• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sifat Fisik dan Komposisi Kimia Buah Aibon (Brugueira gymnorhiza L.) pada Berbagai Tingkat Kematangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sifat Fisik dan Komposisi Kimia Buah Aibon (Brugueira gymnorhiza L.) pada Berbagai Tingkat Kematangan"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Bionatura, 9 (1):83-92. 2007.

Sifat Fisik dan Komposisi Kimia Buah Aibon (Brugueira gymnorhiza L.) pada Berbagai Tingkat Kematangan

Physical Properties and Chemicals Composition of AiBon (Brugueira gymnorhiza L.) Fruit at Some Maturity Level

Zita L. Sarungallo1) dan Budi Santoso1)

1) Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian dan Teknologi Pertanian, Universitas Negeri Papua, Jl. Gunung Salju Amban Manokwari, Irian Jaya Barat (98314).

Email: zlsarungallo@yahoo.com

ABSTRACT

Aibon (Brugueira gymnorhiza L.) fruit is one of potential alternative food sources, unfortunately basic information of physical properties and nutritional facts are still limited. The objective of this research was to determine physical properties and chemical composition of Aibon fruit. Physical properties were determined by observation of fruit morphology such as the length, diameter, weight, form and texture. Analysis of nutritional contents include water content, protein, lipid, ash, starch, sugar content and crude fiber. The fruit samples analyzed to three level of maturity namely unripe, ripe and over ripe. The result showed that the best time to Aibon fruit harvest was at ripe level, with protein content up to 4,67%, lipid 0,61%, ash 1,07%, carbohydrate 93,66%, starch 54,88%, sugar 8,89%, and crude fiber 4,7% (db). Aibon fruit has cylindrical shape with the surface at skin is coarse and wavy, fruit length is 12,2 – 35,9 cm, diameter is 2,0 – 3,0 cm, weight is 30,3 – 61,1 g and the thick of fruit shell is 0,6 – 1,3 mm. The flesh color is easy to change by enzymatic browning after peeling.

Key words: Brugueira gymnorhiza L., Physical Properties, and Chemical Composition

PENDAHULUAN

Keanekaragaman hayati yang tinggi di Indonesia belum diberdayakan dan dimanfaatkan secara maksimal, hal ini dikarenakan minimnya informasi dasar mengenai produk-produk tersebut. Salah satu keragaman hayati potensial yang dimiliki Indonesia adalah hutan mangrove. Menurut Hamzah (1993), Indonesia memiliki hutan mangrove seluas 4.250.000 ha, dengan 28 spesies. Dari luasan tersebut, sekitar 2.943.000 ha (69,2%) berada di Papua dan merupakan yang terluas di antara hutan-hutan mangrove yang ada di Indonesia. Dari sejumlah spesies mangrove yang ada, Brugueira

gymnorhiza L. merupakan spesies penyusun ekosistem hutan mangrove (Suryadiputra,

1999).

Pohon Brugueira gymnorhiza L. banyak dimanfaatkan terutama sebagai bahan baku pulp, bahan penyamak, sumber energi (kayu dan arang), kayu pertukangan dan pada beberapa daerah buahnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan

(2)

(Kartawinata dkk., 1978; Heyne, 1987). Wabdaron (2002) melaporkan bahwa pemanfaatan buah Brugueira gymnorhiza L. sebagai bahan pangan telah dilakukan oleh penduduk Kampung Sowek, Biak secara turun temurun, yang dikenal dengan nama buah “aibon”, artinya buah kayu. Potensi aibon (Brugueira gymnorhiza L.) di Distrik Supiori Selatan, Biak, dilaporkan Yulianti (2004) dengan luas hutan sekitar 120 ha, terdapat sekitar 11.400 pohon dengan potensi buah 227.072-520.448 buah/ha atau sekitar 6229 kg/ha. Ditambahkan pula bahwa buah aibon berbuah 3 kali dalam setahun dengan jangka waktu berbunga hingga panen 6 bulan sehingga buah selalu tersedia sepanjang tahun.

Di Kampung Sowek, secara tradisional daging buah aibon diolah dengan cara merendam buah dalam air laut selama semalam kemudian dikupas dan direbus sehingga menghasilkan bubur dengan rasa seperti ubi yang dilumatkan. Bubur buah aibon umumnya dikonsumsi dengan campuran gula merah dan parutan kelapa. Selain itu buah aibon dapat dikeringkan dan dibuat tepung, sehingga dapat disubsitusikan dengan tepung terigu sebagai bahan dalam pembuatan kue (Wabdaron, 2002). Walaupun demikian pemanfaatan buah aibon sebagai bahan pangan belum populer di tengah masyarakat, karena kurangnya informasi baik mengenai sifat fisik, komposisi kimia, pemanfaatan maupun proses pengolahannya.

Dalam upaya menggali potensi sumber daya spesifik untuk pengembangan hutan bakau di masa depan, maka aibon sebagai salah satu komoditas spesifik lokal Papua perlu mendapat perhatian, karena selain berbuah sepanjang tahun sehingga berpotensi sebagai sumber bahan pangan, pohonnya juga berfungsi sebagai pelindung ekosistem pantai. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sifat fisik dan komposisi kimia buah aibon pada tiga tingkat kematangan, yang merupakan penelitian dasar sebagai upaya pemanfaatannya lebih lanjut sebagai bahan baku industri baik pangan maupun non pangan di masa mendatang.

BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah aibon (Brugueira

gymnorhiza L.) diperoleh dari Kampung Sowek, Supiori Selatan - Biak. Bahan kimia

(pro analisis) yang digunakan untuk analisis proksimat, kadar pati, dan kadar serat kasar.

Peralatan yang digunakan terdiri dari timbangan analitik, oven pengering, tanur, desikator, kaliper, chromameter (Minolta CR 200), alat dekstruksi, titrasi, destilasi,

soxhlet, spektrofotometer, penetrometer, dan peralatan gelas lainnya.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi di lapangan dan analisis kimia di laboratorium. Pengamatan sifat buah aibon, terhadap morfologi dan anatomi bagian buah meliputi ukuran panjang, diameter (kaliper) dan berat, bentuk (visual), dan tekstur (penetrometer); serta perubahan visual yang berkaitan dengan perubahan mutu buah pada tiga tingkat kematangan, yang dilakukan dengan membiarkan buah yang telah dikupas atau dibelah dua di udara terbuka pada suhu ruang, selama 0, 10, 15, 20, 25 dan 30 menit. Perubahan warna diamati dengan

(3)

Analisis komposisi kimia buah aibon pada 3 (tiga) tingkat kematangan yaitu buah muda, buah yang matang penuh, dan buah masak, meliputi kadar air, lemak, protein, abu (AOAC, 1995), pati, total gula, dan serat kasar (Apriyantono et al., 1989).

Kriteria umum buah Aibon yang masih muda memiliki ukuran yang lebih kecil dan berwarna hijau muda, sedangkan buah yang matang optimal berada pada kisaran umur 60-90 hari setelah berbunga, memiliki bentuk buah penuh terutama pada bagian ujung buah, tangkai buah telah mengering dan tidak bergetah, warna kulit hijau kecoklatan dan memiliki tekstur yang keras. Buah Aibon yang tua (lewat matang) berwarna coklat kehitaman dengan tekstur yang lebih lunak dan liat.

HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik Buah

Buah aibon memiliki hipokotil berbentuk bulat memanjang lurus tumpul dengan permukaan tidak rata dan bergelombang. Buah Aibon terdiri dari bagian mahkota buah, kulit buah, daging buah bagian luar serta daging buah bagian dalam, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 1. Mahkota buah menempel kuat pada bagian pangkal buah berwarna merah kekuningan pada saat buah muda dan akan berubah menjadi kuning keputihan pada saat buah matang dan tua.

Gambar 1. Morfologi Buah Aibon (Bruguiera gymnorrhiza Lamk)

Ukuran buah bervariasi pada tingkat kematangan yang berbeda. Secara visual, kriteria buah matang optimal dapat diamati dari beberapa pertanda seperti buah berwarna hijau kemerahan, hipokotil buah membesar, dan tangkai buah mengering serta tidak bergetah, atau dapat pula ditentukan secara komputasi yaitu pada kisaran 60-90 hari sejak pembentukan buah. Hasil pengukuran bagian-bagian buah aibon pada tingkat kematangan optimal disajikan pada Tabel 1.

Daging buah bagian dalam Mahkota buah

Kulit buah Buah aibon

Aibon

(4)

Tabel 1. Ukuran Bagian-bagian Buah Aibon (Bruguiera gymnorrhiza Lamk) pada Tingkat Kematangan Optimal

Parameter Ukuran

Panjang buah 12,2 – 35,9 cm

Diameter buah 2,0 – 3,0 cm

Ketebalan kulit buah 0,6 – 1,3 mm

Ketebalan daging buah bagian luar 2,1 – 3,0 mm Ketebalan daging buah bagian dalam 6,4 –8,6 mm

Berat buah 30,30 – 61,10 gram

Keterangan : Rata-rata kisaran dari 15 kali pengukuran

Kulit buah yang masih muda berwarna hijau tua, dan akan berubah menjadi hijau terang, hijau kecoklatan atau hijau kemerahan setelah buah matang optimal, selanjutnya berubah menjadi kehitaman pada saat buah tua. Kulit buah aibon yang matang optimal memiliki tekstur agak kasar dan keras dengan ketebalan kulit 0,6 – 1,3 mm. Dalam proses pengolahan buah aibon untuk dikonsumsi, bagian kulit yang cukup keras ini harus dikeluarkan dengan menggunakan alat yang cukup tajam. Rumere (2002), melaporkan bahwa secara tradisional masyarakat mengupas buah aibon menggunakan kulit kerang.

Daging buah aibon memiliki tekstur yang cukup keras sehingga untuk pengecilan ukuran dalam proses pengolahannya diperlukan alat pemotongan (atau alat pemarutan) yang tajam. Tingkat kekerasan daging buah aibon cenderung mengalami penurunan dengan bertambahnya tingkat kematangannya. Pada buah muda kekerasannya 0,50 mm/100g/10 det, buah matang 0,43 mm/100g/10 det dan buah tua 0,33 mm/100g/10 det. Semakin lunaknya tekstur buah aibon seiring dengan meningkatnya kematangan buah merupakan akibat dari terkonversinya protopektin menjadi pektin yang larut dalam air selama proses perkembangan buah. Namun untuk pengolahan, sebaiknya pemanenan buah dilakukan pada tingkat kematangan optimal, karena jika lewat matang tekstur daging buah menjadi lunak sehingga menjadi liat dan menyulitkan dalam proses pengolahan terutama pada saat pengupasan dan pengecilan ukuran buah.

Warna daging buah aibon secara alami berwarna putih agak kekuningan, namun setelah mengalami proses pengupasan kulit dan dibiarkan pada udara terbuka sekitar 15 – 30 detik, akan terjadi perubahan warna menjadi kecoklatan sebagai akibat dari reaksi pencoklatan enzimatis. Hasil pengukuran perubahan warna daging buah aibon yang dibiarkan di udara terbuka selama 30 menit disajikan pada Tabel 2.

(5)

Tabel 2. Perubahan Warna Daging Buah Aibon Setelah Pengupasan Parameter warna Waktu Tingkat kematangan buah (cm)

Muda Matang Tua

L 0 menit 68,85 72,47 67,19 10 menit 59,85 66,99 64,70 15 menit 59,54 66,50 64,33 20 menit 58,57 66,41 63,66 25 menit 58,08 66,31 63,53 30 menit 58,16 65,51 62,65 a 0 menit -5,36 -7,24 -2,88 10 menit 3,36 -1,77 -0,22 15 menit 4,22 -0,77 0,23 20 menit 4,62 -0,40 1,25 25 menit 4,57 -0,09 1,59 30 menit 4,95 0,29 0,42 b 0 menit 62,48 64,15 62,48 10 menit 60,29 62,88 62,14 15 menit 60,59 63,32 62,81 20 menit 60,18 63,43 62,34 25 menit 59,61 63,48 62,44 30 menit 59,80 62,87 61,76

Keterangan: L = intensitas kecerahan, a = intensitas warna merah, b = intensitas warna kuning

Data pada Tabel 2, menunjukkan bahwa warna daging buah aibon pada saat pengupasan adalah putih kekuningan (kuning muda), yaitu pada daging buah muda memiliki nilai L = 68,85; a = 5,36; b = 62,48. Buah matang optimal L = 72,47; a = -7,24; b = 64,15. Buah tua L = 67,19; a = -2,88; b = 62,48.

Setelah pengupasan dan dibiarkan di udara terbuka, nilai intensitas kecerahan (L) dan nilai intensitas warna kuning (b) buah aibon pada tiga tingkat kematangan seluruhnya cenderung menurun dengan semakin lamanya waktu kontak dengan udara, sedangkan nilai intensitas kemerahan (a) cenderung meningkat. Perubahan warna pada buah aibon disebabkan reaksi pencoklatan yang terjadi secara enzimatik, seperti umumnya terjadi pada buah-buahan yang mengandung senyawa fenolik, flavonid dan tanin (katekin dan leukoantosianin) dimana akan mudah teroksidasi sehingga terjadi pencoklatan (browning). Enzim yang menginisiasi reaksi pencoklatan yaitu polifenol oksidase, fenolase dan O-difenol oksigen oksireduktase (Winarno, 1997; Roses & Pilkington, 1989). Polifenol oksidase mengkatalis dua reaksi yaitu hidroksilasi monofenol membentuk o-hidroksifenol diikuti dengan oksidasi lebih lanjut menghasilkan benzoquinon atau o-quinon. Kedua aktifitas tersebut juga diketahui sebagai aktifitas kresolase dan katekolase (Whitaker, 1985; Belitz & Grosch, 1999). Oleh karena itu semakin lama terbuka di udara maka warna daging buah akan semakin berwarna gelap yaitu coklat kemerahan. Hal ini mengindikasikan bahwa setelah proses pengupasan buah aibon sangat beresiko mengalami penurunan mutu warna, yang pada akhirnya akan mempengaruhi mutu produk yang dihasilkan. Dengan demikian sebelum dilakukan proses pengolahan lebih lanjut pada buah aibon, perlu upaya tindakan pencegahan terjadinya reaksi oksidasi tersebut.

(6)

dalam bentuk irisan buah kering atau dibuat tepung. Rumere (2002), melaporkan bahwa tepung aibon yang dihasilkan masyarakat Sowek berwarna kecoklatan, walaupun telah melalui tahap perebusan (blansir). Hal ini tentunya akan mempengaruhi kualitas tepung selama penyimpanan dan produk olahan selanjutnya (roti, bolu, kue kering, dan sebagainya). Dari informasi tersebut dapat diketahui bahwa proses oksidasi enzimatis pada buah aibon tidak dapat dihambat oleh pemanasan saja, namun perlu ditambahkan bahan antioksidan yang berperan untuk menghambat pencoklatan. Hermanianto & Jannah (1999), melaporkan bahwa penghambatan pencoklatan enzimatis pada buah kemang dapat dilakukan dengan kombinasi pemanasan (blansir) dan sulfit.

Pada Tabel 2, terlihat bahwa pada buah muda lebih cepat mengalami proses pencoklatan enzimatis yang kemudian diikuti oleh buah tua dan yang paling lambat adalah pada buah matang optimal. Hal ini diduga disebabkan kandungan senyawa-senyawa polifenol pada buah muda dan buah tua lebih tinggi dibandingkan buah matang. Menurut Potter & Hotchkiss (1995), makin tua daging buah (selulosa) semakin menipis, tetapi hemiselulosa dan lignin (kandungan senyawa polifenol) semakin meningkat. Oleh karena itu dalam pengolahannya baik untuk dibuat tepung maupun pati sebaiknya menggunakan buah dengan tingkat kematangan optimum (matang penuh). Sedangkan pada tingkat kematangan lainnya, selain kandungan seratnya tinggi sehingga akan menyulitkan dalam proses pengolahan juga kandungan polifenolnya tinggi sehingga akan mempercepat proses pencoklatan enzimatis.

Buah aibon yang dipetik pada tingkat kematangan optimum dapat disimpan pada suhu kamar dengan kelembaban normal menggunakan kemasan karung atau karton dengan aerasi yang cukup selama kurang lebih 7 hari tanpa mengalami perubahan kesegaran buah. Namun jika lebih dari 7 hari maka buah akan mengalami kekeringan dan layu sehingga dalam pengolahan lebih mudah mengalami reaksi pencoklatan. Komposisi Kimia Buah Aibon (Brugueira gymnorhiza L.)

Analisis komposisi kimia buah aibon pada 3 (tiga) tingkat kematangan berbeda meliputi kadar air, lemak, protein, abu, karbohidrat, pati, total gula, dan serat, yang hasilnya disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Analisas Komposisi Kimia Buah Aibon pada Tiga Tingkat Kematangan

Komposisi Tingkat kematangan buah

Muda Matang Tua

Air (%, bb) 67,42 60,59 58,77 Abu (%, bk) 1,78 1,07 1,24 Lemak (%, bk) 1,67 0,61 0,85 Protein (%, bk) 5,19 4,67 3,88 Karbohidrat (%, bk) 91,36 93,66 94,03 Pati (%, bk) 45,53 54,88 67,75 Serat (%, bk) 10,94 8,86 11,48 Total gula (%, bk) 8,50 4,75 4,56

Pada Tabel 3, tampak bahwa kandungan air, protein dan total gula buah aibon cenderung menurun dengan semakin bertambahnya umur panen, namun di sisi lain kandungan karbohidrat (pati dan serat) justru meningkat. Kadar karbohidrat dari 91,36 % pada buah muda meningkat menjadi 93,66 % pada buah matang optimal dan 94,04 %

(7)

pada buah tua. Kandungan lemak dan abu tinggi pada buah muda dan cenderung menurun pada saat buah matang, kemudian meningkat kembali pada saat buah tua.

Dari hasil analisis komposi buah aibon pada tiga tingkat kematangan tampak bahwa kadar pati tertinggi dihasilkan pada buah tua. Namun walaupun demikian, dalam pemanfaatan buah aibon sebagai tepung atau pati sebaiknya menggunakan buah yang matang optimal. Hal ini disebabkan karena pada proses ekstraksi pati jika menggunakan buah yang telah lewat matang (tua) tingkat pencoklatan enzimatisnya lebih cepat, sehingga akan mempengaruhi mutu tepung atau pati yang dihasilkan baik warna maupun stabilitasnya selama penyimpanan. Selain itu, serat kasarnya lebih tinggi dan memiliki tektur yang lebih lunak dibandingkan buah dengan tingkat kematangan lainnya, sehingga menyulitkan dalam proses ekstraksi patinya.

Berdasarkan komposisi kimia di atas, dapat dikatakan bahwa buah aibon memiliki keseimbangan nutrisi yang meliputi mineral, lemak, protein dan karbohidrat. Data komposisi kimia beberapa jenis bahan pangan pokok sumber karbohidrat lain disajikan pada Tabel 4, yang menunjukkan bahwa buah aibon mempunyai peluang yang sama untuk dikembangkan.

Tabel 4. Komposisi Kimia Buah Aibon, Ubijalar, Singkong, Sagu, Beras dan Jagung per 100 g Berat Kering

Komposisi Aibona) Ubi jalarb) Singkong b) Sagu b) Beras b) Jagung b)

Abu 1.07 3.49 3.46 0.57 1.9 1.45

Lemak 0.61 2.22 0.79 0.38 2.16 4.47

Protein 4.67 5.71 3.19 0.57 8.52 10.26

Karbohidrat 93.66 88.57 92.5 98.04 88.27 83.68

a) Hasil analisa

b) Direktorat Gizi-Departemen Kesehatan, 1981

KESIMPULAN

Buah aibon (Brugueira gymnorhiza L.) berbentuk bulat memanjang lurus tumpul dengan permukaan tidak rata dan bergelombang, dengan ukuran panjang 12,2-35,9 cm; diameter 2,0-3,0 cm; berat 30,30-61,10 g dan ketebalan kulit 0,6-1,3 mm. Daging buah aibon mudah mengalami pencoklatan enzimatis setelah pengupasan sehingga perlu dilakukan pencegahan selama proses pengolahaan.

Waktu panen yang tepat untuk buah aibon adalah pada tingkat buah matang optimal. Kandungan air, protein dan total gula buah aibon cenderung menurun dengan semakin tuanya umur panen, sedangkan karbohidrat (pati dan serat) semakin meningkat. Buah aibon pada tingkat kematangan optimal mengandung abu 1,07%; protein 4,67%; lemak 0,61%; dan karbohidrat 93,66%, serta kadar pati, total gula dan serat kasar masing-masing 54,88%; 8,89%; dan 4,7% (bk). Dari gambaran komposisi nutrisinya buah aibon sangat berpotensi untuk dikembangkan baik untuk produk pangan maupun non pangan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas dana yang diberikan melalui Penelitian Dasar dengan No. Kontrak: 057/SPPP/PP/DP3M/IV/2005.

(8)

DAFTAR PUSTAKA

AOAC (Association of Official Agricultural Chemists). (1995). Official Methods of Analysis of AOAC International. Arlington, Virginia. USA.

Apriyantono, A., D. Fardiaz, N. Puspitasari, Sedarnawati & S. Budiyanto. (1989). Analisis Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pusat Antar Universitas. Pangan dan Gizi. Intitut Pertanian Bogor. Bogor.

Belitz, H.D & W. Grocch. (1999). Food Chemistry. 2nd ed. Translators: MM Burghahen, D Hadziyev, P Hessel, S Jordan, and C Sprinz. Springer-Verlag. Berlin.

Hamzah, Z. (1993). Hutan Mangrove Indonesia. Manggala Wanabhakti. Jakarta.

Hermanianto, J. & M. W. Jannah. (1999). Pembuatan Manisan Basah, Manisan Kering dan Pikel dari Buah Kemang (Mangifer caesia). Buletin Teknologi dan Industri Pangan. 10(1): 23-28.

Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia III. Litbang. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Kartawinata, K. S. Adisoemarto, S. Soemodihardjo & I.G.M. Fatua. (1978). Status Pengetahuan Hutan Bakau di Indonesia. Proseding Seminar Ekosistem Hutan Mangrove. Jakarta.

Potter, N. N. & J. H. Hotchkiss. (1995). Food Science. Chapman & Hall. New York. Rumere, N. (2005). Proses Pengolahan Tepung Aibon (Brugueira gymnorrhiza Lamk.)

di Kampung Sowek Distrik Supiori Selatan. Karya Ilmiah Diploma III Perkebunan. Fakultas Pertanian dan Teknologi Pertanian. Universitas Negeri Papua. Manokwari.

Suryadiputra. (1999). Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PKA/WI. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Rose, A. H. & B. J. Pilkington. (1989). Sulphite. In : Mechanisms of Action of Food Preservation Procedures. G.W. Gould (Ed). Elsevier Applied Science. London. Yulianti, M. (2004). Potensi buah Brugueira gymnorrhiza Lamk pada hutan mangrove

masyarakat Sowek di Distrik Supiori Selatan. Skripsi Sarjana Kehutanan. Universitas Negeri Papua. Manokwari.

Wabdaron, M. O. (2002). Proses Pengolahan Tradisional Buah Mangrove (Brugueira

gymnorrhiza Lamk.) sebagai Bahan Pangan oleh Masyarakat di Kampung

Sowek Distrik Supiori Selatan, Kabupaten Biak Numfor. Karya Ilmiah Diploma III Perkebunan. Fakultas Pertanian dan Teknologi Pertanian. Universitas Negeri Papua. Manokwari.

Whitaker, J. R. (1985). Mechanism of Oxdoreductases Important in Food Component Modification. In: T. Richardson and J. W. Finley (Ed). Chemical changes in Food During Processing. Van Nostrand Reinhold Co. New York.

Winarno, F.G. (1997). Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wirakartakusumah, M.A & T. Febriyanti. (1994). Studi Karakteristik Fisikokimia dan

Fungsional Tepung Ubikayu. Seri Penelitian Pangan Lanjut. Gizi dan Keamanan Pengembangan Produk. Volume 1. Pusat Antar Universitas. Pangan dan Gizi. Intitut Pertanian Bogor. Bogor.

Gambar

Gambar 1.  Morfologi Buah Aibon (Bruguiera gymnorrhiza Lamk)

Referensi

Dokumen terkait

Pada halaman admin, admin memasukkan data siswa, kemudian data siswa yang sudah disimpan akan diproses sistem menggunakan metode profile matching dan AHP. setelah

Dalam kerangka menciptakan budaya belajar sejarah yang baik maka seorang guru sejarah tidak hanya mampu berinteraksi dengan baik dengan sesam guru,

Namun mesin yang dijual hanya ada diluar pulau Bangka Belitung dengan harga yang masih tinggi sehingga kurang terjangkau untuk masyarakat kepulauan Bangka

Sejalan dengan fungsinya Badan Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Selatan merupakan badan daerah yang khususnya mengemban tugas untuk mengelola sumber pendapatan daerah

Tabel.6 Perhitungan Net BC (Rp.. Sehingga, dapat dikatan bahwa benefit yang diperoleh itu 1,4719 kali lipat dari cost yang dikeluarkan maka proyek tersebut layak

Universitas Negeri

Penyebab utama kecelakaan laut pada umumnya adalah karena faktor kelebihan angkutan dari daya angkut yang ditetapkan, baik itu angkutan barang maupun orang. Bahkan tidak jarang

Investments in companies where the Company and subsidiaries have 20% to 50% of the voting rights, and through which the Company and subsidiaries exert significant influence,