• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. permasalahan permasalahan dalam penelitian tersebut.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. permasalahan permasalahan dalam penelitian tersebut."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

9 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Pada bab ini, peneliti akan akan menguraikan mengenai teori – teori yang sesuai dengan topik penelitian yang akan diteliti guna untuk dapat menjawab permasalahan – permasalahan dalam penelitian tersebut.

2.1 Kualitas Hidup

2.1.1 Pengertian Kualitas Hidup

Cella & Tulsky (dalam Dimsdale, 1995) beberapa pendekatan fenomenologi dari kualitas hidup menekankan tentang pentingnya persepsi subjektif seseorang dalam memfungsikan kemampuan mereka sendiri dan membandingkannya dengan standar kemampuan internal yang mereka miliki agar dapat mewujudkan sesuatu menjadi lebih ideal dan sesuai dengan apa yang mereka inginkan.

Campbell dkk (dalam Dimsdale, 1995) yang menggaris bawahi tentang pentingnya persepsi subjektif dan penafsiran dalam pengukuran kualitas hidup. Dalam hal ini dikemukakan bahwa kualitas hidup dibentuk oleh suatu gagasan yang terdiri dari aspek kognitif dan afektif karena penilaian individu terhadap satu kondisi kognitif mempengaruhi secara efektif dan menimbulkan reaksi terhadap kondisi emosi individu tersebut.

(2)

10

Kualitas hidup juga mendeskripsikan istilah yang merujuk pada emosional, sosial dan kesejahteraan fisik seseorang, juga kemampuan mereka untuk berfungsi dalam kehidupan sehari-hari (Donald, 2001).

Guru besar emeritus bidang Psikologi Klinis Fakultas Psikologi (Fapsi) Unpad, Prof. Dr. H. Soetardjo A. Wiramihardja, mengungkapkan bahwa kualitas hidup itu ialah bagaimana kualitas seseorang apabila dilihat dari interaksi dengan kehidupan di sekitarnya.

Kualitas hidup bisa dipandang dari segi subjektif dan objektif. Dari segi subjektif dan objektif. Dari segi subjektif merupakan perasaan nyaman dan puas atas segala sesuatu secara umum, sedangkan secara objektif adalah pemenuhan tuntutan kesejahteraan materi, status sosial, dan kesempurnaan fisik secara sosial atau budaya (Trisnawati, 2002 dalam Fatayi, 2008).

Mc Carncy & Lason (1987, dalam Yuwono, 2000) mendefiniskan kualitas hidup sebagai derajat kepuasan hati karena terpenuhinya kebutuhan eksternal maupun persepsinya.

Menurut Calman yang dikutip oleh Hermann (1993:14-21) dalam Silitonga (2007) mengungkapkan bahwa konsep dari kualitas hidup adalah bagaimana perbedaan antara keinginan yang ada dibandingkan perasaan yang ada sekarang, definisi ini dikenal dengan sebutan “Calman’s Gap”. Calman mengungkapkan pentingnya mengetahui perbedaan antara perasaan yang ada dengan keinginan yang sebenarnya, dicontohkan dengan membandingkan suatu keadaan antara “dimana seseorang berada”

(3)

11

dengan “di mana seseorang ingin berada”. Jika perbedaan antara kedua keadaan ini lebar, ketidakcocokan ini menunjukkan bahwa kualitas hidup seseorang tersebut rendah. Sedangkan kualitas hidup tinggi jika perbedaan yang ada antara keduanya kecil.

2.1.2 Dimensi/Indikator Kualitas Hidup

Diener dan Suh (2000) mengatakan bahwa kriteria individu dalam menilai kehidupannya berbeda – beda tergantung dari nilai – nilai yang berlaku dalam masyarakatnya. Hal ini juga sesuai dengan definisi yang dikemukakan oleh WHOQoL, bahwa persepsi individu mengenai kualitas hidupnya dipengaruhi oleh konteks budaya dan sistem nilai dimana individu tinggal.

Beberapa faktor lain yang mempengaruhi kualitas hidup berdasarkan penelitian – penelitian atau argumentasi yang dikemukakan oleh para ahli (Nofitri, 2009) :

1. Gender/ Jenis Kelamin

Moons, Marquet, Budst, dan de Geest (2004) mengatakan bahwa gender adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hidup. Bain, dkk (2003) menemukan adanya perbedaan antara kualitas hidup antara laki-laki dan perempuan, dimana kualitas hidup laki-laki cenderung lebih baik daripada kualitas hidup perempuan. Bertentangan dengan penemuan Bain, Wahl, Rustoen, Hanestad, Lerdal & Moum (2004) menemukan bahwa kualitas hidup perempuan cenderung lebih tinggi daripada laki-laki. Fadda dan Jiron (1999) mengatakan bahwa laki-laki dan

(4)

12

perempuan memiliki perbedaan dalam peran serta akses dan kendali terhadap berbagai sumber sehingga kebutuhan/ hal-hal yang penting bagi laki-laki dan perempuan juga akan berbeda. Hal ini mengindikasikan adanya perbedaan aspek-aspek kehidupan dalam hubungannya dengan kualitas hidup pada laki-laki dan perempuan. Ryff & Singer (1998, dalam Papalia, Sterns, Feldman, & Camp, 2007) mengatakan bahwa secara umum, kesejahteraan laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda, namun perempuan lebih banyak terkait dengan aspek hubungan yang bersifat positif sedangkan kesejahteraan tinggi pada pria lebih terkait dengan aspek pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik. 2. Usia

Moons, Marquet, Budst, dan de Geest (2004) dan Dalkey (2002) mengatakan bahwa usia adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hidup. Penelitian yang dilakukan oleh Wagner, Abbot, & Lett (2004) menemukan adanya perbedaan yang terkait dengan usia dalam aspek-aspek kehidupan yang penting bagi individu.

3. Pendidikan

Moons, Marquet, Budst, dan de Geest (2004) dan Baxter (1998) mengatakan bahwa tingkat pendidikan adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas hidup subjektif. Penelitian yang dilakukan oleh Wahl, Rustoen, Hanestad, Lerdal & Moum (2004) menemukan bahwa kualitas hidup akan meningkat seiring dengan lebih tingginya tingkat pendidikan yang didapatkan oleh individu. Penelitian yang dilakukan oleh Noghani, Asgharpour, Safa, dan Kermani (2007) menemukan adanya pengaruh positif dari pendidikan terhadap kualitas hidup subjektif namun tidak banyak.

(5)

13 4. Pekerjaan

Moons, Marquet, Budst, dan de Geest (2004) mengatakan bahwa terdapat perbedaan kualitas hidup antara penduduk yang berstatus sebagai pelajar, penduduk yang bekerja, penduduk yang tidak bekerja (atau sedang mencari pekerjaan), dan penduduk yang tidak mampu bekerja (atau memiliki disablity tertentu). Wahl, Rustoen, Hanestad, Lerdal & Moum (2004) menemukan bahwa status pekerjaan berhubungan dengan kualitas hidup baik pada pria maupun wanita.

5. Status pernikahan

Moons, Marquet, Budst, dan de Geest (2004) mengatakan bahwa terdapat perbedaan kualitas hidup antara individu yang tidak menikah, individu bercerai ataupun janda, dan individu yang menikah atau kohabitasi. Campbell, Converse & Rogers (1976), Scuessler & Fisher (1985), Zapf et al (1987) menemukan bahwa status pernikahan merupakan prediktor terbaik dari kualitas hidup secara keseluruhan (dalam Lee, 1998). Penelitian empiris di Amerika secara umum menunjukkan bahwa individu yang menikah memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi daripada individu yang tidak menikah, bercerai, ataupun janda/duda akibat pasangan meinggal (Campbell, Converse & Rogers, 1976; Clemente & Sauer, 1976; Glenn & Weaver, 1981, dalam Lee, 1998). Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahl, Rustoen, Hanestad, Lerdal & Moum (2004) menemukan bahwa baik pada pria maupun wanita, individu dengan status menikah atau kohabitasi memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi.

6. Penghasilan

Baxter, dkk (1998) dan Dalkey (2002) menemukan adanya pengaruh dari faktor demografi berupa penghasilan dengan

(6)

14

kualitas hidup yang dihayati secara subjektif. Penelitian yang dilakukan oleh Noghani, Asgharpour, Safa, dan Kermani (2007) juga menemukan adanya kontribusi yang lumayan dari faktor penghasilan terhadap kualitas hidup subjektif namun tidak banyak 7. Hubungan dengan orang lain

Baxter, dkk (1998) menemukan adanya pengaruh dari faktor demografi berupa faktor jaringan sosial dengan kualitas hidup yang dihayati secara subjektif. Myers, dalam Kahneman, Diener, & Schwarz (1999) yang mengatakan bahwa pada saat kebutuhan akan hubungan dekat dengan orang lain terpenuhi, baik melalui hubungan pertemanan yang saling mendukung maupun melalui pernikahan, manusia akan memiliki kualitas hidup yang lebih baik baik secara fisik maupun emosional. Penelitian yang dilakukan oleh Noghani, Asgharpour, Safa, dan Kermani (2007) juga menemukan bahwa faktor hubungan dengan orang lain memiliki kontribusi yang cukup besar dalam menjelaskan kualitas hidup subjektif.

8. Standard referensi

O’Connor (1993) mengatakan bahwa kualitas hidup dapat dipengaruhi oleh standard referensi yang digunakan seseorang seperti harapan, aspirasi, perasaan mengenai persamaan antara diri individu dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan definisi kualitas hidup yang dikemukakan oleh WHOQoL (dalam Power, 2003) bahwa kualitas hidup akan dipengaruhi oleh harapan, tujuan, dan standard dari masing-masing individu. Glatzer dan Mohr (1987, dalam Strack, Argyle, dan Schwarz, 1991) menemukan bahwa di antara berbagai standard referensi yang digunakan oleh individu, komparasi sosial memiliki pengaruh yang kuat terhadap kualitas hidup yang dihayati secara subjektif.

(7)

15

Jadi, individu membandingkan kondisinya dengan kondisi orang lain dalam menghayati kualitas hidupnya.

Kualitas hidup dalam hal ini merupakan suatu konsep yang sangat luas yang dipengaruhi oleh :

1) Kondisi fisik individu 2) Psikologis

3) Tingkat kemandirian

4) Hubungan individu dengan lingkungan (Curtis, 2000)

Pengelompokkan aspek kualitas hidup yang dikemukakan oleh Felce dan Perry (1995), adalah sebagai berikut :

1) Kelompok aspek kesejahteraan fisik

Menyebutkan beberapa aspek kehidupan seperti kesehatan, kebugaran, keamanan fisik, an mobilitas sebagai bagian dari kelompok aspek physical wellbeing.

2) Kelompok aspek kesejahteraan material

Menyebutkan beberapa aspek kehidupan seperti pendapatan, kualitas hidup, privacy, kepemilikan, makanan, alat transportasi, lingkungan tempat tinggal, keamanan, dan stabilitas sebagai bagian dari kelompok aspek material wellbeing.

3) Kelompok aspek kesejahteraan sosial

Membagi kelompok aspek ini menjadi dua dimensi utama yaitu dimensi hubungan interpersonal (hubungan dengan keluarga atau kehidupan rumah tangga, hubungan dengan kerabat dalam

(8)

16

keluarga besar, hubungan dengan teman atau rekan) dan dimensi keterlerlibatan dalam masyarakat (aktivitas individu dalam masyarakat, besarnya penerimaan atau dukungan masyarakat). 4) Kelompok aspek pengembangan dan aktivitas

Menjelaskan bahwa dimensi perkembangan dan aktivitas ini berkaitan dengan kepemilikan dan penggunaan keahlian baik dalam hubungannya dengan self-determination (kompetensi atau kemandirian dan pilihan atau pengendalian) ataupun pencapaian aktivitas fungsional (pekerjaan, rekreasi, pekerjaan, rumah tangga, pendidikan, dan produktivitas/kontribusi).

5) Kelompok aspek kesejahteraan emosional

Menyebutkan beberapa aspek kehidupan seperti afek atau mood, kepuasan atau pemenuhan kebutuhan, kepercayaan diri, agama, dan status/kehormatan.

2.1.3 Pengukuran Kualitas Hidup

Secara umum terdapat 5 bidang (domains) yang dipakai untuk mengukur kualitas hidup berdasarkan kuesioner yang dikembangkan oleh WHO (Larasati,2007) bidang tersebut adalah kesehatan fisik, kesehatan psikologik, keleluasaan aktivitas, hubungan sosial, dan lingkungan. Sedangkan secara rinci bidang-bidang yang termasuk kualitas hidup adalah sebagai berikut :

(9)

17

1) Kesehatan fisik (physical health) : kesehatan umum, nyeri, energi, vitalitas, aktivitas seksual, tidur, dan istirahat.

2) Kesehatan psikologis (psychological health) : cara berpikir, belajar, memori, dan konsentrasi.

3) Tingkat aktivitas (level of independence) : mobilitas, aktivitas sehari-hari, komunikasi, dan kemampuan kerja.

4) Hubungan sosial (social relationship) : hubungan sosial dan dukungan sosial.

5) Lingkungan (environment) : keamanan, lingkungan tempat tinggal, dan kepuasan kerja.

Menurut Neugarten, kualitas hidup adalah ukuran kebahagiaan dan mempunyai lima aspek, yaitu :

1) Merasa senang dengan aktivitas yang dilakukan sehari-hari. 2) Menganggap hidupnya penuh arti dan menerima dengan tulus

kondisi hidupnya.

3) Merasa telah berhasil mencapai cita-cita atau sebagian besar hidupnya.

4) Mempunyai citra diri yang positif.

5) Mempunyai sikap hidup yang optimistik dan suasana hati yang bahagia (Fitriyana Fauziah, 2010).

(10)

18

Kualitas hidup merupakan suatu konsep yang bersifat subjektif karena melibatkan persepsi individu terhadap aspek – aspek kehidupannya. Kategori penentu kualitas hidup menurut Oliver, dkk (1996) adalah :

1. Karakteristik pribadi

Variabel demografis, seperti : umur, jenis kelamin, etnis, dan status sosial – ekonomi.

2. Kualitas hidup obyektif

a. Indikator sosial/ekonomi, seperti : kontak sosial, penghasilan, perumahan, pekerjaan, dsb.

b. Kompetensi perilaku/peran, seperti : keterampilan sosial, kemampuan sosial, rutinitas, dan kegiatan.

c. Faktor biologis, seperti : status kesehatan fisik dan mental (gejala psikopatologi).

3. Kualitas hidup subyektif

a. Kepuasan subyektif, seperti : persepsi tentang kualitas hidup (kepuasan dengan indikator sosial dalam domain kehidupan) dan kepuasan umum (kesesuaian antara tujuan yang diinginkan dan dicapai).

b. Kesehatan mental, seperti : pengaruh positif, pengaruh negatif (symptom psikopatologi), dan kestabilan emosi.

(11)

19 4. Kebahagiaan dan moral

a. Kepribadian, seperti : konsep diri, locus of control, ekstroversi/introversi.

b. Penyesuaian diri, yaitu adapatasi sosial dan pertumbuhan pribadi, seperti : penguasaan, kebebasan, nilai.

2.1.4 Kualitas Hidup pada Dewasa Awal

Berdasarkan apa yang dikatakan oleh Miller (1993), individu baru dapat memasuki tahap perkembangan dewasa setelah ia bisa berhasil menyelesaikan tugas perkembangan masa remajanya, yakni identity and repudation versus identity diffusion. Dengan kata lain, individu yang sudah memasuki masa dewasa adalah individu yang memiliki identitas diri yang sudah relatif stabil (Papalia, Olds, dan Feldman, 2007).

Havighurst (dalam Pomerantz & Benjamin, n.d) mengemukakan bahwa tugas perkembangan dewasa awal adalah menikah, menjadi orang tua, rumah tangga, memulai karir, dan kewajiban – kewajiban sosial. Individu dewas awal juga berada pada puncak kekuatan fisik dan intelektual serta merupakan masa dimana individu membuat banyak keputusan baik dalam hal karir, pendidikan, maupun pemilihan gaya hidup (Papalia, Strens, Feldman, dan Camp, 2007). Levinson (2007) juga menambahkan bahwa pada usia dewasa awal individu mengatur hidupnya

(12)

20

dan menentukan tujuan – tujuan tertentu baik gelar maupun pendapatan tertentu.

Selain itu, Papalia, Sterns, Feldman, & Camp (2007) mengatakan bahwa individu dewasa awal juga berada pada puncak kemampuan mentalnya dimana individu mencapai puncak karir. Individu dewasa awal pada umumnya memiliki tanggung jawab ganda yakni tanggung jawab sebagai orang tua yang harus mengasuh anak dan tanggung jawab untuk merawat orang tua mereka yang sudah lanjut usia (Papalia, Strens, Feldman, & Camp, 2007).

2.2 Narapidana

2.2.1 Pengertian Narapidana

Pengertian narapidana berasal dari dua suku kata yaitu Nara = orang dan Pidana = hukuman dan kejahatan (pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, narkoba, korupsi dan sebagainya). Jadi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian narapidana adalah orang hukuman atau orang yang sedang menjalani hukuman karena tindak pidana (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2005).

Di dalam UU No. 12/1995 tentang Pemasyarakatan, pengertian narapidana adalah terpidana yang hilang kemerdekaan di lembaga pemsyarakatan.

Narapidana merupakan anggota dari masyarakat umum yang memiliki hak dan kewajiban sebagaimana warga negara lainnya,

(13)

21

dikarenakan perlakuannya dalam kehidupan sehari-hari telah melakukan kesalahan yaitu melanggar hukum yang berlaku, maka untuk sementara waktu dimasukkan ke dalam Lembaga Pemasyarakatan dan akan kehilangan kemerdekaannya dalam waktu tertentu (Sudirohusodo, 2002:14).

Menurut Poernomo (1985:70) narapidana adalah individu yang telah terbukti melakukan tindak pidana dan kemudian oleh peradilan dijatuhi hukuman atau pidana. Pengadilan mengirimkan narapidana tersebut ke Rumah Tahanan atau Lembaga Pemsyarakatan untuk menjalani hukuman sampai habis masa pidananya.

2.2.2 Pembinaan Terhadap Narapidana

Pembinaan narapidana mempunyai arti bahwa seseorang yang berstatus narapidana akan diubah menjadi seseorang yang baik. Atas dasar pengertian yang demikian tersebut, maka sasaran yang perlu dibina adalah pribadi dan budi pekerti narapidana, yang didorong untu membangkitkan diri sendiri dan orang lain, serta mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tenteram dan sejahtera dalam masyarakat dan selanjutnya berpotensi menjadi manusia yang berbudi luhur dan bermoral tinggi (Poernomo, 1985, 186).

Poernomo (1985,187) juga menambahkan bahwa pembinaan narapidana di Lembaga Pemsyarakatan tidak lepas dari tujuan pemidanaan

(14)

22

yang nantinya bisa mengubah perilaku seseorang yang jahat menjadi manusia yang baik.

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Hurlock (2004) bahwa narapidana mempunyai keinginan untuk dapat meraih pekerjaan dengan tujuan untuk mendapatkan kemajuan, meskipun hal tersebut bukan hal yang mudah untuk dipecahkan oleh narapidana setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan.

2.2.3 Penggolongan Narapidana

Harsono (1995) (dalam Ndoen) mengemukakan bahwa pada lembaga pemasyarakatan narapidana digolongkan berdasarkan :

a. Jenis Kelamin

Berdasarkan jenis kelamin dibedakan berdasarkan perbedaan antara pria dan wanita.

b. Usia

Berdasarkan usia narapidana digolongkan menjadi dua, yang pertama usia dewasa yaitu mereka yang sudah berumur 18 tahun ke atas, dan yang kedua usia anak-anak yaitu mereka yang berumur di bawah 18 tahun.

c. Jenis Kasus

Berdasarkan jenis kasus di Lembaga Pemasyarakatan, narapidana dipisahkan dalam beberapa kriteria jenis kasus kejahatan yaitu kejahatan politik an kejahatan kriminal dengan

(15)

23

kekerasan seperti perampokan, penodongan, serta kriminal tanpa kekerasan seperti penipuan, dll.

d. Lama Hukuman

Berdasarkan lama hukuman narapidana digolongkan berdasarkan lamanya masa hukuman yang dijatuhkan vonis pengadilan terhadapnya, yaitu :

 1 – 20 tahun (klasifikasi B – I)  4 – 12 bulan (klasifikasi B – IIa)  1 – 3 bulan (klasifikasi B – IIb)

 Pidana denda (klasifikasi B – IIIc) yang sudah ditentukan pengadilan

2.3 Masa Dewasa Awal

2.3.1 Pengertian Masa Dewasa Awal

Masa dewasa awal merupakan masa dewasa yang dimulai pada usia 18 tahun sampai dengan 40 tahun (Lemme, dalam Andranita, 2008). Lebih lanjut Lemme (1995), menjelaskan bahwa masa dewasa adalah masa yang ditandai dengan adanya ketidaktergantungan secara finansial dan orangtua serta adanya rasa tangggung jawab terhadap tindakan – tindakan yang dilakukan. Sejalan dengan yang dikatakan Lemme, Hurlock (dalam Lemme, 1995) menegaskan kembali mengenai tanggung jawab tersebut, bahwa individu dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat

(16)

24

bersama dengan orang dewasa lainnya. Hurlock juga (dalam Lemme, 1995) mengatakan bahwa masa dewasa awal merupakan periode penyesuaian terhadap pola – pola kehidupan baru dan harapan – harapan sosial baru. Individu diharapkan dapat menjalankan peran – peran barunya sebagai suami/istri, pencari nafkah, orangtua, yang disisi lain dapat mengembangkan sikap, keinginan dan nilai sesuai dengan tujuan yang baru.

Dapat diambil kesimpulan bahwa dewasa awal adalah masa dimana individu memiliki tanggung jawab atas segala tindakan, sikap, keinginan yang ia miliki dan tidak bergantung pada orang lain. Pada tahapan perkembangan ini, dewasa awal memiliki tugas utama yang harus diselesaikan seperti meninggalkan rumah, memilih dan mempersiapkan karir, membangun hubungan dekat seperti persahabatan dan pernikahan dan memulai untuk membentuk keluarga sendiri (Atwater & Duffy, 2005). Menurut Piaget (Papalia et al, 2009) perkembangan kognitif

berhubungan dengan penalaran abstrak tingkat tinggi atau berpikir reflektif yaitu jenis berpikir yang muncul pada masa dewasa, melibatkan evaluasi terhadap informasi dan keyakinan secara berkesinambungan dan aktif dengan mempertimbangkan bukti dan implikasi. Kemampuan untuk berpikir reflektif diperkirakan muncul antara usia 20 dan 25 tahun. Poin lani di tahap yang lebih tinggiada kognisi orang dewasa disebut pemikiran pascaformal yaitu jenis berpikir matang yang bergantung pada pengalaman subjektif dan intuisi serta logika, berguna dalam menghadap ambiguitas,

(17)

25

ketidakpastian, inkonsistensi, kontradiksi, ketidaksempurnaan, dan kompromi.

Peter Salovey dan John Mayer (Papalia et al, 2009) menetapkan istilah Emotional Intelligience (EI) yang mengacu pada kemampuan untuk mengenali dan menghadapi perasaaan sendiri dan orang lain, sedangkan Daniel Goleman (Papalia, 2009) memperluasnya hingga mencakup beberapa kualitas seperti, optimisme, kecermatan, motivasi, empati, an kompetensi sosial.

Semua emosi, pada dasarnya, adalah dorongan untuk bertindak, rencaana seketika untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara berangsur – angsur oleh evolusi. Bahwasanya emosi memancing tindakan. Manusia memiliki dua pemikiran yaitu pemikiran emosional dan pemikiran rasional, adalah model pemahaman yang lazimnya kita sadari: lebih menonjol kesadarannya, bijaksana, mampu bertindak hati – hati dan refleksi. Dikotomi emosional kurang lebih sama dengan istilah awam antara “hati” dengan “kepala”; mengetahui sesuatu itu benar “di dalam hati anda” merupakan tingkat keyakinan yang berbeda an merupakan suatu kepatian yang mendalam. Kedua pemikiran tersebut, emosional dan rasioanal , oada umumnya bekerja dalam kesetaraan, yang erat, saling melengkapi cara – cara mereka yang amat berbeda dalam mencapai pemahaman guna mengarahkan kita menjalani kehidupan duniawi (Goleman, 2007)

(18)

26

2.3.2 Tugas – tugas Perkembangan Dewasa Awal

Individu yang berada pada masa dewasa awal ternyata memiliki berbagai tugas perkembangannya. Tugas – tugas tersebut meliputi aspek – aspek sosial dalam hidup individu tersebut, misalnya aspek hubungan interpersonal, pekerjaan, dan lainnya. Havighurst (Lemme, dalam Andranita, 2008) mengungkapkan tugas – tugas perkembangan masa dewasa awal, yaitu :

1. Menentukan pasangan hidup. Seperti yang dikatakan oleh Erikson bahwa krisi yang dialami pada dewasa awal adalah intimacy atau kedekatan dengan orang lain di sekitarnya. Jika krisis utama ini mampu diselesaikan oleh individu maka individu akan memiliki hubungan yang baik dan sehat dengan lawan jenis.

2. Belajar untuk menyesuaikan diri dan hidup bersama pasangan (suami atau istri). Ketika individu telah mampu menemukan pasangan hidup, ia harus mampu beradaptasi dengan pasangannya dan mulai untuk membentuk keluarga.

3. Membentuk keluarga 4. Belajar mengasuh anak 5. Mengelola rumah tangga

6. Meniti karir atau melanjutkan pendidikan

7. Mulai bertanggung jawab sebagai warga negara secara layak. Contoh bertanggung jawab sebagai warga negara secara layak

(19)

27

adalah membayar pajak, peduli terhadap lingkungan sekitar, mengikuti pemilu dan lainnya.

8. Memperoleh kelompok sosial yang sejalan dengan nilai – nilai yang dianutnya.

Dapat dilihat bahwa tugas perkembangan yang dimiliki usia dewasa awal adalah membentuk hubungan sosial dengan orang lain, dan lingkungan di sekitarnya. Individu dituntut untuk mampu mengembangkan diri dan beradapatasi dengan lingkungannya.

Individu pada masa dewasa awal juga dituntut dalam berbagai pencapaian alam kematangan fisiologis, seperti menemukan identitas diri, menjadi mandiri dari orang tua, mengembangkan suatu sistem nilai, dan membangun hubungan. Sementara itu, beberapa psikolog berpendapat bahwa dimulainya kedewasaan tidak ditandai oleh kriteria ekternal, tetapi oleh indikator eksternal, tetapi oleh indikator internal seperti otonomi, kontrol diri, dan tanggung jawab pribadi – bahwa indikator tersebut lebih merupakan kerangka berpikir daripada peristiwa yang terpisah – pisah (Shanahan, Prfeli, dan Mortimer, 2005). Dari titik pandang ini, orang – orang tertentu tidak pernah menjadi dewasa, berapa pun usia kronologisnya.

Seiring dengan banyaknya tugas – tugas perkembangan yang harus dipenuhi maka banyak pula perubahan/penyesuaian yang terjadi dalam diri inidvidu pada masa dewasa awal, seperti munculnya suatu permasalahan

(20)

28

baru dengan usia yang sudah cukup matang seharusnya individu juga dapat mencoba mencari pemecahan masalah dengan cukup baik sehingga menjadi stabil dan tenang secara emosional (Brook, 1974). Apabila emosi yang menggelora merupakan ciri tahun – tahun awal kedewasaan masih tetap kuat pada usia tigapuluhan, maka hal ini merupakan tanda bahwa penyesuaian diri pada kehidupan orang – orang dewasa belum terlaksana secara memuaskan.

Untuk itu tingkat keberhasilan dalam menguasai semua tugas – tugas perkembangan tersebut sangat penting dan bergantung sepenuhnya pada individu itu sendiri, karena dari penguasaan ini akan menentukan bagaimana kebahagiaan mereka saat itu dan juga selama tahun terakhir kehidupan mereka.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui apakah metode yang diusulkan dapat bekerja dengan baik, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap impementasi usulan metode ini agar hasil

Sesuai dengan rumusan masalah, tujuan penelitian dan hasil penelitian tentang media pembelajaran VCD terhadap pukulan forehand dan backhand pada permainan tenis

Sebagai suatu ideologi bangsa dan negara Indonesia maka Pancasila pada hakikatnya bukan hanya merupakan suatu hasil perenungan dan pemikiran seseorang atau kelompok orang

Abdullah bin Mubarok berkata, “Sungguh mengembalikan satu dirham yang berasal dari harta yang syubhat lebih baik bagiku daripada bersedeqah dengan seratus ribu dirham”..

Setiap kuliah akan dilaksanakan presentasi pembahasan tentang paper yang ditentukan oleh pengajar ditambah bahan lain yang relevan dengan paper tersebut (yang

Rata-rata kerugian terbesar dirasakan pada wilayah dua yaitu sebesar Rp 191.913 per bulan/responden, hal ini dikarenakan keadaan ekonomi responden di wilayah dua lebih

Isolat bakteri endofit tanaman sirih yang menunjukkan gejala negatif dari uji hipersensitif dan isolat bakteri endofit tanaman padi hasil seleksi uji pertumbuhan di media TSA

Jika session benar maka user dipersilahkan membuka halaman kotak surat, namun jika salah maka user tidak bisa membuka halaman kotak surat dan biasanya akan