• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KOREKSI FISKAL ATAS LAPORAN KEUANGAN KOMERSIAL TERHADAP LABA KENA PAJAK PADA PT DOO WON PRECISION INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS KOREKSI FISKAL ATAS LAPORAN KEUANGAN KOMERSIAL TERHADAP LABA KENA PAJAK PADA PT DOO WON PRECISION INDONESIA"

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)

1

ANALISIS KOREKSI FISKAL ATAS LAPORAN KEUANGAN

KOMERSIAL TERHADAP LABA KENA PAJAK PADA PT DOO

WON PRECISION INDONESIA

Titin Subarti

Dosen Tetap Akuntansi STIE Pertiwi

ABSTRAKSI

Penelitian ini betujuan untuk mendapatkan pengetahuan yang sahih (valid) dan dapat dipercaya mengenai sejauh mana ketaatan PT. Doo Won Precision Indonesia yang beralamat di Kawasan Industri Jababeka I Blok C2E, Cikarang, Bekasi dalam mematuhi peraturan perpajakan yang berlaku dengan dilakukannya koreksi fiskal atas laporan keuangan komersial tahun 2009 serta menjabarkan secara terperinci mengenai alasan dilakukannya koreksi.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu metode yang bertujuan untuk mendeskripsikan data apa adanya dan menjelaskan data atau kejadian dengan kalimat-kalimat penjelasan secara kualitatif. Metode penelitian kualitatif menekankan pada metode penelitian observasi di lapangan dan datanya dianalisis dengan cara non-statistik meskipun tidak harus selalu menabukan angka. Kesimpulan dari analisis data untuk kasus penelitian ini adalah PT. Doo Won Precision Indonesia belum melakukan penyusunan laporan keuangan fiskal sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Hal ini terlihat dari koreksi perusahaan sebesar Rp 1.061.181.382, akan tetapi setelah penulis lakukan penelitian dan disesuaikan dengan peraturan perpajakan yang berlaku terdapat koreksi tambahan dari penulis sebesar Rp 1.232.217. Dengan demikian total koreksi adalah Rp 2.248.398.578 yang terdiri dari koreksi positif sebesar Rp 2.264.100.501 dan koreksi negatif sebesar Rp 15.701.923. Akibat dari adanya koreksi positif dan negatif tersebut maka terjadi kenaikan besarnya laba komersial dari Rp 1.163.697.999,-menjadi sebesar Rp 3.412.096.577,- yang artinya terjadi kenaikan laba sebesar 193% yang diakui oleh fiskal.

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Sesuai dengan isi pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, bahwa bangsa Indonesia mempunyai satu cita-cita menjadi bangsa yang adil dan makmur. Oleh karena itu, dibutuhkan banyak sumber penghasilan dalam membiayai pembangunan bangsa ini, dan salah satu sumber penghasilan terbesar yang sangat diharapkan untuk mengisi kas negara adalah pajak yang disetorkan/dibayarkan oleh wajib pajak ke kas negara, baik wajib pajak pribadi maupun wajib pajak badan. Sehingga tidak heran apabila pemerintah melalui

(2)

2 petugas pajak bekerja keras untuk menciptakan berbagai macam peraturan dalam rangka menertibkan sistem perpajakan di Indonesia.

Pajak bagi suatu perusahaan terkadang menjadi suatu kendala dalam menunjukkan kinerja atas profit yang diperoleh. Di satu sisi pajak merupakan sumber pendapatan negara dalam menjalankan pembangunan, yang berarti apabila perusahaan tidak membayarkan pajak ke pemerintah maka perusahaan tersebut tidak mempunyai kontribusi bagi pembangunan, yang pada suatu saat akan mempunyai dampak yang tidak baik bagi perusahaan tersebut. Akan tetapi disisi lain pajak merupakan unsur pengurang profit bagi suatu badan usaha, untuk itu perusahaan harus melakukan langkah-langkah strategis dan bijaksana yang tentunya tidak berlawanan dengan Peraturan Perpajakan, sehingga kedua unsur tersebut di atas dapat tercapai secara seimbang dengan tidak saling merugikan.

Dalam perhitungan laba kena pajak suatu perusahaan, maka Peraturan Perpajakan diharuskan mempunyai prioritas utama yang harus dilaksanakan di atas Standar Akuntansi Keuangan melalui penyesuaian (koreksi fiskal).

Laporan keuangan perusahaan biasanya harus disesuaikan dengan peraturan fiskal ketika laporan keuangan tersebut digunakan sebagai dasar Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SPT PPh) yang akan disampaikan ke kantor pajak. Hal ini disebabkan, laporan keuangan komersial mengacu pada Standar Akuntansi Keuangan (SAK), sedangkan laporan keuangan fiskal mengacu pada Peraturan Perpajakan. Untuk memenuhi kebutuhan pelaporan pajak maka perusahaan harus melakukan penyesuaian fiskal (koreksi fiskal), dimana harus dilakukan rekonsiliasi laporan keuangan komersial yang disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan disesuaikan menjadi laporan keuangan fiskal sesuai dengan Peraturan Perpajakan sehingga diperoleh laba yang menjadi dasar perhitungan laba kena pajak perusahaan tersebut.

Berdasarkan pembedaannya, perbedaan laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal dibedakan menjadi beda tetap dan beda waktu. Beda tetap, yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan kena pajak, dan beda waktu yaitu perbedaan pembebanan suatu biaya dimana jangka waktu pembebanannya berbeda. Koreksi fiskal dapat menyebabkan laba kena pajak berkurang (koreksi negatif) atau laba kena pajak bertambah (koreksi positif).

PT. Doo Won Precision Indonesia adalah badan usaha yang menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan dan merupakan wajib pajak yang harus menghitung, melaporkan dan menyetorkan sendiri pajak terutang atas penghasilan yang diperolehnya berdasarkan self assessment system yang dianut oleh sistem perpajakan di Indonesia. Agar pajak yang dihitung, dilaporkan, dan disetor sesuai dengan peraturan perpajakan maka PT Doo Won Precision Indonesia harus melakukan koreksi fiskal atas laporan

(3)

3 keuangan komersialnya, dari penyesuaian (koreksi fiskal) yang dilakukan akan menyebabkan laba kena pajak bertambah (koreksi Positif) atau laba kena pajak berkurang (koreksi negatif) yang berpengaruh terhadap besarnya pajak yang akan disetorkan oleh PT. Doo Won Precision Indonesia ke kas negara.

1.2 Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah di atas ,maka penulis merumuskan pokok-pokok permasalahan yang di identifikasi untuk di teliti yaitu :

1. Apa saja biaya-biaya atau penghasilan yang harus dikoreksi pada laporan keuangan komersial khususnya Laporan Laba Rugi dan Laporan Harga Pokok Penjualan PT Doo Won Precision Indonesia tahun buku 2009?

2. Bagaimana perlakuan pajak terhadap laba rugi fiskal hasil koreksi yang telah dilakukan?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Karena keterbatasan waktu, tenaga, dana, teori – teori dan supaya penelitian

dapat dilakukan secara mendalam dan menghindari pembatasan penelitian yang terlalu luas dan kurang mengarah. Penulis membatasi masalah pada “Analisis Koreksi Fiskal atas laporan Keuangan Komersial Terhadap Laba Kena Pajak” 1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

a. Mengetahui biaya-biaya apa saja yang harus dikoreksi pada Laporan Harga Pokok Penjualan dan Laporan Laba Rugi PT Doo Won Precision Indonesia sesuai dengan Undang-Undang PPh No. 07 tahun 1983 yang terakhir dirubah dengan No.36 Tahun 2008.

b. Mengetahui perlakuan pajak atas laba/rugi fiskal yang dihasilkan dari koreksi fiskal yang telah dilakukan.

1.4.2 Manfaat Penelitian

Dengan diperolehnya tujuan atas penelitian ini, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

a. Penulis, yaitu untuk menambah wawasan dan pengetahuan dan pengembangan teori-teori yang telah didapatkan diperkuliahan, dan juga untuk mengetahui bagaimana penerapan teori-teori tersebut di dalam perusahaan.

b. Perusahaan yang diteliti, yaitu sebagai bahan masukan kepada manajemen perusahaan untuk memecahkan masalah penerapan peraturan perpajakan yang dihadapi.

c. Para pembaca, sebagai bahan sumbangan pemikiran dan pengetahuan dalam memperluas wawasan tentang peraturan perpajakan yang dihubungkan dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan.

(4)

4 2. LANDASAN TEORI

2.1 Koreksi Fiskal

Perbedaan pertimbangan yang mendasari penyusunan laporan keuangan komersial dengan kebijakan perpajakan menghasilkan jumlah angka laba yang berbeda (laba komersial dan laba fiskal). Ketentuan perpajakan mempunyai kriteria tertentu tentang pengukuran dan pengakuan terhadap unsur-unsur yang umumnya terdapat dalam laporan keuangan, dimana ukuran-ukuran tersebut dibuat untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayarkan oleh setiap wajib pajak ke negara. Demikian juga halnya dengan standar akuntansi keuangan mempunyai kriteria dalam pengukuran dan pengakuan setiap unsur yang terdapat dalam laporan keuangan, laporan keuangan komersial yang disusun berdasarkan seperangkat standar akuntansi yang ditujukan untuk menilai kinerja ekonomi dan keadaan finansial suatu entitas.

Penyebab perbedaan laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal adalah sebagai berikut :

1. Perbedaan metode dan prosedur, diantaranya :

a. Metode penilaian persediaan, akuntansi komersial memperbolehkan memilih metode perhitungan harga perolehan persediaan seperti metode average, first in first out (FIFO), pendekatan laba bruto, pendekatan harga jual eceran, dan lain-lain.sedangkan dalam fiskal hanya diperbolehkan memilih dua metode, yaitu metode average dan metode first in first out (FIFO).

b. Memilih metode penyusustan dan amortisasi, akuntansi komersial memperbolehkan memilih metode penyusutan seperti metode garis lurus, metode jumlah angka tahun, dan metode saldo menurun, metode jam jasa, metode jumlah unit produksi, metode berdasarkan jenis dan kelompok, metode anuitas, metode persediaan, untuk semua jenis harta berwujud/aktiva tetap. Dalam fiskal, metode penyusutan hanya meliputi metode garis lurus dan metode saldo menurun untuk harta berwujud non bangunan, sedangkan harta berwujud bangunan dibatasi pada metode garis lurus saja. Selain perbedaan metode, ada juga perbedaan dalam menafsir umur ekonomis atau masa manfaat suatu aktiva. Dimana dalam akuntansi komersial, manajemen dapat menetukan sendiri umur aktivanya, sedangkan dalam fiskal umur ekonomis atau masa manfaat diatur dan ditetapkan berdasarkan keputusan menteri keuangan. Dalam akuntansi keuangan komersial diperbolehkan adanya residu atau nilai sisa dari suatu aktiva dalam perhitungan penyusutan. Akan tetapi menurut fiskal nilai sisa ini tidak diperhitungkan karena seperti telah dijelaskan di Pasal 10 dan 11 Undang-undang No. 36 Tahun 2008, dasar penyusutan adalah harga perolehan yakni pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan atau perubahan aktiva berwujud kecuali tanah, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun.

(5)

5 c. Metode penghapusan piutang. Dalam akuntansi komersial penghapusan piutangditentukan berdasarkan metode cadangan. Sedangkan dalam fiskal penghapusan piutang dilakukan pada saat piutang tersebut nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat-syarat tertentu yang diatur dalam peraturan perpajakan. Pembentukan cadangan dalam fiskal hanya diperbolehkan untuk industri tertentu seperti usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, usaha asuransi dan usaha pertambangan dengan jumlah yang dibatasi secara ketat oleh aturan perpajakan.

2. Perbedaan perlakuan dan pengakuan penghasilan dan biaya, antara lain: a) Penghasilan tertentu diakui dalam akuntansi komersial tetapi bukan

merupakan objek pajak penghasilan. Dalam rekonsiliasi fiskal, penghasilan tersebut harus dikeluarkan dari total penghasilan kena pajak atau dikurangkan dari laba menurut akuntansi komersial.

b) Penghasilan tertentu diakui dalam akuntansi komersial tetapi pengenaan pajaknya bersifat final. Dalam rekonsiliasi laporan keuangan, penghasilan tersebut harus dikeluarkan dari total penghasilan menurut akuntansi komersial, contohnya:

1) Bunga deposito/bunga tabungan dan diskonto SBI.

2) Penghasilan obligasi yang tercatat di bursa efek, baik berupa bunga/diskonto maupun keuntungan penjualan.

3) Penjualan saham di bursa efek baik saham pendiri maupun bukan saham pendiri.

4) Penjualan saham milik perusahaan modal ventura.

5) Penghasilan yang diterima penyalur/dealer/agen produk pertamina dan premix.

6) Penghasilan yang diterima penyalur/distributor rokok.

7) Pengalihan atas tanah dan/atau bangunan oleh yayasan atau organisasi sejenis.

8) Persewaan atas tanah dan/atau bangunan. 9) Imbalan jasa konstruksi

10) Bunga simpanan anggota koperasi, dan lain-lain.

c) Pengeluaran tertentu diakui dalam akuntansi keuangan komersial sebagai biaya atau pengurang penghasilan, tetapi dalam fiskal, pengeluaran tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, sesuai dengan UU No. 36 Tahun 2008 pasal 9 ayat (1) UU PPh, yaitu:

1. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. 2. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi

pemegang saham, sekutu, dan anggota keluarga.

3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

(6)

6 4. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh wajib pajak pribadi, kecuali dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi wajib pajak yang bersangkutan. 5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa

yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

6. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan. 7. Harta yang dihibahkan, bantuan, sumbangan, dan warisan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi yang memeluk agama islam dan atau wajib pajak dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama islam kepada badan amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.

8. Pajak penghasilan

9. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan wajib pajak atau orang yang menjadi tanggungannya.

10. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutan, firma atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi dalam saham. 11. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi

pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Gambar 2.1 Alur Rekonsiliasi Penyusunan Laporan Keuangan Fiskal Dokumen dasar Jurnal Buku Besar Neraca Percobaan Laporan Keuangan Komersial dicocokkan BukuT ambahan Rekonsiliasi Laporan Keuangan Fiskal

(7)

7 2.3.1 Perbedaan Waktu dan Permanen

Hubungan kausal antara laba komersial (laba sebelum Pajak) dengan laba fiskal (laba kena pajak) menghasilkan perbedaan angka, yang dibedakan menjadi dua perbedaan yaitu:

a. Beda waktu/sementara (temporary difference). Perbedaan sementara terjadi karena adanya perbedaan saat pengakuan terhadap pendapatan maupun beban oleh Peraturan undang-undang perpajakan dengan Standar Akuntansi Keuangan, dan perbedaan tersebut secara otomatis akan terkoreksi di kemudian hari.

b. Beda tetap (permanentdifference). Perbedaan tetap terjadi karena Standar Akuntansi Keuangan mengakui semua pemasukan merupakan penghasilan yang akan menambah laba, dan semua pengeluaran merupakan pengurang laba kena pajak. Sementara bagi undang-undang perpajakan ada beberapa jenis penghasilan yang bukan merupakan faktor penambah laba kena pajak, karena pendapatan tersebut telah dikenakan pajak bersifat final. Dan tidak semua pengeluaran adalah faktor pengurang laba kena pajak, hal ini dikarenakan ada beberapa jenis pengeluaran yang bukan merupakan bagian dari kegiatan perusahaan yang secara langsung berhubungan dengan perolehan penghasilan.

2.1.2 Koreksi Positif dan Koreksi Negatif

Perbedaan-perbedaan yang telah dijelaskan di atas perlu penyesuaian-penyesuaian agar jumlah pajak penghasilan terutang atau laba kena pajak sesuai dengan peraturan perpajakan, yang disebut dengan koreksi fiskal.

Ada 2 (dua) macam koreksi fiskal, yaitu:

a. Koreksi fiskal positif, yaitu koreksi atau penyesuaian yang akan menyebabkan bertambahnya laba kena pajak yang pada akhirnya pajak terutang badan akan bertambah besar, yang terdiri dari:

1) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pemegang saham, sekutu, atau anggota.

2) Pembentukan atau pemupukan dana cadangan

3) Penggantian atau imbalan pekerjaan atau jasa dalam bentuk natura atau kenikmatan.

4) Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa sehubungan dengan pekerjaan.

5) Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan. 6) Pajak penghasilan.

7) Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma atau CV yang modalnya tidak terbagi atas saham.

8) Sanksi administrasi.

9) Selisih penyusutan komersial di atas penyusutan fiskal. 10) Selisih amortisasi komersial di atas amortisasi fiskal.

(8)

8 11) Biaya yang ditangguhkan pengakuannya.

12) Penyesuaian positif fiskal lainnya.

b. Koreksi fiskal negatif, yaitu penyesuaian yang akan menyebabkan berkurangnya laba kena pajak, sehingga pajak terutang badan akan lebih kecil, diantaranya:

1) Selisih penyusutan komersial dibawah penyusutan fiskal. 2) Selisih amortisasi komersial di bawah amortisasi fiskal. 3) Penghasilan yang ditangguhkan pengakuannya.

4) Penyesuaian negatif fiskal lainnya.

Teknik rekonsiliasi fiskal dapat dilakukan seperti berikut ini:

1. Jika suatu penghasilan diakui menurut akuntansi komersial tetapi tidak diakui menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan mengurangkan sejumlah penghasilan tersebut dari penghasilan menurut akuntansi komersial, yang berarti mengurangi laba menurut akuntansi komersial, dan sebaliknya.

2. Jika suatu biaya atau pengeluaran diakui menurut akuntansi tetapi tidak diakui sebagai pengurang penghasilan menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan mengurangkan biaya tersebut dari total biaya menurut akuntansi komersial yang berarti menambah laba menurut akuntansi komersial, dan sebaliknya.

3. METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran

Wajib Pajak Badan biasanya terdiri dari perusahaan-perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas atau CV. Perusahaan-perusahaan ini dalam prakteknya tentu melakukan proses pembukuan dan pada akhirnya akan menghasilkan laporan keuangan berupa Neraca dan Rugi Laba. Laporan keuangan seperti ini biasanya dibutuhkan oleh berbagai macam pihak terutama sekali adalah pemilik perusahaan dan kreditur. Laporan keuangan ini pada umumnya digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan.

Gambar 3.1 Hubungan Antar Variabel Penelitian

Dalam metode penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif, alasannya yaitu untuk mengetahui, menggambarkan, memaparkan jalannya suatu penelitian yang tengah berlangsung atau mengetahui permasalahan yang terjadi di perusahaan tempat penulis mengadakan penelitian.

Sementara menurut Sugiyono (2009:6) mengatakan metode deskriptif yaitu :

Koreksi fiskal atas laporan keuangan

komersial (variabel Y)

Laba kena Pajak (variabel Y)

(9)

9 “Penelitian yang dilakukan terhadap variabel mandiri yaitu tanpa membuat perbandingan/menghubungkan dengan variabel lainnya”.

Beberapa penyebab utama perbedaan laba komersial dan laba fiskal yang banyak ditemui di lapangan adalah sebagai berikut :

1. Adanya penghasilan yang bukan objek pajak menurut fiskal (non taxable income),

2. Adanya penghasilan yang dikenakan PPh Final sehingga tidak perlu lagi dihitung dalam SPT Tahunan,

3. Adanya biaya-biaya yang menurut ketentuan fiskal tidak boleh dikurangkan (non deductible expenses), dan

4. Adanya perbedaan waktu pengakuan biaya seperti biaya penyusutan dan amortisasi.

3.2 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang kebenarannya masih harus diuji secara empiris. Dari latar belakang masalah dan batasan masalah yang telah diuraikan di atas maka hipotesis yang diambil adalah, adanya biaya-biaya dan penghasilan yang harus dikoreksi fiskal atas laporan keuangan komersial terhadap laba (rugi) kena pajak (pajak terutang) perusahaan, yang artinya semakin banyak koreksi positif maka akan semakin besar laba kena pajak (semakin kecil rugi fiskal yang berkaitan dengan kompensasi kerugian pada perhitungan pajak ditahun berikutnya), serta semakin banyak koreksi negatif maka akan semakin kecil laba kena pajak perusahaan (semakin besar rugi yang diakui oleh fiskal).

3.3 Asumsi

Asumsi dari penelitian ini adalah masih terdapat biaya - biaya dan penghasilan yang perlu di koreksi fiskal untuk mendapatkan Penghasilan Kena Pajak, karena tidak semua ketentuan dalam Standar Akuntansi Keuangan digunakan dalam peraturan perpajakan.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah:

1. Data Primer, data yang diperoleh melalui wawancara atau tanya jawab secara langsung dengan karyawan yang berwenang dan berhubungan langsung dengan objek yang diteliti.

2. Data sekunder, data yang diperoleh dengan mengumpulkan data laporan keuangan komersial tahun 2009

3.5 Populasi dan Sampel

Penelitian kualitatif tidak menggunakan populasi, karena penelitian kualitatif berangkat dari kasus tertentu yang ada pada situasi sosial tertentu dan hasil kajiannya tidak akan diberlakukan ke populasi, tetapi ditransferkan ke tempat lain pada situasi social yang memiliki kesamaan dengan situasi social pada kasus yang dipelajari. Sampel dalam penelitian kualitatif bukan dinamakan nara sumber, atau partisipan, informan, teman dan guru dalam penelitian. Sampel dalam penelitian kualitatif, juga bukan disebut sampel statistik, tetapi

(10)

10 sampel teoritis, karena tujuan penelitian kualitatif adalah untuk menghasilkan teori (Sugiyono, 2007:50).

3.6 Tekhnik Analisis Data

Tekhnik analisis data bertujuan untuk menyederhanakan data sehingga lebih dimengerti. Metode analisis data yang digunakan atau diterapkan untuk menganalisis dalama penelitian ini adalah : Metode Analisis Deskriptif yaitu metode yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data, menyusun, menginterprestasikan sehingga diperoleh gambaran yang jelas terhadapa masalah yang diteliti.

Selanjutnya data yang telah terkumpul dianalisis melalui langkah-langkah di bawah ini:

a. Membandingkan dan melakukan koreksi atas laporan keuangan komersial yang telah dibuat oleh PT Doo Won Precision Indonesia dengan peraturan perpajakan yang ada.

b. Menghitung besarnya pajak terutang dari laporan keuangan fiskal serta membandingkannya dengan besarnya pajak terutang berdasarkan laporan keuangan komersial.

3.7 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian bertempat di PT. Doo Won Precision Indonesia, yang berada di Kawasan Industri Jababeka I, Jl. Jababeka IV SFB Blok C2E, Cikarang – Bekasi 17530. Penelitian dilakukan selama 3 bulan, terhitung 01 Oktober – 24 Desember 2011.

4.PEMBAHASAN

4.1.1 Pendapatan dan Biaya yang Non-Deductible

Di bawah ini merupakan pendapatan dan biaya yang menurut ketentuan pajak tidak diperkenankan untuk dibiayakan (Non Deductible) sehingga perlu di koreksi fiskal.

1). Tunjangan Makan

PT Doo Won Precision Indonesia menyediakan makan dan minuman bagi seluruh karyawan di tempat kerja. Pemberian makanan dan minuman di tempat kerja merupakan natura yang diberikan oleh perusahaan kepada karyawan.

Pada dasarnya pemberian natura oleh perusahaan kepada karyawan tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto dalam menghitung besarnya laba (rugi) fiskal perusahaan, akan tetapi sesuai dengan undang-undang nomor 36 tahun 2008 pasal 9 ayat (1e) menyatakan bahwa untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan oleh penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan berkaitan

(11)

11 dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan nomor 466/KMK.04/2000.

Natura dan kenikmatan dari sisi biaya dapat dikelompokan menjadi dua yaitu natura yang sifatnya deductible expense (diperbolehkan untuk dibiayakan) serta natura yang sifatnya non deductible expense (tidak diperbolehkan menjadi biaya). Natura yang sifatnya deductible expense adalah pemberian makanan dan atau minuman untuk seluruh pegawai , natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut, dan natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya. Pemberian natura dan kenikmatan di luar tiga hal tadi merupakan non deductible expense.

Perusahaan memang tidak melakukan koreksi atas biaya tunjangan makan ini. Akan tetapi, setelah penulis lakukan pemeriksaan nilai tunjangan makan PT. Doo Won Precision Indonesia tidak seluruhnya merupakan biaya untuk makan karyawan. Sebagian merupakan biaya makan di luar kantor yang dilakukan oleh para karyawan yang tidak ada kaitannya dengan tiga hal yang sebelumnya disebutkan, seperti menjamu customer atau auditor ataupun dalam rangka gathering perusahaan. Karena itulah berdasarkan aturan di atas, nilai tunjangan makan baik dalam Laporan Harga Pokok Penjualan maupun Laporan Laba Rugi harus dikoreksi.

Setelah diperiksa total koreksi fiskal atas tunjangan makan adalah Rp 42.257.474,-, yang merupakan penjumlahan dari Rp 40.917.375,- hasil koreksi dari laporan HPP dan Rp 1.340.099,- hasil koreksi dari Laporan Laba Rugi. Ini merupakan koreksi positif karena beda tetap. Dengan demikian, nilai yang diperkenankan sebagai pengurang penghasilan bruto untuk tunjangan makan adalah Rp 281.027.751,-

2). Tunjangan Kesehatan

Berdasarkan Undang Undang PPh Tahun 1984 beserta perubahannya terakhir yaitu no. 36 Tahun 2008, Pemberian kenikmatan kepada pegawai berupa biaya pengobatan pegawai yang dibayar langsung ke rumah sakit, dokter atau apotik, tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (non-deductible) dan bukan objek PPh Pasal 21 (non-taxable), akan tetapi apabila diberikan dalam bentuk tunjangan atau penggantian pengobatan merupakan biaya yang dapat dikurangkan dan merupakan objek PPh Pasal 21.

Tunjangan kesehatan atau biaya pengobatan ini perlu diperhatikan cara pembayarannya, yaitu :

i. Biaya pengobatan karyawan yang dibayar perusahaan langsung ke rumah sakitatau dokter dan apotek, pembayaran tersebut sebagai pemberian kenikmatansehingga tidak boleh dibayarkan dan bukan objek PPh Pasal 21

(12)

12 bagi penerimanya.Sebagai contoh apabila perusahaan mempunyai rumah sakit atau poliklinik sendiri.

ii. Biaya penggantian pengobatan, pemberian tunjangan pengobatan, uang pengobatan, sebagai biaya yang dapat dikurangkan terhadap penghasilan bruto (deductible expense) dan objek PPh Pasal 21

Selama tahun 2009 perusahaan membayar uang ganti terhadap karyawan yang melakukan pengobatan ke klinik atau Rumah Sakit, ini bukan merupakan penghasilan bagi karyawan dan bukan objek PPh 21.Berdasarkan data di atas, hal ini merupakan salah satu bentuk kenikmatan/natura bagi karyawan yang tentu saja tidak dapat dibiayakan. Karena itu, senilai Rp 1.445.000,- (Laporan Harga Pokok Produksi) ditambah dengan Rp 7.939.019,- (Laporan Laba Rugi) harus dikoreksi negative. Ini merupakan jenis koreksi karena beda tetap.

3). Tunjangan Jamsostek

PT. Doo Won Precision Indonesia membayar tunjangan Jamsostek setiap bulannya dengan perincian sebagai berikut :

Tabel 4.3 Prosentase Nilai Tunjangan Jamsostek

Jenis Tunjangan Prosentase Keterangan JKK (Jaminan Kecelakaan

Kerja) 0.89% Dibayar oleh Perusahaan

JKM (Jaminan Kematian) 0.30% Dibayar oleh Perusahaan JHT (Jaminan Hari Tua) 3.70% Dibayar oleh Perusahaan JHT (Jaminan Hari Tua) 2.00% Dibebankan kepada

Karyawan JPK (Jaminan

Pemeliharaan Kesehatan) 3.00%

Dibayar oleh Perusahaan (Belum Berkeluarga) JPK (Jaminan

Pemeliharaan Kesehatan) 6.00%

Dibayar oleh Perusahaan (Sudah Berkeluarga) Pemberian tunjangan oleh pemberi kerja merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, hal ini dapat kita lihat di pasal 6 ayat 1 Undang Undang Pajak Penghasilan 1984 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang – Undang Nomor 36 tahun 2008, dinyatakan bahwa :

“Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha diantaranya adalah biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjanganyang diberikan dalam bentuk uang”

“Iuran atau premi Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) ke PT. Jamsostek merupakan biaya yang dapat dikurangkan dan merupakan objek PPh 21”

(13)

13 “Iuran Jaminan Hari Tua (JHT) ke PT. Jamsostek atau iuran pensiun ke Dana Pensiun yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan, dapat dikurangkan dan bukan objek PPh Pasal 21”

Dari peraturan-peraturan pajak tersebut di atas kita dapat menyimpulkan bahwa segala macam tunjangan merupakan penghasilan bagi pegawai tetap dan sifatnya taxable atau terutang serta wajib dipotong pajakpenghasilan. Tunjangan yang diberikan oleh pemberi kerja adalah biaya yang diperbolehkan menjadi pengurang penghasilan bruto karena merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan.

Akan tetapi, seperti yang terlihat pada tabel di atas,berbeda dengan tunjangan lain yang dibayarkan oleh perusahaan, tunjangan JHT sebanyak 2% dibebankan kepada karyawan. Hal ini sesuai dengan PP No. 14 Tahun 1993 sebagaimana telah beberapa kali dirubah terakhir dengan PP No. 76 Tahun 2007, pasal 9 ayat (1) huruf b, yaitu besarnya iuran program sosial tenaga kerja untuk Jaminan Hari Tua adalah sebesar 5,70% dari upah sebulan.

Diperjelas pada pasal 9 ayat (3), yang menyatakan bahwa Iuran Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, sebesar 3,70% ditanggung oleh pengusaha dan sebesar 2% ditanggung oleh tenaga kerja”

Sebanyak 3,70% JHT yang telah dibayar perusahaan, merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Hal ini dapat dilihat dalam Buku Petunjuk Pemotongan PPh Pasal 21/26, yaitu bagi perusahaan yang sudah ikut program JAMSOSTEK, pembayaran iuran Jaminan Hari Tua (JHT) sebesar 3,70% merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, tapi bukan merupakan objek PPh 21.

Dan diperjelas dalam Undang-undang Pajak Penghasilan No.36 tahun 2008 pasal 9 ayat (1) huruf d, yaitu untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan antara lain premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi wajib pajak yang bersangkutan.

Meskipun perusahaan tidak melakukan koreksi atas biaya tunjangan jamsostek ini, akan tetapi berdasarkan ketentuan di atas sebanyak 2% dari total JHT yang dibayar tidak boleh dikurangkan dari laba bruto dan harus dikoreksi karena telah dibebankan kepada karyawan.

Karena itu, senilai Rp 48.870.251,- (koreksi Laporan HPP) dan Rp 40.941.541,- (koreksi Laporan Laba Rugi) harus dikoreksi. Dari hasil koreksi tersebut maka jumlah tunjangan Jamsostek yang diakui pajak adalah Rp. 245.101.969,-

(14)

14 Jumlah koreksi tunjangan tersebut merupakan koreksi fiskal positif dan merupakan bedatetap artinya sifatnya permanen (final) dan koreksi fiskal yang dilakukan tidak akan diperhitungkan dengan laba kena pajak tahun pajak berikutnya.

4). Tunjangan PPh 21

Pada umumnya jika suatu biaya yang terkait dengan karyawan akan terutang PPh 21 jika biayanya diakui misalnya biaya gaji, tunjangan bonus dan sebagainya. Jika pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan tidak dapat dibebankan sebagai biaya fiscal (Non deductible) sehingga bagi karyawan yang menerima bukan merupakan penghasilan (Non Taxable).

Imbalan bruto berarti karyawan akan menerima imbalan sejumlah tertentu kemudian oleh perusahaan akan dipotong PPh 21 sesuai dengan tarif yang berlaku sehingga karyawan akan memperoleh uang sejumlah imbalan dikurangi PPh 21 yang harus dipotong.

Take home pay berarti karyawan akan menerima imbalan sesuai dengan jumlah tertentu yang sudah disetujui pada awal bekerja dan perusahaan yang akan menanggung PPh 21 yang harus dipotong dan disetor. Ada dua alternative perlakuan dari transaksi tersebut diatas, yaitu :

a) PPh 21 diakui sebagai natura/kenikmatan (pajak yang dibayar ditanggung perusahaan) perhitungannya akan sama dengan Imbalan bruto. Tunjangan PPh 21 yang disetor Non Taxable dan Non Deductible.

b) PPh 21 diakui sebagai biaya perusahaan atau penghasilan dari karyawan, lebih dikenal dengan istilah gross up. PPh 21 yang disetor Taxable dan Deductible.

Pemilihan pengakuan di atas biasanya dilakukan berdasarkan tax planning yang dibuat perusahaan sesuai dengan kondisi masing-masing perusahaan.

Sesuai dengan Pasal 9 huruf h UU PPh No. 36/2008 yang tidak termasuk deductable expense/biaya yang boleh dikurangkan adalah Pajak Penghasilan.

Berdasarkan keterangan di atas, maka jelas tunjangan PPh 21 tidak dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto, karena telah di bebankan kepada karyawan (dipotong dari gaji karyawan).Karena itu, dalam Laporan Laba Rugi jumlah tunjangan PPh 21 sebesar Rp. 233.152.713,52 dikoreksi fiskal negatif, dan merupakan beda tetap.

5). Penyusutan

UU PPh No. 36 tahun 2008 Pasal 6 ayat (b), tertulis :

”Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang

(15)

15 mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11 A”

Sesuai dengan pasal 11 ayat (6) metode penyusutan yang diperbolehkan untuk kelompok bangunan permanen maupun tidak permanen adalah metode garis lurus (pasal 11 ayat (1) penyusutan dilakukan pada bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut) dan untuk kelompok bukan bangunan menggunakan metode garis lurus atau saldo menurun (pasal 11 ayat (2) penyusutan dapat dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat azas.

Dalam melakukan perhitungan biaya penyusutan atas aktiva, perusahaan belum mengelompokkan aktiva – aktiva tersebut sesuai dengan ketentuan pajak yang berlaku. Oleh karena itu, penulis mengoreksi biaya – biaya penyusutan atas aktiva perusahaan, diantaranya :

a). Biaya penyusutan kendaraan

PT Doo Won Precision Indonesia menyediakan kendaraan tertentu bagi pegawai tertentu, kendaraan tersebut disusutkan selama 5 (lima) tahun dengan metode garis lurus untuk laporan komersial dan untuk fiskal digunakan metode saldo menurun yang masuk kelompok 2 dengan masa manfaat 8 (delapan) tahun.

Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa penyusutan komersial dengan metode penyusutan garis lurus adalah sebesar Rp 39.100.000, sedangkan penyusutan fiskal dengan metode saldo menurun untuk kendaraan kategori 1 adalah Rp 14.474.520, dan untuk kategori 2 adalah Rp 53.414.855 (lihat lampiran 4). Penyusutan kendaraan kategori 2 merupakan penyusutan untuk kendaraan yang dipergunakan oleh pegawai dimana kendaraan tersebut dibawa pulang, maka sesuai dengan KEP-220/PJ/2002 yang mulai berlaku pada 18 April 2002, penyusutannya hanya dapat dibebankan sebesar 50% dan merupakan kelompok 2 aktiva bukan bangunan dari beban.

Maka total selisih beban penyusutan kendaraan adalah Rp 2.081.948 dan harus dikoreksi negatif beda waktu.

b). Biaya penyusutan peralatan kantor

Sesuai dengan kebijakan manajemen PT Doo Won Precision Indonesia penyusutan peralatan kantor diestimasi dengan umur ekonomis selama 5 (lima) tahun dan penyusutan dihitung berdasarkan metode penyusutan garis lurus, sehingga beban penyusutan untuk peralatan kantor pada tahun 2009 untuk laporan keuangan komersial sebesar Rp 41.856.534 (lihat lampiran 5a).

(16)

16 Untuk keperluan dalam pelaporan pajak PT Doo Won Precision Indonesia menggunakan metode saldo menurun kelompok 1 dengan masa manfaat 4 (empat) tahun. Penyusutan hasil perhitungan penulis adalah Rp 27.609.784 (lihat lampiran 5b), dari data yang diperoleh diketahui tidak ada biaya yang dikeluarkan untuk peralatan kantor yang dikapitalisasi. Dari perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa penyusutan komersial lebih besar dibandingkan penyusutan untuk fiskal sebesar Rp 14.246.749 yang harus dikoreksi positif beda waktu.

c). Penyusutan mesin

Kebijakan akuntansi PT Doo Won Precision Indonesia dalam pengalokasian pembebanan penyusutan mesin adalah dengan menggunakan metode garis lurus dengan estimasi umur ekonomis selama 5 (lima) tahun, sedangkan untuk keperluan pajak PT Doo Won Precision Indonesia menetapkan untuk menggunakan metode saldo menurun yang termasuk dalam kelompok 2 dengan masa manfaat 8 tahun. Sebagai akibat dari perbedaan kedua metode tersebut jumlah biaya penyusutan mesin yang diakui oleh wajib pajak badan dan fiskal akan berbeda karena itu perbedaan jumlah penyusutan yang terjadi harus disesuaikan.

Dalam laporan harga pokok penjualan PT Doo Won Precision Indonesia tahun 2009 dilaporkan besar penyusutan untuk mesin sebesar Rp 1.338.356.181 (lihat lampiran 6a) sementara perhitungan penyusutan menurut metode saldo menurun untuk tahun 2009 adalah sebesar Rp 781.301.233 (lihat lampiran 6b) yang menyebabkan perbedaan sementara dan harus dikoreksi positif karena beban penyusutan yang diakui oleh fiskal lebih kecil dari penyusutan yang diakui oleh komersial yaitu sebesar Rp 557.054.948. d). Penyusutan peralatan dan perlengkapan pabrik

Dalam pengalokasian beban penyusutan untuk pelaporan pajak, PT Doo Won Precision Indonesia menerapkan metode garis lurus dimana peralatan dan perlengkapan termasuk dalam kategori aktiva tetap bukan bangun kelompok 1 dengan umur ekonomis 4 tahun. Sementara untuk pelaporan pajak menggunakan metode saldo menurun dimana peralatan dan perlengkapan pabrik dibagi menjadi 2 kategori yaitu harta bukan bangunan kelompok 1 dengan masa manfaat 4 (empat) tahun dan harta bukan bangunan kelompok 2 dengan masa manfaat 8 (delapan) tahun.

Total beban penyusutan atas peralatan dan perlengkapan selama tahun 2009 yang dilaporkan dalam laporan harga pokok penjualan dengan menggunakan metode penyusutan garis lurus adalah sebesar Rp 1.117.547.190 (lihat lampiran 7a) sedangkan penyusutan dengan metode saldo menurun untuk pelaporan pajak sebesar Rp 711.257.394 yang terdiri dari Rp 697.224.582 untuk beban penyusutan peralatan dan perlengkapan pabrik yang termasuk dalam aktiva bukan bangunan kategori 1 dan Rp 14.032.812 untuk beban penyusutan peralatan dan perlengkapan pabrik yang

(17)

17 termasuk dalam aktiva bukan bangunan kategori 2 (lihat lampiran 7b), dengan demikian terdapat perbedaan sementara yang harus dikoreksi negatif menurut laporan keuangan PT Doo Won Precision Indonesia karena penyusutan untuk pajak lebih besar dari penyusutan komersial sebesar Rp 406.289.796.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa dari laporan harga pokok penjualan terdapat koreksi fiskal negatif yang mengakibatkan beda waktu sebesar Rp 4.188.790 dan koreksi fiskal positif yang mengakibatkan beda tetap sebesar Rp 410.478.586.

6). Biaya Perjalanan

Biaya Perjalanan yang dimaksud di Laporan Laba Rugi adalah biaya tiket pesawat yang digunakan oleh pihak manajemen dalam melakukan perjalanan pulang pergi ke Korea. Perjalanan yang dilakukan ini tidak hanya untuk urusan bisnis, tetapi juga untuk urusan pribadi.

Sesuai dengan penjelasan pasal 9 ayat (1) UU PPh No.36/2008 yaitu pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk (3M) mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang pembebannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran tersebut.

Setelah dilakukan pengecekan, besar biaya perjalanan untuk urusan pribadi adalah Rp 12.555.270. Berdasarkan penjelasan pada paragraf sebelumnya, maka biaya perjalanan sebesar Rp 12.555.270 perlu dikoreksi fiskal karena tidak ada hubungannya dengan kegiatan 3M. Ini merupakan koreksi fiskal negatif karena beda tetap.

7). Biaya kendaraan

Biaya kendaraan yang dimaksud disini adalah biaya yang dikeluarkan untuk pembelian bahan bakar, toll dan parkir kendaraan perusahaan. Total biaya bahan bakar yang menjadi beban perusahaan pada tahun 2009 adalah sebesar Rp. 120.049.150 untuk kendaraan yang dipakai oleh pegawai tertentu yang dipergunakan atas jabatan atau pekerjaan pegawai tersebut dan kendaraan tersebut dibawa pulang oleh pegawai tersebut.

Dalam laporan terlihat bahwa perusahaan tidak mengoreksi biaya kendaraan. Meskipun demikian, sesuai dengan KEP-220/PJ/202 yang mulai berlaku pada 18 April 2002 Pasal 3 ayat (1) kendaraan perusahaan (sedan) yang dibawa pulang & dikuasai pegawai maka atas biaya bahan bakarnya hanya dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebesar 50% dari biaya komersialnya. Berdasarkan aturan tersebut, penulis mengoreksi biaya kendaraan perusahaan. Besar biaya bahan bakar, toll dan parkir kendaraan yang menjadi pengurang penghasilan yang diperkenankan oleh fiskal adalah

(18)

18 50% dari Rp 220.049.150 sebesar Rp. 110.024.575, dan ini merupakan koreksi positif karena beda tetap.

8). Biaya Pemeliharaan Kendaraan

Biaya kendaraan yang menjadi beban perusahaan pada tahun 2009 adalah sebesar Rp. 120.049.150 untuk kendaraan yang dipakai oleh pegawai tertentu yang dipergunakan atas jabatan atau pekerjaan pegawai tersebut dan kendaraan tersebut dibawa pulang oleh pegawai tersebut. Sama seperti biaya kendaraan, perusahaan juga belum melakukan koreksi atas biaya pemeliharaan kendaraan.

Sesuai dengan KEP-220/PJ/2002 yang mulai berlaku pada 18 April 2002 pasal 3 ayat 2 :

”Atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% dari jumlah biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin dalam tahun pajak yang bersangkutan”

Berdasarkan ketentuan di atas, maka penulis mengoreksi biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah 50% dari Rp. 120.049.150 sebesar Rp. 62.049.929,50. Ini merupakan koreksi positif karena beda tetap. 9). Biaya Perhubungan

Biaya perhubungan sebesar Rp 193.161.643,70 terdiri dari Rp. 188.033.884 yang merupakan biaya atas pemakaian telpon dan internet, serta Rp 5.127.760 merupakan biaya atas pembelian pulsa atau pembayaran biaya telpon pasca bayar bagi pegawai perusahaan.

Biaya telepon dan internet merupakan biaya yang berhubungan dengan kegiatan perusahaan, karena itu sesuai dengan UU No. 36 tahun 2008pasal 6 ayat 1(a), biaya listrik, telepon dan air yang pembayarannya dapat dibuktikan dari tagihan merupakan biaya yang dapat dikurangkan.

Sementara biaya pemakaian telpon pribadi dapat dikategorikan sebagai bentuk kenikmatan/natura. Jika merujuk kepada UU 36 tahun 2008 pasal 9 ayat 1(e), jelas biaya ini tidak dapat dibebankan. Akan tetapi, berdasarkan KEP - 220/PJ./2002yang mulai berlaku 18 April 2002 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Biaya Pemakaian Telepon Seluler dan Kendaraan Perusahaan pasal 1 ayat 2 :

“Atas biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan telepon seluler yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertenu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% dari jumlah biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan dalam tahun pajak yang bersangkutan.”

(19)

19 Berdasarkan aturan tersebut, meskipun perusahaan tidak melakukan koreksi atas biaya perhubungan, tetapi penulis mengoreksi positif biaya perhubungan sebesar 50% dari Rp. 5.127.760 yaitu sebesar Rp. 2.563.880, karena beda tetap.

10) Biaya Pelayanan (Entertainment)

Dasar aturannya yaitu: Surat Edaran DJP No. SE-27/PJ.22/1986, tgl 14 Juni 1986.Biaya entertainment/jamuan/representatif mempunyai syarat tertentu agar biaya yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan untuk entertainment/jamuan/representative tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan dalam menentukan laba rugi fiskal sebagai dasar pengenaan pajak penghasilan sesuai dengan surat edaran SE-27/PJ.22/1986 yaitu biaya yang dikeluarkan tersebut merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dan harus melampirkan daftar nominatif dalam SPT Tahunan PPh pada tahun pajak yang bersangkutan.

Daftar nominatif entertainment terdiri dari: 1) Nomor urut

2) Tanggal diberikannya entertainment 3) Nama/tempat entertainment diberikan 4) Alamat entertainment

5) Jumlah biaya entertainment

6) Relasi: nama, posisi, nama perusahaan, jenis usaha.

Dalam laporan laba rugi PT Doo Won Precision Indonesia terdapat biaya untuk entertainment sebesar Rp. 59.414.050,- biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dari jumlah laba rugi bruto perusahaan dalam meghitung jumlah laba rugi fiskal atau harus dikoreksi fiskal positif beda tetap karena PT Doo Won Precision Indonesia tidak (dapat) melampirkan daftar nominatif atas biaya entertainment tersebut sesuai dengan surat edaran SE-27/PJ.22/1986. 11). Biaya Lain – lain

Biaya lain-lain harus dibuat rinciannya dan harus dipisahkan antara biaya yang dapat dikurangkan dengan biaya yang tidak dapat dikurangkan, apabila tidak ada rinciannya dan tidak ada bukti-bukti yang sah maka biaya-biaya tersebut tidak dapat dikurangkan. Biaya lain-lain PT Doo Won Precision Indonesia sebesar Rp 361.491.347, tidak ada rinciannya, sehingga penulis mengkoreksi biaya tersebut sebagai koreksi positif beda tetap.

12). Biaya Mess

Biaya mess ini terdiri dari biaya listrik, air, telpon, tv kabel dan biaya pemeliharaan mess yang digunakan sebagai tempat tinggal karyawan selama tahun 2009. Hal ini dikategorikan sebagai natura/kenikmatan yang diterima oleh karyawan dan tidak ada hubungannya dengan kegiatan perusahaan. Maka sesuai dengan UU 36/2008 pasal 9 ayat 1(e), biaya mess sebesar Rp. 209.431.223 perlu dikoreksi fiskal. Ini merupakan koreksi fiskal positif karena beda tetap.

(20)

20 13). Pendapatan Bunga

Pendapatan bunga dari bunga simpanan yang diterima PT Doo Won Precision Indonesia pada tahun 2009 adalah sebesar Rp. 9.431.185,66. Sesuai dengan undang-undang nomor 36 tahun 2008 pasal 4 ayat (2) huruf a menyebutkan salah satu penghasilan yang dikenakan pajak bersifat final adalah :

”penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan dan surat utang Negara dan bungan simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi”

Pendapatan bunga bersifat final yang artinya pajak penghasilannya telah dipotong pada saat penghasilan tersebut diterima, sehingga pada saat perhitungan pajak penghasilan pada akhir tahun pendapatan bunga tersebut tidak boleh diperhitungkan lagi dan harus dikoreksi negatif karena beda tetap sebesar Rp. 9.431.185,66.

14). Sumbangan

Pada umumnya sumbangan dan bantuan tidak boleh dikurangkan karena bagi penerimanya pada umumnya bukan objek pajak. Namun untuk lebih tegasnya kita harus melihat ketentuan di Pasal 9 ayat (1) no.36 tahun 2008 yang mengatur biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan.

Di Pasal 9 ayat (1) huruf g tertulis sebagai berikut :

”Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, dan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah”

Berdasarkan isi Pasal 4 ayat 3,yang dikecualikan dari objek pajak diantaranya:

1) bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan zakat ataulembaga amil zakat yang dibentuk oleh pemerintah.

2) harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunanlurus atau sederajat.

Sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak – pihak yang bersangkutan :

(21)

21 a. Warisan.

Sumbangan yang dimaksud dalam Laporan Laba Rugi PT. Doo Won Precision Indonesia merupakan sumbangan sehubungan dengan kelahiran, kematian, ataupun pernikahan karyawan perusahaan. Hal ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan kegiatan perusahaan.

Maka jelas disini sumbangan sebesar Rp. 10.466.091,- harus dikoreksi. Dan ini merupakan koreksi fiskal negatif karena beda tetap.

15). Biaya Seragam Karyawan (Uniform)

Selama tahun 2009 PT Doo Won Precision Indonesia membebankan biaya seragam karyawan di bagian produksi dalam laporan laba rugi perusahaan sebesar Rp. 12.510.730,- dalam rangka mendukung dan menunjang keselamatan kerja karyawan serta Rp. 1.869.801,- adalah biaya seragam karyawan kantor.

Sesuai dengan penjelasan UU.No.17/2000 pasal 9 ayat (1) huruf e yang terakhir dirubah dengan UU no.36 Tahun 2008, bahwa pemberian pakaian seragam kepada karyawan bagian produksi dalam hal peningkatan keselamatan karyawan, bukan merupakan penghasilan bagi karyawan tetapi boleh dibebankan sebagai biaya dalam menghitung laba (rugi) fiskal. Oleh karena itu biaya pakaian seragam karyawan bagian produksi tersebut tidak perlu dikoreksi dalam perhitungan laba rugi fiskal PT Doo Won Precision Indonesia.

Akan tetapi, perlu dibedakan antara seragam karyawan yang bekerja di pabrik dengan karyawan di bagian kantor, karena nyata-nyata karyawan yang bekerja di kantor tidak ada pengaruh keselamatan kerja dengan seragam yang digunakan, walaupun di dalam UU PPh tahun 1984 beserta perubahan - perubahannya tidak terlalu jelas dibedakan antara seragam karyawan di pabrik atau di kantor, namun penulis menyimpulkan bahwa seragam karyawan kantor sebesar Rp. 1.869.801,- harus dikoreksi positif beda tetap karena pakaian tersebut tidak berhubungan dengan keselamatan kerja karyawan kantor.

4.1.2 Pendapatan dan Biaya yang Deductible

Selain biaya-biaya yang dikoreksi di atas, penulis juga akan menjelaskan mengenai biaya yang tidak perlu dikoreksi. Artinya biaya-biaya berikut dalam pencatatannya telah sesuai dengan UU perpajakan yang berlaku.

1). Bahan Baku

Dalam melakukan penilaian persediaan, PT Doo Won Precision Indonesia menggunakan metode penilaian persediaan first in first ou method (FIFO), sehingga nilai persediaan yang dilaporkan oleh PT Doo Won Precision Indonesia di dalam perhitungan harga pokok produksi tidak perlu di

(22)

22 koreksi karena telah sesuai dengan metode penilaian persediaan yang diperbolehkan oleh peraturan perpajakan yaitu metode first in first out method (FIFO) dan average method. Sesuai dengan UU.No.36/2008 pasal ayat (1) huruf a, biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dalam perhitungan pajak penghasilan, maka biaya bahan baku tidak perlu dikoreksi.

2). Biaya Gaji Karyawan dan Bonus

Berdasarkan UU No.36 Tahun 2008 tentang PPh pada Pasal 6 ayat 1 dijelaskan bahwa besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk diantaranya tercantum dalam pasal 6 ayat 1(a) no.2 :

“biaya yang berkenaan dengan pekerjaan termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang”

Berdasarkan ayat tersebut, maka biaya-biaya seperti Gaji Karyawan, Bonus, Pesangon, serta biaya-biaya yang berhubungan langsung dengan pekerjaan atau produksi, tidak perlu dikoreksi fiskal.

3). Pesangon

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.16/PMK.03/2010 Pasal 2 ayat (1), yaitu :

“Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus, dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final.”

Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja dan perusahaan melakukan pembayaran pesangon yang menjadi kewajibannya secara langsung kepada tenaga kerja, maka perusahaan memiliki kewajiban untuk memotong dan menyetorkan PPh pasal 21 (PPh final) yang terutang atas pesangon.Atas pembayaran uang pesangon ini perusahaan dapat membebankan sebagai biaya/ pengurang penghasilan dalam menghitung penghasilan kena pajak dan PPh badan terutang (merupakan deductable expenses).

Pesangon yang dibayarkan oleh perusahaan atau pemberi kerja adalah deductible bagi perusahaan.Karena memenuhi prinsp taxability-deductibility. Pesangon tersebut memang dikenakan pajak bersifat final, tapi itu adalah pajak atas penghasilan karyawan.

4). Biaya Overhead Pabrik

Biaya – biaya overhead pabrik seperti biaya listrik & air, biaya bahan bakar kendaraan, biaya pengangkutan, biaya pemeliharaan dan perbaikan

(23)

23 mesin, biaya pemakaian dan biaya pembungkus, itu semua merupakan biaya – biaya yang berhubungan langsung dengan biaya untuk memelihara penghasilan sesuai dengan pasal 6 ayat (1) UU.PPh.No.17/2000 yang terakhir dirubah dengan no.36 tahun 2008.Selain itu, biaya tersebut merupakan biaya yang digunakan untuk kepentingan untuk mendapatkan penghasilan dan merupakan biaya rutin, bukan biaya untuk kepentingan pemilik, maka biaya tersebut tidak perlu dikoreksi fiskal.

5). Biaya Penjualan & Umum

Biaya penjualan dan umum terdiri dari :

a. Biaya Pengangkutan, merupakan biaya rental forklift untuk pengangkutan bahan baku atau material.

b. Biaya Sewa, merupakan biaya atas sewa mesin fotocopy.

c. Biaya Pemeliharaan dan Pebaikan, merupakan biaya pemeliharaan alat – alat kantor seperti komputer dan printer.

d. Biaya Pemakaian, merupakan biaya pembelian alat tulis kantor dan biaya pemasangan aplikasi komputer.

Sama halnya dengan Biaya Overhead Pabrik, biaya – biaya di atas juga merupakan biaya yang berhubungan langsung dengan kegiatan perusahaan. Oleh karena itu tidak perlu dilakukan koreksi fiskal.

6). Biaya asuransi

Asuransi bangunan yang dilaporkan dalam laporan laba rugi PT Doo Won Precision Indonesiauntuk tahun 2009 sebesar Rp. 25.688.785,20.

Berdasarkan UU PPh No. 36 tahun 2008 Pasal 6 ayat 1(a) :

“Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan”

Sesuai dengan peraturan di atas, maka biaya asuransi bangunan boleh dibiayakan

7). Biaya Bea Materai & Pajak Lainnya, Biaya Administrasi Bank.

Sesuai dengan UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat 1(a) no. 8 dan no.9 dijelaskan bahwa biaya administrasi dan biaya pajak kecuali pajak penghasilan merupakan biaya yang deductible. Biaya pajak yang dimaksud dalam laporan keuangan PT. Doo Won Precision Indonesia merupakan biaya atas pajak listrik, Pajak Bumi dan Bangunan, PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak).Maka sesuai dengan Undang Undang di atas, biaya Bea Materai dan Pajak Lainnya sebesar Rp. 100.648.418,07 serta biaya Administrasi bank sebesar Rp. 122.244.0596,18 dapat dibiayakan dan tidak perlu dikoreksi.

(24)

24 8). Keuntungan Selisih Kurs

Sesuai butir 1 huruf (a) SE-03/PJ.31/1997 tanggal 13 Agustus 1997 mengenai Perlakuan Pajak Penghasilan terhadap Selisih Kurs yang menyebutkan bahwa berdasarkan pasal 4 ayat (1) huruf l Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008, keuntungan karena selisih kurs mata uang asing termasuk penghasilan yang menjadi Objek Pajak Penghasilan.

Keuntungan karena selisih kurs dapat disebabkan fluktuasi kurs mata uang asing atau adanya kebijaksanaan Pemerintah di bidang moneter.Atas keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing, pengenaan pajaknya dikaitkan dengan system pembukuan yang dianut oleh WP dengan syarat dilakukan secara taat asas.

9). Beban Bunga & Kerugian Selisih Kurs Mata Uang Asing

Berdasarkan Pasal 6 ayat 1(a) UU PPh no. 36 tahun 2008, yang termasuk biaya fiskal yaitu biaya yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan diantaranya:

- Beban bunga, sewa dan royalti ( ayat 1a no.3) - Kerugian selisih kurs mata uang asing ( ayat 1e) 10). Biaya Penyusutan bangunan.

Dalam undang-undang nomor 36 tahun 2008 pasal 6 ayat (1) huruf b, menyatakan bahwa penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 boleh dikurangkan dari penghasilan bruto dalam menentukan besarnya laba (rugi) fiskal.

Sesuai dengan pasal 11 ayat (6) metode penyusutan yang diperbolehkan untuk kelompok bangunan permanen maupun tidak permanen adalah metode garis lurus (pasal 11 ayat (1) : penyusutan dilakukan pada bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut).

Bangunan yang dimiliki oleh PT Doo Won Precision Indonesia diperoleh pada tahun 1999 hingga 2001 dengan estimasi masa manfaat adalah selama 20 tahun dan total harga perolehan sebesar Rp 5.694.430.170. Dengan demikian periode pembebanan penyusutan atas bangunan tersebut adalah dari tahun perolehan sampai dengan 20 tahun berikutnya dan sesuai kebijakan akuntansi perusahaan, metode penyusutan yang diterapkan adalah metode garis lurus. Biaya penyusutan yang dibebankan selama tahun 2009 adalah sebesar Rp 284.721.509 (lihat lampiran 9), baik untuk laporan keuangan komersial maupun untuk laporan keuangan fiskal yang dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT), sehingga biaya penyusutan untuk bangunan tidak perlu dikoreksi.

(25)

25 4.2 Pembahasan Hasil Penelitian

Dalam laporan keuangan komersial PT Doo Won Precision Indonesia dilaporkan bahwa perusahaan tersebut mengalami laba sebelum pajak sebesar Rp 1.163.697.999,- dan setelah dilakukan koreksi sesuai dengan peraturan pajak maka laba yang diakui oleh fiskal adalah sebesar Rp 3.412.096.577,-.

Koreksi fiskal atas laporan keuangan komersial PT Doo Won Precision Indonesia berpengaruh terhadap pengakuan besar kecilnya laba (rugi) yang dialami oleh PT Doo Won Precision Indonesia, dimana dari hasil koreksi dapat dilihat bahwa terdapat koreksi positif sebesar Rp 2.264.100.501 dan koreksi negatif sebesar Rp 15.701.923.

Akibat dari adanya koreksi positif dan negatif tersebut maka terjadi kenaikan besarnya laba komersial dari Rp 1.163.697.999,-menjadi sebesar Rp 3.412.096.577,- yang artinya jumlah sebesar Rp 2.248.398.578 atau 193% kenaikan dari laba atau laba yang diakui oleh fiskal lebih besar.

Banyaknya biaya-biaya yang dikoreksi positif mengakibatkan keuntungan yang diakui oleh fiskal semakin besar dan semakin besar biaya yang dikoreksi positif maka semakin kecil rugi yang diakui oleh fiskal.

5. Kesimpulan dan Saran 5.1 Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa PT Doo Won Precision Indonesia belum sepenuhnya melakukan koreksi fiskal dengan tepat sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku, dimana masih terdapat biaya dalam laporan laba rugi dan laporan harga pokok penjualan yang belum dikoreksi.

Dalam penelitian terlihat bahwa koreksi yang dilakukan oleh perusahaan adalah sebesar Rp 1.016.181.382,81. Akan tetapi, setelah penulis teliti kembali dan disesuaikan dengan peraturan – peraturan perpajakan dan Undang – undang yang berlaku, ada tambahan koreksi dari penulis yaitu sebesar Rp 1.232.217.195,63. Dengan demikian total koreksi adalah sebesar Rp 2.248.398.578,44.

5.2 SARAN

Dari kesimpulan yang telah diuraikan di atas, maka penulis memberikan saran sebagai berikut :

1. Memperkecil atau meminimalkan koreksi positif atas biaya-biaya yang ada dengan mematuhi setiap peraturan perpajakan yang ada seperti:

a. Membuat daftar nominatif untuk biaya entertainment atau representatif, karena jumlah biaya tersebut sangat besar nilainya/material.

(26)

26 b. Sebaikya biaya perumahan yang dibayarkan PT Doo Won Precision Indonesia kepada karyawan tertentu dijadikan sebagai tunjangan sewa rumah bagi karyawan yang menjadi penghasilan bagi karyawan tersebut sehingga biaya tersebut tidak dikoreksi fiskal positif.

c. Agar biaya lain-lain tidak dikoreksi fiskal positif seluruhnya, maka sebaiknya biaya-biaya tersebut dibuatkan rinciannya serta dipisahkan antara biaya yang boleh dikurangkan dengan biaya yang tidak boleh dikurangkan. 2. Sebaiknya karyawan pada divisi akuntansi dan pajak harus selalu mengetahui

setiap perkembangan peraturan perpajakan terbaru atau perubahan-perubahan peraturan pajak yang dilakukan oleh Dirjen Pajak, apabila tidak demikian maka setiap kelalaian akan mendapatkan sanksi pajak.

3. Sebaiknya Peraturan Pajak ditaati dengan semestinya, karena setiap pelanggaran yang dilakukan oleh wajib pajak akan dikenakan sanksi pajak.

(27)

27 DAFTAR PUSTAKA

Frank K. Reilly (University of Notre Dame, Keith C. Brown (University of Texas at Austin), Investment Analysis and Portfolio Management, 6th Edition, The Dryden Press, 2000.

Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi 2006, Yogyakarta, Penerbit Andi, 2006. Mulyono, Djoko., Akuntansi Pajak, Edisi ke-2, Yogakarta, Penerbit Andi, 2007. Pardiat, Akuntansi Pajak, Jakarta, Mitra Wacana Media, 2010.

Republik Indonesia, Keputusan Direktur Jendral Nomor KEP-220/PJ/2002 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Biaya Pemakaian Telepon Seluler dan Kendaraan Perusahaan.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus.

Republik Indonesia, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.04/2000 tentang Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai dan Penggantian atau Imbalan Sehubungan dengan Pekerjaan atau Jasa yang Diberikan dalam Bentuk Natura dan Kenikmatan di Daerah Tertentu serta yang Berkaitan dengan Pelaksanaan Pekerjaan yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

Republik Indonesia, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.31/1997 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan terhadap Selisih Kurs.

Republik Indonesia, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-27/PJ.22/1986 tentang Biaya “Entertainment” dan Sejenisnya (Seri PPh Umum 18).

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

Sugiyono, Metode Penelitian Bisnis, Cet. Ke-13. Bandung : Alfabeta, 2009.

Yahya, Johannes., Akuntansi Perpajakan Pos – Pos Neraca, Jakarta, Mitra Wacana Media, 2010.

(28)

28

ANALISIS PENGHITUNGAN DAN PELAPORAN PAJAK

PENGHASILAN (PPH) PASAL 21 ATAS GAJI PEGAWAI PADA

PT. BENETON ENERGY

Titin Haryanti

Dosen Tetap Akuntansi STIE Pertiwi ABSTRAKSI

Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis penghitungan, pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 yang dilakukan oleh PT. Beneton Energy, apakah telah sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per – 57/PJ/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per – 31/PJ/2009 Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi.

Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan beberapa metode penelitian dengan obyek penelitian yang dipakai adalah PT. Beneton Energy. Metode penelitian yang digunakan penulis ada dua cara yaitu studi literatur (library research) penelitian lapangan (field research), yang terdiri dari penelitian (observation), dokumentasi (documentation), wawancara (survei),dan percobaan (experiment).

Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) merupakan pajak yang terkait dengan karyawan baik karyawan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun. PT. Beneton Energy sebagai Wajib Pajak, wajib menghitung, memotong,menyetorkan dan melaporkan PPh 21 yang terhutang sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, penulis mendapatkan kesimpulan bahwa PT. Beneton Energy merupakan perusahaan yang bergerak di dalam bidang penyewaan peralatan pertambangan yang beralamat di Jl. Cideng Timur No. 81A, Petojo Selatan, Gambir, Jakarta Pusat 10160 telah sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per – 57/PJ/2009. Sejak berdirinya perusahaan, PT. Beneton Energy selalu menggunakan metode pajak ditanggung perusahaan sehingga tidak memotong penghasilan karyawannya, dan PT. Beneton

Gambar

Gambar 2.1 Alur Rekonsiliasi Penyusunan Laporan Keuangan Fiskal  Dokumen
Tabel 4.3 Prosentase Nilai Tunjangan Jamsostek
Tabel 2. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)  2.2.3. Tata Cara Perhitungan PPh Pasal 21
Tabel 5. Hasil Perhitungan Penulis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bab II terdiri dari kerangka teori membahas mengenai teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini, yakni teori Sintaksis, semantik, penggunaan 助詞 joshi 「の」no

Diagram alir pada Gambar 6 berlaku untuk setiap ekstrak dari sampel karang lunak alami dan transplantasi dengan pelarut metanol p.a., etil asetat p.a., dan heksana p.a..

Mengadakan komunikasi dan konsultasi secara aktif dengan dosen Penasehat Akademik yang terkait dengan pemrograman matakuliah, permasalahan akademik dan uji kompetensi

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Azhar, 2014) yang mana menyatakan bahwa PDRB Sektor Pertanian memiliki pengaruh

Saya tidak menjual produk madu saya terus kepada pelanggan, sebaliknya saya hanya menjual produk madu saya kepada perniagaan milik orang lain dan mereka pula yang akan menjualnya

Hasil uji toksisitas menunjukkan bahwa ekstrak n -heksana memiliki toksisitas yang tinggi diikuti dengan ekstrak diklorometana, etil asetat, dan metanol dengan nilai LC 50

PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PERKOTAAN DITJEN CIPTA KARYA KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM.. Nomor & Periode Invoice

Metode dalam pelayanan keperawatan untuk mengidentifikasi kebutuhan pasien baik kebutuhan fisik maupun psikologis dimana salah satunya adalah kecemasan pasien yang