• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. khusus (Kridalaksana, 1996). Pengertian yang lebih tepat digunakan dalam tulisan ini adalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. khusus (Kridalaksana, 1996). Pengertian yang lebih tepat digunakan dalam tulisan ini adalah"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Strategi adalah ilmu dan seni menggunakan semua sumber daya bangsa untuk melaksanakan kebijaksanaan tertentu dalam perang dan damai (Kridalaksana, 1996). Strategi dapat pula diartikan sebagai rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus (Kridalaksana, 1996). Pengertian yang lebih tepat digunakan dalam tulisan ini adalah pengertian kedua yaitu cara untuk mencapai tujuan tertentu dalam pengelolaan.

Pengelolaan adalah proses yang memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijaksanaan dalam pencapaian tujuan (Kridalaksana, 1996). Sementara menurut UU RI nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pengelolaan adalah upaya terpadu untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan Cagar Budaya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat (Pasal 1 Nomor 21). Pengertian pengelolaan yang digunakan dalam tulisan ini lebih mendekati kepada pengertian menurut UU RI nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Pengelolaan yang dimaksud untuk melakukan upaya terpadu untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan warisan budaya.

Warisan Budaya dapat diartikan sebagai suatu yang dilestarikan dari generasi masa lalu kemudian diwariskan kepada generasi sekarang, yang kemudian akan mewariskannya untuk generasi yang akan datang (Aksa, 2004: 1), Warisan budaya mencakup bidang yang sangat luas karena seluruh karya manusia merupakan budaya. Warisan budaya juga dapat menjadi sumber ilham dan daya cipta yang mempunyai kekuatan yang dapat dimanfaatkan

(2)

untuk membantu dan melindungi sebuah bangsa dalam menapaki masa depannya (Sonjaya, 2005:1). Warisan budaya yang ada di Kecamatan Lasem terdiri dari tangible1 dan intangible2. Upaya pengelolaan warisan budaya yang ditawarkan dalam tulisan ini dilakukan dengan berbasis masyarakat. Berbasis masyarakat berasal dari dua kata yaitu berbasis dan masyarakat. Berbasis berasal dari kata basis yang artinya asas atau dasar (Kridalaksana, 1996). Sementara masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama (Kridalaksana, 1996). Berbasis masyarakat dapat diartikan sebagai gerakan yang dilakukan oleh masyarakat atau dengan kata lain masyarakat sebagai pelaku utamanya dalam upaya pengelolaan warisan budaya di Lasem.

Lasem adalah Kota Kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Rembang. Secara geografis terletak pada titik 6°42’00”S dan 111°25’58,8”E (Rembang Dalam Angka, 2013: 1). Wilayah penelitian dibatasi pada Kota Kecamatan Lasem yang memiliki batas Laut Jawa di sebelah utara, Kecamatan Sluke di sebelah timur, Kecamatan Pancur di sebelah selatan, dan Kecamatan Rembang di sebelah barat dengan luas wilayah 4504 ha yang terdiri dari lingkungan pesisir, dataran, dan pegunungan. Lingkungan pesisir berada di bagian utara memanjang dari barat hingga timur, lingkungan pegunungan di sisi timur, dan dataran di sisi selatan-barat (Disbudparpora, 2013: 1). (Periksa Peta 1.1)

1 Tangible heritage merupakan warisan budaya yang berbentuk fisik misalnya karya seni, termasuk bangunan,

tempat-tempat bersejarah, monumen, artefak, dan masih banyak lagi yang harus dilestarikan untuk masa yang akan datang (www.unesco.org).

2 Intangible heritage merupakan warisan yang bersifat non bendawi berupa praktek, pertunjukan, ekspresi seni,

pengetahuan, keahlian yang berasosiasi dengan alat musik, objek, artefak dan lingkungan kebudayaan. (Smith, 2006: 107).

(3)

Peta 1. 1: Peta Kecamatan Lasem Sumber: Peta Rupa Bumi

Letak Kecamatan Lasem berada di pesisir pantai utara Jawa Tengah dengan dilintasi Jalan Daendels yang menghubungkan Pulau Jawa bagian barat dengan bagian timur (Periksa Peta 1.2). Selain itu, Kecamatan Lasem juga terletak di antara Pelabuhan Jepara dan Pelabuhan Tuban. Hal inilah yang menjadikan Kecamatan Lasem sebagai wilayah yang strategis karena berada di jalur perdagangan darat maupun laut (Utomo, 2009: 10). Letaknya yang strategis menyebabkan Kecamatan Lasem disinggahi banyak pendatang baik dari dalam maupun luar negeri dengan aktivitas perdagangan yang cukup ramai (Utomo, 2009: 9-10).

(4)

Sumber: nl.wikimedia.org

Aktivitas perdagangan mempertemukan pedagang dan pembeli baik asing maupun lokal. Interaksi antar pedagang dan pembeli lambat laun disertai dengan adanya interaksi kebudayaan yang melatarbelakangi kehidupan mereka. Adanya interaksi masyarakat lokal dengan para pendatang menyebabkan wilayah ini memiliki kekayaan warisan budaya cukup banyak berasal dari kurun waktu yang sangat panjang.

Berdasarkan observasi yang dilakukan penulis, warisan budaya yang masih dapat dilihat saat ini sedikitnya ada tiga pengaruh budaya yaitu Eropa, Cina, dan kebudayaan Islam. Pengaruh Eropa dan Cina terlihat pada pengaruh arsitektur bangunan-bangunan yang ada di Kecamatan Lasem. Pengaruh Cina juga terlihat pada berbagai tradisi yang masih dijalankan oleh sebagian masyarakat Cina di Kecamatan Lasem. Sementara pengaruh kebudayaan Islam terlihat dari adanya pesantren dengan tradisi yang masih dilakukan.

Dari berbagai pengaruh budaya yang masih dapat ditemui, dominasi arsitektur dan aktivitas ritual perayaan keagamaan masyarakat Cina di Kecamatan Lasem menyebabkan munculnya sebutan Petit Chinois yang artinya Cina Kecil. Istilah Petit Chinois pertama kali dilontarkan oleh wisatawan Perancis karena banyaknya tinggalan budaya yang berupa upacara-upacara perayaan keagamaan dan bangunan-bangunan yang berarsitektur Cina (Hartono, 2010: 2).

Warisan budaya tangible lainnya yang ada di Kecamatan Lasem antara lain situs masa prasejarah, klasik, Islam, maupun kolonial. Situs masa prasejarah antara lain terdapat di Binangun, Plawangan, Terjan, dan Leran. Situs yang ada di luar wilayah Kecamatan Lasem tidak akan dibahas lebih jauh. Situs masa klasik dapat ditemui di Candi Samodrawela. Situs masa Islam dapat dijumpai berbentuk Masjid Jami’ Lasem dan makam-makam yang tersebar di beberapa lokasi. Situs masa kolonial berada di sepanjang Jalan Daendels dan tersebar di beberapa lokasi.

(5)

Selain warisan budaya tangible, terdapat pula warisan budaya intangible yang terdiri dari keahlian membatik, makanan khas, dan berbagai tradisi yang masih dijalankan oleh beberapa kelompok masyarakat di Kecamatan Lasem. Aktivitas masyarakat yang masih dilakukan berkaitan dengan tradisi, tanpa disadari terus dilakukan dengan pemaknaan ulang terhadap warisan budaya mereka dan hal tersebut merupakan sebuah langkah penting dalam upaya pelestariannya. Pemaknaan ulang dapat dilihat dari perubahan ritual3 yang dilakukan pada pelaksanaan berbagai tradisi, misalnya sedekah laut dan sedekah bumi. Selanjunya, upaya-upaya pelestarian dilakukan antara lain dengan meneruskan kebiasaan yang dilakukan turun-temurun oleh para orang tua mereka. Sebagai contoh adalah kepandaian membuat kain dengan motif batik khas Kecamatan Lasem. Contoh lainnya adalah dengan meneruskan tradisi membaca Kitab Badrasanti dengan tembang dan diiringi gambang, salah satu alat musik gamelan.

Upaya-upaya lain yang dilakukan oleh masyarakat Kecamatan Lasem terhadap warisan budaya mereka adalah dengan membentuk lembaga-lembaga yang peduli terhadap warisan budaya tersebut. Lembaga-lembaga tersebut aktif baik dalam sosialisasi informasi sejarah dan budaya kepada masyarakat maupun tindakan-tindakan advokasi terhadap warisan budaya yang mengalami ancaman pelestarian. Selain itu, mereka juga aktif memperkenalkan kekhasan Kecamatan Lasem melalui warisan budayanya kepada masyarakat luar wilayah. Hal tersebut bukan saja sebagai sebuah langkah yang sifatnya ekonomis dalam pengertian sebagai bumbu daya tarik wisata ke Kecamatan Lasem, namun juga sebagai bagian dari perayaan identitas ke-Lasem-an itu sendiri.

Salah satu kegiatan masyarakat untuk memperkenalkan warisan budaya Kecamatan Lasem adalah dengan membuat Festival Lasem 2013. Kegiatan ini mengundang masyarakat

(6)

luar untuk berkunjung dan menyuguhkan berbagai warisan budaya khas. Kegiatan dimulai dengan napak tilas pejuang Lasem, pameran arkeologi dan seni lukis, pasar batik Lasem, pagelaran seni hingga karnaval batik Lasem. Penyelenggara menyiapkan homestay dengan beragam suasana bagi para tamu.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, Kecamatan Lasem memiliki warisan budaya yang beragam. Sementara, kepedulian masyarakat Kecamatan Lasem terhadap warisan budaya mereka terbilang besar. Meskipun demikian, perkembangan jaman dan dampak dari perubahan-perubahan sosial, ekonomi dan politik menjadi salah satu ancaman terhadap pelestarian warisan budaya bukan saja di Kecamatan Lasem, tetapi di setiap tempat di belahan bumi ini. Namun demikian, meskipun sebagian masyarakat telah melakukan pelestarian warisan budaya, masih banyak warisan budaya Kecamatan Lasem dalam kondisi tidak terpelihara dan tidak dimanfaatkan. Situasi ini tentu dapat menyebabkan kerusakan dan pada akhirnya kepunahan dari warisan budaya tersebut. Oleh karena itu, strategi-strategi pelestarian dan pemanfaatan warisan budaya ini, khususnya di Kecamatan Lasem, perlu untuk segera dilakukan.

B. Permasalahan

Kecamatan Lasem sebagai sebuah kota yang kental dengan nuansa Cina memiliki warisan budaya yang beragam dalam jumlah yang cukup banyak. Bersama berjalannya waktu, berbagai perubahan terjadi, demikian juga pada keberadaan warisan budayanya. Warisan budaya Kecamatan Lasem saat ini sudah mengalami berbagai ancaman kerusakan dan kepunahan, sehingga perlu segera dilakukan pengelolaan yang dilakukan secara aktif oleh masyarakat setempat. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, strategi pengelolaan seperti apakah yang ideal bagi Kecamatan Lasem yang memiliki karakter warisan budaya yang beragam dengan penduduk yang berasal dari etnis yang beragam?

(7)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan satu alternatif pengelolaan warisan budaya di Kecamatan Lasem dengan peran serta masyarakat sebagai pelaku utama pengelolaan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan berdasar pada kondisi warisan budaya, sejarah, masyarakat Lasem, dan pemerintah. Penelitian dilakukan dengan harapan bahwa hasil yang diperoleh dapat bermanfaat bagi upaya memperkuat ciri khas atau identitas masyarakat Kecamatan Lasem pada khususnya dan identitas masyarakat Indonesia pada umumnya. Identitas yang mudah dikenali dari suatu kelompok dapat memberikan rasa bangga menjadi salah satu bagian darinya, sehingga akan menumbuhkan perasaan untuk tetap menjaga kelangsungan identitas tersebut.

Identitas kelompok yang kuat dan memiliki berbagai bentuk hasil budaya pada akhirnya akan menimbulkan daya tarik bagi masyarakat di luar kelompok. Ketertarikan tersebut kemudian diikuti perasaan ingin tahu dan ingin melihat secara langsung dari dekat. Ketertarikan inilah yang kemudian menimbulkan inisiatif untuk datang dan mengunjunginya. Ketertarikan dari luar kelompok itulah yang kemudian dapat memacu kelompok untuk terus mempertahankan ciri khas atau identitas kelompoknya.

E. Keaslian Penelitian

Salah satu penelitian terbaru dilakukan oleh Salsabilla Sakinah dengan judul “Studi Kelayakan Pengelolaan Kawasan Pecinan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Berbasis Ekomuseum”. Penelitian difokuskan pada tiga kawasan Pecinan yang ada di Kecamatan Lasem yaitu Soditan, Gedong Mulyo, dan Karangturi.

(8)

Sakinah (2013) melakukan penilaian terhadap bangunan-bangunan yang ada di ketiga kawasan Pecinan. Penilaian tersebut untuk megetahui kelayakan ketiga kawasan untuk dijadikan ekomuseum. Inti konsep ekomuseum adalah untuk dapat dilakukan pelestarian warisan budaya berbasis masyarakat lokal. Konsep tersebut berdasar pada kesadaran manusia dan komunitas setempat. Dapat diartikan bahwa komunitaslah yang berperan penting dalam melestarikan, mengintepretasikan, dan mengelola warisan budaya dalam rangka menciptakan skema pembangunan yang berkesinambungan (Sakinah, 2013).

Ekomuseum memadukan prinsip-prinsip museum konvensional, partisipasi masyarakat, dan pelestarian lingkungan baik lingkungan sosial, budaya, maupun fisik sesuai pendapat Davis (1999). Tujuan perpaduan tersebut untuk menciptakan atmosfer lokal yang tidak dapat ditemui di tempat lain. Hal ini untuk menonjolkan Lasem sebagai tempat yang unik, sehingga cukup layak untuk dijadikan sebagai ekomuseum (Sakinah, 2013).

Sementara penelitian ini fokus pada warisan budaya di Kecamatan Lasem tidak hanya di tiga kawasan Pecinan dan kondisi pengelolaan yang sudah berjalan hingga saat ini. Hal mendasar yang dilakukan adalah identifikasi warisan budaya baik tangible maupun intangible dan peran masyarakat pada pengelolaannya. Potensi yang ada kemudian diidentikasikan nilai pentingnya untuk kemudian dilakukan analisis SWOT. Setelah diketahui nilai penting dan SWOT, maka disusunlah sebuah alternatif strategi pengelolaan yang berbasis masyarakat.

F. Tinjauan Pustaka

Sejarah Kecamatan Lasem telah banyak disampaikan berbagai peneliti dan banyak diketahui oleh masyarakat. Namun banyak orang yang belum mengetahui bukti-bukti sejarahnya. Kecamatan Lasem sebagai sebuah permukiman, sudah ada sejak jaman prasejarah. Terdapat sedikitnya empat situs prasejarah yang ada di Kecamatan Lasem dan sekitarnya, namun untuk situs yang ada di luar wilayah penelitian tidak akan dibahas lebih lanjut.

(9)

Situs pertama adalah adalah situs Leran yang terletak di Desa Leran yang letaknya berbatasan dengan Kecamatan Sluke. Temuan yang ada di situs ini antara lain kerangka manusia, pecahan gerabah, alat dari cangkang moluska, dan arang (Kasnowihardjo, 2013: 173). Kerangka manusia yang ada di situs ini melakukan aktivitas modifikasi gigi berupa pangur berbentuk kelopak bunga (Kasnowihardjo, 2013: 173). Saat ini Situs Leran terancam hilang karena proses abrasi air laut yang terus menggerus tebing lokasi situs.

Situs Prasejarah selanjutnya terletak di Desa Binangun, Kecamatan Lasem. Temuan yang ada di situs ini antara lain rangka manusia, cangkang moluska, dan pecahan tembikar dengan kepadatan cukup tinggi (Kasnowihardjo, 2013: 175).

Kondisi tinggalan masa Prasejarah di Kecamatan Lasem mengalami keterancaman baik yang disebabkan oleh faktor alam maupun faktor manusia. Keadaan ini banyak terjadi karena meningkatnya jumlah penduduk yang memerlukan penyediaan ruang bagi hidupnya. Demikian pula yang terjadi pada situs-situs masa klasik. Keberadaan Lasem pada masa klasik terkait dengan Kerajaan Majapahit. Hubungan ini disebutkan dalam dua kitab, yaitu Pararaton dan Negarakrtagama. Penyebutan Lasem sebagai daerah diketahui dengan adanya tokoh bergelar Bhre Lasem yang berarti penguasa Lasem. Kedua kitab menyebutkan nama Bhre Lasem, namun tidak memberikan gambaran lokasi, situasi, dan kondisi Lasem pada saat itu. Disebutkan bahwa Lasem merupakan salah satu mandala atau kerajaan bawahan Majapahit yang berjumlah delapan. Sebagai sebuah mandala, tentunya Lasem merupakan salah satu wilayah penting bagi Kerajaan Majapahit (Hardjowardojo, 1965:53; Riana, 2010: ).

Pada tahun 1983, seorang peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional di Jakarta, Sri Soejatmi Satari, melakukan penelitian berdasar pada kajian Babad Lasem yang ditulis oleh Kamzah. Fokus penelitian pada permukiman yang terdapat di Desa Caruban, Kecamatan Lasem. Babad Lasem ditulis pada tahun 1825 dengan huruf latin ejaan baru oleh Kamzah

(10)

berdasarkan salinan Kitab Badrasanti. Sementara Kitab Badrasanti berisi tentang cerita masa Majapahit sampai persebaran agama Islam di daerah Pantai Utara Jawa Tengah (Satari, 1983). Berdasar pada isi Babad Lasem inilah Satari (1983) melakukan survei di daerah Lasem dengan konsentrasi penelitian di daerah Caruban. Dari hasil survei tersebut diperoleh tiga buah sumur berbahan terakota dan satu sumur berbahan batu bata. Hasil lainnya antara lain nisan berbentuk lingga dan kenong di Kompleks Makam Nyai Ageng Maloko. Jajaran pohon sawo kecik di sekitar makam juga teridentifikasi oleh Satari (1983). Temuan ini mendukung uraian dalam Babad Lasem mengenai gambaran Istana Kriyan yang merupakan Istana Bhre Lasem.

Sementara lokasi yang mendukung Lasem sebagai sebuah pelabuhan ditemukan di Binangun (Satari, 1983). Diperkirakan, di tempat inilah letak Pelabuhan Regol tempat Bhre Matahun menjadi seorang Dampuhawang. Di pelabuhan inilah orang Campa dan orang-orang China untuk pertama kalinya mendarat (Satari, 1983). Penelitian yang dilakukan Satari memberikan gambaran tentang kehidupan di Lasem pada masa klasik.

Gambaran lain yang mencoba dibangun tentang kehidupan masa klasik di Lasem dilakukan oleh Achmad Cholid Sodri pada tahun 1990. Penelitian dilakukan dengan teknik ekskavasi di Situs Bonang. Temuan yang didapat pada penelitian kali ini adalah struktur batu bata yang tersebar di beberapa titik. Berdasarkan temuan ekskavasi, Sodri berkesimpulan bahwa di tempat tersebut terdapat permukiman pada masa klasik (Sodri, 1990).

Gambaran-gambaran kehidupan masa klasik di Lasem diperkuat oleh Nurhadi Rangkuti (1998) melalui penelitiannya tentang pasang naik dan pasang surut Kota-Kota Pantai di Pesisir Utara Pulau Jawa. Rangkuti memilih Situs Bonang sebagai studi kasusnya. Pada penelitian ini ditemukan beberapa data perkembangan Desa Bonang yang merupakan daerah pelabuhan yang cukup ramai didatangi dan disinggahi oleh para pedagang dari berbagai negeri. Bonang menjadi sebuah daerah yang cukup maju karena perdagangan berbagai komoditi.

(11)

Daerah ini kembali sepi setelah meletusnya Gunung Krakatau pada tahun 1883 M. Nurhadi juga menyoroti tentang pola, struktur, dan proses keruangan Kota-Kota Pantai Utara Jawa dengan membuat studi kasus di Situs Kota Lasem di Kabupaten Rembang. Penelitian dilakukan di Desa Dasun dan Desa Soditan dengan hasil adanya perkembangan morfologi Kota Lasem. Morfologi I terjadi pada masa dominasi transportasi sungai sejak jaman Majapahit. Morfologi II terjadi pada masa dominasi transportasi darat yang terjadi sejak dibangunnya jalan darat sepanjang garis pantai utara (Rangkuti, 1998).

Kedatangan masyarakat asing di Lasem telah terjadi jauh sebelum masa kolonial di Indonesia. Lasem telah didatangi para pedagang dari berbagai penjuru dunia mengingat lokasi Lasem yang sangat strategis pada jalur perdagangan dunia. Masyarakat asing yang cukup banyak jumlahnya menetap di Lasem berasal dari negeri Cina. Para imigran Cina membawa serta kebudayaan dan kehidupan kesehariannya dari negeri asal ke Lasem sehingga Lasem memiliki warna budaya Cina yang cukup kental. Kedatangan imigran Tiongkok terjadi secara bertahap, terlihat dari tumbuhnya permukiman yang disebut pecinan di Lasem (Aziz, 2013).

Perkembangan permukiman pecinan di Lasem menarik penelitian yang berfokus pada arsitektur bangunan-bangunannya. Salah satunya adalah Yunan Helmy Zakaria (1993), yang melakukan pengamatan arsitektur Kota Lasem yang berpijak pada tinjauan mengenai pengaruh masyarakat Cina. Penelitian ini mengungkapkan perkembangan Lasem secara umum dan permukiman yang bernuansa Cina di beberapa desa yang ada di Lasem. Terdapat tiga kawasan permukiman Cina yang dikenal dengan sebutan Pecinan. Masing-masing kawasan memiliki kelenteng sebagai salah satu penanda khusus adanya sebuah permukiman orang-orang Cina (Zakaria, 1993).

Gambaran mengenai Lasem telah diulas oleh beberapa peneliti dengan berbagai sudut pandang yang berbeda. Salah satu penelitian mengenai sejarah Kecamatan Lasem dari masa paling awal hingga masa kekuasaan Hindia Belanda dilakukan oleh Anwar Hidayat ada tahun

(12)

2009. Penelitian tersebut berjudul “Kajian Pola Struktur Ruang Kota Lasem Ditinjau dari Sejarahnya sebagai Kota Pantai.” Penelitian ini dapat menunjukkan wilayah Lasem terdiri dari dua kawasan. Kawasan pertama adalah pusat kota yang berada pada daerah dataran. Kawasan kedua merupakan kawasan pesisir utara Lasem yang cenderung berbentuk kipas yang terletak pada tempat dengan topografi yang relatif berkontur. Sistem jalur utama yaitu jalur pantai utara yang memiliki sistem linear dipadu dengan jalur jalan di sekitar yang berpola grid. Dari berbagai bentuk yang dapat ditemui, diketahui bahwa Kota Lasem cenderung tumbuh secara alami (Hidayat, 2009).

Pertumbuhan Lasem sebagai sebuah permukiman terlihat dari tinggalan yang berupa bangunan-bangunan tempat tinggal dan bangunan lain. Salah satu aspek yang dapat dilihat dari tinggalan yang berupa bangunan adalah arsitektur. Aspek arsitektur di Lasem cukup mendapat perhatian yang tinggi dari beberapa ahli. Salah satu ahli arsitektur, Pratiwo (2010), menulis buku yang berjudul “Arsitektur Tradisional Tionghoa dan Perkembangan Kota.” Buku tersebut berisi tentang beberapa pecinan yang ada di Jawa Tengah bagian utara. Tulisan menyoroti tentang transformasi sebuah kota pada umumnya dengan bagian-bagian yang mengalami transformasi misalnya pada struktur pemukiman, kehidupan di jalan, tempat perdagangan, kelenteng, dan kuburan. Diuraikan tentang perkembangan permukiman Lasem dari sebelum abad ke-20 sampai dengan abad ke-20. Dalam tulisan ini juga diungkapkan tentang berbagai transformasi bentuk atau denah yang terjadi pada rumah-rumah tinggal di Lasem dan perbandingan antara rumah Cina dan rumah Jawa yang ada di Lasem (Pratiwo, 2010). Perubahan-perubahan yang terjadi pada bentuk-bentuk arsitektur rumah-rumah di Lasem menggambarkan adanya perkembangan dan pembangunan di wilayah tersebut.

Penelitian yang tidak kalah pentingnya adalah mengenai masyarakat Kecamatan Lasem yang dilakukan oleh Munawir Aziz (2013). Penelitian fokus pada interaksi warganya. Di dalam bukunya yang berjudul Lasem Kota Tiongkok Kecil penulis menggambarkan adanya

(13)

beberapa etnis yang tinggal di Lasem. Etnis Jawa, Cina, dan Arab. Ketiga etnis memiliki ciri khas pola hidup dan ritual yang berbeda, namun dalam kesehariannya mereka bergaul erat dan saling mendukung saat salah satu etnis memiliki kegiatan ritual yang diyakini. Eratnya ikatan persaudaraan antar warga Lasem dibangun oleh sejarah panjang yang membuat mereka merasakan perjuangan dan penderitaan yang sama (Azis, 2013).

G. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis dengan langkah-langkah penelitian sebagai berikut:

1. Mengumpulkan data baik data kesejarahan, arkeologi, maupun data antropologis. Teknik yang digunakan adalah penelusuran pustaka, observasi pada bangunan, situs, serta aktivitas masyarakat, dan wawancara. Wawancara dilakukan dengan delapan narasumber yang mengetahui perjalanan sejarah Lasem, bergerak di bidang pelestarian lokal, dan narasumber lain yang dianggap perlu untuk melengkapi pandangan masyarakat terhadap nilai penting warisan budaya Lasem.

2. Data yang telah diperoleh diklasifikasi sebagai unit analisis. Data yang dianalisis berupa warisan budaya baik tangible maupun intangible dan pelaku aktivitas pelestarian dan pemanfaatan warisan budaya di Kecamatan Lasem antara lain masyarakat setempat, swasta, dan pemerintah.

3. Menyusun analisis nilai penting warisan budaya Lasem kemudian nilai penting tersebut dianalisis SWOT. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui Strengths (kekuatan), Weakness (kelemahan), Opportunity (kesempatan), dan Threath (Ancaman) nilai penting warisan budaya Lasem. Hasil analisis kemudian digunakan untuk mengetahui kekuatan dan peluang sehingga dapat dimaksimalkan agar dapat menghadapi kelemahan dan ancaman terhadap warisan budaya Lasem.

(14)

4. Menyusun strategi pengelolaan Lasem yang berkelanjutan dengan berbasis pada masyarakat.

H. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini disajikan dalam lima bab. Bab I berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, dan metode penelitian. Bab II berisi tentang warisan budaya di Lasem baik tangible maupun intangible serta pihak-pihak yang telah berperan pada pengelolaan warisan budaya. Pada bab ini, warisan budaya di Lasem dideskripsikan dan uraian tentang pihak-pihak yang telah perperan dalam pengelolaannya. Bab III berisi tentang analisis nilai penting dan SWOT. Pada bab ini juga terdapat kriteria pemeringkatan, simulasi pemeringkatan, dan hasil pemeringkatan. Bab IV berisi tentang strategi pengelolaan warisan budaya di Lasem yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat. Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

Referensi

Dokumen terkait

Fasilitas dan peralatan praktik klinik untuk kegiatan pelaksanaan bagi peserta didik praktik klinik di RSUD Kabupaten Sumedang disesuaikan dengan kebutuhan standar alat-alat

Sebagaimana dalam Peraturan Bupati Sumenep 2016 pada Bab II tentang Dasar, Fungsi, dan Tujuan Wajib Diniyah pada pasal 4 ayat 1 dan 2 yaitu, (1) penyelenggaraan Wajib

Dimensi f merupakan nilai yang bersifat nyata dari suatu kriteria yang dituliskan dalam fungsi, f : K → R dan tujuannya berupa prosedur optimasi untuk setiap alternatif

Teknik pembiusan dengan penyuntikkan obat yang dapat menyebabkan pasien mengantuk, tetapi masih memiliki respon normal terhadap rangsangan verbal dan tetap dapat mempertahankan

Judul Tesis : HUBUNGAN SOSIAL EKONOMI DAN INTAKE ZAT GIZI DENGAN TINGGI BADAN ANAK BARU MASUK SEKOLAH (TBABS) PADA DAERAH ENDEMIS GAKY DI KECAMATAN PARBULUAN

Jika bisa memahami alam penderitaan yang sangat buruk yang dihadapi pada masa kehidupan yang sekarang adalah merupakan balasan dari kekuatan karma atas perbuatan buruk

12 Dalam penelitian ini peneliti melakukan wawancara secara langsung kepada Juru Pelindung Pengembangan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya Gapura Masjid Wali

Teknik spyware yang bertujuan untuk memonitor dan merekam semua paket data yang melewati jaringan dikenal dengan.. Teknik spyware yang bertujuan untuk mengubah paket data