• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN. ilmiah yang pernah ditulis dan penelitian yang sudah dilakukan mengenai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN. ilmiah yang pernah ditulis dan penelitian yang sudah dilakukan mengenai"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

14

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP,

LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN

Secara umum, bagian ini terdiri atas empat bagian. Bagian pertama merupakan kajian pustaka, yang di dalamnya mengulas beberapa hasil pemikiran ilmiah yang pernah ditulis dan penelitian yang sudah dilakukan mengenai terjemahan dan penerjemahan khususnya yang berkaitan dengan bahasa simbol dan fenomena terjemahan yang berada pada dua kubu ekstrem, yaitu penerjemahan harfiah dan penerjemahan bebas. Bagian kedua menguraikan konsep dasar yang meliputi pengertian tentang simbol verbal religi, pemahaman tentang tegangan dalam dunia terjemahan, dalam hal perbandingan antara terjemahan harfiah dan terjemahan bebas, dan Kitab Wahyu sebagai kitab simbol. Bagian ketiga memuat landasan teori yang digunakan sebagai pijakan dalam menganalisis data penelitian. Bagian keempat memuat model penelitian yang menjadi kerangka awal dalam mendisain penelitian ini.

2.1 Kajian Pustaka

Penelitian ini bertujuan untuk meneliti penerjemahan simbol-simbol verbal yang terdapat di dalam Kitab Wahyu dari bahasa Inggris (Yunani) ke bahasa Indonesia dalam dua versi terjemahan yang berbeda, yaitu terjemahan harfiah dan terjemahan bebas. Oleh karena itu, dalam bagian ini dipandang perlu untuk meninjau beberapa penelitian yang membahas penerjemahan simbol dan juga penelitian yang mengarah pada studi perbandingan antara terjemahan harfiah dan terjemahan bebas. Kajian pustaka yang diuraikan dalam bagian ini terdiri atas dua bagian, yakni bagian pertama berkaitan dengan penelitian yang mengkaji

(2)

15

terjemahan, baik secara umum maupun yang menukik pada penerjemahan bahasa simbol, sedangkan bagian kedua berkaitan dengan hasil penelitian yang mengetengahkan fenomena terjemahan Alkitab yang berada pada dua kubu yang bertentangan yaitu terjemahan harfiah dan terjemahan bebas.

Beberapa pustaka hasil penelitian dan kajian kritis (artikel) yang memberi sumbangan pemikiran berharga dalam pengkajian karya terjemahan, baik secara umum maupun yang menukik pada penerjemahan bahasa simbol, dapat diuraikan seperti berikut.

Ordudari (2008) mengkaji penerjemahan simbol verbal dari bahasa Persia ke bahasa Inggris. Penelitian yang dilakukannya bertujuan untuk menyoroti fakta bahwa ada beberapa prosedur untuk menerjemahkan simbol secara efektif dari bahasa Persia ke dalam bahasa Inggris. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa prosedur terjemahan forenisasi yang sering ditemukan dalam terjemahan harfiah tidak terlalu fungsional dan berguna dalam mengungkapkan semua konsep yang mendasari simbol yang diterjemahkan. Meskipun ada jalan keluar yang bisa ditempuh untuk mengatasi hal ini, yaitu mengefektifkan penggunaan catatan kaki untuk menjembatani sistem simbol BSu dan BSa yang berbeda bahkan bertentangan, tetap saja prosedur ini dipandang tidak efektif karena cenderung mengakibatkan translation loss.

Di samping itu, penggunaan catatan kaki yang terlalu berlebihan akan membuat pembaca merasa kurang nyaman. Di sisi lain, prosedur yang dipandang lebih tepat adalah domestikasi yang ditempuh melalui prosedur deskriptif, yaitu dengan menambahkan pewatas (biasanya adjektiva) dan penggantian, yaitu entitas BSu dengan entitas BSa yang memiliki gambaran sejenis. Anggapan ini

(3)

16

didasarkan pada pemikiran bahwa dengan menggunakan prosedur domestikasi produk terjemahan tidak akan melanggar kesetiaan terhadap BSu dan pembaca BSa dapat memahami simbol secepat pembaca BSu. Di samping itu, pembaca BSa dapat memperluas pengetahuan budaya yang dimilikinya.

Penelitian yang dilakukan oleh Ordudari (2008) dapat dijadikan sebagai pijakan penting dalam penelitian ini karena mengungkap tentang prosedur yang tepat dalam menerjemahkan sistem simbol dalam dua bahasa. Kekurangan dari penelitian tersebut terletak pada kesederhanaannya yang hanya menggunakan pisau bedah berupa prosedur domestikasi dengan teknik deskriptif, replacement dan changing the symbol to sense dan foreignisasi dengan teknik terjemahan harfiah, catatan kaki dan penghilangan (omission).

Di sisi lain, penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih akurat dan spesifik karena menerapkan studi perbandingan dua versi produk terjemahan, yaitu yang harfiah dan yang bebas. Dalam hal ini, tim penerjemah dari masing-masing produk sudah menentukan metode penerjemahan yang mereka pakai dari sejak awal apakah harfiah atau bebas sehingga di samping dapat mengetengahkan hasil akhir berupa tingkat kesepadanan produk terjemahan kedua versi untuk dapat diperbandingkan, juga dapat diketahui ketepatan penggunaan prosedur dalam proses penerjemahan. Di samping itu, dalam penelitian ini melibatkan responden dari kalangan pembaca Alkitab, dan selain payung teori terjemahan, juga dimanfaatkan teori semiotik untuk membedah makna di balik simbol-simbol verbal religi yang diteliti.

Dastjerdi dan Shoorche (2011) melakukan penelitian pada pilihan kata dan bahasa simbolis dari dua karya terjemahan Persia, novel The Scarlet Letter.

(4)

17

Tujuan penelitian mereka adalah untuk meninjau bagaimana simbol-sombol dibahas dalam dua bahasa yang berbeda, yaitu Inggris dan Persia, atau untuk meneliti penerjemahan elemen-elemen stilistika dalam karya sastra. Oleh karena itu, mereka memilih objek kajian sebuah karya sastra The Scarlet Letter dan dua terjemahan bahasa Persia yang berbeda yang berfokus pada simbol dan pilihan kata. Penelitian tersebut juga melibatkan 24 orang mahasiswa program master studi terjemahan untuk menjawab pertanyaan yang disuguhkan oleh peneliti melalui kuesioner. Latar belakang di balik pemilihan responden ialah karena responden dianggap memiliki pengetahuan tentang teori-teori terjemahan serta kemampuan untuk mengevaluasi terjemahan berdasarkan kriteria yang disajikan kepada mereka sehingga bisa memberikan tinjauan kritis terhadap karya terjemahan.

Temuan dari studi tersebut menunjukkan bahwa tidak hanya simbol-simbol universal yang dapat diterjemahkan, tetapi juga simbol-simbol yang sarat dengan muatan budaya dapat diterjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain dengan pergeseran makna yang tidak berarti. Hasil penelitian mereka juga menyarankan bahwa guna memberikan pemahaman yang lebih baik bagi pembaca bahasa BSa diharapkan penerjemah mencantumkan catatan kaki khususnya bagi simbol-simbol yang sarat dengan muatan budaya.

Menyimak gambaran penelitian yang dilakukan oleh Dastjerdi dan Shoorche (2011), studi yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih akurat dan spesifik karena di samping menerapkan studi perbandingan dan melibatkan responden, juga mengetengahkan teori semiotik untuk melihat secara mendalam makna yang ada di balik simbol-simbol verbal religi yang

(5)

18

diteliti. Di samping itu, penelitian ini tidak hanya sebatas menyelidiki strategi yang dipakai oleh penerjemah dalam menerjemahkan bahasa simbolis, tetapi jauh lebih mendalam, yaitu mengamati ketepatan penerapan strategi penerjemahan yang dipakai atau bahkan ditentukan sejak awal oleh penerjemah atau tim penerjemah. Bahkan, lebih luas lagi, hasil penelitian ini dapat dipakai untuk memberikan sumbangan pemikiran terhadap fenomena global terjemahan Alkitab yang berada pada dua kubu ekstrem, yaitu terjemahan harfiah dan terjemahan bebas dengan meneliti produk terjemahan yang diterjemahkan dengan menggunakan metode yang berbeda serta dihasilkan tidak hanya oleh satu orang penerjemah, tetapi oleh sebuah tim dari Lembaga Biblika yang dipercaya, yaitu Lembaga Alkitab Indonesia.

Di lain sisi, penelitian yang dilakukan oleh Zare-Behtash dan Firoozkoohi (2009), yang secara diakronis menyoroti dikotomi strategi penerjemahan dalam hal ini domestikasi dan forenisasi, menguraikan hasil temuannya yang menyatakan bahwa meskipun kedua strategi sudah dipergunakan selama enam dasawarsa terakhir, domestikasi telah menjadi strategi penerjemahan budaya yang dipergunakan paling luas dari tahun 1950-an sampai dengan tahun 2000-an. Penelitian mereka, yang berjudul A Diachronic Study of Domestication and

Foreignization Strategies of Culture-Specific Items: in English-Persian

Translations of Six of Hemingway‟s Works bertujuan untuk mengeksplorasi

strategi penerjemahan budaya yang dominan dipakai untuk menerjemahkan kata bermakna budaya pada enam buah novel karya Ernest Hemingway dari bahasa sumbernya yaitu bahasa Inggris ke dalam bahasa Persia selama enam dasawarsa terakhir. Data dikumpulkan dengan memilih secara acak 10 halaman dari enam

(6)

19

karya Hemingway dari tahun 1950 sampai dengan tahun 1978 untuk dibandingkan dengan terjemahannya yang ditulis dari tahun 1952 sampai dengan tahun 2004. Selanjutnya, korpus data disusun dengan menemukan istilah-istilah yang memiliki makna budaya dan disusun berdasarkan taksonomi yang sudah dipersiapkan untuk kemudian dikontraskan antara BSu dan BSa dalam hal prosedur penerjemahan yang diterapkan oleh penerjemah untuk mengetahui strategi yang lebih dominan dipakai dalam kurun waktu tersebut.

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zare-Behtash dan Firoozkoohi pada tahun 2009, Schmidt (2013) juga melakukan studi diakronik terhadap penerapan dua kubu strategi penerjemahan, yaitu domestikasi dan forenisasi, dari bahasa Inggris ke bahasa Kroasia terhadap tiga karya terjemahan dari novel Oscar Wilde, yaitu The Picture of Dorian Gray yang diterjemahkan pada tahun 1920, 1953, dan 1987. Berbeda dengan hasil yang diperoleh Zare-Behtash dan Firoozkoohi, studi diakronik yang dilakukan oleh Schmidt justru menemukan fakta yang berlawanan, yaitu strategi penerjemahan yang diterapkan dalam kurun waktu termaksud justru didominasi oleh forenisasi dengan rasio perbandingan 1:4 pada tahun 1920, 1:2 pada tahun 1953, dan 1:3,5 pada tahun 1987.

Meskipun rasio perbandingan menunjukkan kecenderungan peralihan dari strategi forenisasi ke arah domestikasi, penerjemah masih secara dominan memilih strategi forenisasi dibandingkan dengan domestikasi. Terkait dengan fakta ini, Schmidt (2013) menyatakan bahwa strategi penerjemahan secara umum mewakili kecenderungn sosial dan budaya dalam masyarakat kontemporer. Lebih jauh dikatakan pula bahwa premis umum tersebut mengarah pada simpulan bahwa

(7)

20

masyarakat Kroasia cukup terbuka atau setidaknya toleran terhadap unsur-unsur kebudayaan asing, dalam hal ini, Inggris. Jika hal ini dikaitkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zare-Behtash dan Firoozkoohi (2009) dapat disimpulkan pula bahwa masyarakat Persia bahkan lebih terbuka terhadap penerimaan unsur-unsur budaya asing merujuk pada fakta penelitian yang menunjukkan sejak awal kecenderungan strategi penerjemahan yang dipakai sudah mengarah pada domestikasi.

Kedua penelitian yang didasarkan pada studi diakronik di atas dapat memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap penelitian ini terutama dalam hal menyusun taksonomi data ataupun taksonomi untuk alat menganalisis prosedur ataupun strategi yang dipergunakan oleh penerjemah, hanya saja memiliki perbedaan yang cukup signifikan dalam hal tujuan yang ingin dicapai. Penelitian yang dilakukan, baik oleh Zare-Behtash dan Firoozkoohi maupun Schmidt, bertujuan untuk mengetahui strategi yang dominan dipakai oleh penerjemah dalam kurun waktu tertentu yang nantinya bermuara pada kecenderungan tren sosial dan budaya masyarakat dari bahasa target dalam hal ini Persia dan Kroasia. Di lain sisi, penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk mengetahui ketepatan strategi penerjemahan yang diterapkan oleh penerjemah mengingat dalam penerjemahan teks Alkitab ideologi penerjemahan sudah ditetapkan dari sejak awal, apakah menerapkan ideologi domestikasi, ataukah sebaliknya, secara utuh menerapkan ideologi forenisasi. Hal ini diharapkan akan bermuara pada satu temuan untuk menjawab fenomena global penerjemahan Alkitab yang mempertentangkan kubu terjemahan harfiah dan terjemaham bebas.

(8)

21

Brata (2010), dalam disertasinya tentang terjemahan sistem sapaan budaya religi dalam Injil Lukas, menyelidiki bagaimana sistem sapaan budaya religi dalam bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam dua versi terjemahan bahasa Bali. Dalam hal ini, kedua versi terjemahan diparalelkan untuk dapat melengkapi satu sama lain dan tidak dipertentangkan. Teori yang dipergunakannya adalah teori

appraisal untuk menentukan distribusi golongan dan stratifikasi status sosial

pelibat untuk menentukan teknik penerjemahan. Selain itu, diterapkan pula teori padanan formal dan dinamis yang dicetuskan oleh de Ward dan Nida (1986) serta diagram V metode penerjemahan dari Newmark (1988) untuk menunjukkan orientasi penerjemahan yang berkaitan erat dengan ideologi penerjemahan itu sendiri.

Penelitian seperti tersebut di atas mengungkapkan bahwa terdapat 12 teknik penerjemahan yang diterapkan dalam menerjemahkan sistem sapaan bahasa Inggris ke dalam bahasa Bali dan 99,02% berorientasi pada bahasa target. Hal ini berarti bahwa ideologi domestikasi yang dominan diterapkan oleh penerjemah untuk menjadi lebih dekat pada pembaca bahasa target sehingga nilai budaya bahasa target tercermin dalam terjemahan. Dominasi teknik penerjemahan yang berorientasi pada bahasa target juga menunjukkan bahwa ada perbedaan budaya yang besar antara teks bahasa sumber dan teks bahasa sasaran khususnya dalam hal sistem sapaan.

Temuan lain yang erat kaitannya dengan studi ini menunjukkan bahwa dampak dari pemanfaatan prosedur yang dipilih di antara 12 prosedur penerjemahan dalam penerjemahan sistem sapaan budaya religi yang terdapat pada Injil Lukas dapat dikatakan memberikan kontribusi yang sangat positif pada

(9)

22

kualitas terjemahan, sehingga produk terjemahan menjadi sangat akurat, budaya dapat diterima, dan dimengerti oleh pembaca sasaran. Menurut Brata (2010), hal ini terjadi karena teknik/prosedur terjemahan yang dipakai selalu sebanding dengan metode yang diterapkan yang komunikatif dan ideologi penerjemahan yang cenderung didomestikasi. Berbeda dengan penelitian Brata (2010) yang bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan strategi penerjemahan yang digunakan untuk menerjemahkan sistem sapaan dalam Injil Lukas, penelitian yang dilakukan ini memiliki tujuan yang lebih spesifik karena tidak sekedar untuk mendeskripsikan jenis strategi yang dimanfaatkan oleh penerjemah tetapi lebih dalam lagi, yaitu untuk meneliti ketepatan pemanfaatan strategi penerjemahan yang secara umum telah ditentukan jenis strategi yang dipakai sebelum proses penerjemahan dilakukan.

Berikut adalah pustaka hasil penelitian dan kajian kritis (artikel) yang memberi sumbangan pemikiran berharga terkait dengan fenomena terjemahan Alkitab yang berada pada dua kubu yang bertentangan yaitu terjemahan harfiah dan terjemahan bebas. Currie (2008) dalam artikelnya, "Membandingkan Versi Terjemahan Alkitab", membandingkan beberapa versi terjemahan Alkitab yang mencakup sebagian besar versi Alkitab utama yang digunakan saat ini dengan menggunakan kriteria bahwa tidak ada perubahan telah dibuat, dalam arti bahwa tidak ada yang ditambahkan, dan bahwa tidak ada doktrin disisipkan ke dalamnya. Currie (2008) kemudian memberikan skor untuk masing-masing versi dan analisis membawanya pada suatu simpulan bahwa versi terbaik yang menggunakan prinsip kesetaraan dinamis minimal telah kehilangan 10% tingkat akurasi,

(10)

23

sedangkan versi rata-rata kesetaraan dinamis tampaknya kehilangan sekitar 70 - 80% tingkat akurasi.

Berdasarkan penelitian itu, Currie (2008) menyarankan para pembaca Alkitab, jika mengalami kesulitan dalam memahami versi terjemahan Alkitab yang menggunakan prinsip kesetaraan formal, supaya mencoba versi kesetaraan formal yang lain sebelum beralih ke versi kesepadanan dinamis. Jika tidak dapat menemukan terjemahan kesetaraan formal yang dimengerti, ia menyarankan untuk membeli satu versi kesetaraan dinamis namun hanya sebagai bahan perbandingan. Riset yang dilakukan oleh Currie (2008) relevan dengan penelitian ini karena mengetengahkan fakta tentang ekstremitas dua kubu terjemahan dalam dunia penerjemahan Injil sebagai akibat dari penerapan dua metode penerjemahan yang bertentangan satu sama lain, yaitu kesepadanan formal dan kesepadanan dinamis.

Hasil kajian yang dikemukakan oleh Currie (2008) memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap penelitian ini karena mengetengahkan fenomena global terjemahan Injil yang berada pada dua kubu yang sering kali dipertentangkan, yaitu antara terjemahan harfiah dan terjemahan bebas. Di samping itu, hasil studi yang diungkap oleh Currie (2008) juga mewakili pendapat sebagian besar kalangan bahwa terjemahan harfiah memiliki tingkat akurasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan terjemahan bebas. Hal ini dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan ataupun masukan dalam studi yang dilakukan ini.

Roach (2011), dalam sebuah artikel tentang versi terjemahan Alkitab, memaparkan hasil penelitian yang dilakukan oleh LifeWay Research terhadap

(11)

24

sebanyak 2.000 orang pembaca Alkitab di Amerika yang berpartisipasi dalam studi melalui panel secara online. Riset dilakukan pada bulan Agustus tahun 2011 sehingga data dipandang masih relevan. Untuk memenuhi syarat sebagai informan, peserta harus membaca Alkitab dalam bulan tertentu, baik secara pribadi maupun sebagai bagian dari kegiatan keluarga.

Hasil risetnya menunjukkan sebanyak 61% peserta survei menyatakan bahwa mereka memilih terjemahan harfiah dibandingkan dengan terjemahan bebas. Sebaliknya, hanya 20% dari total peserta memilih terjemahan bebas dan sisanya sebanyak 14% menyatakan keduanya baik, dan 5% tidak yakin terhadap pilihan mereka. Lebih jauh mengenai hasil riset tersebut, Roach (2011) memaparkan bahwa dari keseluruhan peserta sebanyak 75% memilih versi terjemahan yang mengedepankan totalitas dalam hal akurasi, dan sebaliknya, hanya 35% yang memilih produk terjemahan yang menempatkan keterbacaan sebagai prioritas utama. Hasil penelitian yang dilakukan oleh LifeWay Research cukup relevan dengan studi yang dilakukan ini mengenai dikotomi antara dua kubu ekstrem terjemahan Alkitab, yaitu yang harfiah dan yang bebas. Data dari

LifeWay Research menyatakan bahwa secara lugas fenomena global

penerjemahan Alkitab khususnya di Amerika dapat dijadikan acuan untuk penelitian lebih lanjut.

2.2 Konsep

Ada beberapa konsep yang berkaitan dengan penelitian ini yang perlu diperjelas sebelum beralih ke penyelidikan lebih lanjut. Tujuannya selain untuk menyamakan persepsi terhadap istilah-istilah yang digunakan, juga dimaksudkan

(12)

25

untuk memperjelas variabel penelitian, teori, tahapan analisis, dan pendekatan yang digunakan. Beberapa konsep yang dimaksud adalah: (a) terjemahan harfiah dan terjemahan bebas, (b) simbol-simbol verbal religi, dan (c) kitab Wahyu. Berikut adalah uraian singkat dari istilah-istilah yang dimaksud.

2.2.1 Terjemahan Harfiah dan Terjemahan Bebas

Segregasi atau pemisahan antara terjemahan harfiah dan terjemahan bebas yang dikenal dengan istilah dikotomi di dalam dunia penerjemahan khususnya penerjemahan Alkitab adalah divisi atau pemisahan strategi penerjemahan yang dilakukan berdasarkan pada prinsip-prinsip yang berbeda yang mencerminkan pendekatan-pendekatan teoretis yang berbeda terhadap terjemahan (Kemppanen, 2011:147).

Kedua strategi yang menghasilkan kubu yang bertentangan di dalam penerjemahan baik yang berorientasi pada produk maupun proses, diberi label dalam beberapa istilah yang berbeda, yaitu kesepadanan formal dan dinamis (Nida, 1964), terjemahan semantik versus komunikatif (Newmark, 1981), terjemahan literal dan idiomatik (Beekman dan Callow, 1974), terjemahan teraga (overt) dan tak teraga (covert) (House, 1977), terjemahan yang berasas pada bentuk dan makna (Larson, 1984), domestikasi dan foreginisasi (Venuti, 1995, 1998), terjemahan langsung (direct) dan tak langsung (indirect) (Gutt, 1991), dan terjemahan observasional dan partisipatif (Pym, 2010).

Namun, pemisahan berbagai strategi penerjemahan ke dalam dua kelompok besar diperkenalkan oleh para ahli bahasa dengan berbagai istilah yang

(13)

26

berbeda Nida (1964) menegaskan bahwa secara tradisional kita cenderung untuk berpikir dalam kerangka terjemahan harfiah dan terjemahan bebas.

2.2.2 Simbol-Simbol Verbal Religi

Nöth (1990) menyebutkan bahwa dalam arti yang luas simbol adalah sinonim dari tanda. Lebih jauh ditegaskan bahwa terlepas dari ketidakjelasan terminologi, definisi yang lebih sempit yang mendefinisikan simbol sebagai kelas tanda, dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu simbol sebagai tanda konvensional, simbol sebagai tanda ikonik, dan simbol sebagai tanda konotasional. Subtipe dari simbol adalah simbol verbal, grafis dan simbol bergambar lainnya (seperti logo atau merek dagang), bendera, dan lambang. Merujuk pada pengertian bahwa definisi istilah verbal mengacu pada segala sesuatu yang berbasis kata, baik yang berwujud ucapan maupun tulisan maka yang dimaksud dengan simbol verbal dalam penelitian ini adalah simbol yang berbasis pada kata yang dalam hal ini berwujud tulisan.

Secara umum, Peirce mendefinisikan simbol sebagai tanda yang memiliki tiga elemen yaitu representamen, interpretan, dan objek, yang mana hubungan antara dua elemennya yaitu representamen dan interpretan bersifat konvensional. Sehubungan dengan penjelasan di atas, yang dimaksud dengan simbol verbal adalah eksistensi representamen pada teks yang berbentuk tulisan dan mengacu pada sesuatu yang berbeda dari apa yang tertulis pada teks. Locker (2003) menegaskan pula bahwa tipe dari tanda ini hanya dapat dipahami dengan mengaitkan maknanya. Misalnya, simbol verbal perempuan berselubungkan

(14)

27

matahari dalam Kitab Wahyu merupakan simbol dari orang Israel, Gereja Kristen,

atau seluruh Umat Allah.

Sejalan dengan pernyataan tersebut di atas, Shaw (1881:367) menyajikan definisi simbol sebagai sesuatu yang digunakan untuk, atau dianggap, mewakili sesuatu yang lain. Lebih khusus, simbol adalah sebuah kata, frasa, atau ekspresi lain yang memiliki makna kompleks, dalam hal ini, simbol dipandang memiliki nilai yang berbeda dari apa pun yang disimbolkannya. Sebagai tanda yang arbitrer (ditulis atau dicetak) yang telah memperoleh signifikasi konvensional, sebuah simbol adalah "sesuatu yang terlihat yang melalui asosiasi atau konvensi melambangkan sesuatu yang lain yang tak terlihat" (Word Reference). Michelson (2005:176) melihatnya sebagai kata kiasan "suatu gambaran yang ditransfer oleh sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain, seperti bendera untuk negara, atau musim gugur untuk kedewasaan.” Simbol dapat mewakili ide-ide yang terkandung dalam gambar tanpa menyatakannya. Simbol dapat menjadi subjek dari keragaman atau konotasi, karena itu, baik penyair maupun pembaca, harus menerapkan kebijaksanaan yang masuk akal untuk menghindari salah tafsir. Simbol didefinisikan dalam Encyclopedia Britannica (online) sebagai elemen komunikasi yang dimaksudkan untuk hanya mewakili atau menggantikan orang, objek, kelompok atau ide.

Lebih jauh, Harshananda (1988) menyebutkan bahwa simbol religi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan penggunaan simbol-simbol (arkitipe, tindakan, karya seni, peristiwa atau fenomena alam) oleh agama tertentu untuk berbagai keperluan. Dalam hal ini, agama melihat teks-teks agamawi, ritual, dan karya seni sebagai simbol untuk meyakinkan seseorang tentang ide atau

(15)

28

pemahaman tertentu. Simbol membantu menciptakan mitos yang resonan untuk mengekspresikan nilai-nilai moral masyarakat atau ajaran agama, menciptakan solidaritas antarumat dan membawa pengikut lebih dekat ke objek ibadah mereka. Studi mengenai simbol-simbol religi dapat dilakukan, baik secara universal yaitu sebagai komponen perbandingan agama dan mitologi maupun dalam lingkup lokal yaitu dalam batas-batas agama.

2.2.3 Kitab Wahyu

Kitab Wahyu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Alkitab yang adalah kitab suci umat Kristiani. Alkitab memiliki 66 jilid buku yang terdiri atas 39 jilid Perjanjian Lama (PL) dan 27 Jilid Perjanjian Baru (PB). Semua jilid tersebut sudah diakui secara universal oleh umat Kristen di dunia. Jilid pada Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tersebut dibedakan lagi menjadi beberapa kelompok.

Kelompok yang dimiliki oleh Perjanjian Lama terdiri atas lima kitab. Terdiri atas Kitab Taurat yang memiliki lima kitab, Kitab Sejarah yang memiliki 12 kitab, Kitab Puisi memiliki lima kitab, Kitab Nabi-nabi Besar dalam lima kitab, dan Kitab Nabi-nabi Kecil dalam 12 kitab. Sementara itu, pembagian dari Perjanjian Baru memiliki jumlah yang lebih sedikit. Perjanjian Baru memiliki empat kitab, yaitu Kitab Injil yang memiliki empat kitab, Kitab Sejarah hanya satu kitab, Surat-surat Rasuli memiliki 21 kitab, dan Kitab Wahyu yang juga hanya satu kitab.

Kitab-kitab yang terdapat dalam Alkitab tersebut dibedakan berdasarkan apa yang disebut pasal. Pasal yang terdapat dalam Alkitab terdiri atas pasal

(16)

29

pendek, sedang, hingga pasal panjang, secara berurutan yaitu pasal Obaja, Filemon, Yohanes, Yudas dan Mazmur. Ketika akan mencari pasal dalam Alkitab, penyebutan nama kitab terlebih dahulu akan memudahkan dalam pencarian.

Penyususnan Alkitab dilakukan secara semi-kronologis. Penyusunan seperti ini mutlak dilakukan ketika akan menyusun Kitab Sejarah agar kronologis yang dibukukan tidak memusingkan para pembacanya. Pembagian kronologis, buku, pasal, dan ayat yang terdapat dalam Alkitab adalah hasil dari perumusan yang dilakukan oleh Kaum Gereja pada zaman dahulu.

Secara khusus, Kitab Wahyu merupakan kitab terakhir dari Perjanjian Baru. Judul kitab diambil dari kata pertama dari buku tersebut dalam bahasa Yunani Koine: apokalypsis, yang berarti "penyingkapan" atau "wahyu" (penulisnya sendiri tidak memberikan judul pada tulisannya). Williams (2003) menjelaskan bahwa kitab tersebut ditulis oleh seorang pria bernama Yohanes yang mencatat visi yang diberikan kepadanya, mungkin saat bermimpi atau bermeditasi. Visi ini mengandung sejumlah besar simbolisme. Beberapa dari simbol yang terdapat dalam Kitab Wahyu seperti yang disebutkan oleh Wikipedia adalah dua puluh empat tua-tua yang menggunakan mahkota, empat makhluk hidup, Singa Yehuda yang adalah Anak Domba bertanduk tujuh dengan tujuh mata, binatang laut yang memiliki tujuh kepala dan sepuluh tanduk, wanita dan anaknya, naga yang merah menyala dengan tujuh kepala, dan lain-lain.

Kitab Wahyu adalah bagian dari Alkitab yang sebagian besar tidak dikenal meskipun di kalangan umat Kristiani dan bahkan bagi beberapa orang merupakan kitab yang harus dihindari. Banyak pembaca modern merasa sulit untuk memahaminya karena penuh dengan jenis simbolisme yang asing bagi pembaca

(17)

30

masa kini dan memahami apa yang diwakili oleh simbol adalah hal yang tidak mudah. Keseluruhan bagian Kitab Wahyu dapat dikategorikan sebagai sastra yang disebut apokaliptik yang menunjukkan apa yang terjadi di bawah permukaan, menjelaskan mengapa hal-hal terjadi dan akan terjadi, sering berkonsentrasi pada hal-hal yang akan datang dan terutama akhir zaman (Chapman dan Emeritus, 2009).

2.3 Landasan Teori

Landasan teori yang menjadi pijakan utama dalam penelitian ini adalah teori terjemahan mengingat studi ini adalah studi penerjemahan. Teori ini, terutama dapat dijadikan sebagai dasar untuk menganalisis, membicarakan, dan meneliti fenomena penerjemahan dalam hal ini Alkitab, yang berada pada dua kubu ekstrem yang berbeda, atau yang sering dikenal dengan dikotomi antara terjemahan harfiah dan terjemahan bebas. Sesuai dengan fungsi teori yang diungkap oleh Hill (1990:28), landasan teori yang dipakai dalam penelitian ini juga berfungsi untuk meringkas sekumpulan besar pengetahuan mengenai hukum-hukum tertentu ke dalam ruang yang cukup kecil sehingga dapat menjadi pemandu terhadap fokus penelitian yang sedang dilakukan.

Namun, sesuai dengan pandangan ekletisme, diperlukan penggabungan beberapa dasar teori untuk menjawab fenomena dalam dunia penerjemahan Alkitab khususnya yang menyangkut pengalihan bahasa simbolis dari TSu ke TSa. Untuk itu disamping teori terjemahan terdapat dua teori lain yang diterapkan secara eklitik dalam penelitian ini yaitu teori semantik, dan teori semiotik. Penerapan teori semiotik yang cukup dominan didukung oleh pernyataan yang

(18)

31

dikemukakan oleh Bassnett (1990/1991:34) bahwa saat ini studi terjemahan telah semakin mengadopsi pendekatan interdisipliner untuk mempelajari penerjemahan sebagai transposisi intertekstual dan antarbudaya.

2.3.1 Teori Terjemahan

Meskipun bukanlah solusi untuk semua masalah yang muncul dalam proses penerjemahan, teori terjemahan merupakan orientasi umum bagi penerjemah dalam mengambil keputusan saat melakukan kegiatan penerjemahan. Untuk itu, pemahaman tentang konsep umum teori penerjemahan sangat penting dan berguna bagi para penerjemah karena mustahil bagi para penerjemah untuk mendapatkan terjemahan yang baik tanpa memahami teori terjemahan.

Nababan (1999:13) menyatakan bahwa teori penerjemahan memusatkan perhatiannya pada karakteristik dan masalah-masalah penerjemahan sebagai suatu fenomena. Lebih jauh, Lauven-Swart, seperti yang dikutip oleh Nababan (1999:15), menyatakan bahwa tujuan utama dari teori penerjemahan bukan untuk menghasilkan penerjemah dan karya terjemahan yang lebih baik, tetapi mungkin saja hal ini merupakan produk dari teori dan metode penerjemahan. Dalam arti yang sempit, teori terjemahan menyangkut metode terjemahan yang tepat untuk jenis teks tertentu. Namun, dalam arti yang lebih luas teori terjemahan dapat dikatakan sebagai wujud dari pengetahuan yang dimiliki tentang menerjemahkan yang terdiri atas prinsip-prinsip umum sampai pada panduan, saran, dan pentunjuk. Sejalan dengan itu, Newmark (1988:9) mengatakan bahwa yang dilakukan oleh teori terjemahan adalah: pertama, untuk mengidentifikasi masalah terjemahan, karena menurutnya, tidak ada masalah maka tidak ada teori

(19)

32

terjemahan, kedua, untuk menunjukkan semua faktor yang harus diperhitungkan dalam memecahkan masalah; dan ketiga, untuk mendaftar semua prosedur penerjemahan yang memungkinkan dan pada akhirnya untuk merekomendasikan prosedur penerjemahan yang paling cocok.

Berbicara mengenai teori terjemahan tidak bisa dipisahkan dari perkembangannya yang menyangkut tanggal tertentu, angka-angka, serta orang-orang yang menyumbangkan pemikiran berharga dan melegenda yang menandai periode sejarah penerjemahan. Para peneliti menyebutkan bahwa tulisan-tulisan tentang terjemahan kembali ke Roma. Jakobson (1958) mengklaim bahwa menerjemahkan adalah penemuan Romawi (McGuire,1980). Pemikiran yang disumbangkan oleh Cicero dan Horace (abad pertama SM) adalah teori pertama yang membedakan antara terjemahan harfiah dan terjemahan bebas. Komentar mereka dalam praktik terjemahan memengaruhi generasi berikutnya dalam studi penerjemahan hingga abad kedua puluh. Dikotomi antara terjemahan harfiah dan terjemahan bebas bermula pada Kekaisaran Romawi dan sejak itu terus menjadi titik perdebatan dalam berbagai hal sampai dengan saat ini, seperti Bassnett (1991:47) yang mengungkapkan, “The distinction between word for word and

sense for sense translation, established within the Roman system, has continued to

be a point of debate in one way or another right up to the present.”

Lebih khusus lagi, Steiner (1975:346-40) dalam tulisannya After Babel, terlepas dari struktur kronologisnya yang masih tumpang tindih, membagi literatur tentang teori, praktik dan sejarah terjemahan ke dalam empat periode, dimulai dari zaman Cicero sampai sekarang. Periode pertama mencakup rentang waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 1.700 tahun, yang berakhir hingga terbitnya esai dari

(20)

33

Tytler yang berjudul On the Principles of Translation pada tahun 1791. Ciri utama dari periode ini adalah “fokus empiris langsung”, yaitu pernyataan-pernyataan dan teori-teori yang timbul langsung dari praktik menerjemahkan. Periode kedua Steiner berlangsung sampai dengan terbitnya karya Larbaud, Sous

I‟invocation de Saint Jérome, pada tahun 1946 yang ditandai sebagai periode teori

dan studi hermeneutik dengan perkembangan kosakata dan metodologi penerjemahan. Periode ketiga ditandai oleh terbitan pertama yang merupakan produk dari terjemahan mesin pada tahun 1940. Periode ketiga, ini juga menandai sejarah penerjemahan dengan pengenalan linguistik struktural dan teori komunikasi dalam penerjemahan. Periode keempat dimulai pada tahun 1960, ditandai dengan era kembalinya terjemahan pada studi hermeneutik, yaitu penerjemahan dan interpretasi atau penerjemahan yang mencakup sejumlah disiplin lain, seperti filologi klasik, sastra komparatif, statistik leksikal dan etnografi, sosiologi, retorika formal, puisi dan studi tata bahasa yang digabungkan dalam upaya untuk memperjelas tindakan penerjemahan dan proses “hidup antarbahasa”.

2.3.1.1 Kejelasan teoritis tentang terjemahan harfiah dan terjemahan bebas

Di dalam sebuah artikel berjudul “Dikotomi Terjemahan Bebas dan Harfiah”, yang dimuat dalam sebuah jurnal terjemahan, Barbe (1996) menyatakan bahwa salah satu dari dua pertanyaan dominan dalam dunia terjemahan selain posisi disiplin ilmu tersebut sebagai bidang studi yang terlepas, baik dari sastra komparatif maupun linguistik terapan, adalah kemana sebaiknya terjemahan mengacu apakah pada bahasa sumber (harfiah) ataukah berorientasi pada bahasa

(21)

34

target (terjemahan bebas)? Seperti yang sudah diungkapkan sebelumnya, para ahli bahasa mungkin saja mempergunakan berbagai istilah yang berbeda untuk mengacu pada pemisahan kedua strategi penerjemahan seperti, misalnya kesepadanan formal dan dinamis, domestikasi versus foreignisasi, dan sebagainya, tetapi konsep yang diacu sesungguhnya masih tetap sama, yaitu mengenai orientasi strategi penerjemahan yang dilakukan berdasarkan pada prinsip-prinsip yang berbeda yang mencerminkan pendekatan-pendekatan teoretis yang berbeda terhadap terjemahan.

Seperti yang sudah diungkapkan di atas, pemisahan orientasi strategi penerjemahan, yakni yang harfiah dan yang bebas, bukan merupakan hal yang baru tetapi sudah bermula dan dapat ditelusuri dari zaman Cicero pada abad pertama sebelum masehi dan masa St. Jerome pada akhir abad keempat masehi. Sejak zaman Romawi yang dimaksud dengan terjemahan harfiah atau yang juga dikenal dengan terjemahan kata-demi-kata mengacu secara mutlak pada BSu dalam pengertian bahwa penggantian setiap kata dari BSu dilakukan berdasarkan kesetaraan gramatikal terdekat dengan BSa. Demikian pula terjemahan bebas mengandung pengertian menciptakan teks sasaran yang natural yang mampu menyatakan makna aslinya tanpa mendistorsi BSa (Baker, 1998).

Schmidt (2013:538) mengungkapkan bahwa dalam perjalanan selanjutnya, pemahaman teoretis tentang terjemahan harfiah dan terjemahan bebas yang sebelumnya hanya menekankan unsur linguistik semakin berkembang dengan dipertimbangkannya unsur budaya yang dalam hal ini dimunculkan oleh Venuti dengan konsepnya yang dikenal dengan domestikasi dan foreinisasi, yaitu apakah BSu diadaptasi ke dalam budaya BSa, ataukah sebaliknya, unsur-unsur budaya

(22)

35

asing tetap dipertahankan. Sejalan dengan hal ini, Behtash dan Firoozkoohi (2009:1576) menyatakan bahwa sejak era Venuti strategi penerjemahan telah mengadopsi unsur budaya dan ideologi sebagai faktor yang diperhitungkan dalam proses penerjemahan dan juga pengaruh terjemahan terhadap pembaca sasaran serta budaya mereka. Jadi, pemisahan orientasi terjemahan harfiah dari terjemahan bebas tidak hanya mempertimbangkan unsur linguistik tetapi juga sudah berkembang ke arah pertimbangan budaya dan juga pembaca sasaran. Hal ini juga sejalan dengan pendapat (Wang, 2002:24) bahwa konflik antara kedua kubu terjemahan sudah ada dalam ranah kultural atau bahkan politik, dan bukan hanya mencakup ranah linguistik. Pembaharuan ini diperkirakan dimulai pada sekitar tahun 1970-an, yaitu sejak munculnya era budaya, maka pertentangan antara kedua kubu terjemahan dilihat dari sudut pandang yang berbeda – sosial, budaya dan historis:

The conflict between domestication and foreignization as opposite translation strategies can be regarded as the cultural and political rather than linguistic extension of the time-worn controversy over free translation and literal translation (Wang Dongfeng 2002:24).

Terkait dengan pertimbangan budaya, Venuti (1998:240) mendefinisikan domestikasi sebagai strategi penerjemahan yang mengadopsi gaya yang disebutnya transparan dan fasih untuk meminimalkan keanehan teks asing bagi pembaca bahasa target. Hal ini berarti penerjemahan menerapkan strategi yang membuat teks dikenali dan familiar sehingga mampu membawa budaya asing lebih dekat dengan pembacanya. Sebaliknya, foreinisasi mengacu pada strategi penerjemahan yang mempertahankan keasingan BSu. Hal ini juga berarti penerjemahan membawa pembaca untuk mengenal budaya asing dan membuat mereka merasakan perbedaan khasanah bahasa dan budaya.

(23)

36

Selain Venuti, tokoh lain yang menyoroti pemisahan oritenasi penerjemahan ke dalam kubu yang harfiah dan yang bebas adalah Nida yang menyebut masing-masing strategi sebagai kesepadanan formal dan dinamis. Nida (2001:118) menyatakan bahwa kesepadaan formal adalah strategi yang memfokuskan perhatian pada pesan itu sendiri, baik dalam bentuk maupun isi. Ini adalah cara untuk memberikan wawasan dalam bentuk leksikal, gramatikal atau struktur teks BSu. Kesetaraan fungsional, di lain sisi, didasarkan pada prinsip efek setara, yaitu hubungan antara penerima pesan dan pesan itu sendiri harus setara dengan hubungan antara penerima asli dan BSu. Lebih jauh ditegaskan bahwa dalam bahasa, budaya dan penerjemahan, secara minimal, yang dimaksud dengan kesetaraan fungsional adalah bahwa “pembaca sasaran memahami hasil terjemahan sampai pada satu titik pemahaman sebatas pengertian mereka sebagaimana pembaca asli dari teks tersebut memahami dan menghargainya. Selanjutnya, secara maksimal kesetaraan fungsional mengandung pemahaman bahwa pembaca sasaran harus dapat memahami dan menghargai dengan cara yang sama seperti pembaca sumber memahaminya.

Tidak seperti Venuti (2000) yang cenderung mengadopsi strategi literal dibandingkan dengan bebas, Nida (1964) yang banyak bergelut dengan terjemahan Alkitab lebih condong pada kesepadanan fungsional yang menekankan pada keterbacaan meskipun tidak mengabaikan akurasi dan kesetiaan. Terkait dengan kecenderungan strategi yang dipilih oleh Nida, Newmark (2001:51) menyampaikan kritik yang cukup keras bahwa hal ini justru mengakibatkan kehilangan besar makna utamanya dalam penerjemahan metafora alkitabih yang menurut Nida sulit dimengerti oleh pembaca sasaran.

(24)

37

Sejalan dengan pemaparan di atas, Simms (1997:7) juga mengkontraskan karakteristik terjemahan harfiah dan terjemahan bebas, seperti yang tertera dalam tabel berikut:

(25)

38

Tabel 2.1. Perbandingan Karakteristik Terjemahan Harfiah dan Terjemahan Bebas

Terjemahan Harfiah Terjemahan Bebas

Menerjemahkan setiap kata BSu sesuai dengan leksikon BSa yang karena itu penerjemah cenderung berada di pihak penulis dibandingkan dengan pembaca.

Penerjemahan yang berfokus pada pesan karena itu penerjemah cenderung berada di pihak pembaca dibandingkan dengan penulis sehingga dalam hal ini hanya ada sedikit penghargaan terhadap bentuk leksikon yang dipakai oleh penulis sepanjang pesan yang mendasarinya tetap utuh. Korespondensi langsung antara

masing-masing item leksikal yang terdapat pada BSu dan BSa terlihat jelas.

Korespondensi antara item leksikal yang terdapat pada BSu dan BSa dapat menjadi benar-benar tidak terlihat seperti ketika sebuah pasal yang terdapat pada BSu yang tidak memiliki padanan pada BSa dihilangkan begitu saja.

Peran penerjemah tidak terlihat karena BSu diterjemahkan secara utuh ke dalam BSa yaitu hanya ada sedikit intervensi dari pihak penerjemah dalam bentuk parafrase.

Peran penerjemah terlihat jelas melalui intervensi yang dilakukan dalam bentuk parafrase. Hal ini dilakukan untuk memenuhi misi penyesuaian budaya antara BSu dan BSa.

Cenderung ditujukan bagi kalangan akademik yang idealnya sudah berkenalan dengan kedua bahasa, dan karena itu sedikit membutuhkan terjemahan.

Cenderung ditujukan untuk pembaca yang awam; mereka tidak hanya tidak mengenal BSu tetapi juga konteks budaya BSu.

Terjemahan harfiah bersifat mendidik. Meskipun struktur gramatikal

permukaan terkesan biasa, pikiran yang mendasarinya (dalam hal ini budaya BSu) dapat membantu untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas. Jika dibutuhkan pemahaman lebih lanjut mengenai konteks budaya maka dapat dilakukan dengan tindakan pro-aktif intertekstualisasi.

Terjemahan bebas sebenarnya tidak mendidik: jenis terjemahan ini tidak memberikan peluang bagi pembaca hasil terjemahan untuk mengetahui media yang sesungguhnya pada BSu sehingga pembaca harus mempercayai seutuhnya perkataan yang ditulis oleh penerjemah.

(26)

39

2.3.1.2 Kesepadanan dalam teori terjemahan

Pada tahun 1960 hingga 1970-an, konsep utama yang berlaku pada studi terjemahan adalah “kesepadanan”. Ada beberapa linguis yang berteori tentang konsep ini di antaranya adalah Koller dan Nida. Yinhua (2011) menyimpulkan bahwa sebagai sebuah konsep sentral dalam teori penerjemahan, kesepadanan tidak dapat ditafsirkan sebagai identitas dalam hal pengertian ilmiah tetapi hanya dapat dipahami dalam pengertian umum sebagai kesamaan atau pendekatan. Kesepadanan adalah kebutuhan mutlak dan mendasar dalam penerjemahan sebab tidak ada kata-kata yang memiliki makna yang identik dalam satu bahasa dan pula cukup alami jika tidak ada dua kata dalam dua bahasa mana pun yang memiliki makna yang identik. Jadi, tidak mungkin untuk mentransfer keseluruhan pesan yang terdapat dalam teks BSu ke BSa. Oleh karena itu, kesetaraan dalam terjemahan hanya dapat dipahami sebagai semacam kesamaan atau pendekatan. Hal ini juga berarti bahwa kesepadanan antara teks BSu dan teks BSa dapat ditetapkan pada tingkat yang berbeda dan dalam berbagai aspek. Tanpa kesepadanan pada derajat tertentu atau aspek tertentu, teks terjemahan tidak dapat dianggap sebagai terjemahan sukses dari teks asli. Jadi, singkatnya, kesepadanan adalah kebutuhan mutlak dan kebutuhan mendasar dalam penerjemahan.

Koller (dalam Pym, 2010) menjawab arti dari konsep tersebut dengan menawarkan lima jenis kesepadanan, yaitu (1) kesepadanan denotatif atau kesepadanan konten ekstralinguistik sebuah teks, yang disebut juga “konten invarian”, (2) kesepadanan konotatif yang bergantung pada kesamaan register dan gaya, yang juga disebutnya sebagai kesepadanan stilistika, (3) kesepadanan teks normatif yang berkaitan dengan jenis teks, yaitu berbagai jenis teks yang

(27)

40

memiliki perilaku yang berbeda (4) kesepadanan pragmatis atau kesepadanan komunikatif yang berorientasi pada penerima teks atau pesan, dan (5) kesepadanan formal yang berkaitan dengan estetika dan bentuk teks.

Berbeda halnya dengan Koller, Nida (1964:159) berpendapat bahwa ada dua jenis kesepadanan, yaitu yang formal dan yang dinamis. Korespondensi formal memfokuskan perhatian pada pesan itu sendiri, baik dalam hal bentuk maupun isi, tidak seperti kesepadanan dinamis yang didasarkan pada “prinsip efek sepadan”. Kesepadanan dinamis didefinisikan sebagai prinsip penerjemahan yang mengupayakan untuk menerjemahkan makna asli teks demikian rupa sehingga makna kata pada BSa akan memicu dampak yang sama pada pembaca BSa, seperti yang makna kata-kata asli lakukan pada pembaca BSu (Nida dan Taber, 1982:200).

Pada tahun 1997 oposisi serupa dalam hal kesepadanan diungkapkan oleh Newmark yang mempertentangkan antara terjemahan semantik dan komunikatif, yaitu terjemahan yang berorientasi pada BSu dan yang berorientasi pada BSa (Newmark, 1998a:47) dan House (1977) yang mempertentangkan antara penerjemahan terbuka dan yang tertutup. Terjemahan terbuka adalah jenis penerjemahan yang tidak menangani pembaca BSa secara langsung karena terikat dengan BSu dan budayanya yang harus dijaga seutuh mungkin. Dengan sendirinya jenis terjemahan ini tidak terlalu banyak mengalami kendala dalam masalah budaya dibandingkan dengan terjemahan tertutup. Sebaliknya, terjemahan tertutup didefinisikan sebagai terjemahan yang menikmati status BSu dalam budaya BSa. Jenis terjemahan ini secara langsung ditujukan kepada khalayak budaya BSu dan karenanya membutuhkan penyaring budaya.

(28)

41

Selain mereka yang telah disebutkan di atas, teoretisi terjemahan yang mengategorikan jenis terjemahan berdasarkan dua gaya yang berlawanan, adalah Beekman dan Callow dengan literal versus idiomatik, James Holmes dengan domestikasi versus foreignisasi, Larson dengan penerjemahan yang berlandasakan bentuk versus makna, Nord dengan dokumentasi versus instrumenal, Pym dengan observasional versus partisipatif, dan Gut dengan langsung versus tidak langsung.

Terkait dengan penggolongan tipe/jenis terjemahan, Nida (1964:156) menekankan bahwa secara tradisional, kita cenderung menggolongkan terjemahan digolongkan menjadi dua kubu yang ekstrim, yaitu terjemahan bebas

(paraphrastic) dan terjemahan harfiah. Sejalan dengan Nida, Simms (1997:7) juga

menyatakan bahwa secara historis, dalam teori terjemahan pilihan penting telah disajikan antara terjemahan "literal" dan terjemahan "bebas". Sejalan dengan pemikiran tersebut, Newmark (1998:70) juga menyatakan bahwa terjemahan harfiah adalah proses penerjemahan dasar, baik dalam terjemahan komunikatif maupun terjemahan semantik, dan terjemahan dimulai dari sini. Akan tetapi, di atas tingkat kata, terjemahan harfiah menjadi semakin sulit untuk dilakukan karena ketika penerjemah menemukan masalah, terjemahan harfiah biasanya (tidak selalu) bisa menyediakan jalan keluar dari masalah yang dihadapi. Oleh karena itu selama lima puluh tahun terakhir, bagaimanapun, telah terjadi pergeseran ditandai penekanan dari normal menuju ke dimensi dinamis (Carry, 1959b).

Berbeda dengan Catford (1965:20) yang menggolongkan terjemahan menjadi tiga kelompok, yaitu terjemahan bebas, literal, dan kata per kata, Zhao

(29)

42

dan Al Damman (2008) menyatakan bahwa terjemahan literal merupakan satu kategori dengan terjemahan kata-per-kata:

A literal translation is a translation that follows closely not only the content but also the form of the source language. It is also known as word-for-word translation. Translators engaged in literalism have been willing to sacrifice the formal elements of the target language and even the intelligibility of the target language text for the sake of preserving what they regard as the integrity of the source text. Conversely, those who favor free translation have quite often chosen to sacrifice the form of the source language for the sake of elegance and intelligibility in the target language.

(Zhao dan Al Damman, 2008).

Melihat fenomena yang terjadi di dalam penggolongan jenis/tipe terjemahan, penelitian ini menempatkan produk terjemahan dalam dua kategori umum yang sering disebut sebagai dua kubu yang saling bertentangan, yaitu terjemahan harfiah (literal) dan terjemahan bebas (free). Hal ini disesuaikan dengan prinsip dasar atau pendekatan yang dipakai dalam penerjemahan Alkitab, yaitu pemadanan formal dan pemadanan dinamis.

2.3.1.3 Prinsip-prinsip kesepadanan formal dan dinamis

Nida (1964:159) menegaskan bahwa pada dasarnya terdapat dua jenis kesepadanan, yaitu kesepadanan formal dan kesepadanan dinamis. Kesepadanan formal memfokuskan perhatian pada pesan itu sendiri, baik dalam hal bentuk maupun isi. Pesan dalam BSa harus sedekat mungkin dengan unsur-unsur yang berbeda dalam BSu. Sehubungan dengan budaya dari bahasa reseptor dan sumber, pesan dalam budaya reseptor terus-menerus dibandingkan dengan pesan dalam budaya sumber untuk menentukan standar akurasi dan ketepatan. Sementara itu, kesepadanan dinamis bertujuan melengkapi kealamian ekspresi. Penerjemah tidak

(30)

43

begitu peduli dengan pencocokan pesan bahasa reseptor dengan pesan bahasa sumber, tetapi lebih pada hubungan dinamis yang ada.

Selanjutnya, Nida (1964:165) menjelaskan bahwa terjemahan kesepdanan formal mencoba untuk mereproduksi unsur-unsur formal, antara lain: (1) unit gramatikal, (2) konsistensi dalam penggunaan kata, dan (3) makna dari segi konteks sumber. Reproduksi unit gramatikal terdiri atas (a) nomina diterjemahkan dengan nomina, verba dengan verba, dan lain-lain, (b) menjaga semua frasa dan kalimat utuh (yaitu tidak berpisah dan tidak ada penyesuaian unit), dan (c) mempertahankan semua indikator resmi, misalnya, tanda baca, paragraf dan indentasi puitis. Dalam mencoba untuk mereproduksi konsistensi dalam penggunaan kata, terjemahan kesepadanan formal biasanya bertujuan mengupayakan terjadinya konkordansi terminologi, yaitu selalu mengaitkan istilah tertentu dalam dokumen sumber dengan istilah yang sesuai dalam dokumen reseptor. Sebagai konsekuensinya, terjemahan kesepadanan formal menggunakan tanda kurung, atau bahkan huruf miring (seperti dalam King James Bible) untuk kata-kata yang ditambahkan supaya masuk akal dalam terjemahan. Dalam rangka untuk mereproduksi makna dari segi konteks sumber, terjemahan kesepadanan formal biasanya mencoba untuk tidak melakukan penyesuaian dalam idiom, melainkan untuk mereproduksi ekspresi tersebut secara harfiah, sehingga pembaca mungkin dapat melihat sesuatu dari cara yang mana dokumen aslinya menggunakan unsur-unsur budaya lokal untuk menyampaikan makna.

Sebaliknya, terjemahan kesepadanan dinamis memfokuskan perhatian tidak begitu banyak pada sumber pesan, tetapi pada respon pembaca sasaran. Salah satu cara untuk mendefinisikan sebuah terjemahan kesepadanan dimanis

(31)

44

adalah menggambarkannya sebagai "kesetaraan alami paling dekat dengan pesan bahasa sumber”. Definisi ini mengandung tiga unsur penting: (1) setara, yang menunjuk ke arah pesan bahasa sumber, (2) alami, yang menunjuk ke arah bahasa reseptor, dan (3) terdekat, yang mengikat dua orientasi bersama-sama atas dasar tingkat pendekatan tertinggi. Nida (1964:167) juga menjelaskan bahwa penerjemahan alami harus sesuai dengan (1) bahasa reseptor dan budaya secara keseluruhan, (2) konteks dari pesan tertentu, dan (3) pembaca bahasa reseptor.

Prinsip-prinsip kesepadanan formal dan dinamis seperti yang diungkap oleh Nida (1964:165) tersebut dapat diformulasikan pada tabel berikut.

Tabel 2.2 Prinsip-prinsip Kesepadanan Formal dan Dinamis

Prinsip-Prinsip Kesepadanan Formal Prinsip-Prinsip Kesepadanan Dinamis Berupaya untuk mereproduksi

unsur-unsur formal antara lain: (1) Unit-unit gramatikal:

(a) menerjemahkan nomina dengan nomina, verba dengan verba dan sebagainya;

(b) menjaga semua frasa dan kalimat utuh (yaitu tidak mengadakan pemisahan dan penyesuaian unit); dan (c) mempertahankan semua

indikator resmi; misalnya, tanda baca, paragraf dan indentasi puitis.

(2) Konsistensi dalam penggunaan kata

(3) Makna dari segi konteks BSu.

Kesepadanan alamiah terdekat dengan pesan BS yang mengandung tiga unsur penting:

(1) Sepadan, yang menunjuk ke arah pesan BSu.

(2) Alami, yang menunjuk ke arah BSa yang harus sesuai dengan:

(a) bahasa dan budaya reseptor; (b) konteks pesan yang dimaksud (c) pembaca BSa.

(3) Terdekat, yang mengikat kedua orientasi secara bersama-sama atas dasar tingkat pendekatan tertinggi.

(Sumber: Nida, 1974)

Nida (1964:167) mengemukakan bahwa terjemahan alami melibatkan dua bidang adaptasi utama, yaitu tata bahasa, dan leksikon. Secara umum, modifikasi

(32)

45

tata bahasa dapat dibuat lebih mudah karena perubahan tata bahasa banyak ditentukan oleh struktur wajib bahasa reseptor. Artinya, seseorang wajib melakukan penyesuaian seperti pergeseran urutan kata, menggunakan verba di tempat nomina, dan mengganti nomina dengan pronomina. Dalam hal ini, struktur leksikal dari bahasa sumber disesuaikan dengan kebutuhan semantik bahasa reseptor, bukan aturan yang harus diikuti, tetapi ada banyak kemungkinan alternatif.

Lebih lanjut, Nida (1964) mengungkapkan bahwa secara umum terdapat tiga tingkat leksikal untuk dipertimbangkan: (1) istilah yang padanan paralelnya tersedia, misalnya, sungai, pohon, batu, pisau, dan lain-lain; (2) istilah yang mengidentifikasi benda budaya yang berbeda, namun dengan fungsi yang agak mirip, misalnya buku, yang dalam bahasa Inggris berarti objek dengan halaman terikat bersama menjadi satu unit, tetapi, pada zaman Perjanjian Baru, berarti perkamen panjang atau papirus digulung dalam bentuk sebuah gulungan; dan (3) istilah yang mengidentifikasi budaya, misalnya, sinagog, homer, efa, kerub, yobel, dan lain-lain yang dikutip dari Alkitab.

Biasanya pada tingkat leksikal yang pertama tidak terjadi masalah. Namun, pada set kedua mulai menimbulkan kebingungan, sehingga pilihan yang harus diambil ialah menggunakan istilah lain yang mencerminkan bentuk acuan meskipun tidak memiliki fungsi yang setara, atau yang mengidentifikasi fungsi setara dengan mengorbankan identitas formal. Dalam tingkat leksikal yang ketiga "asosiasi asing" jarang dapat dihindari. Tidak ada penerjemahan yang berupaya untuk menjembatani kesenjangan budaya yang luas dapat berharap untuk menghilangkan semua jejak pengaturan asing. Sebagai contoh, dalam

(33)

46

penerjemahan Alkitab sangat mustahil untuk menghapus istilah asing, seperti

Pharisees, Sadducees, Salomon‟s temple, cities of refuge, atau tema Alkitab

seperti anointing, adulterous generation, living sacrifice, dan Lamb of God, karena ekspresi tersebut tertanam sangat kuat dalam struktur pemikiran pesan.

Selain menjadi sesuai dengan bahasa dan budaya reseptor, Nida (1964:168) lebih lanjut menjelaskan bahwa terjemahan natural harus sesuai dengan konteks tertentu dari pesan. Masalah demikian tidak terbatas pada fitur gramatikal dan leksikal, tetapi juga mungkin melibatkan hal-hal rinci seperti intonasi dan irama kalimat. Sebuah contoh menarik yang diberikan oleh Nida (1964:169) adalah kesalahan dalam anakronisme yang melibatkan (1) penggunaan kata kontemporer untuk periode historis yang berbeda; misalnya, menerjemahkan "kerasukan setan" sebagai "ketertekanan mental," dan penggunaan bahasa kuno dalam BSa, dan karenanya, memberi kesan tidak nyata. Dengan demikian, unsur-unsur seperti sarkasme dan ironi semua harus secara akurat tercermin dalam terjemahan kesepadanan dinamis. Lebih lanjut, Nida (1964) juga menjelaskan bahwa kesesuaian harus dinilai berdasarkan tingkat pengalaman dan kapasitas untuk pengawasandian, jika seseorang memang menginginkan ekuivalensi dinamis nyata. Dalam hal ini, penerjemah Alkitab, misalnya, harus mengetahui fakta bahwa bahasa dari Perjanjian Baru adalah bahasa Yunani Koine, yaitu bahasa "orang di jalan," dan karenanya terjemahan seharusnya dibaca oleh pria di jalan. Akan tetapi, pada kenyataannya pesan Perjanjian Baru tidak diarahkan terutama kepada orang di jalan, tetapi untuk orang di dalam jemaat. Untuk alasan ini, ungkapan seperti " Abba Bapa," Maranatha, dan "dibaptis dalam Kristus"

(34)

47

dapat digunakan dengan harapan masuk akal dan dapat dimengerti oleh kalangan termaksud.

2.3.1.4 Kriteria untuk menilai terjemahan

Nida (1964:182) menyebutkan bahwa ada tiga kriteria fundamental yang merupakan dasar bagi evaluasi semua terjemahan, dan dengan cara yang berbeda membantu untuk menentukan prestasi relatif terjemahan tertentu. Kriteria tersebut adalah: (1) efisiensi total proses komunikasi, (2) pemahaman terhadap maksud, dan (3) kesetaraan respons.

Kriteria pertama menyebutkan bahwa efisiensi terjemahan dapat dinilai dari segi penerimaan maksimal bagi upaya minimum pengawasandian. Dalam arti, efisiensi berhubungan erat dengan "hukum pertama semantik" Joo (Joos, 1953), yang dapat menyatakan: “Itu berarti bahwa makna dikatakan terbaik jika menambahkan paling sedikit terhadap total makna dalam konteks." Dengan kata lain, memaksimalkan redundansi dan mengurangi pekerjaan pengawasandian.

Kriteria kedua dalam menilai terjemahan adalah pemahaman maksud awal yang dinyatakan dalam istilah-istilah lain, seperti akurasi terhadap makna pesan bahasa sumber yang diwakili dalam terjemahan berorientasi baik terhadap budaya bahasa sumber dalam terjemahan kesetaraan formal maupun terhadap budaya reseptor dalam terjemahan kesetaraan dinamis. Dalam hal ini, dalam terjemahan kesetaraan formal, pemahaman terhadap maksud terjemahan harus dinilai pada dasarnya dari segi konteks tempat komunikasi pertama kali diucapkan, sedangkan dalam terjemahan kesepadanan dinamis maksud ini harus dipahami dari segi budaya reseptor. Sejauh mana maksud dapat ditafsirkan dalam

(35)

48

konteks budaya selain tempat pesan itu pertama kali diberikan adalah berbanding lurus dengan universalitas pesan. Nida (1964:183) juga menjelaskan bahwa kriteria "pemahaman maksud awal" dirancang untuk menutupi apa yang sering diucapkan secara tradisional sebagai "akurasi (accraucy)," "kesetiaan (fidelity)," dan "kebenaran (correctness)".

Kriteria ketiga dalam menilai terjemahan adalah kesetaraan respon, yang berorientasi ke arah baik budaya sumber (dalam hal reseptor harus memahami dasar dari respons awal) maupun budaya reseptor. Dalam hal ini, reseptor membuat respons yang sesuai dalam konteks budaya yang berbeda.

2.3.1.5 Ideologi dan strategi penerjemahan

Newmark (1988:9) mengemukakan bahwa teori terjemahan memiliki empat fungsi utama sebagai berikut:

(a) mengidentifikasi dan mendefinisikan masalah-masalah penerjemahan, tidak ada masalah berarti tidak ada teori penerjemahan;

(b) menunjukkan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam memecahkan masalah penerjemahan;

(c) mendaftar prosedur-prosedur penerjemahan yang dapat digunakan; (d) menyarankan pemakaian beberapa prosedur penerjemahan yang sesuai

untuk memecahkan masalah penerjemahan.

Dengan demikian, tidaklah berlebihan jika teori terjemahan, dalam pengertian sempit, berkenaan dengan pemilihan metode atau prosedur yang sesuai dengan jenis teks yang akan diterjemahkan.

(36)

49

Pemilihan metode ataupun prosedur penerjemahan sangat bergantung pada ideologi yang dianut oleh penerjemah yaitu pandangan “seperti apa terjemahan yang baik tersebut” merupakan cerminan dari ideologinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bassnett dan Lefevere (1992:xi) bahwa

“Translation is, of course, a rewriting of an original text. All rewritings, whatever their intention, reflect a certain ideology and a poetics and as such manipulate literature to function in a given society in a given way.”

Pandangan Bassnett dan Lefevere menegaskan bahwa dalam proses penerjemahan, apa pun tujuannya, tidak luput dan merupakan cerminan dari ideologi yang dimiliki dan berfungsi dalam masyarakat. Lebih lanjut, dari pendapat Bassnett dan Lafevere di atas, tersirat bahwa ideologi tersebut tidak hanya nilai atau keyakinan yang dimiliki penerjemah, tetapi bisa saja kebenaran tersebut merupakan ideologi atau kebenaran kelompok atau ideologi masyarakat yang tercermin dalam karya terjemahan tersebut sehingga dapat berterima dalam masyarakat.

Paparan tersebut menyiratkan bahwa ideologi yang ada dalam suatu masyarakat tentu sangat berpengaruh pada penerjemahan, mengingat penerjemah itu adalah bagian dari anggota masyarakat dan terjemahan itu juga ditujukan pada masyarakat. Selain itu, dalam penerjemahan tentu ideologi itu juga berperan dalam proses penerjemahan karena terjemahan berasal dari bahasa berbeda dengan latar budaya berbeda yang tentu memiliki banyak perbedaan terhadap kelompok-kelompok lainnya. Sehubungan dengan itu, aturan Vermeer Skopos menyatakan bahwa:

“translate/interpret/speak/write in a way that enables your text/translation to function in the situation in which it is used and with the people who want to use it and precisely in the way they want it to function” (Nord

(37)

50

Berdasarkan kutipan di atas jelas bahwa untuk menghasilkan produk terjemahan yang dapat diterima dan berfungsi dalam masyarkat, kita harus mengacu pada apa yang diinginkan oleh masyarakat dan ideologi dalam masyarakat yang menggunakannya. Sehubungan dengan itu, wajar jika disimpulkan bahwa ideologi tidak hanya berpengaruh besar dalam pemilihan metode dan strategi penerjemahan, namun juga mengontrol penyebaran teks-teks terjemahan tersebut (Yan, 2005:64). Hal ini relevan dengan pendapat Nida dan Taber (1982:1) bahwa “Correctness must be determined by the extent to which the

average reader for which a translation is intended will be likely to understand it

correctly.” Jadi, terjemahan yang baik dan benar itu adalah terjemahan yang

mempertimbangkan pembaca sasarannya (target reader). Pembaca yang berbeda akan memerlukan terjemahan yang berbeda sehingga penerjemah harus menyesuaikan metode dan strategi penerjemahannya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa benar-salah-nya sebuah terjemahan terkait dengan untuk siapa terjemahan tersebut ditujukan.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa ideologi berada pada tataran yang bersifat makro karena ideologi merupakan pandangan atau keyakinan mengenai seperti apa terjemahan yang ingin dihasilkan terkait dengan keinginan penerjemah, baik dalam tataran individu maupun kelompok. Venuti (1995:20-21) menyimpulkan bahwa dalam konteks makro terdapat dua kecenderungan yang muncul bagaimana bentuk dan cara penerjemahan yang diinginkan oleh penerjemah. Namun, dua kecenderungan ini menunjukkan perbedaan yang kuat, yaitu satu sisi meyakini bahwa terjemahan yang baik adalah dekat dengan budaya dan bahasa sumber (forenisasi), sementara yang lain meyakini bahwa terjemahan

(38)

51

yang baik harus dekat dengan budaya dan bahasa sasaran (domestikasi). Selanjutnya, berdasarkan pada ideologi atau pandangan tersebut lahir strategi penerjemahan yaitu bagaimana penerjemah menyelesaikan masalah pada tataran mikro atau unit terkecil penerjemahan.

Brata (2010:67) menegaskan bahwa pemilihan metode penerjemahan sangat dipengaruhi oleh ideologi yang dianut oleh penerjemah. Penerjemah yang manganut ideologi foreignisasi akan memilih metode penerjemahan kata demi kata, harfiah, setia atau semantik. Sebaliknya, penerjemah yang menganut ideologi domestikasi akan cenderung memilih metode penerjemahan adaptasi, bebas, idiomatis, atau komunikatif. Lebih jauh, Brata (2010:67), sesuai dengan pernyataan Molino dan Albir (2002:507-508), menyatakan bahwa metode penerjemahan merupakan pilihan global yang memengaruhi keseluruhan teks.

Sejalan dengan pengertian dari metode penerjemahan yang telah diungkapkan di atas, Newmark (1988:81) membedakan pengertian metode dan prosedur penerjemahan dengan menegaskan bahwa:

“While translation methods relate to the whole texts, translation

procedures are used for sentences and the smaller units of language”

Jika metode penerjemahan berhubungan dengan keseluruhan teks maka prosedur penerjemahan diterapkan pada kalimat dan unit-unit bahasa yang lebih kecil.

Jadi, istilah prosedur dibedakan dari metode atau yang sering dikenal dengan perbedaan antara strategi penerjemahan lokal (local translation strategies) dan strategi penerjemahan global (global translation strategies). Konsep yang pertama merujuk pada proses penerjemahan kalimat dan unit-unit yang lebih kecil, sedangkan konsep kedua, seperti telah dikemukakan di atas, mengacu pada proses penerjemahan teks secara keseluruhan. Perbedaan antara metode dan

(39)

52

prosedur terletak pada objeknya. Objek metode adalah teks secara keseluruhan, sedangkan objek prosedur berupa kalimat sebagai unit penerjemahan terkecil, dan kalimat ini merupakan bagian dari teks. Persamaan antara metode dan prosedur adalah bahwa keduanya merupakan cara yang digunakan oleh penerjemah dalam memecahkan masalah penerjemahan. Selanjutnya, secara konseptual metode digunakan sebagai prinsip umum atau pendekatan dalam menangani sebuah teks, sedangkan prosedur memperlihatkan adanya tahapan penanganan masalah.

Strategi global atau metode yang dipilih oleh penerjemah secara keseluruhan akan memberi pengaruh pada proses penerjemahan selanjutnya. Oleh karena strategi lokal serta merta diikuti oleh teknik-teknik khusus yang mempengaruhi hasil terjemahan dan unit-unit mikro teks maka strategi lokal atau yang dikenal dengan istilah prosedur pada dasarnya adalah teknik penerjemahan (Molina dan Albir, 2002:509). Dalam hal ini, seiring dengan semakin meningkatnya kompetensi penerjemah, masalah-masalah yang dihadapi dalam proses penerjemahan tidak akan menjadi kendala karena strategi lokal yang telah dikuasai sepenuhnya akan dapat diterapkan secara otomatis.

Newmark (1998:45), terkait dengan metode penerjemahan, memperkenalkan sebuah diagram yang disebutnya sebagai Diagram V untuk menunjukkan dua kutub yang berbeda dari metode penerjemahan. Kutub yang pertama sangat memperhatikan sistem dan budaya BSu, sedangkan kutub yang kedua sangat menghargai sistem dan budaya BSa.

(40)

53

Metode penerjemahan yang berorientasi pada BSu dipresentasikan oleh beberapa hal berikut:

1) Metode penerjemahan kata demi kata (Word-for-word translation). Metode penerjemahan kata demi kata sangat terikat pada tataran kata. Dalam menerapkan metode penerjemahan ini, penerjemah hanya mencari padanan kata BSu dalam BSa, dan pencarian padanan itu tidak dikaitkan dengn konteks. Metode tersebut tidak mengubah susunan kata BSu dalam terjemahannya. Dengan kata lain, susunan kata dalam kalimat BSu sama persis dengan susunan kata dalam kalimat BSa. Metode penerjemahan kata demi kata itu dapat diterapkan dengan baik hanya jika struktur BSu sama dengan struktur BSa.

2) Metode penerjemahan harfiah mempunyai kesamaan dengan metode penerjemahan kata-demi-kata bahwa pemadanan yang dilakukan selalu lepas konteks. Perbedaannya adalah metode penerjemahan harfiah berusaha mengubah konstruksi gramatikal BSu menjadi konstruksi gramatikal BSa.

Orienetasi pada BS

Penerjemahan Kata Demi Kata Penerjemahan Harfiah Penerjemahan Setia Penerjemahan Semantik Penerjemahan Bebas Penerjemahan Idiomatik Penerjemahan Komunikatif

Gambar 2.1. Diagram V Metode Penerjemahan (Sumber: Newmark, 1998)

A d a p t a s i

(41)

54

3) Metode penerjemahan setia berusaha sesetia mungkin menghasilkan makna kontekstual teks BSu meskipun melanggar konstruksi gramatikal BSa.

4) Metode penerjemahan semantik berfokus pada pencarian padanan pada tataran kata dengan tetap terikat pada bahasa budaya BSu, dan berusaha mengalihkan makna kontekstual BSu yang sedekat mungkin dengan struktur sintaksis dan semantik BSa. Jika sebuah kalimat perintah bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maka terjemahannya pun harus berbentuk kalimat perintah. Kata-kata yang membentuk kalimat perintah bahasa Inggris itu harus mempunyai komponen makna yang sama dengan komponen makna kata yang terdapat dalam terjemahan.

Metode penerjemahan yang berorientasi pada BSa dipresentasikan oleh beberapa hal berikut:

1) Metode penerjemahan adaptasi berusaha mengubah budaya BSu dalam BSa. Hasilnya pada umumnya dipandang bukan sebagai suatu terjemahan tetapi merupakan penulisan kembali pesan teks BSu dalam BSa. Teks yang dihasilkan dengan menerapkan metode adaptasi merupakan bentuk terjemahan, yang paling bebas dan metode adaptasi ini khususnya digunakan dalam menerjemahkan teks drama dan puisi.

2) Metode penerjemahan bebas mengahasilkan teks sasaran yang tidak mengandung gaya, bentuk atau isi teks sumber. Metode penerjemahan bebas tidak terikat pada pencarian padanan pada tataran kata atau kalimat. Pencarian padanan itu cenderung berlangsung pada tataran teks. Metode penerjemahan bebas tidak sama dengan metode adaptasi. Pesan dalam

Gambar

Tabel 2.1. Perbandingan Karakteristik Terjemahan Harfiah dan  Terjemahan Bebas
Tabel 2.2 Prinsip-prinsip Kesepadanan Formal dan Dinamis
Gambar 2.1. Diagram V Metode Penerjemahan  (Sumber: Newmark, 1998)
Tabel 2.3 Prosedur Penerjemahan Menurut Vinay dan Darbelnet  Prosedur Penerjemahan
+7

Referensi

Dokumen terkait

- Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang.. Undang-Undang

Infeksi 4irus dengue mengaki1atkan menifestasi kinis %ang 1er4ariasi muai dari asimtomatik& pen%akit paing ringan& demam 1erdarah dengue sampai sindrom

Pada mesin pembuat tali tampar ini memiliki 4 pengait yang berfungsi untuk memuntir tali yang mempunyai diameter sama yaitu 30 mm, dengan perencanaan kecepatan 5m/detik maka

Semoga buku ini memberi manfaat yang besar bagi para mahasiswa, sejarawan dan pemerhati yang sedang mendalami sejarah bangsa Cina, terutama periode Klasik.. Konsep

Membawa Dokumen Penawaran Asli dan Foto copy sesuai dengan yang telah diunggah. dalam

Transformator ( Transformer ) atau disingkat dengan Trafo yang digunakan untuk DC Power supply adalah Transformer jenis Step-down yang berfungsi untuk menurunkan tegangan

Aplikasi penelitian ini dimasa yang akan datang disarankan agar Hotel Grand Duta Syariah Palembang dapat membedakan fungsi penjualan dan fungsi kas agar tidak

Sehubungan dengan hal tersebut, untuk mengetahui apakah program Tax Amnesty Indonesia Tahun 2016 berhasil atau tidak, khususnya dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak,