• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Edible film adalah lapisan tipis yang terbuat dari bahan-bahan yang dapat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA. Edible film adalah lapisan tipis yang terbuat dari bahan-bahan yang dapat"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Edible film

Edible film adalah lapisan tipis yang terbuat dari bahan-bahan yang dapat

dikonsumsi, dibentuk melapisi komponen makanan (coating) atau diletakkan diantara komponen makanan (film). Kelebihan edible film sebagai pembungkus dan pelapis produk-produk pangan dan hasil-hasil pertanian karena tidak berdampak pada pencemaran lingkungan (Hui, 2006). Selain itu edible film menggunakan bahan yang dapat diperbaharui dan kompoennya yang mudah dijangkau (Bourtoom, 2007).

Edible film berfungsi melindungi produk dari kerusakan fisika, kimia, dan

biologi karena dapat menghambat perpindahan kelembaban udara, pertumbuhan mikroba dari permukaan, induksi cahaya yang menyebabkan perubahan kimia dan oksidasi nutrisi (Han,2005)

2.1.1 Edible film Berbasis Pati

Edible film dapat dibuat dari golongan hidrokoloid, yaitu polisakarida.

Polisakarida yang dapat digunakan antara lain karagenan, agar, sodium alginat, kitosan, pektin, pati, selulosa dan qum mosquite.penggunaan polisakarida sebagai bahan dasar pembuatan edible film didasarkan pada biaya yang relatif lebih murah dibandingkan dengan bahan lain. Selain itu edible film memiliki sifat termoplastik yang baik dan mudah didapat. Pencampuran hidrokoloid dalam pembuatan edible

film menyebabkan interaksi sinergis yang baik. Kondisi tersebut menghasilkan

(2)

5

Polisakarida memiliki beberapa kelebihan yaitu selektif terhadap oksigen dan karbondioksida, penampilan tidak berminyak, dan kandungan kalorinya rendah. Diantara jenis polisakarida, pati merupakan bahan baku yang potensial untuk pembuatan edible film dengan karakteristik fisik yang mirip dengan plastik antara lain tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa (Lourdin, 2017)

Komposit adalah edible film yang dibentuk dari gabungan biopolymer hidrokoloid dengan lipida. Kandungan lipid pada edible komposit akan menghalangi uap air dan polimer didalamnya berupa amilosa akan bergabung dalam ikatan –(1,4) D-glukosa sehingga menghasilkan edible yang kuat (Nur, 2011). Permasalahan utama edible film komposit adalah homogenisasi biopolymer hidrokoloid dengan lipid dalam matrik edible film sehingga menghasilkan edible

film dengan permukaan berbintik-bintik dan kasar (Fabra et al., 2008).

2.2 Pati Bonggol Pisang

Bonggol pisang dapat dimanfaatkan untuk diambil patinya, pati pada bonggol pisang menyerupai pati tepung sagu dan tepung tapioka. Menurut Yuanita (2008), karakteristik pati bonggol pisang yaitu bonggol pisang mengandung pati 76%, air 20%, sedangkan 4% adalah protein dan vitamin. Karena kandungan karbohidratnya yang cukup tinggi, maka pati pada bonggol pisang dapat dipisahkan dari ampasnya untuk dimanfaatkan menjadi bahan pembentuk edible film. Bonggol pisang dapat dilihat pada Gambar 1.

(3)

6

Gambar 1. Bonggol pisang (Dokumentasi pribadi, 2019)

Pati bonggol pisang merupakan salah satu jenis pati yang mengandung komponen hidrokoloid yang dapat dimanfaatkan untuk membentuk matrik film. Pati bonggol pisang memiliki kadar amilosa yang cukup tinggi sekitar 20% sehingga mengembangkan potensi kapasitas pembentukan film dan menghasilkan film yang lebih kuat dari pati yang mengandung lebih sedikit amilosa (Suyanti, 2008). Pati bonggol pisang dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Pati bonggol pisang (Dokumentasi pribadi, 2019)

Menurut Maudi (2008), pati bonngol pisang sebagai bahan utama pembentuk film dipilih karena selain kandungan patinya yang tinggi, bonggol pisang juga memiliki kandungan gizi yang cukup banyak, antara lain energi (42,5 kkal), protein (3,45 gr), kalsium (60 mg), fosfor (150 mg), zat besi (2 mg),

(4)

7

vitamin B1 (0,04 mg), vitamin C (14 mg) dan kandungan amilosa 20%. Amilosa berperan dalam kelenturan dan kekuatan film pada sediaan edible film. Struktur molekul amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3.Struktur molekul amilosa dan amilopektin (Eliasson, 2004) Adapun kelemahan dari polisakarida dan hidrokoloid seperti pati yakni, memiliki sifat hidrofilik yang relatif tinggi. Pati jika digunakan sebagai bahan baku pembuat edible film akan menghasilkan film yang rapuh, permeabilitas uap air tinggi, dan kurang fleksibel, sehingga diperlukan usaha untuk memperbaikinya, salah satunya adalah dengan penambahan plasticizer agar elastis (Warkoyo dkk, 2014).

2.3 Bahan Tambahan Pembuatan Edible film 2.3.1 Jenis Plastisizer

Platicizer merupakan komponen yang cukup besar perannya dalam edible film untuk mengatasi sifat rapuh film yang disebabkan oleh kekuatan intermolekuler ekstensif. Plasticizer didefinisikan sebagai substansi non volatil, karena mempunyai titik didih tinggi dan jika ditambahkan kedalam materi lain

(5)

8

dapat mengubah sifat fisik atau sifat mekanik materi tersebut. Jenis plastisizer yang banyak digunakan selama ini adalah gliserol (Akesowan, 2008).

2.3.1.1 Gliserol

Gliserol merupakan plastisizer yang bersifat higroskopis yaitu dapat menyerap air dari udara dan hidrofilik yang dapat menambah sifat polar dan mudah larut dalam air. Gliserol dapat mengurangi gaya inter molekuler sepanjang rantai polimer, sehingga mengakibatkan fleksibilitas film meningkat, mengurangi ikatan hidrogen internal dan meningkatkan jarak inter molekuler. Peran gliserol sebagai plastisizer dapat meningkatkan absorpsi molekul polar seperti air, sehingga efektif digunakan sebagai plasticizer pada film hidrofilik berbasis protein.

Menurut Brody (2005), secara teoritis plasticizer dapat menurunkan gaya internal diantara rantai polimer, sehingga akan menurunkan tingkat kegetasan dan meningkatkan permeabilitas terhadap uap air. Rumus kimia gliserol adalah C3H8O3, berat molekul gliserol 92,10 massa jenisnya 1,23 g/cm3 dan titik

didihnya 204oC. Gliserol mempunyai sifat mudah larut air, meningkatkan

viskositas larutan, mengikat air dan menurunkan Aw. Struktur molekul gliserol dapat dilihat pada Gambar 4.

CH2OH

CHOH CH2OH

(6)

9

Pada penelitian Firdaus (2008), gliserol memberikan pengaruh terhadap karakteristik edible film berupa elongasi dan kuat tarik sesuai dengan standar JIS. Standar JIS dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1.Standart JIS (Japaneses Industrial Standart) Edible Film

No Sifat Nilai

1. Ketebalan 0,25 mm

2. Kuat Tarik 3,92266 Mpa

3. Elongation Jelek <10%

Bagus > 50%

4. Modulus Young 0,35 Mpa

5. Laju Transmisi Uap 7 g/m2/hari

Sumber : JIS (1975) dalam Krochta, dkk (1997)

2.3.1.2 Sorbitol

Sorbitol merupakan plasticizer untuk mengurangi kerapuhan, meningkatkan fleksibilitas dan ketahanan film terutama jika disimpan pada suhu rendah. Mchugh dan Krochta (1994), menyatakan bahwa poliol seperti sorbitol dan gliserol adalah plasticizer berfungsi mengurangi ikatan hidrogen internal sehingga akan meningkatkan jarak intermolekul. Penggunaan sorbitol sebagai plasticizer diketahui lebih efektif, sehingga dihasilkan film dengan permeabilitas oksigen yang lebih rendah bila dibandingkan dengan menggunakan gliserol, akan tetapi sorbitol sulit bercampur dan mudah mengkristal pada suhu ruang. Sorbitol adalah senyawa monosakarida polyhidric alcohol dengan rumus kimia C6H14O6.

Struktur molekulnya mirip dengan struktur molekul glukosa hanya yang berbeda gugus aldehid pada glukosa diganti menjadi gugus alkohol.

Menurut Rimadianti (2007), konsentrasi sorbitol pada pembuatan edible

film yang biasa digunakan dalam pembuatan edible film adalah 0,4-2% dan yang

(7)

10

film apabila terlalu tinggi dapat meningkatnya ketebalan dan menurunnya kuat tarik edible film. Struktur kimia sorbitol dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Struktur molekul sorbitol (Perry, 2007)

2.3.2 Karagenan

Karagenan merupakan senyawa yang termasuk kelompok polisakarida galaktosa hasil ekstraksi dari rumput laut. Menurut Stevens (2008), pada bidang industri karagenan berfungsi sebagai stabilisator (pengatur keseimbangan), thickener (bahan pengental), pembentuk gel dan dapat membantu memperbaiki struktur permukaan. Dalam industri makanan karagenan dikategorikan sebagai salah satu bahan tambahan makanan (food additives). Karagenan dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Karagenan (Dokumentasi pribadi, 2019)

Kargenan adalah merupakan hidrokoloid yang potensial untuk dibuat edible

film, karena sifatnya yang kaku dan elastis, dapat dikonsumsi, dan dapat

(8)

11

kemampuan yang baik melindungi produk terhadap oksigen, karbondioksida, dan lipid serta sifat mekanis yang diperlukan. Sebagian besar karagenan mengandung natrium, magnesium, dan kalsium yang dapat terikat pada gugus ester sulfat dari galaktosa dan kopolimer 3,6-anhydro-galaktosa. Karagenan dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Struktur kimia karagenan (Montotalu, 2008)

Karagenan dibedakan berdasarkan kandungan sulfatnya menjadi dua fraksi yaitu kappa karagenan yang mengandung sulfat kurang dari 28% dan iota karagenan jika lebih dari 30%. Menurut penelitian Winarno (2007) karagenan dibagi atas 3 fraksi berdasarkan unit penyusunnya yaitu kappa, iota, dan lambda karagenan, kappa karagenan dihasilkan dari rumput laut jenis Eucheuma cottoni, iota karagenan dihasilkan dari Eucheuma spinosum, sedangkan lambda karagenan dari Chondrus crispus.

Menurut Winarno (2010), pembentukan gel adalah suatu fenomena penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga terbentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Selanjutnya jala ini menangkap atau mengimobilisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku. Gel mempunyai sifat seperti padatan, khususnya sifat elastis dan kekakua

(9)

12

Struktur kappa dan iota karagenan memungkinkan bagian dari dua molekul masing-masing membentuk double helix yang mengikat rantai molekul menjadi bentuk jaringan 3 dimensi atau gel. Lamda karagenan tidak mampu membentuk double helix tersebut. Sifat ini dapat terlihat bila larutan dipanaskan kemudian diikuti dengan pendinginan sampai di bawah suhu tertentu, kappa dan iota karagenan akan membentuk gel dalam air yang bersifat reversible yaitu akan mencair kembali pada saat larutan dipanaskan.

2.4 Mekanisme Pembentukan Edible Film

Pembentukan edible film dari pati, pada prinsipnya merupakan gelatinisasi molekul pati. Proses pembentukan film adalah suatu fenomena pembentukan gel akibat perlakuan suhu, sehingga terjadi pembentukan matriks atau jaringan (Mc Hugh dan Krochta, 1994). Prinsip pembentukan edible film, melalui tahap-tahap sebagai berikut:

2.4.1 Pensuspensian Bahan ke dalam Pelarut

Pembentukan larutan film dimulai dengan mensuspensikan bahan ke dalam pelarut, misalnya air, etanol, dan pelarut lain.

2.4.2 Pengaturan suhu

Pengaturan suhu mempunyai tujuan untuk mencapai suhu gelatinisasi pati, sehingga pati dapat tergelatinisasi sempurna dan diperoleh film yang homogen serta utuh. Gelatinisasi merupakan peristiwa pembentukan gel yang dimulai dengan hidrasi pati, yaitu penyerapan molekul-molekul air oleh molekul-molekul pati. Apabila tanpa adanya pemanasan, kemungkinan terjalin interaksi intermolekuler sangat kecil, sehingga pada saat dikeringkan film menjadi retak. Gelatinisasi dapat terjadi apabila air melarutkan pati yang dipanaskan sampai suhu gelatinisasinya (Mc Hugh dan Krochta, 1994).

(10)

13 2.4.3 Penambahan Plasticizer

Plasticizer merupakan substansi nonvolatile yang ditambahkan ke dalam suatu bahan untuk memperbaiki sifat fisik dan atau sifat mekanik bahan tersebut Pada pembuatan edible film sering ditambahkan plasticizer untuk mengatasi sifat rapuh film, sehingga akan diperoleh film yang kuat, fleksibel, dan tidak mudah putus. Oleh karena itu, plasticizer merupakan komponen yang cukup besar peranannya dalam pembuatan edible film. Menurut Gontard et al. (2003), plasticizer yang umum digunakan adalah gliserol, sorbitol, dan poli etilen glikol (PEG). Penggunaan plasticizer harus sesuai dengan polimer, dan konsentrasi yang digunakan berkisar 10 – 60 % berat kering bahan dasar tergantung kekakuan polimernya.

2.5 Pengujian Karakteristik Edible Film 2.5.1 Uji Kuat Tarik

Pengukuran tensile strength untuk mengetahui besarnya gaya yang dicapai untuk mencapai tarikan maksimum pada setiap satuan luas area film untuk merenggang atau memanjang (Purwanti, 2010). Adapun ilustrasi mekanisme analisa kuat tarik pada edible film ditunjukkan pada Gambar 8.

(11)

14 2.5.2 Persentase Pemanjangan (Elongation)

Kuat tarik selain dipengaruhi oleh tegangan (stress) juga dipengaruhi oleh regangan atau pemanjangan (strain). Regangan didefinisikan sebagai rasio antara perubahan pemanjangan dengan panjang awal dari bahan yang mengalami perubahan bentuk. Jika suatu bahan dikenakan gaya tarikan dengan kecepatan tetap, semula kenaikan tegangan yang diterima bahan berbanding lurus dengan perpanjangan spesimen sampai dengan titik elastis bilamana tegangan dilepaskan maka hanya sebagian yang akan kembali ke keadaan aslinya dan menjadi bentuk permanen, tetapi jika tegangan dinaikan sedikit saja akan terjadi perpanjangan yang besar (Purwanti, 2010).

2.5.3 Ketebalan Edible Film

Analisis ketebalan juga sangat mempengaruhi sifat fisik dan mekanik edible film, seperti tensile strength, elongation dan water vapor transmission rate (WVTR). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ketebalan edible film antara lain konsentrasi padatan terlarut pada larutan pembentuk film dan ukuran pelat pencetak. Semakin tinggi konsentrasi padatan terlarut, maka ketebalan film akan meningkat (Mc Hugh dan Krochta, 1994).

(12)

15 2.5.4 Scanning Electron Microscopy (SEM)

SEM terdiri dari sebuah senapan elektron yang memproduksi berkas elektron pada tegangan dipercepat sebesar 2 – 30 kV. Berkas elektron tersebut dilewatkan pada beberapa lensa elektromagnetik untuk menghasilkan image berukuran <~10nm pada sampel yang ditampilkan dalam bentuk film fotografi atau kedalam tabung layar. Adapun diagram skematik dan cara kerja SEM ditunjukkan pada Gambar 9.

(13)

16

SEM sangat cocok digunakan dalam situasi yang membutuhkan pengamatan permukaan kasar dengan pembesaran berkisar antara 20 kali sampai 500.000 kali. Sebelum melalui lensa elektromagnetik terakhir scanning raster mendeflesikan berkas elektron untuk men-scan permukaan sampel. Hasil scan ini tersinkronisasi dengan tabung sinar katoda dan gambar sampel akan tampak pada area yang di-scan. Tingkat kontras yang tampak pada tabung sinar katoda timbul karena hasil refleksi yang berbeda-beda dari sampel. Sewaktu berkas elektron menumbuk permukaan sampel sejumlah elektron direfleksikan sebagai backscattered electron (BSE) dan yang lain membebaskan energi rendah secondary electron (SE). Emisi radiasi elektromagnetik dari sampel timbul pada panjang gelombang yang bervariasi tapi pada dasarnya panjang gelombang yang lebih menarik untuk digunakan adalah daerah panjang gelombang cahaya tampak (cathodoluminescence) dan sinar-X (Anggraeni, 2008).

2.5.5 Uji Kelarutan

Uji ketahanan terhadap air dilakukan untuk mengetahui terjadinya ikatan dalam polimer serta tingkatan atau keteraturan ikatan dalam polimer yang ditentukan melalui presentase penambahan berat polimer setelah mengalami penggembungan. Proses terdifusinya molekul pelarut kedalam polimer akan menghasilkan gel yang menggembung. Sifat ketahanan bioplastik terhadap air ditentukan dengan uji swelling, yaitu presentase penggembungan film oleh adanya air (Ummah, 2013).

(14)

17 2.5.6 Laju Transmisi Uap Air

Laju transmisi uap air (Water Vapor Transmission Rate/WVTR) adalah jumlah uap air yang melalui suatu permukaan persatuan luas atau slope jumlah uap air dibagi luas area. Edible film dengan bahan dasar polisakarida umumnya sifat barrier terhadap uap airnya rendah. Film hidrofilik seringkali memperlihatkan hubungan-hubungan positif antara ketebalan dan permeabilitas uap air. Nilai laju transmisi uap air suatu bahan dipengaruhi oleh struktur bahan pembentuk dan konsentrasi plasticizer (Liu and Han, 2005).

Laju transmisi uap air suatu bahan dipengaruhi oleh sifat kimia dan struktur bahan pembentuk, konsentrasi plasticizer dan kondisi lingkungan seperti kelembaban dan temperatur. Migrasi uap air umumnya terjadi pada bagian film yang hidrofilik. Rasio antara bagian yang hidrofilik dan hidrofobik komponen film akan mempengaruhi nilai laju transmisi uap air film tersebut. Semakin besar hidrofobisitas film, maka nilai laju transmisi uap air film tersebut akan semakin turun. Sehingga dapat disimpulkan juga, semakin besar hidrofilisitas film, maka nilai laju transmisi uap air film tersebut akan semakin naik (Bergo dan Sobral 2007).

2.5.7 Transparansi Edible Film

Kejernihan merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan kualitas edible film. Edible film yang tidak jernih jika diaplikasikan pada produk maka akan mengubah warna asli dari produk yang dilapisi. Nilai transparansi yang menurun menunjukkan bahwa derajat suatu kejernihan film meningkat. (Al Hasan dan Norziah, 2012).

(15)

18 2.6 Ekstraksi Pati

Ektraksi pati dari bonggol pisang dapat dilakukan secara basah atau secara kering dengan menjadikan tepung. Ekstraksi secara basah akan diperoleh pati murni, sedangkan ekstraksi secara kering akan diperoleh tepung bonggol pisang. Bonggol pisang banyak yang busuk atau menjadi limbah, karena bonggol pisang hanya dapat sekali bertunas, sehingga jika sudah tumbuh menjadi pohon pisang sudah tidak bermanfaat lagi. Hal ini yang menjadi nilai yang cukup potensial bagi bonggol pisang untuk dapat dimanfaatkan (Rizal, dkk, 2013).

Gambar

Gambar 1. Bonggol pisang (Dokumentasi pribadi, 2019)
Gambar 3.Struktur molekul amilosa dan amilopektin (Eliasson, 2004)  Adapun  kelemahan  dari  polisakarida  dan  hidrokoloid  seperti  pati  yakni,  memiliki  sifat  hidrofilik  yang  relatif  tinggi
Gambar 4. Struktur molekul gliserol (Brody, 2005)
Tabel 1.Standart JIS (Japaneses Industrial Standart) Edible Film
+5

Referensi

Dokumen terkait

Karakteristik edible film dengan menggunakan pemlastis gliserol 5 mL adalah sebagai berikut : Hasil SEM menunjukkan permukaan bertambah halus , Aw 0.390 , permeabilitas uap

Penambahan pati umbi kimpul ( X. sagittifolium ) menyebabkan kuat tarik, ketebalan, laju transmisi uap air, dan kehalusan permukaan edible film meningkat, tetapi

Sifat pati jagung seperti halnya yang terdapat pada pati lainnya dimana dalam bentuk alaminya memiliki kestabilan tekstur yang baik dalam sistem pangan, tetapi lemah

Pengaruh perubahan konsentrasi pati jagung dan filtrat kunyit putih terhadap transmisi uap air edible film ditunjukkan pada Gambar 3. Gambar 3 menunjukkan bahwa nilai

Pembuatan edible film dengan variasi konsentrasi asam palmitat ini menggunakan komposisi konsentrasi pati yang menghasilkan sifat-sifat fisik dan mekanik edible film

Dengan berkembangnya pengolahan edible film berbahan baku bioselulosa dari nata de coco akan berdampak pada berkurangnya pemanfaatan bahan kemasan yang tidak ramah

Penambahan pati umbi kimpul (X. sagittifolium) menyebabkan kuat tarik, ketebalan, laju transmisi uap air, dan kehalusan permukaan edible film meningkat, tetapi

Hasil dari analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi pati jagung dan konsentrasi karaginan yang berbeda pada edible film memberikan pengaruh