• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Komunitas Lamun Morfologi dan Klasifikasi Lamun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Komunitas Lamun Morfologi dan Klasifikasi Lamun"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Komunitas Lamun

Morfologi dan Klasifikasi Lamun

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga (Anthophyta) yang hidup dan tumbuh terbenam di lingkungan laut, berpembuluh, berimpang (rhizoma), berakar, dan berkembang biak secara generatif maupun vegetatif. Rimpangnya merupakan batang yang beruas-ruas yang tumbuh terbenam dan menjalar dalam substrat pasir, lumpur dan pecahan karang (Azkab 2006).

Jenis-jenis lamun umumnya memiliki morfologi luar yang tampak hampir serupa yakni memiliki daun panjang, tipis dan mirip pita yang mempunyai saluran air, serta bentuk pertumbuhannya monopodial. Bagian tubuh lamun dapat dibedakan ke dalam morfologi yang tampak seperti akar, batang, daun, bunga dan buah (Philips & Menez 1988; Fortes 1990; Tomascik et al. 1997).

Akar tunggal Rhizome Pelepah daun Batang daun r ruas daun entuk oval Pangkal daun Sambungan akar Ruas memanjang daun Ujung daun Lembaran daun Pelepah daun Sarung daun Tunas yang berduri Batang aka Lembaran daun

Gambar 2. Morfologi tumbuhan lamun (dimodifikasi dari Philips & Menez 1988)

Alu berb

r

Akar cabang

(2)

Tumbuhan lamun yang terdapat di seluruh perairan dunia berjumlah kurang lebih 58 jenis yang berasal 12 genus dan 2 famili. Famili Potamogetonaceae terdiri dari 9 genus sedangkan famili Hydrocharitaceae terdiri dari 3 genus (Azkab 2006).

Hingga kini, tercatat kurang lebih 12 jenis lamun dijumpai di perairan Indonesia yang termasuk dalam 7 genus dan 2 famili. Famili Hydrocharitaceae terdiri dari Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, dan

H. minor sedangkan famili Potamogetonaceae terdiri dari Syringodium isoetifolium, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Halodule pinifolia, H. uninervis,

dan Thalassodendron ciliatum (Nontji, 1993; Azkab 2006).

Klasifikasi tumbuhan lamun yang terdapat di Indonesia menurut Philip dan Menez (1988) adalah sebagai berikut :

Divisi: Anthophyta Subkelas: Monocotyledoneae Ordo: Helobiae Famili: Hydrocharitaceae Genus: Enhalus Genus: Thalassia Genus: Halophila Famili: Patamogetonaceae Genus: Cymodoceae Genus: Halodule Genus: Syringodium Genus: Thalassodendron

Habitat, Distribusi dan Peran Ekologis Lamun

Lamun dapat berhasil hidup di laut karena mampu hidup di media air asin, mampu berfungsi normal dalam keadan terbenam, mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik, mampu berbiak generatif dalam keadaan terbenam, dan mampu berkompetisi dengan organisme lain dalam keadaan kondisi stabil ataupun tidak stabil pada lingkungan laut (Philips & Menez 1988).

Syarat dasar habitat lamun adalah perairan dangkal, memiliki substrat yang lunak dan perairan yang cerah. Syarat lainnya adalah adanya sirkulasi air yang

(3)

membawa pergi sisa-sisa metabolisme. Selanjutnya, di beberapa daerah padang lamun dapat tumbuh namun tidak dapat berkembang dengan baik karena tidak terlindung pada saat air surut (Dahuri et al. 1997). Lamun dapat tumbuh pada empat tipe substrat yaitu rataan terumbu, paparan terumbu, teluk dangkal yang didominasi oleh pasir hitam terigenous dan pantai intertidal datar yang didominasi oleh lumpur halus (Erftemeijer 1993). Lamun juga dapat ditemukan pada daerah subtidal dengan kedalaman 40 m bahkan hingga 90 m selama masih ada sinar matahari (den Hartog 1977).

Dari 12 genus lamun yang dijumpai di seluruh perairan dunia, 7 genus diantaranya yakni Enhalus, Halophila, Thalassia, Cymodoceae, Halodule,

Syringodium, dan Thalassodendron tersebar di perairan tropis, sedangkan 5 genus

lainnya yakni Zostera, Heterozostera, Phyllospadix, Posidonia dan Amphibolis merupakan penghuni perairan subtropis (den Hartog 1970).

Komunitas lamun biasanya terdapat dalam area yang luas dan rapat. Secara umum, terdapat tiga tipe vegetasi padang lamun, yaitu: 1) padang lamun vegetasi tunggal (monospecific seagrass beds), dimana hanya terdapat satu jenis lamun, 2) padang lamun yang terdiri dari dua atau tiga jenis, tipe ini lebih sering dijumpai dibanding tipe vegetasi tunggal, dan 3) padang lamun vegetasi campuran (mixed

seagrass beds), umumnya terdiri dari E. acoroides, T. hemprichii, C. Rotundata, C. serrulata, S. isoetifolium, Halodule uninervis dan Halophila ovalis (Brouns &

Heijs 1991; Tomascik et al. 1997). Padang lamun di perairan Indonesia umumnya termasuk padang lamun vegetasi campuran (Nienhuis et al. 1989).

Penyebaran lamun di Indonesia meliputi perairan Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara serta Irian Jaya (Fortes, 1990; Tomascik et al. 1997). Dari 12 jenis lamun yang terdapat di perairan Indonesia, hanya Halophila spinulosa yang belum dijumpai di Kepulauan Maluku (Kuriandewa 1998a). Hingga kini, terdapat 8 jenis lamun yakni Enhalus

acoroides, Thallasia hemprichii, Halophila ovalis, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Halodule uninervis, Syringodium isoetifolium, dan Thalassodendron ciliatum yang dijumpai di Kepulauan Banda (David et al. 2002).

(4)

Tabel 1. Distribusi jenis lamun di Kepulauan Maluku Jenis Lamun No Lokasi

Ea Th Ho Hm Hd Hs Cr Cs Hp Hu Si Tc

Sumber

1 T. Elpaputih + + + + - - + - + + + - Kuriandewa (1998a) 2 T. Piru + + + + - - + + + + + - Kuriandewa (1998a) 3 T. Kotania + + + + + - + + + + + - Kuriandewa (1998a) 4 T. Ambon + + - + - - - - + - - - Kuriandewa (1998a) 5 T. Buli + + + - - - + + + + + - Kuriandewa (1998a) 6 Waisarissa + + + - - - + - + - - - Kuriandewa (1998a) 7 P. Tayandu

& Tual + + + + + - + + + + + + Kuriandewa (1998a) 8 P. Kei Besar + + + - - - + - + - - - Kuriandewa (1998a) 9 P. Yamdena + + + + - - + + + + + + Kuriandewa (1998a) 10 Kep. Sermata + + + - - - + + + + + + Kuriandewa (1998a) 11 Kep. Sula + + + - - - + + + + - + Kuriandewa (1998a) 12 Kep. Banda + + + - - - + + - + + + David et al. (2002) Ket: Ea=Enhalus acoroides, Th=Thalassia hemprichii, Ho=Halophila ovalis, Hm=H. minor, Hd=H. decipiens,

Hs=H. spinulosa, Cr=Cymodocea rotundata, Cs=C. serrulata, Hp=Halodule pinifolia, Hu=H. uninervis, Si=Syringodium isoetifolium, Tc=Thalassodendron ciliatum.

+ = ada, - = tidak ada

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan di Indonesia, dilaporkan bahwa kerapatan dan penutupan jenis lamun di Teluk Kuta, Lombok Selatan masing-masing berkisar antara 90-2520 teg/m2 dan <5-35% (Kiswara & Winardi 1994), di Teluk Awur, Jepara kerapatan jenis berkisar antara 46.41-545.43 teg/m2 dan penutupan 4.87-31.64% (Merryanto 2000), sementara di Teluk Banten, kerapatan jenis berkisar antara 16.7-159 teg/m2 dan penutupan mencapai 67% (Erina 2006). Dari penelitian-penelitian ini juga dijumpai adanya kecenderungan dominasi kerapatan dan penutupan oleh Thalassia hemprichii seperti di Teluk Awur, Jepara (Merryanto 2000), Teluk Gilimanuk (Rosalinda 2006), Air Cina, Kupang (Putra 2006), Pulau Lima, Teluk Banten (Erina 2006), tetapi berbeda dengan Teluk Kuta, Lombok Selatan dimana kerapatan didominasi Halodule

pinifolia dan penutupan oleh Enhalus acoroides (Kiswara & Winardi 1994),

maupun di Temukanak dan Wasmolok, Timur Tengah Utara (Putra 2006) dimana kerapatan didominasi Thalassia hemprichii sementara dominasi tutupan diwakili

Enhalus acoroides dan Cymodocea serrulata.

Kehadiran padang lamun di perairan dangkal sangat penting karena perannya sebagai produser primer, pendaur ulang zat hara, tempat berpijah dan

(5)

mencari makan berbagai biota bentik dan ikan, stabilisator dasar, penangkap sedimen dan penahan erosi (Kikuchi & Peres 1977). Sebagai produser primer, lamun memfiksasi sejumlah karbon organik dan sebagian memasuki rantai makanan di laut. Kandungan bahan organik di lamun yang tinggi berasal dari serasah daun lamun.

Sebagai habitat biota, lamun memberikan perlindungan bagi beberapa jenis biota baik yang menempel di daun, berada di atas akar dan rhizoma, maupun pada sedimen dasar sehingga terlindung dari predator (Fortes 1990). Sebagai sumber makanan, biota yang menghuni padang lamun dapat memakan tumbuhan lamun secara langsung (direct grazing) maupun melalui jalur detritus (Wood et al. 1969, diacu dalam Philips & Menez 1988). McRoy dan Helfferich (1980) melaporkan bahwa salah satu avertebrata yang memakan daun lamun secara langsung adalah bulu babi, sedangkan dari kelompok vertebrata yaitu beberapa ikan (Scaridae, Acanthuridae), penyu dan duyung, sedangkan bebek dan angsa memakan lamun ketika lamun tersebut muncul pada surut terendah.

Dalam kaitannya dengan peran lamun sebagai habitat, Kikuchi (1980) menyebutkan bahwa terdapat lima hal pokok dari ekosistem lamun dalam kaitannya sebagai penyusun suatu habitat yaitu: 1) lamun membentuk vegetasi lebat di bawah permukaan air dan menyediakan lapisan dasar yang ada bagi organisme penggali dan epifit, 2) vegetasi yang lebat tersebut menenangkan gerakan air yang ditimbulkan oleh arus dan gelombang, 3) dengan keadaan hidrodinamik yang tenang, mineral dan partikel organik dalam air dengan mudah dapat mengendap di dasar perairan, dimana endapan dari serasah lamun yang membusuk dan partikel organik lainnya membentuk suatu lingkungan yang sesuai bagi kehidupan mikroorganisme dan hewan bentik lainnya, 4) daun-daun lamun mereduksi cahaya yang berlebihan sehingga menjadi teduh dan melindungi organisme yang ada di bawahnya, 5) berdasarkan penyebab di atas, maka padang lamun merupakan habitat yang baik bagi juvenil dan nekton bahari berukuran kecil untuk mendapatkan tempat berlindung dan mencari makanan.

Selanjutnya, Howard et al. (1989) membagi empat grup besar fauna yang menghuni padang lamun, yaitu: 1) infauna, merupakan hewan yang hidup di dalam sedimen di antara rhizoma, 2) epifauna motil, merupakan hewan yang berukuran kecil dan bergerak berasosiasi dengan permukaan sedimen, hancuran

(6)

lamun dan di helaian daun, 3) epifauna sessil, merupakan hewan yang hidup secara permanen melekat di helaian lamun, 4) fauna epibentik, merupakan hewan yang berukuran lebih besar, mampu bergerak bebas dan lebih berasosiasi dengan padang lamun daripada lamun secara individual.

Bulu Babi (Echinoidea) Morfologi dan Klasifikasi

Secara morfologi, bulu babi terbagi dalam dua kelompok yakni bulu babi regularia atau bulu babi beraturan (regular sea urchin) dan bulu babi iregularia atau bulu babi tidak beraturan (irregular sea urchin). Bentuk tubuh bulu babi regularia adalah simetri pentaradial hampir berbentuk bola sedangkan bulu babi iregularia memperlihatkan bentuk simetri bilateral yang bervariasi (Aziz 1987; Chao 2000; Pechenik 2005; Radjab 2001).

Gambar 3. Bentuk umum bulu babi regularia

Selain itu, Suwignyo et al. (2005) juga menyebutkan bahwa tubuh bulu babi berbentuk bulat atau pipih bundar, tidak bertangan, mempunyai duri-duri panjang yang dapat digerakkan. Semua organ pada bulu babi umumnya terletak di dalam tempurung (test sceleton) yang terdiri atas 10 keping pelat ganda, biasanya bersambungan dengan erat, yaitu pelat ambulakra, disamping itu terdapat pelat ambulakra yang berlubang-lubang tempat keluarnya kaki tabung. Pada permukaan tempurung terdapat tonjolan-tonjolan pendek yang membulat, tempat menempelnya duri. Di antara duri-duri tersebar pedicellaria dengan 3 gigi. Kebanyakan bulu babi mempunyai 2 macam duri, duri panjang atau utama dan duri pendek atau sekunder. Selanjutnya, mulut bulu babi terletak di daerah

(7)

oral, dilengkapi dengan lima gigi tajam dan kuat untuk mengunyah yang dikenal sebagai aristotle’s lantern. Anus, lubang genital dan madreporit terletak di sisi aboral.

Klasifikasi bulu babi menurut Heinke dan Schultz (2006) adalah: Filum: Echinodermata

Subfilum: Echinozoa

Kelas: Echinoidea

Ordo: Cidaroida

Famili: Cidaridae, Psychocidaridae, Histocidaridae Ordo: Echinothuroida

Famili: Echinothuridae

Ordo: Diadematoida

Famili: Diadematidae, Micropygidae

Ordo: Phymosomatoida

Famili: Glyptocidariidae, Stomopneustidae

Ordo: Arbacioida

Famili: Arbaciidae

Ordo: Temnopleuroida

Famili: Temnopleuridae

Ordo: Echinoida

Famili: Echinidae, Parechinidae, Echinometridae, Strongylocentrotidae,

Toxopneustidae

Ordo: Clypeasteroida

Famili: Clypeasteridae, Arachnoididae, Laganiidae, Rotulidae, Echinarachniidae, Dendrasteridae, Mellitidae

Ordo: Spatangoida

Famili: Spatangidae, Mycrasteridae, Brissidae, Loveniidae, Schizasteridae, Pericosmidae, Asterostomatidae

Ordo: Holectypoida

Famili: Echinoneidae

Ordo: Cassiduloida

Famili: Cassidulidae, Apatopygidae, Echinolampadidae

Ordo: Holasteroida

(8)

Habitat, Distribusi dan Tingkah Laku Bulu Babi

Bulu babi hidup pada ekosistem terumbu karang dan ekosistem lamun. Di ekosistem terumbu karang bulu babi tersebar di zona pertumbuhan algae dan zona lamun. Bulu babi ini dapat ditemui mulai dari daerah intertidal sampai ke kedalaman 10 m (Aziz 1993), bahkan ditemukan juga bulu babi hingga kedalaman 5000 m (Suwignyo et al. 2005). Bulu babi juga lebih menyukai perairan yang jernih dan airnya relatif tenang (Radjab 2004).

Bulu babi sebagai salah satu biota penghuni padang lamun, kerap kali ditemukan di daerah padang lamun campuran. Kondisi ini terutama disebabkan karena bulu babi tergantung kepada berbagai jenis lamun dari marga Thalassia,

Syringodium, Thalassodendron, dan Cymodocea. Selain itu bulu babi juga lebih

menyukai substrat yang agak keras, dimana substrat padang lamun campuran terutama terdiri dari campuran pasir dan pecahan karang. Bulu babi yang menempati padang lamun dapat hidup mengelompok seperti Diadema setosum,

D. Antilarrum, Tripneustes gratilla, T. ventricosus, Lytechinus variegatus, Temnopleurus toreumaticus dan Strongilocentrotus spp. maupun yang cenderung

hidup menyendiri seperti Mespilia globulus, Toxopneustes pileolus, Pseudoboletia

maculata dan Echinotrix diadema (Aziz 1994a). Ditambahkan, bulu babi marga Tripneustes, Lytechinus dan Temnopleurus lebih sering dijumpai di padang lamun

dibandingkan dengan di daerah terumbu karang.

Penyebaran lokal bulu babi sangat tergantung pada faktor habitat dan makanan yang terdapat di sekeliling biota tersebut (de Beer 1990). Pada umumnya masing-masing jenis memiliki habitat yang spesifik, seperti

Tripneustes gratilla sering ditemukan di daerah berpasir atau pasir lumpur yang

banyak ditumbuhi lamun dengan kedalaman antara 0.5 m sampai dengan 20 m (Radjab 2004). Mellita quinquisperforata merupakan salah satu komponen penting di komunitas pantai berpasir (Tavares & Borzone 2006). Hingga kini, tercatat kurang lebih 151 jenis fauna Echinoidea yang terdiri dari 93 genus dan 34 famili dijumpai di perairan Laut Banda dan sekitarnya. Fauna Echinoidea yang dijumpai di wilayah ini tersebar mulai dari perairan dangkal hingga kedalaman 2250 m (Aziz 1999b). Penyebaran dan kepadatan beberapa jenis bulu babi di perairan Indonesia ditampilkan dalam tabel di bawah ini.

(9)

Tabel 2. Kepadatan beberapa jenis bulu babi di Kepulauan Indonesia

Jenis Lokasi Kepadatan Sumber

Tripneustes gratilla Bali 1-60/50m2 Darsono & Sukarno (1993)

Tripneustes gratilla Padaido 0.003-0.021/m2 Radjab (2004)

Diadema setosum Padaido 0.001-0.002/m2 Radjab (2004)

Brissus latecarinatus Padaido 0.010/m2 Radjab (2004)

Heterocentrotus mammilatus Padaido 0.001/m2 Radjab (2004)

Echinometra mathaei Padaido 0.008/m2 Radjab (2004)

Protoreaster gratiosa Padaido 0.001/m2 Radjab (2004) Echinoidea Spermonde 0.17-0.61/m2 de Beer (1990) Echinoidea Bunaken 0.17-0.61/m2 Rondo (1992)

Menurut Aziz (1987), kelompok bulu babi regularia baik yang menyendiri ataupun mengelompok, hidup bebas mencari makan secara aktif, berpindah dari satu rumpun ke rumpun algae lainnya. Aktifitas makan ini terutama dilakukan pada malam hari. Sementara itu, kelompok bulu babi iregularia baik sand dollar, heart urchin ataupun sea biscuit hidup dengan makan sisa-sisa organik yang terkandung dalam lumpur (deposit feeders). Hewan ini hidup membenamkan diri dalam lumpur atau pasir halus dan secara pasif mengumpulkan jasad-jasad renik dan sisa organik yang tertangkap oleh duri-durinya terutama pada sisi aboral, atau memperoleh makanan dengan cara menelan pasir yang ada pada medium di sekitarnya.

Selanjutnya, kebiasaan bulu babi jenis tertentu untuk hidup mengelompok seperti pada marga Diadema dan Strongylocentrotus ternyata mempunyai pengaruh negatif terhadap komunitas algae dan lamun (Aziz 1987). Dari penelitian yang dilakukan di Teluk Mukkaro Washington, Paina dan Vadas (1969)

dalam Aziz (1987) dilaporkan bahwa apabila semua bulu babi Strongylocentrotus

disingkirkan pada luas areal tertentu pada kedalaman 0-6 m, akan terlihat algae dari marga Hedophyllum menjadi predominan. Hal yang sama juga terlihat pada kedalaman sampai 8 m dimana kelp dari marga Laminaria akan menjadi predominan setelah bulu babi disingkirkan. Selain itu, Scheibling (1984) juga melaporkan bahwa meningkatnya populasi bulu babi Strongylocentrotus

droebachiensis telah mengakibatkan rusaknya padang kelp (kelp beds) di Nova

(10)

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan selama bulan Juli hingga Oktober 2008 di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku. Lokasi penelitian dibagi dalam 4 (empat) stasiun dimana masing-masing stasiun terletak di Pantai Utra (Tenggara Hatta), Pantai Polo (Timur Hatta), Pantai Bakereij (Utara Hatta), dan Pantai Ujung Paser (Barat Hatta). Posisi stasiun penelitian selengkapnya ditampilkan dalam Gambar 4.

Gambar 4. Peta lokasi penelitian

Alat dan Bahan Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain rol meter, petak kuadrat, sedimen core, kantong plastik, alat tulis, buku identifikasi lamun (Philips & Menez 1988) dan buku identifikasi bulu babi (Colin & Arneson 1995) serta bahan pengawet formalin 4%. Peralatan yang digunakan dalam pengukuran parameter kualitas air selengkapnya ditampilkan dalam Tabel 3.

Prosedur Penelitian

Evaluasi terhadap tipologi padang lamun dilakukan melalui penggambaran terhadap distribusi, kerapatan dan penutupan jenis lamun yang diperoleh dengan menggunakan metode transek linear kuadrat berdasarkan petunjuk

(11)

English et al. (1994). Lokasi penelitian dibagi dalam 4 (empat) stasiun pengamatan dimana setiap stasiun terdiri atas 3 (tiga) substasiun yang dipasang sejajar garis pantai. Substasiun A berada pada daerah lamun bagian belakang, substasiun B pada daerah lamun bagian tengah dan substasiun C pada daerah lamun bagian depan (Gambar 5).

Tabel 3. Parameter fisik kimia perairan dan metode pengukurannya

Parameter Unit Alat/Metode Keterangan

Suhu oC Termometer/Pemuaian in situ

Salinitas ppt Refraktometer/Refraksi in situ

pH - pH indikator in situ

Kekeruhan NTU Turbidimeter lab

Kec. Arus m/det Floating Dradge/Lagrangian in-situ Pasut/Topografi cm Palm tide & water pass in situ

DO mg/l DO meter in situ

Nitrat mg/l Spektrofotometer/Spektrofotometri lab Fosfat mg/l Spektrofotometer/Spektrofotometri lab Tipe substrat % Saringan bertingkat/Wentworth lab

Substasiun A Substasiun B Substasiun C

Gambar 5. Ilustrasi pengambilan contoh lamun dan bulu babi dengan transek kuadrat

Pengamatan terhadap komunitas bulu babi dilakukan dalam 3 (tiga) petak kuadrat pada setiap substasiun, dengan ukuran kuadrat 2.5 m x 10 m. Pengamatan terhadap komunitas lamun dilakukan dalam 6 (enam) petak kuadrat pada setiap substasiun dengan ukuran kuadrat 0.5 m x 0.5 m dan setiap petak kuadrat tersebut

(12)

dibagi dalam grid-grid berukuran 0.1 m x 0.1 m. Pengamatan terhadap komunitas dilakukan dalam kuadrat pengamatan bulu babi. Untuk keperluan analisis keterkaitan antara bulu babi dan lamun, hasil pengmatan pada setiap kuadrat dikonversi ke dalam satuan individu per meter kuadrat (ind/m2). Selanjutnya, pada setiap substasiun pengamatan dilakukan pengukuran terhadap kondisi fisik kimia air yang meliputi suhu, salinitas, pH, kekeruhan, kecepatan arus, DO, nitrat, fosfat, dan tipe substrat.

Pengamatan tingkah laku bulu babi (aktivitas merumput) terhadap lamun dilakukan secara langsung (alam) dan tidak langsung (akuarium). Pengamatan secara langsung dilakukan dengan menempatkan kurungan berukuran 25 cm x 25 cm x 50 cm sebanyak 8 buah di padang lamun yang telah dihitung jumlah tegakannya. Kemudian, setiap kurungan tersebut dimasukkan 1 individu bulu babi dan diamati kecepatan makan bulu babi tersebut hingga lamun yang terdapat dalam kurungan tersebut habis. Pengamatan tak langsung (akuarium) dilakukan dengan memelihara 4 individu bulu babi dalam akuarium yang berbeda selama 12 hari, dan diberi makan daun lamun yang telah diketahui berat awalnya. Setiap 24 jam, lamun yang tersisa ditimbang beratnya untuk mengetahui bobot lamun yang dimakan bulu babi per hari.

Gambar 6. Ilustrasi kurungan pengamatan langsung aktivitas merumput bulu babi (A), pengamatan tak langsung aktivitas merumput bulu babi di akuarium (B).

(B)

(13)

Analisis Data Komunitas Lamun

Keanekaragaman, keseragaman dan dominansi jenis

Indeks keanekaragaman (H’) merupakan penggambaran terhadap keadaan suatu populasi organisme secara matematis sehingga mempermudah menganalisis informasi jenis dan jumlah individu setiap jenis yang menyusun suatu komunitas. Penghitungan keanekaragaman jenis ini dilakukan dengan menggunakan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener yang didasarkan pada logaritma basis dua (Krebs 1989) dengan formula:

=

=

s i i i

p

log

p

'

H

1 2

dimana H’ = indeks keanekaragaman Shannon-Wiener

pi = ni/N

ni = jumlah individu jenis ke-i

N = jumlah total individu seluruh jenis

s = jumlah jenis

dengan kriteria (Brower et al. 1990):

H’ < 3.322 = Keanekaragaman rendah 3.322 < H’ < 9.966 = Keanekaragaman sedang H’ > 9.966 = Keanekaragaman tinggi

Nilai indeks keseragaman (E) digunakan untuk menggambarkan komposisi individu tiap spesies yang terdapat dalam suatu komunitas, yang dihitung dengan menggunakan petunjuk Krebs (1989), sebagai berikut:

max

H

'

H

E

=

dimana: E = indeks keseragaman

H’ = indeks keanekaragaman Shannon-Wienner Hmax = log2 S S = jumlah jenis dengan kriteria: 0.00 < E < 0.50 = komunitas tertekan 0.50 < E < 0.75 = komunitas labil 0.75 < E < 1.00 = komunitas stabil

(14)

Nilai indeks dominasi (C) digunakan untuk menggambarkan ada tidaknya dominansi suatu jenis dalam suatu komunitas, yang dihitung dengan menggunakan indeks dominasi Simpson (Magurran 1988), sebagai berikut:

=

=

s i

pi

C

1 2

dimana: C = indeks dominansi Simpson

pi = ni/N

ni = jumlah individu jenis ke-i

N = jumlah total individu seluruh jenis

s = jumlah jenis

dengan kriteria:

0.00 < C < 0.50 = dominansi rendah 0.50 < C < 0.75 = dominansi sedang 0.75 < C < 1.00 = dominansi tinggi

Kerapatan jenis dan kerapatan relatif jenis lamun

Kerapatan jenis lamun adalah jumlah total individu atau tegakan lamun dalam suatu unit area yang dihitung berdasarkan petunjuk English et al. (1994) sebagai berikut :

A

ni

Di

=

dimana: Di = kerapatan jenis ke-i (ind/m2)

ni = jumlah total individu jenis ke-i (ind.) A = luas area total pengambilan contoh (m2)

Kerapatan relatif jenis lamun adalah perbandingan kerapatan mutlak jenis ke-i dan jumlah kerapatan seluruh jenis, dihitung berdasarkan petunjuk English et al. (1994) sebagai berikut :

100

x

D

Di

RDi

=

dimana: RDi = kerapatan relatif jenis ke-i Di = kerapatan jenis ke-i (ind/m2)

ΣD = jumlah kerapatan seluruh jenis (ind/m2

(15)

Frekuensi jenis dan frekuensi relatif jenis lamun

Frekuensi jenis lamun adalah peluang ditemukannya jenis ke-i dalam suatu petak contoh terhadap seluruh petak contoh yang diamati, dihitung berdasarkan petunjuk English et al. (1994) sebagai berikut:

=

P

Pi

Fi

dimana: Fi = frekuensi jenis ke-i

Pi = jumlah petak contoh ditemukannya jenis ke-i ΣP = jumlah total petak contoh yang diamati

Frekuensi relatif jenis lamun adalah perbandingan frekuensi jenis ke-i dengan jumlah total frekuensi jenis, dihitung berdasarkan petujuk English et al. (1994) sebagai berikut :

100

x

F

Fi

RFi

=

dimana: RFi = frekuensi relatif jenis ke-i Fi = frekuensi jenis ke-i

ΣF = jumlah total frekuensi jenis

Penutupan jenis dan penutupan relatif jenis lamun

Perhitungan penutupan jenis lamun dilakukan berdasarkan petunjuk Saito dan Atobe (1970), diacu dalam English et al. (1994) sebagai berikut:

(

)

∑ ∑ = fi fi x Mi Ci

dimana: Ci = penutupan jenis ke-i

Mi = persentase nilai tengah kelas ke-i

fi = frekuensi (jumlah tutupan kotak-kotak kecil dari jenis ke-i, yang dominan)

Σf = jumlah total frekuensi jenis ke-i

Penutupan relatif jenis lamun adalah perbandingan antara penutupan jenis ke-i dengan jumlah total penutupan seluruh jenis.

100

x

C

Ci

RCi

=

dimana; RCi = penutupan relatif jenis ke-i Ci = penutupan jenis ke-i ΣC = jumlah total penutupan

(16)

Indeks nilai penting jenis lamun

Indeks nilai penting digunakan untuk menghitung dan menduga peranan jenis ke-i dalam suatu komunitas. Semakin tinggi Indeks Nilai Penting jenis ke-i maka semakin tinggi jenis ke-i di dalam komunitas dan sebaliknya (Brower et al. 1990) :

RCi

RFi

RDi

IVi

=

+

+

dimana: IVi = indeks nilai penting jenis ke-i RDi = kerapatan relatif jenis ke-i RFi = frekuensi relatif jenis ke-i RCi = penutupan relatif jenis-ke-i

Komunitas Bulu Babi Echinoidea

Keanekaragaman, keseragaman dan dominansi jenis

Formula perhitungan nilai indeks keanekaragam, keseragaman dan dominansi jenis bulu babi dilakukan dengan menggunakan formula sebagaimana yang digunakan terhadap komunitas lamun.

Pola Penyebaran

Pola penyebaran bulu babi dalam suatu komunitas dihitung dengan menggunakan Indeks Penyebaran Morisita (Poole 1974), sebagai berikut:

(

1

)

2

=

N

N

N

x

n

I

d

dimana: Id = indeks penyebaran Morisita

n = jumlah plot

N = jumlah total individu dalam total n plot

x2 = kuadrat jumlah individu per plot untuk total n plot dengan kriteria, jika:

Id = 1, maka pola penyebaran acak

Id = 0, maka pola penyebaran merata

Id = n, maka pola penyebaran mengelompok

Selanjutnya, untuk mendeterminasi signifikansi pola penyebaran yang diperoleh, dilakukan uji khi-kuadrat (χ2) pada selang kepercayaan 95% (α=0.05)

dengan formula: N N X n − =

2 2 χ

(17)

Sebaran Karakteristik Biofisik-Kimia

Untuk menentukan sebaran karakteristik biofisik-kima perairan, digunakan pendekatan sidik peubah ganda melalui Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis) dengan menggunakan pengukuran jarak Euklidean (jumlah

kuadrat beda antar individu untuk variabel yang berkoresponden) dengan rumus (Legendre & Legendre 1983; Bengen 2000) :

= − = p j j i ij X X i i d 1 2 ' 2 ) ( ) ' , (

dimana: i,i’ = dua baris

j = indeks pada kolom (bervariasi dari 1 hingga p)

Analisis Komponen Utama (PCA) ini merupakan metode statistik interdependen yang bertujuan yang bertujuan mempresentasikan informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data dalam bentuk grafik. Matriks data ini terdiri dari stasiun pengamatan sebagai individu statistik pada baris dan parameter biofisik-kimia air sebagai variabel kuantitatif pada kolom.

Keterkaitan antara Komunitas Lamun dan Populasi Bulu Babi

Evaluasi keterkaitan antara komunitas lamun dan populasi bulu babi di lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan Analisis Faktorial Koresponden (Correspondence Analysis) (Bengen 2000), yang didasarkan pada

matriks data i baris (kerapatan lamun, kepadatan bulu babi) dan j kolom (stasiun) dimana kepadatan bulu babi atau kerapatan lamun kei-i untuk stasiun ke-j terdapat pada baris ke-i dan kolom ke-j. Matriks datanya merupakan tabel kontigensi kerapatan jenis bulu babi x stasiun pengamatan dan tabel kontigensi kerapatan jenis lamun x stasiun pengamatan.

Matriks yang sama dievaluasi pula kerapatan jenis dalam menentukan sebaran kepadatan bulu babi. Evaluasi terhadap variabel tersebut dilakukan dengan cara memasukkannya sebagai variabel asosiatif. Matriks datanya merupakan tabel kontigensi kepadatan bulu babi x kerapatan jenis lamun.

Analisis ini merupakan suatu analisis komponen utama ganda dengan pengukuran jarak khi-kuadrat. Analisis Faktorial Koresponden ini tidak menghasilkan dua grafik yang independen tapi hanya satu grafik unik dimana baris dan kolom dipresentasekan pada grafik yang sama. Pengukuran kemiripan

(18)

antara dua baris dan dua kolom dilakukan melalui pengukuran jarak khi-kuadrat dengan persamaan: j i j i p j i ij X X X X X i i d ( , ') ( / ' / ')2 / 1 2 =

− =

dimana: d2 = jarak khi-kuadrat

Xi = jumlah dari baris i untuk keseluruhan kolom j

Xj = jumlah dari kolom j untuk keseluruhan baris i

Pengelompokan stasiun yang diperoleh dari Analisis Faktorial Koresponden, selanjutnya dikonfirmasi dengan klasifikasi hierarki (Cluster Analysis) yang diwujudkan dalam bentuk dendogram (Bengen 2000).

Gambar

Gambar 2. Morfologi tumbuhan lamun (dimodifikasi dari Philips &amp; Menez 1988)
Tabel  1.  Distribusi jenis lamun di Kepulauan Maluku
Tabel 2.  Kepadatan beberapa jenis bulu babi di Kepulauan Indonesia
Gambar 4. Peta lokasi penelitian  Alat dan  Bahan Penelitian
+2

Referensi

Dokumen terkait

Melalui skripsi yang berjudul &#34;Struktur komunitas perifiton pada padang lamun di Perairan Teluk Hurun, Teluk Lampung, Larnpung Selatan&#34; penulis berusaha

Komunitas lamun yang diukur dalam penelitian ini adalah kerapatan jenis lamun untuk mengetahui seberapa banyak jumlah lamun yang terdapat di tiap plot pengamatan.. Selain itu

Dasar perairan yang berbeda dari satu lokasi ke lokasi lainnya mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap penyebaran hewan air, terutama bagi hewan- hewan air

Pada perairan yang lebih dalam spons cenderung memiliki tubuh yang lebih simetris dan lebih besar sebagai akibat dari lingkungan yang lebih stabil apabila dibandingkan dengan

Untuk itu, pengetahuan tentang komposisi spesies dan struktur komunitas ikan pada eksosistem padang lamun di perairan Tanjung Tiram pada periode bulan yang berbeda ( s pring tide

Unsworth (2008) melakukan penelitian mengenai tingkat konektivitas antara komunitas ikan di lamun dengan habitat mangrove dan terumbu karang di perairan Taman Nasional

Menurut Efendy (2009), padang lamun memiliki kondisi ekologis yang sangat khusus yaitu (1) terdapat di perairan pantai yang landai, dataran lumpur , berpasir lunak dan

a) Waktu, keragaman komunitas bertambah sejalan waktu, berarti komunitas tua yang sudah lama berkembang, lebih banyak terdapat organisme dari pada komunitas muda yang