• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Faktor predisposisi dalam teori yang dmaksud adalah meliputi pengetahuan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Faktor predisposisi dalam teori yang dmaksud adalah meliputi pengetahuan"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi dalam teori yang dmaksud adalah meliputi pengetahuan dan sikap, sebagai berikut:

2.1.1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui mengenai hal sesuatu, Pengetahuan merupakan hasil dari tahu. Dan ini terjadi setelah seorang melakuan penginderaan terhadap sesuatu objek tertentu, penginderaan melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman dan rasa raba. Pengetahuan/kongnitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behaviour). Perilaku didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng (Notoatmodjo, 2003).

Sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berprilaku baru), dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan yakni :

a) Awarness (kesadaran) dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui lebih dahulu terhadap stimulus (objek).

b) Interest, dimana orang mulai tertarik pada stimulus

c) Evaluation, (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.

(2)

d) Trial, dimana seseorang telah mencoba berprilaku baru (adaption), dimana seseorang telah berprilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dengan sikapnya dengan stimulus

Menurut Notoatmodjo (2003) bahwa pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan yakni :

a. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam tingkat pengetahuan ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

b. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

c. Aplikasi (Aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

(3)

d. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih didalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.

e. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

f. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

2.1.2. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Adapun yang melihat sikap sebagai kesiapan syaraf sebelum memberi respon.

Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial, mengatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan pelaksana motif

(4)

tertentu (Notoadmojo, 2003), sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi adalah merupakan pre-disposisi tindakan atau prilaku.

Sikap yang sudah positif terhadap sesuatu objek, tidak selalu terwujud dalam tindakan nyata, hal ini disebabkan oleh :

a. Sikap untuk terwujudnya didalam suatu tindakan bergantung pada situasi pada saat itu.

b. Sikap akan diikuti atau tidak oleh suatu tindakan mengacu pula pada pengalaman orang lain.

c. Sikap akan diikuti atau tidak oleh suatu tindakan berdasarkan pada banyak atau sedikitnya pengalaman seseorang.

Pengukuran terhadap sikap ini dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung, secara langsung dapat dinyatakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek dan secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan yang bersifat hipotesis, kemudian ditekankan pendapat responden

2.2. Faktor Pendukung

Menurut Green (1980) dalam (Notoatmodjo, 2003), bahwa salah satu determinan perilaku sebagai faktor utama yang mempengaruhi perilaku masyarakat

enabling factor (faktor pendukung). Faktor pendukung adalah faktor-faktor yang

(5)

Faktor ini ini mencakup ketersediaan sumber daya, sarana dan prasarana, dan kemudahan mengakses.

Dalam upaya mengurangi risiko bencana alam gempa bumi, maka tokoh masyarakat akan berpartisipasi dengan baik apabila didukung dengan adanya sumber daya yang terkait dengan penanganan bencana, adanya sarana dan prasarana untuk mengurangi bencana serta sumber daya dan sarana tersebut dapat diakses.

2.3. Bencana Alam Gempa Bumi

Gempa bumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi di permukaan bumi. Gempa bumi biasa disebabkan oleh pergerakan kerak bumi (lempeng bumi). Kata gempa bumi juga digunakan untuk menunjukkan daerah asal terjadinya kejadian gempa bumi tersebut. Bumi kita walaupun padat, selalu bergerak, dan gempa bumi terjadi apabila tekanan yang terjadi karena pergerakan itu sudah terlalu besar untuk dapat ditahan (Geodesi-ITB, 2008).

Menurut Yulaelawati dan Syihab (2008) gempa bumi terdiri dari gempa vulkanik dan tektonik. Gempa bumi vulkanik diakibatkan desakan magma ke permukaan, sedangkan gempa tektonik terjadi karena adanya gesekan atau pergerakan pada lempeng bumi.

Gempa bumi didefinisikan sebagai getaran yang bersifat alamiah, yang terjadi pada lokasi tertentu, dan sifatnya tidak berkelanjutan. Getaran pada bumi terjadi akibat dari adanya proses pergeseran secara tiba-tiba (sudden slip) pada kerak bumi. Pergeseran secara tiba-tiba terjadi karena adanya sumber gaya (force) sebagai

(6)

penyebabnya, baik bersumber dari alam maupun dari bantuan manusia (artificial

earthquakes). Selain disebabkan oleh sudden slip, getaran pada bumi juga bisa

disebabkan oleh gejala lain yang sifatnya lebih halus atau berupa getaran kecil-kecil yang sulit dirasakan manusia. Getaran tersebut misalnya yang disebabkan oleh lalu-lintas, mobil, kereta api, tiupan angin pada pohon dan lain-lain. Getaran seperti ini dikelompokan sebagai mikroseismisitas (getaran sangat kecil) (Geodesi-ITB, 2008). 2.3.1. Tipe Gempa Bumi

a. Gempa bumi vulkanik (gunung api). Gempa bumi ini terjadi akibat adanya aktivitas magma, yang biasa terjadi sebelum gunung api meletus. Apabila keaktifannya semakin tinggi maka akan menyebabkan timbulnya ledakan yang juga akan menimbulkan terjadinya gempa bumi. Gempa bumi tersebut hanya terasa di sekitar gunung api tersebut (Geodesi-ITB, 2008).

b. Gempa bumi tektonik. Gempa bumi ini disebabkan oleh adanya aktivitas tektonik, yaitu pergeseran lempeng lempeng tektonik secara mendadak yang mempunyai kekuatan dari yang sangat kecil hingga yang sangat besar. Gempa bumi ini banyak menimbulkan kerusakan atau bencana alam di bumi, getaran gempa bumi yang kuat mampu menjalar keseluruh bagian bumi.

2.3.2. Penyebab terjadinya Gempa Bumi

Kebanyakan gempa bumi disebabkan dari pelepasan energi yang dihasilkan oleh tekanan yang dilakukan oleh lempengan yang bergerak. Semakin lama tekanan itu kian membesar dan akhirnya mencapai pada keadaan dimana tekanan tersebut

(7)

tidak dapat ditahan lagi oleh pinggiran lempengan. Pada saat itu lah gempa bumi akan terjadi (Geodesi-ITB, 2008).

Gempa bumi biasanya terjadi di perbatasan lempengan lempengan tersebut. Gempa bumi yang paling parah biasanya terjadi di perbatasan lempengan kompresional dan translasional. Gempa bumi fokus dalam kemungkinan besar terjadi karena materi lapisan litosfer yang terjepit kedalam mengalami transisi fase pada kedalaman lebih dari 600 km (Geodesi-ITB, 2008).

2.4. Manajemen Penanggulangan Bencana

Pusat Penelitian Siaga Bencana IPB (2008), menyebutkan bahwa dalam manajemen penanggulangan bencana juga dikenal adanya dua mekanisme, yaitu:

a. Mekanisme internal, yaitu pola penanggulangan bencana yang dilakukan unsur-unsur masyarakat di lokasi bencana, baik berupa keluarga, organisasi sosial, dan masyarakat lokal.

b. Mekanisme eksternal, yaitu penanggulangan bencana dengan melibatkan unsur-unsur di luar unsur-unsur yang terlibat dalam mekanisme internal. Apabila diperhatikan, penanggulangan bencana saat ini umumnya menggunakan pendekatan konvensional dan dilakukan dengan mekanisme eksternal.

Fase-fase dalam merespon adanya keadaan krisis dan berbagai masalah kesehatan setelah terjadinya suatu bencana meliputi fase-fase seperti dalam ‘Siklus Manajemen Disaster’. Siklus ini diawali dengan kegiatan yang dilakukan sebelum

(8)

terjadinya bencana yang meliputi kegiatan dalam rangka pencegahan, mitigasi (mengurangi dampak dari bencana) dan kesiapsiagaan (preparedness). Saat bencana terjadi dilakukan kegiatan tanggap darurat (emergency response) dan setelah itu dilakukan kegiatan rehabilitasi dan selanjutnya adalah kegiatan rekonstruksi. Adapun siklus manajemen bencana dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1. Siklus Manajemen Bencana

Sumber : WHO-WPR (2003)

Bencana (disaster) merupakan fenomena yang terjadi karena komponen-komponen pemicu (trigger), ancaman (hazard), dan kerentanan (vulnerability bekerja bersama secara sistematis, sehingga menyebabkan terjadinya risiko (risk) pada komunitas. Bencana terjadi apabila komunitas mempunyai tingkat kemampuan yang lebih rendah dibanding dengan tingkat ancaman yang mungkin terjadi padanya.

(9)

Ancaman menjadi bencana apabila komunitas rentan, atau memiliki kapasitas lebih rendah dari tingkat bahaya tersebut, atau bahkan menjadi salah satu sumber ancaman tersebut. Tentu sebaiknya tidak dipisah-pisahkan keberadaannya, sehingga bencana itu terjadi dan upaya-upaya peredaman risiko itu dilakukan.

Bencana terjadi apabila masyarakat dan sistem sosial yang lebih tinggi yang bekerja padanya tidak mempunyai kapasitas untuk mengelola ancaman yang terjadi padanya. Ancaman, pemicu dan kerentanan, masing-masing tidak hanya bersifat tunggal, tetapi dapat hadir secara jamak, baik seri maupun paralel, sehingga disebut bencana kompleks.

Bencana dalam kenyataan keseharian menyebabkan: (1) Berubahnya pola-pola kehidupan dari kondisi normal (2) Merugikan harta / benda / jiwa manusia,

(3) Merusak struktur sosial komunitas

(4) Memunculkan lonjakan kebutuhan pribadi / komunitas.

Oleh karena itu bencana cenderung terjadi pada komunitas yang rentan, dan akan membuat komunitas semakin rentan. Kerentanan komunitas diawali oleh kondisi lingkungan fisik, sosial dan ekonomi yang tidak aman yang melekat padanya. Kondisi tidak aman tersebut terjadi oleh tekanan dinamis internal maupun eksternal, misalnya di komunitas institusi lokal berkembang dan ketrampilan tepat guna tidak dimiliki.

(10)

2.5. Mengurangi Risiko Bencana

Pembentukan Platform Nasional Pengurangan Risiko Bencana (PRB) sejalan dengan Kerangka Aksi Hyogo 2005-2015 yang telah disepakati oleh 168 negara, termasuk Indonesia, dalam konferensi sedunia untuk Pengurangan Bencana di Kobe, Jepang pada bulan Januari 2005. Hal ini tercermin juga dalam visi penanggulangan bencana yang bertujuan untuk membangun ketangguhan bangsa dan masyarakat terhadap bencana. Saat ini Indonesia telah menempatkan PRB sebagai salah satu prioritas dalam pembangunan nasional dan menjadi bagian dalam proses perencanaan pembangunan (Widjaja. 2009).

Terbitnya Undang-Undang. Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, merupakan suatu komitmen Pemerintah yang sangat jelas dalam menangani kebencanaan di tingkat nasional maupun daerah, yang mencakup berbagai aspek yang bersifat terobosan di dalam pengelolaan dan penanganan masalah kebencanaan secara lebih komprehensif dan berdimensi sistemik. Hal ini ditunjukkan dengan muatan dari undang-undang Nomor 24 tahun 2007, yang menjadi dasar hukum dalam penanganan masalah kebencanaan, tidak hanya dalam penanganan kedaruratan, namun juga mencakup kesiapsiagaan menghadapi bencana, dan penanganan pemulihan pascabencana dalam jangka menengah dan panjang (Laporan Kinerja Pembangunan, 2009).

Salah satu turunan dari Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 adalah diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 8 tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Tugas dan tanggung jawab dari BNPB, selain

(11)

dalam melakukan koordinasi penanggulangan bencana di tingkat nasional, namun juga memberikan dukungan peningkatan kapasitas bagi lembaga penanggulangan bencana di tingkat daerah, serta berbagai upaya lainnya untuk meningkatkan kesiapsiagaan di tingkat nasional maupun daerah di dalam penanggulangan dan pengurangan risiko bencana (Laporan Kinerja Pembangunan, 2009).

Undang-undang ini mengubah paradigma penanganan bencana dari semula hanya ditangani pemerintah secara sentralistis, sektoral, dan lebih memfokuskan pada upaya responsif, menjadi tanggung jawab bersama seluruh pemangku kepentingan yang didesentralisasikan di segala tingkatan secara multisektor serta penekananan pada pengurangan risiko bencana (Bappenas/BPPN, 2009).

Kebijakan dan payung hukum terkait pengurangan risiko bencana sebagai turunan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sangat diperlukan dengan alasan sebagai berikut:

a. Menjamin ketersediaan sumber daya dan kontinuitas pengurangan risiko bencana.;

b. Pemerintah memandang bahwa pengkajian risiko bencana merupakan suatu isu utama dalam menyusun kebijakan bagi pengurangan risiko bencana;

c. Mengatur sistem peringatan dini guna meningkatkan efisiensi dan efektivitas kesiapsiagaan dan respon terhadap bencana;

d. Memberikan dasar bagi pemaduan pengurangan risiko bencana ke dalam sistem pendidikan formal dan nonformal dalam upaya mengubah pola pikir,

(12)

sikap dan perilaku dalam upaya mengurangi risiko bencana serta menjadikan upaya pengurangan risiko bencana menjadi budaya masyarakat;

e. Menjamin pengutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam pembangunan yang berkelanjutan;

f. Menggalakkan sinkronisasi pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim mulai dari tingkat nasional sampai dengan komunitas guna membantu meningkatkan efektivitas penggunaan sumber daya yang berkesinambungan;

g. Sebagai suatu negara hukum, maka apapun yang telah dan akan dilaksanakan untuk pengurangan risiko bencana harus dapat dipertanggung jawabkan secara hukum;

h. Undang-undang tentang kebencanaan di Indonesia masih relatif baru dan belum lengkap sehingga diperlukan upaya untuk.

Penelitian Wahdiny (2008), tentang Tsunami Drill sebagai bagian penting dari implementasi Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia (Ina-Tsunami Early

Warning System), yang diinisiasi oleh pemerintah pusat sejak tahun 2005. Program

Tsunami Drill pada dasarnya ditujukan untuk menstimulasi peran serta masyarakat dalam pencapaian kesiapsiagaan terhadap bencana gempa bumi dan tsunami. Tetapi sampai saat ini belum ada kajian yang mengevaluasi pelaksanaan program Tsunami Drill tersebut. Kajian yang bersifat evaluatif penting sebagai sarana pembelajaran dan untuk membuat perbaikan-perbaikan di kemudian hari. Penelitian ini merupakan

(13)

sebuah inisiatif untuk melakukan kajian evaluatif terhadap program Tsunami Drill, dengan mengambil Tsunami Drill Bali 2006 sebagai sebuah kasus.

Hasil penelitian Wahdiny (2008), menunjukkan bahwa implementasi Tsunami Drill Bali 2006, telah memberikan sumbangan terhadap upaya-upaya peningkatan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana gempa bumi dan tsunami. Khususnya sumbangan ini dalam bentuk pengetahuan dan ketrampilan baru, yang diseminasikan ke masyarakat lokal. Tingkat partisipasi masyarakat dan pemerintah lokal cukup tinggi dalam pelaksanaan program tersebut, meskipun pelaksanaan Tsunami Drill Bali 2006 telah memfasilitasi kerjasama dan kemitraan antara pemerintah lokal dan masyarakat lokal, masih terdapat pertanyaan berkenaan dengan keberlanjutan kemitraan tersebut. Selain itu, indikator-indikator capaian yang diadopsi oleh program Tsunami Drill dapat dikatakan kurang memperhatikan peran penting dari kearifan lokal, terutama kearifan lokal berkenaan dengan fenomena alam dan sikap masyarakat terhadap fenomena alam.

Rencana mitigasi bencana gempa bumi dapat meningkatkan cara pandang yang luas dan terintegrasi terhadap sistem pengurangan resiko bencana yang meliputi beberapa elemen sebagai berikut:

1. Identifikasi bencana dan kerentanannya serta evaluasi resiko bencana tersebut. 2. Strategi pengurangan bencana yang bersumber dari wilayah dan dimiliki oleh

(14)

3. Seperangkat peraturaan, perundang-udangan dan regulasi yang menyediakan kerangka kerja yang komprehensif untuk interaksi antara berbagai organisasi dan insitusi yang berbeda.

4. Mekanisme koordinasi institusi yang kuat

5. Sistem yang solid untuk mengendalikan pemenuhan dan penguatan code dan standar untuk konstruksi bangunan yang aman

6. Perencanaan tataguna lahan dan permukiman yang menggabungkan kepedulian akan bencana dan pengurangan resiko.

7. Penggunaan peralatan komunikasi untuk pengurangan resiko akibat bencana yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bencana, pendidikan, pelatihan dan penelitian.

8. Manajemen kesiapsiagaan dan kedaruratan berdasarkan pada pemahaman resiko. 9. Kerjasama dan koordinasi antar kota dalam satu program mega city.

2.6. Kearifan Lokal dan Penanggulangan Bencana di Aceh

Masyarakat Aceh memiliki sejumlah kearifan lokal dalam penanggulangan bencana. Diantaranya, masyarakat Aceh memiliki institusi adat yang bertangungjawab mengelola lingkungan dan memastikan tidak ada pengrusakan yang bisa menimbulkan bencana, seperti Institusi Adat : Ulee Seneuboek, Ketuha Uteun yang menjaga pengelolaan hutan dalam pemukiman mereka dan Panglima Laot yang bertanggungjawab dalam mengatur penggunaan sumberdaya laut dan menjaga kelestarian alam laut (CSO - NAD, 2007).

(15)

Pelaksanaan rangkaian penanggulangan bencana selama ini nampak kurang melibatkan masyarakat yang terkena bencana dan tidak memperhatikan potensi masyarakat yang menjadi korban. Jika dicermati lebih jauh lagi, perlengkapan baku dalam kegiatan manajemen terdiri dari perlengkapan operasional yang mungkin aneh buat masyarakat. Padahal, sangat mungkin, masyarakat setempat dengan kearifan lokal yang mereka warisi turun-temurun telah memiliki seperangkat alat yang lebih tepat guna bagi mereka. Adalah kewajiban semua pihak untuk membuat masyarakat yang rentan lebih berkapasitas. Dengan tujuan, membuat masyarakat yang rentan mampu mengatasi semua ancaman agar tidak menjadi bencana (CSO - NAD, 2007).

Menurut Yusuf (2007), di beberapa daerah, mitos serta kearifan lokal seputar gempa masih terjaga kelestariannya hingga saat ini. Mitos dan kearifan lokal seputar gempa yang berkembang sebaiknya tidak hanya kita maknai sebagai kekayaan khazanah budaya, melainkan dapat juga dijadikan sebagai bentuk peringatan dini dan antisipasi dalam menghadapi berbagai bencana kebumian yang ada. Contoh kearifan lokal yang terbukti mampu menyelamatkan masyarakat dari bencana gempa di antaranya adalah rumah panggung, seperti rumah gadang yang berarsitektur bagonjong di Sumatra Barat. Rumah panggung tersebut tetap berdiri tegak dan selamat meski gempa sering kali terjadi.

Contoh lain, kearifan lokal juga telah mampu menjadi peringatan dini yang efektif dan terbukti menyelamatkan banyak orang dari tsunami. Sebagaimana kearifan lokal yang dikembangkan masyarakat Pulau Simelue. Sehingga ketika terjadi megatsunami pada 2004, ribuan manusia terselamatkan. Mereka belajar dari kejadian

(16)

tsunami yang terjadi beberapa ratusan tahun silam dan mengembangkannya menjadi sistem peringatan dini. Teriakan semong yang berarti air laut surut dan segera lari menuju ke bukit merupakan kearifan lokal yang melekat di hati setiap penduduk Pulau Simelue (Yusuf, 2007).

Keberhasilan masyarakat Simeulue dalam menghadapi bencana smong/tsunami kiranya dapat menjadi pelajaran penting bagi kita untuk mempelajari kembali dan merevitalisasi kearifan-kearifan budaya lokal (local wisdom). Kearifan budaya lokal tersebut secara kontinu dan simultan perlu dilestarikan, jika tidak maka secara gradual akan terlupakan dan hilang. Upaya melestarikan pengetahuan tentang bencana alam melalui nafi-nafi, sayangnya tidak tersosialisasi. Terma smong sendiri hanya dimiliki oleh masyarakat Simeulue, tanpa tersosialisasi kepada masyarakat di luar pulau itu. Seandainya seluruh masyarakat yang berdomisili di Aceh memiliki pengetahuan itu, tentu saja korban manusia yang jatuh dapat diminimalisir secara drastis. Begitupun tentang terma yang digunakan, tentu bencana dahsyat pada 26 Desember 2004 itu akan dinamai dengan smong, bukan tsunami (Abubakar, 2009).

Lepas dari semua itu, kita patut belajar kepada masyarakat Simeulue atas kepeloporan, konsistensi dan komitmen mereka dalam melestarikan pengetahuan melalui kearifan budaya lokal. Memang sekarang ada upaya-upaya yang dilakukan ragam kalangan untuk mengingatkan masyarakat Aceh terhadap musibah smong, baik melalui tulisan berupa buku-buku, artikel jurnal, majalah, dan sebagainya. Ada melalui pembangunan monumen dan museum tsunami. Bahkan yang paling anyar adalah peringatan dini bahaya tsunami (tsunami early warning). Begitupun dengan

(17)

peringatan tsunami yang digelar saban tahun dengan aneka paket kegiatan (Abubakar, 2009).

2.7. Tokoh Masyarakat

Pengertian tokoh masyarakat menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1987 tentang Protokol adalah adalah seseorang yang karena kedudukan sosialnya menerima kehormatan dari masyarakat dan/atau Pemerintah. Sedangkan menurut Donousodo (2008) tokoh masyarakat adalah seseorang yang berpengaruh dan ditokohkan oleh lingkungannya. Penokohan tersebut karena pengaruh posisi, kedudukan, kemampuan, dan kepiawaiannya. Oleh karena itu, segala tindakan, ucapan, dan perbuatannya akan diikuti oleh masyarakat di sekitarnya.

Di dalam operasionalisasi, dikenal dengan dua sebutan bagi tokoh masyarakat, yaitu tokoh masyarakat formal dan tokoh masyarakat informal. Tokoh masyarakat formal adalah seseorang yang ditokohkan karena kedudukannya atau jabatannya di lembaga pemerintahan. Misalnya ketua RT, ketua RW, kepala desa, lurah, camat, dan lain-lain. Tokoh masyarakat informal adalah seseorang yang ditokohkan oleh masyarakat di lingkungannya akibat dari pengaruhnya, posisinya, dan kemampuannya yang diakui masyarakat di lingkungannya, yaitu:

1) Tokoh agama: seseorang yang ditokohkan karena kemampuan dan kepiawaiannya di bidang keagamaan.

(18)

2) Tokoh adat: seseorang yang ditokohkan oleh masyarakat di lingkungannya karena kemampuan dan kepiawaiannya di bidang adat dan kebudayaan, yang saat ini populer disebut kearifan lokal.

3) Tokoh perempuan: seseorang yang ditokohkan karena kemampuannya, dan suaranya dapat mewakili suara perempuan.

4) Tokoh pemuda: seseorang yang ditokohkan karena kemampuannya dan suaranya dapat mewakili pemuda.

Jadi, tokoh masyarakat informal adalah seluruh tokoh masyarakat yang diakui karena kedudukan, kemampuan, keahlian, maupun kepiawaiannya di bidang tertentu yang diakui oleh masyarakat di lingkungannya.

Menurut Basri (2006), tokoh masyarakat adalah orang yang memiliki 5 faktor yang mempengaruhi kearifan di tengah masyarakat, yaitu: (1) kondisi spiritual-moral; (2) kemampuan hubungan antar manusia; (3) kemampuan menilai dan mengambil keputusan; (4) kondisi personal; dan (5) kemampuan khusus/istimewa. Dengan demikian seorang tokoh masyarakat dapat ditinjau dari faktor-faktor yang berorientasi ke dalam diri pribadi mereka maupun dari faktor-faktor yang berorientasi ke luar, yaitu keberhasilan berhubungan sosial dengan orang-orang lain.

Peran tokoh masyarakat dalam mendukung pengembangan kemampuan masyarakat dalam pengurangan risiko bencana alam gempa bumi akan lebih berdayaguna apabila didukung sistem kelembagaan di masyarakat. Menurut Rissalwan (2007), kelembagaan lokal di tingkat akar rumput dalam hal penanggulangan bencana sesungguhnya dapat menjadi aktor yang berperan vital

(19)

dengan membentuk rangkaian jembatan yang berkonstruksi jaringan koordinasi lembaga-lembaga lokal. Keadaan ideal inilah yang merupakan pertanyaan apakah keterlibatan institusi lokal dapat membentuk rangkaian yang sinergis dan terkoordinasi Atau lembaga tersebut berjalan sendiri-sendiri guna mendapatkan popularitas dan menambah modal. Sehingga tidak ada aktor pengorganisir lembaga dan bertanggung jawab atas penanggulangannya. Dengan adanya kelembagaan lokal sebagai kekuatan sumber daya masyarakat seharusnya hal ini dapat dimanfaatkan guna mengatasi bencana yang sering terjadi dan akan terjadi. Sehingga diperlukan sinergisme kelembagaan lokal masyarakat guna penanggulangan bencana yang terkoordinasi di tingkat kelembagaan komunitas akar rumput, baik itu sebelum bencana, saat bencana, dan setelah bencana.

Kriteria tokoh masyarakat dalam penanggulangan bencana menurut penelitian Irsyadi (2008), tentang pemberdayaan masyarakat dalam program rehabilitasi dan rekontruksi korban tsunami di Desa Meuraksa Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe, menyatakan bahwa tokoh masyarakat merupakan orang yang memahami betul kondisi dan tanggapan masyarakatnya terhadap penanganan bencana yang dihadapi sehingga dapat memberikan informasi tentang bagaimana penilaiannya tentang penanganan bencana tersebut.

Dalam manajemen risiko bencana berbasis masyarakat, keterlibatan langsung pemuka masyarakat dalam melaksanakan tindakan-tindakan peredaman risiko di tingkat lokal adalah suatu keharusan. Keikutsertaan dan keterlibatan pemuka masyarakat digunakan secara bergantian, yang berarti bahwa pemuka masyarakat

(20)

bertanggung jawab untuk semua tahapan program termasuk perencanaan dan pelaksanaan. Pada akhirnya, ujung dari partisipasi pemuka masyarakat dalam penanggulangan bencana adalah penanggulangan bencana oleh pemuka masyarakat itu sendiri.

Pengalaman dalam pelaksanaan penanggulangan bencana yang berorientasi pada pemberdayaan dan kemandirian pemuka masyarakat akan merujuk pada:

(1) Melakukan upaya pengurangan risiko bencana bersama komunitas di kawasan rawan bencana, agar selanjutnya komunitas mampu mengelola risiko bencana secara mandiri

(2) Menghindari munculnya kerentanan baru dan ketergantungan komunitas di kawasan rawan bencana pada pihak luar.

(3) Penanggulangan risiko bencana merupakan bagian tak terpisahkan dari proses pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam untuk pemberlanjutan kehidupan komunitas di kawasan rawan bencana.

(4) Pendekatan multisektor, multi disiplin, dan multi budaya.

2.8. Partisipasi Masyarakat dalam Penanggulangan Bencana

Bentuk partisipasi atau keterlibatan masyarakat yang ideal adalah ikut bertanggungjawab dalam pengenalan masalah, perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pemanfaatan dalam suatu program (Santoso, et al, 2001).

Partisipasi masyarakat dalam masalah kesehatan sangat diperlukan sebagaimana masyarakat tersebut ikut menjadi peserta yang efektif. Bentuk

(21)

partisipasi masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk suatu kelompok yang mempunyai tujuan khusus dan bertanggungjawab sebesar-besarnya pada kelompok atau organisasi tertentu. Partisipasi masyarakat yang efektif terdapat dalam suatu gambaran penting yaitu adanya komitmen dan keterlibatan anggota masyarakat yang lebih penting dari sekedar partisipasi, termasuk pengambilan keputusan dalam membuat tujuan dan rencana implemenatsi (Ndiye, et al, 2001).

Menurut Magnis (1987), kehandalan pendekatan partisipatif dalam pengembangan dan pengelolaan kelembagaan serta pemberdayaan masyarakat menuju pembangunan berkelanjutan merupakan hal yang tak terbantahkan. Penerapan manajemen partisipatif pada organisasi-organisasi sektor publik dan swasta di beberapa negara telah menjadi hal yang lazim, dan pendekatan ini telah diterapkan dalam proses pembangunan di negara-negara berkembang pada proyek-proyek yang dilaksanakan oleh berbagai lembaga mulai dari LSM terkecil hingga yang dikerjakan oleh lembaga donor bilateral maupun multilateral. Kebijakan tingkat tinggi pemerintah Indonesia telah memperkenalkan pendekatan partisipatif sejak dua puluh tahun lalu, namun dampaknya kurang bergema. Tetapi sejak pemerintahan era reformasi, nampaknya mereka memiliki komitmen besar untuk menerapkannya secara total, sehingga hasilnya jauh lebih baik.

Conyers (1994), mengemukakan bahwa partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat secara sukarela yang didasari oleh determinan dan kesadaran masyarakat itu sendiri aktif dalam Partisipasi masyarakat yang semakin

(22)

meningkat baik secara kualitatif maupun kuantitatif merupakan salah satu perwujudan dari perubahan sikap dan perilaku.

2.9. Landasan Teori

Kemampuan tokoh masyarakat untuk berpartisipasi di tengah masyarakat terkait dengan mengurangi bencana, tidak terlepas dari faktor predisposisi yang dimiliki tokoh masyarakat itu sediri dan faktor pendukung yang ada di lingkungan sekitarnya. Dimana kedua faktor tersebut mempengaruhi bagaimana tokoh masyarakat berperilaku.

Menurut Green dan Kreuter (2005), faktor perilaku ini ditentukan oleh tiga kelompok faktor : (1) faktor predisposisi (predisposing faktor) mencakup pengetahuan individu, sikap, kepercayaan, tradisi, norma sosial, dan unsur-unsur lain yang terdapat dalam diri individu; (2) faktor pendukung (enabling faktors) yaitu tersedianya sumber daya, sarana/prasarana kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya ; (3) faktor pendorong (reinforcing faktors) berasal dari kelompok atau individu yang dekat dengan seseorang termasuk keluarga, teman, guru, pengambil kebijakan dan petugas/aparat.

Terkait dengan mengurangi risiko bencana, maka faktor yang mempengaruhi tokoh masyarakat yang utama adalah faktor predisposisi (pengetahuan dan sikap) dan faktor pendukung (ketersediaan sumber daya manusia, sarana dan prasarana, dan kemudahan mengakses).

(23)

2.10. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan teori yang telah dijelaskan, maka kerangka konseptual penelitian ini adalah sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Faktor Predisposisi

1. Pengetahuan 2. Sikap

Faktor Pendukung 1. Sumber daya manusia 2. Sarana/prasarana

3. Kemudahan mengakses

Partisipasi Tokoh Masyarakat dalam Mengurangi Risiko Bencana Alam Gempa Bumi

1. Keterlibatan 2. Tanggung Jawab

Gambar

Gambar 2.1. Siklus Manajemen Bencana  Sumber : WHO-WPR (2003)
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Faktor Predisposisi

Referensi

Dokumen terkait

Kemudahan dalam hal pendirian perusahaan membangkitkan minat untuk membentuk sebuah perusahaan jasa kontraktor yang juga akan mempekerjakan banyak sumber daya

Sedangkan diantara ibu yang berpendapatan rendah, ada 65,8% status gizi balitanya baik.Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,635 maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan

Dari pemaparan latar belakang masalah di atas, penelitian ini berusaha untuk melihat bagaimana pengaruh dari pola interaksi remaja yang dilakukan melalui media

Penelitian berjudul Tindak Tutur Ilokusi Direktif Pada Tuturan Raffi dan Gigi dalam Tayangan Reality Show “Janji Suci Raffi Dan Gigi” Periode Februari 2017 bertujuan

Kegiatan guru dalam publikasi ilmiah berupa hasil penelitian ilmu bidang pendidikan formal harus dibuktikan dengan bukti fisik sebagai berikut.. 28 a) Buku asli atau

Pada saat transformator memberikan keluaran sisi positif dari gelombang AC maka dioda dalam keadaan forward bias sehingga sisi positif dari gelombang AC tersebut

Jika teknologi digunakan secara efektif sebagai perangkat untuk berkreasi, maka siswa akan menjadi memiliki keleluasaan lebih, menjadi kolaboratif, dan

Peserta didik menuliskan lambang-lambang sila Pancasila serta sikap-sikap dalam kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan nilai- nilai yang terkandung dalam sila-sila