• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pencapaian kinerja yang optimal sesuai dengan potensi yang dimiliki seorang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pencapaian kinerja yang optimal sesuai dengan potensi yang dimiliki seorang"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kinerja

2.1.1. Definisi Kinerja

Pencapaian kinerja yang optimal sesuai dengan potensi yang dimiliki seorang karyawan merupakan hal yang selalu menjadi perhatian para pemimpin organisasi. Robbins (2002), menyatakan bahwa kinerja merupakan ukuran hasil kerja, yang hal ini menggambarkan sejauh mana aktivitas seseorang dalam melaksanakan tugas dan berusaha dalam mencapai tujuan yang ditetapkan.

Triffin dan MacCormick dalam Ilyas (2001), menyatakan bahwa kinerja individu berhubungan dengan individual variabel dan situational variabel. Perbedaan individu akan menghasilkan kinerja yang berbeda pula. Individual variabel adalah variabel yang berasal dari dalam diri individu yang bersangkutan, misalnya kemampuan, kepentingan, dan kebutuhan-kebutuhan tertentu. Sedangkan situational variable adalah variabel yang bersumber dari situasi pekerjaan yang lebih luas (lingkungan organisasi), misalnya pelaksanaan supervisi, karakteristik pekerjaan, hubungan dengan sekerja dan pemberian imbalan.

Menurut Simamora (2004), penilaian kinerja (performance appraisal) adalah prosesnya organisasi mengevaluasi pelaksanaan kerja individu. Penilaian kinerja memberikan mekanisme penting bagi manajemen untuk digunakan dalam menjelaskan tujuan-tujuan dan standar kinerja individu di waktu berikutnya.

(2)

2.1.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja

Menurut Gibson et al dalam Ilyas (2001), secara teoritis ada tiga kelompok variabel yang memengaruhi perilaku kerja dan kinerja yaitu : Variabel individu, variabel organisasi dan variabel psikologis. Ketiga kelompok variabel tersebut memengaruhi kelompok kerja yang pada akhirnya memengaruhi kinerja personel. Perilaku yang berhubungan dengan kinerja adalah yang berkaitan dengan tugas-tugas pekerjaan yang harus diselesaikan untuk mencapai sasaran tugas. Diagram skematis teori perilaku dan kinerja digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.1. Diagram Skematis Teori Perilaku dan Kinerja (Gibson et al dalam Ilyas, 2001)

Berdasarkan diagram di atas, maka dapat dijelaskan bahwa variabel individu dikelompokkan pada sub-variabel kemampuan dan keterampilan, latar belakang dan demografis. Sub-variabel kemampuan dan keterampilan merupakan faktor utama yang memengaruhi perilaku dan kinerja individu. Variabel demografis, mempunyai efek tidak langsung pada perilaku dan kinerja individu.

Variabel Individu • Kemampuan dan keterampilan : - mental - fisik • Latar belakang - keluarga - tingkat sosial - pengalaman • Demografis : - umur - etnis Perilaku Individu (apa yang dikerjakan)

Kinerja

(hasil yang diharapkan) Variabel Organisasi • Sumber daya • Kepemimpinan • Imbalan • Struktur • Desain pekerjaan Psikologis: • Persepsi • Sikap • Kepribadian • Belajar M ti i

(3)

Variabel psikologik terdiri dari sub-variabel persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Variabel ini banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial dan pengalaman kerja sebelumnya dan variabel demografis. Variabel psikologis seperti persepsi, sikap, kepribadian dan belajar merupakan hal yang komplek dan sulit untuk diukur, selain itu sukar mencapai kesepakatan tentang pengertian dari kerja pada usia, etnis, latar belakang budaya dan keterampilan berbeda satu dengan yang lainnya (Gibson et al dalam Ilyas, 2001).

Mangkunegara (2005) mengemukakan bahwa faktor yang memengaruhi kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation), seperti diuraikan di bawah ini :

a. Faktor Kemampuan (ability).

Karyawan yang memiliki pengetahuan yang memadai untuk jabatnnya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaannya sehari hari, maka ia lebih mudah untuk mencapai kinerja yang diharapkan.

b. Faktor Motivasi (motivation).

Motivasi terbentuk dari sikap karyawan dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi merupakan kondisi yang terarah untuk mencapai tujuan kerja atau organisasi.

2.1.3. Kinerja Perawat Pelaksana

Praktik keperawatan adalah tindakan mandiri perawat profesional melalui kerja sama berbentuk kolaborasi dengan klien dan tenaga kesehatan lain dalam

(4)

memberikan asuhan keperawatan atau sesuai dengan lingkungan wewenang dan tanggung jawabnya (Nursalam, 2007). Praktik keperawatan profesional mempunyai ciri-ciri : (a) Otonomi dalam bekerja, (b).Bertanggung jawab dan bertanggung gugat, (c) Pengambilan keputusan yang mandiri, (d) Kolaborasi dengan disiplin ilmu lain, (e) Pemberian Pembelaan (advocacy) dan (f) Memfasilitasi kepentingan pasien

Nursalam (2007), menyatakan bahwa dalam menilai kualitas pelayanan keperawatan kepada pasien (klien), digunakan standar praktik keperawatan yang merupakan pedoman bagi perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Standar praktik keperawatan telah dijabarkan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia yang mengacu dalam tahapan proses keperawatan, yang meliputi : (1) Pengkajian, (2) Diagnosis keperawatan, (3) Perencanan, (4) Implementasi, (5) Evaluasi.

1. Standar I : Pengkajian Keperawatan

Perawat mengumpulkan data tentang status kesehatan klien secara sistematis, menyeluruh, akurat, singkat dan berkesinambungan, meliputi:

a. Pengumpulan data dilakukan dengan cara anamnesis, observasi, pemeriksaan fisik, serta dari pemeriksaan penunjang.

b. Sumber data adalah klien, keluarga, atau orang yang terkait, tim kesehatan, rekam medis, dan catatan lain.

c. Data yang dikumpulkan, difokuskan untuk mengidentifikasi: (1) Status kesehatan klien masa lalu.

(2) Status kesehatan klien masa kini.

(5)

(4) Respons terhadap terapi.

(5) Harapan terhadap tingkat kesehatan yang optimal. (6) Risiko-risiko tinggi masalah.

d. Kelengkapan data dasar mengandung unsur LARB (Lengkap, Akurat, Relevan, dan Baru).

2. Standar II : Diagnosis Keperawatan

Perawat menganalisis data pengkajian untuk merumuskan diagnosis keperawatan. Kriteria proses :

(1) Proses diagnosis terdiri atas analisis, interpretasi data, identifikasi masalah klien, dan perumusan diagnosis keperawatan.

(2) Diagnosis keperawatan terdiri atas: masalah, penyebab, dan tanda atau gejala, atau terdiri atas masalah dan penyebab.

(3) Bekerjasama dengan klien, dan petugas kesehatan lain untuk memvalidasi diagnosis keperawatan.

(4) Melakukan pengkajian ulang, dan merevisi diagnosis berdasarkan data terbaru. 3. Standar III : Perencanaan Keperawatan

Perawat membuat rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah dan meningkatkan kesehatan klien, meliputi:

(1) Perencanaan terdiri atas penetapan prioritas masalah, tujuan, dan rencana tindakan keperawatan.

(2) Bekerjasama dengan klien dalam menyusun rencana tindakan keperawatan. (3) Perencanaan bersifat individual sesuai dengan kondisi atau kebutuhan klien.

(6)

(4) Mendokumentasi rencana keperawatan. 4. Standar IV : Implementasi

Perawat mengimplementasikan tindakan yang telah diidentifikasi dalam rencana asuhan keperawatan, meliputi:

(1) Bekerjasama dengan klien dalam pelaksanaan tindakan keperawatan. (2) Kolaborasi dengan tim kesehatan lain.

(3) Melakukan tindakan keperawatan untuk mengatasi kesehatan klien.

(4) Memberikan pendidikan pada klien dan keluarga mengenai konsep, keterampilan asuhan diri serta membantu klien memodifikasi lingkungan yang digunakan.

(5) Mengkaji ulang dan merevisi pelaksanaan tindakan keperawatan berdasarkan respons klien.

5. Standar V : Evaluasi Keperawatan

Perawat mengevaluasi kemajuan klien terhadap tindakan keperawatan dalam pencapaian tujuan, dan merevisi data dasar dan perencanaan, meliputi:

(1) Menyusun perencanaan evaluasi hasil dari intervensi secara komprehensif, tepat waktu, dan terus-menerus.

(2) Menggunakan data dasar dan respons klien dalam mengukur perkembangan ke arah percapaian tujuan.

(3) Memvalidasi dan menganalisis data baru dengan teman sejawat.

(4) Bekerjasama dengan klien keluarga untuk memodifikasi rencana asuhan keperawatan.

(7)

(5) Mendokumentasi hasil evaluasi dan memodifikasi perencanaan.

Dengan standar asuhan keperawatan tersebut, maka pelayanan keperawatan menjadi lebih terarah. Standar adalah pernyataan deskriptif mengenai tingkat penampilan yang diinginkan, kualitas struktur, proses, atau hasil yang dapat dinilai (Nursalam, 2007).

2.2. Perawat

Perawat merupakan salah satu sumber daya manusia di rumah sakit yang menentukan penilaian terhadap kualitas pelayanan kesehatan. Hal ini wajar mengingat perawat adalah bagian dari tenaga paramedik yang memberikan perawatan kepada pasien secara langsung. Sehingga pelayanan keperawatan prima secara psikologis merupakan sesuatu yang harus dimiliki dan dikuasai oleh perawat (Nursalam, 2002).

Perawat merupakan sub komponen dari sumber daya manusia khusus tenaga kesehatan yang ikut menentukan mutu pelayanan kesehatan pada unit pelayanan kesehatan. Keperawatan merupakan salah satu bentuk pelayanan yang menjadi bagian dari sistem pelayanan kesehatan. Dalam menjalankan pelayanan, perawat selalu mengadakan interaksi dengan pasien, keluarga, tim kesehatan dan lingkungannya dimana pelayanan tersebut dilaksanakan (Nursalam, 2002).

Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang paramedis, menyatakan bahwa profesi keperawatan merupakan profesi tersendiri yang setara dan sebagai mitra dari disiplin profesi kesehatan lainnya. Masyarakat dewasa ini sudah mulai memperhatikan pemberi jasa pelayanan kesehatan termasuk tenaga perawat yang

(8)

merupakan penghubung utama antara masyarakat dengan pihak pelayanan secara menyeluruh. Bahkan menurut Nash et.al yang dikutip oleh Nursalam (2007), melaporkan penelitian yang dilakukan oleh ANA (American Nurse’s Association) bahwa 60 % sampai 80 % pelayanan preventif yang semula dilakukan oleh dokter, sebenarnya dapat diberikan oleh perawat dengan kemampuan profesional dan menghasilkan kualitas pelayanan yang sama.

Berdasarkan uraian tentang paramedis dan pelayanan preventif, maka beban dan tanggung jawab yang harus dipikul oleh perawat maka sering menimbulkan permasalahan, karena perawat merupakan orang yang paling banyak berhubungan dengan pasien dibandingkan dengan petugas lain di rumah sakit, maka pelayanan perawat sangat diperlukan dalam memenuhi kepuasan pasien yang sedang dirawat di rumah sakit.

2.2.1. Definisi Perawat

Perawat adalah orang yang mengasuh, merawat dan melindungi, yang merawat orang sakit, luka dan usia lanjut (Nursalam, 2002). Perawat adalah karyawan rumah sakit yang mempunyai dua tugas yaitu merawat pasien dan mengatur bangsal (Hadjam, 2001). Menurut Depkes RI (2007), perawat adalah seorang yang telah dipersiapkan melalui pendidikan untuk turut serta merawat dan menyembuhkan orang yang sakit, usaha rehabilitasi, pencegahan penyakit, yang dilaksanakannya sendiri atau dibawah pengawasan dan supervisi dokter atau suster kepala.

(9)

Lokakarya Keperawatan Nasional dalam Hidayat (2004), mendefinisikan keperawatan sebagai suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif kepada individu, keluarga dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh siklus kehidupan manusia. Pelayanan keperawatan di sini adalah bagaimana perawat memberikan dukungan emosional kepada pasien dan memperlakukan pasien sebagai manusia.

Pada hakekatnya keperawatan merupakan suatu ilmu dan kiat, profesi yang berorientasi pada pelayanan, memiliki empat tingkatan klien (individu, keluarga, kelompok dan masyarakat) serta pelayanan yang mencakup seluruh rentang pelayanan kesehatan secara keseluruhan (Hidayat, 2004). Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa perawat adalah orang yang memberikan pelayanan dalam mengasuh, merawat dan menyembuhkan pasien.

2.2.2. Peran Perawat

Peran perawat merupakan tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai dengan kedudukan dan sistem, dimana dapat dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari profesi perawat maupun dari luar profesi keperawatan yang bersifat menetap.

Peran perawat menurut Hidayat (2004), terdiri dari : a. Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan

(10)

Peran ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan.

b. Peran sebagai advokat pasien

Peran ini dilakukan perawat dalam membantu pasien dan keluarganya dalam menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan atau informasi lain khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien. Juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang penyakitnya dan hak atas privasi.

c. Peran edukator

Peran ini dilakukan dengan membantu pasien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan, sehingga terjadi perubahan perilaku dari pasien setelah dilakukan pendidikan kesehatan. d. Peran koordinator

Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan kebutuhan pasien.

e. Peran kolaborator

Peran perawat di sini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi dan lain-lain dengan berupaya

(11)

mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya.

f. Peran konsultan

Di sini perawat berperan sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan pasien terhadap informasi tentang tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan.

g. Peran pembaharu

Peran ini dapat dilakukan dengan mengadakan perencanaan, kerja sama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan.

2.2.3. Fungsi Perawat

Berdasarkan lokakarya keperawatan nasional tahun 1983 dalam Hidayat (2004), disebutkan bahwa fungsi perawat adalah :

a. Mengkaji kebutuhan pasien, keluarga, kelompok dan masyarakat serta sumber yang tersedia dan potensial untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

b. Merencanakan tindakan keperawatan kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat berdasarkan diagnosis keperawatan.

c. Melaksanakan rencana keperawatan meliputi upaya peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan, pemulihan dan pemeliharaan kesehatan termasuk pelayanan pasien dan keadaan terminal.

(12)

e. Mendokumentasikan proses keperawatan.

f. Mengidentifikasi hal-hal yang perlu dipelajari serta merencanakan studi kasus guna meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan praktek keperawatan.

g. Berperan serta dalam melaksanakan penyuluhan kesehatan kepada pasien, keluarga, kelompok serta masyarakat.

h. Bekerja sama dengan disiplin ilmu terkait dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien, keluarga, kelompok dan masyarakat.

i. Mengelola perawatan pasien dan berperan sebagai ketua tim dalam melaksanakan kegiatan keperawatan.

Hadjam (2001), mengemukakan beberapa modal dasar perawat dalam melaksanakan pelayanan prima, antara lain :

a. Profesional dalam bidang tugasnya

Keprofesionalan perawat dalam memberikan pelayanan dilihat dari kemampuan perawat berinspirasi, menjalin kepercayaan dengan pasien, mempunyai pengetahuan yang memadai dan kapabilitas terhadap pekerjaan.

b. Mempunyai kemampuan dalam berkomunikasi

Keberhasilan perawat dalam membentuk hubungan dan situasi perawatan yang baik antara lain ditentukan oleh kemampuannya berhubungan dengan orang lain, berkomunikasi dan bekerja sama.

c. Memegang teguh etika profesi

Asuhan keperawatan yang profesional sangat tergantung pada bagaimana perawat dalam melaksanakan tugas-tugasnya selaku tenaga profesional berusaha memegang teguh etika profesi.

(13)

d. Mempunyai emosi yang stabil

Seorang perawat diharapkan mempunyai emosi yang stabil dalam menjalankan profesinya. Jika perawat dalam menjalankan tugasnya diiringi dengan ketenangan, tanpa adanya gejolak emosi, maka akan memberikan pengaruh yang besar pada diri pasien.

e. Percaya diri

Kepercayaan diri menjadi modal bagi seorang perawat karena perawat dituntut untuk bersikap tegas, tidak boleh ragu-ragu dalam melaksanakan dan memenuhi kebutuhan pasien.

f. Bersikap wajar

Sikap yang wajar akan memberikan makna yang besar bagi pasien bahwa perawat dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan ketentuan keperawatan dan profesionalismenya.

g. Berpenampilan memadai

Perawat dengan penampilan yang bersih, dengan penampilan yang segar dalam melakukan tugas-tugas perawatan diharapkan mampu mengubah suasana hati pasien.

Kinerja profesi keperawatan dinilai tidak hanya berdasarkan konsep keilmuan yang dimiliki tetapi juga berdasarkan pelayanan yang diberikan kepada pasien. Untuk memberikan pelayanan yang prima seorang perawat tidak hanya membutuhkan keahlian medis belaka tetapi ia harus memiliki empati dan tingkat emosionalitas yang baik. Penelitian yang dilakukan oleh Munawaroh (2001), tentang pengaruh empati

(14)

dan prososial perawat terhadap kualitas pelayanan pada pasien rumah sakit, menunjukkan bahwa kemampuan empati yang tinggi akan menimbulkan tingginya intensi prososial pada diri perawat. Dengan kata lain jika perawat dapat merasakan apa yang dirasakan oleh pasien maka perawat akan cepat untuk melakukan perbuatan dan tindakan yang ditujukan pada pasien dan perbuatan atau tindakan tersebut memberi keuntungan atau manfaat positif bagi pasien.

Perawat sebagai seorang tenaga profesional dalam bidang pelayanan kesehatan harus memiliki empati, karena yang dihadapinya adalah manusia. Dengan empati, seorang perawat akan mampu mengerti, memahami dan ikut merasakan apa yang dirasakan, apa yang dipikirkan dan apa yang diinginkan pasien. Seorang perawat, untuk dapat memberikan pelayanan yang prima harus peka dalam memahami alur pikiran dan perasaan pasien serta bersedia mendengarkan keluhan pasien tentang penyakitnya. Dengan demikian perawat dapat mengerti bahwa apa yang dikeluhkan merupakan kondisi yang sebenarnya, sehingga respon yang diberikan terasa tepat dan benar bagi pasien.

Perawat juga sangat besar peranannya dalam mengurangi buruknya kondisi psikologis pasien yang muncul sebagai akibat penyakit yang dideritanya seperti cemas, takut, stress sampai depresi. Dalam hal ini perawat berperan dalam menciptakan suasana psikologis yang kondusif bagi usaha penyembuhan yang optimal yaitu dengan memberikan pelayanan prima (Nursalam, 2002).

(15)

2.2.4. Dokumentasi Asuhan Keperawatan

Menurut Depkes RI (2007), dokumentasi asuhan keperawatan adalah suatu sistem pencatatan dan pelaporan informasi tentang status kesehatan klien serta semua kegiatan asuhan keperawatan yang dilakukan perawat. Untuk lebih memahami tentang dokumentasi asuhan keperawatan, sebelumnya harus diketahui pengertian dari dokumen itu sendiri, asuhan keperawatan konsorsium ilmu kesehatan kelompok kerja keperawatan. Keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktek keperawatan yang langsung di berikan pada klien, pada bagian tatanan pelayanan kesehatan yang terdiri dari 5 (lima) komponen yaitu melakukan pengkajian, merumuskan diagnosa, menyusun perencanaan, implementasi, dan evaluasi hasil-hasil tindakan klien, beberapa ahli mengemukakan dokumentasi yang berkaitan dengan dokumentasi keperawatan yaitu :

1. Dokumentasi asuhan keperawatan ialah suatu upaya penyusunan catatan atau dokumentasi yang berisi tentang riwayat klien, prawatan yang di perlukan, dan perawatan yang telah di berikan.

2. Dokumentasi asuhan keperawatan merupakan upaya pencatatan secara tertulis dalam suatu dokumentasi dari status kesehatan klien, perawatan klien, tindakan diagnostik khusus, tindakan-tindakan keperawatan.

3. Dokumentasi asuhan keperawatan dan kesehatan klien yang dilakukan perawat sebagai pertanggung jawaban dan pertanggung gugatan terhadap asuhan keperawatan yang dilakukan oleh perawat pada klien dalam melakukan asuhan keperawatan.

(16)

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa dokumentasi asuhan keperawatan adalah merupakan upaya penyusunan keterangan mengenai riwayat kesehatan klien, keadaan kesehatan klien saat ini, perawatan yang di perlukan dan yang telah di berikan, tindakan-tindakan teurapetik dan diagnostik, serta keterangan tentang respon klien terhadap tindakan keperawatan yang telah diberikan. Semua keterangan tersebut tersusun dalam suatu dokumen.

2.2.5. Pentingnya Dokumentasi Asuhan Keperawatan

Dokumentasi asuhan keperawatan merupakan bagian dari media komunikasi diantara perawat yang melakukan asuhan keperawatan atau dengan tim kesehatan yang lain serta pihak lain yang memerlukan dan yang berhak mengetahuinya. Dokumentasi asuhan keperawatan merupakan salah satu bentuk upaya membina dan mempertahankan akuntabilitas perawat, kualitas asuhan keperawatan bergantung pada akuntabilitas dari individu perawat dalam hal menggunakan proses keperawatan. Pada pelaksanaan asuhan keperawatan serta pengaruhnya pada pasien sebagai metode saintifik yang memerlukan tindakan nyata dan disertai hasil dokumentasi. Dokumentasi asuhan keperawatan harus objektif, akurat, dan komprehensif dalam mencerminkan status kesehatan klien. Banyaknya informasi akurat, abjektif, dan komprehensif yang didokumentasikan oleh seorang perawat, dari aspek hukum di harapkan akan dapat melindungi perawat bila ada gugatan hukum (Depkes RI, 2007).

(17)

2.2.6. Tujuan Dokumentasi Asuhan Keperawatan

Dokumentasi asuhan keperawatan mempunyai beberapa tujuan (Depkes RI, 2007), yaitu sebagai berikut :

1. Sebagai Sarana Komunikasi

2. Sebagai mekanisme pertanggunggugatan 3. Sebagai metode pengumpulan data

4. Sebagai sarana pelayanan secara individual

5. Sebagai sarana untuk evaluasi, baik evaluasi terhadap klien maupun tindakan klien keperawatan yang diberikan

6. Sebagai sarana untuk meningkatkan kerjasama antar disiplin dalam tim kesehatan 7. Sebagai sarana untuk pendidikan lebih lanjut bagi tenaga keperawatan serta metode

pengembangan ilmu keperawatan

8. Sebagai audit : catatan/dokumentasi asuhan keperawatan digunakan untuk memantau kualitas keperawatan yang diterima klien dan kompetensi perawat yang berhubungan dengan asuhan keperawatan yang diberikan.

2.2.7. Tahap-Tahap Pendokumentasian Asuhan Keperawatan

Menurut Nursalam (2007), adapun tahap-tahap pendokumentasian asuhan keperawatan

1. Dokumentasi Pengkajian Asuhan Keperawatan

Pengkajian merupakan dasar utama atau langkah awal dari proses keperawatan secara keseluruhan. Data dikumpulkan dan di organisir secara

(18)

sistematis, serta dianalisa untuk menentukan masalah keperawatan pasien. Data pada pengkajian diperoleh melalui wawancara, pemeriksaan fisik, observasi, pemeriksaan riwayat kesehatan, pemeriksaan laboratorium, maupun pemeriksaan diagnostik lain.

Menurut Nursalam (2007), kriteria pengkajian keperawatan meliputi:

a. Pengumpulan data dilakukan dengan cara anamnesis, observasi, pemeriksaan fisik, serta dari pemeriksaan penunjang.

b. Sumber data adalah klien, keluarga, atau orang yang terkait, tim kesehatan, rekam medis, dan catatan lain.

c. Data yang dikumpulkan, difokuskan untuk mengidentifikasi : (1) Status kesehatan klien masa lalu.

(2) Status kesehatan klien saat ini.

(3) Status biologis-psikologis-sosial-spiritual. (4) Respon terhadap terapi.

(5) Harapan terhadap tingkat kesehatan. (6) Risiko-risiko tinggi masalah.

d. Kelengkapan data dasar mengandung unsur LARB (lengkap, akurat, relevan, dan baru).

2. Dokumentasi Diagnosa Asuhan Keperawatan

Diagnosa asuhan keperawatan adalah pernyataan yang menjelaskan status atau masalah kesehatan aktual atau potensial serta penyebabnya (Nursalam, 2007). Tahap diagnosa ini adalah tahap pengambilan keputusan pada proses keperawatan,

(19)

yang meliputi identifikasi apakah masalah klien dapat dihilangkan, dikurangi atau dirubah masalahnya melalui tindakan keperawatan.

Menurut Nursalam (2007), kriteria proses perawat menganalisis data pengkajian untuk merumuskan diagnosis keperawatan meliputi :

a. Proses diagnosis terdiri atas analisis, interpretasi data, identifikasi masalah klien, dan perumusan diagnosis keperawatan.

b. Diagnosis keperawatan terdiri atas masalah, penyebab, dan tanda atau gejala, atau terdiri atas masalah dan penyebab.

c. Bekerjasama dengan klien, dan petugas kesehatan lain untuk memvalidasi diagnosis keperawatan.

d. Melakukan pengkajian ulang, dan merevisi diagnosis berdasarkan data terbaru. 3. Dokumentasi Rencana Asuhan Keperawatan

Menurut Nursalam (2007), setelah merumuskan diagnosa asuhan keperawatan maka perlu dibuat perencanaan intervensi keperawatan dan aktivitas keperawatan. Tujuan perencanaan adalah untuk mengurangi, menghilangkan, dan mencegah masalah keperawatan klien. Kriteria proses perawat membuat rencana tindakan asuhan keperawatan untuk mengatasi masalah dan meningkatkan kesehatan meliputi: 1. Perencanaan terdiri atas prioritas, tujuan dan rencana tindakan keperawatan. 2. Bekerjasama dengan klien dalam menyusun rencana tindakan keperawatan. 3. Perencanaan bersifat individual sesuai dengan kondisi atau kebutuhan klien. 4. Mendokumentasikan rencana keperawatan.

(20)

4. Dokumentasi pelaksanaan (Implementasi) Asuhan Keperawatan

Menurut Nursalam (2007), kriteria proses perawat mengimplementasikan tindakan yang telah diidentifikasi dalam rencana asuhan keperawatan meliputi :

a. Bekerjasama dengan klien dalam pelaksanaan tindakan keperawatan. b. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain.

c. Melakukan tindakan keperawatan untuk mengatasi kesehatan klien.

d. Memberikan pendidikan pada klien dan keluarga mengenai konsep, keterampilan asuhan diri serta membantu klien memodifikasi lingkungan yang digunakan. e. Mengkaji ulang dan merevisi pelaksanaan tindakan keperawatan berdasarkan

respon klien.

5. Dokumentasi Evaluasi Asuhan Keperawatan

Evaluasi asuhan keperawatan merupakan fase akhir dari proses keperawtan yaitu terhadap asuhan keperawatan yang diberikan. Hal-hal yang dievaluasi adalah keakuratan, kelengkapan, kualitas adata, teratasi atau tidaknya masalah klien, dan pencapaian tujuan serta ketepatan intervesi keperawatan (Nursalam, 2007).

Menurut Nursalam (2007), kriteria proses perawat mengevaluasi kemajuan klien terhadap tindakan keperawatan dalam pencapaian tujuan, dan merevisi data dasar dan perencanaan meliputi :

1. Menyusun perencanaan evaluasi hasil dari intervensi secara komprehensif, tepat waktu dan terus-menerus.

(21)

2. Menggunakan data dasar dan respon klien dalam mengukur perkembangan kearah pencapaian tujuan.

3. Memvalidasi dan menganalisis data baru dengan teman sejawat.

4. Bekerjasama dengan klien, keluarga untuk memodifikasi rencana asuhan keperawatan.

5. Mendokumentasi hasil evaluasi dan memodifikasi perencanaan. Adapun macam-macam evaluasi diantaranya :

a. Evaluasi formatif, yaitu evaluasi yang merupakan hasil observasi dan analisa perawat terhadap respon klien segera pada saat dan setelah intervensi keperawatan dilaksanakan. Evaluasi ini dapat dilakukan secara spontan dan memberi kesan apa yang terjadi saat itu.

b. Evaluasi somatif, yaitu evaluasi yang merupakan rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan analisa status kesehatan klien sesuai dengan kerangka waktu yang telah ditetapkan pada tujuan keperawatan.

2.3. Komunikasi

Menurut Pohan (2005), secara etimologis, kata komunikasi berasal dari bahasa Latin (Yunani) : “communicare”, yang dalam bahasa Inggrisnya sepadan dengan to share, yang berarti saling berbagi pengertian dan makna, sehingga terdapat “commones” atau kesamaan makna dan pengertian. Seller dalam Muhammad (2009), menyatakan komunikasi adalah proses dengan mana simbol verbal dan nonverbal dikirimkan, diterima, dan diberi arti.

(22)

Lasswell dalam Effendy (2001), menyatakan dalam karyanya, The Structure and Function of Communication in Society, bahwa cara terbaik untuk menerangkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan : Who Says What in Which Channel to Whom With What Effect (Siapa Mengatakan Apa melalui Saluran Apa Kepada Siapa dengan Efek Apa). Jawaban bagi pertanyaan paradigmatik Laswell tersebut merupakan unsur-unsur proses komunikasi yang meliputi komunikator, pesan, media, komunikan, dan efek.

Berdasarkan definisi komunikasi di atas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan suatu proses penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain dengan mempergunakan lambang-lambang yang berarti, baik verbal maupun nonverbal, yang dapat terjadi secara langsung maupun dengan mempergunakan media. Adapun tujuan komunikasi adalah agar orang dapat mengerti atau memahami pesan yang disampaikan dan sekaligus dapat mengubah sikap, pendapat, dan perilakunya.

2.3.1. Fungsi Komunikasi

Menurut Lasswell dalam Effendy (2001), komunikasi terdiri dari tiga fungsi : 1) Pengamatan terhadap lingkungan (the surveillance of the environment),

penyingkapan ancaman dan kesempatan yang memengaruhi nilai masyarakat dan bagian-bagian unsur di dalamnya.

2) Korelasi unsur-unsur masyarakat ketika menanggapi lingkungan (correlation of the components of society in making a response to the environment).

(23)

3) Penyebaran warisan sosial (transmission of the social inheritance). Di sini berperan sebagai pendidik, baik dalam kehidupan rumah tangganya maupun di sekolah, yang meneruskan warisan sosial kepada keturunan berikutnya.

2.3.2. Tujuan Komunikasi

Menurut Widjaja dalam Yulianita (2007), umumnya komunikasi dapat mempunyai beberapa tujuan antara lain :

1. Supaya yang disampaikan dapat dimengerti.

Sebagai pejabat ataupun komunikator harus menjelaskan kepada komunikan (penerima) atau bawahan dengan sebaik-baiknya dan tuntas sehingga komunikan dapat mengikuti apa yang dimaksudkan komunikator.

2. Memahami orang lain.

Komunikator sebagai pimpinan harus mengetahui benar aspirasi masyarakat tentang yang diinginkan.

3. Supaya gagasan dapat diterima oleh orang lain.

Harus berusaha agar gagasan dapat diterima oleh orang lain dengan pendekatan yang persusif dan bukan melaksanakan kehendak.

4. Menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu.

Menggerakkan sesuatu dapat dilakukan bermacam-macam kegiatan, seperti melakukan dorongan yang positif guna memotivasi penerima.

Menurut Cutlip dan Center dalam Yulianita (2007), komunikasi yang efektif harus dilaksanakan dengan 4 tahap yaitu :

(24)

1. Fact finding adalah mencari dan mengumpulkan fakta-fakta dan data sebelum seseorang melakukan kegiatan komunikasi.

2. Planning, dari yang ada dan data dibuat suatu rencana tentang apa yang akan dikemukakan dan begaimana penyampaiannya.

3. Communicating, setelah planning disusun maka tahap selanjutnya adalah berkomunikasi.

4. Evaluation, penilaian dan menganalisa kembali untuk setiap kali hasil komunikasi tersebut.

Menurut Liliweri (2007), komunikasi yang efektif dapat : 1. Menumbuhkan kesadaran

2. Meningkatkan pengetahuan 3. Memengaruhi sikap

4. Membawa keuntungan dalam mengubah perilaku

5. Menegaskan pengetahuan, sikap dan perilaku yang sudah ada 6. Menunjukkan keterampilan

7. Mendorong aksi yang segera

8. Meningkatkan wawasan untuk layanan 9. Menghilangkan mitos dan kesalahpahaman 10. Memengaruhi norma

(25)

Rakhmat (2003), menyatakan bahwa berkomunikasi juga sangat penting dan berperan dalam kehidupan organisasi, hal ini jika dipandang dari sudut pimpinan maka komunikasi berguna dalam :

a. Menyampaikan kebijaksanaan yang telah ditetapkan b. Memberikan keputusan yang telah diambil

c. Menyampaikan perintah dan instruksi d. Memberikan nasihat

e. Melakukan pembinaan f. Menyampaikan informasi

g. Melakukan tindakan-tindakan disiplin

Komunikasi juga sangat penting diperhatikan dari sudut pandangan para bawahan yaitu :

a. Menyampaikan informasi b. Mengajukan saran dan pendapat

c. Meneruskan keluhan, keberatan dan sejenisnya.

Human Communication dalam Cangara (2006), membagi komunikasi atas lima macam tipe, yakni:

a. Komunikasi antar pribadi (interpersonal communication) b. Komunikasi kelompok kecil (small group communication) c. Komunikasi organisasi (organizational communication) d. Komunikasi massa (massa communication)

(26)

2.4. Komunikasi Organisasi Formal 2.4.1. Komunikasi Organisasi

Komunikasi merupakan suatu medan yang sangat penting dalam manajemen organisasi, organisasi jelas memerlukan informasi, dengan berkembangnya organisasi kebutuhan informasi juga bertambah (Soekanto & Handoko dalam Ruslan (2003). Komunikasi menyediakan alat-alat untuk pengambilan keputusan, melaksanakan keputusan, menerima umpan balik, dan mengoreksi tujuan serta prosedur organisasi. “Apabila komunikasi berhenti maka aktivitas organisasi akan berhenti. Dengan demikian tinggallah kegiatan-kegiatan individu yang tidak terorganisasi” (Suprapto, 2006).

Menurut Katz & Robert kahn dalam Ruslan (2003), bahwa komunikasi adalah pertukaran informasi dan penyampaian makna yang merupakan hal utama dari suatu sistem sosial atau organisasi. Jadi komunikasi sebagai suatu “proses penyampaian informasi dan pengertian dari satu orang ke orang lain, dan satu-satunya cara mengelola aktivitas dalam suatu organisasi adalah melalui proses komunikasi”.

Goldhaber dalam Ruslan (2003), memberikan definisi komunikasi organisasi sebagai berikut, “organizational communications is the process of creating and exchanging messages within a network of interdependent relationship to cope with environmental uncertainty”. Dengan kata-kata lain, komunikasi organisasi adalah “proses menciptakan dan saling tergantung satu sama lain untuk mengatasi lingkungan yang tidak pasti atau yang selalu berubah-ubah”. Definisi ini mengandung

(27)

tujuh konsep kunci yaitu, proses, pesan, jaringan, saling tergantung, hubungan, lingkungan, dan ketidakpastian.

Menurut Muhammad (2009), meskipun bermacam-macam persepsi dari para ahli mengenai komunikasi organisasi, ada beberapa hal yang umum yang disimpulkan yaitu:

1) Komunikasi organisasi terjadi dalam suatu sistem terbuka yang kompleks yang dipengaruhi oleh lingkungannya sendiri baik internal maupun eksternal.

2) Komunikasi organisasi meliputi pesan dan arusnya, tujuan, arah, dan media. 3) Komunikasi organisasi meliputi orang dan sikapnya, perasaannya, hubungannya,

dan keterampilan/ skillnya.

2.4.2. Komunikasi Vertikal

Komunikasi vertikal merupakan jaringan komunikasi formal dalam organisasi, komunikasi vertikal meliputi komunikasi vertikal ke bawah dan vertikal ke atas.

2.4.2.1. Komunikasi Vertikal ke Bawah (Downward Communication)

Komunikasi vertikal ke bawah menunjukkan arus pesan yang mengalir dari para atasan atau para pimpinan kepada bawahannya.

a. Tipe Komunikasi Vertikal ke Bawah

Secara umum komunikasi vertikal ke bawah dapat diklasifikasikan atas lima tipe yaitu:

(28)

1) Instruksi Tugas

Instruksi tugas/ pekerjaan yaitu pesan yang disampaikan kepada bawahan mengenai apa yang diharapkan dilakukan mereka dan bagaimana melakukannya. Pesan itu mungkin bervariasi seperti perintah langsung, deskripsi tugas, prosedur manual, program latihan tertentu, alat-alat bantu melihat dan mendengar yang berisi pesan-pesan tugas dan sebagainya.

2) Rasional

Rasional pekerjaan adalah pesan yang menjelaskan mengenai tujuan aktivitas dan bagaimana kaitan aktivitas itu dengan aktivitas lain dalam organisasi atau objektif organisasi. Kualitas dan kuantitas dari komunikasi rasional ditentukan oleh filosofi dan asumsi pimpinan mengenai bawahannya.

3) Ideologi

Pesan mengenai ideologi lebih mencari sokongan dan antusias dari anggota organisasi guna memperkuat loyalitas, moral, dan motivasi.

4) Informasi

Pesan informasi dimaksudkan untuk memperkenalkan bawahan dengan praktik-praktik organisasi, peraturan-peraturan organisasi, keuntungan, kebiasaan dan data lain yang tidak berhubungan dengan instruksi dan rasional.

5) Balikan

Balikan adalah pesan yang berisi informasi mengenai ketepatan individu dalam melakukan pekerjaannya. Salah satu bentuk sederhana dari balikan ini adalah pembayaran gaji karyawan yang telah siap melakukan pekerjaannya atau apabila

(29)

tidak ada informasi dari atasan yang mengkritik pekerjaannya, berarti pekerjaannya sudah memuaskan.

b. Faktor yang Memengaruhi Komunikasi Vertikal ke Bawah

Arus komunikasi dari atasan kepada bawahan tidaklah selalu berjalan lancar, tetapi dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain sebagai berikut.

1) Keterbukaan

Kurangnya sifat terbuka di antara pimpinan dan karyawan akan menyebabkan pemblokan atau tidak mau menyampaikan pesan dan gangguan dalam pesan. Umumnya para pimpinan tidak begitu memperhatikan arus komunikasi ke bawah. Pimpinan mau memberikan informasi ke bawah bila mereka merasa bahwa pesan itu penting bagi penyelesaian tugas. Tetapi apabila suatu pesan tidak relevan dengan tugas pesan tersebut tetap dipegangnya.

2) Kepercayaan pada pesan tulisan

Kebanyakan para pimpinan lebih percaya pada pesan tulisan dan metode difusi yang menggunakan alat-alat elektronik daripada pesan yang disampaikan secara lisan dengan tatap muka. Hasil penelitian Dahle dalam Muhammad (2009), menunjukkan bahwa pesan itu akan lebih efektif bila dikirimkan dalam bentuk lisan dan tulisan.

3) Pesan yang berlebihan

Karyawan dibebani dengan memo-memo, buletin, surat-surat pengumuman, majalah, dan pernyataan kebijaksanaan, sehingga banyak sekali pesan-pesan yang harus dibaca oleh karyawan. Reaksi karyawan terhadap pesan tersebut biasanya

(30)

cenderung untuk tidak membacanya. Banyak karyawan hanya membaca pesan-pesan tertentu yang dianggap penting bagi dirinya dan yang lain dibiarkan saja tidak dibaca.

4) Timing

Timing atau ketepatan waktu pengiriman pesan memengaruhi komunikasi ke bawah. Pimpinan hendaklah mempertimbangkan saat yang tepat bagi pengiriman pesan dan dampak yang potensial kepada tingkah laku karyawan.

5) Penyaringan

Pesan-pesan yang dikirimkan kepada bawahan tidaklah semuanya diterima mereka. Tetapi mereka saring mana yang mereka perlukan. Penyaringan pesan ini dapat disebabkan oleh bermacam-macam faktor diantaranya perbedaan persepsi di antara karyawan, jumlah mata rantai dalam jaringan komunikasi dan perasaan kurang percaya kepada supervisor.

c. Penyempurnaan Komunikasi Vertikal ke Bawah

Menurut Davis dalam Pohan (2005), untuk penyampaian pesan dari atasan kepada bawahan perlu memperhatikan cara-cara sebagai berikut :

1) Pimpinan hendaklah sanggup memberikan informasi kepada karyawan apabila dibutuhkan mereka. Jika pimpinan tidak mempunyai informasi yang dibutuhkan mereka dan perlu mengatakan terus terang dan berjanji akan mencarikannya. 2) Pimpinan hendaklah membagi informasi yang dibutuhkan oleh karyawan.

(31)

3) Pimpinan hendaklah mengembangkan suatu perencanaan komunikasi, sehingga karyawan dapat mengetahui informasi yang dapat diharapkannya untuk diperoleh berkenaan dengan tindakan-tindakan pengelolaan yang dipengaruhi mereka. 4) Pimpinan hendaklah berusaha membentuk kepercayaan di antara pengirim dan

penerima pesan. Kepercayaan ini akan mengarahkan kepada komunikasi yang terbuka yang akan mempermudah adanya persetujuan yang diperlukan antara bawahan dan atasan.

d. Metode Komunikasi Vertikal ke Bawah

1) Metode Lisan, dapat dilakukan melalui: a) rapat, diskusi, seminar, konferensi, b) intervieuw, c) telepon, d) sistem interkom, e) kontak interpersonal, dan g) ceramah

2) Metode Tulisan, dapat dilakukan melalui: a) surat, b) memo, c) telegram, d) majalah, e) surat kabar, f) deskripsi pekerjaan, g) panduan pekerjaan, h) laporan tertulis, dan i) pedoman kebijaksaan

3) Metode Gambar, dapat dilakukan melalui: a) grafik, b) poster, c) peta, d) film, e) slide, f) display, dan g) foto.

Menurut Pohan (2005), setiap organisasi yang mulai tumbuh dan berkembang, struktur jenjang, tugas dan penerapan teknologi tinggi yang makin pasif, serta tingkat pelayanan produksi barang dan jasa semakin variasi dan makin meningkat dalam volume dan kuantitas serta kualitas. Secara komunikatif, organisasi cenderung akan mengalami banyak “kemunduran” yang akan dirasakan karyawannya.

Persoalan kemunduran arus kualitas dan kuantitas pesan dan informasi yang dirasakan karyawan, disebabkan oleh beberapa hal berikut:

(32)

a) Pertumbuhan dan perkembangan organisasi membuat isolasi beberapa bagian atau departemen dimana isolasi tersebut tidak disadari manajemen puncak, sehingga tidak segera diadakan perbaikan kondisi.

b) Kehilangan arah dan kejelasan sasaran dan tujuan. Hal ini akibat dari kurangnya kontak personal baik informal maupun formal.

c) Karena manajer mungkin hampir tidak pernah melakukan audit internal terhadap terhadap komunikasi organisasi, untuk mengevaluasi sejauh mana jaringan formal yang ada masih efektif dan relevan, ataukah sudah harus diperbaiki atau diganti segera.

d) Munculnya ketidakjelasan mengenai siapakah yang sebenarnya harus bertanggung jawab di antara para manajer tingkat atas, menengah atau supervisor (lini bawah) terhadap keberadaan jaringan formal komunikasi ke bawah yang efektif, dan

e) Pemisahan antara personal supervisor dengan yang bukan supervisor, kondisi ini didasarkan pada norma tidak tertulis bahwa terdapat pembedaan dan pemisahan antara keduanya: manajemen dan bukan manajemen.

Suatu keharusan bagi manajemen untuk segera memperbaiki kondisi jaringan komunikasi formal arus ke bawah ini agar arus pesan dan informasi yang relevan dalam kualitas dan kuantitas mengalir dengan deras melalui jaringan formal ke seluruh bagian organisasi perusahaan. Beberapa upaya guna memperbaiki kondisi arus pesan dan informasi ke bawah agar lebih efektif dimaksud adalah:

(33)

a) Membangun tujuan yang jelas dan realistis. Manajer perlu terus-menerus mengkomunikasikannya sehingga karyawan betul-betul memahami.

b) Perlu mempertimbangkan dan memperhatikan isi pesan yang akan disampaikan. c) Teknik yang sesuai dalam cara bagaimana pesan dan informasi tersebut harus

disampaikan kepada para karyawan sehingga lebih efektif. 2.4.2.2. Komunikasi Vertikal ke Atas (Upward Communication)

Menurut Muhammad (2009), para karyawan sebagai bawahan pada berbagai bidang dan divisi tersebut, tidak diminta maupun apalagi jika diminta, memberikan laporan, pertanyaan untuk hal-hal yang belum dipahami, pendapat, usul, saran, dan keluhan, bahkan juga kritik yang diperlukan bagi aktivitas kinerja organisasi. Tujuan dari komunikasi ini adalah untuk memberikan balikan, memberikan saran, dan mengajukan pertanyaan. Komunikasi ini mempunyai efek pada penyempurnaan moral dan sikap karyawan, tipe pesan adalah integrasi dan pembaruan.

a. Fungsi Komunikasi Vertikal ke Atas

1) Dengan adanya komunikasi ke atas supervisor dapat mengetahui kapan bawahannya siap untuk diberi informasi dari mereka dan bagaimana baiknya mereka menerima apa yang disampaikan karyawan

2) Arus komunikasi ke atas memberikan informasi yang berharga bagi pembuatan keputusan.

3) Komunikasi ke atas memperkuat apresiasi dan loyalitas karyawan terhadap organisasi dengan jalan memberikan kesemapatan untuk menanyakan pertanyaan, mengajukan ide-ide dan saran-saran tentang jalannya organisasi.

(34)

4) Komunikasi ke atas membolehkan, bahkan mendorong desas-desus muncul dan membiarkan supervisor mengetahuinya.

5) Komunikasi ke atas menjadikan supervisor dapat menentukan apakah bawahan menangkap arti seperti yang dia maksudkan dari arus informasi yang ke bawah. 6) Komunikasi ke atas membantu karyawan mengatasi masalah-masalah pekerjaan

mereka dan memperkuat keterlibatan mereka dalam tugas-tugasnya. b. Materi yang Seharusnya Dikomunikasikan ke Atas

1) Menjelaskan materi yang dilakukan bawahan, pekerjaannya, hasil yang dicapainya, kemajuan mereka dan rencana masa yang akan datang.

2) Menjelaskan masalah-masalah pekerjaan yang tidak terpecahkan yang mungkin memerlukan bantuan tertentu.

3) Menawarkan saran-saran atau ide-ide bagi penyempurnaan unitnya masing-masing atau organisasi secara keseluruhan.

4) Menyatakan pikiran dan perasaan mengenai pekerjaannya, teman sekerjanya, dan organisasi.

Hal-hal yang diharapkan pimpinan untuk disampaikan karyawan kepada atasannya melalui komunikasi vertikal ke atas.

c. Kesulitan Mendapatkan Informasi ke Atas

Beberapa hal yang menyebabkan kesulitan mendapatkan informasi ke atas adalah:

(35)

2) Perasaan karyawan bahwa pimpinan dan supervisor tidak tertarik kepada masalah yang dihadapi karyawan.

3) Kurangnya reward atau penghargaan terhadap karyawan yang berkomunikasi ke atas.

4) Perasaan karyawan bahwa supervisor dan pimpinan tidak dapat menerima dan merespons terhadap yang dinyatakan oleh karyawan.

d. Faktor yang Memengaruhi Efektivitas Komunikasi Vertikal ke Atas

1) Komunikasi ke atas lebih mungkin digunakan oleh pembuat keputusan pengelolaan, apabila pesan itu disampaikan tepat pada waktunya.

2) Komunikasi ke atas yang bersifat positif, lebih mungkin digunakan oleh pembuat keputusan mengenai pengelolaan daripada komunikasi yang bersifat negatif.

3) Komunikasi ke atas lebih mungkin diterima, jika pesan itu mendukung kebijaksanaan yang baru.

4) Komunikasi ke atas mungkin akan lebih efektif, jika komunikasi itu langsung kepada penerima yang dapat berbuat mengenai hal itu.

5) Komunikasi ke atas akan lebih efektif, apabila komunikasi itu mempunyai daya tarik secara intuitif bagi penerima.

e. Prinsip-prinsip Komunikasi Vertikal ke Atas

1) Program komunikasi ke atas yang efektif harus direncanakan.

2) Program komunikasi ke atas yang efektif berlangsung secara terus-menerus. 3) Program komunikasi ke atas yang efektif menggunakan saluran yang rutin.

(36)

4) Program komunikasi ke atas yang efektif, menekankan kesensitivan dan penerimaan ide-ide yang menyenangkan dari level yang lebih rendah.

5) Program komunikasi ke atas yang efektif memerlukan pendengar yang objektif. 6) Program komunikasi ke atas yang efektif memerlukan pengambilan tindakan

berespons terhadap masalah.

7) Program komunikasi ke atas yang efektif menggunakan bermacam-macam media dan metode untuk memajukan arus informasi.

f. Sarana Komunikasi Vertikal ke Atas

Davis dan Newstrom dalam Pohan (2005), mengidentifikasi beberapa sarana yang dinilai dapat mendorong komunikasi vertikal arus ke atas (upward communication) adalah:

1) Rapat dan pertemuan (meetings) karyawan, diadakan secara periodik, membicarakan berbagai hal mengenai kebutuhan dan masalah-masalah yang dihadapi para karyawan.

2) Kebijaksanaan Pintu Terbuka (Open Door Policies), kebijaksanaan yang mendorong karyawan untuk berinisiasi datang kepada pimpinan mereka untuk membicarakan berbagai hal yang penting dan relevan dengan pekerjaan.

3) Menyediakan Kotak Saran (Box Suggestion) dan penerbitan buletin atau inhouse magazine. Karyawan yang tidak memiliki waktu yang cukup ataupun tidak memiliki keberanian yang cukup, maka media ini dapat menolong mengatasi persoalan yang dihadapinya.

(37)

4) Partisipasi dalam kelompok-kelompok sosial yang diadakan perusahaan, guna membangun jalinan komunikasi informal, seperti: olah raga, pertemuan arisan karyawan, rekreasi, dan lain-lain.

Kedekatan hubungan tersebut membangun relasi interpersonal karyawan yang semakin intensif, akrab, dan jika terus-menerus kondisi ini dipelihara dengan baik, maka akan menjadi budaya komunikasi organisasi yang kondusif, dan akan menghadirkan iklim komunikasi baik pula yang mendorong semakin sehatnya iklim organisasi. Iklim organisasi yang baik pada gilirannya akan memberi pengaruh konstruktif yang luas bagi tingkah laku setiap karyawan dalam organisasi.

2.4.3. Komunikasi Horizontal

Menurut Wayne et.al (2005), komunikasi horizontal terdiri dari penyampaian informasi di antara rekan-rekan sejawat dalam unit kerja yang sama. Unit kerja meliputi individu-individu yang ditempatkan pada tingkat otoritas yang sama dalam organisasi dan mempunyai atasan yang sama. Sedangkan menurut Muhammad (2009), komunikasi horizontal adalah pertukaran pesan di antara orang-orang yang sama tingkatan otoritasnya didalam organisasi, pesan mengalir secara horizontal. Pesan ini biasanya berhubungan dengan tugas-tugas atau tujuan kemanusiaan, seperti koordinasi, pemecahan masalah, penyelesaian konflik dan saling memberikan informasi.

1. Tujuan Komunikasi Horizontal

Menurut Muhammad (2009), komunikasi horizontal mempunyai tujuan tertentu, diantaranya adalah sebagai berikut :

(38)

a. Mengkoordinasikan tugas-tugas

Kepala bagian dalam suatu organisasi kadang-kadang perlu mengadakan rapat untuk mendiskusikan bagaimana tiap-tiap bagian memberikan kontribusi dalam mencapai tujuan organisasi, atau mereka harus saling bertemu untuk mengkoordinasikan pembagian tugas.

b. Saling memberikan informasi untuk perencanaan dan aktivitas-aktivitas. Ide dari banyak orang biasanya akan lebih baik daripada ide satu orang. Oleh karena itu komunikasi horizontal sangatlah diperlukan untuk mencari ide yang lebih baik. Dalam merancang suatu program pelatihan atau program hubungan dengan masyarakat, anggota-anggota dari bagian perlu saling berbagi untuk membuat perencanaan apa yang mereka akan lakukan.

c. Pemecahan masalah yang timbul diantara orang-orang yang berada dalam tingkatan yang sama. Melalui komunikasi horizontal, masalah yang dihadapi akan dapat terpecahkan. Dengan adanya keterlibatan dalam memecahkan masalah akan menambah kepercayaan dan moral karyawan.

d. Menyelesaikan konflik diantara anggota yang berada dalam bagian organisasi dan juga antara bagian dengan bagian lainnya. Penyelesaian konflik ini penting bagi perkembangan sosial dan emosional dari anggota dan juga akan menciptakan iklim dan organisasi yang baik.

e. Menjamin pemahaman yang sama

Bila perubahan dalam suatu organisasi diusulkan, maka perlu adanya pemahaman yang sama antara unit-unit organisasi atau anggota unit organisasi tentang

(39)

perubahan itu. Untuk itu, mungkin unit satu dengan unit lainnya mengadakan rapat untuk mencari kesepakatan terhadap perubahan tersebut.

f. Mengembangkan dukungan interpersonal

Karena sebagian besar waktu kerja karyawan berinteraksi dengan orang lain dalam pekerjaan, maka mereka memperoleh dukungan hubungan interpersonal dari temannya. Hal ini akan memperkuat hubungan diantara sesama karyawan dan akan menumbuhkan kekompakan dalam menyelesaikan kerja kelompok. Interaksi ini akan mengembangkan rasa sosial dan emosional karyawan.

2.4.4. Metode Komunikasi Horizontal

Menurut Muhammad (2009), bentuk yang paling umum dari komunikasi horizontal adalah kontak interpersonal yang mungkin terjadi dalam berbagai tipe. Diantara bentuk yang sering sekali terjadi adalah sebagai berikut:

a. Rapat-rapat komite

Rapat-rapat komite ini biasanya diadakan untuk melakukan koordinasi pekerjaan, saling berbagi informasi, memecahkan masalah dan menyelesaikan konflik diantara sesama karyawan.

b. Interaksi formal pada waktu jam istirahat

Anggota unit-unit kerja dalam suatu organisasi mungkin bekerja terpisah satu sama lain, tetapi pada waktu jam istirahat mereka mempunyai kesempatan berkumpul bersama saling terlibat dalam komunikasi interpersonal satu sama lain.

(40)

c. Percakapan telepon

Koordinasi aktivitas pekerjaan, beberapa negosiasi dapat dilakukan melalui percakapan telepon. Dalam kenyataannya, telepon dapat mempercepat dan menambah kontak diantara sesama anggota organisasi dengan anggota lain yang tempat kerjanya berjauhan.

d. Memo dan nota

Tulisan tangan yang berbentuk memo atau nota adalah bentuk yang paling umum digunakan dalam saling berhubungan dengan teman sekerja.

e. Aktivitas sosial

Di dalam suatu organisasi biasanya ada kelompok-kelompok untuk rekreasi, olahraga, kegiatan sosial atau lainnya. Kelompok-kelompok ini mengembangkan komunikasi horizontal dalam organisasi.

f. Kelompok mutu

Suatu kelompok dalam organisasi yang secara sukarela bertanggung jawab untuk memperbaiki mutu pekerjaan mereka. Kelompok ini biasanya sekali dalam seminggu mengadakan diskusi, melakukan analisis dan memberikan saran-saran untuk penyempurnaan kualitas dan mutu dari pekerjaan mereka. Mereka dilatih dalam menggunakan teknik-teknik tertentu dalam memecahkan masalah tertentu. Rapat persatuan ini biasanya dilakukan pada jam kerja organisasi.

(41)

2.4.5. Masalah dalam Komunikasi Horizontal

Hambatan-hambatan pada komunikasi horizontal yakni: ketidak percayaan diantara rekan-rekan kerja, perhatian yang tinggi pada mobilitas ke atas dan persaingan dalam sumber daya. Hal tersebut dapat mengganggu komunikasi pegawai yang sama tingkatannya dalam organisasi dengan sesamanya (Wayne, 2005).

Menurut Kahn dan Katz dalam Muhammad (2009), bahwa organisasi yang agak lebih otoriter mengontrol dengan ketat komunikasi horizontal ini. Makin tinggi tingkat pimpinan makin banyak informasi tentang bagian-bagian di bawah kontrolnya dan makin rendah tingkat pimpinan makin sedikit informasi yang diketahuinya atau informasi yang berkenaan dengan bagiannya saja. Sebaliknya dapat pula dilihat bahwa komunikasi horizontal berkembang serta tidak terkontrol karena struktur organisasi mempunyai lebih banyak bagian-bagian dan setiap individu makin mempunyai spesialisasi tertentu, kebutuhan akan koordinasi menambah komunikasi horizontal. Komunikasi horizontal bertambah karena kekuasaan atau otoritas sentralisasi menjadi berkurang.

2.5. Organisasi

Gibson et al (1996), menyatakan bahwa organisasi adalah kesatuan yang memungkinkan anggota mencapai tujuan yang tidak dapat dicapai melalui tindakan individu secara terpisah. Manusia atau individu merupakan anggota dari suatu organisasi dan akan memperoleh hasil yang lebih besar daripada dikerjakan sendiri, karena anggota lain dalam organisasi ikut berperan dalam mencapai hasil tersebut.

(42)

Hal ini juga dikatakan Robbins (2010), menyatakan bahwa organisasi adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus-menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan.

Schein dalam Muhammad (2009), menyatakan bahwa organisasi adalah suatu koordinasi rasional kegiatan sejumlah orang untuk mencapai beberapa tujuan umum melalui pembagian pekerjaan dan fungsi melalui hierarki otoritas dan tanggungjawab. Lebih lanjut dinyatakan bahwa organisasi mempunyai karakteristik tertentu yaitu mempunyai struktur, tujuan, saling berhubungan satu bagian dengan bagian lain dan tergantung pada komunikasi manusia untuk mengkoordinasikan aktivitas dalam organisasi tersebut. Sifat yang dimaksud adalah menandakan bahwa organisasi ini merupakan suatu sistem.

Kochler dalam Muhammad (2009), menyatakan bahwa organisasi adalah sistem hubungan yang terstruktur yang mengkoordinasi usaha suatu kelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan Wright dalam Muhammad (2009), juga menyatakan bahwa organisasi adalah suatu bentuk sistem terbuka dari aktivitas yang dikoordinasikan oleh dua orang atau lebih untuk mencapai suatu tujuan bersama. Setiap organisasi memerlukan koordinasi supaya masing-masing bagian dari organisasi bekerja menurut semestinya dan tidak mengganggu bagian lain. Tanpa koordinasi sulit organisasi berfungsi dengan baik.

Suatu organisasi merupakan suatu usaha yang memerlukan usaha lebih dari satu orang untuk menyelesaikan aktivitas tersebut. Kondisi ini timbul karena

(43)

disebabkan oleh tugas yang terlalu besar atau terlalu kompleks untuk ditangani satu orang, oleh karena itu suatu organisasi dapat kecil seperti usaha dua orang individu atau harus melibatkan banyak orang dalam interaksi kerjasama. Organisasi sebagai organisme yang dinamis secara implisit yang tergambar kebutuhan untuk bertumbuh. Dalam artinya yang sebesar-besarnya dinamisme tanpa pertumbuhan adalah contradiction in termininus dengan arti bahwa pertumbuhan tidak selalu diartikan sebagai pertumbuhan yang sifatnya kuantitatif namun yang sangat penting pertumbuhan yang sifatnya kualitatif (Siagian, 2003).

2.6. Rumah Sakit

Rumah sakit merupakan suatu institusi yang fungsi utamanya memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Tugas rumah sakit adalah melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan (Depkes RI, 2009).

Menurut Depkes RI (2009), untuk dapat menyelenggarakan upaya–upaya tersebut dan mengelola rumah sakit agar tetap dapat memenuhi kebutuhan pasien dan masyarakat yang dinamis, maka setiap komponen yang ada di rumah sakit harus terintegrasi dalam satu sistem pelayanan kesehatan di rumah sakit terdiri dari :

1. Pelayanan medis, merupakan pelayanan yang diberikan oleh tenaga medis yang profesional dalam bidangnya baik dokter umum maupun dokter spesialis.

(44)

2. Pelayanan keperawatan, merupakan pelayanan yang bukan tindakan medis terhadap pasien, tetapi merupakan tindakan keperawatan yang dilakukan oleh perawat sesuai aturan keperawatan.

3. Pelayanan penunjang medik ialah pelayanan penunjang yang diberikan terhadap pasien, seperti : gizi, laboratorium, farmasi, rehabilitasi medik, dan lain-lain. 4. Pelayanan administrasi dan keuangan, pelayanan administrasi antara lain salah

satunya adalah bidang ketatausahaan seperti pendaftaran, rekam medis, dan kerumahtanggaan, sedangkan bidang keuangan seperti proses pembayaran biaya rawat jalan dan rawat inap pasien.

Undang- Undang No. 44 tahun 2009 tentang klasifikasi rumah sakit adalah : 1. Rumah Sakit Umum Kelas A adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas

dan kemampuan pelayanan medis spesialistik luas dan subspesialistik luas.

2. Rumah Sakit Umum Kelas B adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis sekurang-kurangnya 11 spesialistik luas dan subspesialistik terbatas.

3. Rumah Sakit Umum Kelas C adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis spesialistik dasar.

4. Rumah Sakit Umum Kelas D adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis dasar.

Berdasarkan klasifikasi rumah sakit yang diukur dari kemampuan unsur pelayanan kesehatan yang dapat disediakan, ketenagaan, fisik dan peralatan, maka Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat II. Medan termasuk dalam Rumah Sakit Umum Kelas B.

(45)

2.7. Landasan Teori

Komunikasi merupakan suatu medan yang sangat penting dalam manajemen organisasi, organisasi jelas memerlukan informasi, dengan berkembangnya organisasi kebutuhan informasi juga bertambah (Soekanto & Handoko, 1991). Komunikasi menyediakan alat-alat untuk pengambilan keputusan, melaksanakan keputusan, menerima umpan balik, dan mengoreksi tujuan serta prosedur organisasi. Goldhaber memberikan definisi komunikasi organisasi adalah “proses menciptakan dan saling tergantung satu sama lain untuk mengatasi lingkungan yang tidak pasti atau yang selalu berubah-ubah”. Definisi ini mengandung tujuh konsep kunci yaitu proses, pesan, jaringan, saling tergantung, hubungan, lingkungan, dan ketidakpastian.

Telaah tentang komunikasi organisasi mengacu kepada Human Communication menurut Katz & Robert Kahn dalam Ruslan (2003) dan Cangara (2006), serta tentang kinerja mengacu kepada teori Robbins (2002) dan Gibson et al dalam Ilyas (2001).

Gambar 2.2. Landasan Teori Komunikasi Organisiasi dalam Cangara (2006) dan Kinerja Robbins (2002) dan Gibson et al dalam Ilyas (2001) Komunikasi Komunikasi Antarpribadi Komunikasi Kelompok K il Komunikasi Organisasi Komunikasi Massa Komunikasi Publik Kinerja Komunikasi Vertikal Ke Bawah

Komunikasi Vertikal Ke Atas

(46)

Berdasarkan kerangka teoritis di atas, maka konsep komunikasi vertikal ke atas meliputi: instruksi tugas, rasionalitas, ideologi, informasi, dan umpan balik. Kemudian komunikasi vertikal ke bawah meliputi: informasi pekerjaan, informasi masalah dan keluhan, serta saran dan ide. Selanjutnya komunikasi horizontal meliputi: koordinasi, pemecahan masalah dan penyelesaian konflik dan saling memberikan informasi (Cangara, 2006). Kinerja keperawatan diukur dari aspek asuhan keperawatan meliputi: pengkajian, diagnosis, rencana tindakan, pelaksanaan tindakan dan evaluasi tindakan keperawatan (Nursalam, 2007).

2.8. Kerangka Konsep Penelitian

Berlandaskan landasan teori, maka peneliti merumuskan kerangka konsep penelitian sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian Komunikasi Organisasi

a. Komunikasi Vertikal ke Bawah - Instruksi tugas

- Rasionalitas - Ideologi - Umpan balik

b. Komunikasi Vertikal ke Atas - Informasi pekerjaan

- Informasi masalah dan Keluhan - Saran dan ide

c. Komunikasi Horizontal - Koordinasi

- Pemecahan masalah atau konflik - Pertukaran informasi Kinerja Perawat Pelaksana a. Pengkajian b. Diagnosis c. Rencana Tindakan d. Pelaksanaan Tindakan e. Evaluasi Tindakan

Gambar

Gambar 2.1. Diagram Skematis Teori Perilaku dan Kinerja (Gibson et al dalam  Ilyas, 2001)
Gambar 2.2. Landasan Teori Komunikasi Organisiasi  dalam Cangara (2006)  dan Kinerja Robbins (2002) dan Gibson et al dalam Ilyas (2001) Komunikasi Komunikasi Antarpribadi Komunikasi Kelompok K il Komunikasi Organisasi Komunikasi Massa Komunikasi Publik  Ki

Referensi

Dokumen terkait

Pada hari ke-20, dengan peningkatan efektifitas vaksinasi pada manusia sebesar 40% dapat menurunkan populasi manusia terinfeksi sebesar 12.50% dari total populasi manusia

Alat pemindahan bahan ( material handling equipment ) adalah peralatan yang digunakan untuk memindahkan muatan yang berat dari satu tempat ke tempat lain dalam jarak yang tidak

PEMERINTAH (MENTER! KEHAKIMAN/ISMAIL SALEH, S.H.): Mengemukakan bahwa memang benar apa yang dikemukakan oleh FKP bahwa di dalam membahas Pasal 2 butir b Pemerintah

Pada penelitian ini pula ekstrak daun sirih merah (Piper crocatum) dengan zinc pyrithione 1% sebanding dalam menghambat pertumbuhan Pityrosporum ovale secara in vitro, yang berarti

Antagonis reseptor muskarinik menyekat efek asetilkolin dengan memblok ikatan ACh dan reseptor kolinergik muskarinik pada neuroefektor yang terdapat pada otot

Uskup mempunyai kepenuhan sakramen tahbisan, maka ia menjadi “pengurus rahmat imamat tertinggi”, terutama dalam Ekaristi… Gereja Kristus sungguh hadir dalam jemaat beriman

Terapi pneumonia di rawat inap biasanya dimulai dengan memberikan antibiotik intravena empiris, namun rute pemberian antibiotik bisa dirubah selama perawatan dari

Etika merupakan sistem nilai-nilai dannorma-norma moral yang menjadi pedoman bagi individu atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.Etika bertujuan agar