perubahan pada strategi pemasaran di berbagai industri, khususnya industri kuliner, seperti restoran, café, bar and lounge, dan lainnnya. Kegiatan promosi mengenai kualitas pelayanan dan adanya peningkatan kesadaran konsumen membuat persaingan di industri makanan semakin sengit (Yang, 2009). Hal ini menyebabkan setiap penyedia layanan industri kuliner meninjau dan membangun kembali landasan operasional yang baik untuk mendapatkan

(5)

5

perhatian konsumen sehingga dapat membangun keunggulan kompetitif jangka panjang. Untuk itu, para pelaku bisnis di industri ini tidak hanya dituntut untuk menitikberatkan pada kualitas produknya, tetapi juga harus memperhatikan suasana, desain interior dan eksterior, keramahtamahan (hospitality), dan faktor intangible lainnya (Utarie & Prabowo, 2013).

Pemasaran saat ini terus mengalami perkembangan dari konsep yang semula tradisional hingga menjadi modern seperti sekarang. Menurut Schmitt (1999) pemasaran tradisional hanya melihat konsumen sebagai pembuat keputusan rasional yang menitikberatkan pada fungsi dan manfaat yang dapat diperoleh dari suatu produk. Dalam era baru experience economy, tujuan pemasaran saat ini adalah dapat menciptakan pengalaman yang bernilai, dan konsep experiential marketing yang digagas oleh Schmitt (1999) telah menjadi tren di seluruh dunia.

Konsep experiential marketing hadir sebagai sebuah pendekatan pemasaran modern dengan melihat konsumen sebagai manusia rasional dan juga emosional yang menginginkan sebuah pencapaian pengalaman yang menyenangkan (Schmitt, 1999). Rotti (2012) mengatakan bahwa konsumen membeli produk tidak hanya sebagai pemecahan masalah dengan fungsi dan manfaat yang ditawarkan, tetapi juga untuk hiburan dan kesenangan. Pendekatan ini dinilai sangat efektif karena sejalan dengan perkembangan jaman dan teknologi, di mana para pemasar lebih menekankan diferensiasi produk untuk membedakan produknya dengan produk kompetitor (Andreani, 2007).

(6)

6

Menurut Andreani (2007) experiential marketing lebih dari sekedar memberikan informasi dan peluang pada pelanggan untuk memperoleh pengalaman atas keuntungan yang didapat dari produk atau jasa itu sendiri, tetapi juga membangkitkan emosi dan perasaan yang berdampak terhadap pemasaran, khususnya penjualan. Pengalaman dapat memberikan nilai sensorik, emosional, kognitif, perilaku, dan relasional yang dapat menggantikan nilai-nilai fungsional suatu produk (Schmmit, 1999). Ini sesuai dengan konsep Marketing 2.0 yang menitikberatkan pada aspek emotional intellegency tentang bagaimana menyentuh hati konsumen (Kotler et al., 2010:6).

Sebagian besar konsumen tidak lagi menjadikan harga sebagai tolak ukur keputusan pembelian, melainkan cenderung lebih memilih produk yang telah memiliki ikatan emosional sebagai bentuk aktualisasi diri dan penunjang gaya hidup. Varian dari emotional marketing ini sudah berkembang demikian luas dan telah menjadi buzzword marketing yang populer (Hendarsono & Sugiharto, 2013). Untuk itu, seringkali aspek emosional ini memberikan dampak yang sangat efektif dalam proses pemasaran, tetapi kadangkala juga memberikan dampak yang tidak sesuai (Andreani, 2007). Ini bergantung dari ketepatan dan kesesuaian strategi dan media yang digunakan oleh pemasar dalam membidik target pasarnya.

Schmitt (1999) dalam Obonyo (2006) menyatakan pengalaman adalah elemen sentral dari kehidupan konsumen saat ini. Tujuan akhir dari experiential marketing adalah untuk menciptakan pengalaman holistik yang mengintegrasikan pengalaman individu dengan melibatkan semua indera manusia dalam semua dimensi (Srivastava, 2008).

(7)

7

Smith dalam kesempatannya memberikan kata sambutan pada buku yang ditulis Smilansky (2009) bahwa perusahaan seperti Disney, PlayStation, Red Bull, Sony, Nike, Ben & Jerrys, dan Innocent menempatkan experiential marketing sebagai jantung dari strategi pemasaran mereka. Di berbagai jenis industri, perusahaan harus beralih dari pemasaran tradisional (fokus pada fungsi dan manfaat) menuju pada bagaimana menciptakan pengalaman bagi konsumen. Ini membuktikan bahwa hampir sebagian besar perusahaan global di seluruh dunia menyadari bahwa keputusan konsumen lebih dipengaruhi oleh sisi emosional yang dihasilkan, bukan dari pikiran rasional yang diturunkan (Shukla, 2007 dalam Srivastava, 2008).

Experiential marketing dan experiential value merupakan konsep yang tidak dapat dipisahkan dan memiliki hubungan yang positif (Schmitt, 1999). Persepsi experiential value didasarkan pada interaksi yang ada mencakup penggunaan langsung atau tingkat apresiasi terhadap produk dan jasa yang digunakan oleh konsumen (Mathwick et al., 2001 dan Obonyo, 2006). Gentile et al. (2007) dalam Maghnati (2012) menyatakan bahwa experiential value dapat diciptakan melalui sebuah pengalaman konsumsi. Pengalaman bukanlah hal yang bersifat spontan, tetapi sesuatu yang diciptakan (Utarie & Prabowo, 2013). Pengalaman aktual yang diperoleh konsumen hanya bersifat sesaat dan hanya dapat dirasakan pada saat konsumsi, sedangkan experiential value yang dimiliki konsumen akan melekat dalam memori mereka (Larasati & Suprapto, 2013). Menurut Mathwick et al. (2001) pengalaman konsumsi dapat memperkaya suatu nilai. Berdasarkan pemikiran rasional, hal itu berarti experiential value membantu

(8)

8

pemasar untuk menanamkan nilai positif suatu produk ke dalam benak konsumen melalui penciptaan pengalaman yang melibatkan sisi emosional konsumen sehingga dapat memberikan dampak terhadap keputusan pembelian konsumen dalam jangka panjang.

Maghnati et al. (2012) membuktikan dari 500 sampel yang digunakan dalam penelitiannya di Malaysia memperoleh hasil bahwa experiential marketing, yang terdiri dari sense, feel, act, think, dan relate berpengaruh positif pada experiential value. Gowinda & Suprapti (2014) juga menemukan bahwa experiential marketing berpengaruh positif pada experiential value studi kasus pada pengguna smartphone di Kota Denpasar. Obonyo (2006) juga memperoleh hubungan yang positif dan signifikan antara experiential marketing dan experiential value. Hasil studi empiris yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya menunjukkan bahwa experiential marketing mampu membangun experiential value melalui penciptaan pengalaman holistik dengan melibatkan konsumen dalam pemenuhan sisi emosional mereka. Schmitt (1999) dalam Maghnati et al. (2012) lebih lanjut mengemukakan bahwa pengalaman ini meningkatkan nilai suatu produk, merek, atau perusahaan di benak konsumen.

Ketika konsumen telah merasakan nilai dari suatu produk atau perusahaan melalui pengalaman positif yang telah diperoleh sebelumnya, maka akan timbul perasaan senang dan puas. Hal tersebut akan membuat konsumen berminat untuk mencoba kembali karena adanya ikatan emosional dari pengalaman yang diperolehnya. Pada dasarnya minat merupakan suatu sikap yang dapat membuat seseorang merasa senang terhadap obyek situasi ataupun ide-ide tertentu yang

(9)

9

biasanya diikuti oleh perasaan senang dan kecenderungan untuk mencari obyek yang disenangi tersebut (Hendarsono & Sugiharto, 2013). Menurut Cronin et al. (1992) yang juga dikutip dari Hendarsono & Sugiharto (2013), minat beli ulang adalah perilaku pelanggan dimana pelanggan merespon positif terhadap apa yang telah diberikan oleh suatu perusahaan dan berminat untuk melakukan kunjungan kembali atau mengkonsumsi kembali produk perusahaan tersebut.

Wong & Mei (2010) menemukan bahwa analisis dari experiential value memiliki dampak pada pembelian. Kusuma (2013) dalam penelitiannya pada konsumen Garuda Indonesia di Surabaya juga menemukan experiential value memiliki hubungan yang positif dan berpengaruh signifikan terhadap repurchase intention.

Pelanggan yang sudah merasakan experiential marketing akan merasakan sensasi yang sesuai bahkan di luar harapannya, yaitu rasa puas yang akan membuat pelanggan kembali bahkan merekomendasikan tempat kepada orang lain (Noegroho et al., 2013). Nigam (2012) mendefinisikan experiential marketing sebagai peristiwa yang memberikan target konsumen untuk menjelajah suatu produk dan pengalamannya untuk selanjutnya dapat menciptakan pembelian. Fitur-fitur yang diberikan oleh suatu produk atau jasa tidak cukup untuk membuat konsumen mengkonsumsi produk tersebut secara terus menerus, dengan kata lain hal tersebut tidak dapat menimbulkan minat beli ulang (Hendarsono & Sugiharto, 2013).

Nigam (2012) menemukan adanya peran experiential value dalam memediasi variabel experiential marketing pada purchase intention. Kusuma

(10)

10

(2013) juga menemukan bahwa experiental marketing berpengaruh signifikan dan positif terhadap repurchase intention melalui experiental value sebagai variabel pemediasi pada konsumen Garuda Indonesia di Surabaya. Hal ini berarti experiental marketing dapat meningkatkan sikap konsumen terhadap experiental value, yang pada akhirnya juga akan meningkatkan repurchase intention konsumen.

Tempat bersantai dianggap sebagai sebuah kebutuhan yang mulai dicari konsumen yang hedonis. Tempat bersantai juga dipandang sebagai sarana penghilang stress dan letih. Berbagai cara dilakukan oleh konsumen untuk memenuhi kebutuhan akan hal tersebut, salah satunya adalah dengan pergi ke cafe atau restoran yang dapat menyediakan hal-hal ataupun suasana yang baru dan berbeda. Gusto Gelato and Cafe merupakan salah satu tempat favorit di kawasan Seminyak yang berusaha memberikan suasana berbeda dengan konsep desain dan pelayanan yang diberikan. Kedai ini menjual es krim khas Italia atau yang lebih dikenal dengan gelato sebagai produk utamanya dengan berbagai varian rasa yang menarik. Gusto Gelato and Cafe selalu ramai oleh pengunjung dan biasanya didominasi oleh remaja, baik pelajar SMA maupun mahasiswa. Tempat ini biasanya digunakan sebagai sarana berkumpul, bertukar pikiran, atau bahkan sekedar untuk mengisi waktu luang sebagai bentuk aktualisasi diri untuk menunjang gaya hidup guna memperlihatkan status sosial mereka melalui pengalaman konsumsi yang diperoleh di Gusto Gelato and Cafe. Hal ini menunjukkan adanya suatu ketertarikan akan gratifikasi hedonistik atau dalam ilmu manajemen pemasaran disebut dengan experietial marketing.

(11)

11

Yang (2009) menyatakan penting untuk melakukan analisa pengalaman yang dirasakan oleh konsumen dalam kegiatan konsumsi, memahami dengan benar bagaimana perubahan konsumen setelah mengalami kegiatan konsumsi dan minat konsumen setelah melakukan pembelian ulang.

Berdasarkan aspek manajerial dan teoritis, maka peneliti tertarik untuk mengangkat penelitian mengenai experiential marketing yang diterapkan oleh Gusto Gelato and Cafe sehingga dapat menciptakan repurchase intention melalui experiential value sebagai pemediasi.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.2.1 Bagaimana pengaruh experiential marketing terhadap experiential value di Gusto Gelato and Café?

1.2.2 Bagaimana pengaruh experiential value terhadap repurchase intention di Gusto Gelato and Café?

1.2.3 Bagaimana pengaruh experiential marketing terhadap repurchase intention di Gusto Gelato and Café?

1.2.4 Bagaimana peran experiential value dalam memediasi pengaruh experiential marketing terhadap repurchase intention di Gusto Gelato and Café?

(12)

12 1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.3.1 Untuk menjelaskan pengaruh experiential marketing terhadap experiential value di Gusto Gelato and Café.

1.3.2 Untuk menjelaskan pengaruh experiential value terhadap repurchase intention di Gusto Gelato and Café.

1.3.3 Untuk menjelaskan pengaruh experiential marketing terhadap repurchase intention di Gusto Gelato and Café.

1.3.4 Untuk menjelaskan peran experiential value dalam memediasi variabel experiential marketing terhadap repurchase intention di Gusto Gelato and Café.

1.4 Kegunaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah, dan tujuan penelitian yang telah diuraikan, maka penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan manfaat atau kegunaan antara lain sebagai berikut.

1.4.1 Kegunaan Teoritis

(1) Bagi Khasanah Ilmu Pengetahuan

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk memperkaya bidang ilmu manajemen pemasaran secara empirik, khususnya mengenai peran experiential value dalam memediasi pengaruh experiential marketing pada repurchase intention.

(13)

13 (2) Bagi mahasiswa

Mahasiswa diharapkan dapat mengaplikasikan teori yang diperoleh dari proses perkuliahan serta memperoleh tambahan pengetahuan dan informasi dari penelitian ini.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan masukan berkaitan dengan implementasi experiential marketing, khususnya memahami peran experiential value dalam memediasi pengaruh variabel experiential marketing pada perilaku repurchase intention, sehingga diharapkan dapat menjadi masukan bagi manajemen Gusto Gelato and Café ke depannya.

1.5 Sistematika Penulisan

Skripsi ini ditulis menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut: Bab I Pendahuluan

Bab ini menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Kajian Pustaka dan Hipotesis Penelitian

Bab ini mencakup konsep atau teori yang relevan mengenai experiential marketing, experiential value, dan repurchase

(14)

14

intention serta perumusan hipotesis penelitian yang didukung dengan penelitian sebelumnya.

Bab III Metode Penelitian

Bab ini menguraikan metode penelitian yang meliputi desain penelitian, ruang lingkup penelitian, objek penelitian, identifikasi variabel, definisi operasional variabel, jenis dan sumber data, populasi, sampel, metode penentuan sampel, metode pengumpulan data, dan teknik analisis data yang digunakan.

Bab IV Pembahasan Hasil Penelitian

Bab ini menguraikan gambaran umum Gusto Gelato and Cafe, deskripsi data hasil penelitian, dan pembahasan hasil penelitian. Bab V Simpulan dan Saran

Bab ini menguraikan kesimpulan dari hasil analisis data dan saran untuk pengembangan bagi peneliti selanjutnya.

Gambar

Tabel 1.1 Perkembangan Jumlah Rumah Makan dan Café Provinsi  Bali Tahun 2010 – 2014

Referensi

Dokumen terkait

11.3 Mampu membaca untuk memahami dan menanggapi bacaan yang berupa biografi, novel, laporan jurnalistik perjalanan, dan bahasan.. Dapat mengidentifikasi ciri-ciri novel

Kurva standar serum albumin digunakan untuk menentukan kadar protein (metode Lowry ). Kurva standar BSA pada

Citra Merek yang tertanam baik di benak konsumen dapat memberikan pengaruh positif terhadap keputusan pembelian, sehingga banyak produk yang menunjukkan Citra

Menurut Ganie (2014:4) dalam Sahibul Hikayat atau disebut cerita rakyat, pada abad XIII sampai XIV di masa kerajaan Dipa di Kalimantan Selatan, kain sasirangan pertama kali dibuat,

sangat populer dan berkembang terus dengan berbagai variasinya. Penelitian yang melihat volatilitas pasar saham dunia saat terjadi krisis ternyata cukup banyak

Pengisian angket dalam rangka untuk memperoleh data yang akan saya gunakan dalam penelitian saya yang berjudul “hubungan perhatian orang tua dengan hasil belajar siswa

• Keaktifannya hanya sampai pada pembentukan pengurus BKM • Tidak semua relawan yang mendaftar dapat mengikuti pelatihan • Pemilu BKM dimulai dari tingkat lingkungan. •

Peneliti sebelumnya yang pernah melakukan penelitian tentang keputusan pembelian, seperti yang dilakukan oleh Wulandari (2018), dalam penelitiannya menyatakan