• Tidak ada hasil yang ditemukan

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE SERTA TUJUANNYA DALAM DIALOG INTERAKTIF REPUBLIK SENTILAN SENTILUN METRO TV PERIODE JANUARI FEBRUARI 2017 SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ALIH KODE DAN CAMPUR KODE SERTA TUJUANNYA DALAM DIALOG INTERAKTIF REPUBLIK SENTILAN SENTILUN METRO TV PERIODE JANUARI FEBRUARI 2017 SKRIPSI"

Copied!
184
0
0

Teks penuh

(1)

i

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE SERTA TUJUANNYA DALAM DIALOG INTERAKTIF REPUBLIK SENTILAN SENTILUN METRO TV

PERIODE JANUARI – FEBRUARI 2017 SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Disusun oleh: Maria Kiki Adhy S

131224027

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2018

(2)
(3)
(4)

iv MOTTO

Dia memberi kekuatan kepada yang lelah dan menambah semangat kepada yang tiada berdaya.

(Yesaya 40:29)

Kau tak akan pernah mampu menyebrangi lautan sampai kau berani berpisah dengan daratan.

(Christoper Colombus)

Sebab Tuhan tahu mana yang akan singgah, serta mana yang akan hidup dan tetap tinggal di hidupmu.

(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan kepada:

Tuhan Yesus Kristus yang senantiasa memberkati dan memberi berkat dalam setiap langkah saat proses pembuatan karya ini.

Kedua orang tua, IPTU. Aloysius Setyo Haryanto dan Maria Tri Handayani yang selalu memberikan doa dan semangat dalam menjalani proses dalam hidup. Kakak tersayang Dominicus Noven Adi Prasetyo dan Angela Merici Ellya Mega

Mustika yang selalu memberi doa, semangat dan dukungan dalam setiap pilihan langkah saya.

Keluarga Besar Eyang Oe.Widyo Utomo dan Drs.Titus Ngadiman yang telah memberi dukungan hingga karya ini dapat terselesaikan dengan baik. Kekasih hati tersayang Alm. Metadius David Revi Prakosa yang sampai tutup usia

selalu memberi semangat serta dorongan untuk terus berjuang untuk menyelesaikan karya ini.

Keluarga Bapak Paulus Tavip Mursono dan Ibu Endang Retnaningsih Adik tersayang Dionisia Devi Revita Destu yang selalu mengingatkan untuk tidak

putus asa dalam menyelesaikan karya ini.

Sahabat terbaik Laurencia Dina Dwi Rahmawati, Vicka Septianingsih Repi, Faradhita Dian, Fransisca Kumala, Indah Rahayu, Natalia Kartika, Riska Safitri,

Yuliana Herwinda, Lukas Budi Husada, Timotius Tri, Alfonsius Lintang, dan Andreas Novian, kalian adalah bagian terhebat dalam hidupku.

Teman-teman PBSI 2013 Kelas A dan B yang sama-sama berjuang untuk menyelesaikan karya ini, kalian luar biasa.

(6)

vi ABSTRAK

Setyani, Maria Kiki Adhy. 2018. Alih Kode dan Campur Kode Serta Tujuannya dalam Dialog Interaktif Republik Sentilan Sentilun Metro TV Periode Januari-Februari 2017. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini membahas tentang wujud alih kode (AK) dan campur kode (CK), serta tujuan terjadinya AK dan CK dalam acara dialog interaktif. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan wujud (AK) dan (CK), tujuan terjadinya AK dan CK dalam acara dialog interaktif Republik Sentilan Sentilun Metro TV. Subjek dalam penelitian ini adalah tokoh-tokoh yang ada dalam acara dialog interaktif Republik Sentilan Sentilun Metro TV.

Penelitian alih kode dan campur kode dalam acara dialog interaktif Republik Sentilan Sentilun Metro TV ini termasuk dalam penelitian deskriptif kualitatif, karena penelitian ini berisi tuturan yang mengandung AK dan CK. Penelitian ini juga memaparkan tujuan terjadinya alih kode dan campur kode pada dialog interaktif Republik Sentilan Sentilun. Metode pengumpulan data yang digunakan peneliti yaitu metode rekam, metode simak, dan metode catat. Dalam analisis data penelitian ini menggunakan metode kontekstual. Metode kontekstual ini terperinci pada konteks Sosiolinguistik. Sebuah konteks yang memerantikan dimensi-dimensi konteks sosial seperti percakapan sehari-hari dalam masyarakat, penggunaan ragam baku, serta dialek-dialek kedaerahan yang digunakan sebagai media mengidentifikasi data, klasifikasi data, dan menginterpretasi data.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa wujud alih kode yang terdiri 7 tuturan alih kode internal dan 10 tuturan alih kode eksternal. Wujud campur kode yang terdiri dari 29 tuturan campur kode ke dalam dan 22 tuturan campur kode keluar. Selain itu, adapun tujuan terjadinya AK dan CK dalam acara dialog interaktif Republik Sentilan Sentilun Metro TV yaitu untuk menjelaskan sesuatu, untuk memberitahukan sesuatu, perubahan topik pembicaraan, kebiasaan penutur, untuk membangkitkan rasa humor, sekedar bergengsi, untuk menunjukkan kedekatan penutur dan mitra tutur, untuk menunjukkan keterpelajarannya, dan untuk mempertegas sesuatu.

(7)

vii ABSTRACT

Setyani, Maria Kiki Adhy. 2018. Code-Switching and Code-Mixing and Their

Purposes in the Interactive Dialogues of Republik Sentilan Sentilun on Metro TV in January–February 2017. Undergraduate Thesis. Yogyakarta:

Indonesian, Local Language and Literature Education Program, Department of Languages and Arts Education, Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University.

This research discusses the forms of code-switching (CS) and code-mixing (CM), as well as the purposes of CS and CM in interactive dialogue. This research aims to describe and explain the forms of CS and CM as well as the purposes of CS and CM in interactive dialogues of Republik Sentilan Sentilun on Metro TV. The subjects in this research are the characters in the interactive dialogues of Republik Sentilan Sentilun on Metro TV.

This research on the code-switching and code-mixing in the interactive dialogues of Republik Sentilan Sentilun on Metro TV is a qualitative descriptive research, as it discusses utterances that display CS and CM. This research also elaborates the purposes of code-switching and code-mixing in the interactive dialogues of Republik Sentilan Sentilun. The data collection methods employed by the researcher are recording, listening, and note-taking. In terms of data analysis, this research uses contextual method, which is detailed in the context of sociolinguistics. A context that takes into account social contextual dimensions such as daily conversations in society, the use of standard variation, as well as regional dialects is used as a medium for identifying, classifying, and interpreting data.

The results of this research indicate that the forms of code-switching are 7 utterances of internal switching and 10 utterances of external switching. The forms of mixing are 29 inner mixing and 22 outer code-mixing. In addition, the purposes of CS and CM in the interactive dialogues of Republik Sentilan Sentilun on Metro TV are explaining something, informing about something, changing topic of conversation, the habits of the speakers, generating sense of humor, mere prestige, showing intimacy between speakers, showing one’s learnedness, and reinforcing something.

(8)
(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa memberi berkat dan kasih, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Alih Kode dan Campur Kode Serta Tujuannya Dalam Acara Dialog Interaktif Republik Sentilan Sentilun Metro TV Periode Januari – Februari 2017”. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk menyelesaikan studi dalam kurikulum Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI), Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni (JPBS), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini berhasil diselesaikan karena bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Yohanes Harsoyo, S.Pd., M.Si. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

2. Rishe Purnama Dewi S.Pd. M.Hum. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia yang telah membantu kelancaran penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Danang Satria Nugraha, M.A. selaku Wakil Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia yang telah membantu dan mendukung penulis.

4. Prof. Dr. Pranowo, M.Pd. sebagai dosen pembimbing yang dengan sabar, bijaksana, dan penuh perhatian dalam membimbing, mengarahkan, memotivasi, dan memberikan berbagai masukan yang sangat berharga bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Seluruh dosen Program Studi PBSI yang penuh dedikasi mendidik, mengarahkan, membimbing, membagi ilmu pengetahuan, memberikan dukungan, dan bantuan kepada penulis dari awal perkuliahan sampai selesai.

(11)
(12)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... viii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.5 Batasan Istilah ... 6

1.6 Sistematika Penulisan ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori ... 11 2.1.1 Sosiolinguistik ... 11 2.1.2 Kode…... 13 2.1.3 Variasi Bahasa ... 14 2.1.4 Alih Kode ... 21 2.1.5 Campur Kode ... 26 2.1.6 Tuturan…... 32

(13)

xiii 2.1.7 Interferensi ... 33 2.1.8 Kedwibahasaan………... 34 2.1.9 Kontak Bahasa ... 37 2.1.10 Konteks... 38 2.1.11 Kerangka Berpikir ... 39

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 40

3.2 Sumber Data dan Data Penelitian ... 40

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 40

3.3.1 Rekam ... 41

3.3.2 Simak ... 41

3.3.3 Catat ... 41

3.4 Instrumen Penelitian ... 42

3.5 Teknik Analisis Data ... 43

3.6 Triangulasi ... 44

BAB IV HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Data ... 45

4.2 Analisis Data ... 46

4.2.1 Wujud Alih Kode Internal ... 47

4.2.1.1 Alih Kode Internal Antarragam ... 49

4.2.1.2 Alih Kode Internal Antarbahasa ... 50

4.2.2 Wujud Alih Kode Eksternal ... 54

4.2.3 Wujud Campur Kode ke Dalam ... 58

4.2.4 Wujud Campur Kode ke Luar ... 63

4.2.5 Tujuan Alih Kode ... 68

4.2.6 Tujuan Campur Kode ... 77

(14)

xiv BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan ... 94 5.2 Saran ... 96 DAFTAR PUSTAKA ... 97 LAMPIRAN ... 99 BIOGRAFI PENULIS ... 168

(15)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bahasa merupakan sarana komunikasi yang penting bagi masyarakat. Begitu juga dengan dunia pendidikan, bahasa merupakan alat atau sarana komunikasi dalam proses belajar mengajar. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri (Kridalaksana, 1983). Oleh karena itu, dalam dunia pendidikan bahasa itu menjadi alat utama dalam penyampaian materi dan sarana interaksi guru dengan siswa. Bahasa digunakan oleh masyarakat tutur untuk menyampaikan segala informasi supaya mereka dapat memahami apa yang telah disampaikan oleh seorang penutur. Bahasa juga dapat digunakan oleh manusia di segala bidang kehidupannya. Dengan demikian, bahasa digunakan sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan pesan atau maksud pembicara kepada pendengar (Nababan, 1984:66).

Penggunaan bahasa di Indonesia tidak berhenti pada satu varian bahasa. Di dalam masyarakat multilingual penggunaan bahasa Indonesia yang tidak sesuai dengan kaidah yang diberlakukan kadang-kadang mengakibatkan terjadinya campur kode. Dengan adanya penggunaan bahasa Indonesia yang tidak sesuai kaidah tersebut, muncul ragam campur kode. Campur kode menurut Nababan (1984:32) suatu keadaan berbahasa lain ialah bilamana orang mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa (speech act atau

(16)

discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut

pencampuran bahasa itu. Dari pernyataan tersebut dapat dinyatakan bahwa pencampuran bahasa tidak dipengaruhi oleh situasi bahasa. berdasarkan konsep Nababan mengenai campur kode, situasi tutur tidak berperan penting dalam mempengaruhi campur kode, melainkan kesantaian dan kebiasaaanlah yang menentukan atau mempengaruhi seseorang dalam melakukan campur kode.

Menurut Appel (dalam Chaer dan Agustina, 2010: 107) alih kode adalah gejala penutur menyelipkan serpihan-serpihan bahasa daerah atau bahasa asing. Penggunaan serpihan-serpihan bahasa daerah dan bahasa asing dalam sebuah tuturan biasanya disadari oleh penuturnya. Alasan penutur menggunakan kata-kata dalam bahasa asing atau daerah yaitu bertujuan untuk mempermudah penutur untuk menjelaskan maksud tuturannya.

Pada acara Dialog Interaktif Republik Sentilan Sentilun tidak jarang muncul fenomena alih kode dan campur kode. Keberagaman bahasa menjadi salah satu penunjang munculnya alih kode dan campur kode dalam komunikasi antara yang satu dengan yang lain. Selain itu, penguasaan dan penggunaan bahasa yang lebih dari satu akan mengakibatkan kedwibahasaan dalam komunikasi. Kedwibahasaan atau bilingualisme secara sosiolinguistik ialah pemakaian dua bahasa oleh seorang penutur atau masyarakat ujaran Hartman dan Strok (dalam Pranowo, 1996: 7).

Jika melihat batasan bilingualisme atau kedwibahasaan yang dipaparkan oleh Bloomfield ( dalam Aslinda, 2007:23), seseorang dapat disebut sebagai bilingual apabila mampu menggunakan B1 (bahasa pertama atau bahasa ibu) dan B2 (bahasa kedua) dengan sama baiknya. Namun, tidak semua orang dapat

(17)

menggunakan bahasa pertama maupun bahasa kedua dengan baik. Permasalahan yang kerap muncul yaitu kemungkinan seseorang dapat menggunakan B2-nya dengan kualitas yang sama baik dengan penggunaan B1-nya. Jika melihat penutur yang mampu menguasai B2-nya sama baik dengan B1-nya, maka penutur tersebut tentunya mempunyai kesempatan yang sama untuk mempelajari dan menggunakan kedua bahasa tersebut.

Republik Sentilan Sentilun merupakan salah satu acara dialog interaktif yang

dibawakan oleh Butet Kertaradjasa dan Slamet Rahardjo. Tayangan ini merupakan sarana untuk menyampaikan aspirasi rakyat dan kritikan untuk pemerintahan Indonesia. Bahasa yang digunakan dalam acara ini pun mengandung humor-humor yang sesekali menyentil kehidupan pemerintahan negeri ini. Acara yang tayang setiap hari Sabtu, pukul 20.30 WIB di Metro TV ini memiliki durasi tayangan 90 menit. Bintang tamu pada acara Republik Sentilan

Sentilun selalu berganti setiap episodenya. Perbedaan penguasaan bahasa yang

dimiliki oleh bintang tamu dengan pembawa acara mejadi salah satu tanda-tanda kemunculan alih kode dan campur kode. Selain itu, wujud dari alih kode dan campur kode tersebut dapat berupa kata, frasa, pengulangan kata. Bentuk-bentuk tersebut terselip pada setiap tuturan yang diungkapkan tokoh dalam acara dialog interaktif Republik Sentilan Sentilun. Pada umumnya campur kode dapat terjadi saat komunikasi nonformal. Kemunculan wujud campur kode pada komunikasi formal jarang sekali ditemui, kalaupun terjadi campur kode itu hanya sebagai akibat tidak adanya padanan yang tepat dalam bahasa yang sedang digunakan.

(18)

Melihat kemunculan alih kode dan campur kode dalam bahasa, hal itu tidak lepas dari adanya interferensi. Interferensi adalah bagaimana seseorang yang menganut bilingualisme menjaga bahasa-bahasa itu sehingga terpisah dan seberapa jauh seeorang itu mampu mencampuradukkan serta bagaimana pengaruh bahasa yang satu dalam penggunaan bahasa lainnya. Interferensi berarti adanya saling mempengaruhi antarbahasa. Interferensi bisa terjadi pada pengucapan, tata bahasa, kosakata dan makna bahkan budaya, baik dalam ucapan maupun tulisan terutama kalau seseorang sedang mempelajari bahasa kedua (Alwasilah, 1990:131). Ciri yang menonjol dalam interferensi adalah peminjaman kosakata dari bahasa lain, alasannya adalah perlunya kosakata untuk mengacu pada obyek, konsep, atau tempat baru. Maka, meminjam kosakata dari bahasa lain akan lebih mudah daripada menciptakan kosakata baru. Hanya saja, kosakata-kosakata hasil pinjaman yang biasa dipakai dalam bahasa Indonesia telah disesuaikan ejaannya dengan ejaan yang baik dan benar dalam bahasa Indonesia.

Peristiwa variasi bahasa yang muncul dalam masyarakat dalam bentuk alih kode dan campur kode, terutama dalam acara dialog interaktif Republik Sentilan

Sentilun. Alih kode dan campur kode yang terdapat dalam dialog antara pembawa

acara dengan bintang tamu sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam. Maka dari itu berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk mengajukan topik “Alih Kode dan Campur Kode Serta Tujuannya Dalam Acara Dialog Interaktif Republik Sentilan Sentilun Metro TV Periode Januari-Februari 2017”.

(19)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat diambil rumusan masalah utama yaitu alih kode dan campur kode apa sajakah yang terjadi dalam acara dialog interaktif Republik Sentilan Sentilun? Dari rumusan masalah utama tersebut dapat di rumuskan sub masalah sebagai berikut.

1. Alih kode apa sajakah yang terjadi dalam acara dialong interaktif Republik

Sentilan Sentilun?

2. Campur kode apa sajakah yang terjadi dalam acara dialog interaktif Republik

Sentilan Sentilun?

3. Tujuan apa yang menyebabkan terjadinya alih kode dan campur kode dalam acara dialog interaktif Republik Sentilan Sentilun?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan titik tolak sebelum kegiatan dilaksanakan. Dengan demikian penelitian ini bertujuan sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan bentuk alih kode dalam acara dialog interaktif Republik

Sentilan Sentilun.

2. Mendeskripsikan bentuk campur kode dalam acara dialog interaktif Republik

Sentilan Sentilun.

3. Mendeskripsikan tujuan terjadinya alih kode dan campur kode dalam acara dialog interaktif Republik Sentilan Sentilun?

(20)

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun praktis dalam perkembangan linguistik umumnya dan sosiolinguistik khususnya.

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis untuk memperdalam pemahaman tentang kajian sosiolinguistik, lebih khusus mengenai alih kode dan campur kode yang terdapat dalam acara dialog interaktif Republik

Sentilan Sentilun periode Januari-Februari 2017.

2. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis yang diperoleh dari hasil penelitian ini yaitu:

a. Bagi peneliti lainnya, skripsi ini dapat digunakan sebagai referensi dalam penelitian lainnya khususnya di bidang sosiolinguistik.

b. Bagi pembaca dapat menambah wawasan dan pemahaman tindak tutur dalam masyarakat.

1.5 Batasan Istilah

Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman dan salah penafsiran yang dapat menimbulkan ketidakjelasan dalam penelitian, maka perlu pembatasan istilah. Istilah-istilah yang dibatasi adalah sebagai berikut :

(21)

1. Kode

Poedjosoedarmo (1974 : 4) memberikan batasan kode sebagai suatu sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya mempunyai ciri-ciri khas sesuai dengan latar belakang si penutur, relasi penutur dengan mitra tutur dan situasi tutur yang ada. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam sebuah kode terdapat beberapa unsur bahasa seperti kalimat, kata, morfem dan fonem yang pemakaiannya dikendalikan oleh semacam pembatasan umum yang berupa faktor-faktor nonlinguistik, dan faktor-faktor tersebut disebut dengan komponen tutur.

2. Dialek

Menurut (Poedjosoedarmo 1978 : 31-32) ada enam variansi bahasa yang disebut dialek, yaitu dialek geografis, dialek sosial, dialek aliran, dialek usia, dialek jenis, dan dialek suku.Dialek adalah variasi bahasa dari sekelompik penutur yang jumlahnya relatif, yang berada dalam satu tempat, wilayah, atau area tertentu.

3. Alih Kode

Alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain, umpamanya dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia, dari bahasa Indonesia ke bahasa asing (Suwito, 1985:68).

4. Campur Kode

Campur kode adalah suatu keadaan berbahasa di mana orang mencampur dua bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa tanpa sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran itu (Nababan, 1991:32).

(22)

5. Tuturan

Tuturan adalah hasil komunikasi yang berupa ucapan atau ujaran (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:47).

6. Interfrensi

Interferensi adalah digunakannya unsur bahasa lain dalam menggunakan suatu bahasa, yang dianggap sebagai suatu kesalahan karena menyimpang dari kaidah atau aturan bahasa yang digunakan (Chaer dan Agustina, 2010: 120). Weinreich (dalam Chaer dan Agustina, 2010: 120) mengemukakan bahwa interferensi adalah perubahan sistem atau bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan usnur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual.

7. Kedwibahasaan

Menurut Robert Lado (1964-214) kedwibahasaan merupakan kemampuan berbicara dua bahasa dengan sama atau hampir sama baiknya. Secara teknis pendapat ini mengacu pada pengetahuan dua bahasa, bagaimana tingkatnya, oleh seseorang. Sedangkan menurut MacKey (1956: 155), kedwibahasaan adalah pemakaian yang bergantian dari dua bahasa.

(23)

1.6 Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini akah dipaparkan dalam 5 bab, yaitu bab I pendahuluan, bab II Landasan teori, bab III metodologi penelitian, bab IV hasil penelitian, dan bab V penutup.

Bab I adalah pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, dan sistematika penyajian.

Bab II adalah landasan teori. Bab ini berisi penelitian terdahulu dan landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Adapun landasan teori yang digunakan ialah (1) sosiolingistik, (2) kode, (3) variasi bahasa, (4) alih kode, (5) campur kode, (6) tuturan, (7) interferensi, (8) kedwibahasaan, (9) konteks, (10) kerangka berpikir.

Bab III memuat mtodologi penelitian. Bab ini berisi hal-hal yang berkaitan dengan metode dalam penelitian ini, yaitu jenis penelitian, sumber data dan data penelitian, metode pengumpulan data, instrument penelitian, teknik analisis data, dan triangulasi.

Bab IV berisi hasil penelitian. Bab ini berisi hasil analisis data dan pembahasan. Pada bab ini pertama-tama disajikan deskripsi data, kemudian disajikan hasil pembahasan dari hasil analisis data sesuai dengan rumusan masalah yang telah ditentukan, yakni tentang alih kode dan campur kode yang meliputi bentuk, ciri, dan faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode dan campur kode.

(24)

Bab V adalah penutup. Bab ini berisi kesimpulan penelitian, implikasi hasil penelitian yang meliputi aspek fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon

(25)

11 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada kajian teori ini diuraikan tentang teori-teori yang mendasari permasalahan pada penelitian ini. Teori ini digunakan untuk mendukung penelitian yang dilakukan yang diharapkan dapat memperkuat keakuratan data. Teori-teori tersebut adalah sosiolinguistik, kode, dialek, alih kode, campur kode, tuturan, interferensi, kedwibahasaan, dan kontak bahasa. Kajian alih kode meliputi; pengertian alih kode, perbedaan alih kode dan campur, jenis alih kode dan campur kode, dan tujuan alih kode dan campur kode. Selain itu, setiap kajian yang terdapat dalam penelitian ini tidak luput dati penelitian terdahulu. Adapun uraian selanjutnya disampaikan pada paparan sebagai berikut.

2.1 Landasan Teori 2.1.1 Sosiolinguistik

Penelitian ini menggunakan teori sosiolinguistik. Oleh karena itu perlu dikemukakannya konsep-konsep yang berhubungan dengan teori sosiolinguistik. Adapun teori yang dibutuhkan yakni mengenai kedwibahasaan ataupun multibahasa serta peristiwa alih kode dan campur kode ataupun teori-teori lain yang relevan dengan penelitian ini.

Sosiolinguistik merupakan cabang ilmu yang mempelajari hubungan antar bahasa. Sosiolonguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik, dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan yang sangat erat.

(26)

Mengenai ilmu Sosiologi, menurut Abdul Chaer ilmu ini mengandung pengertian sebagai kajian objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat, dan mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang ada di dalam masyarakat. linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa, atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian, dapat dikatakan pengertian sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaab bahasa di dalam masyarakat.

Sebagai objek dalam kajian sosiolinguistik, bahasa tidak dilihat atau didekati sebagai bahasa, sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum, melainkan dilihat atau didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat. Setiap kegiatan yang dilakukan masyarakat, mulai dari bekerja, belajar, berkarya tentu saja tidak lepas dari penggunaan bahasa. Sosiolinguistik diartikan sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan berbagai variasi bahasa, serta hubungan diantara para bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa (Kridalaksana 1978:94).

Dalam penelitian ini peristiwa kebahasaan yang akan dibahas adalah alih kode dan campur kode dalam acara dialog interaktif Republik Sentilan Sentilun periode Januari-Februari 2017. Peristiwa alih kode dan campur kode yang dimaksudkan adalah berupa tuturan yang mengandung alih kode, serta tuturan tokoh yang menyebabkan alih kode. Sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelumnya, bahwa ada beberapa peristiwa kebahasaan yang muncul dalam acara dialog interaktif Republik Sentilan Sentilun periode Januari-Februari 2017 diantaranya peristiwa alih kode dan campur kode.

(27)

2.1.2 Kode

Pada suatu aktivitas bicara yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, seseorang yang melakukan pembicaraan sebenarnya mengirimkan kode-kode kepada lawan bicaranya (Pateda 1990 : 83). Selain itu, menurut Brooks (1990 : 4) memberikan pernyataan tentang proses pengkodean sebagai variasi yang dimaksud, yaitu lembut, keras, cepat, lambat, bernada dan sebagainya sesuai dengan situasi hati pembicara. Poedjosoedarmo (1974 : 4) memberikan batasan kode sebagai suatu sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya mempunyai ciri-ciri khas sesuai dengan latar belakang si penutur, relasi penutur dengan mitra tutur dan situasi tutur yang ada. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam sebuah kode terdapat beberapa unsur bahasa seperti kalimat, kata, morfem dan fonem yang pemakaiannya dikendalikan oleh semacam pembatasan umum yang berupa faktor-faktor nonlinguistik, dan faktor tersebut disebut dengan komponen tutur.

Pada kajian kode tersebut, terdapat penelitian yang mengkaji mengenai pemakaian kode. Pemakaian kode dalam penelitian ini disusun menjadi jurnal yang dibuat oleh Herawati yang berjudul “Campur Kode Dalam Peristiwa Komunikasi Di Lingkungan Sekolah SMA Negeri 1 Kabangka”. Dalam jurnal tersebut, Herawati memaparkan bahwa penggunaan kode dalam percakapan sehari-hari di SMA Negeri 1 Kabangka tersebut berasal dari persamaan latar belakang kehidupan mereka dan bahasa ibu yang dimiliki oleh masing-masing siswa. Selain itu, budaya juga menjadi salah satu faktor pendorong munculnya campur kode dalam komunikasi antara satu dengan yang lain.

(28)

Kode biasanya berbentuk varian-varian bahasa yang secara nyata dipakai dalam berkomunikasi dan berinteraksi antara orang satu dengan orang lain. Bagi masyarakat yang monolingual, kode terjadi dari varian-varian satu bahasa, tetapi bagi masyarakat yang multilingual kode terjadi dari varian satu bahasa atau lebih dari dua bahasa atau lebih. Secara garis besar, kode dapat dibedakan menjadi tiga, dialek, ragam, dan tingkat tutur atau undha usuk. Kode menurut Suwito (1985:67-69) adalah untuk menyebutkan salah satu varian didalam hierarki kebahasaan, misalnya varian regional, kelas sosial, raga,gaya, kegunaan dan sebagianya.

2.1.3 Variasi Bahasa

Bahasa mempunyai sistem dan subsistem yang dipahami sama oleh semua penutur bahasa, tetapi meski berada dalam masyarakat tutur, tidak merupakan kumpulan manusia yang homogeny, maka wujud bahasa yang nyata menjadi tidak seragam atau bervariasi. Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh penuturnya yang tidak homogeni, tetapi juga karena kegiatan interaksi sosial yang dilakukan setiap manusia berbeda-beda atau beragam. Keragaman ini akan semakin bertambah apabila bahasa tersebut digunakan oleh penutur yang sangat banyak, serta dalam wilayah yang sangat luas.

Dalam hal variasi atau ragam bahasa ini ada dua pandangan. Pertama variasi atau ragam bahasa itu dilihat sebagai adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Jadi variasi atau ragam bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa.

(29)

Andaikata penutur bahasa itu adalah kelompok yang homogen baik dari etnis, status sosial maupun lapangan pekerjaannya, maka variasi atau keragaman itu tidak aka nada, dalam hal ini bahasa itu menjadi seragam. Pandangan yang kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Pada intinya, variasi atau ragam bahasa itu dapat diklasifikasikan berdasarkan adanya keragaman sosial dan fungsi kegiatan di dalam masyarakat sosial.

Chaer dan Agustina (2004) membagi variasi bahasa dalam menjadi empat, yaitu variasi bahasa dari segi penutur, pemakaian, keformalan, dan segi sarana. A. Variasi Bahasa dari Segi Penutur

Dalam variasi bahasa dari segi penutur mempunyai beberapa macam keragaman di dalamnya, dimana keragaman ini berkaitan langsung dari penuturnya. Setidaknya ada empat dari segi penutur, yaitu idiolek, dialek,

kronolek, dan sosiolek.

a. Idiolek

Idiolek merupakan variasi bahasa yang bersifat perseorangan, karena setiap orang mempunyai variasi bahasanya masing-masing. Variasi idiolek ini berkenaan dengan “warna” suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya. Namun, yang paling dominan adalah “warna” suara itu, sehingga jika kita cukup akrab dengan seseorang, dengan mendengar suara bicaranya tanpa melihat orangnya, kita sudah mengenalinya.

(30)

b. Dialek

Variasi bahasa kedua berdasarkan penuturnya adalah dialek, yakni variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relative, yang berada pada satu tempat, wilayah atau area tertentu. Karena dialek ini didasarkan pada wilayah atau area tempat tinggal penutur, maka dialek ini lazim disebut

dialek areal, dialek regional, atau dialek geografi. Para penutur dalam suatu

dialek, meskipun mereka mempunyai idioleknya masing-masing, memiliki kesamaan ciri yang menandai bahwa mereka berada pada satu dialek, yang berbeda dengan kelompok penutur lain, yang berada dalam dialeknya sendiri dengan ciri lain yang menandai dialeknya juga. Misalnya bahasa Jawa dialek Tegal memiliki ciri tersendiri yang berbeda dengan ciri yang dimiliki bahasa Jawa Solo, dialek Semarang atau Yogyakarta. Para penutur bahasa Jawa dialek Tegal dapat berkomunikasi dengan baik dengan para penutur bahasa Jawa dialek Solo, dialek Semarang, dialek Yogyakarta, atau juga bahasa Jawa dielek lainnya, karena walaupun dialek mereka berbeda-beda tetapu mereka saling mengertu dari bahasa yang sama yaitu Bahasa Jawa.

Halliday (1972 : 141) menyebut dialek sebagai the variety acconding to

users, bahwa dialek adalah variasi bahasa yang ditentukan menurut pengguna

bahasa. Dalam rangka pembicaraan kode, varian bahasa yang berupa dialek dapat dibedakan menjadi beberapa macam. Menurut Poedjosoedarmo (1978 : 31-32) ada enam variansi bahasa yang disebut dialek, yaitu dialek geografis, dialek sosial, dialek aliran, dialek usia, dialek jenis, dan dialek suku.Dialek

(31)

adalah variasi bahasa dari sekelompik penutur yang jumlahnya relatif, yang berada dalam satu tempat, wilayah, atau area tertentu.

Pada skripsi ini, terdapat penelitian relevan yang mengkaji tentang dialek. Skripsi karya Mardiana mahasiswi lulusan Universitas Sanata Dharma yang berjudul “Interferensi Fonologis Dialek Melayu Bangka Sub Dialek Pangkal Pinang Pada Penggunaan Bahasa Indonesia Oleh Siswa SMA Di Pangkal Pinang”. Penelitian yang dilakukan oleh Mardiana ini mengkaji tentang dialek yang terjadi dalam suatu daerah, terutama daerah Pangkal Pinang. Selain itu, objekyang dipilih yaitu dialek siswa SMA di Pangkal Pinang.

c. Kronolek

Kronlek atau dialek temporal yaitu variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu. Misalnya, variasi bahasa Indonesia pada masa tahun tiga puluhan atau lima puluhan yang cenderung menggunakan penulisan kata dengan huruf “d” dan “j”. Variasi bahasa itu tentunya cenderung kearah perbedaan dari lafal, ejaan, morfologi, maupun sintaksis.

d. Sosiolek

Sosiolek yaitu variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya. Perbedaan pekerjaan, profesi, jabatan, atau tugas para penutur dapat juga menyebabkan adanya variasi sosial. Bahasa yang digunakan sehari-hari para buruh tentunya berbeda bahasa yang digunakan para pejabat negara, perbedaan bahasa itu terjadi karena

(32)

perbedaan lingkungan tugas mereka dan apa yang mereka kerjakan. Perbedaan variasi bahasa itu tampak pada bidang kosakata yang mereka gunakan.

B. Variasi dari Segi Pemakaian

Variasi bahasa berkenaan dengan penguasaannya, pemakaiannya. Atau fungsi disebut fungsiolek (Nababan 1984), ragam, atau register. Variasi ini condong pada pembicaraan bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan, dan sarana penggunaan. Variasi bahasa berdasarkan bidang pemakaian ini adalah menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya, bidang sastra, jurnalistik, militer, pertanian, pelayaran, perekonomian, pergangan, pendidikan, dan kegiatan keilmuan.

Dalam bidang sastra, variasi bahasa pemakaiannya cenderung diungkapkan secara estetis. Selain itu, dalam bidang jurnalistik variasi bahasa cenderung bersifat sederhana, komunikatif, dan ringkas. Sederhana karena harus dipahami dengan mudah, komunikatif karena jurnalistik harus menyampaikan berita secara tepat, dan ringkas karena keterbatasan ruang (dalam media cetak), dan keterbatassan waktu (dalam media elektronik). Dalam bahasa Indonesia ragam jurnalistik ini dikenal dengan sering ditinggalkannya awalan me- atau awalan ber- yang di dalam ragam bahasa baku harus digunakan. Umpamanya kalimat, “Bupati tinjau daerah tanah longsor” (dalam bahasa baku berbunyi, “Bupati meninjau daerah tanah longsor”).

Variasi berdasarkan fungsi ini lazim disebut register. Pengertian dari register ini biasanya berhubungan dengan masalah. Dialek berkenaan dengan

(33)

bahasa itu digunakan oleh siapa, di mana, dan kapan, maka register berkenaan dengan masalah bahasa itu digunakan untuk kegiatan apa.

C. Variasi dari Segi Keformalan

Martin Joos (dalam Chaer dan Agustina, 2004) membagi variasi bahasa dari segi keformalannya menjadi lima macam gaya ragam, yaitu gaya raga beku (frozen), ragam resmi (formal), ragam usaha (konsultatif), ragam santai (casual), dan ragam akrab (intimate).

1. Ragam Beku

Ragam beku adalah variasi bahasa yang paling formal, yang digunakan dalam situasi-situasi khidmat, dan upacara-upacara resmi, misalnya, dalam upacara kenegaraan, khotbah di masjid, tata cara pengambilan sumpah, kitab-kitab undang-undang, akte notaris, dan surat-surat keputusan. Disebut ragam beku karena pola dan kaidahnya sudah ditetapkan secara mantap, tidak boleh diubah. Dalam bentuk tertulis ragam beku ini kita dapati dalam dokumen-dokumen bersejarah, seperti undang-undang dasar, akte notaris, naskah-naskah, perjanjian jual beli, atau sewa menyewa.

2. Ragam Resmi atau Formal

Ragam resmi atau formal adalah variasi bahasa yang digunakan dalam pidato kenegaraan, rapat dinas, surat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran, dan sebagainya. Pola dan kaidah ragam resmi sudah ditetapkan secara mantap sebagai suatu standar. Ragam resmi itu pada dasarnya sama dengan ragam bahasa baku atau standar yang

(34)

digunakan dalam situasi resmi. Pembicaraan dalam acara peminangan, pembicaraan dengan seorang dekan di kantornya, atau diskusi dalam ruang kuliah adalah mengunakan ragam resmu ini.

3. Ragam Usaha atau Ragam Konsultatif

Ragam ini adalah ragam variasi bahasa yang lazim digunakan dalam pembicaraan biasa di sekolah, dan rapat-rapat atau pembicaraan yang berorientasi pada hasil atau produksi. Ragam usaha ini adalah ragam bahasa yang paling operasional karena raga mini berada di antara ragam formal dan informal.

4. Ragam Santai atau Ragam Casual

Ragam santai aalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib pada waktu beristirahat, berolahraga, berekreasi, dan sebagainya. Ragam santai ini banyak menggunakan alegro, yakni bentuk kata atau ujaran yang dipendekan. Kosakatanya banyak dipenuhi unsur leksikal dialek dan unsur bahasa daerah.

5. Ragam Akrab atau Ragam Intim

Pengertian ragam akrab hamper mirip dengan ragam santai, tapi variasi bahasa ini biasanya digunakan penutur yang hubungannya sudah akrab, seperti antar anggota keluarga, atau antar teman yang sudah lama menjalin pertemanan. Ragam ini ditandai dengan penggunaan bahasa yang tidak lengkap, pendek-pendek, dan dengan artikulasi yang seringkali tidak jelas.

(35)

D. Variasi dari Segi Sarana

Variasi yang terakhir adalah variasi bahasa yang meliputi sarana atau jalur yang digunakan. Dalam hal ini dapat disebut adanya ragam lisan atau ragam tulis, atau juga ragam berbahasa dengan menggunakan sarana atau alat tertentu, misalnya menggunakan surat, telepon atau telegram.

2.1.4 Alih Kode

Hymes (dalam Rahardi 2001: 20), menyebutkan bahwa alih kode adalah istilah umum untuk menyebut pergantian atau peralihan pemakaian dua bahasa atau lebih, beberapa variasi dari satu bahasa atau bahkan beberapa gaya dari suatu ragam. Alih bahasa ini sepenuhnya terjadi karena perubahan-perubahan sosiokultural dalam situasi berbahasa. Perubahan-perubahan yang dimaksud meliputi faktor-faktor seperti hubungan antara pembicara dan pendengar, variasi bahasa, tujuan berbicara, topik yang dibahas, waktu dan tempat berbincang. Kemudian, Apple (dalam Chaer (2004:107), mengatakan alih kode yaitu gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Selanjutnya, Hymes menambahkan bahwa alih kode bukan hanya terbagi antara bahasa, tetapi dapat juga terjadi antar ragam-ragam atau gaya yang terdapat dalam satu bahasa.

Alih kode merupakan salah satu kajian dalam sosiolinguistik. Lebih lanjut Apple (dalam Chaer dan Agustina, 2010:107) menyatakan, alih kode yaitu gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Sedangkan Thealander (dalam Chaer dan Agustina, 2010:115) mengatakan alih kode sebagai peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain.

(36)

Dalam kemunculannya alih kode sangat sering dijumpai dalam pemilihan topik skripsi maupun jurnal ilmiah. Pada penelitian ini, terdapat penelitian yang relevan yaitu berupa jurnal ilmiah. Jurnal karya Mohammad Rohmadi dan Edy Tri Sulistiyo ini berjudul “Alih Kode dan Campur Kode Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Di SMA”. Dalam jurnal ini, penulis banyak mengutarakan alih kode dan campur kode yang sering digunakan guru saat proses belajar mengajar. Menurut Kunjana Rahardi (2010), alih kode bisa terjadi apabila penutur dan mitra tutur ingin menyampaikan sesuatu atau menjelaskan maksud tujuan tertentu pada mitra tuturnya. Penggunaan alih kode dan campur kode ini biasanya digunakan untuk keperluan pembelajaran, misalnya untuk pemaparan materi.

Alih kode biasanya digunakan secara sadar atau secara sengaja. Hal ini dikarenakan alih kode sebagian besar digunakan untuk menghormati lawan bicara dan ingin membuat percakapan tersebut menjadi lebih mendalam. Menurut I Dewa Putu Wijaya (2012) yang mengatakan bahwa alih kode berkaitan erat dengan siapa kita berbicara, tujuannya apa, dan untuk apa kita berbicara. Peristiwa alih kode juga dipengaruhi oleh perubahan situasi dan topik pembicaraan. Misalnya, dua orang yang berasal dari Jawa sedang bercakap-cakap menggunakan bahasa Jawa tiba-tiba teman mereka yang berasal dari Padang ingin bergabung dalam percakapan mereka dengan menyapa menggunakan bahasa Indonesia karena tidak dapat berbahasa Jawa. Tidak lama kemudian masuk pula teman-teman lainnya, sehingga suasana menjadi riuh, dengan percakapan yang tidak tentu arah dan topiknya dengan menggunakan bahasa Indonesia ragam santai.

(37)

Peristiwa pergantian bahasa yang digunakan dalam ilustrasi di atas dari bahasa Jawa ke Bahasa Indonesia inilah yang disebut peristiwa alih kode.

Sejalan dengan pendapat Suwito (1985: 68), bahwa alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain. Berdasarkan jenisnya, alih kode dibagi menjadi dua macam, yaitu alih kode intern dan alih kode ekstern, menurut Suwito (1985:69). Alih kode intern adalah alih kode yang terjadi antar bahasa-bahasa daerah dalam satu bahasa nasional, antara dialek-dialek dalam satu bahasa daerah, atau antara beberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam satu dialek. Sedangkan alih kode ekstern adalah alih kode yang terjadi antara bahasa asli dengan bahasa asing. Meskipun demikian, dalam prakteknya dimungkinkan terjadi alih kode intern dan ekstern secara beruntun.

Selain sikap kemultibahasaan yang dimiliki oleh masyarakat tutur, terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya peristiwa alih kode, seperti yang dikemukakan Chaer (2004:108), adapun beberapa faktor tersebut yaitu sebagai berikut:

a. Penutur

Seorang penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena adanya suatu tujuan. Misalnya mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi atau sebaliknya. Adapun contoh alih kode yang sering dijumpai dalam kegiatan sehari-hari, yaitu diantaranya.

Contoh:

Saat terjadi kegiatan jual beli di pasar tradisional, tak jarang kita jumpai pembeli Warga Negara Asing. Penjual yang kebanyakan asli

(38)

Indonesia yang memiliki bahasa ibu yang berbeda-beda, mau tidak mau harus menyesuaikan bahasanya dengan bahasa yang digunakan oleh pembeli tersebut. Perubahan bahasa yang satu ke bahasa yang lain terjadi karena adanya faktor pendorong yang kuat.

b. Mitra Tutur

Setiap penutur biasanya ingin mengimbangi bahasa yang digunakan oleh lawan tuturnya dalam masyarakat. Penutur mungkin harus beralih kode untuk mengimbangi. Suwito (dalam Chaer dan Agustina, 2004:73) lawan tutur dibedakan menjadi dua golongan, yaitu 1) Penutur yang berlatar belakang kebahasaan yang sama dengan lawan tutur, 2) Lawan tutur yang berlatar belakang berlainan alih gaya.

c. Hadirnya Penutur Ketiga

Untuk menetralisir situasi dan menghormati mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda.

d. Perubahan Situasi

Perubahan situasi pembicaraan juga dapat mempengaruhi terjadinya alih kode. Situasi tersebut dapat berupa situasi formal ke informal ataupun sebaliknya.

e. Pokok Pembicaraan (Topik)

Pokok pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius.

(39)

Sedangkan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa tak baku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya.

Selain itu, penyebab terjadinya alih kode berdasarkan komponen tutur Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 2004:48) yaitu SPEAKING sebagai berikut.

S = Setting and Scene (Situas) (act situation), mencakup latar dan suasana

P = Partisipant, mencakup penutur, pengirim, pendengar, dan penerima. E = End (tujuan), mencakup bentuk pesan dan isi pesan.

A= Act Sequence (urutan tindak), mencakup bentuk pesan dan isi pesan K= Key (kunci)

I = Instrumentalities (peranti, perabotan), mencakup saluran dan bentuk tutur.

N = Norms (norma), mencakup norma interaksi dan norma interpretasi G = Genre (bentuk dan ragam bahasa) Macam-macam alih kode yang berwujud alih bahasa tidak hanya satu atau dua bahasa, namun ada banyak bahasa yang digunakan dalam bertutur, diantaranya;

1) Alih kode bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa. 2) Alih kode bahasa Jawa ke bahasa Indonesia. 3) Alih kode bahasa Jawa ke bahasa Asing.

4) Alih kode bahasa Indonesia ke dalam bahasa Asing. 5) Alih kode bahasa Asing ke dalam bahasa Indonesia. 6) Alih kode bahasa Asing ke dalam bahasa Jawa.

(40)

Alih kode dilakukan seseorang dikarenakan ada beberapa macam tujuan yang ingin disampaikan dalam suatu tuturan. Penutur tidak asal bertutur dalam melakukan pengalihan bahasa yang digunakan. Tujuan yang ingin disampaikan oleh penutur, sebagai berikut:

a. Ingin membina keakraban.

b. Ingin memperjelas maksud pembicaraan. c. Ingin menyesuaikan pembicaraan.

d. Ingin menyembunyikan atau merahasiakan pembicaraan. e. Ingin menimbulkan rasa humor.

f. Ingin beralih kode karena marah atau emosi.

Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 2004:107) menyatakan bahwa alih kode bukan hanya terjadi antar bahasa, tetapi juga terjadi antara ragam ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Fasold (dalam Chaer dan Agustina, 2004:115) mengatakan bahwa apabila satu klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatikal satu bahasa, dan klausa berikutnya disusun menurut struktur gramatikal bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode.

2.1.5 Campur Kode

Campur kode adalah suatu keadaan berbahasa di mana orang mencampur dua bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa tanpa sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran itu (Nababan, 1991:32). Maksudnya adalah keadaan yang tidak memaksa atau menuntut seseorang untuk mencampur suatu bahasa ke dalam bahasa lain saat peristiwa tutur sedang berlangsung. Fenomena campur kode berbeda dengan alih kode.

(41)

Sebagian besar peristiwa campur kode dilakukan seseorang secara tidak sengaja atau tidak sadar. Hal ini dikarenakan sikap kemultibahasaan orang tersebut mengandung beberapa frase bahasa asing ke bahasa asli. Walaupun begitu, peristiwa campur kode juga dapat dilakukan dengan sengaja, yakni karena alasan akademis, keterbatasan istilah dalam bahasa asli dan sebagainya. Misalnya dalam siaran radio, si penyiar dalam berbahasa Indonesia banyak menyelipkan bahasa daerahnhya, maka penutur tersebut dapat dikatakan telah melakukan campur kode. Campur kode dan alih kode ini diakibatkan adanya penguasaan dua bahasa atau lebih dari satu bahasa ini dinamakan multilingual. Contoh campur kode dalam tayangan Republik Sentilan Sentilun yaitu:

Mucle : “Ah, ini rupanya ada gadis cantik lagi dirayu sama portal komplek. Oh oh oh Jarwo”.

Jarwo : “Oh oh oh Mucle”. Saya itu punya teman, jagoan”. Mucle : “Wah sombong”.

Jarwo : “Superhero siapa yang nggak teman saya”. Mucle : “Siapa”?

Jarwo : “Batman itu teman saya”. Mucle : “Terus?”

Jarwo : “Hebat orangnya”.

Mucle : “Batman, mana mau Batman berteman dengan bad mood”.

Pada kutipan “Batman, mana mau Batman berteman dengan bad mood”, jika diperhatikan pada tuturan tersebut mengandung campur kode. Campur kode yang terdapat pada tuturan tersebut termasuk dalam kategori campur kode ekstern atau campur kode keluar. Kata “bad mood” yang berarti “perasaan sedang buruk” disisipkan pada tuturan tokoh Mucle.

Campur kode sebagai salah satu fenomena yang terjadi pada penyiar radio juga tidak mungkin dihindarkan. Penelitian yang bisa dijadikan sebagai

(42)

pandangan yang relevan dengan penelitian ini yaitu skripsi karya Ardian Pitra Satya Purnama, mahasiswa angkatan 2009 program studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma. Skripsi karya Ardian yang berjudul “Alih Kode dan Campur Kode Iklan Obat di Siaran Radio Kedaulatan Rakyat Yogyakarta”. Pada penelitian relevan ini, penulis memaparkan penggunaan alih kode dan campur kode yang muncul berdasarkan fungsinya. Alih kode dan campur kode pada iklan obat di siaran radio digunakan untuk menawarkan produk, mempermudah pemahaman bagi pendengar yang memiliki dwibahasa.

Campur kode ini merupakan fenomena pemakaian dua bahasa atau lebih, dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa lain secara konsisten Kachru (1978). Campur kode di Indonesia sering terjadi dalam situasi orang sedang berbincang-bincang di mana orang sedang berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa daerah (Nababan, 1991:31).

Selain itu, campur kode dapat terjadi antarbahasa, antardialek, dan antarragam. Campur kode antarbahasa adalah percampuran yang dilakukan saat menggunakan bahasa pokok yang disisipi oleh bahasa asing. Campur kode antardialek adalah percampuran bahasa pokok yang disisipi oleh bahasa daerah dialek Jawa, Madura, Jakarta sehingga muncul bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan, kemadura-maduraan, atau kejakarta-jakartaan. Lain halnya dengan campur kode antarragam yang ditentukan oleh bahasa di mana seorang penutur melakukan campur kode yang akan menempatkan penutur di dalam hirarki status sosialmya.

(43)

Suwito (1983: 76) membedakan jenis campur kode menjadi dua golongan. Yaitu campur kode ke dalam (inner code mixing) dan campur kode keluar (outer

code mixing). Campur kode ke dalam adalah campur kode yang menggunakan

bahasa asli, dan campur kode keluar adalah campur kode yang menggunakan bahasa asing. Selain itu, menurut Tarigan (1985:19) kata dapat diartikan sebagai satuan bebas yang paling kecil. Kata adalah bentuk bebas yang paling kecil, yaitu kesatuan terkecil yang dapata diucapkan secara berdikari, Bloomfield (dalam Tarigan, 1985:6). Suwito (1985:79) membedakan campur kode menjadi beberapa macam, antara lain:

1. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata.

Menurut bentuknya, kata dapat dibagi menjadi 4 kategori. Empat kategori itu sebagai berikut.

1) Kata Dasar

Kata dasar adalah satuan terkecil yang mendasari pembentukan kata yang lebih kompleks (Tarigan, 1985:9). Contohnya adalah

“malam” dalam kata “bermalam”, kata dasar “tidur” memperoleh

afiks –an menjadi “tiduran”. 2) Kata Berimbuhan

Kata berimbuhan yaitu kata yang mengalami perubahan akibar melekannya afiks (imbuhan) baik di awal (prefiks), di tengah (infiks), di akhir (sufiks). Prefiks adalah suatu unsur yang diletakkan di depan kata dasar. Infiks adalah morfem yang

(44)

diselipkan di tengah kata dasar. Sufiks adalah morfem terikat yang diletakkan di belakang kata dasar.

3) Kata Ulang

Kata ulang adalah pengulangan satuan gramatik baik seluruhnya maupun sebagian, baik fonem maupun tidak (Ramlan, 1981:83). Pengulangan kata dapat dibagi menjadi empat, yaitu (1) kata ulang seluruh, yaitu pengulangan seluruh bentuk dasar, seperti buku-buku, malam-malam, rumah-rumah, dan sebagainya; (2) kata ulang sebagian, yaitu pengulangan sebagian dari bentuk dasarnya, seperti melambai-lambai, membaca-baca, bernyanyi-nyanyi; (3) kata ulang berkombinasi dengan afiks yaitu kata ulang dasar yang dikombinasikan dengan afiks seperti, mobil-mobilan, kuda-kudaan; (4) kata ulang perubahan fonem, seperti bolak-balik, gerak-gerik, serba-serbi.

4) Kata Majemuk

Ramlan (2009: 76) mengatakan bahwa kata majemuk adalah gabungan dua kata yang menimbulkan suatu kata baru. Kata yang terjadi gabungan dua kata itu lazim dengan kata majemuk. Misalnya rumah sakit, meja makan, keras hati, panjang tangan, dapat disimpulkan bahwa kata majemuk ialah kata yang terdiri dari dua kata sebagai unsurnya.

(45)

2. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa

Penyisipan frasa adalah penyisipan unsur frasa yang berasan dari bahasa asing atau bahasa daerah yang masuk ke dalam tuturan yang menggunakan suatu bahasa pokok tertentu. (Ramlan, 1987: 151) Frasa ialah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi klausa. Unsur klausa yang terdiri dari dua atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi itu merupakan satuan gramatik yang disebut frasa.

3. Penyisipan unsur-unsur berwujud ungkapan atau idiom

Ungkapan adalah konstruksu dari unsur-unsur yang saling memilih, masing-masing anggota memiliki makna yang ada bersama yang lain (Kridalaksana, 2001: 81).Ungkapan dapat berfungsu untuk menghidupkan dan mendorong perkembangan bahasa dan akan menciptakan keindahan bahasa agar tidak membosankan.

Selain itu, ada pula faktor yang menyebabkan terjadinya campur kode. Menurut Suwito (1983) ada beberapa faktor penyebab terjadinya campur kode yaitu sebagai berikut:

1) Identifikasi peranan adalah sosial, registral, dan edukasional. Campur kode yang terjadi ditunjukkan untuk mengidentifikasi peranan penutur, baik secara sosial, pendidikan, serta golongan dari peserta bicara atau penutur bahasa tersebut. Misalnya dalam pemakaian bahasa Jawa, pemilihan variasi bahasa dan cara mengekspresikan variasi bahasa itu dapat

(46)

memberikan kesan tertentu baik tentang status sosial ataupun tingkat pendidikan penuturnya.

2) Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa yang digunakan penutur pada waktu melakukan campur kode, yang akan menempatkan penutur dalam hierarki status sosial.

3) Identifikasi keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan tampak dalam sikap terhadap penutur. Yang termasuk dalam faktor ini adalah tampak pada peristiwa campur kode yang menandai sikap dan hubungan orang lain, dan hubungan orang lain terhadapnya.

2.1.6 Tuturan

Tuturan adalah hasil komunikasi yang berupa ucapan atau ujaran (Chaer dan Agustina, 2004:47). Komunikasi dalam bentuk tuturan dapat terjadi dalam acara diskusi, rapat, sidang, serta proses pembelajaran di kelas antara guru dengan siswa, dan lain sebagainya. Komunikai ini berupa ucapan atau ujaran menyampaikan informasi berupa pikiran, gagasan, maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung. Dengan ini dapat dikatakan bahwa tuturan merupakan suatu peristiwa yang terjadi atau sedang berlangsung interaksi linguistik dalam suatu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur yang melibatkan suatu waktu, tempat, dan situasi tertentu untuk saling tukar informasi.

Pada penelitian ini, skripsi yang terbilang relevan dengan skripsi yang sedang dibuat yaitu skripsi karya Maria Enny Hirawati, mahasiswi angkatan 1991 program studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma.

(47)

Skripsi yang berjudul “Analisis Bentuk Sapaan Dalam Tuturan Antartokoh Cerita Nover Para Priyayi Karya Umar Kayam (Pendekatan Sosiolingusitik) ini berisi tentang bentuk-bentuk tuturan tokoh cerita yang mengandung sapaan.

Selain itu (Suwito, (1983:30) menyebutkan lima faktor yang menentukan suatu tuturan, yaitu penutur, lawan tutur, pokok pembicaraan, tempat, dan suasana. Faktor ini menentukan terjadinya suatu kontak bahasa. Kontak bahasa yang dapat dijumpai pada peristiwa persentuhan bahasa antara beberapa bahasa yang dikuasai penutur dan mitra tutur. Hal ini dapat berakibat pada munculnya kemungkinan pergantian pemakaian bahasa oleh penutur dalam konteks sosialnya. Peristiwa atau gejala semacam itu terlihat dalam wujud kedwibahasaan.

2.1.7 Interferensi

Interferensi adalah digunakannya unsur bahasa lain dalam menggunakan suatu bahasa, yang dianggap sebagai suatu kesalahan karena menyimpang dari kaidah atau aturan bahasa yang digunakan (Chaer dan Agustina, 2010: 120). Weinreich (dalam Chaer dan Agustina, 2010: 120) mengemukakan bahwa interferensi adalah perubahan sistem atau bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan usnur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Berdasarkan hal tersebut interferensi dapat diartikan sebagai penggunaan sistem BI dalam menggunakan B2 sedangkan sistem tersebut tidak sama dalam kedua bahasa tersebut. Interferensi berarti adanya saling berpengaruh antarbahasa (Alwasilah dalam Aslinda dan Syafyahya, 2010: 66).dapat terjadi pada pengucapan, tata bahasa, kosakata, dan makna budaya baik dalam ucapan maupun tulisan, terutama jika seseorang sedang mempelajari

(48)

bahasa kedua (Alwasilah, 1993: 114). Pengaruh itu dalam benuk paling sederhana berupa pengambilan suatu unsur dari satu bahasa dan digunakan dalam hubungannya dengan bahasa lain. Interferensi dapat terjadi pada pengucapan, tata bahasa, kosakata, dan makna bahasa lain. Interferensi dianggap sebagai gejala tutur, terjadi hanya pada dwibahasan dan peristiwanya dianggap sebagai penyimpangan, jika sekiranya dwibahasawan itu dapat memisahkan kedua bahasa yang dikuasai dalam arti dwibahasawan adalah dua pmbicara yang terpisah dalam diri atau orang, berarti tidak akan terjadi penyimpangan atau interferensi (Aslinda dan Syafyahya, 2010: 65).

Adapun penelitian yang relevan dengan skripsi ini, yaitu skripsi karya Mardiana mahasiswi lulusan Universitas Sanata Dharma yang berjudul “Interferensi Fonologis Dialek Melayu Bangka Sub Dialek Pangkal Pinang Pada Penggunaan Bahasa Indonesia Oleh Siswa SMA Di Pangkal Pinang”. Interferensi yang ditemui dalam penelitian ini adalah interferensi pada tataran fonologis.

2.1.8 Kedwibahasaan

Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2).

Istilah bilingualisme adalah istilah yang pengertiannya bersifat relatif. Kerelativitasan ini muncul disebabkan batasan seseorang disebut multilingual

(49)

bersifat arbitrer dan hampir tidak dapat ditentukan secara pasti. Mula-mula

bilingualisme diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan dua bahasa sama

baiknya oleh seorang penutur, namun pendapat ini makin lama makin tidak populer karena kriteria untuk menentukan sejauh mana seorang penutur dapat menggunakan bahasa sama baiknya tidak ada dasarnya sehingga sukar diukur dan hampir-hampir tidak dapat dilakukan (Suwito, 1983:40). Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan (Chaer, 2004:84). Dari istilah yang dikemukakan oleh Chaer tersebut, dapat dipahami bahwa bilingualisme atau kedwibahasaan berkenaan dengan pemakaian dua bahasa oleh seorang penutur dalam aktivitasnya sehari-hari.

Ada beberapa ahli yang menerangkan tentang pengertian kedwibahasaan atau bilingualisme. Salah satunya adalah Weinrich (Aslinda, dkk., 2007:23), ia menyebutkan kedwibahasaan sebagai ‘The practice of alternately using two

language’, yaitu kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian.

Dalam penggunaan dua bahasa atau lebih, jika melihat pengertian menurut Weinrich, penutur tidak diharuskan menguasai kedua bahasa tersebut dengan kelancaran yang sama. Artinya bahasa kedua tidak dikuasai dengan lancar seperti halnya penguasaan terhadap bahasa pertama. Namun, penggunaan bahasa kedua tersebut kiranya hanya sebatas penggunaan sebagai akibat individu mengenal bahasa tersebut.

Hal di atas tidak sejalan dengan pengertian bilingualisme menurut Bloomfield (Chaer, 2004:85) yang mengemukakan bahwa kedwibahasaan adalah native like

(50)

mampu menggunakan dua sistem kode secara baik. Pendapat Bloomfiled tersebut tidak disetujui atau masih banyak dipertanyakan karena syarat dari native like

control of two languages berarti setiap bahasa dapat digunakan dalam setiap

keadaan dengan kelancaran dan ketepatan yang sama seperti bahasa pertama yang digunakan penuturnya.

Selain kedua pengertian menurut dua ahli di atas, ada juga Diebold (dalam Chaer, 2004:86) yang menyebutkan adanya bilingualisme atau kedwibasaan pada tingkat awal (incipient bilingualism). Menurut Diebold, bilingualisme tingkat awal ini ‘…yaitu bilingualisme yang dialami oleh orang-orang, terutama oleh anak-anak yang sedang mempelajari bahasa kedua pada tahap permulaan. Pada tahap ini bilingualisme masih sederhana dan dalam tingkat rendah’.

Jika melihat pernyataan Diebold, benar kiranya apabila kedwibahasaan yang banyak digunakan oleh orang-orang adalah kedwibahasaan atau bilingualisme pada tingkat awal. Dalam kegiatan sehari-hari tentunya kita pun tanpa disadari hampir selalu melaksanakan bilingualisme pada tingkat awal ini. Namun, kebanyakan orang pada masa sekarang cenderung tidak menguasai kedua bahasa yang digunakannya dengan tepat.

Apabila melihat pengertian kedwibahasaan menurut ahli, dari penelitian ini, dapat diambil penelitian yang relevan karya Daman Huri. Jurnal ilmiah dari UNSIKA yang berjudul “Penguasaan Kosakata Kedwibahasaan Antara Bahasa Sunda dan Bahasa Indonesia Pada Anak-anak (Sebuah Analisis Deskriptif-Komparatif) ini berisikan tentang penguasaan dwibahasa yang dimiliki oleh anak-anak, terutama dalam Bahasa Sunda dan Bahasa Indonesia.

(51)

Pada acara dialog interaktif Republik Sentilan Sentilun, kedwibahasaan kerap muncul saat acara berlangsung. Munculnya kedwibahasaan dalam acara ini berawal dari tokoh atau pembawa acara yang menguasai lebih dari satu bahasa. Pembawa acara yang berasal dari Jawa menjadikan penguasaan bahasa Jawa yang baik dan lancer. Hal itu membuat tokoh tersebut sering menggunakan bahasa Jawa saat tayangan Republik Sentilan Sentilun berlangsung. Selain itu, tidak jarang pula saat tokoh-tokoh dalam acara itu berdialog, mereka menggunakan bahasa asing yang diselipkan pada tuturannya. Hal ini juga menunjukkan bahwa, penguaasan bahasa yang lebih dari satu dapat menjadi salah satu faktor munculnya alih kode dan campur kode.

2.1.9 Kontak Bahasa

Dalam membicarakan masalah kedwibahasaan atau bilingualisme, tidak mungkin terpisahkan adanya peristiwa kontak bahasa. Seorang dwibahasawan sangat mungkin sebagai awal terjadinya interferensi dalam bahasa, sehingga antara kontak bahasa dan dwibahasawan sangat erat hubungannya. Interferensi merupakan salah satu peristiwa kebahasaan yang mungkin terjadi sebagai akibat adanya kontak bahasa.

Menurut Thomason (2001:1), kontak bahasa adalah penggunaan lebih dari satu bahasa dalam tempat dan waktu yang sama. Penggunaan bahasa ini tidak menuntut penutur untuk berbicara dengan lancar sebagai dwibahasawan atau multibahasawan, namun terjadinya komunikasi antara penutur dua bahasa yang berbeda pun sudah dikategorikan sebagai peristiwa kontak bahasa. Sebagai contoh, ketika dua kelompok wisatawan saling meminjamkan alat masak selama

(52)

dua atau tiga jam, mereka pasti akan berusaha untuk saling berkomunikasi satu sama lain. Peristiwa komunikasi ini, meskipun mungkin dalam bentuk yang sangat sederhana, sudah masuk dalam kategori kontak bahasa.

2.1.10 Konteks

Menurut Keraf (dalam Smarapradhipa, 2005:1), memberikan dua pengertian bahasa. Pengertian pertama menyatakan bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Kedua, bahasa adalah sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer. Penelitian ini tidak lepas dari adanya konteks dalam sebuah tuturan. Konteks menurut KBBI (2007), konteks sebagai situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian. Dalam setiap peristiwa tutur, konteks sangat diperlukan untuk menafsirkan maksud dari tuturan penutur.

Sebagai deskripsi konteks, penutur akan cenderung menggunakan bahasa Indonesia dalam suasana tuturan formal. Namun dalam penelitian ini, konteks dalam tuturan tokoh di acara dialog interaktif Repulik Sentilan Sentilun dapat terjadi dengan menggunakan bahasa Indonesia maupun bahasa daerah. Menurut Hymes (dalam Aslinda dan Syafahya, 2007: 34), menyatakan bahwa menurut pengamatannya situasi tutur adalah situasi ketika tuturan dapat dilakukan dan dapat pula tidak dilakukan, situasi tidak murni komunikatif dan tidak mengatur adanya aturan berbicara, tetapi mengacu pada konteks yang menghasilkan aturan berbicara. Sebuah peristiwa tutur terjadi dalam satu situasi tutur dan peristiwa

(53)

tutur itu mengandung satu atau lebih tindak tutur. Dari pendapat di atas, dapat diketahui bahwa dalam suatu komunikasi, tuturan tidak lepas dari konteks yang saling mempengaruhi terhadap tindak komunikasi. Poedjosoedarmo (dalam Rahardi, 2001), menyatakan konsep tuturan yang sebetulnya merupakan pengembangan dari konsep tuturan yang disampaikan oleh Hymes di atas.

2.1.10 Kerangka Berpikir

Penelitian mengenai alih kode dan campur kode dalam acara dialog interaktif Republik Sentilan Sentilun memiliki kerangka berpikir. Kerangka berpikir digunakan sebagai dasar teori dan pemikiran dari seluruh proses penelitian yang akan dilakukan. Tujuan dari adanya kerangka berpikir ini adalah untuk memudahkan peneliti dalam menjelaskan alur penelitian alih kode dan campur kode dalam acara dialog interaktif Republik Sentilan Sentilun. Dalam kerangka berpikir ini, peneliti berusaha membahas permasalahan yang diangkat, yakni wujud alih kode dan campur kode dan faktor penyebab terjadinya alih kode fan campur kode. Pembahasan masalah tersebut akan dijelaskan dengan konsep, teori, dan metode yang berhubungan dengan masalah penelitian.

Peneliti menggunakan teori sosiolinguistik sebagai pisau analisis dalam penelitian. Permasalahan dalam penelitian ini adalah alih kode dan campur kode dalam tuturan tokoh, maka peneliti berpikir bahwa teori sosiolinguistik sangat tepat digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini. Komponen penting dalam teori sosiolinguistik yang menjadi fokus peneliti adalah tuturan yang mengandung alih kode dan campur kode. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang hasil datanya

Gambar

Gambar 1. Kartu Data

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaan pendekatan audit berpeduli risiko dengan pendekatan audit konvensional adalah pada metodologi yang digunakan dimana auditor mengurangi perhatian pada pengujian transaksi

Prinsip teori konstruktivis berasal dari tori belajar yang dikembangkan oleh Jean Piaget (1983), Jerome Breuner (1961), dan John Dewey (1933), yaitu memusatkan

H0 adalah hipotesis yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan pada kadar profil lipid pada pasien penyakit ginjal diabetik dan penyakit ginjal non-diabetik

Pada proses pembentukan portfolio, model MAD dari permasalahan seleksi portfolio selanjutnya diselesaikan dengan menggunakan algoritma titik interior dan hasilnya

Berdirinya pergerakan Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 adalah simbol perlawanan anak pribumi yang muak dengan perilaku penjajah Belanda yang menindas secara

Berdasarkan penjelasan istilah-istilah tersebut di atas dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan pengertian judul “Analisis Hukum Islam Terhadap Demonstrasi

Musim tanam merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil dalam usaha budidaya tanaman padi, penggunaan varietas unggul baru yang adaptif merupakan salah satu

Analisis kinerja jaringan WLAN (Wireless Local Area Network) di RS Surya Asih menekankan pada proses monitoring dan pengukuran parameter jaringan pada infrastruktur jaringan seperti