• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa anak-anak ke masa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa anak-anak ke masa"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa. Istilah ini menunjuk masa dari awal pubertas sampai tercapainya kematangan, biasanya dari usia 14 pada pria dan 12 pada wanita. Sementara United Nations (UN) atau PBB menyebutnya sebagai anak muda (youth) untuk usia 15-24 tahun. Ini kemudian disatukan dalam batasan kaum muda (young

people) yang mencakup usia 10-24 tahun. Transisi ke masa dewasa bervariasi dari

satu budaya ke budaya lain, namun secara umum didefinisikan sebagai waktu dimana individu mulai bertindak terlepas dari orangtua mereka. Sedangkan menurut klasifikasi World Health Organization (WHO) remaja mulai dari usia 10 s/d 19 tahun, dan batasan inilah yang digunakan dalam penelitian ini (http://h2dy.wordpress.com/2008/12/10/definisi-remaja/).

Remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Mereka sudah tidak di golongan anak-anak, tetapi belum juga dapat diterima secara penuh ke dalam golongan orang dewasa. Remaja ada di antara anak dan orang dewasa. Karena itu, remaja sering dikenal dengan fase “mencari jati diri” atau fase “topan dan badai”. Remaja masih belum mampu menguasai dan memfungsikan secara maksimal fisik dan psikisnya (Monks, 1989 : 259).

Masa remaja merupakan masa dimana seorang individu mengalami peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya dan mengalami perubahan baik

(2)

emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan juga penuh dengan masalah-masalah. Karenanya remaja sangat rentan mengalami masalah psikososial, yakni masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial. Dan hal tersebut dapat memicu terjadinya kenakalan pada remaja (juvenile

deliquency).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Polwiltabes kota Semarang, menyatakan tingginya jumlah kenakalan remaja (dalam bentuk perilaku-perilaku patologis) pertanda tingginya kecenderungan kenakalan remaja. Dampak dari perkembangan zaman yang semakin modern menjadikan segalanya semakin cepat. Perkembangan teknologi yang serba cepat, menuntut remaja segera mampu menguasai dan mengikuti perubahan jika tidak mau tertinggal dengan remaja lainnya. Tuntutan tersebut adalah tugas berat yang harus diemban remaja dewasa ini. Remaja yang memiliki kemampuan dapat terhindar dari kebimbangan, kebingungan, kecemasan, dan konflik-konflik (konflik internal maupun eksternal), sementara remaja yang tidak memiliki keahlian tidak dapat ikut berkompetisi dengan remaja lainnya dan tersisihkan dari pergaulan (http://sariishere.blogspot.com/2009/03/).

Kenakalan remaja seperti sebuah lingkaran hitam yang tidak pernah putus, sambung menyambung dari waktu ke waktu, dari masa ke masa, dari tahun ke tahun dan bahkan dari hari ke hari semakin rumit. Kenakalan remaja merupakan masalah yang kompleks terjadi di berbagai kota di Indonesia. Sejalan dengan arus globalisasi dan teknologi yang semakin berkembang, arus informasi yang semakin mudah diakses serta gaya hidup modernisasi, memudahkan dalam mengetahui

(3)

berbagai informasi di berbagai media, di sisi lain juga membawa suatu dampak negatif yang cukup meluas di berbagai lapisan masyarakat.

Kenakalan remaja yang terjadi dewasa ini sering bukan lagi kenakalan biasa, melainkan kenakalan yang menimbulkan gangguan serius dalam masyarakat dan dapat digolongkan ke dalam kejahatan atau crime. Kenakalan yang identik dengan kejahatan ini antara lain pencurian, perampokan, pemerkosaan, alkoholisme, penyalahgunaan obat-obat terlarang dan lain-lain. Seperti yang terlihat di kota-kota besar, dimana perkelahian antar pelajar misalnya menjadi trend yang banyak menimbulkan korban. Pencurian, perampokan, mempergunakan obat-obat terlarang bagi sebagian remaja sudah merupakan hal yang tidak asing lagi (http://h4b13.wordpress.com/2008/01/14/).

Kejahatan yang dilakukan remaja selama tahun 2001 sebanyak 98 kasus. Dari kasus tersebut, remaja yang melakukan pencurian sebanyak 50 kasus, memakai narkoba 4 kasus, melanggar lalu lintas 3 kasus, melakukan pengrusakan 2 kasus, melakukan penganiayaan 14 kasus, melakukan tindakan asusila 9 kasus, perjudian 3 kasus, perkelahian menggunakan senjata tajam 1 kasus, pengeroyokan 1 kasus, pemerkosaan 7 kasus, melakukan tindakan kekerasan 2 kasus, dan melarikan anak di bawah umur 1 kasus. Ini hanya sebagian data yang dilaporkan, belum termasuk kejadian yang tidak dilaporkan kata Kepala Bapas Surakarta Dra. Siti Jumirah (http://www.suaramerdeka.com/harian/0201/23/ slo6.htm).

Pada tahun 2003, empat persen dari anak-anak usia SMP dan SMA menjadi pemakai narkoba. Pada tahun 2004, jumlah tersebut naik 100 persen. Pada tahun 2003, enam persen tahanan dan narapidana adalah pemakai dan pengedar narkoba. Hal itu dikatakan Kepala Seksi Badan Narkotika Provinsi

(4)

(BNP) DKI Jakarta, A Kasandra Oemarjoedi, dalam seminar bertema Hidup Indah Tanpa Narkoba, di Jakarta, Selasa (31/8). Acara itu diselenggarakan DPD Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI dan Polri DKI Jakarta (http://www.suarapembaruan.com/news/2004/09/01/ jabotabek/jab15.htm).

Dewasa ini, berbagai macam pengaruh dari luar banyak masuk ke negara kita. Kemajuan dan perkembangan teknologi mengakibatkan arus informasi makin pesat. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan perubahan dalam sistem dan nilai-nilai sosial, moral dan agama di dalam masyarakat. Pengaruh arus informasi melalui media (radio, televisi, koran, majalah,dan lain-lain), menjadikan masalah remaja makin kompleks.

Selain masalah penyalahgunaan narkoba, perkelahian atau tawuran juga sering terjadi di antara pelajar. Para remaja menganggap perkelahian sebagai suatu yang wajar bagi mereka. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya tawuran kerap kali terjadi. Data yang ada di Bimmas Polda Metro Jaya di Jakarta, tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar. Tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota polri. Tahun berikutnya korban meningkat menjadi 37 orang pelajar yang tewas. Data tersebut menunjukkan jumlah perkelahian dan korban selalu mengalami peningkatan, bahkan tercatat dalam satu hari sampai 3 perkelahian di tiga tempat sekaligus (http://www.e-psikologi.com/remaja/161001.htm).

Selanjutnya, masalah pornografi dan pergaulan bebas juga sudah menjadi simbol bagi para pelajar dan remaja. Suatu penelitian menunjukkan bahwa

(5)

persentase pergaulan bebas remaja bervariasi. Penelitian Zubairi Djoerban di Jakarta menunjukkan 21 dari 864 remaja atau 2,4 persen mengaku pernah berhubungan seks, di Jawa Tengah 57 dari 2.748 siswa atau 2,1 persen mengaku pernah melakukan hubungan seks pranikah, dan di Bali terdapat 24 persen remaja pria dan 1 persen remaja wanita yang pernah berhubungan seks (http://www.hgweb01.bkkbn.go.id/hgweb/ceria/mbrtpage90.htm/).

Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh dr. Andik Wijaya kepada 202 pelajar di kota Malang, Jawa Timur antara lain menyebutkan bahwa 93 persen remaja kota Malang pernah terlibat pornografi. Dari hasil penelitian tersebut, 82 responden menyatakan pernah, 105 sering dan sisanya mengaku setiap hari selalu terlibat dengan hal-hal yang berbau pornografi. Responden yang diteliti terdiri atas 51 persen laki-laki dan 49 persen perempuan, 6 persen berusia antara 13-15 tahun, 67,3 persen berusia 16-18 tahun, dan 26,7 persen berusia diatas 18 tahun. Dalam penelitian ini terungkap hampir 15 persen responden telah melakukan hubungan seks sebelum menikah. Bahkan 100 persen dari mereka yang telah bertunangan mengaku telah melakukan hubungan seksual. Hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa semua melakukan tadi mengaku mendapat gagasan itu dari VCD porno, teman, internet dan dari media lainnya (http://www.sobatmuda.multiply.com/tag/bidik-2-18).

Selain seks bebas, kasus aborsi juga sangat menonjol. Sebuah laporan yang dirilis Antara (16/02/09), kasus aborsi di Indonesia setiap tahunnya mencapai 2,3 juta dan 30 persen pelakunya masih remaja. Data dari Luh Putu Ikwa Widani dari LSM Kita Sayang Remaja. Lembaga ini meneliti di 9 kota besar dan menemukan angka kehamilan yang tidak diinginkan atau KTD pada remaja

(6)

meningkat jadi 150-200 ribu kasus per tahunnya. Sebuah survei yang dilakukan di 33 provinsi pada pertengahan tahun 2008 melaporkan bahwa 63 persen remaja di Indonesia usia sekolah SMP dan SMA sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah dan 21 persen di antaranya melakukan aborsi. Secara umum survei itu mengindikasikan bahwa pergaulan remaja di Indonesia makin mengkhawatirkan. Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi BKKBN mengatakan, persentasi remaja yang melakukan hubungan seksual pranikah tersebut mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan data penelitian pada 2005-2006 di kota-kota besar mulai Jabotabek, Medan, Bandung, Surabaya, hingga Makassar, masih berkisar 47,54 persen remaja mengaku melakukan hubungan seks sebelum nikah. Namun, dari hasil survei terakhir tahun 2008, persentasenya meningkat menjadi 63 persen. Dengan adanya perilaku seperti itu, para remaja tersebut sangat rentan terhadap risiko kesehatan seperti penularan penyakit HIV-AIDS, penggunaan narkoba, serta penyakit lainnya. Sebab, berdasarkan data Departemen Kesehatan hingga September 2008, dari 15.210 penderita AIDS atau orang yang hidup dengan HIV-AIDS di Indonesia, 54 persen adalah remaja. Jika ditelisik, ada beberapa faktor yang mendorong anak remaja usia sekolah SMP dan SMA melakukan hubungan seks di luar nikah (http://blog.its.ac.id/yanis09mhsisitsacid/2009/12/).

Tingginya penggunaan narkoba di kalangan remaja ditunjukkan hasil riset yang dilakukan oleh Universitas Indonesia. Berdasarkan hasil riset, angka penyalahgunaan narkoba pada pelajar dan mahasiswa sejak tahun 2003 sampai dengan 2006 meningkat dari 3,9% menjadi 5,3% atau jumlah totalnya 1.037.682 siswa.

(7)

Hal yang sama dikatakan Rahardjo selaku Ketua Harian Badan Narkoba D.I. Yogyakarta (Suara Merdeka, 2008), bahwa penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza) di Indonesia terus mengalami peningkatan. Data dari Badan Narkotika Nasional, menunjukkan bahwa pengguna narkoba di Indonesia mencapai 3,2 juta jiwa atau sekitar 1,5 persen dari penduduk Indonesia, dan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Dari jumlah itu, menurut Raharjo, tercatat sekitar 8.000 orang di antaranya menggunakan narkoba dengan alat bantu yang berupa alat suntik. Akibatnya, 60 persen di antara pengguna yang menggunakan alat bantu suntik terjangkit HIV/AIDS. Tingginya penyalahgunaan narkoba tersebut, di dunia rata-rata 15 ribu jiwa setiap tahun melayang karena narkoba (http://www.scribd.com/doc/16176402/).

Para pakar baik pakar hukum, psikolog, pakar agama dan lain sebagainya selalu mengupas masalah yang tak pernah habis-habisnya ini. Mengatasi kenakalan remaja, berarti menata kembali emosi remaja yang tercabik-cabik itu. Emosi dan perasaan mereka rusak karena merasa ditolak oleh keluarga, orang tua, teman-teman, maupun lingkungannya sejak kecil, dan gagalnya proses perkembangan jiwa remaja tersebut. Trauma-trauma dalam hidupnya harus diselesaikan, konflik-konflik psikologis yang menggantung harus diselesaikan, dan mereka harus diberi lingkungan yang berbeda dari lingkungan sebelumnya.

Kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh remaja yang gagal dalam menjalani proses perkembangan jiwanya, baik pada saat remaja maupun pada masa anak-anaknya. Masa kanak-kanak dan masa remaja berlangsung begitu singkat, dengan perkembangan fisik, psikis, dan emosi yang begitu cepat. Secara psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud dari konflik-konflik yang tidak

(8)

terselesaikan dengan baik pada masa kanak-kanak maupun remaja. Seringkali didapati bahwa ada trauma dalam masa lalunya, perlakuan kasar dan tidak menyenangkan dari lingkungannya, maupun trauma terhadap kondisi lingkungannya, seperti kondisi ekonomi yang membuatnya merasa rendah diri. Namun pada kenyataannya orang cenderung langsung menyalahkan, menghakimi, bahkan menghukum pelaku kenakalan remaja tanpa mencari penyebab, latar belakang dari perilakunya tersebut (Gunarsa, 2003 : 17).

Para ahli jiwa berkomentar bahwa kenakalan remaja sebagai akibat dari perkembangan jiwa remaja yang cenderung lebih mengedepankan sifat emosi daripada pemikiran. Sedang menurut politikus kenakalan remaja sebagai akibat kurangnya kontrol sosial, dan para ahli pendidikan berpendapat bahwa kenakalan remaja sebagai akibat dari kecerobohan orangtua, masyarakat dan lingkungan (Stephen Hurwitz, dalam Moeljatno, 1986 : 110).

Minddendorff mengemukakan pendapatnya pada salah satu karangan Kartini Kartono menyatakan bahwa ada kenaikan jumlah juvenile delinquency (kejahatan anak remaja) dalam kualitas, dan peningkatan dalam kegarangan serta kebengisannya yang lebih banyak dilakukan dalam aksi-aksi kelompok daripada tindak kejahatan individual. Fakta kemudian menunjukkan bahwa semua tipe kejahatan remaja itu semakin bertambah jumlahnya dengan semakin lajunya perkembangan industrialisasi dan urbanisasi. Di kota-kota industri dan kota besar yang cepat berkembang secara fisik, terjadi kasus kejahatan yang jauh lebih banyak daripada dalam masyarakat primitif atau di desa-desa. Di Indonesia masalah kenakalan remaja telah mencapai tingkat yang cukup meresahkan masyarakat.

(9)

Pengaruh sosial dan kultural memainkan peranan yang besar dalam pembentukan atau pengkondisian tingkah laku kriminal anak-anak remaja. Perilaku anak-anak ini menunjukkan tanda-tanda kurang atau tidak adanya korfomitas terhadap norma-norma sosial, mayoritas juvenile delinquency berusia di bawah 21 tahun. Anak tertinggi tindak kejahatan ada pada usia 15-19 tahun dan sesudah umur 22 tahun, kasus kejahatan yang dilakukan oleh delinkuen menjadi menurun (Minddendorff, dalam Kartono, 1992 : 3).

Kondisi rumah tangga yang dapat menyumbang terhadap terjadinya kenakalan remaja adalah kurangnya perhatian yang diberikan orangtua, serta kurangnya penghayatan dan pengamalan orangtua terhadap agama. Sekolah merupakan lingkungan belajar kedua yang berkontribusi terhadap keberhasilan dan ketidakberhasilan, dengan salah satu indikator kenakalan remaja. Faktor sekolah yang berkontribusi terhadap kenakalan remaja antara lain disiplin sekolah yang longgar, ketidakacuhan guru dan pengelola sekolah terhadap masalah siswa di luar urusan sekolah, serta tidak lancarnya komunikasi antara guru dan orangtua yang menyebabkan kecilnya peran orangtua dalam kemajuan pendidikan anaknya. Di kota besar di negara-negara yang sudah maju, kejahatan remaja bergandengan erat dengan kemiskinan. Hal ini dicerminkan oleh distribusi ekonomis dan distribusi ekologis dari orang-orang yang berasal dari kelas-kelas sosial yang berbeda-beda. Dengan sendirinya dalam masyarakat terdapat banyak kesenjangan antara si kaya dan si miskin, semua kejadian tadi merangsang terjadinya peningkatan jumlah kejahatan yang dilakukan oleh remaja yang berasal dari stratifikasi ekonomi rendah dengan pola subkultur kemiskinan, namun

(10)

anak-anak remajanya memiliki ambisi materiil yang terlalu tinggi dan tidak realistis (Kartono, 1992 : 33).

Di kalangan kelas menengah dan tinggi dalam masyarakat modern sekarang pada dekade terakhir ini anak mudanya yang hidup sejahtera dan makmur banyak yang ikut-ikutan menjadi delinkuen, khususnya hal ini terdapat di negara-negara yang sejahtera dan teknis maju. Mereka banyak menjadi delinkuen disebabkan faktor kejemuan dan kejenuhan (jenuh hidup di tengah-tengah kemakmuran). Kemewahan dan kemakmuran membuat anak tadi menjadi terlalu manja, lemah secara mental, bosan karena terlalu lama menganggur, tidak mampu memanfaatkan waktu kosong dengan perbuatan yang bermanfaat, dan terlalu enak hidup santai, maka dalam iklim subkultur makmur-santai tadi anak-anak remaja ini menjadi agresif dan memberontak, lalu berusaha mencari kompensasi bagi kehampaan jiwa dengan melakukan perbuatan delinkuen jahat yang hebat-hebat (Gunarsa, 2003 : 108).

Ada kecenderungan bahwa pelaku kenakalan lebih banyak berasal dari kelas sosial ekonomi yang lebih rendah dengan perbandingan jumlah remaja nakal di antara daerah perkampungan miskin yang rawan dengan daerah yang memiliki banyak privilege diperkirakan 50 : 1. Hal ini disebabkan kurangnya kesempatan remaja dari kelas sosial rendah untuk mengembangkan ketrampilan yang diterima oleh masyarakat. Mereka mungkin saja merasa bahwa akan mendapatkan perhatian dan status dengan cara melakukan tindakan anti sosial. Menjadi “tangguh” dan “maskulin” adalah contoh status yang tinggi bagi remaja dari kelas sosial yang lebih rendah, dan status seperti ini sering ditentukan oleh keberhasilan

(11)

remaja dalam melakukan kenakalan dan berhasil meloloskan diri setelah melakukan kenakalan (Kartono, 1992 : 85).

Kenakalan remaja sesungguhnya merupakan suatu ketimpangan tingkah laku yang mendapat menjadi tingkah laku yang patologis yang kronis dan sisiopatik yang parah ditengah-tengah masyarakat seperti yang terjadi saat ini. Oleh sebab itu sudah seharusnya diusahakan langkah-langkah penanggulangan kenakalan remaja tersebut. Didasarkan kepada penelitian-penelitian tentang kenakalan tersebut antara lain penyebab kenakalan remaja ini salah satunya keadaan social ekonomi. Karena remaja merupakan generasi penerus bangsa yang dituntut untuk lebih inovatif dan kreatif serta penuh dedikasi. Karena di tangan merekalah penentu maju atau mundurnya kehidupan bangsa. Untuk itu penulis tertarik mengangkat masalah kenakalan remaja di desa Sidodadi, kecamatan Birubiru, alasan penulis memilih desa Sidodadi, kecamatan Birubiru sebagai lokasi penelitian karena daerah tersebut merupakan daerah suburban, yaitu daerah yang terletak di antara city dan urban, atau daerah yang terletak di antara kota dan desa, jadi daerah tersebut dapat dikatakan daerah transisi, sehingga masyarakat khususnya remaja desa Sidodadi cenderung mengikuti pola kehidupan sosial masyarakat kota. Dimana masyarakat daerah tersebut dominan memiliki tingkat sosial ekonomi yang rendah, sedangkan perilaku remajanya mengikuti gaya hidup masyarakat kota yang terbiasa dengan pola hidup mewah.

Untuk itu penulis akan melakukan penelitian dengan satu judul pengaruh sosial ekonomi rumah tangga terhadap kenakalan remaja di desa Sidodadi, kecamatan Birubiru, kabupaten Deli Serdang.

(12)

B. Perumusan Masalah

Masalah merupakan pokok dari suatu kegiatan penelitian, untuk itu dalam penelitian ini ditegaskan dan dirumuskan masalah yang diteliti berdasarkan latar belakang dan uraian diatas penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

“Apakah sosial ekonomi rumah tangga berpengaruh terhadap kenakalan remaja di desa Sidodadi, kecamatan Birubiru, kabupaten Deli Serdang?”

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian C.1. Tujuan

1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk kenakalan remaja.

2. Untuk mengetahui latar belakang sosial ekonomi rumah tangga pelaku kenakalan remaja.

3. Untuk mengetahui bagaimana sosial ekonomi keluarga mempengaruhi kenakalan remaja.

C.2. Manfaat

1. Dapat digunakan untuk lebih mendalami pengaruh yang disebabkan sosial ekonomi rumah tangga terhadap kenakalan remaja.

2. Menjadi referensi dalam rangka pemahaman perilaku remaja.

3. Dapat digunakan sebagai bahan referensi dalam rangka pemecahan masalah kenakalan remaja.

(13)

D. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan maslah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan uraian dan teori-teori yang berkaitan dengan masalah dan objek yang akan diteliti, kerangka pemilihan, hipotesa, definisi konsep dan definisi operasional.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel penelitian, tehnik pengumpulan data, serta tehnik analisa data.

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan penguraian tentang sejarah geografis dan gambaran umum lokasi penelitian yang berhubungan dengan masalah objek yang diteliti.

BAB V ANALISA DATA

Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dalam penelitian beserta analisanya.

BAB VI PENUTUP

Bab ini memuat tentang kesimpulan dari hasil penelitian dan saran atas penelitian yang telah dilakukan.

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan : 1. Pelaksanaan IUP sebagai upaya pengendalian kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan pasir di Kabupaten Sleman sudah berjalan cukup

Prosedur pengambilan dan pengumpulan data meliputi: data primer yaitu data umum tentang karakteristik ibu hamil dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kecemasan

Faktor-faktor virulensi yang dimiliki bakteri Enterococcus faecalis dapat menyebabkan bakteri ini mampu membentuk koloni pada host, dapat bersaing dengan bakteri

produktivitas tanaman jagung di wilayah daratan Kabupaten Sumenep. Bentuk kegiatan berupa penentuan anjuran pemupukan spesifik lokasi pada tanaman jagung di masing-masing

Jadi, dengan adanya kegiatan maintenance ini, maka fasilitas maupun peralatan pabrik dapat digunakan untuk produksi sesuai dengan rencana dan tidak mengalami kerusakan

Eros Nuryati Pengadaan Langsung Rekanan BPKBD PPK / PPTK METODE/ SISTEM PENGADAAN KETERANGAN.. SUMBER PENYERAPAN SAMPAI

Pemberdayaan dan Pembinaan Generasi Muda serta Pembinaan Keolahragaan di arahkan dalam rangka mewujudkan manusia Indonesia baru, yang berkualitas merupakan salah satu

Berdasarkan hasil kuesioner yang telah disebarkan, dapat disimpulkan bahwa model KMS dapat diterima dan diterapkan pada Yayasan Bina Potensi Rifa dan dapat digunakan sebagai