• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Gaya Hidup Kebiasaan Merokok Kebiasaan Olahraga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Gaya Hidup Kebiasaan Merokok Kebiasaan Olahraga"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Gaya Hidup

Menurut Suhardjo (1989), dari kacamata antropologi, gaya hidup merupakan hasil penyaringan dari serentetan interaksi sosial, budaya, dan keadaan. Selanjutnya Muchtadi (1996) menambahkan bahwa dampak dari arus globalisasi yang paling nyata terlihat pada penduduk di perkotaan adalah gaya hidup konsumsi pangan, termasuk gaya hidup dalam memilih tempat makan dan jenis pangan yang dikonsumsi.

Kebiasaan Merokok

Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran napas dan jaringan paru-paru. Pada saluran napas besar, sel mukosa membesar (hipertrofi) dan kelenjar mucus bertambah banyak (hiperplasia). Pada saluran napas kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan lendir. Pada jaringan paru-paru, terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli (Wahyudi 2009). Namun, Wack dan Rodin (1982) menyebutkan bahwa merokok dapat menyebabkan perubahan fisik dan kimia yang terjadi di dalam rongga mulut sehingga terjadi penurunan ketajaman indera pengecapan. Selain itu, Chiolero et al. (2008) menjelaskan bahwa penurunan selera makan tersebut merupakan efek dari nikotin dalam jangka pendek, sedangkan dalam jangka panjang merokok dapat menyebabkan central fat accumulation. Akan tetapi, perokok dapat memiliki nafsu makan yang lebih tinggi saat sedang tidak merokok.

Dalam situs Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2010) rokok merupakan salah satu faktor risiko utama terjadinya penyakit tidak menular seperti kardiovaskuler, stroke, penyakit paru obstruktif kronik, kanker paru, kanker mulut, dan kelainan kehamilan. Penyakit-penyakit tersebut merupakan penyebab kematian utama di dunia, termasuk di Indonesia. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2002 rokok adalah pembunuh yang akrab di tengah-tengah masyarakat. Setiap detik, satu orang meninggal akibat merokok. Rokok, juga membunuh separuh dari masa hidup perokok, dan separuh perokok mati pada usia 35 sampai dengan 69 tahun.

Kebiasaan Olahraga

. Menurut Karim (2002), olahraga adalah suatu bentuk aktivitas fisik yang terencana dan terstruktur, yang melibatkan gerakan tubuh berulang-ulang dan

(2)

ditujukan untuk meningkatkan kebugaran jasmani. Menurut Soedjono dan Harjadi (1984) di dalam deklarasi International Council of Sport and Physical Education tahun 1964 di Paris tentang olahraga, dinyatakan bahwa olahraga ialah setiap kegiatan fisik yang bersifat permainan dan yang berupa perjuangan terhadap diri sendiri atau orang lain atau terhadap kekuatan-kekuatan tertentu.

Tiap kegiatan fisik akan menimbulkan perubahan fisiologis sesuai dengan beban yang diberikan kepada tubuh, terutama perubahan pada sistem kardiovaskular-respirasi (Soedjono dan Harjadi 1984). Selanjutnya Asikin (1984) menambahkan bahwa otot jantung menjadi kuat dan kemampuan paru serta kapasitas pernafasan menjadi lebih baik, peredaran darah ke alat-alat tubuh, otot dan kulit bertambah, dan dengan demikian memperbaiki penyediaan bahan makanan yang diperlukan organ tersebut serta meningkatkan pembuangan ampas metabolisme yang mungkin membahayakan. Hasil penelitian Sudibjo, Prakosa dan Soebijanto (2001) terhadap kelompok Senam Aerobik Intensitas Sedang (SAIS) menunjukkan bahwa senam aerobik yang dilakukan selama delapan minggu dengan frekuensi latihan tiga kali perminggu dengan intensitas sedang dan durasi 30 menit sudah dapat menurunkan Persentase Lemak Badan (PLB) secara bermakna. Selanjutnya Oetoro (2010) menyarankan tiga santai untuk olahraga yang ampuh menurunkan obesitas, yaitu jalan santai, renang santai, dan bersepeda santai. Lemak terbakar saat tubuh bergerak pelan terus-menerus di atas 30 menit.

Seperti yang diutarakan oleh Kuntaraf & Kuntaraf (1992) dalam Armandi (2010), berdasarkan penelitian Dr. Cooper, olahraga yang teratur akan menyebabkan terbentuknya pembuluh darah yang baru didalam otot. Dengan demikian, jumlah darahpun bertambah, dan peredaran darah lebih lancar, dan badan merasa nyaman. Menurut Almatsier (2001) olahraga ternyata lebih besar pengaruhnya terhadap proses penuaan daripada keturunan, merokok dan kegemukan.

Aktivitas fisik

Almatsier (2001), menjelaskan bahwa aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot-otot tubuh dan sistem penunjangnya. Selama melakukan aktivitas fisik, otot membutuhkan energi diluar metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk menghantarkan zat-zat gizi dan oksigen keseluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh. Banyaknya energi yang dibutuhkan

(3)

tergantung pada berapa banyak otot yang bergerak, berapa lama dan berapa berat pekerjaan yang dilakukan

Aktivitas fisik dilaporkan merupakan 20-40% total pengeluaran energi. Energi yang digunakan untuk aktivitas fisik sangat ditentukan oleh jenis aktivitas dan lama waktu melakukan aktivitas tersebut. Aktivitas yang melibatkan kerja otot dan dilakukan lebih lama akan memerlukan energi lebih besar (Dwiriani 2008).

Menurut Rosmalina dan Permaesih (2008) aktivitas fisik merupakan faktor utama yang membedakan kebutuhan energi, selain itu juga berat badan dan umur. Aktivitas fisik sehari mencakup lama dan jenis aktivitas yang biasa dilakukan akan mempengaruhi jumlah energi yang dikeluarkan. Studi WHO pada faktor-faktor risiko menyatakan bahwa gaya hidup duduk terus-menerus dalam bekerja adalah 1 dari 10 penyebab kematian dan kecacatan di dunia. Lebih dari dua juta kematian setiap tahun disebabkan oleh kurangnya bergerak/aktifitas fisik. Pada kebanyakan negara di seluruh dunia antara 60% hingga 85% orang dewasa tidak cukup beraktifitas fisik untuk memelihara fisik mereka (Karim 2002). Kebiasaan Makan

Kebiasan makan keluarga dan susunan hidangannya merupakan salah satu manifestasi kebudayaan keluarga yang disebut life style (gaya hidup). Gaya hidup merupakan hasil dari interaksi antara berbagai faktor sosial budaya dan lingkungan hidup (Madanijah 2004).

Menurut Suhardjo (1989), kebiasaan makan adalah suatu gejala budaya dan sosial yang dapat memberi gambaran perilaku dari nilai-nilai yang di anut oleh seseorang atau suatu kelompok masyarakat. Pada masyarakat modern d mana hampir semua orang menghabiskan waktu dari pagi sampai sore di tempat kerja sudah tentu tidak banyak punya waktu untuk memasak makanan. Biasanya pada masyarakat demikian akan berkembang kebiasaan makan di luar rumah seperti di restoran ‘fast food’ atau di tempat kerja di mana makanan di sediakan oleh usaha catering.

Menurut Oetoro et al. (2010), sebuah penelitian yang membandingkan sekelompok orang yang sarapan dengan tidak sarapan memberi hasil mengejutkan. Mereka yang melewatkan sarapan, makan siangnya lebih banyak, memiliki kadar kolesterol yang tinggi dan lebih resisten terhadap insulin. Menurut Purwati, Rahayuningsih dan Salimar (2005), kesibukan kerja dan aktivitas keseharian yang sangat padat cenderung mengakibatkan seseorang tidak

(4)

mempunyai waktu makan tertentu. Jika keadaan tersebut berlangsung relatif lama maka akan menyebabkan terjadinya kegemukan. Oleh karena itu, dianjurkan untuk makan secara teratur dan hanya pada jam-jam tertentu saja, yakni tiga kali sehari.

Selanjutnya diutarakan oleh Kodyat (1994) dalam Muchtadi (1996) bahwa kelompok warga kota yang berpenghasilan mapan, dalam konsumsi pangan sehari-hari terlalu selera sentris, gengsi sentris dan ekonomi sentris. Selera sentris adalah gaya konsumsi pangan yang terlalu berorientasi pada unsur selera. Dalam hal ini lokasi tempat makan dan jenis pangan yang dihidangkan menjadi pertimbangan utama, sedangkan pertimbangan gizi kurang mendapat perhatian. Membaiknya tingkat ekonomi mengubah pola atau jenis makan seseorang. Menurut Cahyono (2008) pola makanan fast food yang berlemak tinggi, tinggi karbohidrat dan kalori saat ini lebih digemari dan lebih bergengsi dibandingkan makanan tradisional yang justru lebih menyehatkan.

Morbiditas

Menurut WHO (2000) diacu dalam Hadi (2005), kenaikan mortalitas diantara penderita obes merupakan akibat dari beberapa penyakit yang mengancam kehidupan seperti diabetes tipe 2, penyakit jantung, penyakit kandung kemih, kanker gastrointestinal dan kanker yang sensitif terhadap perubahan hormon. Orang obes juga mempunyai risiko yang lebih besar untuk menderita beberapa masalah kesehatan seperti back pain, arthritis, infertilitas, dan fungsi psychososial yang menurun. Menurut Oetoro et al. (2010) pada kasus obesitas, tubuh kurang sensitif terhadap insulin. Indikasinya adalah kadar insulin di dalam darah meningkat. Pankreas akan memproduksi insulin lebih banyak lagi. Ketika kemampuan pankreas memproduksi insulin tak bisa mengimbangi resistensi insulin, terjadi diabetes tipe 2 yang ditandai tingginya kadar gula darah, lebih dari 200 mg/dl. Resiko terkena diabetes mellitus semakin meningkat sejalan dengan peningkatan indeks massa tubuh.

Menurut Rahmawati dan Sudikno (2008), salah satu penyebab meningkatnya penyakit tidak menular adalah adanya peningkatan pendapatan yang menimbulkan pergeseran pola konsumsi. Pola makan masyarakat di perkotaan bergeser dari pola makan tradisional yang mengandung banyak karbohidrat, serat, dan sayuran ke pola makanan barat yang komposisinya terlalu banyak mengandung protein, lemak, gula, garam, tetapi kurang serat.

(5)

Selama tahun 1990-an, peranan lemak yang berlebihan pada paru-paru merupakan permasalahan kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan obesitas karena keterkaitannya dengan napas yang pendek, sleep apnea (berhenti napas ketika tidur) dan morbiditas psikososial yang terjadi bersamaan (Seidell dan Visscher 2008). Data dari Rissanen et al. (1990), dalam Seidell dan Visscher (2008) menyebutkan bahwa di Finlandia, pensiun karena disabilitas (ketidakmampuan bekerja) terjadi dua kali lebih sering kepada laki-laki yang gemuk dan satu setengah kali lebih sering kepada perempuan yang gemuk jika dibandingkan dengan orang-orang yang IMT-nya rendah. Pada studi yang dilakukan oleh Yulianto (2006) diketahui bahwa munculnya kegemukan dan diabetes dapat disebabkan oleh melimpahnya gula darah (glukosa) akibat makan berlebihan.

Status Gizi

Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi dan penyerapan (absorbsi) dan penggunaan (utilisasi) zat gizi makanan. Dapat disebutkan pula bahwa status gizi seseorang pada dasarnya merupakan gambaran kesehatan sebagai refleksi dari konsumsi pangan dan penggunaannya oleh tubuh (Khomsan et al. 2009). Menurut Briawan dan Madanijah (2008), status gizi adalah keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan antara jumlah asupan (intake) zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan (requirement) untuk berbagai fungsi biologis. Ditambahkan oleh Hardinsyah et al. (2002) bahwa semua zat gizi yang diperlukan oleh tubuh dapat diperoleh dengan cara mengkonsumsi anekaragam makanan dalam jumlah yang cukup dan seimbang. Makanan yang beranekaragam minimal terdiri dari satu jenis dari masing-masing golongan pangan berikut: makanan pokok, lauk pauk, sayur, dan buah.

Menurut Riyadi (2004), saat ini pengukuran antropometri (ukuran-ukuran tubuh) digunakan secara luas dalam penilaian status gizi, terutama jika terjadi ketidakseimbangan kronik antara intik energi dan protein. Arisman (2004) menambahkan bahwa ukuran tubuh tertentu dapat memberikan keterangan mengenai jenis malnutrisi. Briawan dan Madanijah (2008) menjelaskan bahwa pengukuran antropometri yang sering dilakukan adalah berat badan (BB) untuk mengetahui massa tubuh; panjang/tinggi badan (PB/TB) untuk mengetahui dimensi linear; tebal lipatan kulit (skinfold thickness) dan lingkar lengan atas (LILA) untuk mengetahui komposisi tubuh, cadangan energi dan protein.

(6)

Obesitas

Menurut Khomsan (2004), kegemukan (obesitas) adalah refleksi ketidakseimbangan konsumsi dan pengeluaran energi. Sedangkan menurut Hendromartono (2002), obesitas adalah keadaan dimana terjadi penumpukan lemak yang berlebihan di dalam tubuh yang diekspresikan dengan perbandingan berat badan serta tinggi badan yang meningkat. Soerasmo dan Taufan (2002) menambahkan bahwa wanita dikatakan obesitas bila lemak tubuhnya lebih dari 25% berat badan, sedangkan laki-laki disebut obesitas bila lemak tubuhnya lebih dari 20% berat badan.

Dalam konteks kesehatan masyarakat, kegemukan pada orang dewasa ditentukan berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) yang telah disepakati secara global. IMT dihitung berdasarkan berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan tinggi badan (dalam meter) dikuadratkan (BB/TB2) (Hardinsyah 2007). Menurut Effendi (2009), Body Mass Index atau Indeks Massa Tubuh tidak berlaku untuk anak-anak dalam masa pertumbuhan, orang tua yang pengukuran TB-nya tidak memungkinkan, atlet dan individu yang berotot, serta wanita hamil atau menyusui.

Tabel 1. Penilaian berat badan berdasarkan IMT.

Kategori Nilai IMT

Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0

Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0 – 18,5

Normal > 18,5 – 25,0

Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan < 25,0 – 27,0

Kelebihan berat badan tingkat berat > 27,0

Sumber: Instalasi Gizi Perjan RS Dr. Cipto Mangunkusumo dan Asosiasi Dietisien Indonesia, 2005

Etiologi obesitas sesungguhnya dapat dibagi dua, yaitu (1) penyebab internal yang bisa berupa permasalahan metabolisme (hormonal) atau pencernaan (enzimatik), dan (2) permasalahan eksternal yang berupa ketidakseimbangan antara diet dan exercise sebagai akibat dari perubahan gaya hidup serta modernisasi, termasuk pelbagai problem psikologis dan aktualisasi diri (Hartono 2006). Sedangkan menurut Hernomoadi et al. (1994), penyebab terjadinya obesitas adalah kelebihan kalori dalam makanan melampaui dari penggunaan energi sehari-hari. Proses kejadiannya sedikit demi sedikit, dan umunya melibatkan beberapa faktor, yaitu faktor sosial, faktor hormonal, faktor psikologik dan faktor genetik.

(7)

a. Faktor Sosial-ekonomi

Suku bangsa, tradisi, dan tingkatan sosial amat berpengaruh. Di negara maju pada wanita dengan tingkat sosial rendah, obesitas lebih banyak ditemukan. Hal yang paling menentukan dalam faktor sosial ini adalah gaya hidup yang salah ditinjau dari pola makanan ataupun aktivitas (Hernomoadi et al. 1994). Menurut Sjarif (2002), perubahan pengetahuan, sikap, perilaku hidup, gaya hidup dan pola makan, serta faktor peningkatan pendapatan, mampu mempengaruhi perubahan dalam pemilihan jenis makanan dan jumlah yang dikonsumsi. Sebagai contoh, dalam kehidupan keluarga di perkotaan dewasa ini ditemukan ibu-ibu yang cenderung berperan ganda yaitu sebagai ibu rumah tangga dan sekaligus sebagai wanita karier atau wanita pekerja. Dalam penelitian Rahmawati dan Sudikno di Kota Depok (2008), responden dengan pekerjaan sebagai PNS, TNI/POLRI, pedagang dan ibu rumah tangga merupakan kelompok responden yang mempunyai resiko terjadi obesitas lebih tinggi dibandingkan kelompok lain.

Pada pidato pengukuhannya sebagai guru besar di IPB tahun 1996, Muchtadi menyebutkan bahwa dampak dari arus globalisasi yang paling nyata terlihat pada penduduk di perkotaan adalah gaya hidup konsumsi pangan, termasuk gaya hidup dalam memilih tempat makan dan jenis pangan yang dikonsumsi.

b. Faktor Hormonal

Produksi berlebih dari hormon kortikosteroid adrenal menyebabkan peningkatan proses glukoneogenesis yang membutuhkan banyak insulin. Reaksi yang terjadi pada pankreas adalah pembuatan insulin besar-besaran, dan berakibat liponesis (Hernomoadi et al. 1994).

c. Faktor Psikologik

Untuk beberapa orang gangguan emosi menyebabkan berlebihan makan. Contohnya bulimia, merupakan suatu kelainan, yang penderitanya terdorong untuk makan berlebihan dalam waktu relatif singkat (Hernomoadi et al. 1994). Bagi orang tersebut, makan dilakukan bukan untuk memenuhi kebutuhan untuk mengganti energi yang telah digunakan dan dikeluarkan pada aktivitas fisik atau psikologik tertentu, melainkan

(8)

karena memang ingin makan dan makan, yang tidak mampu dikendalikan olehnya (Elvira 2007).

d. Faktor Genetik

Lebih banyak kemungkinan pasangan yang salah satu atau keduanya menderita obesitas untuk mempunyai keturunan obesitas (Hernomoadi 1994). Selanjutnya Khomsan (2004) menjelaskan bahwa apabila dua orang tua gemuk, resiko kegemukan pada anak-anaknya mencapai 80%. Namun, jika hanya satu orang tua yang gemuk, peluang anak-anaknya menjadi gemuk sebesar 40%.

Konsumsi Pangan dan Intake Zat Gizi

Konsumsi pangan adalah informasi mengenai jenis dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Hardinsyah dan Martianto 1992). Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan antara lain adalah jenis dan banyaknya pangan yang diproduksi dan tersedia, tingkat pendapatan, dan pengetahuan gizi (Harper 1986).

Menurut Gibson (2005), dalam penilaian konsumsi makanan dapat terjadi kejadian overestimating dan underreporting energy intakes (underrecording dan undereating). Overestimating terjadi karena tingginya angka penaksiran saat menaksir jumlah makanan yang dikonsumsi sampel. Underrecording adalah kegagalan merekam atau mencatat semua yang dikonsumsi oleh sampel. Undereating terjadi saat sampel makan lebih sedikit daripada biasanya atau lebih sedikit daripada yang dibutuhkan untuk mempertahankan berat badan. Faktor-faktor yang berhubungan dengan laporan rendahnya konsumsi energi di dalam suatu penelitian, yaitu status berat badan, umur dan jenis kelamin, status sosial ekonomi, aktivitas yang terkait dengan kesehatan, efek prilaku, efek psikologis, serta makanan dan kudapan khusus.

Hasil riset di Rumah Sakit Anak di Boston, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa pemanis yang terkandung dalam minuman dan makanan ringan bisa menyebabkan obesitas (Oetoro et al. 2010). Selanjutnya Sjarif (2002) menambahkan bahwa peranan diet terhadap terjadinya obesitas sangat besar terutama diet tinggi kalori yang berasal dari karbohidrat dan lemak. Menurut Yulianto (2006) pangan yang memilki IG (indeks glikemik) tinggi kebanyakan memiliki kandungan karbohidrat, pati dan glukosa tinggi, kadar serat rendah, overippened (terlalu matang) pada buah-buahan, overcooked (terlalu masak) pada makanan, dan bertekstur halus.

(9)

Menurut Madanijah dan Nasution (2008) banyak terjadi bahwa makin tinggi konsumsi makanan yang mengandung tinggi karbohidrat/gula, makin besar peluang terjadi obesitas. Namun pada kenyataannya pula bahwa makanan yang mengandung tinggi karbohidrat/gula, juga tinggi kandungan lemaknya. Kenyataan ini dianggap sebagai bukti bahwa karbohidrat/gula, bukanlah satu-satunya penyebab dari kejadian obesitas. Obesitas terjadi karena asupan energi dan lemak yang jauh melebihi kebutuhan.

Gambar

Tabel 1. Penilaian berat badan berdasarkan IMT .

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh penghargaan finansial dan pertimbangan pasar kerja terhadap minat mahasiswa akuntansi untuk berkarir menjadi akuntan publik dapat diketahui dengan

Pemakaian teknologi komputer dalam berbagai macam bentuk dapat, menunjang kinerja yang handal, cepat, dan akurat, dari sisi teknologi yang digunakan juga tidak menimbulkan

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada ALLAH SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga Laporan Tugas Akhir dengan Judul Analisis Penerimaan

Tabel 4.13 Data Rata-Rata Selisih Koordinat Plumbon.....

 Kreativitas sebagai core competence akan membantu perusahaan menciptakan produk, jasa, proses, atau ide yang lebih baik atau lebih baru.... Sekarang ini masih banyak

Karakter kerja keras terbentuk dari para siswa yang berupaya sungguh- sungguh untuk melaksanakan sholat Dhuhur secara berjamaah dan setelah melaksanakan shalat

Untuk memahami akad mudharabah sebagai perwujudan dari profit and Loss Sharing (PLS), maka bank syariah wajib memberikan sumber pembiayaan yang luas kepada peminjam

Efek motorik asenden konsisten dengan penyebaran ke sefalad dari neostigmin dalam cairan serebrospinal dan telah diamati pada manusia yang menerima dosis yang jauh