• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. berupa barang maupun uang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. menyerahkan sesuatu kepada orang lain sebagai bentuk ucapan terima

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. berupa barang maupun uang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. menyerahkan sesuatu kepada orang lain sebagai bentuk ucapan terima"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1

1.1 Latar Belakang

Setiap orang lazim pernah memberi sesuatu kepada orang lain, baik berupa barang maupun uang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 205), kata “memberi” memiliki beberapa arti. Di antaranya adalah menyerahkan (membagikan, menyampaikan) sesuatu dan mengucapkan (menyampaikan). Jadi, “memberi” bisa diartikan sebagai kegiatan untuk menyerahkan sesuatu kepada orang lain sebagai bentuk ucapan terima kasih, turut berbahagia atau belasungkawa, dan sebagainya.

Menurut Befu dalam Lebra (1974: 210), sejarah munculnya kegiatan “memberi” di Jepang berkaitan dengan persembahan kepada para dewa. Para penganut Shinto akan menghidangkan kue beras dan sake di depan altar Shinto yang disebut kamidana, sebagai bentuk rasa syukur kepada dewa yang disebut kami. Wulan (2006: 5,6) menambahkan bahwa, orang Jepang juga mengenal persembahan dari agama Budha. Mereka mengenalnya sejak agama Budha masuk ke Jepang pada abad VI. Para penganut Budha akan meletakkan makanan dan minuman di depan altar Budha yang disebut butsudan. Persembahan tersebut dilakukan sebagai permohonan maaf kepada sang Budha.

Kebiasaan memberi makanan sebagai persembahan tersebut berlanjut menjadi kegiatan saling memberi di antara manusia. Ini diawali

(2)

dengan naorai yang merupakan salah satu kegiatan dalam agama Shinto. Jadi, setelah upacara keagamaan selesai, makanan yang disajikan bersama persembahan akan dimakan oleh para penganut Shinto secara bersama-sama. Mereka percaya bahwa makanan tersebut merupakan balasan dari kami, sehingga secara tidak langsung kekuatan kami akan tersalur pula dalam diri mereka (Befu dalam Lebra, 1974: 210).

Setelah mengenal persembahan dan naorai, orang Jepang juga menjadi terbiasa memberi makanan kepada orang yang sedang sakit. Mereka percaya bahwa manusia bisa saling mengirim kekuatan melalui pemberian makanan (Befu dalam Lebra, 1974: 211). Hingga pada zaman Edo, muncul berbagai upacara adat, perayaan-perayaan, dan festival-festival sebagai kegiatan keagamaan atau tradisi yang dipengaruhi oleh agama Shinto dan Budha (Kodansha, 1990: 72).

Menurut Lebra (1976: 97-98), upacara-upacara adat, perayaan-perayaan, dan festival-festival tersebut terbagi atas upacara-upacara atau perayaan yang berkaitan dengan siklus hidup manusia dan festival-festival yang diadakan setiap satu tahun sekali. Dua kategori tersebut merupakan kesempatan-kesempatan untuk melakukan kebiasaan saling memberi pemberian. Begitu pula dengan peristiwa dalam keadaan darurat, saat mengunjungi seseorang, dan beberapa peristiwa penting lainnya. Dengan adanya berbagai peristiwa yang melingkupi hidup orang Jepang, bisa dipastikan bahwa orang Jepang memberi pemberian setiap tahunnya.

(3)

Menurut Befu via Lebra (1976: 100), kebiasaan memberi pemberian di Jepang selalu membutuhkan balasan, sehingga kebiasaan itu kemudian disebut dengan “zoutou bunka“ (贈答文化). Dilihat dari huruf kanjinya, kata “zoutou” berasal dari kata okuru ( 贈 る ) yang berarti ‘memberi’ dan kata kotaeru ( 答 え る ) yang berarti ‘menjawab’ atau ‘membalas’. Sedangkan, kata “bunka” (文化) berarti ‘budaya’.

Beberapa peneliti menyamakan istilah zoutou bunka dengan gift-giving ‘memberi pemberian’ atau gift exchange ‘bertukar hadiah’. Padahal, keduanya berbeda dengan zoutou bunka, karena di dalamnya tidak terdapat konsep on dan giri.

Menurut Lebra (1974: 91), on bisa berarti piutang sosial jika dilihat dari sudut pandang pemberi, dan bisa berarti hutang sosial jika dilihat dari sudut pandang penerima. Sedangkan, dalam Japan: An Illustrated Encyclopedia (Tim Kodansha, 1993: 456, 457), giri adalah norma yang mengharuskan seseorang untuk membalas kebaikan yang telah ia terima, atau membantu orang yang telah membantunya. Benedict (1982) menegaskan bahwa giri bukan sekedar kewajiban biasa. Rasa berhutang giri merupakan hal yang sangat berat bagi orang Jepang.

Salah satu bukti beratnya giri bagi orang Jepang dialami oleh Morbasch, seorang antropolog dari Eropa. Pada suatu waktu ia mengajak dua teman Jepang untuk makan-makan kecil di kota. Saat itu tahun baru dan banyak rumah makan yang tutup, sehingga tak ada pilihan selain sebuah rumah makan yang menghidangkan sukiyaki mewah dengan harga

(4)

yang sangat mahal. Seminggu kemudian, kedua temannya itu mengirim sebuah ceret untuk makan shippouyaki yang harganya setara dengan 4 porsi sukiyaki (Itoh, 2011: 125). Hal ini menunjukkan bahwa giri harus benar-benar dibayar.

Sebenarnya, konsep on dan giri ada dalam setiap budaya bertukar atau reciprocity khas Jepang. Tetapi, zoutou bunka tidak bisa sekedar disebut sebagai budaya bertukar karena lebih spesifik (Lebra, 1976: 96). Jenis pemberian dalam zoutou bunka terbatas pada barang atau uang dan dilakukan dalam kesempatan-kesempatan tertentu saja. Spesifikasi zoutou bunka itu memperlihatkan bahwa kesempatan-kesempatan dan pemilihan jenis pemberian yang sesuai menjadi sangat penting dalam melakukan zouotu bunka, sehingga orang Jepang pun tidak sembarangan untuk melakukannya, termasuk dalam hal memilih barang.

Seperti pengakuan seorang mahasiswi dari Tokyo bernama Gouchi Sachiko yang mengungkapkan bahwa, ada beberapa barang yang dianggap tabu untuk diberikan dalam zoutou bunka. Ia mengaku percaya bahwa pisau dan tembikar tidak boleh diberikan sebagai hadiah pernikahan. Baginya, pisau yang biasanya digunakan untuk memotong menyimbolkan bahwa ikatan pernikahan sang pengantin akan mudah terputus. Begitu pula dengan tembikar, yang memberi simbol keharmonisan sang pengantin mudah retak. Ia mengatakan bahwa kepercayaan tersebut diajarkan sejak kecil oleh orangtuanya.

(5)

Selain itu, seorang mahasiswi dari Indonesia yang menetap di Jepang yang bernama Putri bercerita dalam blognya mengenai hal tabu untuk sumbangan pernikahan (http://creativega.blogspot.com). Pada saat itu ia bertanya kepada dosen yang mengajarnya tentang jumlah uang yang akan diberikan sebagai hadiah pernikahan. Menurut dosen tersebut, sebaiknya jumlah uang yang akan diberikan tidak memiliki angka depan genap seperti 20000 yen. Bagi orang Jepang, uang dalam jumlah genap ini bisa dibagi sama rata di antara kedua mempelai, sehingga ikatan mereka akan mudah terpisah.

Dua hal di atas membuktikan bahwa orang Jepang masih mempercayai adanya hal-hal berbau tabu. Hori (1968: 44) menyebutkan bahwa kepercayaan terhadap hal tabu dan berbau magis merupakan salah satu elemen dalam kepercayaan rakyat. Ini berarti, selain sejarah dan kesempatan dalam melakukan zoutou bunka, pemilihan barang pun berkaitan dengan religi orang Jepang.

Bermacam-macam ketentuan yang membuat zoutou bunka terlihat rumit itu justru menjadi keunikannya. Selain unik, zoutou bunka juga bisa menjadi alat interaksi sosial bagi masyarakat Jepang. Dalam Living Japanese Style (1990), zoutou bunka berfungsi untuk membuat hubungan baik dengan orang-orang sekitar di Jepang. Mulyana dan Rakhmat (1998: 209) juga mengatakan bahwa zoutou bunka mampu menjadi “pelumas” hubungan dalam masyarakat Jepang yang renggang, terutama di perkotaan.

(6)

Rupp (2003: 122) menambahkan bahwa, zoutou bunka pada tahun baru dianggap sebagai cara untuk memperbarui hubungan-hubungan dalam bermasyarakat. Sanak-saudara dan keluarga jauh akan saling berkunjung dan memberi hadiah. Pemberian juga berlangsung di antara pekerja kepada atasan, pasien kepada dokter, murid kepada guru, dan sebagainya. Dengan begitu, orang-orang saling berkomunikasi dan membangun hubungan sosial atau mempererat ikatan pertemanan dan kekeluargaan kembali.

Selain di antara masyarakat Jepang, zoutou bunka juga bisa menjadi salah satu cara untuk berkenalan atau mengakrabkan diri di antara orang luar yang tinggal di Jepang dengan masyarakat Jepang. Dalam “Japan: An Illustrated Encyclopedia” (Tim Kodansha, 1990: 1353), disebutkan bahwa seseorang yang melakukan hubungan kerjasama dengan orang Jepang, kemudian memberi hadiah pernikahan atau ulang tahun untuk rekan bisnisnya, tidak hanya akan mempererat hubungan berbisnis tetapi juga hubungan pribadi di antara keduanya.

Seorang warga Perancis yang tinggal di Jepang bernama Saracino menceritakan bahwa, setelah ia memberi satu kotak kue ke beberapa tetangga di apartemennya, orang-orang tersebut menjadi sangat ramah. Bahkan, ketika ia melakukan perjalanan ke Australia, mereka juga ikut mengantarnya dan memberikan senbetsu atau hadiah sebagai ucapan selamat jalan. Maka, setelah kembali, ia membawa oleh-oleh untuk orang-orang tersebut sebagai balasan senbetsu (www.gaijinpot.com).

(7)

Pernyataan-pernyataan di atas telah menunjukkan bahwa zoutou bunka merupakan budaya Jepang yang unik dan rumit, tetapi berguna sebagai alat interaksi sosial. Selain itu, zoutou bunka juga berhubungan dekat dengan religi orang Jepang mulai dari sejarah, kesempatan, hingga pemilihan barang yang merupakan salah satu unsur-unsur dalam zoutou bunka. Maka, pengetahuan mengenai zoutou bunka dan kaitannya dengan religi orang Jepang masih perlu digali lebih dalam. Hal itu pulalah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian mengenai zoutou bunka dan kaitannya dengan religi orang Jepang.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana masyarakat Jepang mendefinisikan zoutou bunka?

2. Bagaimana keterkaitan antara zoutou bunka dengan religi orang Jepang?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk menjelaskan definisi zoutou bunka bagi masyarakat Jepang, baik dalam hal pengertian, mekanisme, kesempatan-kesempatan, maupun unsur-unsurnya.

2. Untuk menjelaskan keterkaitan antara zoutou bunka dengan religi orang Jepang.

(8)

1.4 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Salim (2001: 31) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif menggunakan prosa etnografi, narasi sejarah, laporan tangan pertama, foto yang bisu, sejarah kehidupan, fakta yang difiksikan, dan bahan biografis serta otobiografi untuk mendapatkan data-data penelitian. Sedangkan, Bodgan dan Taylor via Moleong (1989: 5-10) menyebutkan bahwa dalam metodologi kualitatif, penelitian akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Maka, metode penelitian kualitatif ini menggunakan pendekatan deskriptif dengan metode pengumpulan data melalui studi pustaka.

Langkah-langkah penelitian adalah dengan mencari berbagai data melalui buku-buku, jurnal, karya ilmiah, dan literatur-literatur yang berhubungan dengan tema penelitian. Buku yang menjadi data utama adalah buku karya Yoshida (1996) yang berjudul Kankonsousai Manaa to Hiyou. Selain itu, laman-laman internet juga digunakan sebagai wacana untuk mendukung data. Setelah terkumpul, data akan dipilah sesuai kategorinya, kemudian dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan.

1.5 Landasan Teori

Teori ditempatkan sebagai langkah untuk menyusun deskripsi dan pemahaman terhadap kelompok masyarakat yang hendak diteliti (Salim, 2001: 71). Sedangkan, menurut Kaplan dan Manners (1999), teori itu

(9)

bersifat substantif, memiliki implikasi yang jelas dan tertentu, dan mempermasalahkan hubungan di antara entitas yang satu dengan entitas yang lainnya. Dalam penelitian ini, entitas-entitas tersebut adalah zoutou bunka dan religi orang Jepang.

Teori yang mencakup kedua entitas tersebut adalah antropologi religi. Teori ini menjelaskan hubungan-hubungan antara manusia dan kebudayaannya dengan religi. Sedangkan teori yang berkaitan dengan keduanya adalah teori zoutou, teori tentang religi di Jepang yang berkaitan dengan zoutou bunka, dan teori perspektif religi bagi orang Jepang.

Dalam teori zoutou terdapat tiga konsep pemikiran yaitu pemberian, pertukaran, dan saling membalas, dan dua konsep pemikiran yaitu on dan giri. Kedua konsep tersebut digunakan untuk menjelaskan mekanisme dan cara melakukan zoutou bunka bagi orang Jepang. Sedangkan, teori tentang religi dan perspektif religi bagi orang Jepang berguna untuk mengetahui religi-religi yang berhubungan dengan zoutou bunka dan cara pandang orang Jepang terhadap religi, sehingga bisa menjadi batasan terhadap religi apa saja yang berhubungan dengan zoutou bunka. Teori-teori tersebut akan dibahas lebih lanjut pada bab II.

1.6 Tinjauan Pustaka

Ada beberapa tinjauan pustaka yang digunakan, di antaranya adalah buku karya Khaterine Rupp (2003) dan Itoh Mikiharu (2011), serta sebuah tesis yang dibuat oleh Anda Rahayu Retno Wulan (2006).

(10)

Buku berjudul Gift-giving: Cash, Connection, Cosmologies (2003), merupakan hasil observasi Khaterine Rupp selama 18 bulan di Jepang pada tahun 1994 hingga 1996. Sebagian besar gaya bahasa yang digunakan Rupp adalah narasi deskriptif. Ia menggunakan istilah giving” ‘memberi pemberian’, “reciprocity” ‘pertukaran’, dan “gift-exchange” ‘bertukar pemberian’ untuk menyebut kebiasaan memberi dan membalas pemberian di Jepang.

Bahasan-bahasan utama yang ditulis oleh Rupp adalah hubungan antara gift-giving dengan hirarki dan gender, upacara-upacara yang terjadi dalam siklus hidup manusia di Jepang dan festival-festival yang diadakan setiap setahun sekali yang merupakan kesempatan-kesempatan untuk melakukan gift-giving, dan makna dari suatu pemberian dilihat dari segi ekonomi, sosial, maupun religi.

Kemudian, buku yang ditulis Itoh Mikiharu (2011) yang berjudul Nihon no Zoutou Bunka menjelaskan zoutou bunka dengan lengkap, sesuai dengan konsep pemikiran orang Jepang. Mulai dari penjelasan tentang pemaknaan zoutou bunka dalam kehidupan masyarakat Jepang, awal mula kemunculan zoutou bunka, hingga perkembangan jenis-jenis pemberian yang terdapat dalam zoutou bunka.

Dalam penjelasannya, Itoh menyatakan bahwa zoutou bunka di Jepang bukan hanya kebiasaan untuk memberi, tetapi juga bertukar, dan saling membalas. Ini mengakibatkan istilah gift-giving yang sering

(11)

digunakan oleh peneliti dari luar Jepang, salah satunya adalah Rupp, merupakan kegiatan yang berbeda dari zoutou bunka.

Buku yang ditulis oleh Rupp (2003) memang membahas cukup banyak tentang hubungan unsur-unsur dalam gift-giving, terutama jenis benda yang diberikan, dengan religi orang Jepang. Tetapi, karena pembahasannya sangat luas dan menggunakan istilah gift-giving yang sebenarnya berbeda dari zoutou bunka, sehingga penelitian tersebut belum sepenuhnya membahas tentang “zoutou bunka” itu sendiri. Sedangkan Itoh (2011) telah menjelaskan zoutou bunka dalam konsep pemikiran masyarakat Jepang dengan lengkap tetapi tidak menyentuh pembahasan tentang hubungan unsur-unsur zoutou bunka dengan religi orang Jepang. Maka, kedua penelitian tersebut berbeda dengan penelitian ini karena meneliti zoutou bunka sebagai budaya Jepang yang unik, sekaligus keterkaitannya dengan religi orang Jepang.

Tinjauan pustaka yang terakhir adalah tesis yang ditulis oleh Anda Rahayu Retno Wulan yang berjudul “Makna Pembungkusan dalam Budaya Saling Memberi Hadiah di Jepang” pada tahun 2006. Sesuai dengan judulnya, Wulan hanya membahas mengenai cara-cara membungkus dalam memberi pemberian. Pembungkusan tersebut ia hubungkan dengan religi, budaya, dan sosial masyarakat Jepang. Sama halnya dengan Rupp, ia tidak membedakan “zoutou bunka” dengan “budaya saling memberi” yang sebenarnya berbeda. Selain itu, sesuai

(12)

dengan judulnya, unsur-unsur yang ia jelaskan sebagian besar adalah cara memberi pemberian (membungkus dan menyerahkan).

Maka, dengan metode penelitian kualitatif, penulis akan meneliti tentang definisi dari zoutou bunka bagi masyarakat Jepang, baik itu pengertian, sejarah, mekanisme, unsur-unsur yang terdapat di dalamnya, maupun kesempatan-kesempatan untuk melakukannya, dan keterkaitan antara zoutou bunka dengan religi orang Jepang.

1.7 Sistematika Penulisan

Bab I berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, landasan teori, tinjauan pustaka, dan sistematika penyajian.

Bab II berisi teori antropologi religi, teori tentang zoutou, religi orang Jepang yang berkaitan dengan zoutou bunka, dan perspektif religi bagi orang Jepang.

Bab III berisi sejarah dan perkembangan zoutou bunka, unsur-unsur yang terdapat dalam zoutou bunka yang dibagi berdasarkan peristiwa, dan etika melakukan zoutou bunka sesuai kebiasaan orang Jepang.

Bab IV adalah penjelasan mengenai hubungan antara zoutou bunka dengan religi orang Jepang mulai dari kewajiban-kewajiban yang terdapat di dalamnya, unsur-unsurnya, hingga sanksi-sanksi. Bab V merupakan kesimpulan.

Referensi

Dokumen terkait

DARUSSALAM 1990.. Us£he untuk r.cneiptalwn kebersihan ling lwngan hidup. p ortisipDSi semua wa.rgn o8.syera!tat un - tuk nendukung pro~rem tersebut. Penelitian lni

Dalam hal ini Penelitian Tindakan Kelas yang dilakukan adalah dengan menggunakan pembelajaran kerja kelompok (Cooperative) untuk meningkatkan hasil belajar siswa

Proteksi susunan tirai tipe zigzag 2 yang menghasilkan nilair eduksi paling besar yaitu sebesar 31,5561 % pada pilar berbentuk segi empat ujung bulat dan nilai

Mesin perkakas CNC (Computerized Numerical Control) adalah jenis mesin perkakas yang menggunakan sistem kontrol CNC, yaitu suatu sistem kontrol dengan perintah berupa kode

Meskipun secara statistik tidak berbeda nyata, ayam-ayam broiler yang diberikan tepung kulit pisang kepok fermentasi + bungkil kelapa + feed supplement umumnya

Data spasial dan data atribut yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari Peta RBI, Peta Jenis Tanah, Peta Kemiringan Lereng data Penggunaan Lahan, data

arsip vital dengan cara atau metode yang baik dan tepat. Untuk memahami dan mengetahui lebih lanjut tentang

Berdasarkan hasil analisis dari beberapa aspek diatas, untuk mengetahui respon petani terhadap teknologi yang didemonstrasikan pada umumnya baik setelah melihat, melakukan dan