• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anomali Curah Hujan 2010 di Benua Maritim Indonesia Berdasarkan Satelit TRMM Terkait ITCZ

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Anomali Curah Hujan 2010 di Benua Maritim Indonesia Berdasarkan Satelit TRMM Terkait ITCZ"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Anomali Curah Hujan 2010 di Benua Maritim Indonesia

Berdasarkan Satelit TRMM Terkait ITCZ

Erma Yulihastin* dan Ibnu Fathrio

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis terjadinya anomali curah hujan di Benua Maritim Indonesia pada tahun 2010 menggunakan data curah hujan dasarian tipe 3B42 Satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring

Mission). Data tersebut merupakan data curah hujan dasarian (10-harian) dan memiliki resolusi spasial 0.25

derajat di Benua Maritim Indonesia (BMI). Hasil penelitian menunjukkan, anomali curah hujan positif terjadi sepanjang tahun 2010 di BMI. Anomali positif juga terjadi selama periode musim kemarau. Pada puncak musim kemarau (bulan Juli), anomali curah hujan di BMI memiliki nilai antara +50 sampai +200 milimeter. Deret waktu anomali curah hujan di kawasan monsunal BMI sepanjang tahun 2010 menunjukkan nilai positif kecuali pada bulan Februari dan Maret.

Kata kunci: Anomali, Curah hujan, BMI, Satelit TRMM, ITCZ, 2010

Pendahuluan

Anomali curah hujan didefinisikan sebagai deviasi kuantitas nilai curah hujan terhadap pada wilayah tertentu terhadap nilai rata-ratanya dalam jangka waktu yang panjang [1]. Penyebab anomali curah hujan di Benua Maritim Indonesia (BMI) kerap dikaitkan dengan fenomena ENSO (El Niño-Southern Oscillation), IOD (Indian

Ocean Dipole), dan pengaruh interaksi

atmosfer-perairan lokal di wilayah BMI [2], [3], [4]. Anomali curah hujan di BMI pada 2010 telah diteliti sebelumnya menggunakan data curah hujan bulanan TRMM 3B43 [7]. Hasil tersebut menunjukkan, curah hujan meningkat pada Mei dan Juni 2010 antara 20-200 persen. Namun, penelitian tersebut tidak menjelaskan anomali curah hujan pada puncak musim kemarau yaitu bulan Juli serta tidak dilakukan analisis secara temporal. Penelitian ini bertujuan meneliti anomali curah hujan pada 2010 secara temporal dan spasial terutama pada periode puncak musim hujan dengan menggunakan tipe data TRMM dasarian yang memiliki resolusi waktu lebih tinggi dibandingkan data bulanan. Metode

Penelitian ini menggunakan data curah hujan 10-harian (dasarian) satelit TRMM 3B42 tahun 2010 dan data curah hujan klimatologis (1998-2010). Resolusi spasial data yaitu 0.25 derajat. Data pendukung adalah data angin yang disediakan oleh NCEP/NCAR (National Center

for Environmental Prediction/ National Center for Atmospheric Research) Reanalysis II. Data ini

memiliki resolusi spasial 2.5 derajat. Metode perhitungan anomali dilakukan dengan cara mencari selisih nilai curah hujan dasarian pada tiap grid terhadap nilai rata-rata klimatologinya.

Nilai anomali pada tiap grid ini selanjutnya diplot dalam bentuk grafik secara spasial.

Hasil dan diskusi

Curah hujan turun berlebih di sebagian besar Benua Maritim Indonesia sepanjang tahun 2010. Curah hujan maksimum bahkan terjadi selama periode musim kemarau JJA (Juli-Juli-Agustus). Pada puncak musim kemarau yaitu bulan Juli, anomali curah hujan dasarian di BMI terjadi antara +50 sampai +200 milimeter. Hal ini tampak pada Gambar 1-3.

Anomali curah hujan positif bahkan terjadi pada wilayah monsunal Benua Maritim Indonesia seperti Jawa dan sekitarnya yang selama periode musim kemarau seharusnya memiliki curah hujan minimum atau mengalami anomali curah hujan negatif.

Gambar 1. Anomali curah hujan pada dasarian ke-1 Juli 2010 (dalam satuan milimeter)

Hal ini terjadi karena kawasan tersebut berpola curah hujan monsunal dan sangat dikontrol oleh keberadaan angin monsun timur Australia pada musim kemarau. Angin monsun timur yang

(2)

berasal dari benua Australia tersebut bersifat dingin dan kering.

Pada Gambar 1-3 juga terlihat bahwa zona konvergensi inter-tropis atau ITCZ (Inter-tropical

Convergence Zone) yang seharusnya bergeser

ke bagian utara pada bulan Juli mengikuti pergerakan semu matahari tidak terjadi pada musim kemarau 2010. Wilayah di bagian selatan BMI selama puncak musim kemarau masih menjadi pusat konvergensi secara yang signifikan memblokir awan-awan konvektif untuk tetap berada di kawasan BMI.

Gambar 1-3 juga menunjukkan munculnya pusat-pusat konvergensi baru di kawasan Samudera Hindia bagian barat (dekat pulau Sumatera dan pulau Jawa). Wilayah konvergensi di Samudera Hindia ini dapat diidentifikasi melalui curah hujan dasarian maksimum (> 200 milimeter).

Munculnya konvergensi selama bulan Juli 2010 di Belahan Bumi Selatan (BBS) kawasan Samudera Hindia merupakan kejadian yang menyimpang karena intensifikasi pusat tekanan rendah pada periode ini seharusnya terjadi di Belahan Bumi Utara (BBU).

Gambar 2. Anomali curah hujan pada dasarian ke-2 Juli 2010 (dalam satuan milimeter).

Gambar 3. Anomali curah hujan pada dasarian ke-3 Juli 2010 (dalam satuan milimeter)

Anomali curah hujan pada puncak musim kemarau 2010 di kawasan BMI ini terlihat sangat berbeda jika dibandingkan dengan puncak kemarau pada tahun 2009. Seperti diperlihatkan pada Gambar 4-6. Selama bulan Juli 2009 tampak di BMI bagian selatan (Jawa dan sekitarnya) tidak mengalami anomali curah hujan positif. Pada Gambar 5 bahkan terlihat dengan jelas, garis ITCZ tidak berada di kawasan BMI melainkan telah bergeser ke BBU (Filipina dan sekitarnya).

Gambar 4. Anomali curah hujan pada dasarian ke-1 Juli 2009 (dalam satuan milimeter).

Gambar 5. Anomali curah hujan pada dasarian ke-2 Juli 2009 (dalam satuan milimeter).

Gambar 6. Anomali curah hujan pada dasarian ke-3 Juli 2009 (dalam satuan milimeter).

(3)

Curah hujan dasarian di kawasan Indonesia bagian selatan terjadi lebih dari 20 hingga 130 milimeter sepanjang tahun 2010. Hal ini ditunjukkan oleh Gambar 7.

Berdasarkan grafik, pola curah hujan monsunal tidak dapat diidentifikasi dengan jelas karena selama periode musim kemarau tidak terjadi curah hujan minimum di wilayah tersebut.

Awal musim kemarau yang seharusnya dapat dikenali secara tegas dengan curah hujan kurang dari 50 milimeter selama tiga dasarian berturut-turut, juga tidak terjadi selama tahun 2010 di kawasan monsunal BMI.

Gambar 7. Deret waktu curah hujan dasarian (milimeter) Januari-Desember 2010 di wilayah Indonesia bagian selatan (110-130BT, 5-15LS). Berdasarkan Gambar 7 dapat disimpulkan, selama tahun 2010 tidak terjadi musim kemarau jika didasarkan pada definisi yang dikeluarkan oleh penentuan musim kemarau berdasarkan curah hujan yang dikeluarkan oleh BMKG.

Gambar 8. Deret waktu anomali curah hujan (milimeter) dasarian Januari-Desember 2010 di wilayah Indonesia bagian selatan (110-130BT, 5-15LS).

Berdasarkan deret waktu anomali curah hujan di kawasan monsunal BMI terlihat, anomali

curah hujan positif terjadi sepanjang tahun kecuali pada bulan Februari, Maret, Januari dasarian ke-3, April dasarian ke-1, dan November dasarian ke-2. Pada periode musim kemarau JJA, anomali curah hujan dasarian terjadi antara 5 hingga 40 milimeter. Hal ini seperti diperlihatkan pada Gambar 8.

Untuk mengetahui lebih jauh penyebab terjadinya anomali positif curah hujan pada bulan Juli, perlu dianalisis kondisi angin monsun yang terjadi secara klimatologis dan aktual pada Juli 2010 untuk dibandingkan.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, angin monsun yang terjadi di atas kawasan selatan BMI pada bulan Juli didominasi oleh angin monsun timur. Hal ini seperti ditunjukkan oleh Gambar 9. Secara klimatologis, angin monsun timur di atas selatan BMI memiliki magnitudo antara 4 sampai 8 meter/detik.

Gambar 9. Angin monsun pada level ketinggian 850hPa klimatologi bulan Juli (kontur warna positif menunjukkan angin barat sedangkan negatif menunjukkan angin timur, dalam satuan meter/detik).

Pada bulan Juli 2010, angin monsun timur juga terjadi di kawasan bagian selatan BMI. Penguatan angin monsun timur memang terjadi di bagian tenggara BMI. Angin monsun timur di wilayah tersebut lebih dari 10 meter/detik.

Angin monsun timur yang lebih kuat dari normal seharusnya akan mempengaruhi kondisi kurang hujan pada musim kemarau di kawasan selatan BMI. Dengan demikian, data angin monsun tampak tidak mendukung terjadinya hujan berlebih selama musim kemarau.

(4)

Gambar 10. Sama seperti Gambar-9 tetapi untuk bulan Juli 2010.

Namun, angin timur yang kuat pada Juli 2010 terjadi pada area yang lebih luas di kawasan Samudera Pasifik jika dibandingkan dengan kondisi normalnya secara klimatologis. Angin timur yang berhembus sangat kuat dari Samudera Pasifik ini ternyata dipengaruhi oleh fenomena La Niña intensitas sedang sekitar 1 derajat Celcius. Fenomena La Niña di Samudera Pasifik ini ternyata telah memperkuat angin monsun timur di kawasan timur dan tenggara BMI sekaligus melemahkan sifat monsun musim kering yang berasal dari Benua Australia. Terjadinya La Niña ditunjukkan oleh indeks Niño 3.4 sebagaimana Gambar 11.

Gambar 11. Indeks Niño 3.4 Juli 2005-Juli 2010 (Sumber: www.bom.gov.au).

Anomali musim kemarau pada 2010 ini bertentangan dengan daerah konvergensi antar-tropis (ITCZ) rata-rata lima tahun sebagaimana ditampilkan pada Gambar 12. Pada bulan Juli, seharusnya, daerah bertekanan rendah berada di bagian utara (Filipina, Asia) menjauhi wilayah Benua Maritim Indonesia. Dengan demikian, curah hujan maksimum juga seharusnya berada di Belahan Bumi Utara (Benua Asia dan sekitarnya).

Gambar 12. Garis ITCZ rata-rata (2004-2009) bulan Juli dasarian ke-1 berdasarkan data liputan awan satelit MTSAT. Warna hijau menunjukkan data sesudah difilter, merah adalah data sebelum difilter.

Kesimpulan

Terjadi anomali curah hujan positif di kawasan BMI selama 2010 antara 50 hingga 200 milimeter. Curah hujan berlebih yang terjadi pada puncak musim kemarau (bulan Juli) di kawasan monsunal BMI terjadi karena pengaruh La Niña dengan intensitas sedang. Fenomena La Niña telah menyebabkan terjadinya angin timur yang sangat kuat dari Samudera Pasifik ke kawasan BMI. Angin timur tersebut telah memperkuat intensitas angin monsun timur dari benua Australia namun memperlemah sifat monsun musim dingin Australia. Hal ini mengakibatkan angin timur yang terjadi di atas kawasan selatan BMI pada bulan Juli bersifat sangat basah. Maka tak mengherankan jika kawasan BMI masih menjadi daerah aktif konvergensi karena awan-awan konvektif terblokir di kawasan tersebut.

Ucapan terima kasih

Penulis memberikan apresiasi kepada JAXA-NASA, organisasi penyedia data curah hujan TRMM yang terbuka untuk diakses. Makalah ini mendukung penelitian program riset PKPP mengenai ”Sistem Monitoring ITCZ Untuk Prediksi Awal Musim Indonesia” yang didanai Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia bekerja sama dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.

Referensi

[1] Glickman TS., 2000. Anomaly, American

Meteorological Society, http://amsglossary.allenpress.com/glossary/

search?p=1&query=anomaly&submit=Sear ch&def=on, diunduh pada 15 Juni 2011. [2] Wu R. and Hu Z, 2003. “Evolution of

(5)

Asia,” Journal of Climate, Volume 16, 3742-3758.

[3] Tangang FT. and Juneng L., 2004. Mechanisms of Malaysian Rainfall Anomalies, Journal of Climate, American Meteorological Society, Volume 17, 3616-3622.

[4] As-syakur AR. dan Prasetia R., 2010. “Pola Spasial Anomali Curah Hujan Selama Maret Sampai Juni 2010 di Indonesia; Komparasi Data TRMM Multisatellite Precipitation Analysis (TMPA) 3B43 dengan Stasiun Pengamat Hujan,” Prosiding Nasional Seminar Ilmiah Nasional Ikatan Ahli Teknik Penyehatan dan Teknik Lingkungan Indonesia.

Erma Yulihastin*

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional erma.yulihastin@gmail.com

Ibnu Fathrio

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional ibnufathrio@yahoo.com

Gambar

Gambar 1. Anomali curah hujan pada dasarian  ke-1 Juli 2010 (dalam satuan milimeter)
Gambar 1-3 juga menunjukkan munculnya  pusat-pusat konvergensi baru di kawasan  Samudera Hindia bagian barat (dekat pulau  Sumatera dan pulau Jawa)
Gambar 8. Deret waktu anomali curah hujan  (milimeter) dasarian Januari-Desember 2010 di  wilayah Indonesia bagian selatan (110-130BT,  5-15LS)
Gambar 10. Sama seperti Gambar-9 tetapi untuk  bulan Juli 2010.

Referensi

Dokumen terkait

 Tingkat Kesiapterapan Teknologi (Technology Readiness Level) yang selanjutnya disingkat dengan TKT adalah tingkat kondisi kematangan atau kesiapterapan suatu hasil penelitian

Perubahan tersebut diharapkan dapat mem- perkuat sistem manajemen Negara Kesatuan Re- publik Indonesia yang secara objektif memperkuat akuntabilitas birokrasi pemerintahan,

Penelitian dilatarbelakangi oleh kurangnya disiplin belajar pada pembelajaran mata kuliah praktik Program Studi Pendidikan Kesejahteraan Keluarga Keahlian Tata Busana

Akumulasi timbal (Pb) dan tembaga (Cu) pada ikan kuniran (upeneus sulphureus) di perairan estuaria teluk palu secara berturut- turut, yaitu sebesar 0,568 mg/kg dan 2,242 mg/kg

Meskipun FedEx telah menetapkan standar biaya dan kinerja perusahaan, tetapi FedEx harus melakukan penyesuaian budaya agar layanan yang diberikan menjadi pilihan tepat

Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati.Sentakan mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat kesadaran.Tipe

pe errh hiittu un ng ga an n tte errs se eb bu ut t d di i jja ad diik ka an n pedoman dalam membuat penguat yang pedoman dalam membuat penguat yang di kehendaki

Gambar 7 menunjukan kondisi pasang perbani pada saat angin timur yang masing-masing terjadi pada tanggal 12 Juli 2006 dengan beberapa kondisi yaitu surut menuju pasang yang terjadi