• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERENCANAAN INTERPRETASI BERBASIS KONSERVASI BAMBU SEBAGAI BAHAN BAKU ANGKLUNG DI SAUNG ANGKLUNG UDJO PANCA OKTAWIRANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERENCANAAN INTERPRETASI BERBASIS KONSERVASI BAMBU SEBAGAI BAHAN BAKU ANGKLUNG DI SAUNG ANGKLUNG UDJO PANCA OKTAWIRANI"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

PERENCANAAN INTERPRETASI BERBASIS KONSERVASI BAMBU

SEBAGAI BAHAN BAKU ANGKLUNG

DI SAUNG ANGKLUNG UDJO

PANCA OKTAWIRANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perencanaan Interpretasi Berbasis Konservasi Bambu di Saung Angklung Udjo adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2013

Panca Oktawirani

(4)
(5)

ABSTRAK

PANCA OKTAWIRANI. Perencanaan Interpretasi Berbasis Konservasi Bambu di Saung Angklung Udjo. Dibimbing oleh E.K.S. HARINI MUNTASIB dan ERVIZAL A.M. ZUHUD.

Saung Angklung Udjo, salah satu pusat pelestarian angklung di Jawa Barat, berkepentingan untuk menjaga kelestarian keempat jenis bambu (bambu Hitam, bambu Gombong, bambu Temen, dan bambu Tali) sebagai bahan baku angklung sekaligus menyampaikan informasi kepada pengunjung untuk mengenal sumber daya tersebut. Penelitian ini bertujuan menyusun rencana interpretasi yang berbasis konservasi bambu sebagai bahan baku angklung di Saung Angklung Udjo. Metode yang dikembangkan menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan perencanaan interpretasi Sharpe yaitu menuliskan tujuan, mengumpulkan informasi, menganalisa, memadukan alternatif yang ada, pelaksanaan program, evaluasi, dan perbaikan. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder yang meliputi jenis dan karakteristik bambu, proses pengolahan bambu menjadi alat musik angklung, dan upaya konservasi yang dapat melibatkan pengunjung di Saung Angklung Udjo. Data dikumpulkan melalui observasi, studi literatur, dan wawancara dengan tiga informan dan 50 responden. Kondisi kawasan dan data yang diperoleh digunakan sebagai bahan untuk membuat perencanaan interpretasi di Saung Angklung Udjo. Terdapat empat jenis bambu yang digunakan sebagai bahan baku angklung yaitu bambu hitam (Gigantochloa atroviolaceae), bambu gombong (Gigantochloa

pseudoarundinaceae), bambu temen (Gigantochloa atter), dan bambu tali

(Gigantochloa apus). Keempat jenis bambu tersebut memiliki sifat fisik dan anatomi yang cocok sebagai angklung. Pengadaan bambu sebagai bahan baku angklung masih diperoleh melalui pengambilan dari alam dan belum dilakukan budidaya yang intensif. Kondisi ini mempengaruhi keberadaan keempat jenis bambu yang semakin sulit ditemukan. Konservasi jenis bambu sebagai bahan baku angklung perlu dilakukan sebagai upaya mempertahankan keberadaan jenis bambu dan kesenian angklung. Pengelola dan mitra petani (pemanen) perlu melakukan upaya konservasi bambu. Salah satu upaya yang dapat dilakukan pengelola Saung Angklung Udjo yaitu menyampaikan informasi terkait jenis dan karakteristik bambu, upaya pengolahan bambu menjadi angklung serta upaya konservasi bambu kepada pengunjung yang datang ke Saung Angklung Udjo. Bentuk perencanaan interpretasi yang dikembangkan berupa program dan fasilitas interpretasi berbasis konservasi bambu sebagai bahan baku angklung. Program dan papan interpretasi yang dikembangkan diarahkan untuk meningkatkan apresiasi pengunjung terhadap konservasi bambu sebagai bahan baku angklung. Kata kunci: interpretasi, konservasi bambu, saung angklung udjo

(6)
(7)

ABSTRACT

PANCA OKTAWIRANI. Interpretive Planning Based on Bamboo Conservation as Angklung Raw Material at Saung Angklung Udjo. Supervised by E.K.S. HARINI MUNTASIB and ERVIZAL A.M. ZUHUD

Saung Angklung Udjo is one of the conservation of angklung where focused in West Java, It concerned to preserve the four types of bamboo (Black bamboo, Gombong bamboo, Temen bamboo, and Tali bamboo) which identified as angklung raw materials also to communicate information to visitors to get to know these resources. This study aims to develop a conservation plan based interpretation of bamboo as a raw material at Saung Angklung Udjo. The method was developed using qualitative descriptive methods to approach the interpretation of Sharpe is make objective, collection information, analysing, synthesis, plan, implementation, evaluation & revision, and feedback. Data were collected in the form of primary and secondary data including the type and characteristics of bamboo, bamboo processing into a musical instrument angklung, and conservation efforts that may involve visitors in Saung Angklung Udjo. Data were collected through observation, study of literature, and interviews with three informants and 50 respondents. The data obtained is used to make planning interpretation at Saung Angklung Udjo. There are four types of bamboo used as angklung raw materials namely black bamboo (Gigantochloa

atroviolaceae), gombong bamboo (Gigantochloa pseudoarundinaceae), temen

bamboo (Gigantochloa atter), and Tali bamboo (Gigantochloa apus). Fourth bamboo has physical properties and anatomy suitable as an angklung musical instrument. Procurement bamboo as angklung raw material was obtained by taking from nature and has not done the intensive cultivation. This condition affects the existence of four types of bamboo are increasingly rare. Conservation bamboo species as angklung raw material needs to be done in order to maintain the existence and type of angklung art. Business partners and farmer (harvesters) have bamboo conservation efforts. One effort can to do Saung Angklung Udjo managers through the delivery of information related to the type and characteristics of bamboo, bamboo processing effort into conservation efforts bamboo to the visitor. Forms of interpretation that was developed in the form of plans and programs based interpretation facilities conservation angklung bamboo as raw material. Program and interpretation boards are developed to enhance the appreciation of visitors directed to the conservation of bamboo as angklung raw material.

(8)
(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(10)
(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan

PERENCANAAN INTERPRETASI BERBASIS KONSERVASI

BAMBU SEBAGAI BAHAN BAKU ANGKLUNG

DI SAUNG ANGKLUNG UDJO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(12)
(13)
(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2012 ini ialah Perencanaan Interpretasi, dengan judul Perencanaan Interpretasi Berbasis Konservasi Bambu sebagai Bahan Baku Angklung di Saung Angklung Udjo.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr E.K.S Harini Muntasib dan Bapak Prof Dr Ir Ervizal A.M. Zuhud selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir Naresworo Nugroho selaku dosen penguji. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada pengelola Saung Angklung Udjo yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, suami, teman-teman MEJ 2010, serta seluruh kerabat, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2013

(16)
(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv 1 PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Perumusan Masalah ... 2 Tujuan Penelitian ... 2 Manfaat Penelitian ... 2 Kerangka Teori ... 3 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 4 Pengertian Interpretasi ... 4 Perencanaan Interpretasi ... 5 Teknik Interpretasi ... 6 Program Interpretasi ... 7 Makna Konservasi ... 8

Tri Stimulus AMAR Konservasi Bambu untuk Angklung ... 9

3. METODE PENELITIAN ... 21

Waktu dan Lokasi ... 21

Alat dan Bahan ... 21

Metode Penelitian ... 21

4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 26

Sejarah Saung Angklung Udjo (SAU) ... 26

Letak, Luas, dan Status SAU ... 27

Aksesibilitas SAU ... 27

Profil Pengelola SAU ... 28

5. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

Program Wisata di Saung Angklung Udjo ... 31

Profil Pengunjung ... 33

Proses Pengolahan Bambu menjadi Angklung ... 35

Upaya Konservasi Bambu sebagai Bahan Baku Angklung ... 42

6. PERENCANAAN INTERPRETASI BERBASIS KONSERVASI BAMBU SEBAGAI BAHAN BAKU ANGKLUNG ... 44

Tujuan dan Sasaran Interpretasi ... 44

Program Interpretasi ... 47

Obyek, Tema dan Materi Interpretasi ... 47

Teknik Interpretasi ... 49

7. CONTOH PROGRAM INTERPRETASI: MENGENAL BAMBU SEBAGAI BAHAN BAKU ANGKLUNG ... 49

Program Pengenalan Bambu sebagai Bahan Baku Angklung ... 50

Program Pengenalan Jenis dan Karakteristik Bambu sebagai Bahan Baku Angklung ... 56

8. CONTOH RENCANA PENGEMBANGAN FASILITAS ... 58

Pusat Informasi ... 58

Papan Interpretasi ... 58

(18)

Media Publikasi ... 59

9. SIMPULAN DAN SARAN ... 59

Simpulan ... 59

Saran ... 60

(19)

DAFTAR TABEL

1. Perbedaan Sifat Bambu Hitam (G. atroviolaceae Widjaja) Bambu Temen (G. atter Hassk) Bambu Tali (G. Apus (J.A&J.H Schultes Kurz)

dan Bambu Gombong (G. Pseudoarundinaceae) ... 18

2. Jenis Data Penelitian ... 22

3. Stratifikasi Responden ... 24

4. Saung Angklung Udjo dari waktu ke waktu ... 26

5. Perencanaan Interpretasi Berbasis Konservasi Bambu sebagai Bahan Baku Angklung di Saung Angklung Udjo ... 46

6. Obyek, Tema, dan Materi Interpretasi di Saung Angklung Udjo ... 48

(20)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Teori Penelitian ... 4

2 Fase Perencanaan Interpretasi (Berdasarkan Bardley 1982 dalam Sharpe, 1982) ... 5

3 Diagram Alir “tri stimulus amar pro-konservasi”: stimulus, sikap, dan perilaku aksi konservasi ... 10

4 Bambu Hitam (G. atroviolaceae) ... 14

5 Bambu Temen (G. atter)... 15

6 Bambu Tali (G. apus) ... 16

7 Morfologi Rebung Bambu Gombong (G. pseudoarundinaceae) ... 17

8 Bambu Gombong (G. pseudoarundinaceae) ... 17

9 Angklung Buncis ... 19

10 Lokasi Penelitian ... 21

11 Bagan Perencanaan Interpretasi berbasis Konservasi Bambu sebagai Bahan Baku Angklung ... 25

12 Papan Nama SAU yang berada di muka Jalan Padasuka ... 27

13 Struktur Organisasi Saung Angklung Udjo ... 29

14 Bale Karesmen ... 30

15 Buruan Sari Asih... 31

16 Fasilitas yang ada: (a) Saung, Tempat Alternatif untuk Berkumpul Bersama Keluarga , dan (b) Pusat Produksi Angklung ... 31

17 Beberapa Rangkaian Acara: (a) Wayang Golek dan (b) Helaran ... 32

18 Motivasi Pengunjung ke SAU ... 33

19 Program Wisata yang dipilih Pengunjung ... 33

20 Pemahaman Pengunjung terhadap Proses Pembuatan Angklung ... 34

21 Pemahaman Pengunjung terhadap Jenis Bambu sebagai Bahan Baku Angklung ... 34

22 Pemahaman Pengunjung mengenai Konservasi Bambu ... 35

23 Bambu yang baru dipanen ... 37

24 Ilustrasi Pengawetan dan Pengeringan Bambu dengan Metode Pengasapan ... 37

25 Proses Pengawetan Bambu dengan Metode Perendaman ... 38

26 Pengeringan Bambu Secara Vertikal ... 39

27 Bakalan Angklung ... 39

28 Tabung Angklung ... 40

29 Proses Perakitan Angklung ... 40

30 Angklung yang telah distem ... 41

31 Finishing Tabung Angklung ... 42

32 Arah Program Interpretasi (Interpretive Direction) ... 51

33 Skema Program Interpretasi ... 52

34 Morfologi Angklung ... 54

35 Jenis Bambu sebagai Bahan Baku Angklung ... 54

(21)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Angklung merupakan alat musik multitonal (bernada ganda), terbuat dari bambu dan dibunyikan dengan cara digoyangkan. Angklung berkembang dan menjadi salah satu filosofi hidup masyarakat Jawa Barat. Menurut karuhun urang

sunda/sejarah masyarakat Sunda, kehidupan manusia diibaratkan seperti tabung

angklung. Angklung bukanlah sebuah angklung apabila ia hanya terdiri dari satu tabung saja, layaknya manusia yang tidak dapat hidup sendiri melainkan harus bersosialisasi (Sejarah Angklung 2012). Angklung menjadi populer sejak November 2010, ketika terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of

Humanity) oleh UNESCO.

Bambu sebagai bahan baku angklung belum mendapatkan perhatian secara intensif dari pengguna bambu yang memanfaatkannya sebagai bahan baku angklung khususnya dalam konservasi bambu. Bambu yang digunakan sebagai bahan baku angklung masih diperoleh dari alam dan belum dibudidayakan secara massal. Diantara berbagai jenis bambu, Bambu Hitam (Gigantochloa

atroviolaceae Widjaja), Bambu Gombong (Gigantochloa pseudoarundinacea

(Steud) Widjaja), Bambu Temen (Gigantochloa atter (Hassk.) Kurz, dan Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A. & J.H. Schultes) Kurz tercatat memiliki karakteristik yang sesuai untuk dijadikan sebagai bahan baku angklung (Nuriyatin 2000).

Saung Angklung Udjo (SAU) merupakan salah satu lokasi yang mengembangkan budaya dan kesenian angklung di Jawa Barat. Sejak berdiri tahun 1966, Saung Angklung Udjo terus berupaya memperkenalkan angklung kepada masyakat luas bahkan sudah mencatatkan diri dalam Guiness World of

Record karena memainkan angklung sebanyak 5.182 buah dengan peserta

multi-bangsa. Jumlah pengunjung di Saung Angklung Udjo terus meningkat dari tahun ke tahun. Selain menawarkan pertunjukan angklung, Saung Angklung Udjo juga memproduksi angklung untuk dijual hingga ke mancanegara.

Saung Angklung Udjo sudah memiliki manajemen terkait pelayanan pengunjung namun belum mengembangkan suatu pelayanan yang berguna untuk mengarahkan dan meningkatkan rasa keingintahuan pengunjung dalam mengenal dan memahami peranan bambu sebagai bahan baku utama angklung khususnya dalam aspek pelestarian bambu.

Interpretasi didefinisikan sebagai suatu kegiatan atau suatu usaha menciptakan pemahaman serta menunjukkan arti dan hubungan antara seseorang dengan alam lingkungannya dengan menggunakan obyek yang terdapat dikawasan tersebut dengan menggunakan media ilustratif serta melalui pengalaman langsung dilapangan (Tilden 1977; Alderson&Low 1985; Moscardo1998). Beragam penelitian mengenai program interpretasi tidak hanya mendukung upaya konservasi dan pengelolaan kawasan melainkan juga meningkatkan kepuasan dan kenyamanan pengunjung (Moscardo 1998; Pearce&Moscardo 2007; Povey&Rion2002; Wiles 2005). Oleh karena itu perlu

(22)

disusun suatu perencanaan interpretasi yang berbasis pada konservasi bambu sebagai bahan baku angklung di Saung Angklung Udjo.

Perumusan Masalah

Sebagai salah satu lokasi wisata budaya di Bandung Timur, pengelolaan Saung Angklung Udjo masih terbatas pada penyediaan paket pertunjukan dan kesenian angklung. Paket kunjungan tersebut berupa aktivitas menyaksikan pertunjukan angklung yang dimainkan oleh anak-anak binaan Saung Angklung Udjo yang dinamakan Bamboo Afternoon/Bambu Petang. Bamboo Afternoon merupakan atraksi wisata yang terdiri dari tari-tarian, pertunjukan angklung hingga pelibatan pengunjung dalam memainkan angklung.

Pengadaan bambu sebagai bahan baku angklung masih diperoleh secara langsung dari alam dan belum dilakukan budidaya bambu secara intensif. Kondisi ini menjadikan keempat jenis bambu semakin sulit ditemukan. Konservasi jenis bambu sebagai bahan baku angklung perlu dilakukan sebagai upaya mempertahankan keberadaan jenis dan kesenian angklung. Pengelola Saung Angklung Udjo mempunyai kewajiban untuk melestarikan jenis bambu yang digunakan sebagai bahan baku angklung sekaligus mengajak dan memberikan pemahaman kepada pengunjung yang datang untuk memahami pentingnya konservasi jenis bambu untuk angklung.

Interpretasi merupakan jembatan untuk menyampaikan keistimewaan bambu sebagai sumber daya khususnya sebagai bahan baku angklung kepada pengunjung. Informasi terkait karakteristik, proses pengolahan bambu menjadi angklung, dan upaya konservasi bambu dapat disampaikan melalui interpretasi yang dapat diwujudkan dalam bentuk program dan papan interpretasi. Pengelola Saung Angklung Udjo belum menyiapkan informasi dan program wisata yang berkaitan dengan bambu sebagai bahan baku utama angklung. Kenyataan tersebut merupakan peluang bagi pengelola untuk mengenalkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang konservasi bambu sebagai bahan baku utama angklung sekaligus memberikan pengalaman yang berkualitas bagi pengunjung Saung Angklung Udjo.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menyusun rencana interpretasi yang berbasis konservasi bambu sebagai bahan baku angklung.di Saung Angklung Udjo.

Manfaat Penelitian

1. Menjadi salah satu contoh pengelolaan lokasi wisata yang berbasis pada konservasi sumber daya

2. Memberi pengetahuan dan pengalaman yang berkualitas kepada pengunjung di Saung Angklung Udjo akan peranan bambu terhadap angklung.

3. Membangun keterlibatan pengunjung untuk ikut melestarikan sumber daya bambu.

(23)

4. Bahan masukan bagi pengelola dalam mengoptimalkan manajemen di Saung Angklung Udjo agar tercapai pemanfaatan dan pengelolaan bambu jangka panjang

Kerangka Teori

Tingginya permintaaan bambu, khususnya jenis Bambu Hitam (G.

atroviolaceae), Bambu Gombong (G. pseudoarundinacea), Bambu Temen (G. atter), dan Bambu Tali (G. apus) berdampak pada pemanenan bambu dari alam

(Fathony 2011; Irawan et al. 2006; Jonkhart 2011). Di sisi lain, penanaman bambu lebih diutamakan jenis Bambu Duri (Bambusa blumeana) dan Bambu Betung (Dendrocalamus asper) untuk industri pulp dan sumpit (Widjaja 1990). Oleh sebab itu, perlu adanya upaya konservasi jenis-jenis bambu sebagai bahan baku angklung dalam upaya menjamin keberadaan angklung sebagai warisan dunia.

Sebagai destinasi wisata dan lokasi workshop angklung, Saung Angklung Udjo merupakan salah satu pihak yang berkewajiban untuk melestarikan bambu, khususnya jenis bambu sebagai bahan baku angklung. Sebagian besar pengunjung Saung Angklung Udjo datang untuk melihat pertunjukan angklung sehingga potensi dan peranan bambu sebagai bahan baku angklung belum banyak diketahui pengunjung. Pihak pengelola berperan untuk menyampaikan peranan bambu dan pentingnya upaya konservasi bambu sebagai bahan baku angklung kepada pengunjung. Untuk itu perlu upaya memperkenalkan peranan bambu dalam kesenian angklung melalui sebuah interpretasi. Melalui perencanaan interpretasi, bambu dapat disusun menjadi materi program wisata yang bermanfaat dan mendidik pengunjung. Berikut kerangka teori penelitian yang tersaji pada Gambar 1 berikut ini.

(24)

Gambar 1 KerangkaTeori Penelitian

2 TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Interpretasi

Penggunaan interpretasi sebagai bentuk komunikasi dalam kegiatan wisata telah umum dijumpai di berbagai negara sepanjang abad kedua puluh. Akar dari bidang interpretasi dapat ditelusuri dan ditemukan di Amerika dan Eropa pada abad kesembilan belas. Hal ini diikuti dengan pertumbuhan dalam studi mengenai sumber daya alam, perencanaan wisata melalui penggunaan pusat informasi alam dan taman naturalis (Sharpe 1982).

Penyediaan informasi merupakan hal yang umum dalam mendukung pengelolaan dan pengembangan wisata. Umumnya penyampaian informasi terdapat di museum, kebun binatang, lokasi bersejarah hingga kawasan konservasi (Muntasib 2003). Proses penyampaian informasi atau mendidik pengunjung dapat didefinisikan sebagai interpretasi (Moscardo 1998). Interpretasi telah dikenal sebagai layanan kepada pengunjung (Pearce&Moscardo 2007), dan pendekatan untuk komunikasi (Ham 1992). Archer&Wearing (2003) mendefinisikan interpretasi sebagai kegiatan menjelaskan dan merancang informasi tentang sumber daya lokal bagi pengunjung dengan cara yang menarik. Veverka (1994)

Bambu sebagai Bahan Baku Angklung (Prosea (1995) dalam Nuriyatin (2000)

Proses Pengolahan dan Pemanfaatan Bambu menjadi Angklung (stimulus manfaat)

Pengelola Karakteristik Fisik, Biologis, Mekanik

Akustik Bambu (Widjaja 2001a+b) (stimulus alamiah)

Tri Stimulus AMAR Konservasi Bambu (Zuhud et al. 2007)

Perencanaan Interpretasi Berbasis Konservasi Bambu sebagai Bahan

Baku Angklung

(25)

juga menyatakan bahwa interpretasi adalah proses komunikasi yang dirancang untuk mengungkapkan makna dan hubungan budaya dan warisan alam kepada masyarakat (pengunjung) melalui tangan pertama pengalaman dengan obyek, artefak, lanskap, atau lokasi.

Meski kedatangan pengunjung ke tempat rekreasi untuk berwisata dan atau mencari inspirasi tetapi pengunjung juga mempunyai keinginan untuk mengenal tempat yang dikunjungi. Poo (1993) dalam Moscardo (1998) menyatakan perubahan trend menunjukkan bahwa program yang berbasis pada pendidikan, konservasi, dan meningkatkan pengalaman dan pengetahuan pengunjung lebih diminati. Interpretasi dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran yang lebih luas terhadap lingkungan (Archer&Wearing 2003). Belajar hal-hal yang baru dan meningkatkan pengetahuan menjadi motivasi terbesar yang diminati dan dipilih pengunjung. Jika pengunjung semakin mencari unsur pendidikan dalam aspek perjalanannya, maka interpretasi menjadi bagian integral yang harus ada di lokasi wisata (Moscardo 1998).

Perencanaan Interpretasi

Komponen penting bagi perencanaan program interpretasi adalah 1) pengunjung, 2) prosedur penyampaian informasi (Sharpe 1982). Komponen pengunjung meliputi latar belakang, perilaku dan sikap, dan karakteristik spesial pengunjung. Karakteristik spesial pengunjung meliputi umur, tingkat pendidikan, dan ketertarikan khusus. Interpretasi mampu mengakomodasi berbagai karakteristik spesial dari pengunjung. Berdasarkan Sharpe (1982) dalam menyusun sebuah interpretasi, perlu perencanaan yang spesifik. Proses perencanaan harus interaktif dan terus menerus. Langkah-langkah dalam merencanakan sebuah interpretasi terdapat pada Gambar 2 di bawah ini.

Gambar 2 Fase Perencanaan Interpretasi (Bradley dalam Sharpe 1982) Fase perencanaan interpretasi terdiri dari menuliskan tujuan, mengumpulkan informasi, menganalisa, memadukan alternatif yang ada, pelaksanaan program, evaluasi dan perbaikan (Sharpe 1982). Penjabaran dari tahap tersebut adalah:

Masukan

Umpan Balik Tujuan Inventarisasi &

Pengumpulan Data

Analisis Sintesis Peren

canaan Penerapan

Evaluasi& Revisi

(26)

a. Tujuan

Tujuan adalah panduan untuk melakukan tindakan spesifik yang diperlukan dalam sebuah perencanaan. Perumusan tujuan merupakan sasaran yang ingin dicapai dalam perencanaan interpretasi

b. Inventarisasi

Tahap inventarisasi adalah tahap mengidentifikasi lokasi untuk menemukan sumber daya serta kekhasan dari lokasi tersebut yang meliputi aspek fisik, biologis, dan sosial budaya. Inventarisasi yang baik sangat diperlukan untuk memberikan sebuah data dasar dalam perencanaan interpretasi.

c. Analisis

Data yang diperoleh dalam inventarisasi harus menggambarkan kondisi yang ada di lokasi. Data kemudian dianalisis secara deskriptif dengan penyajian dalam bentuk tabulasi. Dalam analisis data, informasi yang didapatkan harus diuji dan dievaluasi sehingga menghasilkan potensi, permasalahan, dan pemecahan masalah yang dilanjutkan pemilihan obyek interpretasi serta lokasi interpretasi (site) untuk pengembangan rencana interpretasi yang disusun. d. Sintesis

Tahap ini merupakan tahap memadukan berbagai alternatif kegiatan dan mengidentifikasi implikasinya. Rencana interpretasi mengadopsi potensi sumber daya dengan kebutuhan pengunjung.

e. Perencanaan

Pada tahap ini merupakan tahap melengkapi semua aspek dan rencana yang diperoleh sekaligus pendugaan dan dampak implementasi.

f. Evaluasi dan Perbaikan Rencana

Kegiatan monitoring dan pemantauan diperlukan untuk melihat potensi keberhasilan dan keberlanjutan suatu rencana yang dibuat sehingga tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Evaluasi dilakukan terkait dampak program terhadap para pengguna dan dampak fasilitas yang dibangun terhadap sumber daya.

Beberapa prinsip untuk merancang interpretasi yang efektif antara lain: (1) merancang pengalaman interpretasi yang berbeda, (2) menyediakan komunikasi personal dengan pengunjung, (3) melatih partisipasi pengunjung, (4) menciptakan konten yang jelas, (5) memungkinkan untuk pengunjung alternatif yang bukan sasaran utama (Knapp&Benton 2004; Muscardo 1998). Ham (1992) mengemukakan empat ide utama yang menjadi pendekatan dalam interpretasi yaitu: (1) pleasurable atau menyenangkan, (2) relevant atau menghubungkan, (3)

organized atau mengatur, dan (4) has a theme atau mempunyai tema.

Teknik Interpretasi

Veverka (1998) mengklasifikasikan teknik interpretasi menjadi beberapa jenis. Teknik interpretasi tidak selalu berupa guided tour, namun dapat berupa ucapan, musik pengiring kedatangan pengunjung, pola-pola ubin, penataan ruangan hingga hal-hal yang meningkatkan ketertarikan pengunjung serta menciptakan ikatan (bonding) antara pengunjung dengan destinasi. Beberapa teknik intrepretasi antara lain : Visitor Center, Education Center, Display and

(27)

Sharpe (1982) menyampaikan interpretasi terdiri dari dua teknik yaitu (1) Teknik secara langsung (attended service), dan (2) Teknik secara tidak langsung (unattended service).

1. Teknik secara langsung (Attended Service)

Teknik secara langsung (attended service) yaitu kegiatan interpretasi yang melibatkan langsung antara interpreter dan pengunjung dengan obyek interpretasi yang ada sehingga pengunjung dapat secara langsung melihat, mendengar atau bila mungkin mencium, meraba dan merasakan obyek-obyek intrepretasi yang dipergunakan dan biasanya dengan tahap-tahap pelaksanaan sebagai berikut:

 Informasi; pengunjung akan mendapatkan informasi tentang obyek yang akan dikunjungi.

 Rencana kegiatan pelaksanaan program akan dijelaskan pada suatu sentra pengunjung, jadi pengunjung sudah lebih dulu mengetahui program interpretasi yang dipilih dan garis besar rencana perjalanannya.

 Penyampaian uraian-uraian; dilakukan oleh interpreter pada saat melaksanakan program interpretasinya.

Dengan adanya kontak antara pengunjung dengan interpreter maka terdapat suatu komunikasi langsung sehingga peran interpreter sangat besar untuk dapat mengungkapkan semua potensi dalam suatu kawasan secara menarik. Interpreter yang baik harus dapat membuat suasana yang santai sehingga pengunjung akan dapat bebas bertanya ataupun dapat mengutarakan keluhan-keluhannya. Pengunjung akan merasa penting jika dilibatkan dalam suatu program interpretasi (Knapp&Benton 2004).

2. Teknik secara tidak langsung (Unattended Service)

Teknik secara tidak langsung (unattended service) yaitu kegiatan interpretasi yang dilaksanakan dengan menggunakan alat bantu dalam memperkenalkan obyek interpretasi. Interpretasi disajikan dalam suatu program slide, video, film, ataupun rangkaian gambar-gambar. Program ini biasanya diselenggarakan terutama untuk kawasan yang sangat luas sehingga tidak semua potensi alam mudah dinikmati atau didatangi (daerahnya rawan, satwa liar masih banyak) sehingga walaupun tidak dapat mengunjungi semua lokasi tetapi pengunjung dapat mengetahui dan menikmati kekayaan alam yang ada di kawasan tersebut. Program interpretasi secara tidak langsung ini juga harus dibuat menarik dan dapat mewakili potensi alam yang ada di tempat tersebut.

Kedua teknik diatas sebenarnya tidak dapat dipisahkan begitu saja karena biasanya pengunjung yang datang ke suatu kawasan yang mempunyai potensi besar dan luas ingin melihat dulu secara keseluruhan potensi alam yang ada ditempat-tempat tersebut, baru setelah itu melihat salah satu atau beberapa program interpretasi yang ditawarkan.

Program Interpretasi

Menurut Sharpe (1982), program interpretasi adalah pengetahuan dari seluruh usaha interpretasi, yaitu mencakup personil, fasilitas, dan seluruh kegiatan interpretasi, kelembagaan serta tempat wisata tersebut. Menurut Ditjen PHPA (1988), program interpretasi merupakan suatu pola pelaksanaan interpretasi menurut waktu dan skenario cerita tertentu pula. Skenario cerita interpretasi

(28)

adalah garis-garis besar cerita yang mencakup materi interpretasi sebagai bahan yang digunakan untuk menyusun suatu program interpretasi dan menjadi isi dan maksud dari program interpretasi tersebut.

Program interpretasi yang disusun haruslah informal dan dalam suasana yang santai (Ham 1992). Program membantu pengunjung untuk menyelaraskan kebutuhan rekreasi dan ekspetasi akan sumber daya yang ada sekaligus memberi dampak terhadap tingkah laku pengunjung secara langsung. Hal ini menunjukkan bahwa interpretasi memberi makna secara langsung (Wearing 2009). Manfaat dari segi pendidikan bagi pengunjung adalah kesempatan untuk belajar, meningkatkan pengetahuan dan pemahaman akan lingkungan serta mendorong penemuan personal (self discovery).

Dalam merancang suatu program interpretasi ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan, seperti yang telah dikemukakan oleh Tilden (1977) sebagai berikut :

1. Suatu interpretasi yang tidak ada kaitannya antara yang diperagakan dengan apa yang diuraikan akan merupakan suatu hal yang sia-sia

2. Informasi atau penerangan bukanlah interpretasi. Interpretasi adalah suatu ungkapan berdasarkan informasi-informasi. Dalam interpretasi dimasukkan unsur-unsur informasi

3. Interpretasi adalah suatu seni yang menggabungkan bermacam-macam seni, baik bersifat ilmiah, sejarah atau arsitektur, suatu seni yang pada suatu tingkatan tertentu dapat dianjurkan kepada orang lain

4. Cara menyampaikan interpretasi bukan dengan perintah tetapi pancingan atau persuasi (dorongan)

5. Interpretasi bermaksud menunjukkan sesuatu secara keseluruhan dan bukan potongan-potongan informasi

6. Interpretasi bagi anak-anak bukan penyederhanaan bagi orang dewasa.

Makna Konservasi

Konservasi berasal dari conservation yang terdiri atas kata con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian “upaya memelihara apa yang

kita punya (keep/save what you have) namun secara bijaksana (wise use). Konsep

ini pertama kali dikemukakan oleh Theodore Roseevelt (1902) dalam Model Desa Konservasi (2009) yang merupakan orang Amerika pertama yang mengemukakan tentang konsep konservasi. Konservasi dalam pengertian sekarang diterjemahkan sebagai the wise use of nature resources (pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana). Makna konservasi merupakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang bertanggungjawab, berkelanjutan, dan berkeseimbangan (Zuhud 2011).

Azas konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya adalah pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang. Tujuan dari konservasi adalah terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Kegiatan konservasi meliputi tiga hal, yaitu perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan jenis tumbuhan dan

(29)

satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Departemen Kehutanan 1990).

Pemanfaatan dan konservasi bambu telah menjadi perhatian bagi negara-negara di Asia, khususnya Asia Timur, Asia Selatan, dan Asia Tenggara (Wong, 2004). Konservasi bambu seperti halnya dengan konservasi pada tanaman lain didasarkan pada spesies yang memiliki manfaat ekonomi dan spesies yang tergolong langka dan endemik. Seiring dengan meningkatnya penggunaan bambu, penebangan bambu terus meningkat. Pemanenan yang dilakukan secara tidak beraturan dikhawatirkan akan menyebabkan kerusakan. Pengambilan secara terus menerus tegakan alami bambu tanpa penanaman kembali berdampak pada kepunahan. Oleh karena itu diperlukan adanya usaha konservasi bambu, baik di lokasi tumbuh alaminya (in-situ) maupun di luar lokasi pertumbuhannya (ex-situ) (Widjaja 2001).

Pemerintah telah menyiapkan strategi dan rancang tindak untuk melindungi dan melestarikan potensi serta fungsi keanekaragaman hayati bambu dan jasa lingkungan yang tersedia secara berkelanjutan (Untung et al. 1998). Upaya mendorong program pengelolaan bambu dengan menjamin keseimbangan antara pelestarian keanekaragaman hayati bambu dan pemanfaatannya secara

in-situ dan ex-in-situ. Pelestarian bambu dilakukan melalui kegiatan penanaman di

hutan alam dan kebun koleksi untuk mempertahankan keberadaan berbagai jenis bambu baik yang endemik maupun yang eksotik dengan semua sumber genetiknya.

Salah satu konsep mengenai pengelolaan konservasi jangka panjang disampaikan oleh Zuhud (2008) yaitu konsep tri stimulus AMAR konservasi. Konsep tristimulus AMAR konservasi terdiri dari tiga nilai yang menstimulus seseorang atau suatu pihak untuk melakukan upaya konservasi. Tiga nilai tersebut adalah nilai Alamiah, nilai MAnfaat, dan nilai Rela-religius. Stimulus alamiah didefinisikan nilai-nilai kebenaran alam, fakta-fakta, fenomena-fenomena dan sinyal-sinyal alam yang harus disikapi serta diperlakukan sesuai dengan karakter setiap spesies sumberdaya alam hayati. Stimulus MAnfaat diartikan nilai-nilai kepentingan untuk manusia, terutama berguna bagi keberlanjutan hidup fisiologis manusia, diantaranya manfaat ekonomi, sandang, obat dan sebagainya. Adapun stimulus Rela-religius bermakna nilai-nilai kebaikan terutama yang ganjarannya dipercaya dan diyakini anugerah dari Sang Pencipta Alam. Stimulus ini antara lain: nilai spiritual, nilai agama yang universal, dosa, pahala, norma, etika, termasuk kearifan sosial budaya masyarakat tradisional. Stimulus ini mampu mendorong masyarakat untuk rela berkorban melakukan aksi konservasi dan mencegah aksi yang bertentangan dengan konservasi. Konservasi akan terwujud dengan syarat apabila ketiga kelompok stimulus sudah mengkristal menjadi pendorong sikap dan aksi masyarakat untuk konservasi.

Tri Stimulus AMAR Konservasi Bambu untuk Angklung

Dalam konteks sistem nilai, terdapat tiga kelompok stimulus pro konservasi, yaitu

Alamiah, MAnfaat, dan Religius-rela yang merupakan kristalisasi dari nilai kebenaran, kepentingan, dan kebaikan (Zuhud 2011). Kristalisasi tersebut

menjadi penggerak, penyeimbang, dan pengendali terwujudnya sikap dan perilaku untuk aksi konservasi yang berkelanjutan secara konkret. Gambar berikut

(30)

menunjukkan diagram alir tiga kelompok stimulus sebgai pendorong sikap pro-konservasi masyarakat.

Gambar 3 Diagram alir „tri stimulus amar pro-konservasi”: stimulus, sikap, dan perilaku aksi konservasi (Zuhud, et al 2007)

Bio-Ekologi Bambu (Stimulus Alamiah) Morfologi Bambu

Bambu merupakan tumbuhan dengan batang berbentuk buluh, beruas, bercabang dan berimpang (Alamendah 2011). Bambu telah menjadi penghuni bumi sejak 200.000.000 tahun yang silam. Jumlah jenis bambu yang ada di seluruh dunia belum diketahui secara pasti. Menurut Widjaja (2001a) ada 1.200-1.300 jenis bambu ada di dunia. Dari jumlah tersebut, ada 160 jenis bambu yang tumbuh di Indonesia (Fathony 2011). Di Pulau Jawa diperkirakan hanya ada 60 jenis, 14 jenis diantaranya hanya tumbuh di Kebun Raya Bogor dan Cibodas sedangkan 9 jenis merupakan endemik pulau Jawa (Widjaja 2001b).

Bambu menjadi bagian dari kehidupan dan budaya bangsa Asia (Wong, 2004). Bagi para botanist, keanekaragaman bambu menjadi sumber penelitian yang mengagumkan,sedangkan fokus perhatian agronom yaitu membudidayakan bambu, bagi pengelola sumber daya memastikan bambu dilestarikan dan diketahui dengan baik, sedangkan keberadaan dan kelimpahan bambu menjadi fokus perhatian para rimbawan. Bambu adalah salah satu jenis tumbuhan yang cepat

Tri-Stimulus Amar Prokonservasi 1. Stimulus Alamiah

Nilai-nilai kebenaran dari alam, kebutuhan keberlanjutan sumber daya alam hayati sesuai dengan karakter biologisnya (jenis, morfologi, habitat, usia, pola pemanenan, proses pengawetan bambu)

2. Stimulus Manfaat

Nilai-nilai kepentingan untuk manusia: manfaat ekonomi, manfaat sosial, budaya, ekologis

(angklung, bahan bangunan, rebung, kertas)

3. Stimulus Religius-rela

Nilai-nilai religius, kebaikan, nilai spiritual, kearifan budaya, kepuasan batin Sikap Konservasi Cognitive Persepsi, pengetahuan, pengalaman, pandangan, keyakinan Affective Emosi, cinta Overt action Kecenderungan bertindak Perilaku Pro Konservasi Konservasi terwujud di dunia nyata

(31)

tumbuh dan dapat mencapai ketinggian maksimum 30 meter dalam waktu 2-4 bulan dengan rata-rata pertumbuhan harian sekitar 20-100 cm dan diameter 5-15 cm (Bamboo the Giant Grass 1991; Ueda (1960) dalam Jonkhart 2011). Dalam beberapa bulan, batang bambu mampu mencapai pertumbuhan maksimal. Rata-rata waktu pertumbuhan bambu untuk mencapai usia dewasa sekitar 3-6 tahun (Xingcui 2011).

Bambu memiliki batang yang tumbuh di dalam tanah yang disebut rimpang (rhizome) dan buluh (culm) untuk bagian rimpang yang tumbuh ke atas membentuk rebung (Widjaja 2001; Wong 2004). Rimpang membentuk sistem percabangan yang dapat dipakai untuk membedakan kelompok bambu. Ada dua macam sistem percabangan rimpang yaitu pakimorf (dicirikan oleh rimpangnya yang simpodial), leptomorf (dicirikan oleh rimpangnya yang monopodial). Di Indonesia jenis-jenis bambu asli umumnya mempunyai sistem rimpang pakimorf, yang dicirikan oleh ruasnya yang pendek dengan leher yang pendek juga (Bamboo Terminology 1991).

Rebung merupakan bambu muda yang muncul dari permukaan dasar rumpun atau rizhom. Pada awalnya berbentuk tunas yang pertumbuhannya lambat dan dalam perkembangannya berbentuk kerucut yang merupakan bentuk permulaan dari perkembangan batang. Rebung muncul pada musim hujan yang laju pertumbuhannya sangat tergantung dari jenis bambunya (Bamboo Terminology 1991; Environmental Bamboo Foundation Holland1996). Rebung tumbuh dari kuncup akar rimpang di dalam tanah atau dari pangkal buluh tua. Rebung selalu ditutupi oleh pelepah buluh yang juga tumbuh memanjang mengikuti perpanjangan ruasnya (Widjaja 2001b).

Buluh berkembang dari rebung, tumbuh sangat cepat dan mencapai tinggi maksimum dalam beberapa minggu. Buluh terdiri atas ruas dan buku-buku. Selain berbeda dalam panjang buluhnya beberapa jenis tertentu mempunyai diameter buluh yang berbeda. Marga Dendrocalamus mempunyai diameter buluh tebesar diikuti oleh jenis-jenis dari marga Gigantochloa dan Bambusa (Widjaja 2001). Buluh memiliki pelepah yang merupakan hasil modifikasi daun yang menempel pada setiap ruas. Pelepah buluh sangat penting fungsinya yaitu menutupi buluh ketika muda. Saat buluh tumbuh dewasa dan tinggi pada beberapa jenis bambu pelepahnya luruh tetapi jenis lain pelepahnya tetap menempel (Widjaja 2001). Pelepah buluh terdiri atas daun pelepah buluh, kuping pelepah buluh dan ligula (sambungan antara pelepah buluh).

Batang bambu terdiri atas tiga bagian yaitu kulit, kayu dan bagian empulur. Kulit bambu adalah bagian terluar dari penampang lintang dinding batang, empulur adalah bagian batang yang berdekatan dengan rongga bambu yang tidak mengandung ikatan vaskular. Bagian kayu pada bambu adalah bagian diantara kulit dan empulur (Widjaya 2001b).

Percabangan pada umumnya terdapat di atas buku-buku. Cabang dapat digunakan sebagai ciri penting untuk membedakan marga bambu. Pada marga

Bambusa, Dendrocalamus dan Gigantochloa sistem percabangan memiliki satu

cabang yang lebih besar daripada cabang lainnya yang lebih kecil. Cabang lateral bambu yang tumbuh pada batang utama, biasanya berkembang ketika buluh mencapai tinggi maksimum.

Daun pada tanaman bambu diasumsikan dalam dua bentuk dengan fungsi berbeda. Daun yang berwarna hijau dan berperan dalam fotosintesis dan selubung

(32)

daun (culm sheaths) yang berfungsi membungkus ruas batang yang masih muda dan umumnya akan berubah warna dari hijau menjadi coklat kekuningan (Bamboo Terminology 1991; Wong 2004). Helai daun bambu mempunyai tipe pertulangan yang sejajar seperti rumput, dan setiap daun mempunyai tulang daun utama yang menonjol. Daunnya biasanya lebar, tetapi ada juga yang kecil dan sempit seperti pada bambu cendani (Bambusa multiplex) dan bambu siam (Thyrsostachys siamensis). Helai daun dihubungkan dengan pelepah oleh tangkai daun.

Siklus Hidup Bambu

Bambu mampu tumbuh di cuaca yang panas seperti di Kepulauan Nusa Tenggara hingga iklim yang bercurah hujan tinggi seperti Bandung (Sulthoni, 1994). Semakin tinggi curah hujan, semakin beragam jenis bambu yang tumbuh. Bambu juga mampu tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 2.000 m dpl. Bahkan bambu dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah (Sutiyono2006).

Siklus hidup tanaman bambu dimulai seperti tanaman lain, bertunas dari biji dan mengeluarkan pucuk pertamanya untuk membentuk suatu batang. Seperti kebanyakan rerumputan, bambu tumbuh dan berbunga, menghasilkan biji dan mati. Cabang tunas ini nantinya akan membantuk akar dan menghasilkan rizoma dan batang bambu baru. Batang bambu memiliki rongga dan dibatasi oleh node (buku) tempat tumbuhnya ranting dan daun bambu. Batang tersebut mengeluarkan daun untuk memulai proses fotosintesis. Batang pertama dari suatu rumpun ukurannya dibatasi oleh kapasitas fotosintesis dari rumpun baru. Pada proses fotosintesis ini, batang-batang yang lebih kecil hingga yang sudah cukup besar membantu batang-batang yang baru mencapai ketinggian maksimal (Sutiyono 2006).

Pola Pertumbuhan Bambu

Bambu secara umum dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok menyebar (running) dan merumpun (clumping). Jenis yang merumpun (clumping) menyebarkan tunas – tunas barunya dekat dengan tangkainya (culm), sementara kelompok yang menyebar (running) menyebarkan tunasnya sejauh 30 meter dari tangkainya (culm), biasanya sejauh tingginya batang. Kebanyakan spesies tropis seperti yang ditemukan di Indonesia adalah kelompok yang merumpun (clumping), sementara kelompok yang menyebar (running) hanya terbatas di daerah yang lebih dingin seperti di Cina (Sutarno 1996 dalam Erizal 1997).

Penanaman Bambu

Bambu dapat tumbuh melalui biji, pemotongan atau pembagian rumpun. Karena bambu sangat jarang berbunga, biasanya dikembangbiakkan secara vegetatif dan kultur jaringan. Bambu jenis menjalar, biasanya dikembangkan dengan potongan rizomanya. Sedangkan bambu rumpun biasanya dikembangbiakkan dengan potongan batang bambu yang menyertakan ruas yang memiliki bakal tunas. Spesies bambu mempunyai waktu yang lama untuk berbunga dan susah bertunas dari biji (tingkat pertumbuhan hanya dibawah 1%). Jenis tanaman bambu yang kecil (diameter < 5 cm) ditanam dengan memisahkan rumpun sedangkan jenis yang lebih besar (> 15 cm) dengan metode pemotongan.

(33)

Cara yang paling umum dalam penyebaran spesies bambu besar adalah dengan memotong dan dikubur (burying cuttings) secara horizontal, dimana 3 atau 4 bongkol bambu dengan panjang sekitar 6 inci dikubur dibawah tanah pada permulaan musim hujan. Lubang – lubang dipotong ditengah antara bongkol, dan setiap segmen diisi dengan air sebelum dikubur. Tunas-tunas baru kemudian akan terbentuk dari setiap tangkal bongkol (nodal joints) (Sutiyono 2006).

Jenis dan Karakteristik Bambu untuk Angklung

Bambu yang dipergunakan sebagai bahan baku angklung sebagai berikut :  Bambu Gombong(G. Pseudoarundinacea)

Bambu Hitam atau Awi Hideung(G. Atroviolacea) Bambu Temen atau Awi Temen(G. Atter)

Bambu Tali atau Awi Tali(G. Apus)

Keempat jenis bambu tersebut merupakan bambu yang paling baik sebagai bahan baku angklung karena keempat bambu tersebut memiliki pola distribusi serabut yang lebih merata. Kelemahan bambu antara lain :

a. Elastisitas bambu/sifat menyusut dan mengembang

Pengaruh cuaca atau iklim setempat dapat menyebabkan perubahan nada yang telah terbentuk pada Angklung. Nada yang dihasilkan dapat menjadi lebih tinggi apabila bambu mengerut dan menjadi rendah apabila bambu mengembang. Besar kecilnya elastisitas bambu tergantung kepada kepadatan bambu yang bersangkutan. Apabila bambu itu kurang padat, maka elastisitasnya akan menjadi lebih besar dan mudah sekali berubah karena pengaruh iklim. Namun jika bambu memiliki distribusi serat yang cukup padat, maka elastisitasnya akan kecil Perubahan elastisitas dapat diperbaiki dengan melakukan penyeteman kembali. b. Bambu menjadi retak/pecah karena perubahan iklim yang drastis

Perubahan suhu berpengaruh terhadap kerusakan bambu. Bambu akan mudah retak bahkan pecah jika berada pada suhu lingkungan yang tinggi. Sedangkan pada suhu yang dingin, bambu akan mengerut sehingga mempengaruhi nada yang telah ditala.

c. Bambu menjadi hancur karena dimakan organism perusak

Rayap adalah hama alami dari segala jenis tumbuhan bambu. Rayap memakan zat selulosa yang terdapat pada bambu. Rayap menyerang bagian kulit dalam dan kulit luar bambu. Rayap yang menyerang bambu dapat berasal dari larva yang terdapat di dalam bambu ataupun rayap yang berasal dari luar. Hama yang menyerang bambu adalah serangga bubuk kering dan rayap kayu kering (Nandika et al. 1994). Penanganan rayap secara alami adalah dengan cara menghilangkan/mengurangi kandungan zat selulosa yang terdapat didalam bambu. Proses pengasapan dan perendaman pada sungai yang memiliki arus yang deras merupakan cara yang diyakini dapat mengurangi kandungan zat selulosa yang terdapat pada bambu. Dengan perkembangan teknologi, beragam obat anti rayap diyakini dapat membunuh rayap dengan efektif.

Bambu Hitam (G. atroviolacea)

Bambu Hitam umum dikenal dengan pring wulung (Jawa), awi hideung (Sunda). Sinonim dari G. verticillata tersebar hanya di Pulau Jawa, namun telah

(34)

diintroduksi dibeberapa tempat di luar Jawa. Habitat bambu hitam di daerah kering dan tanah berkapur (Widjaja 2001).

Ciri Bambu Hitam memiliki batang berwarna hitam sampai hitam keunguan seperti yang terlihat pada gambar 4. Di beberapa tempat juga sering dijumpai warna hitam/ ungunya agak bercampur dengan hijau. Ruas-ruas sedikit membengkok pada buku. Percabangan dimulai dari buku bagian tengah sampai ujung, terdapat akar-akar aereal di buku-buku bagian bawah. Tinggi batang dapat mencapai 12 meter dengan diameter 11 cm. Deskripsi klasifikasi Bambu Hitam adalah sebagai berikut:

kingdom : Plantae (Tumbuhan).

subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) super divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil) sub kelas : Commelinidae

ordo : Poales

famili : Poaceae (suku rumput-rumputan) genus : Gigantochloa

spesies : Gigantochloa atroviolacea

Gambar 4 Bambu Hitam (G. atroviolaceae) (Sumber :Gigantochloa

(35)

Bambu Temen (G. atter)

Sinonim dari Bambusathouarsii Kunth memiliki nama lokal awi temen (Sunda) atau pring Legi (Jawa). Bambu Temen atau Ater tumbuh tersebar di Jawa dan daerah lain di Indonesia. Bambu Temen tumbuh baik di habitat dengan kondisi yang lembab, namun masih dapat tumbuh di dataran rendah maupun dataran tinggi.

Gambar 5 Bambu Temen (Sumber: Gigantochloa Awi Temen 1991)

Rebung berwarna hijau dan tertutup oleh bulu hitam seperti tersaji pada Gambar 5. Umumnya digunakan untuk membuat angklung calung. Selain sebagai alat musik bambu, bambu temen juga digunakan untuk membuat sumpit, tusuk gigi dan tiang penyangga pada rumah bambu (Widjaja 2001). Klasifikasi dari Bambu Temen sebagai berikut:

kingdom : Plantae (Tumbuhan)

subkingdom :Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) super divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil) sub kelas : Commelinidae

ordo : Poales

famili : Poaceae (suku rumput-rumputan) genus : Gigantochloa

spesies : Gigantochloa atter Bambu Tali (G. apus)

Bambu Tali (Gambar 6) atau umum dikenal dengan pring apus (Jawa) atau awi tali (Sunda) tumbuh di seluruh Jawa, namun tumbuh meliar di Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Meru Betiri (Widjaya 1990). Kegunaan Bambu Tali untuk kerajinan tangan, bahan baku industri papan serat serta kesenian angklung. Klasifikasi dari Bambu Tali sebagai berikut :

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) super divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)

(36)

divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil) sub kelas : Commelinidae

ordo : Poales

famili : Poaceae (suku rumput-rumputan) genus : Gigantochloa

spesies : Gigantochloa apus

Gambar 6 Bambu Tali (Sumber:Gigantochloa apus 1991) Bambu Gombong (G. pseudoarundinacea)

Bambu Gombong (G. pseudoarundinacea) adalah salah satu jenis bambu yang banyak terdapat di Indonesia. Bambu Gombong berukuran besar berwarna hijau kekuningan hingga hiijau muda, diameter rata-rata adalah 12 cm, tetapi ukurannya bisa mencapai lebih besar dari itu. Ukurannya yang besar menjadikannya sebagai bambu yang paling banyak dipergunakan sebagai “tiang” pada konstruksi rumah, saung, bangsal dan lain-lain bangunan dengan komponen utama bambu. Tinggi Gombong rata-rata adalah 12 meter dan bisa lebih dari itu, tergantung usia dan kesuburan tanaman.

Klasifikasi dari Bambu Gombong (G. pseudoarundinacea) sebagai berikut:

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) super divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil) sub kelas : Commelinidae

ordo : Poales

famili : Poaceae (suku rumput-rumputan) genus : Gigantochloa

(37)

Gambar 7 Morfologi Rebung Bambu Gombong(G. pseudoarundinacea) (sumber: Gigantochloa pseudoarundinacea 1991)

Rebung bambu Gombong berwarna coklat karena diselimuti oleh bulu (Gambar 6), tinggi bambu gombong mencapai 7-30 m (batang berbulu tebal dan tebal dinding batang hingga 2 cm), jarak buku hingga 40- 45 cm (Gigantochloa

pseudoarundinacea (Steudel) Widjaja 2010).

Bambu Gombong tumbuh di habitat tanah liat berpasir/tanah berpasir dengan ketinggian hingga 1200 m di atas permukaan laut dengan curah hujan per tahun 2350-4200 mm, temperatur 20-32 derajat C dengan tingkat kelembaban relatif sekitar 70% (Gambar 8).

Gambar 8 Bambu Gombong (G. pseudoarundinacea) (Sumber:

(38)

Pemanfaatan Bambu sebagai Bahan Baku Angklung

Ditinjau dari segi pemanfaatannya, bambu dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan baik langsung maupun tidak langsung yang secara keseluruhan mencerminkan tingkat variasi yang cukup tinggi (Nuriyatin, 2000). Akar bambu dimanfaatkan menjadi ukiran, buluh bambu digunakan sebagai bahan bangunan, jembatan, kerajinan tangan, keranjang, meubel, alat pertanian, pipa air, kertas, sumpit, tusuk gigi hingga tusuk sate (Widjaja, 2001b). Masyarakat di Indonesia mempergunakan bambu untuk konstruksi, perabotan, bahan baku kertas, obat-obatan, tanaman penghijauan hingga alat musik.

Menurut Prosea (1995) dalam Nuriyatin (2000), jenis bambu yang cocok dipergunakan untuk kepentingan peralatan musik terutama angklung adalah Bambu Hitam (G. atroviolaceae/G. verticillata), Bambu Temen (G. atter), Bambu Tali (G.apus), Bambu Gombong (G. pseudoarundinaceae), dan Bambu Mayan (G. robusta/G. verticillata). Tidak semua jenis bambu dapat dipergunakan sebagai bahan baku angklung. Hal ini disebabkan potensi/sifat-sifat dasar yang dimiliki setiap jenis bambu berbeda. Sifat-sifat yang menentukan kegunaan bambu sebagai angklung didasarkan pada sifat anatomi dan fisik dari bambu tersebut.

Sifat fisik meliputi kadar air, berat jenis, susut lebar, susut tebal. Sedangkan sifat anatomi didasarkan pada dimensi pori, tipe dan distribusi ikatan vaskuler, dan panjang serabut (Tabel 1). Hal ini diperkuat dengan penelitian Nuriyatin (2000) yang menyebutkan bahwa hasil pengolahan data ketiga bambu dengan menggunakan metode Kruskal-Walis memberikan hasil bahwa bambu Hitam (G. atroviolaceae Widjaja/G. verticillata) memiliki kualitas suara terbaik, sedangkan bambu Tali (G. apus) menempati urutan kedua, dan bambu Temen (G.

atter) menempati urutan terakhir. Ketiga jenis bambu tersebut merupakan bambu

yang cocok sebagai bahan baku angklung karena memiliki pola distribusi serabut yang lebih merata dibandingkan dengan bambu lain.

Bambu Hitam (G. atroviolaceae Widjaja/G. verticillata (Willd.) Munro) memiliki ketebalan yang relatif lebih tipis dibanding dua jenis bambu yang lain. Bambu Hitam (G. atroviolaceae/G. verticillata) juga memiliki kerapatan yang tinggi dan ukuran serabut yang relatif lebih besar dibanding bambu lain. Hal ini berdampak terhadap kualitas suara yang dihasilkan oleh Bambu Hitam yang lebih nyaring.

Tabel 1 Perbedaan sifat Bambu Hitam (G. atroviolacea), Bambu Temen (G.

Atter), Bambu Tali (G. apus), Bambu Gombong (G. peudoarundinacea)

Sifat Bambu Bambu Hitam Bambu Temen

Bambu Tali& Bambu Gombong

Berat jenis 0,5 0,45 0.47

Kadar air kering udara 12,45 % 12,40 % 12, 38%

% Serabut 35 18 25

Pola penyebaran kepadatan bahan (luar, tengah, dalam)

Seragam Bagian luar dan tengah seragam, sedangkan bagian dalam lebih padat

Seragam

(39)

Alat Kesenian Angklung (Stimulus Manfaat) Sejarah Perkembangan Angklung

Angklung adalah alat musik populer dari Jawa Barat. Tabung Suara, kerangka dan dasar adalah tiga elemen dari alat musik Angklung. Secara etimologis, Angklung berasal dari kata “angka” yang berarti nada dan “lung” yang berarti putus atau hilang sehingga Angklung merujuk nada yang pecah atau nada yang tidak lengkap sehingga memerlukan grup untuk dapat memainkan sebuah lagu dengan angklung (Ganjar 2003).

Angklung dalam bentuk yang masih sederhana sudah dikenal masyarakat Sunda sejak masa kerajaan. Angklung digunakan sebagai penyemangat dalam pertempuran. Mitos kepercayaan keberadaan Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Kehidupan dianggap sebagai sejarah terciptanya angklung. Adanya bukti tertulis pada tahun 1908, menunjukkan bahwa permainan angklung menjadi bagian dari misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand(Sejarah Angklung 2012)

Ada beragam jenis angklung yang ada di Indonesia. Masyarakat Sunda mengenal angklung Buncis yang digunakan dalam ritual penghormatan Dewi Padi atau Nyai Pohaci seperti pada gambar 9. Masyarakat Baduy mengenal Angklung Buhun atau lebih dikenal dengan angklung Kanekes. Kanekes merupakan desa dimana upacara tradisonal dengan memainkan angklung dilaksanakan. Angklung Dogdog Lonjor terdapat di daerah Sekitar Gunung Halimun Salak. Angklung ini dimainkan setiap upacara seren tahun oleh masyarakat kasepuhan (Sejarah Angklung 2012).

Gambar 9 Angklung Buncis (Sejarah Angklung 2012) Filosofi Angklung

Angklung Gubrag yang dibuat di Jasingan Bogor merupakan angklung tertua di Indonesia berusia 400 tahun. Menurut sejarah, Angklung Gubrag digunakan untuk memikat Dewi Sri turun dari langit (bahasa Sunda = ngagubrag) agar memberi berkah kesuburan pada padi. Karena itulah angklung ini dinamakan Angklung Gubrag. Angklung ini dibuat pada abad ke-17 di Jasinga, Bogor. Pada saat ini, beberapa angklung dari zaman dahulu masih tersimpan di Museum Sri Baduga, Bandung.

Di perbatasan Cirebon dan Indramayu, tepatnya di Desa Bungko, terdapat angklung yang diberi nama angklung Bungko. Angklung Bungko diyakini telah

(40)

berusia 600 tahun dan masih terawat dan dipelihara meskipun tidak lagi digunakan. Angklung Bungko diciptakan oleh Syeh Bentong atau Ki Gede Bungko, yaitu seorang pemimpin agama yang menggunakannya sebagai media penyebaran agama Islam (Sejarah Angklung 2012)

Angklung merupakan manifestasi bahwa manusia sebagai makhluk sosial harus bersosialisasi. Permainan angklung juga mengajarkan angklung akan menghasilkan suara indah jika digerakkan bersama-sama. Bagian angklung yang terdiri dari satu tabung tinggi dan satu tabung rendah merupakan metamorfosis kehidupan manusia yang tumbuh dan berkembang. Kedua bagian tabung juga mencirikan bahwa untuk menciptakan harmonisasi, kedua tabung harus dibunyikan beriringan seperti halnya dengan manusia yang memerlukan kerja sama dan saling mendukung untuk menciptakan kehidupan yang harmonis (anneahira 2000; the marketers 2013).

Jenis-Jenis Angklung

Jenis angklung ada dua macam angklung yaitu angklung yang bertangga nada pentatonik, dan angklung yang bertangga nada diatonik (Supardiman 2007). Kedua jenis angklung tersebut sekaligus menunjukkan perbedaan bentuk dan fungsinya. Angklung pentatonik adalah angklung tradisional, biasanya terdiri atas dua atau tiga buah ruas (tabung) yang disusun/disatukan berjajar. Masing-masing tabung mempunyai ketinggian sendiri dan berdiri pada lubang tabung bambu bagian bawah, kemudian dikuatkan oleh dua buah tiang di kiri-kanan dan palang yang menusuk bagian atas tabung.

Untuk memperkokohnya, pertemuan antara tiang dan palang diikat oleh tali dari rotan. Ujung tiangnya ada yang berupa palang yang diratakan, dan ada juga yang dilengkungkan disertai hiasan rumbai dari daun pelah. Jika angklung itu memiliki dua tabung, maka tabung yang satu bernada lebih tinggi dan satunya lebih rendah. Misalnya, tabung yang satu itu bernada a, maka tabung kedua bernada a 1(oktav). Tabung yang lebih tinggi bernada tinggi, dan sebaliknya.

Angklung yang tersebar di berbagai wilayah Jawa Barat mempunyai latar belakang dan fungsinya masing-masing. Oleh karena itu dikenal banyak sebutan angklung, seperti angklung sered, angklung gubrag, angklung badeng, angklung

bungko, angklung buncis, angklung badud (Ganjar Kurnia 2003).

Angklung diatonik adalah angklung hasil modifikasi dari angklung tradisional. Pemrakarsanya adalah Daeng Sutigna. Pada tahun 1938, Daeng Soetigna, seorang guru Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat melakukan modernisasi Angklung dari yang berskala tangga nada pentatonis menjadi Angklung kompleks yang berskala tangga nada diatonis. Angklung ini kemudian dikenal dengan nama Angklung Daeng atau biasa disebut Angklung Padaeng dengan tangga nadanya mengacu pada tangga nada musik Barat yaitu do, re, mi, fa, so, la, ti (Sejarah Angklung 2012).

Perbedaan Angklung tradisional dengan Angklung Daeng terdapat pada skala tangga nada dan cara memainkannya. Angklung tradisional merupakan Angklung renteng yang dimainkan oleh seorang pemain saja, sedangkan Angklung Daeng dibuat untuk dimainkan bersama, di mana setiap pemain memainkan hanya satu nada saja. Angklung Daeng lebih dikenal oleh masyarakat dan identik dengan angklung nasional. (SejarahAngklung 2012).

(41)

3 METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan di Saung Angklung Udjo, Jalan Padasuka 116, Bandung. Waktu penelitian dilakukan selama empat bulan yaitu mulai bulan Februari-Mei 2012. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 10 di bawah ini.

Gambar 10 Lokasi Penelitian(Visit Us, 2012)

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: alat tulis, kamera, panduan wawancara, Panduan Identifikasi Bambu di Indonesia yang berupa Buku “Identikit jenis-jenis Bambu di Jawa” oleh Widjaja.

Metode Penelitian

Penelitian menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan perencanaan interpretasi. Perencanaan interpretasi tersebut terdiri dari beberapa tahap yaitu inventarisasi atau pengumpulan data, analisis data, sintesis dan penetapan rencana interpretasi (Sharpe 1982).

(42)

Inventarisasi Data

Inventarisasi data dilakukan dengan mengumpulkan data yang berupa data primer dan data sekunder.

Jenis Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah seluruh data yang diperoleh dari kegiatan pemeriksaan (verifikasi), pengamatan di lapangan dan wawancara. Data sekunder meliputi seluruh informasi yang berhubungan dengan penelitian yang berasal dari studi literatur. Data primer yang diambil berupa data mengenai jenis dan karakteristik bambu sebagai bahan baku angklung, proses pemanfaatan bambu menjadi angklung, keterlibatan pengelola terkait pengelolaan dan pelestarian bambu, pemahaman pengunjung mengenai jenis, proses pemanfaatan bambu serta upaya pelestarian bambu sebagai bahan baku angklung. sedangkan data sekunder berupa data kondisi umum Saung Angklung Udjo sebagai lokasi penelitian. Secara lengkap, data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini tersaji pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Jenis data penelitian No. Kelompok Data Bentuk Data

Jenis Data Metode Pengumpulan

Data Primer Sekunder

1. Kondisi umum lokasi penelitian

 Letak dan luas  Sejarah dan status  Aksesbilitas x x x Studi Literatur 2. Bioekologi Bambu (Stimulus Alamiah)  Jenis bambu  Habitat bambu

 Karakteristik fisik & biologis bambu (bagian bambu yang digunakan, sifat anatomi, fisik, mekanik)  Asal bambu x x x x x x x x Observasi, Wawancara dan Studi Literatur 3. Pemanfaatan bambu sebagai bahan baku angklung ( Stimulus Manfaat)  Produksi bambu

 Pemanenan (umur, proses)  Pengolahan  Budidaya x x x x x x x x Observasi, Wawancara dan Studi Literatur 4. Persepsi Masyarakat terhadap pelestarian bambu Pengelola  Visi Misi

 Program interpretasi yang sudah ada

 Program wisata yang terkait dengan bambu

 Sarana dan prasarana, obyek yang menarik

 Upaya pelestarian bambu  Upaya mengajak keterlibatan

pengunjung Pengunjung x x x x x x x x x x x x Wawancara dan Studi Literatur

(43)

No. Kelompok Data Bentuk Data

Jenis Data Metode Pengumpulan

Data Primer Sekunder

 Tujuan berkunjung  Preferensi program wisata  Pemahaman mengenai

angklung

 Pemahaman terhadap bambu  Pemahaman konservasi

lingkungan

 Kesediaan terlibat dalam program konservasi x x x x x

Metode Inventarisasi Data

Inventarisasi atau pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan 3 prosedur pengumpulan data yaitu studi literatur, pemeriksaan (verifikasi) dan observasi, dan wawancara. Data primer diperoleh dari observasi dan wawancara yang dilakukan kepada pihak pengelola Saung Angklung Udjo dan pengunjung, sedangkan data sekunder diperoleh dari studi literatur.

Studi Literatur

Studi literatur dilakukan untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian yang berupa informasi mengenai lokasi, visi dan misi Saung Angklung Udjo, Rencana Pengelolaan, peta, aksesbilitas, data jumlah pengunjung, sarana dan prasarana interpretasi, aspek sejarah kawasan.

Pemeriksaan (verifikasi) dan Observasi

Metode ini bertujuan untuk memeriksa kesesuaian antara data sekunder dengan kondisi dilapangan sekaligus mengamati dan mencatat segala sesuatu yang dapat dipergunakan dalam penyusunan skenario interpretasi. Kegiatan pemeriksanaan dan pengamatan langsung yang dilakukan yaitu verifikasi sarana dan prasarana interpretasi alam, verifikasi obyek yang menarik, dan program interpretasi yang sudah ada serta pengambilan dokumentasi (foto) sarana dan prasarana dan program yang sedang berjalan.

Observasi lapangan merupakan pengumpulan data primer dengan mengamati ciri bambu yang dijadikan bahan baku angklung, mengidentifikasi jenis bambu sebagai bahan baku angklung, mengamati proses pengolahan bambu menjadi angklung serta program wisata di Saung Angklung Udjo.

Wawancara

Wawancara dilakukan secara terstruktur dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang telah disusun sebelumnya, kepada pihak pengelola dan pekerja Saung Angklung Udjo dan pengunjung. Dalam penelitian ini, responden akan dipilih secara purposive sampling, yaitu menyesuaikan dengan tujuan penelitian, kemampuan biaya dan waktu yang dimiliki oleh peneliti (Kusmayadi 2004 dalam Heriyaningtyas et al 2009). Dalam melakukan wawancara kepada pengunjung Saung Angklung Udjo (SAU), langkah pertama adalah menentukan strata pengunjung menurut kelompok umur yaitu anak-anak, remaja, dewasa, usia lanjut

Gambar

Gambar 1 KerangkaTeori Penelitian
Gambar 3   Diagram alir „tri stimulus amar pro-konservasi”: stimulus, sikap, dan  perilaku aksi konservasi (Zuhud, et al 2007)
Gambar 4  Bambu Hitam (G. atroviolaceae) (Sumber :Gigantochloa  atroviolaceae 1991)
Gambar 5 Bambu Temen (Sumber: Gigantochloa Awi Temen 1991)
+7

Referensi

Dokumen terkait

model yang dapat diterapkan pada mata pelajaran akuntansi terutama pada materi. jurnal umum, karena dapat memberikan pengalaman kepada siswa

Kepatuhan Pasien Skizofrenia Paranoid Rawat Jalan Dalam Penggunaan Obat Antipsikotik Di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Daerah Provinsi Sumatera Utara.Skripsi.. Medan: Fakultas

S: pasien mengatakan masih belum mampu melakukan perawatan diri setelah eliminasi dikarenakan kelemahan otot ekstremitas atas O:.. Pasien masih tidak mampu membersihkan

Dengan demikian dari penjelasan ke delapan golongan yang berhak menerima zakat yaitu fakir miskin dalam konteks pada masa sekarang yaitu orang yang tidak memiliki kehidupan

Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Pengalaman Audit, Due Professional Care, dan Motivasi Auditor

Inti dari kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan Inti dari kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda melalui pemikiran kreatif

Jumlah jari-jari lingkaran kepala dari sepasang rodagigi yang berkontak dikurangi dengan jarak poros..

Mewujudkan fasilitas akomodasi yang nyaman berupa hotel resort di Bukit Patuk Gunungkidul Yogyakarta, sebagai tempat beristirahat sambil rekreasi dan mendapat