• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENGENDALIAN KUALITAS PRODUKSI DALAM UPAYA MENGENDALIKAN TINGKAT KERUSAKAN PRODUK Oleh : Darsono. Abstraksi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PENGENDALIAN KUALITAS PRODUKSI DALAM UPAYA MENGENDALIKAN TINGKAT KERUSAKAN PRODUK Oleh : Darsono. Abstraksi"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENGENDALIAN KUALITAS PRODUKSI DALAM UPAYA MENGENDALIKAN TINGKAT KERUSAKAN PRODUK

Oleh : Darsono Abstraksi

Tingkat kerusakan / broken rata – rata hasil produksi pada PT. Albata Semarang selama bulan Januari – Maret 2011 sebesar 1.80 % , tingkat kerusakan tersebut tidak melampui standar yang ditetapkan perusahaan yaitu sebesar 2 % dari total volume produksi . Berarti hipotesis 1 (H1) bahwa tingkat kerusakan

produk yang terjadi dalam proses produksi melampaui batas standar tidak terbukti.

Hasil uji mean ditunjukkan nilai t hitung =31,400 > t tabel = 2,00 dan sig. = 0,000 < α =0,05, dengan demikian rata-rata (mean) sebesar 1,806 adalah signifikan. Kesimpulan hipotesis 2 (H2) bahwa tingkat kerusakan produk yang

terjadi bersifat signifikan mempengaruhi proses produksi tidak terbukti.

Pareto Chart menunjukkan bahwa jenis broken yang sering terjadi adalah rusak karena warna tidak sesuai, selanjutnya karena komponen pecah/patah, salah pengamplasan dan salah router. Hipotesis 3 (H3) bahwa jenis kerusakan yang terjadi

pada produk dalam proses produksi yaitu warna tidak sesuai, komponen pecah, salah amplas dan salah router terbukti.

Melalui aktivitas pengendalian kualitas secara berlapis dapat menekan tingkat kerusakan hasil produksi dan mempertahankan kualitas produk yang dihasilkan. Hipotesis 4 (H4) bahwa penerapan metode pengecekan ganda / berlapis

dalam mengendalikan kualitas produk dan menekan terjadinya kerusakan produk terbukti.

Kata kunci: produksi, produk dan kualitas.

Latar Belakang Masalah

Permasalahan kualitas telah mengarah pada taktik dan strategi perusahaan secara menyeluruh dalam rangka untuk memiliki daya saing dan bertahan terhadap persaingan global dengan produk perusahaan lain ( La Hatani, 2007 ). Kualitas suatu produk bukan suatu yang serba kebetulan ( occur by accident ) ( Suyadi Prawirosentono, 2007 ). Kualitas dapat diartikan sebagai tingkat atau ukuran kesesuaian produk dengan standar yang telah ditetapkan ( Juita Alisjahbana, 2005 ). Jadi, kualitas yang baik akan dihasilakan dari proses yang baik dan sesuai dengan standar kualitas yang telah ditentukan berdasarkan kebutuhan pasar. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa perusahaan yang sukses dan mampu bertahan pasti memiliki program mengenai kualitas. Karena melalui program kualitas yang baik akan dapat secara efektif mengeliminasi pemborosan dan meningkatkan kemampuan bersaing perusahaan.

Dengan memberikan perhatian pada kualitas akan memberikan dampak yang positif kepada bisnis melalui dua cara yaitu dampak terhadap biaya produksi dan dampak terhadap pendapatan ( Gaspers, 2002 dalam juwita alisjahban,2005). Namun, meskipun proses produksi telah dilaksanakan dengan baik, pada kenyataannya seringkali masih ditemukan ketidaksesuaian antara produk yang

(2)

dihasilkan dengan yang diharapkan. Hal tersebut disebabkan adanya penyimpangan –penyimpangan dari berbagai factor, baik yang berasal dari bahan baku , tenaga kerja maupun kinerja dari fasilitas-fasilitas mesin yang digunakan dalam proses produksi tersebut. Agar supaya produk yang dihasilkan tersebut mempunyai kualitas sesuai dengan standar yang ditetapkan perusahaan dan sesuai dengan harapan konsumen, maka perusahaan harus melakukan kegiatan yang berdampak pada kualitas yang dihasilkan dan menghindari banyaknya produk yang rusak / cacat ikut terjual ke pasar.

Pengendalian kualitas produk dengan sistem pengecekan berlapis bermanfaat pula mengawasi tingkat efesiensi. Jadi, dapat digunakan sebagai alat untuk mencegah kerusakan dengan cara menolak (reject) dan menerima (accept) berbagai produk yang dihasilkan oleh supplier dan proses produksi.Dengan menolak atau menerima produk, berarti bisa juga sebagai alat untuk pengawasan proses produksi.

Di PT. Albata barang rusak (broken) menjadi tanggung jawab perusahaan, lebih tepatnya disebut sebagai kerugian perusahaan karena rata-rata barang broken dikarenakan oleh pihak dalam perusahaan, bukan dari supplier. Broken ini dapat disebabkan olek kecerobohan karyawan, karena kerusakan mesin yang digunakan sehingga barang rusak, dan bisa juga karena kesalahan teknik produksinya. Data jumlah produksi beserta produk rusak (broken) pada tahun 2011 selama masa produktif dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut ini.

Tabel 1.1

Data Jumlah Produksi dan Produk Rusak PT. Albata Bulan Oktober – Desember 2010

Bulan Jumlah Produksi (pcs) Jumlah Rusak (pcs) Persentase Rusak (%) Oktober 831 20 2.40 November 5375 72 1.34 Desember 2533 35 1.38 Total 8739 127 5.12 Rata-rata 2913 42.33 1.71

Sumber : Data Primer yang diolah, 2010

Tabel menunjukkan bahwa jumlah produksi yang dilakukan perusahaan setiap bulannya tidaklah sama. Hal tersebut dikarenakan dalam menentukan jumlah produk yang akan diproduksi oleh perusahaan didasarkan pada order yang diterima perusahaan. Adapun rata produksi per bulan 2913 pcs dengan rata-rata broken produk sebesar 42,33 pcs atau sekitar 1.71 % dari total produksi setiap bulan.

Sesuai pedoman sasaran mutu PT.Albata bahwa produk dikatakan berkualitas apabila tercapainya kesesuaian antara produksi yang dihasilkan dengan rencana target standar / sasaran mutu yang ditetapkan oleh perusahaan pada setiap awal produksi atau target broken kumulatif adalah tidak lebih dari 2%

(3)

dari jumlah produksi. Untuk menekan tingkat kerusakan produk dan mempertahankan kualitas perlu pengedalian kualitas secara berlapis.

TELAAH PUSTAKA 2.1 Kualitas

Pengertian atau definisi kualitas mempunyai cakupan yang sangat luas, relative, berbeda-beda dan berubah-ubah, sehingga definisi dari kualitas memiliki banyak kriteria dan sangat bergantung pada konteksnya terutama jika dilihat dari sisi penilaian akhir konsumen dan definisi yang diberikan oleh berbagai ahli serta dari sudut pandang produsen sebagai pihak yang mendiptakan kualitas. Konsumen dan produsen itu berbeda dan akan merasakan kualitas secara berbeda pula sesuai dengan standar kualitas yang dimiliki masing-masing. Begitu pula para ahli dalam memberikan definisi dari kualitas juga akan berbeda satu sama lain karena mereka membentuknya dalam dimensi yang berbeda. Oleh karena itu definisi kualitas dapat diartikan dari dua perspektif, yaitu dari sisi konsumen dan sisi produsen. Namun pada dasarnya konsep dari kualitas sering dianggap sebagai kesesuaian, keseluruhan cirri-ciri atau karakteristik suatu produk yang diharapkan oleh konsumen.

Josep Juran mempunyai suatu pendapat bahwa “ Quality is fitness for use”yang bila diterjemahkan secara bebas berarti kualitas (produk) berkaitan dengan enaknya barang tersebut digunakan (Suyadi Prawirosentono, 2007:5). Kualitas yang baik menurut produsen adalah apabila produk yang dihasilkan oleh perusahaan telah sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan oleh perusahaan. Sedangkan kualitas yang jelek adalah apabila produk yang dihasilkan tidak sesuai dengan spesifikasi standar yang telah ditentukan serta menghasilkan produk rusak. Namun demikian perusahaan dalam menentukan spesifikasi produk juga harus memperhatikan keinginan dari konsumen, sebab tanpa memperhatikan itu produk yang dihasilkan oleh perusahaan tidak akan dapat bersaing dengan perusahaan lain yang lebih memperhatikan kebutuhan konsumen. Kualitas yang baik menurut sudut pandang konsumen adalah jika produk yang dibeli tersebut sesuai dengan keinginan, menmiliki sifat yang sesuai dengan kebutuhan dan setara dengan pengorbanan yang dikeluarkan oleh konsumen. Apabila kualitas produk tersebut tidak dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan konsumen, maka mereka akan menganggapnya sebagai produk yang berkualitas jelek.

2. 2 Pengendalian Kualitas

Menurut Sofyan Assauri (1998:25), pengendalian dan pengawasan adalah kegiatan yang dilakukan untuk menjamin agar kegiatan produksi dan operasi yang dilaksanakan sesuai dengan yang direncanakan dan apabila terjadi penyimpangan tersebut dapat dikoreksi sehingga apa yang diharapkan dapat tercapai. Adapun pengertian pengendalian kualitas menurut Sofyan Assauri (1998:210) usaha untuk mempertahankan mutu / kualitas dari barang yang dihasilkan, agar sesuai dengan

(4)

spesifikasi produk yang telah ditetapkan berdasarkan kebijaksanaan pimpinan perusahaan.

1. Tujuan Pengendalian Kualitas

Tujuan dari pengendalian kualitas adalah :

a. Agar barang hasil produksi dapat mencapai standar kualitas yang telah ditetapkan.

b. Mengusahakan agar biaya inspeksi dapat menjadi sekecil mungkin.

c. Mengusahakan agar biaya desain dari produk dan proses dengan menggunakan kualitas produksi tertentu dapat menjadi sekecil mungkin.

d. Mengusahakan agar biaya produksi dapat menjadi serendah mungkin.

2. Faktor-faktor Pengendalian Kualitas

Menurut Douglas C.Montgomery (2001:26) dan berdasarkan literature lain menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pengendalian kualitas yang dilakukan perusahaan adalah :

a. Kemampuan proses

Batas-batas yang ingin dicapai haruslah disesuaikan dengan kemempuan proses yang ada. Tidak ada gunanya mengendalikan suatu proses dalam batas-batas yang melebihi kemampuan atau kesanggupan proses yang ada.

b. Spesifikasi yang berlaku

Spesifikasi hasil produksi yang ingin dicapai harus dapat berlaku, bila ditinjau dari segi kemampuan proses dan keinginan atau kebutuhan konsumen yang ingin dicapai dari hasil produksi tersebut. Dalam hal ini haruslah dapat dipastikan dahulu apakah spesifikasi tersebut dapat berlaku dari kedua segi yang telah disebutkan diatas sebelum pengendalian kualitas pada proses dapat dimulai.

c. Tingkat ketidaksesuaian yang dapat diterima

Tujuan dilakukan pengendalian suatu proses adalah dapat mengurangi produk yang ada dibawah standar seminimal mungkin. Tingkat pengendalian yang diberlakukan tergantung pada banyaknya produk yang berada dibawah standar yang dapat diterima.

d. Biaya kualitas

Biaya kualitas sangat mempengaruhi tingkat pengendalian kualitas dalam menghasilkan produk dimana biaya kualitas mempunyai hubungan yang positif dengan terciptanya produk yang berkualitas.

1) Biaya Pencegahan (Prevention Cost)

2) Biaya Deteksi / Penilaian ( Detection / Appraisal Cost ) 3) Biaya Kegagalan Internal (Internal Failure Cost) 4) Biaya Kegagalan Eksternal (Eksternal Failure Cost) 3. Langkah-langkah Pengendalian Kualitas

(5)

Pengendalian kualitas harus dilakukan melaului proses yang terus-menerus dan berkesinambungan. Proses pengendalian kualitas tersebut dapat dilakukan salah satunya dengan melalui penerapan PDCA (paln – do – check action) yang diperkenalkan oleh Dr. W. Edwards Deming, seorang pakar kualitas ternama berkebangsaan Amerika Serikat, sehingga siklus ini disebut siklus deming (Deming Cycle/ Deming Wheel). Siklus PDCA umumnya digunakan untuk mengetes dan mengimplementasikan perubahan-perubahan untuk memperbaiki kinerja produk, proses atau suatu sistem di masa yang akan datang.

Gambar 2.1 Siklus PDCA

Sumber : Richard B. Chase, Nicholas J. Aquilano and F. Robert Jacobs, 2001

Penjelasan dari tahap-tahap dalam siklus PDCA adalah sebagai berikut (M. N. Nasution, 2005:32):

a. Mengembangkan rencana (Plan)

Merencanakan spesifikasi, menetapkan spesifikasi atau standar kualitas yang baik, memberi pengertian kepada bawahan akan pentingnya kualitas produk, pengendalian kualitas dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan. b. Melaksanakan rencana (Do)

Rencana yang telah disusun diimplementasikan secara bertahap, mulai dari skala kecil dan pembagian tugas secara merata sesuai dengan kapasitas dan kemampuan dari setiap personil. Selama dalam melaksanakan rencana harus dilakukan pengendalian, yaitu mengupayakan agar seluruh rencana dilaksanakan dengan sebaik mungkin agar sasaran dapat tercapai.

c. Memeriksa atau meneliti hasil yang dicapai (Check)

Memeriksa atau meneliti merujuk pada penetapan apakah pelaksanaannya berada dalam jalur, sesuai dengan rencana dan memantau kemajuan perbaikan yang direncanakan. Membandingkan kualitas hasil produksi dengan standar yang telah ditetapkan, berdasarkan penelitian diperoleh data kegagalan dan kemudian ditelaah penyebab kegagalannya.

d. Melakukan tindakan penyesuaian bila diperlukan (Action)

4. Act. 1. Plan

(6)

Penyesuaian dilakukan bila dianggap perlu, yang didasarkan hasil analisis di atas. Penyesuaian berkaitan dengan standarisasi prosedur baru guna menghindari timbulnya kembali masalah yang sama atau menetapkan sasaran baru bagi perbaikan berikutnya.

Untuk melaksanakan pengendalian kualitas, terlebih dahulu perlu dipahami beberapa langkah dalam melaksanakan pengendalian kualitas. Menurut Roger G. Schroeder (2007:173) untuk mengimplementasikan perencanaan, pengendalian dan pengembangan kualitas diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Mendefinisikan karakteristik (atribut) kualitas.

b. Menentukan bagaimana cara mengukur setiap karakteistik. c. Menetapkan standar kualitas.

d. Menetapkan program inspeksi.

e. Mencari dan memperbaiki penyebab kualitas yang rendah. f. Terus-menerus melakukan perbaikan.

4. Tahapan Pengendalian Kualitas

Untuk memperoleh hasil pengendalian kualitas yang efektif, maka pengendalian terhadap kualitas suatu produk dapat dilaksanakan dengan menggunakan teknik-teknik pengendalian kualitas, karena tidak semua hasil produksi sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Menurut Suyadi Prawirosentono (2007:72), terdapat beberapa standar kualitas yang bias ditentukan oleh perusahaan dalam upaya menjaga output barang hasil produksi diantaranya: a. Standar kualitas bahan baku yang akan digunakan.

b. Standar kualitas proses produksi (mesin dan tenaga kerja yang melaksanakannya).

c. Standar kualitas barang setengah jadi. d. Standar kualitas barang jadi.

e. Standar administrasi, pengepakan dan pengiriman produk akhir tersebut sampai ke tangan konsumen.

Sedangkan Sofjan Assauri (1998:210) menyatakan bahwa tahapan pengendalian/ pengawasan kualitas terdiri dari 2 (dua) tingkatan antara lain: a. Pengawasan selama pengolahan (proses)

Yaitu dengan mengambil contoh atau sampel produk pada jarak waktu yang sama, dan dilanjutkan dengan pengecekan statistik untuk melihat apakah proses dimulai dengan baik atau tidak. Apabila mulainya salah, maka keterangan kesalahan ini dapat diteruskan kepada pelaksana semula untuk penyesuaian kembali. Pengawasan yang dilakukan hanya terhadap sebagian dari proses, mungkin tidak ada artinya bila tidak diikuti dengan pengawasan pada bagian lain. Pengawasan terhadap proses ini termasuk pengawasan atas bahan-bahan yang akan digunakan untuk proses.

b. Pengawasan atas barang hasil yang telah diselesaikan

Walaupun telah diadakan pengawasan kualitas dalam tingkat-tingkat proses, tetapi hal ini tidak dapat menjamin bahwa tidak ada hasil yang rusak atau kurang baik ataupun tercampur dengan hasil yang baik. Untuk menjaga supaya

(7)

hasil barang yang cukup baik atau paling sedikit rusaknya, tidak keluar atau lolos dari pabrik sampai ke konsumen/ pembeli, maka diperlukan adanya pengawasan atas produk akhir.

2.3 Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini untuk menggambarkan bagaimana pengendalian kualitas yang dilakukan berlapis/ganda dapat bermanfaat dalam menganalisis tingkat kerusakan produk yang dihasilkan oleh PT.Albata yang melebihi batas toleransi, serta mengidentifikasi penyebab hal tersebut untuk kemudian ditelusuri solusi penyelesaian masalah tersebut sehingga menghasilkan usulan/ rekomendasi perbaikan kualitas produksi dimasa mendatang. Berdasarkan tinjauan landasan teori, maka dapat disususn kerangka dalam penelitian sebagai berikut.

Gambar 2.2 : Kerangka Pemikiran Teoritis

Proses Pengendalian Kualitas Produksi MelaLui Pengecekan Berlapis

Standar Kualitas

Hasil Produksi

Produk baik Produk Rusak Kepuasan Konsumen

Menentukan jumlah dan jenis ketidaksesuaian

Menentukan sejauh mana ketidaksesuaian terjadi Menentukan jenis ketidaksesuaian terbesar Menentukan penyebab kegagalan Pengendalian Kualitas Produksi Menggunakan Sistem Pengecekan Berlapis

(8)

Sumber : Bagaian Produksi PT. Albata Semarang

2.4 Hipotesis

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

H1 : Tingkat kerusakan produk yang terjadi dalam proses produksi pada PT.Albata melampaui batas standar

H2 : Tingkat kerusakan produk yang terjadi di PT.Albata sebesar 2% bersifat signifikan mempengaruhi proses produksi

H3 : Jenis kerusakan yang terjadi pada produk dalam proses produksi pada PT.Albata yaitu warna tidak sesuai, komponen pecah, salah amplas dan salah router

H4 : Penerapan metode pengecekan ganda / berlapis dalam mengendalikan kualitas produk PT.Albata dapat menekan terjadinya kerusakan produk

2.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel

1.Pengendalian Kualitas

Pengendalian kualitas yang dilakukan perusahaan meliputi 3 (tiga) tahapan, yaitu: a. Pengendalian terhadap bahan baku

b. Pengendalian terhadap proses produksi yang sedang berjalan c. Pengendalian terhadap produk jadi sebelum pengepakan

Perusahaan menggunakan istilah broken untuk menyebutkan kerusakan terhadap produk yang rusak.

2. Pengukuran Kualitas Secara Riil

Adapun perusahaan menggunakan lima karakteristik produk yang dianggap broken yaitu :

1. Komponen patah

2. Komponen menyusut/ kempes 3. Pinhole/ cocoh

4. Warna tidak kontras/ tidak sesuai standarnya. 5. Salah konstruksi

6. Ukuran komponen tidak sesuai

Broken yang terjadi pada satu item barang dimungkinkan terdapat tidak hanya

satu jenis kerusakan (broken), akan tetapi bisa lebih dari satu macam. Oleh karena itu semua jenis broken harus dicatat didalam label masing-masing barang.

2.6 Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah semua data dari hasil produksi jenis furnitur yang mengalami broken (rusak) selama proses produksi pada PT. Albata Semarang yang tidak diketahui jumlahnya. Sedangkan sampel yang diambil adalah data kerusakan hasil peroduksi selama 3 bulan dari pengamatan kualitas oleh Bagian Quality ControlPengambilan sampel dalam penelitian ini

(9)

menggunakan teknik purposive sampling yaitu suatu teknik pengambilan sampel dengan menggunakan pertimbangan tertentu. Adapun pertimbangan pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah furniture yang ditemukan mengalami broken dan terdata oleh bagian Quality Control selama bulan 62 hari produksi yaitu selama Januari - Maret 2011. Hal dilakukan dengan alasan produk belum sampai ketangan konsumen.

2.7 Jenis Data ; Data yang dipergunakan dalam penelitian adalah data primer dan

data sekunder yang didapat/diperoleh dari perusahaan (obyek penelitian)

2.8 Metode Pengumpulan Data : Metode yang digunakan adalah dengan cara

melihat langsung atau pengamatan dan mencatat apa yang terjadi diperusahanan terus selajutnya dibuat semacam tabel yang berupa chek sheet.

2.9 Metode Analisis Data

Terkait dengan sifat penelitian ini yaitu menggambarkan secara deskriptif dan pengujian hipotesis dengan langkah-langkahnya adalah sebagai berikut : 1.. Mengumpulkan data menggunakan check sheet

2. Membuat histogram 3. Membuat peta kendali p

Adapun langkah-langkah dalam membuat peta kendali p sebagai berikut : a. Menghitung Prosentase Kerusakan

p=

Keterangan :

np : jumlah gagal dalam sub grup

n : jumlah yang diperiksa dalam sub grup

Subgrup : Hari

ke-b. Menghitung garis pusat/Central Line (CL)

Garis pusat merupakan rata-rata kerusakan produk ( p ).

= =

Keterangan :

np : jumlah total yang rusak

n : jumlah total yang diperiksa

c. Menghitung batas kendali atas atau Upper Control Limit (UCL)

Untuk menghitung batas kendali atas atau UCL dilakukan dengan rumus :

UCL=P+3 (1 − )

n

Keterangan :

p : rata-rata ketidak sesuaian produk n : jumlah produksi

(10)

Untuk menghitung batas kendali bawah atau LCL dilakukan dengan rumus:

LCL=P-3 (1 − )

n

Keterangan :

p : rata-rata ketidak sesuaian produk n : jumlah produksi

Catatan : Jika LCL < 0 maka LCL dianggap = 0

4..Pengujian Statistik Tingkat Kerusakan Hasil Produksi a. Uji Normalitas Data

b. Uji Rerata (Mean)

Gambar 3.1

Penolakan / penerimaan Ho dengan uji t Penerimaan Ho

Penolakan Ho

t tabel t tabel

5.. Menentukan prioritas perbaikan menggunakan diagram pareto

Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan alat bantu program komputer Stistical Product Service Solution (SPSS) Versi 17.0

Hasil Penelitian dan Pembahasan

1.Menghitung Tingkat Kerusakan Hasil Produksi

Hasil check sheet yang telah dilakukan terhadap proses produksi selama 3 bulan ( 62 hari produksi ) terakhir dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.3

Laporan Produksi PT. Albata Semarang Bulan Januari – Maret 2011

Hari Ke-Barang Masuk Produksi Barang Siap Packing

Jenis Broken (pcs) Jumlah Persentase

Warna Tidak Sesuai

Komp.

Pecah/Patah AmplasSalah RouterSalah

Broken Broken

(pcs) (%)

1 736 720 10 2 3 1 16 2.2

(11)

3 711 703 3 3 1 1 8 1.1 4 1,125 1,113 - 10 2 - 12 1.1 5 1,145 1,127 - 15 2 1 18 1.6 6 1,752 1,712 14 25 1 - 40 2.3 7 962 945 12 5 - - 17 1.8 8 975 959 10 3 2 1 16 1.6 9 824 813 8 2 1 - 11 1.3 10 975 955 15 3 2 - 20 2.1 11 892 877 13 1 1 - 15 1.7 12 956 934 16 4 2 - 22 2.3 13 754 741 7 5 - 1 13 1.7 14 1,275 1,251 19 2 3 - 24 1.9 15 942 922 12 7 1 - 20 2.1 16 765 750 6 6 2 1 15 2.0 17 823 812 4 4 3 - 11 1.3 18 952 934 9 7 1 1 18 1.9 19 754 743 8 3 - - 11 1.5 20 798 778 12 7 1 - 20 2.5 21 654 641 10 1 1 1 13 2.0 22 952 934 9 7 1 1 18 1.9 23 1,125 1,113 - 10 2 - 12 2.0 24 1,145 1,127 - 15 2 1 18 1.6 25 654 641 10 1 1 1 13 2.0 26 962 945 12 5 - - 17 1.8 27 975 959 10 3 2 1 16 1.6 28 956 934 16 4 2 - 22 2.3 29 736 720 10 2 3 1 16 2.2 30 742 734 5 1 2 - 8 1.1 31 711 703 3 3 1 1 8 1.1 32 823 812 4 4 3 - 11 1.3 33 952 934 9 7 1 1 18 1.9 34 1,356 1,316 14 25 1 - 40 2.9 35 738 722 10 2 3 1 16 2.2 36 749 741 5 1 2 - 8 1.1 37 824 813 8 2 1 - 11 1.3 38 952 934 9 7 1 1 18 1.9 39 1,356 1,316 14 25 1 - 40 2.9 40 738 722 10 2 3 1 16 2.2 41 749 741 5 1 2 - 8 1.1 42 824 813 8 2 1 - 11 1.3

(12)

43 975 955 15 3 2 - 20 2.1 44 892 877 13 1 1 - 15 1.7 45 956 934 16 4 2 - 22 2.3 46 754 741 7 5 - 1 13 1.7 47 1,145 1,127 - 15 2 1 18 1.6 48 1,252 1,212 14 25 1 - 40 3.2 49 962 945 12 5 - - 17 1.8 50 975 959 10 3 2 1 16 1.6 51 1,233 1,209 19 2 3 - 24 1.9 52 942 922 12 7 1 - 20 2.1 53 765 750 6 6 2 1 15 2.0 54 711 703 3 3 1 1 8 1.1 55 1,148 1,136 - 10 2 - 12 2.0 56 823 812 4 4 3 - 11 1.3 57 952 934 9 7 1 1 18 1.9 58 754 743 8 3 - - 11 1.5 59 736 720 10 2 3 1 16 2.2 60 742 734 5 1 2 - 8 1.1 61 798 778 12 7 1 - 20 2.5 62 654 641 10 1 1 1 13 2.0 Total 56,619 55,599 551 346 97 26 1,020 112 Rata-Rata 913.21 896.76 8.89 5.58 1.56 0.42 16.45 1.80

Prosentase Jenis Kerusakan (%) 54.02 33.92 9.51 2.55 100.00

Sumber : Data Sekunder, 2011

Tabel di atas menunjukkan bahwa :

1. Volume produksi pada PT. Albata Semarang selama bulan Januari – Maret 2011 sebanyak 56,619 pcs namun yang siap packing sebanyak 55,599 pcs

2. Tingkat kerusakan / broken hasil produksi pada PT. Albata Semarang selama bulan Januari – Maret 2011 sebanyak 1.020 pcs

3. Tingkat kerusakan / broken rata – rata hasil produksi pada PT. Albata Semarang selama

bulan Januari – Maret 2011 sebesar 1.80 % , tingkat keusakan tersebut tidak melampui standar yang ditettapkan perusahaan yaitu sebesar 2 % dari total volume produksi . dengan demikian hipotesis 1 (H1) bahwa tingkat kerusakan produk yang terjadi dalam

proses produksi pada PT.Albata melampaui batas standar tidak terbukti

Histogram Jenis Kerusakan Hasil Produksi PT.Albata Semarang Bulan Januari – Maret 2011

(13)

Sumber : Data Sekunder, 2011

Grafik di atas menunjukkan banwa jenis broken yang sering terjadi adalah rusak karena warna tidak sesuai dengan jumlah broken sebanyak 551 pcs. Selanjutnya jumlah jenis broken karena komponen pecah/patah sebanyak 346 pcs. Adapun jenis broken karena salah pengamplasan dan salah router yang secara berturut-turut jumlahnya 97 dan 26 pcs.

2.Pengujian Statistik Tingkat Kerusakan Hasil Produksi

1. Uji Normalitas Data

Pengujian normalitas ini juga digunakan analisis stastistik Kolmogorov-Smirnov yang dapat dijelaskan berikut ini.

Hasil yang diperoleh yaitu angka signifikansi (Asymp. Sig.) = 0,592 >

 = 0,05 sehingga tidak signifikan. Kondisi ini menunjukkan data dalam penelitian ini berdistribusi normal.

2. Uji Rerata (Mean)

Uji mean digunakan untuk menguji signifikansi dari rata-rata suatu data sampel. Pengujian dilakukan dengan membandingkan nilai t hitung dengan t tabel dan angka signifikansi (sig.) dengan tingkat kesalahan penelitian

( α =0,05 ). Jika hasilnya signifikan maka rata-rata dari data sampel tersebut

dapat mewakili populasinya. Tabel berikut menunjukkan hasil uji mean terhadap tingkat kerusakan hasil produksi pada PT.Albata Semarang.

Tabel 4.3

Hasil Uji Mean Kerusakan Hasil Produksi PT.Albata Semarang Bulan Januari – Maret 2011

Sumber : Data primer yang diolah, 2011

Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai t hitung =31,400 > t tabel = 2,000 ( df =n-1= 62-1=61, α =0,05, uji dua pihak) dan sig. = 0,000 < α =0,05, dengan demikian rata-rata (mean) sebesar 1,806 adalah signifikan.

-100 200 300 400 500 600

Warna Tak SesuaiKomp. Pecah Salah Amplas Salah Router

Brang Rusak

t df Sig. (2-tailed)

Mean Difference

(14)

Hal ini menunjukkan tingkat kerusakan produk yang terjadi di pada PT. Albata sebesar 1,806 % yang terjadi lebih kecil dari standar yang ditetapkan perusahaan sebesar 2 %. Dengan demikian hipotesis 2 (H2) bahwa tingkat kerusakan produk

yang terjadi di pada PT.Albata bersifat signifikan mempengaruhi proses produksi tidak terbukti.

3.Analisis Menggunakan Peta Kendali p

Peta kendali p mempunyai manfaat untuk membantu pengendalian kualitas produksi serta dapat memberikan informasi mengenai kapan dan dimana perusahaan harus melakukan perbaikan kualitas. Dengan bantuan program komputer Stistical Product Service Solution (SPSS) Versi 17.0 dapat diperoleh

print out berupa grafik .

Berdasarkan gambar peta kendali p diatas dapat dilihat bahwa Center Line (CL) sebesar 0,018 atau 1.80 % dan tidak melampui garis LCL dan UCL . Sehingga data yang diperoleh berada dalam batas kendali yang telah ditetapkan, dan dapat dikatakan bahwa proses sudah terkendali. Hal ini menunjukkan tidak terjadi penyimpangan yang berarti di dalam proses produksi.

4.Pareto Chart Untuk Menganalisis Jenis Kerusakan Hasil Produksi

Jenis-jenis kerusakan yang terjadi pada produk furnitur antara lain: 1. Warna tidak sesuai permintaan buyer

Yaitu broken yang disebabkan oleh cuaca atau pengeringan pada waktu proses pewarnaan. Selain itu bisa juga disebabkan karena pencampuran komponen warna yang kurang tepat.

2. Komponen patah atau pecah

Yaitu broken yang disebabkan oleh kecerobohan karyawan sehingga barang kebentur atau jatuh yang menyebabkan patah atau pecah.

3. Salah amplas

Yaitu broken yang disebabkan karena kecerobohan karyawan sehingga barang terlalu banyak diamplas yang menyebabkan ukuran tidak sesuai standar. 4. Routeran profil salah

Yaitu broken yang disebabkan oleh kurangnya teliti operator mesin router sehingga mereka merouter barang tidak sesuai dengan ukuran yang semestinya.

Untuk mengetahui proporsi masing-masing jenis kerusakan tersebut digunakan Pareto Chart yaitu diagram batang yang tersusun dari batang yang terbesar hingga terkecil yang menunjukkan bannyaknya karakteristikl atau kategori yang dianalisis baik dalam bentuk jumlah atau prosen. Berikut digambarkan Pareto Chart :

Gambar 4.5

Pareto Chart Hasil Produksi

(15)

Pareto Chart di atas menunjukkan banwa jenis broken yang sering terjadi adalah rusak karena warna tidak sesuai dengan jumlah broken sebanyak 551 pcs yang merupakan jenis kerusakan terbesar ( 54,02 % ) . Selanjutnya jumlah jenis broken karena komponen pecah/patah sebanyak 346 pcs atau 33,92 % . Adapun jenis

broken karena salah pengamplasan dan salah router yang secara berturut-turut

jumlahnya 97 atau 9,51 % dan 26 pcs 2,55 % . Grafik Pareto juga menunjukkan urutan masing –masing jenis kerusakaan yang jika dijumlahkan mencapai 100 % tingkat kerusakaan hasil produksi. Dengan hipotesis 3 (H3)

bahwa jenis kerusakan yang terjadi pada produk dalam proses produksi pada PT.Albata yaitu warna tidak sesuai, komponen pecah, salah amplas dan salah router terbukti.

5. Aktivitas Pengendalian Kualitas Berlapis Pada PT. Albata Semarang

Pengendalian kualitas berlapis yang dilakukan perusahaan meliputi tiga tahapan, antara lain :

1. Pengendalian Terhadap Bahan Baku 2. Pengendalian Terhadap Proses Produksi 3. Pengendalian Terhadap Produk Jadi

Melalui aktivitas pengendalian kualitas secara berlapis yang telah dijelakan di atas, PT. Albata Semarang selama berproduksi dapat menekan tingkat kerusakan hasil produksi dan mempertahankan kualitas produk yang dihasilkan. Dengan demikian hipotesis 4 (H4) bahwa penerapan metode

pengecekan ganda / berlapis dalam mengendalikan kualitas produk PT.Albata dan menekan terjadinya kerusakan produk terbukti.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : wts kp sa sr Karakteristik 0.00 200.00 400.00 600.00 800.00 1000.00 1200.00 Jm l K erusakan 0% 20% 40% 60% 80% 100% Percent 551.00 346.00 97.00 26.00

(16)

1. Tingkat kerusakan / broken rata – rata hasil produksi pada PT. Albata Semarang selama bulan Januari – Maret 2011 sebesar 1.80 % , tingkat kerusakan tersebut tidak melampui standar yang ditettapkan perusahaan yaitu sebesar 2 % dari total volume produksi . Dengan demikian hipotesis 1 (H1) bahwa tingkat kerusakan produk yang terjadi dalam proses produksi pada PT. Albata melampaui batas standar tidak terbukti.

2. Hasil uji mean ditunjukkan nilai t hitung =31,400 > t tabel = 2,00 dan sig. = 0,000 < α =0,05, dengan demikian rata-rata (mean) sebesar 1,806 adalah signifikan. Dengan demikian hipotesis 2 (H2) bahwa tingkat kerusakan produk yang terjadi di pada PT.Albata bersifat signifikan mempengaruhi proses produksi tidak terbukti.

3. Pareto Chart menunjukkan bahwa jenis broken yang sering terjadi adalah rusak karena warna tidak sesuai, selanjutnya karena komponen pecah/patah, salah pengamplasan dan salah router. Dengan hipotesis 3 (H3) bahwa jenis kerusakan yang terjadi pada produk dalam proses produksi pada PT.Albata yaitu warna tidak sesuai, komponen pecah, salah amplas dan salah router terbukti.

4. Melalui aktivitas pengendalian kualitas secara berlapis yang telah dijelakan di atas, PT. Albata Semarang selama berproduksi dapat menekan tingkat kerusakan hasil produksi dan mempertahankan kualitas produk yang dihasilkan. Dengan demikian hipotesis 4 (H4) bahwa penerapan metode pengecekan ganda / berlapis dalam mengendalikan kualitas produk PT.Albata dan menekan terjadinya kerusakan produk terbukti.

5.2. Saran

1. Secara umum penyebab utama terjadinya kerusakan atau broken berasal dari faktor manusia dan mesin. Hal tersebut berdasarkan pengamatan yang dilakukan dimana kerusakan pada furnitur terjadi pada saat proses produksi furniture berlangsung menggunakan mesin yang mana setiap mesin dijalankan oleh beberapa operator. Oleh karena itu, usaha-usaha untuk mengatasi terjadinya broken yang disebabkan oleh factor tersebut dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Manusia

- Melakukan pengawasan atas para pekerja dengan lebih ketat.

- Memberikan pelatihan kepada para pekerja.

- Membuat sistem penilaian kerja yang baru dengan tujuan untuk

memotivasi kinerja para pekerja agar lebih baik. b. Mesin

- Melakukan pengecekan kesiapan mesin sebelum dan sesudah digunakan

agar sesuai standar operasional.

- Melakukan perawatan mesin secara berkala, tidak hanya ketika mesin

mengalami kerusakan saja.

- Segera mengganti komponen mesin yang rusak sehingga tidak

menghambat proses produksi.

2. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terbukti bahwa tingkat kerusakan terbesarnya adalah warna tidak sesuai. Penyebab utama kesalahan warna yang tidak sesuai adalah karena factor cuaca, karena sinar matahari

(17)

sangat berpengaruh terhadap kualitas warna yang dihasilkan. Semakin panas cahaya matahari yang didapatkan akan semakin baik pula warna yang dihasilkan, namun sebaliknya apabila cuaca mendung / tanpa sinar matahari maka warna cenderung tidak rata dan terlalu pekat. Untuk mengatasi hal tersebut maka perusahaan perlu :

- Menggunakan lampu mercuri yang mempunyai kapasitas panas diatas 100°C. - Menggunakan kipas angin dari berbagai arah dan berada diruangan khusus - Dioven dengan panas dibawah 40°C

- Menambah formula yang bias membuat warna rata walaupun tanpa

sinar matahari.

DAFTAR PUSTAKA

Bayu Prestianto, Sugiono dan Susilo Toto R. 2003. “Analisis Pengendalian Kualitas Pada PT. Semarang Makmur Semarang.” Jurnal Bisnis Strategi, Vol. 11/Juli/Th. VIII/2003.

Douglas C. Montgomery . 2001.Introduction to Statistical Quality Control. 4th

Edition. New York : John Wiley & Sons, Inc.

Fajar Siding N dan Hotniar Siringoringo. 2008. “Analisis Cacat Produk Botol

Milkuat 100 ml.” Diakses 3 Desember 2009, dari www.google.com Teknik Industri Universitas Gunadarma.

G. Roger . 2007. Manajemen Operasi. Jilid 2-Edisi 3. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Juita. Alisjahbana. 2005. “Evaluasi Pengendalian Kualitas Total Produk Pakaian Wanita Pada Perusahaan Konveksi.” Jurnal Ventura, Vol. 8, No. 1, April 2005.

La. Hatani, 2007. “Manajemen Pengendalian Mutu Produksi Roti Melalui Pendekatan Statistical Quality Control (SQC).” Diakses 12 Maret 2010, dari www.google.com/Jurusan Manajemen FE Unhalu.

Nasution, M. N.. 2005. Manajemen Mutu Terpadu. Bogor : Ghalia Indonesia.

Assauri, Sofjan. 1998. Manajemen Operasi Dan Produksi. Jakarta : LP FE UI

Suyadi Prawirosentono, 2007. Filosofi Baru Tentang Manajemen Mutu Terpadu Abad 21 “Kiat Membangun Bisnis Kompetitif”. Jakarta : Bumi Aksara. Vincent Gasperz, 2005. Total Quality Management. Jakarta : PT. Gramedia

Gambar

Gambar 2.1 Siklus PDCA
Gambar 2.2 : Kerangka Pemikiran Teoritis
Tabel di atas menunjukkan bahwa :
Grafik  di  atas    menunjukkan  banwa    jenis  broken  yang  sering  terjadi adalah rusak karena warna tidak sesuai dengan jumlah broken sebanyak 551 pcs.

Referensi

Dokumen terkait

Panitia Pembangunan GKI Karawaci atas nama Majelis Jemaat GKI Karawaci menyampaikan ucapan terima kasih kepada jemaat yang telah tergerak untuk membantu

Hasil dari pinjaman ini setelah dikurangi (i) biaya-biaya transaksi; dan (ii) alokasi pembayaran minimum atau cadangan pembayaran utang, dapat digunakan oleh

GUTI ( GUTI (Globally Unique Temporary Identity  Globally Unique Temporary Identity  ) di gunakan ) di gunakan kurang lebih hanya untuk menyembunyikan identitas

En cualquier caso, los datos obtenidos respecto a los vídeos online de España indican que los partidos políticos y las ideologías aún son relevantes en la comunicación

Tidak semua siswa yang sudah me- laksanakan program prakerin mendapat- kan kompetensi yang telah ditetapkan oleh sekolah, dikarenakan dalam pelaksanaan prakerin

Iklan seperti itu disebut iklan layanan masyarakat (ILM). Melalui ILM orang bisa diajak berkomunikasi guna memikirkan sesuatu yang bersifat memunculkan kesadaran baru yang

Berangkat dari situasi dan kondisi diatas, maka sangat penting bagi penyusun untuk meneliti sebuah tesis dengan tema “Perilaku Kekerasan Mahasiswa dalam

Untuk membentuk peserta didik yang memilki karakter disiplin, maka perlu adanya dukungan yang kuat dari pihak sekolah dan pihak orang tua siswa. Pihak sekolah