• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada BABII ini penulis akan membahas tentang tinjauan umum yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada BABII ini penulis akan membahas tentang tinjauan umum yang"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada BABII ini penulis akan membahas tentang tinjauan umum yang berkaitan dengan judul penelitian penulis yaitu gugatan keabsahan akta kredit sebagai penghambat pelaksanaan lelang hak tanggungan studi kasus di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Sidoarjo, diantaranya tinjauan perjanjian kredit, tinjauan jaminan kredit perbankan, tinjauan hak tanggungan, tinjauan lelang hak tanggungan, tinjauan eksekusi lelang hak tanggungan. Tinjauan dalam BAB II ini akan dikontruksikan dengan hasil penelitian penulis sehingga dapat menjawab permasalahan.

A. Tinjauan Tentang Perjanjian Kredit 1. Pengertian Perjanjian Kredit

Definisi Perjanjian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) diatur didalam Pasal 1313 yaitu suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan diri terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih. Berdasarkan rumusan tersebut dapat diketahui bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan, sekurang-kurangnya dua orang, perbuatan tersebut melahirkan perikatan di antara pihak–pihak yang berjanji tersebut.Pengertian Perjanjian menurut pendapat para ahli :

a. Wirjono Prodjodikoro memberikan definisi Perjanjian adalah sebagai perhubungan hukum mengenai harta benda antar dua pihak berjanji

(2)

24 atau dianggap berjanji untuk melaksankan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal dengan pihak lain berhak menuntut pelaksanan janji itu.27

b. Menurut Subekti definisi dari perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melakukansesuatu.28

Pengertian dari perjanjian kredit pada bankadalah salah satu aspek yang sangat penting dalam pemberian kredit. Tanpa perjanjian kredit yang ditanda tangani oleh pihak kreditur dan debitur, maka tidak ada perjanjian debitur tersebut. Perjanjian ini merupakan ikatan atau hubungan hukum yang didalamnya ada kesepakatan-kesepakatan mengenai hak dan kewajiban kedua pihak sehubungan dengan pemberian kredit, dan biasanya perjanjian kredit, selain jaminan berupa barang ataupun benda yang dapat di nilai dengan uang, biasanya perjanjian kredit diikuti dengan perjanjian jaminan perorang (penanggungan), setiap perjanjian kredit antara bank dengan debitur, memberikan kepastian hukum untuk pengajuan dan pemberian kredit, maka dalam pemberian kredit tersebut pihak bank meminta jaminan tersebut.29

2. Dasar Hukum Perjanjian Kredit

Umumnya perjanjian kredit dianggap sebagai perjanjian bernama dan dikuasai oleh ketentuan-ketentuan khusus dalam Bab XIII Buku III

27

Wirjono Pradjodikoro, 1986, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bandung , hal. 19

28 Subekti, 1988, Hukum Perjanjian, Jakarta : PT. Intermasa, hal.1

29 Nurman Hidayat, 2014, Tanggung Jawab Penanggung Dalam Perjanjian Kredit, Jurnal

(3)

25 KUHPerdata. Dalam hal ini, perjanjian kredit digolongkan sebagai perjanjian riil. Dikatakan riil karena perjanjian kredit diikuti baru terjadi setelah dilakukan penyerahan uang, sedangkan dalam prakteknya penyerahan uang belum tentu dilakukan pada saat penandatanganan perjanjian kredit.

Sutan Remy Sjahdeini perjanjian kredit memiliki identitas karakteristik sendiri bahwa sifatnya yang konsensual dari suatu perjanjian kredit bank itulah yang merupakan ciri pertama yang membedakan dari perjanjian peminjaman uang yang bersifat riil.30 Beliau mengemukakan 3 alasan mengapa perjanjian kredit bank bukan perjanjian meminjam yang diatur oleh KUHPerdata. Pertama, perjanjian pinjam-meminjam (Pasal 1754 KUHPerdata) termasuk perjanjian riil karena sudah terjadi penyerahan uang.

Sebaliknya, perjanjian kredit bank merupakan perjanjian konsensuil karena perjanjian tersebut baru merupakan perjanjian pendahuluan dan belum terjadi penyerahan uang. Kedua, pada perjanjian kredit debitur tidak leluasa dalam menggunakan uang yang dipinjamkannya karena harus sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dalam perjanjian kredit. Sebaliknya, dalam perjanjian pinjam-meminjam, debitur dianggap sebagai pemilik uang sehingga berkuasa penuh untuk menggunakan uang tersebut. Ketiga, perjanjian kredit disertai dengan syarat-syarat penggunaan, yaitu dengan menggunakan cek atau melalui

30 Rachmadi Usman, 2001, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Gramedia

(4)

26 pemindahbukuan. Bank selalu memberikan kredit dalam bentuk rekening koran yang penarikan atau penggunaannya selalu berada di bawah pengawasan bank. Ketiga karakteristik inilah yang membedakan perjanjian kredit bank dari perjanjian pinjam-meminjam menurut KUHPerdata.

Dalam perjanjian kredit, kreditur tidak boleh meminta kembali apa yang telah dipinjamkannya sebelum lewat waktu yang ditentukan dalam perjanjian (Pasal 1759 KUHPerdata). Sebaliknya, debitur yang menerima pinjaman sesuatu diwajibkan mengembalikannya dalam jumlah dan keadaan yang sama dan pada waktu yang ditentukan (Pasal 1763 KUHPerdata). Dalam hal ini, debitur diberi kekuasaan untuk menghabiskan uang yang dipinjamkan sehingga berdasarkan debitur diwajibkan untuk mengembalikannya. Meskipun perjanjian kredit tidak diatur secara tegas dan khusus dalam KUHPerdata, unsur-unsur perjanjian kredit tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diatur oleh KUHPerdata. Hal ini tegaskan oleh Pasal 1319 KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama khusus, harus tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat dalam Bab I dan Bab II.

3. Unsur-unsur Perjanjian

Berbagai definisi di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur yang tercantum dalam perjanjian sebagai berikut :

(5)

27 a. Pertama, Adanya Kaidah Hukum. Kaidah dalam hukum kontrak dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum kontrak tertulis adalah kaidah kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan undang-undang, traktat dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum kontrak tidah tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat. Contoh jual beli lepas, jual beli tahunan dan lain-lain. Konsep-konsep hukum ini berasal dari hukumadat.

b. Kedua, Subjek Hukum Istilah lain dari subjek hukum adalah rechts person, Rechtsperson diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Yang menjadi subjek hukum dalam hukum perjanjian adalah kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang memiliki utang.

c. Ketiga, Adanya Prestasi. Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur, prestasi terdiri dari Memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, Tidak berbuat sesuatu.

d. Keempat, Kata Sepakat. Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak, kata sepakat adalah salah satu syarat sahnya perjanjian yang terkandung dalam pasal 1320 KUHPerdata. e. Kelima, Akibat Hukum. Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak

akan menimbulkan akibat hukum atau dapat dituntut apabila tidak dipenuhinya prestasi. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan

(6)

28 kewajiban. Hak adalah suatu kenikmatan dan kewajiban adalah suatu beban.31

4. Asas-asas Perjanjian

Di dalam hukum perjanjian dikenal lima asas yaitu, asas kebebasan berkontrak, asas konsesualisme, asas kepastian hukum (pacta sun

servanda), asas itikad baik, asas kepribadian.

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Dalam Pasal 1338 ayat 1 BW menegaskan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”32

Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapapun, menentukan isi perjanjian/pelaksanaan dan persyaratannya, menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis atau lisan.

Asas kebebasan berkontrak merupakan sifat atau ciri khas dari Buku III BW, yang hanya mengatur para pihak, sehingga para pihak dapat saja mengenyampingkannya, kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.

b. Asas Konsesualisme

Asas konsensualisme dapat disimpulkan melalui Pasal 1320 ayat 1 BW. Bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan kedua belah pihak. Dengan adanya kesepakatan oleh para

31 Abdulkadir Muhammad, 1986, Hukum Perjanjian, Bandung: Penerbit Alumni, hal. 53 32Pasal 1338 ayat (1) Burgerlijk Wetboek

(7)

29 pihak, jelas melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut telah bersifat obligatoir yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut.

c. Asas Kepastian Hukum (Pacta Sun Servanda)

Asas pacta sunt servanda atau disebut juga sebagai asas kepastian hukum, berkaitan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt

servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus

menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang, mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda didasarkan pada Pasal 1338 ayat 1 BW yang menegaskan “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang.”

d. Asas Itikad Baik

Perjanjian harus disertai dengan itikad baik atau goodfaith, sebagaimana ditegaskan pada Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Apabila salah satu pihak mempunyai niat buruk (pihak yang bersangkutan telah sejak awal ada niat buruk untuk melakukan penipuan) terhadap pihak lainnya, sehingga tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian. Artinya, perjanjian yang mengandung unsur penipuan yang dilakukan dan diniatkan oleh salah satu pihak, atau

(8)

30 mungkin juga oleh keduabelah pihak dalam konteks yang sebaliknya, tentu tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian.33

Asas iktikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni iktikad baik nisbi dan iktikad baik mutlak. Iktikad baik nisbi adalah orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Sedangkan iktikad mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif. e. Asas Kepribadian

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seorang yang akan melakukan kontrak hanya untuk kepentingan perorangan. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 BW. Pasal 1315 menegaskan “pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.” Pasal 1340 menegaskan “perjanjian hanya berlaku antara para pihak yang membuatnya.”

Jika dibandingkan kedua pasal tersebut, maka dalam Pasal 1317 BW mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 BW untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya, atau orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.34

33 Fajaruddin, 2017, Pembatalan Perjanjian Jual Beli Hak Atas Tanah Akibat Adanya

Unsur Khilaf, Jurnal Fakultas, HukumUniversitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Vol. 2 No. 2, hal. 299

34Damang Averroes, , 2011, “Hukum Perdata, Asas-Asas Perjanjian”

(9)

31

5. Syarat Sah Perjanjian

Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan adanya perjanjian pokok, yakni perjanjian utang piutang,35 dimana dalam membuat perjanjian tersebut harus memperhatikan 4 (empat) syarat sahnya perjanjian yang tertuang dalam Pasal 1320 KUHPerdata.Apabila tidak terpenuhi maka perjanjian dapat menjadi batal. Untuk sahnya suatu perikatan diperlukan empat syarat yaitu :

a. Kata Sepakat

Kata sepakat didalam perjanjian pada dasarnya adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak didalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan pesetujuannya atau kesepakatannya (Toestemming) jika ia memang menghendaki apa yang disepakati. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (Offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie). J. Satrio menyebutkan ada beberapa cara mengemukakan kehendak tersebut, yakni : Pertama, secara tegas 1) Dengan akte otentik, 2) Dengan akte di bawah tangan. Kedua, secara diam-diam. Suatu perjanjian dapat mengandung cacat hukum atau kata sepakat dianggap tidak ada jika terjadi hal-hal yang disebut di bawah ini, yaitu:

1) Paksaan (dwang), yaitu setiap perbuatan yang tidak adil atau ancaman yang menghalangi kebebasan kehendak para pihak

35 Rahmatillah Apude, 2017, Kekuatan Mengikat Surat Kuasa Terhadap Hak

Tanggungan Dalam Perjanjian Hutang Piutang, Lex Crimen, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Vol. VI, No. 1, hal. 123

(10)

32 yang terlibat di dalam kontrak termasuk dalam tindakan pemaksaan. Paksaan tersebut dibuat dengan tujuan agar pada akhirnya pihak lain memberikan haknya. Ancaman tersebut adalah setiap tindakan intimidasi mental. Selain itu paksaan juga bisa dikarenakan oleh pemerasan atau keadaan di bawah pengaruh terhadap seseorang yang mempunyai kelainan mental. 2) Penipuan (bedrog). Penipuan (fraud) adalah tindakan tipu

muslihat. Menurut Pasal 1328 KUHPerdata dengan tegas menyatakan bahwa penipuan merupakan alasan pembatalan perjanjian. Dalam hal ada penipuan, pihak yang ditipu, memang memberikan pernyataan yang sesuai dengan kehendaknya, tetapi kehendaknya itu, karena adanya daya tipu, sengaja diarahkan ke suatu yang bertentangan dengan kehendak yang sebenarnya, yang seandainya tidak ada penipuan, merupakan tindakan yang benar. Dalam hal penipuan gambaran yang keliru sengaja ditanamkan oleh pihak yang satu kepada puhak yang lain. Jadi, elemen penipuan tidak hanya pernyataan yang bohong, melainkan harus ada serangkain kebohongan (samenweefsel van verdichtselen), serangkain cerita yang tidak benar, dan setiap tindakan/sikap yang bersifat menipu. Dengan kata lain, penipuan adalah tindakan yang bermaksud jahat yang dilakukan oleh satu pihak sebelum perjanjian itu dibuat. Contohnya, merubah nomor seri pada sebuah mesin. Kelalaian untuk menginformasikan

(11)

33 pelanggan atas adanya cacat tersembunyi pada suatu benda bukan merupakan penipuan karena hal ini tidak mempunyai maksud jahat dan hanya merupakan kelalaian belaka.

b. Kecakapan untuk Mengadakan Perikatan

Syarat sahnya perjanjian yang kedua menurut Pasal 1320 KUHPerdata adalah kecakapan untuk membuat perikatan (om eene

verbintenis aan te gaan). Di sini terjadi percampuradukan

penggunaan istilah perikatan dan perjanjian. Dari kata “membuat” perikatan dan perjanjian dapat disimpulkan adanya unsur “niat” (sengaja). Hal yang demikian itu dapat disimpulkan cocok untuk perjanjian yang merupakan tindakan hukum. Apalagi karena unsur tersebut dicantumkan sebagai ubsur sahnya perjanjian, maka tidak mungkin tertuju kepada perikatan yang timbul karena undang-undang.

Seseorang di katakan belum dewasa menurut pasal 1330 KUHPerdata jika belum mencapai umur 21 tahun. Seseorang dikatakan dewasa jika telah berumur 21 tahun atau berumur kurang dari 21 tahun, tetapi telah menikah. Dalam perkembangannya, berdasar Pasal 47 dan 50 UU No. 1 Tahun 1974 kedewasaan seseorang ditentukan bahwa anak berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali sampai umur 18 tahun.

(12)

34 c. Suatu Hal Tertentu

Syarat sahnya perjanjian yang ketiga adalah dalam membuat perjanjian, apa yang diperjanjikan (objek perikatannnya) harus jelas. Pasal 1333 KUHPerdata ayat 1 menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda (zaak) yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Suatu perjanjian harus memiliki suatu pokok persoalan.Oleh karena itu, objek perjanjian tidak hanya berupa benda, tetapi juga bisa berupa jasa. Suatu perjanjian haruslah mengenai suatu hal tertentu (centainty of terms), berarti bahwa apa yang diperjanjiakan, yakni hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Istilah barang dimaksud di sini apa yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai zaak. Zaak dalam bahasa belanda tidak hanya berarti barang dalam arti sempit, tetapi juga berarti yang lebih luas lagi, yakni pokok persoalan. Oleh karena itu, objek perjanjian tidak hanya berupa benda, tetapi juga bisa berupajasa. KUHPerdata menyebutkan bahwa barang/benda yang dimaksud tidak harus disebutkan, asalkan nanti dapat dihitung atau ditentukan. Misalnya mengenai perjanjian “panen padi dari lahan sawah sebesar 1 hektar dalam tahun berikutnya”adalah sah.

d. Kausa Hukum yang Halal

Syarat sahnya perjanjian yang keempat adalah adanya kausa hukum yang halal. Kata kausa yang diterjemahkan dari kata oorzaak (Belanda) atau causa (Latin) bukan berarti sesuatu yang

(13)

35 menyebabkan seseorang membuat perjanjian, tetapi mengacu kepada isi dan tujuan perjanjian itu sendiri. Misalnya dalam perjajian jual beli, isi dan tujuan atau kausanya adalah pihak yang satu menghendaki hak milik suatu barang, sedangkan pihak lainnya menghendaki uang.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka apabila seseorang membeli pisau di suatu toko dengan maksud membunuh orang, maka jual beli tersebut mempunyai kausa yang halal. Apabila maksud membunuh tersebut dituangkan di dalam perjanjian, misalnya penjual pisau menyatakan hanya bersedia menjual pisaunya jika pembeli membeli menbunuh orang dengan pisaunya, disini tidak ada kausa hukum yang halal.

Menurut Pasal 1335 jo 1337 KUHPerdata bahwa suatu kausa dinyatakan terlarang jika bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Suatu kausa dikatakan bertentangan dengan undang-undang, jika kausa di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang, jika kausa di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Untuk menentukan apakah suatu kausa perjanjian bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden) bukanlah masalah yang mudah, karena istilah kesusilaan ini sangat abstrak, yang isinya bisa berbeda-beda antara daerah yang satu dan daerah atau antara kelompok masyarakat yang satu dan lainnya. Selain itu

(14)

36 penilaian orang terhadap kesusilaan dapat pula berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman.

Kausa hukum dalam perjanjian yang terlarang juga apabila bertentangan ketertiban umum, keamanan Negara, keresahan dalam masyarakat, dan karenanya dikatakan mengenai masalah ketatanegaraan. Didalam konteks Hukum Perdata International (HPI), ketertiban umum dapat dimaknai sebagai sendi-sendi atau asas-asas hukum suatu negara. Kuasa hukum yang halal ini di dalam sistim

common law dikenal dengan istilah legaliti yang dikaitkan dengan public policy. Suatu kontrak dapat menjadi tidak sah (illegal) jika

bertentangan dengan public policy. Walaupun sampai sekarang belum ada definisi public policy jika berdampak negatif pada masyarakat atau menggangu keamanan dan kesejahteraan masyarakat (public’s

safety and welfare).36

6. Perjanjian Penjaminan sebagai Perjanjian Tambahan dari Perjanjian Pokok

Perjanjian adalah suatu hubungan hukum mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberikan hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.37 Pasal 1 ayat 11 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan mengatur bahwa Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,

36 Mariam Darus Badrulzaman, 1983, Perjanjian Kredit Bank, Bandung, Alumni, hal.21 37 Subekti, 2003, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, PT. Intermasa, hal. 122

(15)

37 berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak meminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Kredit merupakan hal yang vital bagi pembangunan ekonomi, karena itu kredit selalu dibutuhkan bagi pengembangan usaha oleh para pengusaha baik pengusaha besar, menengah, maupun pengusaha kecil.38

Salah satu kegiatan usaha perbankan adalah berupa perjanjian kredit. Perjanjian kredit merupakan perjanjian antara pihak bank dengan pihak nasabah. Dengan melihat bentuk perjanjiannya, maka sebenarnya perjanjian kredit merupakan perjanjian yang tergolong dalam jenis perjanjian pinjam pengganti. Meskipun demikian adanya, namun perjanjian kredit tetap merupakan perjanjian khusus karena di dalamnya terdapat kekhususan, dimana pihak kreditor adalah pihak banksedangkanobjekperjanjianadalahuang.Perjanjiankreditini dibuat secara tertulis, tujuannya ialah untuk bukti lengkap mengenai apa yang mereka perjanjikan39

Pemberian kredit merupakan salah satu jenis usaha bank, yaitu dengan menyalurkan dana yang dihimpunnya dari masyarakat dalam bentuk kredit kepada masyarakat yang membutuhkannya. Dalam setiap permohonan pemberian kredit biasanya bank akan melakukan penilaian dari berbagai aspek antara lain yang lazim adalah dari segi watak debitor

38 Djuhaendah Hasan, 1996, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain

yang Melekat Pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, hal.133

39 Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya

(16)

38

(character), dari segi kemampuan debitor (capacity), modal (capital),

jaminan atau dalam istilah bank disebut agunan (collateral) dan prospek usaha debitor (condition of economic).40

Pemberian kredit mengacu kepada ketentuan hukum perjanjian yang diatur dalam Buku III KUHPerdata, yaitu suatu perjanjian yang diadakan antara bank dengan calon debitor untuk mendapat kredit dari bank bersangkutan. UU Perbankan tidak menyebut tentang perjanjian kredit sebagai dasar pemberian kredit, bahkan istilah “perjanjian kredit” ini juga tidak ditemukan dalam ketentuan UU Perbankantersebut.41

Berdasarkan Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit 1 Nomor 2/539/UPK tanggal 8 Oktober 1966 jo Surat Edaran Bank Negara Indonesia Nomor 2/643/UPK/Pemb. tanggal 20 Oktober 1966 diinstruksikan bahwa dalam bentuk apapun setiap pemberian kredit, Bank wajib menggunakan akad perjanjian kredit, dan dari kata akad perjanjian kredit tersebut dalam praktek perbankan dikenal dengan istilah perjanjian kredit.42Perjanjian kredit ini merupakan perjanjian pendahuluan atau perjanjian pokok yang mendahului perjanjian jaminan.

Adapun jenis-jenis kredit memiliki banyak jenis oleh karena itu dapat digolongkan berdasarkan kriteria yang digunakan :

a. Dilihat dari segi kegunaan

40 Eddy Putra Tje’Aman, 1985, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Yogyakarta,

Liberty, hal.12

41

Djuhaendah Hasan, 1960, Lembaga jaminan kebendaan bagi tanah dan benda lain yang melekat pada tanah dalam konsepsi penerapan asas pemisahan horisontal: suatu konsep dalam menyongsong lahirnya lembaga hak tanggungan, Jakarta, Citra Aditya Bakti, hal. 170

(17)

39 1) Kredit Investasi, biasanya digunakan untuk keperluan perluasan usaha atau untuk keperluan rehabilitas. Contoh kredit investasi misalnya untuk membangun pabrik atau membeli mesin-mesin. Pendek kata masa pemakaiannya untuk suatu periode relatif cukup lama.

2) Kredit Modal Kerja, digunakan untuk keperluan meningkatkan produksi dalam operasionalnya. Sebagai contoh kredit modal kerja diberikan untuk membeli bahan baku, membayar gaji pegawai atau biaya-biaya lainnya yang berkaitan dengan proses produksi perusahaan.

b. Dilihat dari segi tujuan kredit

1) Kredit Produktif, kredit yang digunakan untuk meningkatkan usaha atau produksi atau investasi. Kredit ini diberikan untuk menghasilkan barang atau jasa. Sebagai contohnya kredit untuk membangun barang, kredit pertanian atau kredit pertambangan menghasilkan bahan tambang atau kredit industri lainnya.

2) Kredit Konsumtif, kredit yang digunakan untuk dikonsumsi secara pribadi. Dalam kredit ini tidak ada pertambahan barang dan jasa yang dihasilkan, karena memang untuk digunakan atau dipakai oleh seseorang atau badan usaha. Sebagai contoh kredit untuk perumahan, kredit mobil pribadi, kredit perabotan rumah tangga, atau kredit konsumtif lainnya.

(18)

40 3) Kredit Perdagangan, kredit yang digunakan untuk perdagangan, biasanya digunakan untuk membeli barang dagangan yang pembayarannya diharapkan dari hasil penjualan barang dagangan tersebut. Kredit ini seringkali digunakan kepada supplier atau agen-agen perdagangan yang akan membeli barang dalam jumlah besar. Contoh kredit ini misalnya kredit ekspor dan impor.

c. Dilihat dari segi jangka waktu

1) Kredit Jangka Pendek, merupakan kredit yang dimiliki jangka waktu kurang dari 1 tahun atau paling lama 1 tahun dan biasanya digunakan untuk keperluan modal kerja. Contohnya untuk peternakan misalnya kredit peternakan ayam jika untuk pertanian misalnya tanaman padi atau palawijaya.

2) Kredit Jangka Menengah, merupakan kredit yang jangka waktu kreditnya berkisar antara 1 tahun sampai 3 tahun, biasanya untuk investasi. Contoh kredit untuk pertanian seperti jeruk atau peternakan kambing.

3) Kredit Jangka Panjang, merupakan kredit yang masa pengembaliannya paling panjang. Kredit jangka panjang waktu pengembaliannya diatas 3 tahun atau 5 tahun. Biasanya kredit ini untuk investasi jangka panjang seperti perkebunan karet, kelapa sawit atau manufaktur dan untuk kredit konsumtif seperti kredit perumahan.

(19)

41 1) Kredit dengan Jaminan, kredit yang diberikan dengan suatu jaminan. Jaminan tersebut dapat berbentuk barang berwujud atau tidak berwujud atau jaminan orang. Artinya setiap kredit yang dikeluarkan akan dilindungi senilai jaminan yang diberikan si calon debitur. Contohnya kredit jaminan dokumen, kredit agunan efek, kredit agunan orang.

2) Kredit Tanpa Jaminan, merupakan kredit yang diberikan tanpa jaminan barang atau tertentu. Kredit ini diberikan dengan melihat prospek usaha dan karakter serta loyalitas atau nama baik si calon debitur selama ini.

e. Dilihat dari sektor usaha

1) Kredit Pertanian, merupakan kredit yang dibiayai untuk sektor perkebunan atau pertanian rakyat. Hal ini dapat berupa jangka pendek maupun jangka panjang.

2) Kredit Peternakan, hal ini untuk jangka pendek misalnya peternakan ayam dan jangka panjang seperti kambing dan sapi. 3) Kredit Industri, kredit untuk membiayai industri kecil, menengah,

besar.

4) Kredit Pertambangan, jenis usaha tambang yang biasanya dibiayai yaitu jangka panjang misalnya, pertambangan minyak, emas, timah.

(20)

42 5) Kredit Pendidikan, merupakan kredit yang diberikan untuk membangun sarana dan prasarana pendidikan atau dapat pula kredit untuk mahasiswa.

6) Kredit profesi, diberikan kepada professional, seperti dosen, dokter, atau pengacara.

7) Kredit Perumahan, kredit untuk membiayai pembangunan atau pembelian rumah. Kredit sektor-sektor lainnya seperti kredit ekspor-impor.43

Menurut Kasmir ada beberapa prinsip-prinsip penilaian kredit yang sering dilakukan yaitu dengan analisis 5 C, yang terdiri atas:44

a. Character, adalah sifat atau watak seseorang dalam hal ini adalah calon debitur. Tujuannya adalah untuk memberikan keyakinan kepada Bank,bahwa sifat atau watak dari orang-orang yang akan diberikan kredit benar-benar dapatdipercaya.

b. Capacity (capability), untuk melihat kemampuan calon nasabah dalam membayar kredit dihubungkan dengan kemampuan mengelola bisnis serta kemampuan mencarilaba.

c. Capital, dimana untuk mengetahui sumber-sumber pembiayaan yang dimiliki nasabah terhadap usaha yang akan dibiayai olehBank.

d. Collateral, merupakam jaminan yang diberikan calon nasabah baik

43 Wulandary, 2015, Analisis Sistem dan Prosedur Pemberian Kredit Modal Kerja pada

Pd Bpr Bank Pasar Kota Pontianak, Jurnal Kajian Ilmiah Akuntansi Fakultas Ekonomi UNTAN (KIAFA) Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, UNTAN, Vol. 4 No. 4

44

Kasmir, 2012, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hal. 95

(21)

43 yang bersifat fisik maupun non fisik. Jaminan hendaknya melebihi jumlah kredityangdiberikan.

e. Condition, dalam menilai kredit hendaknya dinilai kondisi ekonomi sekarang dan untuk di masa yang akan datang sesuai sektormasing-masing.

Kemudian penilaian kredit dengan metode analisis 7 P menurut Kasmir adalah sebagai berikut:45

1. Personality yaitu menilai nasabah dari segi kepribadiannya atau tingkah lakunya sehari-hari maupun masa lalunya. Personality juga mencakup sikap,emosi, tingkah laku, dan tindakan nasabah dalam menghadapi suatumasalah.

2. Party yaitu mengklasifikasikan nasabah ke dalam klasifikasi tertentu atau golongan-golongan tertentu berdasarkan modal, loyalitas serta karakternya.Sehingga nasabah dapat digolongkan ke golongan tertentu dan akan mendapatkan fasilitas yang berbeda daribank.

3. Purpose yaitu untuk mengetahui tujuan nasabah dalam mengambil kredit,termasuk jenis kredit yang di inginkan nasabah. Tujuan pengambilan kredit dapat bermacam-macam. Sebagai contoh apakah untuk modal kerja atauinvestasi, konsumtif atau produktif, dan lainsebagainya.

4. Prospect yaitu untuk menilai usaha nasabah di masa yang akan

45 Kasmir, Ibid, hal. 96

(22)

44 datang menguntungkan atau tidak, atau dengan kata lain mempunyai prospek atau sebaliknya. Hal ini penting mengingat jika suatu fasilitas kredit yang di biayaitanpa mempunyai prospek, bukan hanya bank yang rugi, tetapi juganasabah.

5. Payment merupakan ukuran nasabah bagaimana cara nasabah mengembalikan kredit yang telah di ambil atau dari sumber mana saja dana untuk pengembaliankredit.

6. Profitability untuk menganalisis bagaimana kemampuan nasabah dalam mencari laba. Profitability diukur dari periode ke periode apakah akan tetapsama atau akan semakin meningkat, apalagi dengan tambahan kredit yang akandiperolehnya.

7. Protection tujuannya adalah bagaimana menjaga agar usaha dan jaminan mendapatkan perlindungan. Perlindungan dapat berupa jaminan berupa jaminan barang atau orang atau jaminan asuransi.

7. Akta Kredit

Berbicara tentang alat bukti tertulis yang bersifat otentik, kita tidak bisa lepas dari ketentuan Pasal 1868 BW, yang memberikan pengertian tentang akta otentik. Pasal 1868 BW sendiri tidak menjelasan pengertian akta otentik secara detail, dan untuk mempermudah mendefinisikan makna dari masing-masing unsur yang terkadung dalam Pasal 1868 BW dapat kita kaitkan dengan pasal-pasal yang ada di dalam UUJNP, misalnya unsur pertama dikaitkan dengan Pasal 38 ayat (1), (2), (3) dan (4) UUJNP, yaitu mengenai bentuk akta. Sedangkan unsur kedua

(23)

45 dikaitkan dengan Pasal 1 ayat (1) UUJNP yang secara tegas mengatakan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik. Sedangkan unsur yang ketiga dikaitkan dengan Pasal 15 UUJNP tentang kewenangan apa saja yang dimiliki Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, dan Pasal 18 UUJNP tentang batasan wilayah dimana Notaris dapat menjalankan jabatannya.46

Pasal 1 ayat (7) UUJNP mengatakan bahwa akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris termasuk dalam kategoriakta otentik, apabila menurutbentuk dan tata cara pembuatannya telah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam UUJNP. Akta Notarisadalah akta yang proses pembuatannya dari awal, dimulai dari tindakan menghadap sampai pada akhiryaitu pada saat penandatanganan akta tersebut, semuanya tunduk pada ketentuan UUJNP.Dengan demikian, sebuah akta dapat dikatakan otentik apabila telah memenuhi unsur-unsur:

1. Dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;

2. Dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk maksud pembuatan akta tersebut;

3. Dibuat di wilayah notaris berwenang.

Kehadiran akta otentik dalam dunia perbankan erat kaitannya dengan pemberian kredit. Kegiatan pemberian kredit dilaksanakan setelah terjadi persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan calon debitor yang diawali dengan menandatangani Surat Persetujuan

46 Mudjiharto dan Ghansham Anand, 2017, Otentisitas Akta Perjanjian Kredit Dan

Pembebanan Jaminan Yang Dibuat Tanpa Kehadiran Kreditor, Al Adl Jurnal Hukum, Vol. 9 No. 3

(24)

46 Pemberian Kredit (SPPK) atau Offering Letter (OL). Setelah ada kesepakatan mengenai syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan kredit sebagaimana tertuang dalam SPPK/OL, langkah selanjutnya pihak kreditor (bank) mulai menyiapkan akta perjanjian kredit dan akta pembebanan jaminannya.

Undang-Undang Perbankan di dalam pasal-pasalnya tidak menyatakan dengan tegas bahwa suatu perjanjian kredit wajib dalam bentuk tertulis. Menurut Pasal 8 ayat 2 UU Perbankan, bank umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagai lembaga yang berwenang untuk mengawasi dan mengatur bank. Namun, dalam Penjelasannya, UU Perbankan secara tidak langsung telah menetapkan suatu pedoman perkreditan bahwa perjanjian kredit bank harus dibuat secara secara tertulis.47

Dalam praktek perbankan di luar negeri, ada kemungkinan untuk memberikan fasilitas kredit berupa cerukan (overdraft facility) tanpa adanya suatu perjanjian tertulis. Mengenai bentuk formal perjanjian kredit, Bank Indonesia Unit I48pada tahun 1966 pernah mengeluarkan instruksi kepada bank untuk memberikan kredit dengan mempergunakan akad perjanjian kredit. Menurut Sutan Remy Sjahdeini,dengan adanya kewajiban untuk membuat akad perjanjian kredit dapat ditafsirkan bahwa

47

Penjelasan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No 10 Tahun 1998 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

48Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I No. 2/539/UPK/Pemb. tanggal 8 Oktober

(25)

47 perjanjian kredit bank harus dilakukan dalam bentuk tertulis. Alasannya, kalau peraturan tersebut tidak bermaksud merujuk pada suatu perjanjian tertulis, peraturan tersebut tidak perlu menekankan istilah akad perjanjian kredit karena Hukum Perjanjian sebenarnya tetap mengakui adanya perjanjian tidak tertulis.

Dalam praktek perbankan di Indonesia, bank-bank membuat perjanjian kredit dengan dua bentuk, yaitu perjanjian kredit berupa akta di bawah tangan dan perjanjian kredit berupa akta notaris. Namun, walaupun UU Perbankan dalam Penjelasannya mewajibkan perjanjian kredit bank harus dalam bentuk tertulis, bank lebih banyak membuatnya dalam bentuk perjanjian di bawah tangan. Dengan kata lain, perjanjian tersebut dibuat tidak di hadapan pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat suatu perjanjian, dalam hal ini notaris. Perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya hanya dibuat di antara kreditur (pihak bank) dan debitur, tanpa kehadiran notaris. Lazimnya, dalam penandatanganan akta perjanjian kredit, saksi turut serta membubuhkan tandatangannya. Akan tetapi, walaupun perjanjian dibuat di bawah tangan, perjanjian tersebut tetap berlaku sah dan mengikat menurut hukum. Perbedaannya adalah perjanjian tersebut tidak dipandang sebagai alat pembuktian yang sempurna dibandingkan dengan akta otentik. Bila dikatakan otentik, maka hakim harus menerima dan menganggap apa yang dituliskan di dalam

(26)

48 akta tersebut sungguh-sungguh telah terjadi sehingga hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi.49

Notaris merupakan pejabat umum yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk membuat akta otentik. Menurut Pasal 15 ayat (1) UU Jabatan Notaris, notaris berwenang membuat akta otentik mengenai perjanjian yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Dalam menjalankan kewenangannya, notaris dituntut untuk mengetahui dan memahami seluk-beluk permasalahan hukum yang akan dihadapi dalam menjalankan tugasnya. Hal ini dapat berarti bahwa dalam membuat perjanjian, notaris harus berpedoman pada ketentuan perundangan-undangan yang berlaku. Namun, walaupun pembuatan akta otentik merupakan kewenangan notaris, ketika pihak bank menggunakan jasa notaris dalam membuat perjanjian kredit, bank umumnya meminta notaris untuk tetap berpedoman pada klausula-klausula yang baku dari pihak bank.50

Walaupun perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan maupun perjanjian kredit yang dibuat dengan akta notaris tidak memberikan

49Subekti, 1996, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, hal. 179 50Ibid, hal. 182

(27)

49 kekuatan pembuktian yang sama, pada prinsipnya perjanjian kredit tersebut memiliki fungsi yang sama, yaitu:51

a. Perjanjian kredit merupakan alat bukti bagi kreditur dan debitur untuk membuktikan adanya hak dan kewajiban yang timbal-balik antara bank sebagai kreditur dan nasabah yang meminjam sebagai debitur. b. Perjanjian kredit dapat digunakan sebagai alat bukti atau sarana

pemanfaatan atau pengawasan kredit yang sudah diberikan, karena perjanjian kredit berisi syarat dan ketentuan dalam pemberian kredit. c. Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok yang menjadi dasar dari

perjanjian ikutannya, yaitu perjanjian pengikatan jaminan.

d. Perjanjian kredit hanya sebagai alat bukti yang membuktikan adanya utang debitur dan perjanjian kredit tidak mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu tidak memberikan kekuasaan langsung kepada bank (kreditur) untuk mengeksekusi barang jaminan/agunan apabila debitur tidak mampu melunasi utangnya.

8. Batalnya Suatu Perjanjian

Pembatalan perjanjian sangat terkait dengan syarat sah dalam melakukan perjanjian, dalam arti apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat subjektif, yaitu jika perjanjian tersebut lahir karena adanya cacat kehendak atau karena ketidak cakapan sehingga akibatnya perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Apabila tidak memenuhi syarat

51Sutarno, 2003, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Bandung , Alfabeta, hal.

(28)

50 obyektif tertentu atau tidak mempunyai causa atau causanya tidak diperbolehkan sehingga berakibat perjanjian tersebut batal demi hukum.52

Pada perjanjian yang kekurangan syarat-syarat subjektifnya yang menyangkut kepentingan seseorang, yang mungkin tidak menginginkan perlindungan hukum terhadap dirinya, misalnya seseorang yang oleh undang-undang dipandang sebagai tidak cakap, mungkin sekali sanggup memikul tanggung jawab sepenuhnya terhadap perjanjian yang telah dibuatnya. Atau, seorang yang telah memberikan persetujuannya karena khilaf atau tertipu mungkin sekali segan atau malu meminta perlindunganhukum.

Adanya kekurangan mengenai syarat subjektif itu tidak begitu saja dapat diketahui oleh hakim, jadi harus diajukan oleh pihak yang berkepentingan, dan apabila diajukan kepada hakim mungkin sekali disangkal oleh pihak lawan sehingga memerlukan pembuktian. Pada perjanjian yang kekurangan syarat-syarat objektifnya yaitu tidak mengandung suatu hal tertentu dapat dikatakan bahwa perjanjian yang demikian tidak dapat dilaksanakan karena tidak jelas apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak. Keadaan tersebut dapat seketika dilihat oleh hakim. Tentang perjanjian yang isinya tidak halal, jelaslah bahwa perjanjian yang demikian tidak boleh dilaksanakan karena melanggar hukum atau kesusilaan. Hal yang demikian juga seketika dapat diketahui

52 Ifada Qurrata A’yun Amalia, 2018, Akibat Hukum Pembatalan Perjanjian Dalam

Putusan Nomor 1572 K/Pdt/2015 Berdasarkan Pasal 1320 Dan 1338 Kuh Perdata, Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune, Vol. 1 No. 1

(29)

51 oleh hakim. Dari sudut keamanan dan kertertiban, jelaslah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut harusdicegah.

B. Tinjauan Tentang Hak Tanggungan sebagai Jaminan 1. Pengertian Hak Tanggungan

Pengertian Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang–Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor yang lain.53

2. Dasar Hukum Hak Tanggungan sebagai Jaminan

Keberadaan Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pelaksanaan pasal 51 dan pasal 57 Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), dimana disebutkan bahwa hak tanggungan yang dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan tersebut dalam pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan Undang-Undang. Disini telah diamanahkan lembaga hak jaminan yang kuat yang dapat dibebankan pada hak atas tanah sebagai pengganti lembaga Hipotik dan Creditverband. Keberadaan lembaga hipotik dan creditverband yang

53 Eka Septiyaningsih, 2017, Tinjauan Pustaka Tentang Hak Tanggungan, Hak Atas

(30)

52 merupakan produk zaman kolonial Belanda dalam kenyataannya tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam bidang perbankan khususnya dalam bidang perkreditan dan jaminan kredit dan juga dengan berlakunya UUHT maka ketentuan mengenai hipotik dan crdeitverband sebagaimana tersebut dalam Buku II BW sepanjang mengenai pembebanan hak tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi. Khusus mengenai hipotikyang tidak berlaku lagi hanya yang menyangkut pembebanan hipotik atas hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah.

Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang ditunjuk sebagai hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan kredit dengan dibebani hak tanggungan adalah hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan, sebagai hak yang wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Terhadap hak pakai dalam UUPA tidak ditunjuk sebagai objek hak tanggungan karena hak pakai tidak termasuk dalam hak-hak yang wajib didaftarkan sehingga tidak memenuhi asas publisitas untuk dapat dijadikan jaminan utang. Namun dalam perkembangannya dengan UUHT hak pakai atas tanah negarapun dapat didaftarkan dan hak pakai yang didaftarkan itu menurut sifat dan kenyataannya dapat dipindahtangankan.54

54 St. Nurjannah, 2018, Eksistensi Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Hak Atas

Tanah (Tinjauan Filosofis), Jurnal Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Vol. 5 No. 1, hal. 196

(31)

53

3. Ciri-ciri dan Sifat Hak Tanggungan

a. Ciri-Ciri HakTanggungan

Berdasarkan angka 3 Penjelasan Umum dari Undang-Undang Hak Tanggungan disebutkan bahwa Hak Tanggungan sebagai lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat harus mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 55

1) Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya (droit de preference). Dalam batang tubuh Undang-Undang Hak Tanggungan, hal iniditegaskan dalam Pasal 1 ayat 1 dan Pasal 20 ayat (1). Apabila debitor cidera janji (wanprestasi), maka debitor pemegang hak tanggungan berhak menjual tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut melalui pelelangan umum dengan hak mendahului dari kreditor yang lain

2) Selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapapun objek itu berada (droitdesuite), hal ini ditegaskan dalam Pasal 7. Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Meskipun objek Hak Tanggungan telah berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain, namun kreditor masih tetap dapat menggunakan haknya untuk melakukan eksekusi apabila debitor cidera janji (wanprestasi).

3) Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat

55Penjelasan Umum, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

(32)

54 mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yangberkepentingan.

4) Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, hal ini diatur dalam Pasal 6. Apabila debitor cidera janji (wanprestasi), maka kreditor tidak perlu menempuh acara gugatan perdata biasa yang memakan waktu dan biaya yang tidaksedikit. Kreditor pemegang Hak Tanggungan dapat menggunakan haknya

untuk menjual objek hak tanggungan melalui pelelangan umum. Selain melalui pelelangan umum berdasarkan Pasal 6 eksekusi objek hak tanggungan juga dapat dilakukan dengancara “parate

executie” sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR danPasal 158

RBg bahkan dalam hal tertentu penjualan dapat dilakukan dibawah tangan.56Dismaping memiliki empat ciri di atas Hak Tanggungan juga mempunyai beberapapa sifat seperti :57

a. Hak Tanggungan tidak dapatdibagi-bagi

Tidak dapat dibagi-bagi (pasal 2 UUHT) Meskipun sifat hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi, artinya hak tanggungan membenani obyek secara utuh, namun sifat ini tidak berlaku mutlak dengan pengecualian dimungkinkan roya parsial, sepanjang diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).

56

Boedi Harsono, 2000, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang- Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Jakarta, Djambatan, hal. 420

57 Ignatius Ridwan, 1996, Hak Tanggungan Atas Tanah, Semarang , Badan Penerbit

(33)

55 b. Hak Tanggungan bersifat accesoir

Bersifat accesoir atau perjanjian buntutan/ikutan, maksudnya perjanjian jaminan utang atas hak tanggungan tidak berdiri sendiri karena ikut pada perjanjian pokok yaitu perjanjian utang-piutang, apabila perjanjian pokok hapus atau batal, maka otomatis perjanjian accesoir menjadi hapus pula.

Hak tanggungan tidak dapat berdiri sendiri tanpa didukung oleh suatu perjanjian (perjanjian kredit) antara debitor dan kreditor. Dalam perjanjian itu diatur tentang hubungan hukum antara kreditor dan debitor, baik menyangkut besarnya jumlah kredit yang diterima oleh debitor, jangka waktu pengembalian kredit, maupun jaminan yang nantinya akan diikat dengan hak tanggungan. Oleh karena hak tanggungan tidak dapat dilepaskan dari perjanjian kredit, itulah sebabnya maka hak tanggungan dikatakan accessoir (mengikuti) perjanjian pokoknya.58

4. Subjek Hak Tanggungan

Dalam Hak Tanggungan juga terdapat subjek hukum yang menjadi hak tanggungan yang terkait dengan perjanjian pemberi Hak Tanggungan. Undang-Undang Hak Tanggungan memuat ketentuan mengenai Subjek Hak Tanggungan dalam Pasal 8 dan Pasal 9, yaitu sebagai berikut :

a. Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum

58 St. Nurjanah, Op.cit, hal. 200

(34)

56 terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan itu dilakukan.

b. Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.

Yang dapat menjadi subjek Hak Tanggungan selain Warga Negara Indonesia, dengan ditetapkannya Hak Pakai atas Tanah Negara sehingga salah satu objek Hak Tanggungan, bagi Warga Negara Asing juga dimungkinkan untuk dapat menjadi Hak Tanggungan apabila memenuhi syarat.59

5. Objek Hak Tanggungan

Berdasarkan Undang-Undang Hak Tanggungan, objek yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Dalam Pasal 4 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut dijelaskan bahwa hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah sebagai berikut :60

a. Hak Milik; b. Hak Guna Usaha; c. Hak Guna Bangunan;

d. Hak Pakai atas Tanah Negara, yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindah tangankan;

59

Adrian Sutedi SH., MH., 2010, Hukum Hak Tanggungan, Jakarta, Cetakan pertama Sinar Grafika, hal 54

60 Pasal 4, Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang HakTanggungan Atas Tanah

(35)

57 e. Hak-hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah.

6. Proses Pembebanan Hak Tanggungan

Tahap pembebanan hak tanggungan didahului dengan janji akan memberikan hak tanggungan. Menurut Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan, janji tersebut wajib dituangkan dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian utang piutang. Proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan dalam dua (2) tahap, yaitu tahap pembebanan hak tanggungan dan tahap pendaftaran hak tanggungan, yaitu sebagai berikut :61

a. Tahap Pembebanan HakTanggungan.

Menurut Pasal 10 Ayat (2) Undang-Undang hak tanggungan:

“pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah, sebagai bukti perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak dalam daerah kerjanya masing-masing;

b. Tahap Pendaftaran HakTanggungan

61 Sutardja Suadrajat, 1997, Pendaftaran Hak Tanggungan dan Penerbitan Sertifikatnya,

(36)

58 Berdasarkan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan, pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Pasal 13 ayat (2) memutuskan bahwa selambat-lambatnya tujuh (7) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pembuatan Hak Tanggungan (APHT), PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan. Pasal 13 ayat (4) menyatakan tanggal buku tanah Hak Tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan pada Pasal 13 ayat (5) menyatakan Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah Hak Tanggungan.

Dengan demikian dari rumusan Pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut dapat diketahui bahwa Hak Tanggungan lahir pada saat pendaftaran Hak Tanggungan pada Buku Tanah hak atas tanah yang dibebankan dengan Hak Tanggungan.62

7. Eksekusi Hak Tanggungan

Salah satu ciri Hak Tanggungan adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, jika pada suatu saat debitur cidera janji. Eksekusi Hak Tanggungan sendiri diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Hak Tanggungan, yang mengatur sebagai berikut :63

Pasal 20 Ayat (1) “ Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan :

62

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2005, Hak Tanggungan, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, hal. 214

63 Pasal 20 ayat (1), (2), (3), Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

(37)

59

a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,atau;

b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat(2), objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan pilainnya utang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor”.

Pasal 20 ayat (2) :

“Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan objek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak”.

Pasal 20 ayat (3) :

“Pelaksanaan penjualan sebagaimana yang dimaksud pada yang dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak dberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut, eksekusi Hak Tanggungan dapat dilakukan melalui 3 (tiga) cara,

(38)

60 yaitu :64

a. Pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan;

b. Eksekusi atas titel eksekutorial yang terdapat pada Sertifikat Hak Tanggungan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2). Irah-Irah (Kepala Putusan) yang dicantumkan pada Sertipikat Hak

Tanggungan memuat kata-kata “DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, dimaksudkan untuk menegaskan adanyakekuatan eksekutorial pada sertifikat hak tanggungan, sehingga apabila debitor cidera janji, siap untuk di eksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melalui tata cara dan dengan menggunakan lembaga parate execute sesuai dengan Hukum Acara Perdata;

c. Eksekusi dibawah tangan, yaitu penjualan objek hak tanggungan yang dilakukan oleh Pemberi Hak Tanggungan, berdasarkan kesepakatan dengan pemegang hak tanggungan, jika dengan cara ini akan diperoleh harga yang tertinggi.

8. Hapusnya Hak Tanggungan

Dalam Pasal 18 Undang-Undang Hak Tanggungan diatur sebab-sebab hapusnya hak tanggungan sebagai berikut:65

64 Pasal 20 Undang-Undang Hak TanggunganAtas Tanah Beserta Benda-Benda Yang

(39)

61 a. Hapusnya hutang yang dijamin dengan haktanggungan;

b. Dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan; c. Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh

Ketua Pengadilan Negeri;

d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani haktanggungan.

Dasar yang disebutkan pertama tersebut di atas adalah sesuai dengan sifat accessoir dari suatu jaminan. Yang dimaksud dengan “hutang” adalah hutang dalam perikatan pokoknya, sedang “hapus” disini berarti tidak hanya karena pembayaran saja atau pelunasan, tetapi meliputi semua sebab yang disebutkan dalam Pasal 1381 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata Indonesia kalau perikatan pokoknya hapus maka

accesoir-nya juga hapus demi hukum.

Dalam Pasal 18 ayat 2 UUHT diatur, hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan. Juga disebutkan dalam Pasal 18 ayat 3 bahwa hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban HakTanggungan.

65 Pasal 18 ayat (2) dan (3), Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

(40)

62 Yang dimaksud dengan pembersihan adalah pembersihan dari sisa beban hak tanggungan yang menindih objek hak tanggungan. Kalau sisa beban hak tanggungan dibersihkan, maka tidak ada lagi beban tanggungan yang melekat pada objek hak tanggungan. Pembersihan bisa terjadi dalam suatu penentuan peringkat kreditor dalam suatu kepailitan– kepailitannya pemberi jaminan, tetapi yang dimaksud di sini adalah tuntutan pembersihan yang datang dari seorang pembeli-lelang. Pada ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUHT, seorang pembeli objek hak tanggungan dalam suatu lelang baik lelang eksekusi maupun lelang sukarela, dapat minta pembersihan objek hak tanggungan yang dibelinya dari sisa beban, yang jumlahnya melebihi harga pembelian,66sehingga pembeli lelang akan menjadi pemilik objek lelang bersih dari segala beban.

C. Tinjauan Tentang Lelang Hak Tanggungan 1. Pengertian Lelang

Pengertian Lelang menurut Vendu Reglement Stbl. Tahun 1908 No. 189 diubah dengan Stbl. Tahun 1940 No. 56 :

“Penjualan Umum” adalah : Pelelangan atau penjualan barang- barang yang dilakukan kepada umum dengan harga penawaran yang meningkat atau menurun atau dengan pemasukan harga dalam sampul tertutup, atau kepada orang-orang yang diundang atau sebelumnya diberitahu mengenai pelelangan atau penjualan itu, atau diijinkan untuk ikut serta dan diberi

66 Pasal 19 ayat (1), Undang-Undang No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas

(41)

63 kesempatan untuk menawar harga, menyetujui harga yang ditawarkan atau memasukkan harga dalam sampul tertutup.67

Kemudian sesuai dengan perkembangan, pengertian lelang dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013, yang menyatakan :68

“Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan Pengumuman Lelang.”

2. Dasar Hukum Pelaksanaan Lelang

Dasar hukum pelaksanaan lelang di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), antara lain yaitu :

a. Vendu Reglement (Peraturan Lelang) yang dimuat dalam Staatsblaad nomor 189 tahun 1908 sebagaimana telah beberapa kali diubah dan terakhir dengan staatsblaad nomor 3 tahun 1941. Vendu Reglement mulai berlaku tanggal 1 April 1908, merupakan peraturan yang mengatur prinsip-prinsip pokok tentang lelang.

b. Vendu Instructie (Instruksi Lelang) Staatsblaad nomor 190 tahun 1908 sebagaimana telah beberapa kali diubah dan terakhir dengan

67 Ngadijarno F.X., 2008, Badan Lelang; Teori dan Praktek, Jakarta, Departemen

Keuangan Republik Indonesia. Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, hal. 20

68 Pasal 1 angka (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Lelang perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013

(42)

64 staatsblaad nomor 85 tahun 1930. Vendu Instructie merupakan ketentuan-ketentuan yang melaksanakan Vendu Reglement.

c. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016 berkaitan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013 atas perubahan Peraturan Meteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang

d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113/PMK.06/2019 atas perubahan Peraturan Menteri Keuanngan Nomor 160/PMK.06/2013 atas perubahan Peraturan Meteri Keuangan Nomor 176/PMK.06/2010 Tentang Balai Lelang

e. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.06/2013 atas perubahan Peraturan Meteri Keuangan Nomor 174/PMK.06/2010 Tentang Pejabat Lelang Kelas I

f. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 159/PMK.06/2013 atas perubahan Peraturan Meteri Keuangan Nomor 175/PMK.06/2010 Tentang Pejabat Lelang Kelas II

3. Asas-asas Lelang

Secara normatif sebenarnya tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur asas lelang, namun apabila dicermati klausul-klausul dalam peraturan perundang-undangan di bidang lelang dapat ditemukan asas lelang dimaksud. Asas-asas lelang yang dimaksud antara lain :69 a. Asas Keterbukaan

(43)

65 Asas keterbukaan menghendaki agar seluruh lapisan masyarakat mengetahui adanya rencana lelang dan mempunyai kesempatan yang sama untuk mengikuti lelang sepanjang tidak dilarang oleh undang-undang. Oleh karena itu, setiap pelaksanaan lelang harus didahului dengan pengumuman lelang. Asas ini juga untuk mencegah terjadinya praktik persaingan usaha tidak sehat, dan tidak memberikan kesempatan adanya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). b. Asas Persaingan

Asas persaingan mengandung makna bahwa dalam proses pelaksanaan lelang setiap peserta atau penawar diberikan kesempatan yang sama untuk bersaing dalam mengajukan penawaran harga tertinggi atau setidaknya mencapai dan/atau melampaui nilai limit dari barang yang akan dilelang dan ditetapkan oleh penjual atau pemilik barang. Pada dasarnya penawaran tertinggi dari barang yang akan dilelang disahkan oleh Pejabat Lelang sebagai pembeli lelang.

c. Asas Keadilan

Asas keadilan mengandung pengertian bahwa dalam proses pelaksanaan lelang harus dapat memenuhi rasa keadilan secara proposional bagi setiap pihak yang berkepentingan. Asas ini mencegah terjadinya keberpihakan Pejabat Lelang kepada peserta lelang tertentu atau berpihak hanya pada kepentingan penjual.

(44)

66 Asas kepastian hukum mengehndaki agar lelang yang telah dilaksanakan menjamin adanya perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan lelang. Setiap pelaksanaan lelang dibuat Risalah Lelang oleh Pejabat Lelang yang merupakan akta autentik. Risalah Lelang digunakan penjual atau pemilik barang, pembeli, dan Pejabat Lelang untuk mempertahankan dan melaksanakan hak dan kewajibannya.

e. Asas Efisiensi

Asas efisiensi akan menjamin pelaksanaan lelang dilakukan dengan cepat dan biaya yang relatif murah karena lelang dilakukan pada tempat dan waktu yang telah ditentukan dan pembeli disahkan pada saat itu juga.

f. Asas Akuntabilitas

Asas akuntabilitas menghendaki agar lelang yang dilaksanakan oleh Pejabat Lelang dapat dipertanggungjawbakan kepada semua pihak yang berkepentingan. Pertanggungjawaban pejabat lelang meliputi administrasi lelang dan pengelolaan uang lelang.

4. Syarat-syarat Lelang

Permohonan Lelang harus diajukan secara tertulis oleh Penjual/Pemilik Barang kepada Kepala KPKNL, untuk Lelang Eksekusi, Noneksekusi Wajib dan Non Eksekusi Sukarela. Dengan

(45)

67 dilengkapidokumen persyaratan lelang yang bersifat umum dan khusus sebagai berikut :70

a. Dokumen Persyaratan Lelang bersifat Umum :

1) Salinan/fotokopi Surat Keputusan Penunjukan Penjual/Surat Tugas Penjual/Surat Kuasa Penjual, kecuali Pemohon Lelang adalah perorangan, atau Perjanjian/Surat Kuasa penunjukan Balai Lelang sebagai pihak Penjual;

2) Daftar barang yang akan dilelang, kecuali untuk lelang kayu dan hasil hutan lainnya dari tangan pertama;

3) Surat persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan, dalam hal objek lelang berupa tanah dan/atau bangunan dengan dokumen kepemilikan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai di atas tanah Hak Pengelolaan;

4) Informasi tertulis yang diperlukan untuk penyerahan/penyetoran hasil bersih lelang berupa:

a) Data yang diperlukan untuk pengisian SSBP sekurang-kurangnya meliputi kode Satuan Kerja Penjual, kode KPPN, NPWP, kode MAP, apabila hasil bersih lelang sesuai ketentuan harus disetorkan langsung ke Kas Negara oleh Bendahara Penerimaan; atau

b) Nomor rekening Penjual atau surat pernyataan bermeterai cukup dari Penjual yang menerangkan tidak mempunyai

70Pasal 6 angka 10 Perdirjen KN 2/KN/2017

(46)

68 rekening khusus dan bersedia mengambil atau menerima hasil bersih lelang dalam bentuk cek tunai atas nama Pejabat Penjual, apabila hasil bersih harus disetorkan ke Pemohon Lelang;

SSBP = Surat Setoran Bukan Pajak

KPPN = Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara

NPWP = Nomor Pokok Wajib Pajak

MAP = Mata Anggaran Penerimaan

5) Surat keterangan dari Penjual mengenai syarat lelang tambahan (apabila ada), sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, yaitu:

a) Jangka waktu bagi Peserta Lelang untuk melihat, meneliti secara fisik barang yang akan dilelang

b) Jangka waktu pengambilan barang oleh Pembeli; dan/atau c) Jadwal penjelasan lelang kepada Peserta Lelang sebelum

pelaksanaan lelang (aanwijzing);

6) Surat keterangan dari Penjual mengenai syarat lelang tambahan selain yang diatur dalam angka 5 (apabila ada) berikut peraturan perundang-undangan yang mendukungnya;

7) Surat penetapan nilai limit dari Penjual, dalam hal lelang menggunakan nilai limit;

(47)

69 8) Surat pernyataan/surat keterangan dari Penjual bahwa objek lelang dalam penguasaan Penjual, dalam hal objek lelang berupa barang bergerak yang berwujud; dan

9) Foto objek lelang dalam hal lelang melalui internet, kecuali lelang kayu dan hasil hutan lainnya dari tangan pertama dan lelang barang bergerak dengan kuantitas banyak, foto dapat berupa sampel yang mewakil.

b. Dokumen Persyaratan Lelang bersifat Khusus 1) Salinan/fotokopi Perjanjian Pokok;

2) Salinan/fotokopi Sertifikat Jaminan Fidusia dan Akta Jaminan Fidusia;

3) Salinan/fotokopi Perincian Hutang/jumlah kewajiban debitor yang harus dipenuhi;

4) Salinan/fotokopi bukti bahwa:

a) Debitor wanprestasi, antara lain surat-surat peringatan; atau b) Debitor telah pailit, berupa: putusan pailit; dan salinan

Penetapan/keterangan tertulis dari Hakim Pengawas atau Berita Acara Rapat Kreditor yang ditandatangani oleh Kurator dan Hakim Pengawas yang berisi dimulainya keadaan insolvensi; atau

c) Debitor merupakan Bank Dalam Likuidasi (BDL), Bank Beku Operasional (BBO), Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU), atau Eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN);

(48)

70 5) Surat pernyataan/surat keterangan dari Penjual bahwa barang yang akan dilelang dalam penguasaan Penjual, kecuali objek lelang merupakan benda tidak bergerak berupa bangunan yang menurut ketentuan dibebani fidusia;

6) Surat pernyataan dari kreditor selaku Pemohon Lelang yang isinya akan bertanggung jawab apa bila terjadi gugatan perdata dan/atau tuntutan pidana;

7) Asli dan/atau fotokopi bukti kepemilikan/hak; dan

8) Salinan/fotokopi Laporan penilaian/penaksiran atau dokumen ringkasan hasil penilaian/penaksir an yang memuat tanggal penilaian/penaksiran, dalam hal nilai limit kurang dari Rp 1.000.000.000,00; atau

9) Salinan/fotokopi Laporan penilaian atau dokumen ringkasan hasil penilaian yang memuat tanggal penilaian, dalam hal nilai limit paling sedikit Rpl.000.000.000,00.

c. Dokumen Khusus Pelaksanaan Lelang

1) Salinan/fotokopi surat pemberitahuan rencana pelaksanaan lelang kepada debitor oleh kreditor, yang diserahkan ke KPKNL sebelum lelang dilaksanakan. Dalam hal pemilik jaminan bukan debi tor maka pemberitahuan rencana pelaksanaan lelang juga disampaikan kepada pemilik jaminan;

Referensi

Dokumen terkait

Bersujud dan berlutut, dia berkata, "Yang Mulia, saya telah membawa relik, patta, dan jubah guru saya." Ketika Ananda mendengar perkataan bhikkhu itu, beliau sangat sedih

berkaitan dengan puisi. 3) Siswa dan guru berdiskusi tentang teknik mind mapping tersebut. 4) Siswa dan guru membuat mind mapping dari kata “laut”. 5) Siswa dan guru membuat puisi

Kekayaan jenis berjumlah 35 herpetofauna dari empat tipe habitat yaitu hutan alam, hutan produksi terbatas, kebun albasia dan persawahan di kawasan Ketenger-Baturraden telah

Tabel 5.3 Realisasi Pendapatan Pemerintah Kabupaten Minahasa Menurut Jenis Pendapatan (juta rupiah), 2012-2015. Sumber: Kabupaten Minahasa Dalam Angka

 Kartu unggah- ungguh merupakan kartu dimana di dalamnya digambarkan suatu gambar yang termasuk unggah- ungguh dan yang bukan unggah- ungguh.  Kartu unggah- ungguh

Karakteristik substrat maupun sedimennya pada Kawasan Pantai Ujong Pancu sendiri memiliki karateristik sedimen yang didominasi oleh pasir halus dimana pada

rumusan penelitian ini adalah “adakah hubungan tingkat kemampuan a ktivitas dasar sehari- hari dengan tingkat depresi pada lansia di Panti Wredha Budhi Dharma

Orang-orang martir menjadi dorongan bagi perluasan Injil pada masa itu, hal ini juga mendorong dengan munculnya orang-orang besar yang berjuang seperti para Apostolic