• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA PERPAJAKAN DI INDONESIA. dan akan mendapatkan sanksi pidana atau hukuman bila dilarang,dan sanksi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA PERPAJAKAN DI INDONESIA. dan akan mendapatkan sanksi pidana atau hukuman bila dilarang,dan sanksi"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA PERPAJAKAN DI INDONESIA

Hukum pidana adalah suatu kumpulan aturan yang mengandung larangan dan akan mendapatkan sanksi pidana atau hukuman bila dilarang,dan sanksi dalam hukum pidana jauh lebih keras dibanding dengan akibat sanksi hukum yang lainnya.41

Moeljatno mengartikan hukum pidana sebagai bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:42

1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan tersebut dan dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3) Menentukan dengan cara yang bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Menurut Simons, hukum pidana adalah kesemuanya perintah-perintah dan larangan-larangan yang diadakan oleh Negara dan yang diancam dengan suatu nestapa (pidana) bagi barang siapa yang tidak mentaatinya, kesemua aturan-aturan       

41

Marlina, Opcit, hal. 15

42

(2)

yang menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum itu dan kesemuanya aturan-aturan untuk menjatuhi dan menjalankan pidana tersebut.43

Berdasarkan asas legalitas bahwa seseorang hanya dapat dipersalahkan sebagai telah melakukan tindak pidana apabila orang tersebut oleh hakim telah dinyatakan terbukti bersalah telah memenuhi unsur-unsur daripada tindak pidana yang bersangkutan seperti telah dirumuskan dalam undang-undang.44

Hal ini sejalan dengan tindak pidana perpajakan maupun tindak pidana lainnya yang mana harus terlebih dahulu tercipta regulasi yang melegalkan atau tidak melegalkan suatu perbuatan sehingga jelas suatu perbuatan tersebut termasuk dalam tindak pidana atau bukan.

Pelaku tindak pidana dibedakan antara pelaku menurut doktrin dan pelaku menurut KUHP. Pelaku tindak pidana menurut doktrin adalah mereka yang telah memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang dituduhkan, sedangkan pelaku menurut KUHP adalah sesuai dengan ketentuan yang dimuat dalam KUHP, sehingga terjadi kemungkinan seseorang yang tidak memenuhi unsur dari tindak pidana dapat diklasifikasikan sebagai pelaku. 45

Suatu perbuatan yang dapat dinyatakan sebagai tindak pidana, perbuatan itu harus sesuai dengan perumusan yang tercantum dalam ketentuan daripada undang-undang tersebut dan termasuk meliputi pertanggungjawaban pidananya.

A. Perbuatan Pidana Perpajakan Dalam Undang-undang Perpajakan

       43 Ibid, hal. 8 44 Ibid, hal. 3 45

Mohammad Eka Putra & Abul Khair, Percobaan dan Penyertaan (Medan, USU press, 2009), hal. 4

(3)

Moeljatno mengemukakan istilah perbuatan pidana yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang mana disertai oleh ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa saja yang melanggar larangan tersebut46. Dalam kata lain bahwa segala perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan daripada undang-undang akan dijatuhi hukuman (sanksi) sesuai yang terdapat dalam ketentuan undang-undang itu sendiri.

Undang-undang perpajakan membagi tindak pidana yang dilakukan oleh wajib pajak dalam 2 (dua) jenis yaitu pidana pelanggaran, dan pidana kejahatan. 1. Pelanggaran.

Pelanggaran dalam ajaran hukum pidana sering dipadankan dengan kejahatan yang ringan, dalam hal ini terlihat ada kesamaan dengan pelanggaran dibidang perpajakan. Ancaman pidana yang dikenakan yakni, pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda sebesar 2 (dua) kali pajak terhutang, bahkan dapat juga dikenakan sanksi administrasi saja apabila pelanggaran yang dilakukan hanya menyangkut tindakan administrasi saja (penjelasaan pasal 38 Undang-undang Nomor 6 tahun 1983).

Penjelasan pasal 38 Undang-undang Perpajakan menyebutkan kualifikasi daripada kealpaan itu sendiri adalah tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, dan tidak memperdulikan kewajibannya sehingga perbuatannya mengakibatkan kerugian bagi Negara. Perihal tindak pidana pelangaran tersebut yang dimaksudkan dalam pasal 38 ayat (1) Undang-undang KUP Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana yang

      

46

(4)

telah diubah atas perubahan ketiga menjadi Undang-undang KUP Nomor 28 Tahun 2007 yakni;

Barang siapa karena kealpaannya :

a. tidak menyampaikan surat pemberitahuan; atau

b. menyampaikan surat pemberitahuan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya satu tahun atau denda setinggi-tingginya sebesar 2 (dua) kali pajak terhutang.47

2. Kejahatan.

Jika pelanggaran merupakan kejahatan yang ringan maka kejahatan dapat dipadankan sebagai pelanggaran yang berat dikarenakan ancaman pidananya jauh lebih berat dbandingkan dengan ancaman pelanggaran, yakni penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun dan denda setinggi-tingginya 4 (empat) kali dari jumlah pajak terhutang. Dan bagi pelaku pengulangan kejahatan (residive) ancaman pidana dilipatkan dua, dengan ketentuan belum lewat setahun.

Seperti yang tercantum dalam bunyi pasal 39 Undang-undang KUP Nomor 6 Tahun 1983 yang telah diubah atas perubahan ketiga menjadi Undang-undang KUP Nomor 28 Tahun 2007 menegaskan bahwa :

(1). Barang siapa dengan sengaja :

      

47

Bambang Waluyo, Tindak Pidana Perpajakan (Jakarta, Pradnya Paramita, 1994), hal. 96

(5)

a. tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau menggunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pajak Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 2; atau

b. tidak menyampaikan SPT; dan atau

c. menyampaikan SPT atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; dan

d. memperlihatkan pembukuan, pencatatan atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; dan

e. tidak memperlihatkan atau meminjamkan pembukuan, pencatatan atau dokumen lainnya ; dan

f. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun dan denda setinggi-tingginya sebesar 4 (empat) kali dari pajak terhutang.

Ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilipatkan dua apabila seseorang melakukannya lagi tindak pidana dibidang perpajakan sebelum lewat satu tahun, terhitung sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan.48

Perbedaan antara pelaku pelanggaran dengan kejahatan disini adalah ada atau tidaknya niat untuk melakukan suatu pelanggaran. Apabila secara nyata mempunyai niat untuk tidak memenuhi kewajiban perpajakan maka termasuk

      

48

(6)

kejahatan, dan apabila dilakukan berkali-kali maka pelaku dapat dikatakan resedivis.

Pengenaan sanksi perpajakan kepada wajib pajak seperti yang diatur dalam pasal 38 dan 39 Undang-undang KUP Nomor 6 Tahun 1983 yang telah diubah atas perubahan ketiga menjadi Undang-undang KUP Nomor 28 Tahun 2007, ternyata mempunyai jangkauan disamping untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana (residive) dibidang perpajakan, juga merupakan upaya pencegahan (preventy) bagi wajib pajak untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang tersebut, demi menumbuhkan rasa disiplin dan kesadaran hukum untuk melaksanakan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban Negara. 49

B. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Perpajakan dalam Hukum Pidana

Pertanggungjawaban pidana sudah muncul sejak zaman Revolusi Prancis, pada masa itu tidak saja manusia yang dapat pertanggungjawaban tindak pidana bahkan hewan atau benda mati lainya pun dapat di pertanggungjwabkan tindak pidana. Seseorang tidak saja mempertanggungjawabkan tindak pidana yang di lakukanya, akan tetapi perbuatan orang lain juga dapat di pertanggungjawabkan karena pada masa itu hukuman tidak hanya terbatas pada pelaku sendiri tetapi juga di jatuhkan pula pada keluarga atau teman-teman pelaku meskipun mereka tidak melakukan tindak pidana. Hukuman yang dijatuhkannya atas atau jenis perbuatan sangat berbeda-beda yang di sebabkan oleh wewenang yang mutlak dari seorang hakim untuk menentukan bentuk dan jumlah hukuman.

      

49

(7)

Namun setelah revolusi prancis pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dasar falsafah kebebasan berkehendak yang disebut dengan teori tradisionalisme (mashab taqlidi), kebebasan berkehendak dimaksud bahwa seorang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas dasar pengetahuan dan pilihan, menurut teori ini seseorang yang pada usia tertentu dapat memisahkan dan membedakan mana yang dikatakan perbuatan baik dan mana yang tidak baik.

Pertanggungjawaban atau yang di kenal dengan konsep “liability” dalam segi falsafah hukum, seorang filosof besar abad ke 20, Roscoe Pound menyatakan bahwa : I…Use simple word “liability” for the situation whereby one may exact

legally and other is legally subjeced to the exaction.”50 Pertangungjawaban pidana di artikan Pound adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan di terima pelaku dari seseorang yang telah di rugikan, menurutnya juga bahwa pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.

Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai “toereken-baarheid,” “criminal reponsibilty,” “criminal liability,” pertanggung jawaban pidana disini di maksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat di pertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang di lakukannya itu.51

      

50

Roscoe Pound. “ introduction to the phlisophy of law” dalam Romli Atmasasmita,

Perbandingan Hukum Pidana.Cet.II, ( Bandung:Mandar Maju,2000),hlm.65 51

S.R Sianturi .Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya,Cet IV, ( Jakarta :Alumni Ahaem-Peteheam,1996),hlm .245

(8)

Dalam konsep KUHP tahun 1982-1983, pada pasal 27 menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku, secara obyektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat di kenai pidana karena perbuatannya.52

Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pertanggungjawaban.Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh mengatakan, orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak tertulis mengatakan, “tidak di ada pidana jika tidak ada kesalahan,” merupakan dasar dari pada di pidananya si pembuat.53

Seseorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika pada waktu melakukan delict, dilihat dari segi masyarakat patut di cela.54 Dengan demikan, menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu (1) harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain, harus ada unsur melawan hukum. Jadi harus ada unsur Obejektif, dan (2) terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat di pertanggungjawabkan kepadanya.jadi ada unsur subjektif.

Telah di maklumi bahwa perbuatan pidana memiliki konsekuensi pertanggungjawaban serta penjatuhan pidana. Maka, setidaknya ada dua alasan       

52

Djoko Prakoso .Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia . Edisi Pertama , ( Yogyakarta : Liberty Yogyakarta , 1987 ) ,hlm.75

53

Ibid.

54

Prodjohamidjojo, Martiman, Memahami dasar-dasar hukum Pidana Indoesia ( Jakarta :PT. Pradnya Paramita, 1997) hlm.31

(9)

mengenai hakikat kejahatan,55 yakni pertama pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang tidak senonoh yang dilakukan manusia lainnya. Kedua pendekatan yang melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap dan pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat. Kedua pendekatan ini berkembang sedemikian rupa bahkan di yakini mewakili pandangan-pandangan yang ada seputar pidana dan pemidanaan. Dari sinilah kemudian berbagai perbuatan pidana dapat di lihat sebagai perbuatan yang tidak muncul begitu saja, melainkan adalah hasil dari refleksi dan kesadaran manusia. Hanya saja perbuatan tersebut telah menimbulkan kegoncangan sosial di masyarakat.

Kemampuan dalam hal bertanggungjawab bila di lihat dari keadaan batin orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal, sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran – ukuran yang di anggap baik oleh masyarakat.56

Sementara bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal, maka ukuran-ukuran tersebut tidak berlaku baginya tidak ada gunanya untuk di adakan pertanggungjawaban, sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Bab III Pasal 4 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:

      

55

Andi Matalatta, “santunan bagi korban”dalam J.E. sahetapy (ed.)…Victimilogy sebuah Bunga rampai 9 (Jakarta: Pustaka sinar Harapan,19870) ,hlm.41-42

56

Sutrisna, I Gusti Bagus, “Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana ( Tijauan

terhadap pasal 44 KUHP),” dalam Andi Hamzah(ed.), Bunga Rampai HUkum Pidana dan Acara Pidana ( Jakarta :Ghalia Indonesia ,1986), hlm. 78

(10)

1. Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh di hukum

2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan menempatkan di di rumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk di periksa.

3. Yang ditentukannya dalam ayat di atas ini, hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tingi dan pengadilan negeri.

Mengenai kemampuan bertanggungjawab sebenarnya tidak secara terperinci di tegaskan oleh pasal 44 KUHP. Hanya di temukan beberapa pandangan para sarjana, misalnya Van Hammel yang mengatakan, orang yang mampu bertanggungjawab harus memenuhi setidaknya 3 (tiga) syarat, yaitu : (1) dapat menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam alam kejahatan, (2) dapat menginsafi bahwa perbuatanya di pandang tidak patut dalam pergaulan masyarakat, (3) mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap perbuatan tadi.57

Unsur-unsur pertanggungjawaban Pidana dimana pertanggungjawaban pidana harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

1. Kemampuan bertanggung jawab.

Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada:

      

57

(11)

a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum; (faktor akal)

b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. (faktor perasaan/kehendak)

2. Kesengajaan (dolus)

Dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana ( Criminal wetboek) tahun 1809 di cantumkan : “sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang di larang atau di perintahkan oleh Undang-undang.” Dalam memorie Van Toelichting (Mvt) Menteri Kehakiman sewaktu pengajuan criminal Wetboek tahun 1881 (yang menjadi kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia 1915), di jelaskan : “sengaja “ diartikan : “ dengan sadar dari kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu.”

Beberapa sarjana merumuskan de will sebagai keinginan, kemauan, kehendak, dan perbuatan merupakan pelaksanaan dari kehendak. De will ( kehendak ) dapat tujukan terhadap perbuatan yang dilarang dan akibat yang di larang. Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja” yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan atau membayangkan.

Menurut teori pengetahuan atau teori membayangkan, manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia tidak mungkin dapat menghendakai suatu akibat karena manusia hanya dapat menginginkan, mengharapakan atau membayangkan adanya suatu akibat. Adalah “sengaja” apabila suatu akibat yang di timbulkan karena suatu tindakan di bayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan di

(12)

lakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah di buat. Teori ini menitik beratkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan si pembuat, ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia berbuat.

Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang. Sebagai contoh, A mengarahkan pistol kepada B dan A menembak mati B; A adalah “sengaja” apabila benar-benar menghendaki kematian B.

Menurut Van Hattum opzet ( sengaja) secara ilmu bahasa berarti oogemark (maksud), dalam arti tujuan dan kehendak menurut istilah undang-undang,

opzetelijk (dengan sengaja) diganti dengan willens en watens (menghendaki dan

mengetahui).

Pompe mengatakan, bahwa apabila orang mengartikan maksud (oogemark) sebagai tujuan (bedoeling) seperti rencana keinginan pembuat, berarti ada perbedaan antara maksud (oogemark) dan sengaja (opzet). Apabila maksud (oogemark) di batasi sampai tujuan terdekat (naaste doel) dari pembuat, berarti pengertian maksud (oogemark) selalu juga berarti sengaja (opzet). Lebih lanjut ia memberi contoh: seseorang bermaksud membunuh menteri dan melempar bom ke mobil yang di tumpangi oleh menteri itu. Di samping itu duduk pula raja. Jadi, pembuat bermaksud membunuh menteri itu yang berarti sengaja. Jika ia mengetahui bahwa menteri tidak akan mati dengan perbuatannya itu, maka ia tidak akan melempar bom. Sedangkan kematian raja sama sekali tidak di perdulikan. Ia tidak bermaksud membunuh raja tetapi dalam hal ini perbuatan

(13)

melempar bom ke mobil yang di tumpangi juga oleh raja merupakan perbuatan sengaja karena ia tahu perbuatanya itu dapat mendatangkan akibat kematian raja.

Ada dua istilah lagi yang berkaitan dengan sengaja, yaitu “niat”(voorhomen) dan dengan rencana lebih dahulu (met voorberachterade). Dalam pasal 35 KUHP tentang percobaan di katakan. “percobaan melakukan kejahatan di pidana jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan iu bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri” (ayat 1). Maka dipersoalkanlah apakah ada perbedaan anatra niat dan kesengajaan.Van Bemmellen tidak melihat adanya perbedaan antara keduanya. Misalnya pada percobaan pembunuhan, apabila pembunuh menembak korbannya tetapi meleset , maka niat dan kesengajaan jatuh bersamaan. Karena niat katanya harus dinyatakan dengan tindak pelaksanaan, maka tidak ada alasan untuk membuat perbedaan antara niat dan kesengajaan. Adapun pembagian jenis sengaja yang secara tradisional dibagi tiga jenis, yaitu:

1. Sengaja sebagai maksud ( Opzet als oogemark),

Yang dimaksud dengan sengaja sebagai maksud adalah, apabila pembuat menghendaki akibat perbuatannya. Dengan kata lain, jika pembuat sebelumnya sudah mengetahui bahwa akibat perbuatannya tidak akan terjadi maka sudah tentu ia tidak pernah mengetahui perbuatannya. Contoh: A menghendaki kematian B, dan oleh sebab itu ia mengarahkan pistolnya kepada B. Selanjutnya, ia menembak mati B. Akibat penembakan yaitu kematian B tersebut adalah benar dikehendaki A. Kesengajaan dengan maksud merupakan bentuk sengaja yang paling

(14)

sederhana. Menurut teori kehendak, maka sengaja dengan maksud dapat didefinisikan sebagai berikut yakni sengaja dengan maksud adalah jika apa yang dimaksud telah dikehendaki. Menurut teori membayangkan, sengaja dengan maksud adalah jika akibat yang dimaksudkan telah mendorong pembuat melakukan perbuatannya yang bersangkutan.

2. Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian (Opzet met bewustheid van

zekerheid of noodzakelijkheid),

Yang dimaksud sengaja dengan kesadaran tentang kepastian adalah, pembuat sebelumnya harus dilakukan suatu perbuatan lain yang berupa pelanggaran juga. Maksudnya untuk mencapai tujuan pembuat maka si pembuat harus terlebih dahulu melakukan suatu pelanggaran sebelum melakukan apa yang ia tujukan. Contoh: agar dapat mencapai tujuannya, yaitu membunuh B, maka A sebelumnya harus membunuh C, karena C menjadi pengawal B. Antara A dan C sama sekali tidak ada permusuhan, hanya kebetulan C pengawak B. A terpaksa tetapi sengaja terlebih dahulu membunuh C dan kemudian membunuh B. Pembunuhan B berarti maksud A tercapai, A yakin bahwa ia hanya dapat membunuh B setelah terlebih dahulu membunuh C, walaupun pembunuhan C itu pada permulaannya tidak dimaksudkannya. A yakin bahwa jika ia tidak terlebih dahulu membunuh C, maka tentu ia tak pernah akan dapat membunuh B.

3. Sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi (Opzet met

(15)

Yang dimaksud dengan sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi adalah, perbuatan si pembuat mengakibatkan timbulnya suatu pelanggaran lain disamping pelanggaran pertama. Maksudnya dengan perbuatan si pembuat ada kemungkinan terjadi akibat dari perbuatannya yang melanggar suatu perlanggaran lain disamping pelanggaran pertama. Sebagai contoh: keputusan Hoge Raad tanggal 19 Juni 1911, kasusnya A hendak membalas dendam terhadap B. A mengirimkan sebuah kue tart kealamat B, dalam tart tersebut telah dimasukkan racun. A sadar akan kemungkinan besar bahwa istri B turut serta makan kue tart tersebut. Walaupun ia tahu, tapi ia tidak menghiraukan . Oleh hakim ditentukan bahwa perbuatan A terhadap istri B juga dilakukan dengan sengaja, yaitu sengaja dengan kemungkinan.

Perkembangan pemikiran dalam teori itu ternyata juga di ikuti dalam praktek peradilan di Indonesia. Di dalam beberapa putusanya, hakim menjatuhkan putusan tidak semata-mata kesengajaan sebagai kepastian, tetapi juga mengikuti corak-corak yang lain. Jadi dalam praktek peradilan semacam itu sangat mendekati nilai keadilan karena hakim menjatuhkan putusan sesuai dengan tingkat kesalahan terdakwa.

Dari uraian tersebut, pembuktian terhadap teori kehendak itu tidak mudah dan memakan banyak waktu dan tenaga. Lain halnya kalau kesengajaan di terima sebagai pengetahuan. Dalam hal ini pembuktian lebih singkat karena hanya berhubungan dengan unsur-unsur dan perbuatan yang dilakukannya saja. Tidak ada hubungan kausal antara motif dengan perbuatan. Hanya berhubungan dengan

(16)

pertanyaan, apakah terdakwa mengetahui, menginsafi atau mengerti perbutannya, baik kelakuan yang dilakukan maupun akibat dan keadaan-keadaan yang menyertainya.

3.Kealpaan (culpa)

Yang dimaksud dengan kealpaan adalah terdakwa tidak bermaksud melanggar larangan undang-undang, tetapi ia tidak mengindahkan larangan itu. Ia alpa, lalai, teledor dalam melakukan perbuatan tersebut. jadi, dalam kealpaan terdakwa kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang.

Selanjutnya, dengan mengutip Van Hamel, Moeljatno mengatakan kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu tidak mengadakan penduga-penduga sebagaimana diharuskan oeh hokum dan tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.

Kealpaan ditinjau dari sudut kesadaran si pembuat maka kealpaan tersebut dapat dibedakan atas 2 (dua) yaitu:

1. Kealpaan yang disadari (bewuste schuld) Kealpaan yang disadari terjadi apabila si pembuat dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu akibat yang menyertai perbuatannya. Meskipun ia telah berusaha untuk mengadakan pencegahan supaya tidak timbul akibat itu. 2. Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld) Kealpaan yang tidak

disadari terjadi apabila si pembuat tidak membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu akibat yang menyertai

(17)

perbuatannya, tetapi seharusnya ia dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan suatu akibat tersebut. (Sofyan Sastrawidjaja)

Adapula bentuk-bentuk kealpaan yang ditinjau dari sudut berat ringannya, yang terdiri dari :

1. Kealpaan berat (culpa lata) Kealpaan berta dalam bahasa belanda disebut dengan merlijke schuld atau grove schuld, para ahli menyatakan bahwa kealpaan berta ini tersimpul dalam ”kejahatan karena kealpaan”, seperti dalam Pasal: 188, 359, 360 KUHP

2. Kealpaan ringan dalam Bahasa Belanda disebut sebagai lichte schuld, para ahli tidak menyatakan tidak dijumpai dalam jenis kejahatan oleh karena sifatnya yang ringan, melainkan dapat terlihat didalam hal pelanggaran Buku III KUHP

4. Tidak adanya Alasan Pemaaf.

. Pembicaraan mengenai alasan penghapus pidana di dalam KUHP dimuat dalam Buku I Bab III Tentang hal-hal yang menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan pengenaan pidana. Pembahasan selanjutnya yaitu mengenai alasan penghapus pidana, yaitu alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan delik tidak dipidana

Memorie van Toelichting (M.v.T) mengemukakan apa yang disebut alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya seseorang. M.v.T menyebut 2 (dua) alasan:

a. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang itu, dan

(18)

b. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak diluar orang itu.

Di samping perbedaan yang dikemukakan dalam M.v.T, ilmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan sendiri terhadap alasan penghapus pidana, yaitu:

a. Alasan penghapus pidana yang umum, yaitu yang berlaku umum untuk tiap-tiap delik, hal ini diatur dalam Pasal 44, 48 s/d 51 KUHP.

b. Alasan penghapus pidana yang khusus, yaitu yang hanya berlaku untuk delik-delik tertentu saja, missal Pasal 221 ayat (2) KUHP, menyimpan orang yang melakukan kejahatan dan sebagainya. Di sini ia tidak dituntut jika ia hendak menghindarkan penuntutan dari istri, suami dan sebagainya (orang-orang yang masih ada hubungan darah).

Ilmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan lain terhadap alas an penghapus pidana sejalan dengan pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya pembuat. Penghapusan pidana dapat menyangkut perbuatan atau pembuatnya, maka dibedakan 2 (dua) jenis alasan penghapus pidana, yaitu:

1. Alasan Pembenar,

Adapun yang dimaksud alasan pembenar yaitu, menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Kalau perbuatannya tidak bersifat melawan hukum maka tidak mungkin ada pemidanaan.

(19)

2. Alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan,

Adapun yang dimaksud alas an pemaaf ialah, menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang tidak dapat dicela atau ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Disini ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat, sehingga tidak dipidana.

Menurut penjelasan Undang-undang Perpajakan juga dimuat ketentuan pidana yang mengatur bahwa setiap pelaku atau pejabat yang tidak menyampaikan SPT yang isinya tidak benar diancam pidana dengan ketentuan berdasarkan kesalahannya. Adapun jenis dari kesalahan yang diperbuat yakni : a. Kesalahan berdasarkan kealpaan dalam ketentuan pasal 38 Undang-undang

perpajakan ;

(1). tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau

(2). menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar,

Sehingga dapat menimbulkan kerugian Negara, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak terhutang.58

Pengertian kealpaan dalam ketentuan Undang-undang ini, adalah perbuatan yang tidak sengaaja, lalai, tidak hati-hati dan tidak memperdulikan kewajibannya, atau kurang memperhatikan keadaan atas perbuatannya mengakibatkan kerugian bagi Negara. Jadi dapat disimpulkan bahwa setiap orang

      

58

(20)

atau pejabat wajib pajak yang melakukan perbuatan atas kealpaannya dapat diancam pidana dengan hukuman pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda yang dibebankan paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak.

b. Kesalahan berdasarkan kesengajaan dalam ketentuan pasal 39 Undang-undang Perpajakan :

(1). setiap orang yang dengan sengaja;

(a). tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 2; atau

(b). tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan ; atau

(c). menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau

(d). menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29; atau

(e). memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; atau

(f). tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan , tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau

(21)

Sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terhutang.59

Pengertian kesengajaan dalam ketentuan Undang-undang ini, adalah suatu perbuatan yang dengan sengaja dan dilakukan oleh seseorang atau wajib pajak dengan kesadarannya dan dengan maksud tertentu untuk menguntungkan diri sendiri atau oranglain yang merugikan oranglain atau masyarakat maupun Negara. Hal ini jelas bahwa setiap orang atau wajib pajak atas perbuataanya dengan sengaja atau dengan sadar perbuatan yang dilakukannya bertujuan untuk maksud tertentu dengan menguntungkan diri sendiri atau oranglain yang mengakibatkan kerugian bagi oranglain atau masyarakat, maupun Negara diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali dari jumlah pajak terhutang.

Bahwa dapat disimpulkan setiap orang atau pejabat atas perbuatannya melakukan pelanggaran maupun kejahatan dalam perpajakan di Indonesia dapat dikenakan sanksi pidana, bukan hanya karena perbuatan kealpaannya saja melainkan juga karena kesalahannya.

Dari unsur-unsur tersebut dapat juga dikatakan bahwa tindak pidana dibidang perpajakan dapat dikategorikan sebagai suatu kejahatan dalam bidang adminsitrasi yang mana tidak hanya merugikan bagi oranglain atau masyarakat luas melainkan juga Negara dikarenakan merugikan pendapatan kas Negara yang

      

59

(22)

mana pajak merupakan sumber pendapatan bagi Negara yang bertujuan untuk pembiayaan pembangunan serta kesejahteraan bagi masyarakat luas.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan, pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasarkan subjek atau pelaku tindak pidana. Adapun 3 kategori pertanggungjawaban pidana tersebut yakni:

1. Pertanggungjawaban pidana bagi wajib pajak yang melakukan tindak pidana perpajakan

Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.60

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 dijelaskan juga bahwa setiap orang yang dengan sengaja:61

a. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak       

60

Pasal 13A Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007

61

(23)

b. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak

c. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan

d. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap

e. menolak untuk dilakukan pemeriksaan

f. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya

g. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain h. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar

pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi online di Indonesia

i. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Pidana sebagaimana dimaksud ditambahkan 1 kali menjadi 2 kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana dibidang perpajakan

(24)

sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan. Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan

Ketentuan pertanggungjawaban pidana juga dikenakan bagi setiap orang yang dengan sengaja:62

a. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya

b. menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak

      

62

(25)

dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

2. Pertanggungjawaban pidana bagi pegawai pajak yang melakukan tindak pidana perpajakan

Dalam ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007, pertanggungjwaban kedua dibebankan kepada pegawai pajak yang dalam melaksanakan tugasnya melakukan:63

a. Pegawai pajak yang karena kelalaiannya atau dengan sengaja menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya dengan sengaja bertindak di luar kewenangannya yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dapat diadukan ke unit internal Departemen Keuangan yang berwenang melakukan pemeriksaan dan investigasi dan apabila terbukti melakukannya dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

c. Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

      

63

(26)

d. Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya.

e. Pegawai pajak tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila dalam melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

3. Pertanggungjawaban pidana bagi pejabat pajak yang melakukan tindak pidana perpajakan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 juga membebankan pertanggungjwaban pidana kepada pejabat pajak yang dalam melaksanakan tugasnya melakukan:64

a. Pejabat yang karena kealpaanya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).

b. Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

      

64

(27)

c. Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.

Pertanggungjawaban pidana juga dapat dikenakan bagi setiap orang yang wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).65

Selain itu pertangggungjawaban pidana yang terdapat dalam undang-undang perpajakan ini dibebankan bagi: 66

a. Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satumiliar rupiah).

b. Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).       

65

Pasal 41A Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007,

66

(28)

c. Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). d. Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi

perpajakan sehingga menimbulkan kerugian kepada negara dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

C. Sanksi Pidana Perpajakan dalam Hukum Pidana

Sanksi pidana untuk tindak pidana dibidang perpajakan dalam Undang-undang Perpajakan tidak ada yang berupa hukuman mati atau hukuman seumur hidup, tetapi hanya hukuman penjara yang tidak lebih dari 6 (enam) tahun dan hukuman tambahan juga dapat dijatuhkan oleh hakim berupa pencabutan hak.67 Sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap pelanggaran dan kejahatan dalam tindak pidana berupa yakni :

a. Hukuman kurungan b. Hukuman penjara

c. Hukuman denda, dan disamping itu dapat dijatuhkan d. Hukuman tambahan (Pasal 40b; pasal 35 dst. KUHP68

Seseorang yang dihukum dengan hukuman kurungan wajib mengerjakan pekerjaan yang diperintahkan kepadanya sesuai peraturan yang berlaku yang lebih ringan daripada yang diwajibkan kepada mereka yang dijatuhi hukuman penjara       

67

T.N. Syamsah, Opcit, hal. 29

68

(29)

(Pasal 29 KUHP), dan seseorang yang dijatuhi hukuman penjara wajib melakukan pekerjaan yang diperintahkan kepadanya menurut peraturan yang berlaku (Pasal 14 KUHP). Hukuman penjara oleh hakim dapat dijatuhkan untuk sementara atau dengan percobaan sesuai dengan syarat-syarat tertentu.69

Suatu perbuatan yang dilakukan oleh wajib pajak dibidang perpajakan dapat merupakan tindak pidana dan sekaligus juga merupakan perbuatan dibidang administrasi, seperti tidak memasukkan surat pemberitahuan, atau memasukkan surat pemberitahuan yang diwajibkan oleh undang-undang pajak yang isinya tidak benar atau palsu. Untuk masing-masing perbuatan itu dapat dijatuhkan sanksi :

a. Sanksi pidana untuk tindak pidananya;dan

b. Sanksi administrasi untuk perbuatan tidak mengindahkan ketentuan administrasi.

Sanksi pidana merupakan wewenang pengadilan pidana dan dijatuhkan oleh hakim pidana, bila hakim mendapatkan keyakinan bahwa si pelaku benar-benar terbukti telah melakukan tindak pidana, sedangkan sanksi administrasi termasuk wewenang administrasi pajak dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak, dan dijatuhkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, sebagai pejabat pelaksana Direktorat Jenderal Pajak, bila syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dipenuhi.70

Sanksi administrasi maupun sanksi pidana mempunyai dampak dibidang perpajakan. Dalam Undang-undang pajak terdapat banyak ketentuan yang pelanggarannya diancam dengan pidana, hal ini memberikan dampak psikologis       

69

Ibid, hal. 30

70

(30)

yang besar bagi wajib pajak dan masyarakat, terlebih lagi jika sanksi pidana dijatuhkan dalam hukuman penjara, atau denda ditambah dengan hukuman penjara yang mana dengan penerapan sanksi pidana ini akan memperkecil jumlah perlanggaran maupun kejahatan dalam peraturan perpajakan. Sehingga memberikan pengaruh bagi wajib pajak untuk lebih berhati-hati jangan sampai perbuatannya dalam perpajakan dikategorikan sebagai tindak pidana dibidang perpajakan.71

      

71

Referensi

Dokumen terkait

Intergranular corrosion (IGC) adalah bentuk penyerangan terhadap batas butir atau daerah sekitarnya pada material dalam lingkungan korosif tetapi hanya sebagian

Salah satu alat yang biasa digunakan untuk meningkatkan kualitas sebuah perangkat wifi adalah antenna wifi eksternal yang dapat anda jumpai pada toko-toko komputer di kota anda.

Kepuasan pelanggan dapat terwujud apabila kualitas pelayanan yang dirasakan oleh pelanggan sama, atau setidaknya hampir sama dengan apa yang pelanggan harapkan

Kedua faktor tersebut yaitu lingkungan yang buruk yang tidak didukung oleh status sosial ekonomi keluarga dan kesehatan lansia yang menurun yang diakibatkan oleh faktor

Pemidanaan didalam hukum di Indonesia adalah suatu cara atau proses untuk menjatuhkan sanksi atau hukuman pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana maupun

Ancaman sanksi pidana untuk tindak pidana kejahatan yang dilakukan dalam bidang perpajakan dilipat dua kali (200%) apabila wajib pajak melakukan lagi tindak pidana di bidang

11 Yang dimaksud kreativitas guru dalam skripsi ini adalah kemampuan guru untuk mengekspresikan dan mewujudkan potensi daya pikirnya sehingga dapat menghasilkan

tidak mendapat asupan gizi yang baik. Namun ada sisi positif yang bisa dilihat dimana adanya jaminan kesehatan dan penambahan rumah sakit dan tenaga medis meskipun belum