• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN KRITIS KEBIJAKAN LEGALITAS KAYU DI HUTAN RAKYAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN KRITIS KEBIJAKAN LEGALITAS KAYU DI HUTAN RAKYAT"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

   

(Kasus di Kabupaten Lampung Tengah Provinsi Lampung,

Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara, Buleleng Provinsi

Bali, dan Kulonprogo Provinsi DI Yogyakarta)

MULYANINGRUM

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

(2)

   

PERYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Tinjauan Kritis Kebijakan Legalitas Kayu di Hutan Rakyat: Kasus di Kabupaten Lampung Tengah, Konawe Selatan, Buleleng, dan Kulonprogo adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Mulyaningrum NRP E161080071

(3)

   

MULYANINGRUM. Critical Review of Timber Legality Policy in Private Forests (Case in Lampung Tengah Province, Buleleng, Konawe Selatan and Kulonprogo). Under supervisions of HARIADI KARTODIHARDJO, I. NENGAH SURATI JAYA and BRAMASTO NUGROHO.

Timber Legality Assurance System (TLAS) issued by the Ministry of Indonesian Forestry is aimed (1) to achieve sustainable forest management, (2) implement good forest governance, and (3) to combat illegal logging and its trade. This policy is enforced by mandatory, either for the harvested timber from the state forests or from private forest. Since its formulation to implementation, this policy reap the pros and cons. Parties are "pro" argued that in order to achieve the above three objectives, the policy must be enforced by mandatory for all timber businesses, while those who "cons" of this policy looked too much intervention of the private sphere. The objective of this study was to describe the process of policy-making timber legality in private forest, which is achieved by analyzing: 1) the determinants of performance, 2) discursive base for the establishment of regulation and determining influences, and 3) policy space as well as the prospective of policies. Observations on policy implementation was made on the private forest that had been certified with TLAS scheme. This study applied a descriptive analysis method synthesis, analytical hierarcy procces, and analysis of IDS. The study concluded the following: (1) the most dominant determinant factors for development of private forest are market price formation and organizational capacity, (2) Strong goverment, counterpart’s country, and donor institution may cause legality narrative dominate the process of policy making, and marginalize the economy incentives narrative, and (3) the strong actors, networks, interest, and narrative may cause limited policy space for policy change.

(4)

   

RINGKASAN

MULYANINGRUM. Tinjauan Kritis Kebijakan Legalitas Kayu di Hutan Rakyat (Kasus di Kabupaten Lampung Tengah, Konawe Selatan, Buleleng, dan Kulonprogo). Dibimbing oleh HARIADI KARTODIHARDJO selaku Ketua, I. NENGAH SURATI JAYA. dan BRAMASTO NUGROHO sebagai anggota.

Hutan rakyat (hutan hak) dengan hasil utama berupa kayu merupakan barang milik pribadi (Private good) dari petani hutan rakyat. Private good berdasarkan karakteristik hak kepemilikan (property right) merupakan strata terlengkap dalam pemenuhan haknya. Hal ini mengandung makna bahwa petani sebagai pemilik hutan rakyat dalam struktur kelembagaan memiliki kewenangan sepenuhnya dalam pengambilan keputusan. Di lain pihak kebijakan legalitas kayu dalam bentuk Permenhut No. P.38/Menhut-II/2009 jo. No. P.68/Menhut-II/2011 jo. No. P.45/Menhut-II/2012, telah mewajibkan seluruh pemegang izin maupun hutan rakyat untuk melaksanakan Standar Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Ini berarti bahwa seluruh petani yang memiliki hutan rakyat di dalam pengelolaannya wajib melakukan sertifikasi skema SVLK (mekanisme wajib). Sebagai bentuk implementasi aturan tersebut, 5 kelompok hutan rakyat telah mengawali sertifikasi pada tahun 2011. Kelompok hutan rakyat tersebut mengalami masa penangguhan/pembekuan sertifikat legalitas kayu (S-LK), dan salah satu diantaranya telah dilakukan pencabutan S-LK. Dengan demikian kebijakan SVLK dianggap belum efisien dan efektif bagi kelompok sasaran. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan rumusan kebijakan legalitas kayu di hutan rakyat. Tujuan tersebut dicapai melalui menganalisis: 1) faktor-faktor penentu tipologi hutan rakyat, 2) landasan diskursif penetapan kebijakan legalitas kayu di htan rakyat, 3) ruang kebijakan (policy space) dan masa depan kebijakan tersebut.

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif (Creswell 2012). Faktor-faktor penentu pengembangan hutan rakyat tersertifikasi diperoleh melalui analisis sintesis deskriptif dan analisis hirarki proses. Sedangkan landasan diskursif pada perumusan kebijakan legalitas kayu di hutan rakyat serta ruang dan masa depan kebijakan dilakukan melalui, analisis wacana (discourse), analisis pemangku kepentingan (stakeholder), dan analisis asumsi (Assumption).

Berdasarkan analisis hirarki proses menunjukkan bahwa faktor-faktor dominan yang mempengaruhi tipologi di hutan rakyat adalah faktor sosial ekonomi (0,597), faktor kelembagaan (0,346), dan faktor biofisik (0,057). Sedang sub-sub faktor dominan yang mempengaruhi kesesuaian sertifikasi di hutan rakyat adalah harga pasar (0,4544), organisasi (0,3026), kepadatan penduduk (0,0992), penggunaan lahan (0,0509), pendapatan penduduk (0,0433), pola pemanenan (0,0432), dan kelerengan lahan (0,0064). Hal ini menunjukkan bahwa dalam menentukan tipologi di hutan rakyat adalah faktor harga pasar dengan asumsi jika suatu unit manajemen berdekatan dengan industri pengolahan kayu yang membutuhkan kayu bersertifikat, maka harga pasar akan terbentuk, sebaliknya jika berjauhan akan kurang terbentuk. Walaupun unit manajemen tersebut berdekatan dengan industri, tetapi jika tidak menyediakan jenis sertifikat kayu yang diinginkan industri maka harga pasar tidak akan terbentuk. Industri olahan kayu di sekitar lokasi penelitian yang bertujuan ekspor, memiliki kontrak dengan

(5)

   

Sejarah perkembangan legalitas kayu di Republik Indonesia (RI) tidak terlepas dari pengaruh kebijakan perdagangan kayu internasional. Dengan proses perumusan kebijakan legalitas kayu dikeluarkan oleh birokrat yang dibangun secara multipihak. Proses ini didorong cukup kuat oleh lembaga donor MFP dan dipengaruhi oleh berbagai kesepakatan didorong oleh Uni Eropa (Europe

Union/EU). Pemerintah RI berusaha memenuhi persyaratan EU dengan

menciptakan mekanisme verifikasi legalitas kayu yang diterapkan baik untuk kayu yang berasal dari hutan negara dan privat. Kebijakan ini terlahir sebagai tekanan dunia internasional dan diterapkan di hutan rakyat sebagai pengalihan beban ketidakberdayaan pemerintah dalam melindungi asset negara berupa hutan.

Kekuatan hubungan Kemenhut (key stakeholder) lebih besar terhadap EU-FLEGT dan MFP-II (secondary stakeholder) daripada kepada Petani hutan rakyat (primary stakeholder), sebagai akibat dari ketidakseimbangan 3Rs (Right,

Responsibility, Revenues) pada key stakeholder. Ketidakseimbangan 3Rs yang

terjadi pada key stakeholder terjadi akibat ketidakmampuannya menyelesaikan persyaratan penopang (enabling condition) sehingga sertifikasi tidak bekerja secara optimal. Petani hutan rakyat sebagai subyek kebijakan memiliki pengaruh yang rendah dan memposisikan diri tidak berkepentingan dalam kebijakan tersebut, artinya petani hutan rakyat belum merasakan kemanfaatan kebijakan legalitas kayu tersebut. Rendahnya kepentingan petani hutan rakyat adalah kehadiran kebijakan legalitas kayu bukan karena kebutuhan masyarakat, tetapi lebih dikarenakan untuk memenuhi kehendak nasional dan internasional.

Proses pembuatan kebijakan legalitas kayu berlangsung masih kurang terbuka. Terdapat dua kelompok narasi kebijakan yang yang muncul yaitu sebagai

pro-narratives terdiri dari legalitas, illegal logging & trade, sertifikasi, sedangkan

kelompok narasi berikutnya berupa cons-narratives adalah price-premium, legitimasi, dan hak milik. Pro-narratives merupakan kelompok mainstream yang didukung oleh Kemenhut, EU-FLEGT, akademisi pendukung dan MFP-II, sedangkan cons narratives merupakan kelompok mainstream. Kelompok

non-mainstream membentuk diskursus command and control sebagai instrumen

kebijakan yang bersifat paksaan hukum (coersive regulation) sedangkan kelompok

non-mainstream membentuk diskursus economic incentives sebagai instrumen

kebijakan yang berdasarkan mekanisme pasar (market-based). Kelompok

non-mainstream ini didukung oleh akademisi kritis dan petani hutan rakyat. Memahami

proses kebijakan melalui pengujian pengetahuan/narasi, aktor/jaringan dan politik/kepentingan dapat membantu mengidentifikasi perubahan ruang kebijakan (policy space). Jaringan, aktor, kepentingan, dan narasi yang kuat saat ini menyebabkan policy space untuk mengubah kebijakan sangat terbatas.

Non-mainstream sebagai narasi kebijakan tandingan (counter policy narrative) hanya

sebatas difahami pembuat kebijakan, tetapi tidak dapat diwujudkan untuk memperbaiki kebijakan yang ada. Sertifikasi skema SVLK tetap dipertahankan harus dilakukan dengan cara voluntary mechanism, dan dapat menciptakan harga premium. Sebaiknya, untuk memperbaiki kebijakan perlu penguatan jaringan yang mendukung diskursus economic incentives.

(6)

   

© Hak cipta milik IPB, Tahun 2013

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(7)

   

(Kasus di Kabupaten Lampung Tengah, Konawe Selatan,

Buleleng, dan Kulonprogo)

MULYANINGRUM

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

(8)

   

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Leti Sundawati MSc.F. Dr. Ir. Iin Ichwandi MSc.F.Trop. Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA. Dr. Ir. Boen M Purnama, M.Sc

(9)

Nama NIM Mayor

Mulyaningrum

EI61080071

Ilmu Pengelolaan Hutan

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya M.Agr Anggota

Prof. Dr. Jr. Hariadi Kartodihardjo, MS Ketua

Dr.

11".

Bramasto Nllgroho, MS Anggota

Diketahui Oleh

Ketlla Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS

..

2

1

j

UN

2m3

3

1

JUL

2013

(10)

   

Judul Disertasi : Tinjauan Kritis Kebijakan Legalitas Kayu di Hutan Rakyat: Kasus di Kabupaten Lampung Tengah, Konawe Selatan, Buleleng, dan Kulonprogo

Nama : Mulyaningrum

NIM : E161080071

Mayor : Ilmu Pengelolaan Hutan

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Ketua

Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya M.Agr Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS

Anggota Anggota

Diketahui Oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Pengelolaan Hutan

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(11)

   

Disertasi yang berjudul “Tinjauan Kritis Kebijakan Legalitas Kayu di Hutan Rakyat (Kasus di Kabupaten lampung Tengah, Konawe Selatan, Buleleng, dan Kulonprogo)” pada akhirnya dapat diselesaikan di tahun 2013 ini. Penelitiannya telah dilaksanakan sejak bulan Desember 2010 sampai Desember 2012. Disertasi ini memuat hasil penelitian kualitatif dan kuantitatif melalui pendekatan analisis narasi kebijakan untuk mengungkapkan proses pembuatan kebijakan legalitas kayu di hutan rakyat, sehingga dapat diketahui perubahan ruang kebijakan (policy space) dan masa depan kebijakan tersebut.

Ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Allah SWT atas petunjuk-Nya. Disampaikan pula terima kasih pada ketiga pembimbing, yaitu Prof. Hariadi kartodihardjo, Prof. I Nengah Surati Jaya. dan Dr. Bramasto Nugroho, atas kesabarannya dalam membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyusun disertasi ini. Begitupula diucapkan terima kasih kepada para penguji dalam ujian tertutup yaitu Dr. Ir. Leti Sundawati MSc.F. dan Dr. Ir. Iin Ichwandi MSc.F.Trop., serta para penguji dala ujian terbuka yaitu Dr. Ir. Boen M Purnama, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA.

Akhir kata, semoga disertasi ini memberikan manfaat bagi pembaharuan kebijakan khususnya di hutan rakyat, dan pembangunan kehutanan pada umumnya. Masukkan sangat terbuka dinanti penulis untuk memberikan arah perbaikan di dalam disertasi ini.

Bogor, Juli 2013 Mulyaningrum

(12)

   

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kuningan, Jawa Barat, pada tanggal 13 Oktober 1974 dari (Alm.) H. Tatang Karyadhara BSc.dan Hj. Etti Suhaetti, merupakan anak ke-2 dari 3 (tiga) bersaudara.

Pendidikan Sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti Bandung pada tahun 1993 dan lulus pada Tahun 1998, dan Pendidikan S-2 di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Penulis bekerja di Universitas Winaya Mukti sejak tahun 2001 sampai 2011. Tahun 2011 sampai sekarang Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung, selanjutnya pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan S-3 pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan, di Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Mulyaningrum NRP. E161080071

(13)

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iii

DAFTAR LAMPIRAN iii

DAFTAR ISTILAH iv DAFTAR SINGKATAN v 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 5 Tujuan Penelitian 6 Manfaat Penelitian 7 Kebaruan (Novelty) 7 2 TINJAUAN PUSTAKA 9 Konsep Kebijakan 9

Konsep Hak Kepemilikan 11

Hutan Rakyat 14

3 METODOLOGI PENELITIAN 19

Kerangka Pemikiran 19

Waktu dan Lokasi 21

Prosedur 21

Data 21

Pengumpulan data 22

Teknik penentuan informasi kunci 25

Analisis tipologi hutan rakyat tersertifikasi 25

Analisis landasan diskursif penetapan kebijakan legalitas kayu

di hutan rakyat 27

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 33

Community Logging Giri Mukti Wana Tirta 33

Letak dan luas 33

Kependudukan 33

Struktur organisasi 34

Kehutanan 34

Koperasi Serba Usaha Asosiasi Pengrajin Industri Kecil 34

Letak dan luas 34

Pemerintahan 36

Kependudukan 36

Kehutanan 37

Koperasi Hutan Jaya Lestari 37

Letak dan luas 37

Pemerintahan 38

Kependudukan 39

(14)

Koperasi Wana Lestari Menoreh 40

Letak dan luas 40

Pemerintahan 41

Kependudukan 41

Kehutanan 42

5 TIPOLOGI KESESUAIAN SERTIFIKASI DI HUTAN RAKYAT 43

Sertifikasi di Hutan Rakyat 43

Hasil Analisis Tipologi Hutan Rakyat 45

6 LANDASAN DISKURSIF PENETAPAN KEBIJAKAN LEGALITAS

KAYU DI HUTAN RAKYAT 55

Sejarah Perkembangan Legalitas Kayu di Hutan Rakyat 55

Kebijakan perdagangan kayu di EU 55

Kebijakan standar verifikasi legalitas kayu 59

Proses Pembuatan Kebijakan Standard Verifikasi Legalitas Kayu

di Hutan Rakyat 61

Narasi Kebijakan dan diskursus 65

Analisis pemangku kepentingan 68

Kesenjangan kebijakan SVLK di hutan rakyat dengan interaksi

sosial yang menyertainya 76

Peristiwa penentuan asumsi non-mainstream 81

Kekuatan konsep non-mainstream 83

Ruang Kebijakan (Policy Space) Legalitas Kayu di Hutan Rakyat 84 Masa depan kebijakan legalitas kayu di hutan rakyat 85

7 SIMPULAN DAN REKOMENDASI 87

Simpulan 87

Rekomendasi 87

DAFTAR PUSTAKA 89

(15)

2 Kelas kesesuaian sertifikasi di hutan rakyat 27 3 Pendekatan, pengumpulan dan analisis data pada masing-masing

sub tujuan penelitian 32

4 Batas-batas wilayah untuk 6 Kecamatan di Kabupaten Buleleng 35 5 Luas fungsi kawasan hutan di 6 Kecamatan Kabupaten Buleleng (ha) 37 6 Batas-batas wilayah kecamatan di unit manajemen KHJL, Kabupaten

Konawe Selatan 38

7 Jumlah penduduk per kecamatan di unit manajemen KHJL pada tahun 2011 40 8 Faktor penentu tipologi hutan rakyat tersertifikasi 45 9 Proses pembentukan kebijakan legalitas kayu di Indonesia 61

10 Identifikasi dan kategorisasi stakeholder 62

11 Kapasitas stakeholder berdasarkan responsibilities, rights, dan revenues 66 12 Aktor yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan legalitas kayu di

Hutan rakyat 69

13 Mainstream pembentuk asumsi 73

14 Narasi kebijakan dalam proses pembuatan legalitas kayu 80

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian 20

2 Peta lokasi penelitian di Kecamatan Pubian Kabupaten Lampung Tengah

Provinsi Lampung 23

3 Peta lokasi penelitian di Kecamatan Andolo, Baito, Lainea, Pelangga Selatan dan Palngga Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi

Tenggara 23

4 Peta lokasi penelitian di Kecamatan Gerokgak, Banjar, Sukasada, Buleleng, Sawah, dan Kubutambahan Kabupaten Buleleng Provinsi Bali 24 5 Peta lokasi penelitian di Kecamatan Girimulyo, Kalibawang, Nanggulan,

dan Samigaluh Kabupaten Kulonprogo Provinsi DI Yogyakarta 24 6 Peta kesesuaian sertifikasi huta rakyat pada lokasi unit manajemen koperasi

Giri Mukti Wana Tirta 52

7 Peta kesesuaian sertifikasi hutan rakyat pada lokasi unit manajemen

Koperasi Hutan Jaya Lestari 52

8 Peta kesesuaian sertifikasi hutan rakyat pada lokasi unit manajemen

Koperasi serba Usaha Asisiasi Pengrajin Industri Kecil 53 9 Peta kesesuaian sertifikasi hutan rakyat pada lokasi unit manajemen

Koperasi Wana Lestari Menoreh 53

10 Tonggak kebijakan perumusan legalitas kayu 60

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Sub-sub faktor penentu tipologi kesesuaian sertifikasi di hutan rakyat 95

2 Daftar teks untuk analisis diskursus 103

(17)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan hak atau sering disebut sebagai hutan rakyat yang merupakan lahan milik dengan hasil utama berupa kayu merupakan barang milik pribadi (private

good) dari petani hutan rakyat. Private good berdasarkan karakteristik hak

kepemilikan (property right) merupakan strata tertinggi dalam pemenuhan haknya (Bromley & Cernea 1989; Schlager & Ostrom 1992; Hanna & Munasinghe 1995; Ostrom 2000; Heltberg 2002). Berdasarkan hal tersebut mengandung makna bahwa petani sebagai pemilik hutan rakyat dalam struktur kelembagaan memiliki kewenangan sepenuhnya dalam pengambilan keputusan.

Kebijakan legalitas kayu yang dikeluarkan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) telah memasuki ranah private, yaitu turut dalam pengaturan pemanfaatan kayu yang berasal dari lahan milik, sehingga menuai pro dan kontra di dalam implementasinya. Kebijakan tersebut ditetapkan dalam bentuk Permenhut No. P.38/Menhut-II/2009 jo. No. P.68/Menhut-II/2011 jo. No. P.45/Menhut-II/20121. Kebijakan ini di dalam konsiderannya tertuang tujuan sebagai berikut; 1) menuju pengelolaan hutan produksi lestari (sustainable forest

management), 2) penerapan tata kelola kehutanan (good forest governance), dan

pemberantasan pembalakan liar dan perdagangannya (illegal logging and trade). Kebijakan tersebut dikeluarkan sebagai jawaban pemerintah Republik Indonesia terhadap dunia dalam memberantas pembalakan liar dan perdagangannya melalui pemenuhan tuntutan transparansi dan jaminan akuntabilitas dalam pengelolaan sumberdaya hutan.

Namun diawal implementasinya telah banyak mengundang pertanyaan dan bahkan keraguan banyak pihak, baik terkait substansi peraturan dan pengaturannya, lembaga-lembaga yang terlibat, kelompok sasaran, proses audit, kredibilitas SVLK maupun tentang kemanfaatannya di lapangan. Sementara itu Permenhut No. 38/Menhut-II/2009 telah memandatkan pelaksanaannya dimulai

      

1 Tentang Standard Pedoman Pelaksanaan penilaian Kinerja pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas

Kayu pada pemegang izin atau pada hutan hak. Kebijakan ini dikenal dengan regulasi Standard Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang bersifat wajib (mandatory), dan unit usaha yang telah melalui tahapan SVLK akan memperoleh Sertfikat Legalitas kayu (S-LK). 

(18)

2   

sejak 1 September 2009. Khusus untuk pelaksanaan SVLK di hutan rakyat baru terealisasi pada tahun kedua yaitu tahun 2011. Sebagai bentuk implementasi aturan tersebut, lima kelompok hutan rakyat telah mengawali sertifikasi di hutan hak pada tahun 20112. Akan tetapi, di dalam perjalanannya proses SVLK di hutan rakyat mendapat kendala. Kelima kelompok hutan rakyat tersebut mengalami masa penangguhan/pembekuan S-LK, dan salah satu diantaranya telah dilakukan pencabutan S-LK.

Terlihat adanya kesenjangan antara kebijakan dan implementasi, sehingga implementasi kebijakan SVLK dianggap belum efisien dan efektif bagi kelompok sasaran sebagai subyek kebijakan secara kelembagaannya. Kesenjangan tersebut perlu diwaspadai terhadap keragaan implementasi SVLK yang di kemudian hari mungkin bukan sebagai sistem untuk mengatasi masalah. Sistem ini mungkin hanyalah sebagai tambahan kewajiban yang secara mikro tidak menjawab tujuannya, dan secara makro mengurangi daya saing usaha kehutanan Indonesia secara umum dan dapat merugikan upaya-upaya perbaikan lingkungan melalui perbaikan tutupan lahan dengan vegetasi tahunan. Pada akhirnya muncul berbagai perdebatan dalam proses perumusan kebijakan hingga perdebatan tataran implementasi, di mana kelompok sasaran mempertanyakan kemanfaatan bagi mereka yang memperoleh S-LK. Rendahnya efektivitas implementasi kebijakan dapat terjadi jika penetapan dan pendefinisian masalah dalam proses perumusan kebijakan tidak tepat (Dunn 2003).

Di tingkat makro, mengemuka pemikiran kritis seberapa jauh kebijakan SVLK ini benar-benar dapat mencapai tujuannya dan menjawab tiga persoalan sekaligus (sustainable forest management, good forest governance, dan illegal

logging and trade). Bahkan kelompok sasaran peraturan juga telah

mempertanyakan dan menagih harga premium (price-premium) yang dijanjikan sebagai insentif penerapan sertifikasi. Persoalan yang mencuat, bukan mendapatkan harga premium tetapi SVLK sendiri tidak mampu untuk dapat dijadikan sarana menekan biaya transaksi dalam bisnis berbasis perkayuan.

      

2

Siaran Pers Kemenhut No: S.518/PHM-1/2011 tentang penyerahan Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK) oleh Menhut kepada 5 unit usaha, yaitu Comlog Koperasi Giri Mukti Wana Tirta, Koperasi Wana Manunggal Lestari, Asosiasi Pemili, Gabungan Kelompok Tani Hutan Rakyat Wonosobo Jati Mustika, dan Koperasi Hutan Jaya Lestari. 

(19)

Kasus tersebut merupakan situasi masalah yang dalam prakteknya di lapangan telah menimbulkan penurunan kinerja, dibuktikan dengan tidak efektif dan efisiennya kebijakan tersebut pada tataran implementasi. Efektivitas implementasi suatu kebijakan dapat terjadi hanya apabila kebijakan dirumuskan atas dasar penetapan masalah yang tepat serta terdapat kemampuan dan kapasitas menjalankan solusinya di lapangan (Dunn 2003). Apabila pandangan ini diikuti, maka fenomena penurunan kinerja pembangunan kehutanan merefleksikan hadirnya masalah-masalah pokok, terutama belum tepatnya penetapan dan pendefinisian masalah dalam proses perumusan kebijakan selama ini.

Patton & Savicky (1993) menyatakan adanya kekeliruan dalam memandang implementasi kebijakan, yaitu dengan menganggap implementasi sebagai masalah manajemen saja, sementara itu perumusan kebijakan diasumsikan telah dilakukan dengan baik sehingga menghasilkan keputusan yang terbaik. Sutton (1999) dan IDS (2006) telah mengungkapkan bantahan proses pembuatan kebijakan model rasional dari berbagai sudut pandang, baik antropologi, ilmu politik, sosiologi, hubungan internasional, dan manajemen. Pendekatan analisis proses kebijakan seharusnya dibangun melalui kerangka fikir yang menghubungkan diskursus/narasi, aktor/jaringan, dan politik/kepentingan. Juma dan Clark (1995) berpendapat bahwa proses pembuatan kebijakan sebagai proses evolusi bersifat tidak menentu (chaotic), dengan hasil-hasil yang ditentukan oleh komplikasi kepentingan politik, sosial, dan kelembagaan.

Clay dan Schaffer (1984) menyatakan bahwa seluruh ‘hidupnya’ kebijakan berjalan atas maksud dan tujuan tertentu atau merupakan ‘kecelakaan’ belaka dan sama sekali bukan sebagai proses rasional yang berjalan melalui pemilihan strategi terbaik yang biasanya dilakukan oleh para pembuat kebijakan. Berdasarkan ilustrasi tersebut dapat fahami sebagai suatu makna bahwa kebijakan dapat terlahir dari sebuah ketidakteraturan. Oleh karenanya perlu adanya pemahaman proses bagaimana kebijakan dibangun dan diimplementasikan, termasuk bentuk-bentuk di mana kebijakan makro diterjemahkan atau tidak, dan diintegrasikan ke dalam proses-proses operasional dari lembaga-lembaga yang bertanggung jawab untuk implementasi (Blaikie & Soussan 2001). Proses pembuatan kebijakan harus mengintegrasikan berbagai perbedaan pendekatan

(20)

4   

berdasarkan perspektif yang lahir dari lembaga pendidikan dan berbagai disiplin ilmu untuk mengeksplorasi bagaimana pelaku (actors) membuat dan menyusun berbagai bentuk narasi kebijakan (policy narrative) dengan berbagai kepentingan (interests) atas berbagai keterbatasan yang ada saat itu (Keely & Scoones 2003).

Masalah-masalah kehutanan di Indonesia-pun telah pula dirumuskan dan solusi untuk mengatasinya telah pula direkomendasikan. Hasil analisis 324 paper dan non paper yang dilakukan sebagai bahan evaluasi kebijakan, dapat ditunjukkan bahwa hampir seluruh aspek pembangunan kehutanan telah dibahas selama periode tersebut (Kartodihardjo et al. 2006). Namun, dari hasil analisis tersebut rekomendasi yang dibuat belum efektif sebagai bahan pembaruan kebijakan maupun pembaruan praktek kehutanan di lapangan. Ketidakefektifan proses pembaruan dan implementasi kebijakan, dipengaruhi faktor jaringan kekuasaan dan kepentingan maupun hambatan birokrasi, prasyarat berjalannya suatu kebijakan belum dipertimbangkan sebagai bagian dari masalah, dan tingginya biaya transaksi yang timbul akibat pelaksanaan suatu peraturan (Kartodihardjo et al. 2006; Kartodihardjo 2008).

Berdasarkan hal tersebut, perdebatan masalah teknis kehutanan dan solusinya dipandang tidak banyak manfaat, karena hanya akan mengulang hal yang sudah dibahas. Masalah yang dihadapi selama ini ternyata bukan tidak ada pengetahuan dan informasi yang diperlukan untuk melakukan pembaruan kebijakan dan praktek-praktek kerja di lapangan, melainkan lemahnya prakondisi, cara, maupun pembaruan kerangka pemikiran yang mempengaruhi adposi pengetahuan dan informasi sebagai dasar pembaruan kebijakan dan praktek-praktek kerja di lapangan (Lackey 2007). Secara sederhana kebijakan dapat diartikan sebagai resep untuk mengatasi suatu persoalan nyata, sehingga kinerja yang diharapkan dapat tercapai. Dengan demikian yang seharusnya dihadapi para penentu kebijakan adalah bagaimana mereka menemukan masalah yang sebenarnya, bukanlah symptom dari suatu masalah, sehingga resep yang diformulasikan dan digunakan benar-benar mendatangkan perubahan nyata untuk meningkatkan kinerja. Oleh karena itu kebijakan yang baik dapat dicirikan dengan dapat dilaksanakan, mendatangkan perubahan, dan memperbaiki kinerja sebagaimana yang diinginkan (Kartodihardjo et al 2006).

(21)

Perumusan Masalah

Perumusan kebijakan legalitas kayu di hutan rakyat dilakukan berdasarkan pendekatan administratif, belum berdasarkan pendekatan fakta interaksi sosial yang terjadi di dalam suatu komunitas sosial. Hutan rakyat dengan hasil utama berupa kayu rakyat merupakan barang milik pribadi (private good) yang dimiliki petani hutan rakyat berdasarkan rejim hak kepemilikan (property right regime) merupakan strata paling lengkap (tertinggi) karena memiliki hak memasuki (access right), hak memanfaatkan (withdrawal right), hak menentukan keikutsertaan atau mengeluarkan pihak lain (exclusion right), dan hak memperjualbelikan (alienation right). Hal ini mengandung arti bahwa petani sebagai pemilik hutan rakyat dalam struktur kelembagaan memiliki kewenangan sepenuhnya dalam proses pengambilan keputusan. Sementara itu di dalam kebijakan SVLK mensyaratkan bahwa seluruh kayu yang berasal dari lahan milik masyarakat yang beredar wajib melakukan proses SVLK (mandatory mechanism). Kekuatan petani hutan rakyat sebagai pemilik kayu untuk menjalankan kebijakan tersebut perlu dipertimbangkan karena dengan hak kepemilikan pribadi ini maka petani berhak menentukan atas keputusan yang akan diambilnya, yaitu apakah mereka akan mengikuti proses SVLK atau tergantung pada keinginan mereka (voluntary mechanism). Selain itu perlu dicermati pula seberapa jauh urgensi dari penerapan kebijakan tersebut terhadap meningkatan kesejahteraan rakyat.

Selama ini kebijakan secara intrinsik dianggap sebagai urusan teknis dan rasional, yaitu sebagai alat pemerintah untuk memecahkan masalah dan mengubah keadaan. Dengan kata lain bahwa implementasi hanya dianggap sebagai masalah manajemen belaka dan perumusan kebijakan diasumsikan telah dilakukan dengan baik, sehingga beranggapan bahwa keputusan yang dihasilkan adalah keputusan yang terbaik. Pandangan tersebut di sektor kehutanan pada umumnya tidak memenuhi asumsi dasar. Sehingga perumusan peraturan verifikasi legalitas kayu perlu dianalisis melalui pendekatan fungsional, yaitu dengan menekankan bagaimana masalah didefinisikan dari sejumlah fenomena empiris yang muncul dari kegiatan pengelolaan kehutanan. Sekaligus pula bagaimana berbagai keputusan yang bersifat solusi diambil, dan seberapa jauh kesenjangan antara masalah dan keputusan solusi ini terhadap teks kebijakan yang ada.

(22)

6   

Para pembuat kebijakan pada umumnya berpandangan bahwa suatu keputusan kebijakan merupakan perwujudan dari pemikiran yang bersifat rasional dan memisahkan keputusan tersebut dari implementasinya. Pandangan tersebut di sektor kehutanan pada umumnya tidak memenuhi asumsi dasar, sehingga perumusan peraturan legalitas kayu perlu dianalisis melalui pendekatan fungsional, yaitu dengan menekankan bagaimana masalah didefinisikan dari sejumlah fenomena empiris yang muncul dari kegiatan pengelolaan kehutanan. Sekaligus bagaimana berbagai keputusan yang bersifat solusi diambil, dan seberapa jauh kesenjangan antara masalah dan keputusan solusi ini terhadap teks kebijakan yang ada. Kebijakan legalitas kayu yang merupakan prosedur legal-formal, pada dasarnya terjadi interaksi sosial di saat menginterpretasikan dan menginformasikan teks kebijakan tersebut pada tataran implementasi di lapangan. Interaksi sosial tersebut akan mempengaruhi kinerja suatu lembaga.

Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, perlu dikaji lebih mendalam sejauhna kebijakan SVLK telah menyentuh tataran implementasi secara nyata. Seringkali kebijakan hanya diarahkan kepada bagaimana kepentingan administrasi dan politik pemerintah agar dapat dilaksanakan, sehingga permasalahan yang ada sulit atau bahkan tidak pernah terselesaikan dengan baik dan akan selalu berulang menjadi sebuah tradisi kesalahan di setiap periodenya. Hal tersebut dapat dirasakan kesulitan berbagai pihak dalam mengimplementasikan kebijakan di lapangan. Uraian rumusan masalah di atas memunculkan pertanyaan penelitian berikut ini: a) apakah permasalahan perkembangan hutan rakyat dilatarbelakangi oleh kebijakan legalitas kayu? b) mengapa terjadi kesenjangan antara proses pembuatan kebijakan legalitas dengan interaksi sosial yang menyertainya? dan c) bagaimanakah ruang kebijakan untuk perubahan masa depan kebijakan legalitas kayu rakyat yang seharusnya?

Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah bertujuan untuk mendapatkan rumusan kebijakan legalitas kayu di hutan rakyat. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui: 1) analisis faktor penentu tipologi hutan rakyat; 2) analisis landasan

(23)

diskursif penetapan kebijakan; dan 3) analisis ruang dan masa depan kebijakan legalitas kayu di hutan rakyat.

Manfaat Penelitian

Keluaran dari penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan masukan penting bagi pemerintah dalam tata urutan proses pembuatan suatu kebijakan publik, dan memberikan gambaran pengetahuan kebijakan publik dalam pengaturan di hutan rakyat ataupun di lahan milik.

Novelty

Berdasarkan state of the art yang telah disarikan di pendahuluan, bahwa penelitian ini mengungkapkan proses pembuatan kebijakan legalitas kayu di hutan rakyat untuk menghasilkan ruang kebijakan (policy space) dengan pendekatan diskursus/narasi kebijakan, politik/kepentingan, dan aktor/jaringan (IDS 2006).

(24)

8   

(25)

Konsep Kebijakan

Istilah kebijakan (policy) berdasarkan etimologis, berasal dari bahasa Yunani yaitu “polis” berarti negara, kemudian masuk ke dalam bahasa Latin menjadi “politia” yang berarti negara, pada akhirnya masuk ke dalam bahasa Inggris menjadi “policie” yang berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan pengendalian masalah-masalah publik atau administrasi pemerintahan (Dunn 2003). Istilah kebijakan tersebut dipergunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Kebijakan pada prinsipnya menitikberatkan pada penyelesaian permasalahan publik, sehingga sering disebutkan sebagai kebijakan publik, yang selalu membahas perihal bagaimana isu maupun persoalan disusun, didefinisikan, dan diletakkan dalam agenda kebijakan dan agenda politik (Parson 2008). Hal ini mengandung arti bahwa kebijakan publik merupakan suatu ruang dalam kehidupan yang bukan privat atau murni milik individu tetapi milik bersama.

Jenkins (1978) menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan serangkaian keputusan yang diambil oleh seorang aktor politik atau kelompok aktor yang terkait dengan seleksi tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut di dalam situasi tertentu, di mana keputusan tersebut memang berada di dalam cakupan kewenangan para pembuatnya. Penekanan pada pembuatan kebijakan publik adalah sebagai proses dan memberi perhatian khusus pada serangkaian keputusan yang saling berhubungan untuk mengatasi masalah tertentu. Dengan demikian kebijakan publik merupakan kombinasi dari berbagai keputusan dan aktivitas. Terdapat banyak kepentingan di sekitar kebijakan, sehingga kebijakan yang dimuat melalui teks legal formal terkadang berbeda dengan implementasi di lapangan. Proses pembuatan kebijakan sangat berhubungan dengan ilmu, keahlian dan kebijakan, kepentingan politik, partisipasi publik dan teori jaringan.

Pembuat kebijakan tradisional memandang bahwa pemahaman kebijakan merupakan sebuah proses linear (model linear) dimana putusan-putusan rasional diambil pemahaman kebijakan oleh mereka dengan kewenangan dan tanggung jawab atas sebuah area kebijakan tertentu (Sutton 1999). Pendekatan ini

(26)

10   

memandang pembuatan kebijakan melibatkan tahapan: a) pemahaman isu atau permasahan kebijakan (agenda-setting); b) eksplorasi opsi-opsi yang mungkin untuk memecahkan masalah; c) menimbang biaya dan manfaat setiap opsi, d) membuat pilihan rasional atas opsi terbaik (decision-making); e) implementasi kebijakan; dan f) evaluasi. Menurut pandangan ini implementasi kebijakan dipandang sebagai kegiatan terpisah yang dimulai dari putusan kebijakan yang dibuat. Mengasumsikan bahwa pembuat kebijakan bersifat rasional (berdasar bukti, ilmu, dan pengetahuan objektif), yang berangkat melalui tahapan logis dari proses, dan mempertimbangkan semua informasi yang relevan. Sedangkan implementasi dianggap hanya sebuah prosedur teknik. Pada akhirnya dalam pandangan ini jika kebijakan-kebijakan tidak mencapai target, akan mempersalahkan kegagalan managerial dan politik dalam mengimplementasikan kebijakan itu, sebagai contoh melalui kurangnya kemauan politik, pengelolaan yang buruk atau kekurangan sumbedaya.

Sementara itu, Sutton (1999) menyatakan bahwa proses pembuatan kebijakan harus dipahami sebagai sebuah proses politik, incremental, rumit, berantakan, selalu saja ada agenda-agenda yang tumpang tindih dan bersaing, putusan-putusan tidaklah diskret maupun teknis, dimana berbagai fakta dan nilai saling berhubungan dan pembenaran-pembenaran nilai memainkan peran penting, dan implementasi kebijakan melibatkan keleluasaan dan negosiasi para pengambil keputusan. Para ahli teknis dan para pembuat kebijakan ‘bersama membangun’ kebijakan. Dalam pengertian bahwa ilmuwan berkontribusi mengkerangka isu-isu kebijakan dengan menetapkan bukti melalui penyelidikan ilmiah dengan menetapkan area yang relevan dan area yang berhubungan untuk investigasi.

Pendekatan untuk memahami proses pembuatan kebijakan adalah a) menekankan ekonomi politik dan berbagai interaksi dari negara dan masyarakat sipil serta kelompok kepentingan yang berbeda; b) melihat historis dan praktek yang terkait peningkatan diskursus, dan bagaimana ini semua membentuk dan memandu masalah-masalah dan aksi kebijakan; dan c) memberikan keunggulan kepada peran-peran dan badan dari aktor-aktor individu. Keeley dan Scoones (2000) dalam IDS (2006), mencoba untuk mengintegrasikan berbagai perbedaan di atas, dengan mengeksplor bagaimana para aktor membuat dan membentuk

(27)

narasi-narasi kebijakan dan berbagai kepentingan. Proses pembuatan kebijakan dalam riset-riset IDS (2006), adalah dengan mengembangkan dan mengelaborasi sebuah kerangka sederhana yang mengaitkan ketiga tema yang saling berhubungan, yaitu narasi/diskursus, aktor/jaringan dan politik/kepentingan. Narasi/diskursus menjelaskan mengenai bagaimana narasi (pengetahuan) dari hasil penelitian dapat ditransformasikan menjadi kebijakan atau dengan kata lain bahwa kebijakan tersebut dikerangkai ilmu pengetahuan ataupun penelitian. Alur kebijakan tersebut dibatasi oleh isu-isu tertentu dengan cara pandang dan pendekatan yang berbeda-beda, dimana narasinya yang tertanam dalam struktur dan pelaku. Aktor/jaringan menjelaskan hubungan dan siapa saja yang terlibat di dalam proses pembuatan kebijakan, di mana jaringan secara bertahap merubah narasi serta menguatkannya yang membawa pelaku secara bersama-sama bertukar ide dan strategi. Politik/kepentingan menjelaskan dinamika kekuatan kunci proses pembuatan kebijakan. Oleh karena itu untuk memahami bentuk proses kebijakan tertentu, maka sangat penting untuk mengetahui tidak hanya bingkai ilmu pengetahuan terhadap isu kebijakan (narasi/diskursus) tetapi juga posisi para pelaku dalam jejaring (aktor/jaringan) antara lain: pelaku, pendanaan, tenaga ahli, para pihak terkait lainnya, lembaga terkait dan organisasi; dan dinamika kekuasaan (politik/kepentingan) yang membangun atau menghambat kebijakan. Kerangka pemikiran ini lebih bersifat suatu menu dari pada sebuah peta konsep.

Konsep Hak Kepemilikan

Hak kepemilikan (property right) berdasarkan penelusuran ilmiah oleh para ahli hukum, ekonomi, politik dan lain-lain merupakan sesuatu yang menunjukkan hak atas sesuatu. Hak mengandung pengertian klaim atas sesuatu yang dapat ditegakkan atau dihormati pihak-pihak lain. Klaim atas sesuatu tanpa adanya perlindungan hukum atau tanpa bisa ditegakan tidak mengandung makna dan memberikan manfaat apa-apa. Oleh karena itu unsur terpenting dari property adalah penegakan.

Walaupun pengertian property sudah mengandung makna hak (right) tetapi banyak ditemukan adanya penggandengan kata property dengan right sehingga muncul frase property rights (hak-hak kepemilikan). Ini merupakan

(28)

12   

penegasan atas kandungan makna hak yang ada di dalam kata property. Dengan kata lain, property dapat diartikan sebagai kepemilikan atas sesuatu yang di dalamnya terkandung makna hak untuk mengambil manfaat dari sesuatu tersebut.

Property merupakan hak yang harus ditegakan atau dihormati oleh pihak

lain, maka property merupakan sebuah aturan yang di dalam penegakannya memerlukan suatu lembaga yang berwenang untuk menjamin tegakannya hak-hak tersebut. Property sebagai bagian dari hak azasi manusia, yaitu hak manusia untuk memiliki yang merupakan hak paling mendasar. Bila hak tersebut tidak ada maka manusia akan kehilangan eksistensinya. Oleh karena itu, pemerintah sebagai pihak yang berwenang harus berupaya property manusia atas sesuatu bisa ditegakkan.

Property rights atau hak kepemilikan atas sesuatu mengandung pengertian

hak untuk mengakses, memanfaatkan, mengelola atas sesuatu, mengubah atau mentransfer sebagian atau seluruh hak atas sesuatu tersebut pada pihak lain. Sesuatu yang dimaksud bisa berupa barang secara wujud fisik, jasa atau pengetahuan/informasi yang bersifat intangible. Pengertian property ini sangat dekat dengan menguasai sesuatu secara ekslusif.

Bromley (1989) mendefinisikan property right sebagai hak untuk mendapatkan aliran keuntungan secara aman (secure) karena orang lain respek terhadap aliran laba tersebut (terkait dengan transaksi). Makna pernyataan tersebut adalah bahwa property right merupakan klaim seseorang secara ekslusif atas sesuatu untuk memanfaatkan, mengelola, mengubah, mentransfer sebagian atau seluruh hak tersebut.

Furubotn dan Pejovich (1972) menyatakan bahwa teori kepemilikan bermuara pada dua buah teori, yaitu teori kepemilikan individu dan teori kepemilikan sosial. Teori kepemilikan individu merupakan penopang utama doktrin hak-hak alamiah (natural rights) dari ekonomi klasik yang mengarah pada lahirnya private property right. Sedangkan teori kepemilikan sosial mendorong lahirnya commons property atau state property yang dianut secara ekstrim oleh negara-negara sosialis.

Ekonomi kapitalis percaya bahwa satu-satunya hak kepemilikan yang harus dirawat adalah hak kepemilikan individu (private property rights), sedangkan

(29)

ekonomi sosialis meyakini bahwa hak kepemilikan yang betul hanyalah hak kepemilikan negara (state property rights). Padahal, dalam realitasnya, persoalan hak kepemilikan di negara-negara berkembang, yang secara ekstrem tidak menganut rezim private maupun state property rights, menghendaki analisis yang lebih tajam dari sekadar memilih di antara dua kutub yang berseberangan tersebut. Terutama hak kepemilikan selalu bermakna spesifik sesuai dengan konteks lingkungan sektor ekonomi yang hendak diterapkan. Bahkan, di negara berkembang, baik kepemilikan juga berhubungan dengan pertanyaan yang lebih luas dari pertumbuhan ekonomi, demokrasi, politik dan kebebasan ekonomi individu, dan persoalan lingkungan. Sementara itu, bagi pengambil kebijakan masalahnya bukan sekadar memilih jenis hak kepemilikan, namun bagaimana hak kepemilikan itu diregulasi dan ditegakkan sehingga membantu proses pembangunan ekonomi.

Kepemilikan atas sesuatu yang langka sangat penting untuk dapat berlangsungnya proses transaksi. Semakin tinggi kepastian tersebut, biaya transaksinya semakin rendah. Dalam konteks property right, biaya transaksi meliputi biaya transfer hak-hak kepemilikan dan perlindungan kepemilikan tersebut dari klaim pihak lain. Kepemilikan dibagi menjadi empat (Bromley 1991; Hanna &Munasinghe 1995), yaitu sebagai berikut: 1) private property adalah suatu kepemilikan oleh individu/swasta di mana hak akses, pemanfaatan, pengelolaan dan lain-lain yang melekat pada barang tersebut sepenuhnya milik individu/swasta; 2) state property adalah suatu kepemilikan oleh negara di mana hak akses, pemanfaatan, dan pengelolaan dikendalikan oleh negara; 3) ommunal

property adalah suatu kepemilikan yang bersifat kolektif di mana hak akses,

pemanfaatan, dan pengelolaan menjadi milik bersama dari sekelompok orang yang sudah terdefinisi secara jelas, dan 4) open access adalah kepemilikan terbuka yang pada hakekatnya bukanlah hak kepemilikan karena tidak ada pihak yang dapat mengklaim sebagai pemilik dari komoditas atau sumberdaya tersebut.

(30)

14   

Konsep Hutan Rakyat

Sejak 1978, ketika diselenggarakan Kongres Kehutanan Sedunia dengan tema ’Hutan untuk Rakyat’ (Forest for People) mulai terjadi pergeseran perspektif tentang peran-peran masyarakat sebagai penanggungjawab pengelolaan hutan di negara-negara sedang berkembang. Kemudian istilah hutan rakyat muncul dalam perbendaharaan kata di bidang kehutanan di Indonesia, yang didefinisikan sebagai hutan dalam pengertian yang sangat luas sebagai ”situasi tertentu di dalam aktitivitasnya melibatkan rakyat setempat sebagai satu kesatuan (FAO 1978). Aktivitas tersebut mulai dari mengumpulkan potongan-potongan kayu dan aneka hasil hutan lainnya yang dibutuhkan masyarakat dari dalam kawasan hutan tertentu, juga menanam pohon-pohon di areal hutan guna menyediakan kebutuhan untuk memproses produk-produk kayu untuk keperluan rumah tangga, kesenian atau industri kecil dalam rangka memperoleh penghasilan, hingga kegiatan-kegiatan bertempat tinggal di dalam kawasan hutan. Aktivitas-aktivitas tersebut sebegitu luas cakupannya sehingga secara potensial dapat meliputi seluruh jenis kepemilikan lahan.

Konsep hutan rakyat telah ada di dalam peraturan perundangan Indonesia, yaitu pada UUPK No. 5 tahun 1967 yang disebut dengan istilah hutan milik. Hutan milik berdasarkan UUPK adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Hutan tersebut dapat dimiliki oleh orang, baik sendiri maupun bersama-sama orang lain ataupun Badan Hukum. Hutan yang ditanam atas usaha sendiri di atas tanah yang dibebani hak lainnya, merupakan pula hutan milik dari orang atau Badan Hukum yang bersangkutan. Akan tetapi dengan berjalannya pengaturan UUPK ketidakberpihakan kepada rakyat sangat rendah, padahal pada kenyataannya bahwa sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia lebih dari 40% adalah hutan merupakan lahan milik atau lahan yang dikelola oleh rakyat1.

Kemudian Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan telah menggantikan UUPK, dan pengakuan hutan rakyat tetap ada dengan diistilahkan sebagai hutan hak. Definisi hutan rakyat dalam UU No. 41/1999 adalah hutan       

1

Berdasarkan hasil wawancara tokoh sejarah kehutanan Indonesia (Sadikin Djajapertjunda 2012), bahwa UUPK (Undang-undang Pokok Kehutanan) No. 5 tahun 1967 yang merupakan reinkarnasi Bosreglement tahun 1927, walaupun kepemilikan lahan oleh rakyat lebih besar jumlahnya saat itu, tetapi jalan pemikiran konsep tersebut sangat dipengaruhi oleh kepentingan kolonialisme yang mendahulukan kepentingan swasta dan tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat di daerah untuk mengelola hutan.

(31)

yang berada pada tanah yang dibeban hak atas tanah. Di dalam undang-undang tersebut telah ditegaskan bahwa penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Keberadaan hutan rakyat tidaklah semata-mata karena adanya interaksi alami antara komponen biotik maupun abiotik, melainkan turut sertanya peran manusia dengan kebudayaan yang dianutnya. Budaya tersebut dapat berwujud pola tanam dan jenis-jenis tanaman yang ditanamanya. Hal ini mengandung arti bahwa di dalam pengelolaannya dapat bervariasi di setiap wilayah. Berdasarkan tipenya, terdapat tiga tipe hutan rakyat (Michon 1983) diantaranya adalah: 1) pekarangan, yaitu lahan yang mempunyai sistem pengaturan tanaman yang terang dan baik serta biasanya berada di sekitar rumah dengan luas minimum sekitar 0,1 ha yang dipagari dengan jenis sayuran hingga pohon berukuran sedang dengan tinggi mencapai 20 meter; 2) talun, yaitu lahan yang memiliki ukuran yang lebih luas, penanaman pohon yang sedikit rapat, tinggi pohon mencapai 35 meter dan terdapat beberapa pohon yang tumbuh secara liar dari jenis herba atau liana; dan 3) kebun campuran, yaitu lahan yang mempunyai komposisi tumbuhan cenderung lebih homogen dengan satu tanaman jenis pokok cengkeh atau pepaya dan beberapa jenis tanaman herba dan sering ditemui di sekitar desa.

Pengelolaan hutan rakyat dilakukan oleh masyarakat secara individual pada lahan milik. Hutan rakyat ini tersebar (sporadis) atau tidak mengelompok dengan lokasinya sesuai kepemilikan lahan. Segala sesuatu yang berkaitan dengan pengelolaan (permudaan, pemeliharaan, pemanenan hasil, pengolahan dan pemasaran) ditentukan oleh kebijakan masing-masing keluarga. Secara ekonomi pengelolaan hutan rakyat dipandang sebagai usaha tani yang masih bersifat subsisten, meskipun petani telah menyatakan bahwa telah mengelola hutan rakyatnya secara komersial (terbatas). Produk kayu yang dihasilkan secara sengaja disiapkan sebagai salah satu sumber pendapatan bagi keluarga petani.

Sifat subsisten dari pengelolaan hutan rakyat nampak pada cara pemanenan yang dilakukan, yaitu tergantung pada kebutuhan keluarga. Bila kebutuhan keluarga telah terpenuhi oleh hasil-hasil tanaman pertanian maka penebangan pohon tidak dilakukan. Penebangan pohon dilakukan untuk memenuhi kebutuhan

(32)

16   

dalam skala besar, misalnya untuk biaya sekolah, hajatan, atau untuk memenuhi kebutuhan kayu untuk konstruksi rumah sendiri. Sepanjang kebutuhan itu tidak ada penebangan pohon tidak dilakukan, sehingga penebangan pohon memiliki korelasi yang kuat dengan jumlah kebutuhan petani. Sistem pemanenan ini kemudian dikenal dengan sistem tebang butuh. Para pengusaha tidak suka dengan konsep tebang butuh ini, karena menyebabkan bahan baku tidak kontinyu.

Menurut Suharjito (2000), beberapa faktor yang mendorong budidaya hutan rakyat di Jawa adalah faktor ekonomi, ekologis, dan budaya. Hutan rakyat di Jawa pada umumnya dibudidayakan di areal lahan kering bagian atas (upland areas). Budidaya hutan rakyat bukanlah pilihan utama bagi masyarakat pedesaan Jawa pada umumnya, dan jika kondisi lingkungan lebih memungkinkan untuk budidaya tanaman semusim, maka pilihan akan dijatuhkan pada jenis tanaman yang cepat menghasilkan dan dengan keuntungan tinggi.

Penyebaran hutan rakyat pada lahan milik terpencar dari satu lokasi ke lokasi lain dengan luas relatif sempit (< 1 ha). Penyebarannya meliputi semua jenis penggunaan lahan, baik tegalan, ladang, kebun campuran maupun pekarangan. Hutan rakyat banyak diusahakan di lahan marginal, baik sumber air maupun kesuburan tanah rendah serta kondisi topografi yang berat sehingga jika dinilai secara ekonomi sangat rendah (Haeruman et al. 1991).

Pola tanam tumpangsari umumnya dilakukan oleh petani-petani berlahan sempit dan menengah, sedangkan untuk petani yang memiliki lahan lebih dari 1 ha serta petani yang memiliki sumber penghasilan di luar usaha tani seperti pedagang atau pegawai negeri lebih mencurahkan perhatian pada usaha tanaman kayu-kayuan.

Pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh masyarakat memang belum mengacu pada aspek-aspek pengetahuan kehutanan konvensional, tetapi dapat membuahkan hasil yang sangat berarti bagi lingkungan, industri, dan pemilik hutan rakyat sendiri. Konsep kelestarian yang dikembangkan oleh masyarakat sangatlah sederhana, yaitu adanya kewajiban penanaman kembali setelah dilakukan penebangan pohon. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat dikelompokkan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan pengelolaan hutan rakyat di Indonesia pada umumnya adalah 1) kesesuaian lahan/kondisi alam

(33)

berupa topografi, kesuburan tanah, kesediaan air, dan musim; b) budidaya kehutanan yang sangat berpengaruh pada pemilihan jenis dan teknik budidaya; c) pengaruh pasar yang akan memotivasi masyarakat menanam kayu yang laku di pasar; d) pertimbangan ekologis, seperti pengalaman buruk kesulitan air membuat masyarakat menyadari pentingnya menanam pohon; e) kondisi ekonomi keluarga, kepemilikan lahan pertanian yang sempit dan peluang berusaha di pedesaan yang sangat terbatas memunculkan inovasi rakyat untuk mencari alternatif usaha tani agroforestry.

(34)

3 METODOLOGI PENELITIAN

Kerangka Pemikiran

Petani hutan rakyat sebagai pemilik barang pribadi (private good) berupa

hutan rakyat di dalam pengambilan keputusan pengelolaannya dipengaruhi suatu

pendekatan asumsi. Pertama, bahwa siapapun dalam mengambil keputusan

diasumsikan berfikiran rasional atau menggunakan logika konsekuensi (logic of

consequentiality). Dia akan menyetujui terhadap sesuatu hal apabila mengandung

konsekuensi manfaat bagi dirinya dan biasanya diukur berdasarkan materi,

sehingga pendekatan ini disebut pendekatan pilihan rasional (rational choice).

Kedua, bahwa siapapun yang dalam mengambil keputusan lebih mengutamakan

logika kesesuaian (logic of appropriateness). Keputusan berdasarkan kepada

manfaat, namun bukan manfaat berupa materi, bahkan di dalam hal tertentu ia

dapat rugi secara materi tetapi merasa diuntungkan karena sesuai dengan kondisi

yang dikehendaki, sehingga pendekatan ini disebut pendekatan normatif.

Kebijakan legalitas kayu di hutan rakyat merupakan salah satu wujud

kebijakan publik di ranah milik pribadi. Berdasarkan fakta yang telah

dikemukakan pada pendahuluan, bahwa kebijakan tersebut telah menimbulkan

kesenjangan antara teks dan praktek sosialnya. Maka di dalam penelitian ini

dilakukan analisis kebijakan legalitas kayu di hutan rakyat tidak hanya secara

teknis saja tetapi juga lebih ke arah prosesnya dengan pendekatan kualitatif dan

kuantitatif. Di dalam pemahaman proses pembuatan kebijakan tersebut digunakan

pendekatan diskursus/narasi kebijakan, politik/kepentingan, dan aktor/jaringan

(Kelley & Scoones 2000; Sutton 1999; IDS 2006). Maka kerangka pendekatan

penelitian ini secara skematik disajikan dalam Gambar 1.

(35)

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

Illegal Loging

Illegal Trade

Private Property: 1. Access Right 2. Withdrawal Right 3. Exclusion Right 4. Alienation Right P.38/Menhut-II/2009

SVLK

Implementasi P.38/Menhut-II/2009 REKOMENDASI

Rumusan Kebijakan Legilitas Kayu Di Hutan Rakyat

POLICY PROCESS

Discourse/ Narratives Actors/ Networks Politics/ Interests HUTAN RAKYAT

GAP

Analisis Tipologi Hutan Rakyat Tersertifikasi

Analisis Landasan Diskursif Penetapan Kebijakan

Analisis Ruang dan Masa Depan Kebijakan

(36)

21

Waktu dan Lokasi Penelitian

Sejak bulan Desember 2010 sampai dengan bulan Oktober 2011 dilakukan

penelitian pendahuluan untuk mengikuti proses implementasi

P.38/Menhut-II/2009. Penelitian utama mulai dilakukan pada bulan November 2011 sampai

Desember 2012. Pengamatan implementasi kebijakan legalitas kayu dilakukan

pada di hutan rakyat yang dilakukan di 3 lokasi, yaitu Unit Manajemen

Community Logging Giri Mukti Wana Tirta (Comlog GMWT) Kabupaten

Lampung Tengah Provinsi Lampung, Unit Manajemen Koperasi Hutan Jaya

Lestari (KHJL) Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara, dan Unit

Manajemen Koperasi Serba Usaha Asosasi Pengrajin Industri Kecil (KSU APIK)

Kabupaten Buleleng Provinsi Bali. Sedangkan sebagai pembanding sertifikasi

mekanisme sukarela adalah Unit Manajemen Koperasi Wana Lestari Menoreh

(KWLM) Kabupaten Kulonprogo Yogyakarta. Selanjutnya pengamatan pada

penelitian utama dilakukan penggalian informasi yang lebih spesifik dan

mendalam terkait hutan rakyat, dengan informan kunci di Kemenhut. Selain itu

dilakukan pula terhadap pihak-pihak yang terlibat di dalam proses perumusan

kebijakan legalitas kayu khususnya untuk hutan rakyat yang dianggap memiliki

pengaruh dalam menentukan arah perubahan kebijakan tersebut. Pengamatan

implementasi kebijakan SVLK di hutan rakyat dilakukan dengan cara wawancara

mendalam pada petani hutan rakyat di seluruh lokasi penelitian. Peta lokasi

penelitian disajikan pada Gambar 2, 3, 4, dan 5.

Prosedur

Data

Data yang akan dikumpulkan sesuai tujuan yang ingin dicapai meliputi: a)

data faktor-faktor penentu tipologi kesesuaian sertifikasi di hutan rakyat, b) data

isi teks peraturan perundangan yang mengatur standar verifikasi legalitas kayu,

dan c) data pandangan pembuat maupun pengguna kebijakan legalitas kayu. Jenis

data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder.

Sumber data primer adalah responden, informan kunci dan objek pengamatan.

Sumber data sekunder adalah dokumen peraturan perundangan, laporan dari

(37)

instansi terkait, pelaporan hasil penelitian, gambar, peta dan dokumen lainnya.

Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan informasi

kepada pengumpul data, sedangkan sumber data sekunder adalah sumber data

yang tidak langsung memberikan informasi kepada pengumpul data, seperti

halnya dokumen (Sugiyono 2010).

Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mendapatkan data sesuai

dengan kebutuhan studi adalah teknik observasi, wawancara tidak terstruktur, dan

studi dokumen. Karena menurut Sitorus (1998) dengan memadukan sedikitnya

tiga metode, yaitu observasi (pengamatan), wawancara, dan analisis dokumen,

maka satu dan lain metode akan saling menutupi kelemahan sehingga tangkapan

atas realitas sosial menjadi lebih valid.

Teknik obervasi digunakan untuk mengetahui dan mempelajari secara

langsung realitas sosial dan kondisi lingkungan. Menurut Nasution (1988) dalam

Sugiyono (2010) observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para ilmuwan

hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang

diperoleh melalui oservasi. Teknik wawancara mendalam digunakan untuk

mengetahui aspek-aspek kualitatif secara lebih mendalam dan menyeluruh melalui

tanya jawab secara tatap muka antara peneliti dan tineliti. Bungin (2005)

menyatakan bahwa wawancara atau interview adalah sebuah proses memperoleh

keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab dengan temu muka

baik menggunakan atau tanpa pedoman wawancara. Wawancara mendalam

dikatakan sebagai percakapan dua arah dalam suasana kesetaraan, akrab, dan

informal. Sasaran wawancara mendalam (interview) ini adalah informan kunci

(key informant) yang memiliki kompetensi sesuai kajian, dalam hal ini adalah

aktor-aktor terkait dalam kebijakan verifikasi legalitas kayu rakyat. Studi

dokumen digunakan untuk mengumpulkan data yang ada kaitannya dengan

penelitian dari dokumen-dokumen yang tersedia di kantor-kantor atau

instansi-instansi yang ada kaitannya dengan penelitian. Kegiatan ini dilakukan terhadap

berbagai peraturan perundangan, laporan instansi terkait, maupun dokumen lain

seperti hasil-hasil penelitian (studi ) yang terkait, serta data dan informasi dari

(38)

23

Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian di Kecamatan Pubian Kabupaten Lampung

Tengah Provinsi Lampung

Gambar 3 Peta Lokasi Penelitian di Kecamatan Andolo, Baito, Lainea, Palangga

Selatan, dan Palangga Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi

Tenggara

(39)

Gambar 4 Peta Lokasi Penelitian di Kecamatan Gerokgak, Banjar, Sukasada,

Buleleng, Sawan, dan Kubutambahan Kabupaten Buleleng Provinsi

Bali

Gambar 5 Peta Lokasi Penelitian di Kecamatan Girimulyo, Kalibawang,

Nanggulan, dan Samigaluh Kabupaten Kulonprogo Provinsi DI

Yogyakarta

(40)

25

sumber lainnya. Menurut Sugiyono (2010), dokumen merupakan catatan peristiwa

yang telah berlalu, dapat berbentuk tulisan, gambar atau karya monumental dari

seseorang. Peraturan atau kebijakan dapat dikategorikan sebagai dokumen

berbentuk tulisan.

Teknik penentuan informan kunci

Responden ditentukan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu

teknik penentuan sampel yang dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan

tertentu (Sugiyono 2010; Bungin 2005). Informan kunci (key informan)

ditentukan dengan menggunakan teknik snowball sampling, di mana penentuan

sampel informan kunci dimulai dari orang yang memiliki pemahaman yang

memadai tentang masalah yang dikaji, selanjutnya satu orang tersebut diminta

untuk memilih seseorang atau temannya untuk dijadikan informan kunci

berikutnya.

Analisis tipologi hutan rakyat

Secara umum, perkembangan hutan rakyat dipengaruhi oleh dua faktor

utama, yaitu faktor alam dan manusia. Faktor alam sangat ditentukan oleh aspek

biofisik dari suatu wilayah. Sedangkan faktor manusia sangat ditentukan oleh

aktivitas manusia, dalam hal ini aspek sosial, ekonomi dan kelembagaan.

Pengamatan faktor-faktor dominan sertifikasi di hutan rakyat tersebut maka dibuat

model tipologi hutan rakyat, dan selanjutnya dibangun pemodelan spasialnya.

Kebijakan legalitas kayu yang diturunkan dalam bentuk instrumen sertifikasi,

diharapkan dapat menciptakan nilai-nilai baru dari pengelolaan hutan maupun

industri perkayuan di Indonesia. Penerapan sertifikasi tersebut perlu dianalisis

terhadap kesesuaian dari hutan rakyat. Analisis diawali dengan indentifikasi

faktor-faktor yang menentukan tipologi kesesuaian sertifikasi di hutan rakyat.

Faktor-faktor tersebut disajikan pada tabel di bawah ini.

(41)

Tabel 1 Faktor dan su-faktor penentu tipologi hutan rakyat

FAKTOR SUB-FAKTOR VERIFIER KETERANGAN

Biofisik Kelerengan Lahan 0-8% Datar

8-15% Landai

15-25% Agak Curam

25-40% Curam

>40% Sangat Curam

Penggunaan Lahan Sawah Rendah

Pekarangan Sedang

Pertanian lahan kering Tinggi

Pembentukan Lokal Tidak terbentuk Harga Pasar berbeda pulau Kurang terbentuk

satu pulau Terbentuk

Sosial Ekonomi Pendapatan Pra KS Rendah

KS Tinggi

Kepadatan Penduduk >600 jw/km2 Sangat Rendah

401-600 jw/km2 Rendah

251-400 jw/km2 Cukup tinggi

51-250 jw/km2 Tinggi

1-50 jw/km2 Sangat Tinggi

Kelembagaan Kapasitas Organisasi Tidak berfungsi Lemah

Berfungsi Kuat

Pola Pemanenan Tebang butuh Tegakan tinggal rendah

Tebang tunda Tegakan tinggal tinggi

Faktor-faktor dominan yang menentukan tipologi tersebut dianalisis melalui

pendekatan AHP (Analytical Hierarchy Process) (Saaty 1988). Pendekatan AHP

ini berbasis pada expertises judgement, maka pemilihan informan ditujukan

kepada informan yang benar-benar mengetahui permasalahan pengelolaan hutan

rakyat tersertifikasi di lokasi tersebut. Informan diperoleh dengan teknik snow

ball. Perangkat lunak yang digunakan untuk menganalisis proses AHP dalam

penelitian ini adalah Expert Choice.

Proses AHP diawali dengan tahap: 1) melakukan penyusunan hirarki

keputusan dengan melakukan dekomposisi permasalahan menjadi hirarki suatu

elemen yang saling terkait; 2) melakukan perbandingan berpasangan (pairwise

comparisons) untuk menghasilkan input data; 3) melakukan sintesis terhadap hasil

evaluasi dan melakukan estimasi bobot relatif, dan 4) menentukan agregasi dari

(42)

27

bobot relatif dari suatu keputusan untuk mendapatkan suatu set proporsi dari suatu

alternatif keputusan.

Prinsip penilaian dalam AHP adalah membandingkan secara berpasangan

tingkat kepentingan faktor satu dengan faktor lainnya yang berada pada satu

tingkat berdasarkan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tersebut dapat

berdasarkan pertimbangan literatur maupun fakta yang ditemui di lapangan.

Berdasarkan hasil perbandingan tersebut, maka akan diperoleh total skor faktor

penentu tipologi hutan rakyat tersertifikasi. Berikut ini adalah persamaannya:

)

.

(

1

=

=

n i i i

f

w

F

Keterangan:

F

=

skor total

w

i

f

=

bobot sub-faktor

i

=

skor sub-faktor ke-i

Berdasarkan skor total dari seluruh lokasi penelitian, maka akan dibangun 3

kelas tipologi. Pembagian kelas berdasarkan prinsip bagi habis disajikan pada

Tabel 2.

Tabel 2 Kelas kesesuaian sertifikasi di hutan rakyat

Kelas

Kriteria

Interval

I

Tidak sesuai

𝑋𝑋

𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀

𝑠𝑠. 𝑑𝑑 �𝑋𝑋

𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀

+

𝑋𝑋�𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 −𝑋𝑋 𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀∑ 𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝑀𝑀𝑠𝑠

II

Kurang sesuai

𝑋𝑋

𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀

𝑠𝑠. 𝑑𝑑 �𝑋𝑋

𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀

+

𝑋𝑋�

∑ 𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝑀𝑀𝑠𝑠 �

𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 −𝑋𝑋𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀

III

Sesuai

𝑋𝑋

𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀

𝑠𝑠. 𝑑𝑑 �𝑋𝑋

𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀

+

𝑋𝑋�

∑ 𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝑀𝑀𝑠𝑠 �

𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 −𝑋𝑋𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀

Analisis landasan diskursif penetapan kebijakan legalitas kayu di hutan

rakyat

Landasan diskursif penetapan kebijakan legalitas kayu di hutan rakyat

berikut pengaruh-pengaruhnya diperoleh melalui analisis proses pembuatan

kebijakan (IDS 2006). Analisis proses pembuatan kebijakan dengan pendekatan

Institute of Development Studies (IDS) menjembatani antara teks sebagai legal

formal dengan fakta sebagai interaksi sosialnya. Faktor-faktor yang

(43)

mempengaruhi kebijakan legalitas kayu di hutan rakyat akan diteliti berdasarkan

narasi kebijakan, diskursus, aktor, jaringan, politik, dan kepentingan.

Faktor-faktor tersebut dikelompokkan ke dalam tiga tema yang saling berkaitan satu

sama lain, yaitu:

1.

Narasi kebijakan dan diskursus

Narasi kebijakan merupakan gambaran sebuah cerita yang memiliki awal,

tengah dan akhir dalam menguraikan peristiwa tertentu yang mempengaruhi

perubahan-perubahan kebijakan. Sedangkan diskursus merupakan tatanan

kerangka fikir yang mengkonstruksikan realita sosial dalam sebuah konteks

tertentu, dapat berupa aliran pemikiran yang dominan maupun sebaliknya.

Sebuah narasi dapat menjadi bagian dari diskursus jika menggambarkan

cerita tertentu yang sejalan dengan nilai-nilai yang lebih luas dan prioritas.

2.

Aktor dan jaringan

Jaringan, koalisi dan aliansi aktor-aktor (individu dan institusi) dengan visi

yang sama, keyakinan serupa, kode etik dan kesamaan perilaku sangat

penting dalam menyebarkan dan mempertahankan narasi melalui

pembujukan publik dan pengaruh seperti jurnal, konferensi, pendidikan

atau cara-cara informal. Proses negosiasi dan tawar-menawar di antara

kelompok kepentingan yang saling berkompetisi berperan penting dalam

pembuatan kebijakan.

3.

Politik dan kepentingan

Proses kebijakan dipengaruhi oleh sejumlah kepentingan kelompok yang

menggunakan kekuatan dan kewenangannya atas pembuatan kebijakan. Hal

ini mempengaruhi setiap tahapan proses, dari pembentukan agenda, hingga

identifikasi alternatif, pembobotan dan pemilihan opsi yang paling

menguntungkan serta implementasinya. Kepentingan aktor dalam kebijakan

berasal dari instansi pemerintah, organisasi donor dan independent expert.

Di dalam mengoperasionalkan ketiga tema tersebut di atas, maka dilakukan

analisis diskursus, analisis stakeholder, dan analisis asumsi. Analisis diskursus

dilakukan terhadap diskursus sebagai teks (text), bingkai (frame), dan praktek

sosial (social practices) (Arts & Buizer 2009).

Gambar

Gambar 1  Kerangka pemikiran penelitian Illegal Loging Illegal Trade Private Property: 1
Gambar 2  Peta Lokasi Penelitian di Kecamatan Pubian Kabupaten Lampung  Tengah Provinsi Lampung
Gambar 4  Peta Lokasi Penelitian di Kecamatan Gerokgak, Banjar, Sukasada,  Buleleng, Sawan, dan Kubutambahan Kabupaten Buleleng Provinsi  Bali
Tabel 1  Faktor dan su-faktor penentu tipologi hutan rakyat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, pengelolaan hutan rakyat di Desa Purasari saat ini terdiri dari dua kategori, yaitu pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan petani pemilik dan

Dengan pertimbangan tersebut, pada wilayah-wilayah di mana pemilikan lahan oleh petani relatif sempit maka pembangunan Hutan Rakyat, Hutan Tanaman Rakyat, atau Hutan

M Kelompok Hutan Hak Koperasi Jaya Raya merupakan kelompok tani yang beranggotakan masyarakat petani pemilik lahan atau garapan yang dikerjakan sendiri, dan tidak

Pada gambar tersebut jalur distribusi pemasaran kayu rakyat dimulai dari para petani pengelola hutan rakyat sebagai sumber produksi kayu dijual melalui lembaga-lembaga

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi berjudul Respon Pelaku Usaha Hutan Rakyat Terhadap Kebijakan Surat Keterangan Asal Usul Kayu (Studi Kasus di Desa Jugalajaya,

Dokumen angkutan hasil hutan yang sah Memenuhi Berdasarkan pemeriksaan arsip dokumen angkutan hasil hutan diketahui sebagian unit kelola kayu dalam Kelompok UMKM Pemilik Hutan

Dokumen angkutan hasil hutan yang sah Memenuhi Berdasarkan pemeriksaan arsip dokumen angkutan hasil hutan diketahui sebagian unit kelola kayu dalam Kelompok UMKM Pemilik Hutan

Dokumen angkutan hasil hutan yang sah Memenuhi Berdasarkan pemeriksaan arsip dokumen angkutan hasil hutan diketahui sebagian unit kelola kayu dalam Kelompok UMKM Pemilik Hutan