• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Hukum Atas Kedudukan Kreditur Lain Dalam Upaya Hukum Kasasi Pada Perkara Kepailitan (Studi Terhadap Tiga Putusan Mahkamah Agung)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisa Hukum Atas Kedudukan Kreditur Lain Dalam Upaya Hukum Kasasi Pada Perkara Kepailitan (Studi Terhadap Tiga Putusan Mahkamah Agung)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam dunia usaha ada banyak resiko yang dapat mempengaruhi kondisi keuangan

perusahaan, yaitu resiko investasi, resiko pembiayaan dan resiko operasi.1 Kegagalan

perusahaan dalam merespon berbagai resiko tersebut dapat mengakibatkan perusahaan

mengalami kesulitan keuangan secara ekonomi. Perusahaan yang mengalami kesulitan

keuangan secara ekonomi memiliki pendapatan yang lebih kecil dari biaya operasional

perusahaan yang harus dikeluarkan.2 Hal ini yang mengakibatkan perusahaan mengalami

kesulitan untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang kepada para krediturnya.

Secara umum Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

mengatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak

bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi

tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.3 Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa

pelaku usaha sebagai pihak yang berutang atau disebut debitur memiliki kewajiban untuk

membayar utang-utangnya sebagai wujud prestasi atas perjanjian yang telah dibuatnya.

Dengan kata lain tidak ada alasan yang dapat membebaskan debitur dari kewajibannya

untuk membayar utangnya meskipun sedang mengalami kesulitan keuangan.

1

Ardy Billy Lumowa, Tanggung Jawab Perusahaan Yang Dianyatakan Pailit Terhadap Pihak Ketiga, Lex Privatum Vol. I Nomor 3 Juli 2013, hal. 5

2

Andriani Nurdin, Kepailitan BUMN Persero Berdasarkan Asas Kepastian Hukum, (Bandung : Alumni, 2012), hal. 186

3

(2)

Selanjutnya ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata mengatakan bahwa :

''kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu di bagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.''4

Ketentuan yang diatur dalam Pasal 1132 KUHPerdata tersebut menjelaskan bahwa

KUHPerdata melindungi kepentingan dari setiap kreditur dengan tidak mendahulukan

kepentingan satu kreditur dari para kreditur lainnya untuk mendapatkan pelunasan utang

dari debitur, kecuali ada alasan yang sah untuk didahulukan.5 Alasan sah untuk didahulukan

tersebut adalah adanya hak jaminan kebendaan yang merupakan hak mutlak atas suatu

benda tertentu dari harta kekayaan debitur yang memberikan kedudukan diutamakan

daripada kreditur lainnya atas benda yang dijadikan jaminan tersebut.6 Dengan demikian

harta kekayaan debitur merupakan jaminan atas segala utang debitur kepada seluruh

krediturnya dengan pembagian hak yang seimbang dan adil.

Keadilan dalam pembagian hak para kreditur sebagaimana yang telah diatur dalam

Pasal 1132 KUHPerdata membutuhkan aturan hukum yang jelas sehingga dapat

memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, hukum kepailitan

diperlukan untuk merealisasikan ketentuan dari Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata.7

Hukum kepailitan juga memiliki tujuan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah oleh

4

Ibid., hal. 291 5

Bagus Irawan, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan, Perusahaan Dan Asuransi, (Bandung : Alumni, 2007), hal. 21

6

Irma Devita Purnamasari, Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer : Kiat-kiat Cerdas, Mudah Dan Bijak Memahami Masalah Hukum Jaminan Perbankan, (Bandung : Kaifa, 2014), hal. 4

7

(3)

kreditur8 dan menggantinya dengan suatu sitaan umum atas seluruh harta kekayaan debitur

untuk kepentingan seluruh kreditur.9 Dengan demikian, hukum kepailitan dapat

menghindari terjadinya perebutan harta kekayaan debitur secara tidak adil oleh salah satu

atau beberapa krediturnya.

Hukum kepailitan berdasarkan filosofi dasarnya merupakan suatu lembaga hukum

untuk mengatasi permasalahan apabila seluruh harta debitur tidak cukup untuk membayar

seluruh utang-utangnya kepada seluruh krediturnya.10 Filosofi tersebut mengandung

pengertian bahwa penyelesaian masalah utang-piutang melalui lembaga kepailitan dapat

digunakan apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar yang diakibatkan oleh

kesulitan keuangan secara ekonomi, yaitu keadaan yang menunjukkan nilai keekonomian

debitur negatif karena sudah tidak dapat menghasilkan pendapatan yang cukup untuk

menutupi biaya usaha.11

Hukum kepailitan memiliki sebuah prinsip dalam menyelesaikan kepailitan

perseroan terbatas. Prinsip tersebut adalah prinsip commercial exit from financial

distress.12 Prinsip tersebut mengandung makna bahwa penyelesaian masalah utang-piutang

melalui lembaga kepailitan bukanlah semata suatu upaya untuk mempermudah sebuah

usaha menjadi bangkrut, melainkan sebagai upaya untuk mengatasi kebangkrutan sebuah

usaha.13 Dengan kata lain, hukum kepailitan seharusnya digunakan sebagai jalan keluar

8

Andriani Nurdin, Op.Cit., hal. 131 9

Abdul R.Saliman, dkk, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2004), hal. 93 10

Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi 2, (Jakarta : Sofmedia, 2010), hal. 19 11

Andriani Nurdin, Op. Cit., hal. 186 12

Supriyono, Perlindungan Para Kreditur Sehubungan Dengan Debitur Mempailitkan Diri, Supremasi Hukum Vol. 2 Nomor 2, Desember 2013, hal. 369

13

(4)

terhadap debitur yang sedang mengalami kesulitan keuangan untuk mengatasi

kebangkrutan debitur. Hukum kepailitan seharusnya tidak digunakan terhadap

debitur yang memiliki keuangan sehat dan memiliki aset yang cukup untuk menutup

utang-utangnya. Apabila kepailitan digunakan terhadap debitur yang memiliki keuangan sehat

maka kepailitan justru dapat mempermudah debitur untuk bangkrut karena debitur pailit

akan kehilangan kepercayaan dan kesulitan untuk menjalin bisnis baru yang akan

berdampak pada kelangsungan usahanya.

Apabila kelangsungan usaha debitur terancam bangkrut tentunya hal tersebut akan

berdampak kepada kepentingan pihak-pihak lain yang bergantung pada kelangsungan usaha

debitur, seperti kepentingan kreditur lain. Putusan pailit yang diberikan hakim kepada

debitur mempunyai dampak global, tidak terbatas hanya kepada debitur itu sendiri tetapi

juga para stakeholders dari debitur dan kreditur, yaitu stakeholders internal yang terdiri dari

para pemegang saham dan karyawan14 serta stakeholders eksternal yang terdiri dari

pihak-pihak yang tidak terlibat secara langsung dengan perusahaan seperti para konsumen,

masyarakat, pemerintah dan lingkungan hidup.15

Penyelesaian masalah utang-piutang melalui lembaga kepailitan perlu

memperhatikan latar belakang dari ketidakmampuan debitur dalam melunasi

utang-utangnya agar menciptakan penyelesaian yang memberi keadilan bagi semua pihak yang

14

Bismar Nasution, Pengelolaan Stakeholder Perusahaan, Makalah disampaikan pada Pelatihan Mengelola Stakeholders yang dilaksanakan PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) tanggal 17 Oktober 2008 di Sei Karang Sumatera Utara, hal. 6

15

(5)

terlibat. Sehingga penyelesaian perkara kepailitan sejalan dengan filosofi dasar hukum

kepailitan.

Hukum kepailitan merupakan tindakan hukum yang terakhir yang dapat dilakukan

apabila langkah-langkah berupa perdamaian atau restrukturisasi utang telah gagal.16

Kepailitan merupakan salah satu pranata hukum untuk melakukan percepatan likuidasi

terhadap subjek hukum yang mengalami kesulitan keuangan akibat utang yang lebih besar

dari aset debitur.17 Kepailitan seyogianya hanya merupakan ultimum remidium.18

Hukum kepailitan yang baik seharusnya memperhatikan asas pemberian manfaat

dan perlindungan yang seimbang bagi semua pihak yang terkait dan memiliki kepentingan

dengan kepailitan debitur.19 Dengan demikian, hukum kepailitan dapat memenuhi rasa

keadilan bagi semua pihak yang terlibat. Pada praktek penyelesaian perkara kepailitan

dibutuhkan tidak hanya sekedar aturan hukum yang adil tetapi juga putusan hakim yang

dapat menjamin kepastian hukum atas penergakan aturan hukum yang adil bagi semua

pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan.

Pada praktek perkara kepailitan adakalanya kreditur lain tidak menginginkan

kepailitan debitur dan bahkan keberatan dengan putusan pailit atas diri debitur.

16

Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan Di Indonesia Edisi 2, (Jakarta : Sofmedia, 2010), hal.11

17

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2010, hal. 315

18

Hadi Subhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, (Jakarta : Kencana, 2008), hal. 49

19

(6)

Kelangsungan usaha debitur menjadi alasan bagi kreditur lain menolak kepailitan debitur.20

Kreditur lain menilai usaha debitur memiliki potensi untuk berkembang dan maju maka

akan lebih adil bagi semua pihak apabila usaha debitur tetap dipertahankan. Apabila

keadaan keuangan debitur sudah membaik maka debitur dapat melunasi utang-utangnya

dengan wajar kepada para krediturnya.

Kreditur lain yang keberatan dengan kepailitan debitur dilakukan oleh PT. Bank

Bumi Daya (PT. BBD) dan PT. Bank Negara Indonesia Tbk (PT. BNI Tbk) yang

merupakan kreditur lain dalam kasus Putusan Nomor : 27K/N/1999 yaitu perkara kepailitan

antara Ssangyong Engineering & Construction Co. Ltd melawan PT. Citra Jimbaran Indah

Hotel. Alasan Ssangyong Engineering & Construction Co. Ltd mengajukan permohonan

pailit atas PT. Citra Jimbaran Indah Hotel ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat adalah PT.

Citra Jimbaran Indah Hotel belum melunasi pembayaran jasa konstruksi atas pembangunan

sebuah hotel di pulau Bali dengan nama Bali Intercontinental Resort yang telah selesai

dibangunnya dan telah dilakukan serah terima. 21

Pada tingkat pengadilan niaga, hakim menolak permohonan pailit dari Ssangyong

Engineering & Construction Co. Ltd atas PT. Citra Jimbaran Indah Hotel dengan

pertimbangan hukum bahwa utang dalam konteks kepailitan haruslah diartikan pada utang

yang bersumber pada hubungan hukum pinjam meminjam uang dan tidak meliputi bentuk

wanprestasi lainnya.22 Hakim menilai utang atas tidak dibayarnya pelunasan jasa kontruksi

20

Bambang Pratama, Kepailitan Dalam Putusan Hakim Ditinjau Dari Perspektif Hukum Formil Dan Materil-Kajian Putusan Nomor 02/Pailit/2012/PN. SMG dan Nomor 522K/Pdt.Sus/2012, Jurnal Yudisial Vol. 7 Nomor 2, Agustus 2014, hal. 158

21

Putusan Nomor : 41/Pailit/1999, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat 22

(7)

pembangunan hotel Bali Intercontinental Resort tidak masuk dalam kategori utang yang

harus diselesaikan melalui lembaga kepailitan.

Selanjutnya Ssangyong Engineering & Construction Co. Ltd mengajukan upaya

hukum kasasi karena keberatan dengan putusan pengadilan niaga dan memohon kembali

kepada hakim tingkat kasasi agar PT. Citra Jimbaran Indah Hotel dinyatakan pailit. Dalam

proses persidangan pada tingkat kasasi ini, PT. BBD (kreditur separatis) dan PT. BNI Tbk

(kreditur separatis) yang bertindak sebagai kreditur lain dari PT. Citra Jimbaran Indah

Hotel menyampaikan keberatannya terhadap upaya hukum kasasi yang diajukan Ssangyong

Engineering & Construction Co. Ltd dengan pertimbangan bahwa antara PT. BBD dan PT.

BNI Tbk dengan PT. Citra Jimbaran Indah Hotel telah melakukan restrukturisasi utang. PT.

BBD dan PT. BNI Tbk berpendapat bahwa PT. Citra Jimbaran Indah Hotel masih memiliki

potensi dan prospek untuk berkembang sehingga di kemudian hari setelah kondisi

keuangannya membaik dapat kembali memenuhi kewajibannya kepada seluruh krediturnya.

23

Pada tingkat kasasi, hakim memutuskan PT. Citra Jimbaran Indah Hotel dalam

keadaan pailit dengan pertimbangan telah memenuhi syarat untuk dijatuhkan pailit karena

pelunasan pembayaran jasa konstruksi yang tidak dibayar tersebut termasuk dalam kategori

utang yang dimaksud dalam perkara kepailitan yaitu utang yang timbul dari kewajiban

untuk membayar sejumlah uang pada waktu yang telah ditentukan tanpa mempersoalkan

asal kewajiban itu timbul tapi melihat kepada suatu kewajiban seseorang untuk membayar

sejumlah uang kepada orang lain berdasarkan kontrak yang telah disepakati. Selain itu

23

(8)

hakim berpendapat telah terdapat dua atau lebih kreditur yaitu Ssangyong Engineering &

Construction Co. Ltd, PT. BBD dan PT. BNI Tbk.24

Pada proses persidangan tingkat pertama, PT. BBD dan PT. BNI Tbk tidak turut

serta mengajukan permohonan pailit atas PT. Citra Jimbaran Indah hotel. Pada tingkat

kasasi, PT. BBD dan PT. BNI Tbk telah menyampaikan keberatannya akan upaya hukum

kasasi yang dilakukan Ssangyong Engineering & Construction Co. Ltd untuk mempailitkan

PT. Citra Jimbaran Indah Hotel. PT. Citra Jimbaran Indah Hotel juga sedang menjalankan

proses restrukturisasi utang dengan PT. BBD dan PT. BNI Tbk. Sehingga putusan pailit

yang diberikan hakim tingkat kasasi kepada PT. Citra Jimbaran Indah Hotel belum

memberikan kepastian hukum terhadap penyelesaian perkara kepailitan yang adil bagi

semua pihak karena ada hak dan kepentingan PT. BBD dan PT. BNI yang dikorbankan.

Hakim dalam membuat sebuah keputusan di dalam penyelesaian perkara kepailitan

seharusnya selain menegakkan kepastian hukum juga harus memberikan keadilan yang

seimbang sehingga putusan hakim menjadi bermanfaat bagi semua pihak. Putusan hakim

merupakan wujud terealisasinya kepastian hukum atas penerapan peraturan kepailitan yang

adil dan bermanfaat.

Pada realita penyelesaian perkara kepailitan di Indonesia memang terdapat dua

macam sikap hakim, yaitu hakim yang sangat legalistic positivistic dan hakim progresif.25

Maka pada praktek penyelesaian perkara kepailitan terdapat putusan hakim yang

berbeda-berbeda. Hakim yang sangat legalistic positivistic akan memahami hukum hanya sebatas

24

Ibid 25

(9)

rumusan undang-undang yang harus diterapkan atau hakim yang hanya menjadi corong

undang-undang tanpa ada ruang dan kemauan untuk bertindak progresif.26

Hakim tersebut akan condong menyelesaikan perkara kepailitan sebatas menjamin

kepastian hukum dari terpenuhinya syarat debitur dapat dinyatakan pailit sebagaimana yang

telah ditentukan oleh undang-undang, yaitu terbukti secara sederhana adanya dua atau lebih

kreditur lain dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan

dapat ditagih.27 Hakim yang progresif akan condong memahami hukum bukan hanya

sekedar suatu skema yang final namun terus bergerak, berubah mengikuti dinamika

kehidupan manusia, sehingga hukum terus digali dan dipahami melalui upaya-upaya

progresif untuk mencapai kebenaran dan keadilan.28 Sehingga hakim tersebut tidak hanya

sebatas menjamin kepastian hukum dari penegakan undang-undang tetapi juga asas-asas

hukum kepailitan yang berkembang agar melahirkan putusan yang memberikan keadilan

yang sebenarnya dengan tidak mengorbankan kepentingan dan hak sebagian kecil pihak

lainnya, seperti kepentingan dan hak dari kreditur lain yang juga memiliki kepentingan

terhadap harta kekayaan debitur.

Pada tahun 2007 muncul kasus lainnya terkait keberatan kreditur lain terhadap

kepailitan debitur, yaitu kasus Putusan Nomor : 075K/Pdt.Sus/2007. Pada kasus ini,

kreditur lain dapat langsung melakukan upaya hukum terhadap putusan hakim yang

mengabulkan permohonan pailit debitur melalui upaya hukum kasasi sebagaimana telah

diatur dalam Pasal 11 ayat (3) UUKPKPU yang menyebutkan bahwa permohonan kasasi

26

Loc. Cit 27

Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (4) UUKPKPU 28

(10)

selain dapat diajukan oleh debitur dan kreditur yang merupakan pihak pada persidangan

tingkat pertama, juga dapat diajukan oleh kreditur lain yang bukan merupakan pihak pada

persidangan tingkat pertama apabila tidak puas dengan putusan atas permohonan

pernyataan pailit.

Kreditur lain pada kasus tersebut adalah PT. Perusahaan Pengelola Aset Persero,

kreditur separatis (PT. PPA) dari PT. Dirgantara Indonesia Persero (PT. DI) yang

menggunakan haknya dengan turut serta melakukan upaya hukum kasasi guna membela

kepentingannya, karena keberatan dengan kepailitan PT. DI yang diajukan oleh eks

karyawan PT. DI.29 Kemudian pada tahun 2012 yaitu kasus Putusan Nomor :

331K/Pdt.Sus/2012, hal serupa juga dilakukan oleh PT. Bank Tabungan Negara Persero

Tbk (PT. BTN) yang melakukan upaya hukum kasasi sebagai kreditur lain yang menolak

kepailitan atas PT. Graha Permata Properindo (PT. GPP) yang diajukan oleh para pembeli

satuan Rumah Susun/Apartemen Graha Setia Budi.30

Keterlibatan kreditur lain yang bukan merupakan para pihak pada persidangan

tingkat pertama dalam upaya hukum kasasi pada perkara kepailitan adalah ketentuan baru

yang menarik dari hukum kepailitan.31 Ketentuan ini sebelumnya tidak diatur.32 Pada

hukum acara perdata, upaya hukum dari pihak yang bukan merupakan para pihak pada

persidangan tingkat pertama atau pihak ketiga hanya dapat dilakukan melalui perlawanan

(derden verzet) yaitu dengan cara mengajukan perlawanan ke pengadilan negeri yang telah

29

Putusan Nomor : 075 K/Pdt. Sus/2007, Mahkamah Agung 30

Putusan Nomor : 331 K/Pdt. Sus/2012, Mahkamah Agung 31

Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi 2, Op. Cit., hal. 75 32

(11)

memutus perkara tersebut.33 Ketentuan Pasal 11 ayat (3) UUKPKPU merupakan

kekhususan dalam perkara kepailitan yang memberikan kreditur lain kesempatan yang

sama dalam menggunakan upaya hukum kasasi seperti kesempatan yang diberikan hukum

kepailitan kepada para pihak dalam persidangan tingkat pertama sebagai upaya untuk

memperoleh putusan yang lebih adil.

Oleh karena itu berangkat dari uraian-uraian di atas maka penelitian pada penulisan

tesis ini mengangkat judul tentang : "Analisa Hukum Atas Kedudukan Kreditur Lain Dalam

Upaya Hukum Kasasi Pada Perkara Kepailitan (Studi Terhadap Tiga Putusan Mahkamah

Agung).''

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan sebelumnya, maka dapat

dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana upaya hukum dalam perkara kepailitan?

2. Bagaimana kedudukan kreditur lain dalam mengajukan upaya hukum pada perkara

kepailitan?

3. Bagaimana putusan Mahkamah Agung dalam upaya hukum kasasi yang diajukan

kreditur lain pada perkara kepailitan?

33

(12)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :

1. Untuk menggambarkan dan menjelaskan tentang upaya hukum yang disediakan

oleh peraturan perundang-undangan dalam perkara kepailitan

2. Untuk menggambarkan dan menjelaskan kedudukan kreditur lain dalam

mengajukan upaya hukum pada perkara kepailitan sehingga diketahui kedudukan

antara kreditur lain dengan kreditur dalam hukum kepailitan

3. Untuk menggambarkan dan menganalisa putusan Mahkamah Agung dalam upaya

hukum kasasi yang diajukan kreditur lain pada perkara kepailitan sehingga

diketahui kedudukan kreditur lain dalam mengajukan upaya hukum kasasi pada

praktek penyelesaian perkara kepailitan

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis

Kegiatan penelitian ini dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan,

khususnya dalam hukum kepailitan di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan bisa

memberikan masukan bagi penyempurnaan peraturan hukum kepailitan, khususnya

mengenai perlindungan hukum terhadap kepentingan kreditur lain

2. Secara praktis

Penelitian ini ditujukan kepada kalangan praktisi yang berkaitan langsung maupun

(13)

hakim, notaris, agar lebih mengetahui tentang hukum kepailitan, khususnya yang

terkait dengan perlindungan hukum terhadap kepentingan kreditur lain

E. Keaslian Penelitian

Sepanjang yang diketahui dan berdasarkan data dan informasi yang ada serta

penelusuran pada kepustakaan yang ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara,

khususnya di lingkungan Studi Magister Kenotariatan, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas

Sumatera Utara Medan diketahui bahwa belum ada penelitian sebelumnya yang berjudul

tentang ''Analisa Hukum Atas Kedudukan Kreditur Lain Dalam Upaya Hukum Kasasi Pada

Perkara Kepailitan (Studi Terhadap Tiga Putusan Mahkamah Agung).'' Dengan demikian

penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun terdapat beberapa

penelitian lainnya yang dapat dijadikan rujukan karena berkaitan dengan kedudukan

kreditur dalam hukum kepailitan, meskipun dalam hal judul dan permasalahan terdapat

perbedaan, yaitu :

1. Ditulis oleh Herlina Sihombing (047011029), yang berjudul : "Kedudukan Kreditur

Separatis Ditinjau Dari Undang-Undang Kepailitan Dikaitkan Dengan Objek Hak

Tanggungan'', dengan permasalahan, yaitu :

a. Bagaimanakah pengaruh kepailitan terhadap objek Hak Tanggungan dalam

praktek pelaksanaan eksekusi?

b. Bagaimana Undang-Undang Kepailitan memberikan jaminan kepastian

hukum terhadap pelunasan piutang kreditur separatis yang dijamin dengan

(14)

2. Ditulis oleh Zulfikar (077011075), yang berjudul : ''Efektivitas Perlindungan

Hukum Terhadap Para Kreditur Dalam Hukum Kepailitan'', dengan permasalahan,

yaitu :

a. Bagaimanakah golongan kreditur dalam hukum kepailitan?

b. Bagaimanakah kedudukan para kreditur dalam hukum kepailitan?

c. Bagaimanakah efektivitas perlindungan hukum terhadap para kreditur dalam

hukum kepailitan?

3. Ditulis oleh Kartini Meilina H (117011128), yang berjudul : ''Analisis Hukum

Terhadap Permohonan Pailit Atas Developer Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli

Apartemen (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No.331 K/PDT.SUS/2012

Tanggal 12 Juni 2012), dengan permasalahan, yaitu :

a. Apakah para konsumen apartemen boleh mengajukan permohonan pailit

terhadap developer PT. Graha Permata Properindo ke pengadilan niaga?

b. Apakah yang menyebabkan PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk ikut

mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung atas putusan

pailit yang dikeluarkan pengadilan niaga terhadap developer?

c. Bagaimana analisa hukum terhadap kasus permohonan pailit atas developer

(15)

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Menurut M. Solly Lubis landasan teori adalah suatu kerangka pemikiran atau

butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang dijadikan bahan

perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang

merupakan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.34

Teori merupakan generalisasi yang dicapai setelah mengedepankan pengujian dan

hasilnya mencakup ruang lingkup dan fakta yang luas.35 Perkembangan ilmu hukum, selain

bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial juga sangat ditentukan

oleh teori.36 Seperti pada ilmu lain, teori dalam ilmu hukum berfungsi untuk menjelaskan,

menilai, memprediksi dan karena sifat khasnya juga untuk mempengaruhi perkembangan

hukum positif.37

Dalam sebuah penelitian, teori dijadikan panduan dalam menganalisa subjek dan

objek penelitian. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan

dari John Rawls yang dipandang sebagai teori keadilan paling komprehensif. Penerapan

teori keadilan ini dalam analisa didasarkan pada sudut kepentingan dan manfaat.

Bagi John Rawls, konsep keadilan harus dapat menjamin bahwa setiap orang

mendapatkan keadilan yang sama bahkan alasan demi kesejahteraan masyarakat tidak boleh

menghilangkannya. Keadilan tidak boleh mengorbankan hak sebagian kecil orang demi hak

34

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal. 80 35

Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986), hal.126

36

Ibid, hal.6 37

(16)

orang banyak.38 Teori keadilan menurut John Rawls adalah teori sebagaimana umumnya

tapi teori keadilan harus menggambarkan rasa keadilan yang secara intuisi dan moral

dianggap sebagai suatu keadilan.39

Teori keadilan yang berangkat dari keyakinan intuisi ini, pada pokoknya

menuangkan bahwa :40

a. Keadilan merupakan keutamaan utama lembaga sosial. Hukum atau lembaga-lembaga betapa pun bagus dan efisiennya apabila tidak adil harus diperbaiki atau dihapus. Benar dan adil adalah hal yang tidak bisa dikompromikan

b. Keadilan tidak membenarkan dikorbankannya kepentingan seseorang atau sekelompok orang demi kepentingan orang banyak

c. Dalam masyarakat berkeadilan, kemerdekaan dengan sendirinya terjamin

d. Ketidakadilan dapat ditoleransi hanya apabila diperlukan untuk menghindarkan ketidakadilan yang lebih besar

Menurut John Rawls, semua orang akan menerima keadilan yang mengandung

kejujuran. Keadilan yang mengandung prinsip kebebasan dengan batasan, prinsip

kesetaraan kesempatan dan prinsip perbedaan untuk mencapai masyarakat adil.41 Untuk

dapat menjamin stabilitas hidup manusia maka dari itu dalam keadilan perlu ada

keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan bersama. Dan untuk

mencegah benturan kepentingan diperlukan peraturan-peraturan hukum yang adil.42

Menurut W. Friedman, suatu undang-undang atau peraturan haruslah memberikan

keadilan yang sama kepada semua walaupun terdapat perbedaan-perbedaan diantara

38

(17)

pribadi-pribadi itu.43 Keadilan yang sama ini maksudnya adalah mendapat perlakuan yang

sama dalam hukum dan kesempatan yang sama. Sehingga tidak hanya memberikan

keadilan pada kepentingan satu pihak tapi juga pihak lainnya. Adanya keseimbangan dalam

mendistribusikan keadilan untuk mencapai kemanfaatan. Karena keadilan hanya bisa

dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum yaitu

kemanfaatan, kegunaan dan kepastian hukum. 44

Hukum dalam pengertian luas tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan

kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi juga meliputi

lembaga-lembaga dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya asas-asas dan

kaidah-kaidah itu dalam masyarakat.45 Dengan kata lain hukum tidak hanya sebagai seperangkat

peraturan perundang-undangan yang mengatur kehidupan masyarakat tetapi harus juga

mencakup lembaga dan proses, yaitu lembaga peradilan yang menjadi lembaga yang

berwenang untuk memproses tegaknya asas-asas dan kaidah-kaidah dalam perangkat

peraturan perundang-undangan sehingga tercipta ketertiban dalam masyarakat.

Di Indonesia, hukum kepailitan memiliki tujuan untuk mendukung pembangunan

perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(UUD 1945). Perbaikan terhadap peraturan tentang kepailitan memiliki tujuan untuk

43

W. Friedman, Teori Dan Filsafat Hukum Dalam Buku Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum, diterjemahkan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhammad Arifin (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 7

44

Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung : Nusamedia, 2008), hal. 239

45

(18)

menjamin kepastian, ketertiban, penegakan dan perlindungan hukum dalam menyelesaikan

masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Namun penegakan hukum

yang adil sebagaimana yang dicita-citakan tersebut tidak cukup hanya dengan peraturan

perundang-undangan saja. Selain peraturan perundang-undangan juga dibutuhkan kekuasan

kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menjamin kepastian

hukum terhadap penegakan hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1)

UUD 1945.

Pada awalnya penyelesaian perkara-perkara kepailitan saat diberlakukan

Faillissements Verordening (FV) diselesaikan oleh pengadilan negeri. Untuk

mempertahankan hak-haknya, kreditur dapat menempuh jalur hukum melalui hukum acara

perdata dengan cara mengajukan tuntutan hak ke hadapan pengadilan.46 Namun setelah

dirubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang (UUK), penyelesaian

perkara kepailitan diselesaikan oleh pengadilan niaga yang merupakan pengkhususan

pengadilan di bidang perniagaan yang dibentuk dalam lingkup peradilan umum.47

Perbaikan proses beracara dalam menyelesaikan perkara kepailitan melalui

pengadilan niaga dan perubahan terhadap aturan hukum tentang kepailitan dari UUK

menjadi UUKPKU diharapkan dapat memberikan perlindungan lebih baik terhadap

46

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Ketujuh, (Yogyakarta : Liberty, 2006), hal. 52

47

(19)

hak debitur dan kreditur. Hukum kepailitan diharapkan dapat berperan untuk melindungi

kepentingan debitur dari perbuatan main hakim sendiri para krediturnya, seperti perbuatan

perebutan harta oleh para kreditur. Hukum kepailitan juga diharapkan dapat menjamin

terlindunginya hak-hak kreditur dan mencegah perbuatan-perbuatan debitur yang

merugikan kreditur. Dengan adanya hukum kepailitan diharapkan dapat mencegah

kesewenang-wenangan pihak kreditur yang mengusahakan pembayaran atas tagihan

masing-masing terhadap debitur dengan tidak memperdulikan kepentingan kreditur lainnya.

Oleh karena itu teori keadilan John Rawls dipandang tepat untuk menjawab

permasalahan pada penelitian ini. John Rawls berpendapat bahwa keadilan berpedoman

pada keadilan yang diberikan oleh lembaga sosial yang ada di dalam masyarakat. Dalam

hukum kepailitan, lembaga sosial tersebut adalah peraturan perundang-undangan tentang

kepailitan dan lembaga peradilannya. Peraturan dan putusan dari lembaga peradilan yang

adil dan tidak mengorbankan kepentingan pihak lain terutama kepentingan kreditur lain

yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah suatu bentuk keadilan yang sesuai dengan

konsep keadilan John Rawls. Sehingga apabila lembaga sosial dalam hukum kepailitan

tersebut tidak dapat memberikan keadilan terhadap kedudukan kreditur lain dalam membela

kepentingannya melalui upaya hukum kasasi pada perkara kepailitan dan sebaliknya

mengorbankan kepentingan kreditur lain, maka sesuai dengan pendapat John Rawls

terhadap lembaga sosial tersebut perlu dilakukan perbaikan.

Selanjutnya penelitian ini juga menggunakan teori kepastian hukum. Kepastian

hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum terutama untuk hukum

(20)

digunakan sebagai pedoman perilaku.48 Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum

untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat.

Gustav Radbruch mengemukakan empat hal mendasar yang behubungan dengan

kepastian hukum, yaitu :49

a. Hukum itu positif artinya hukum itu adalah peraturan perundang-undangan b. Hukum itu didasarkan kepada fakta

c. Fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan dan mudah dilaksanakan

d. Hukum positif tidak boleh mudah diubah

Pendapat tentang kepastian hukum juga disampaikan oleh Jan M. Otto yang

berpendapat bahwa kepastian hukum mensyaratkan sebagai berikut :50

a. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas yang diterbitkan oleh kekuasaan negara b. Lembaga-lembaga penguasa menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara

konsisten dan juga taat dan tunduk kepadanya

c. Mayoritas masyarakat menyetujui muatan isi dari peraturan tersebut dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut

d. Hakim-hakim mandiri dan tidak berpihak dalam menerapkan aturan-aturan hukum tersebut

e. Putusan pengadilan secara konkrit dilaksanakan

Syarat-syarat yang dikemukakan Jan M. Otto tersebut menunjukkan bahwa

kepastian hukum dapat dicapai jika substansi hukum sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Kepastian hukum yang seperti inilah yang disebut dengan kepastian hukum yang

sebenarnya yang mensyaratkan adanya keharmonisan antara negara dengan rakyat.51

48

(21)

Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum adalah jaminan hukum yang

harus dijalankan, yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan putusan

harus dapat dilaksanakan.52 Hans Kelsen melalui teori hukum murninya juga menekankan

kepastian hukum. Kepastian ini penting karena hukum menjadi satu-satunya alat untuk

menilai dan mengontrol secara tegas perilaku setiap anggota masyarakat. Tanpa ketegasan

hak maka kepentingan warga negara dipertaruhkan.53

Unsur kepastian hukum dalam peraturan kepailitan terdapat dalam Pasal 2 ayat (1)

UUKPKPU. Dalam ketentuan ini disebutkan bahwa debitur yang mempunyai dua atau

lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan

dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya

sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.

Syarat kepailitan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU ini

memang sangat sederhana. Hal ini untuk mendukung prinsip penyelesaian perkara secara

cepat dan prinsip pembuktian secara sederhana. Sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (4)

UUKPKPU yang menyebutkan bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan

apabila terdapat fakta yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan

pailit telah dipenuhi.

Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa tujuan kepailitan sangat sederhana yaitu

melindungi kepentingan kreditur dari debitur yang tidak membayar utang tepat waktu.

Namun pada kenyataannya tidak semua kreditur menginginkan debitur pailit. Ada kreditur

52

Ibid, hal. 53 53

(22)

lain yang tidak menginginkan kepailitan debitur. Dan terhadap kreditur lain tersebut oleh

UUKPKPU melalui Pasal 11 ayat (3) telah disediakan upaya hukum melalui kasasi.

UUKPKPU memberikan ruang kepada kreditur lain untuk dapat mengajukan upaya hukum

kasasi atas kepailitan debitur guna memberikan kepastian hukum atas perlindungan

kepentingan kreditur lain.

Teori kepastian hukum dipandang tepat untuk menjawab permasalahan dalam

penelitian ini yang terkait dengan kedudukan kreditur lain dalam upaya hukum kasasi pada

perkara kepailitan. Kepastian hukum terhadap kedudukan kreditur lain dalam menggunakan

Pasal 11 ayat (3) UUKPKPU untuk membela kepentingannya melalui upaya hukum kasasi

tercermin dengan tersedianya aturan hukum yang jelas dan tegas di dalam peraturan hukum

kepailitan. Lembaga peradilan harus menerapkan aturan tersebut secara konsisten sehingga

putusan yang dihasilkan menjamin terwujudnya kepastian hukum atas kedudukan kreditur

lain dalam membela kepentingannya melalui upaya hukum kasasi pada perkara kepailitan.

Oleh karena itu untuk menganalisa dan memecahkan permasalahan terkait

kedudukan kreditur lain dalam upaya hukum kasasi pada perkara kepailitan dalam

penelitian ini, sebagaimana terjadi pada kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor

27/KN/1999, Putusan Mahkamah Agung Nomor 075 K/Pdt.Sus/2007 dan Putusan

Mahkamah Agung Nomor 331 K/Pdt.Sus/2012 digunakan teori keadilan dari John Rawls

(23)

2. Kerangka Konsepsi

Peranan konsep dalam penelitian digunakan untuk menghindari masalah penafsiran.

Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa konsep dasar agar diperoleh

hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan ,yaitu :

a. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan

dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah hakim pengawas54

b. Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau

undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan55

c. Kreditur lain adalah kreditur yang bukan merupakan pihak pada persidangan tingkat

pertama yang tidak puas terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit

terhadap debitur56

d. Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang

yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan57

e. Wanprestasi adalah tidak dipenuhinya janji, baik karena disengaja maupun tidak

disengaja atau sama sekali tidak memenuhi prestasi, prestasi yang dilakukan tidak

sempurna, terlambat memenuhi prestasi dan melakukan apa yang dalam perjanjian

di larang untuk dilakukan58

f. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang

(24)

maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena

perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak

dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapatkan pemenuhannya dari

harta kekayaan debitur59

g. Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum60

h. Upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang

atau badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan putusan hakim61

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan

pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu

atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.62 Jenis penelitian yang

dilakukan dalam penyusunan tesis ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu penelitian

yang dilakukan dengan cara menganalisa bahan pustaka atau data sekunder berupa bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder,63 seperti peraturan perundang-undangan tentang

hukum perdata serta kepailitan dan putusan-putusan pengadilan yang memiliki kaitan

dengan kedudukan kreditur lain dalam upaya hukum kasasi pada perkara kepailitan

Whimbo Pitoyo, Strategi Jitu Memenangi Perkara Perdata Dalam Praktik Peradilan, (Jakarta : Transmedia Pustaka, 2012), hal. 135

62

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986), hal. 43

63

(25)

Oleh karena itu penelitian dalam penyusunan tesis ini akan menganalisa asas-asas yang

berkembang dalam hukum kepailitan yang diatur dalam peraturan hukum tentang kepailitan

serta putusan Mahkamah Agung Nomor 27/KN/1999, Putusan Mahkamah Agung Nomor

075 K/Pdt.Sus/2007 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 331 K/Pdt.Sus/2012 yang

terkait dengan kedudukan kreditur lain dalam upaya hukum kasasi pada perkara kepailitan.

Penelitian ini bersifat deskriftif yaitu menggambarkan, menginventarisasikan dan

menganalisis teori-teori dan peraturan yang berhubungan dengan permasalahan dalam

penelitian ini.64 Penelitian ini akan menggambarkan dan menganalisa kedudukan kreditur

lain dalam upaya hukum kasasi pada perkara kepailitan berdasarkan sumber data sekunder

yang telah dilakukan inventarisasi sebelumnya, untuk mengetahui kedudukan kreditur lain

dalam membela kepentingannya melalui upaya hukum kasasi pada perkara kepailitan yang

diatur dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan.

2. Sumber Data

Penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum

berupa data sekunder yaitu bahan pustaka yang diperoleh melalui studi dokumen65, yaitu :

a. Bahan hukum primer, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

Faillismentsverordening (Stb. 1905 Nomor 217 jo. Stb. 1906 Nomor 384), Perpu

Nomor 1 Tahun 1998 jo. Undang Nomor 4 Tahun 1998 dan

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

64

Setiono, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, (Surakarta : Program Studi Ilmu Hukum Pasca Sarjana UNS, 2005), hal. 6

65

(26)

Pembayaran Utang serta Putusan Mahkamah Agung Nomor 27/KN/1999, Putusan

Mahkamah Agung Nomor 075 K/Pdt.Sus/2007 dan Putusan Mahkamah Agung

Nomor 331 K/Pdt.Sus/2012 yang melibatkan kreditur lain dalam upaya hukum

kasasi pada perkara kepailitan

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, dokumen

pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum sepanjang relevan dengan objek

penelitian66

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan petunjuk dan

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus

hukum, majalah dan jurnal67

3. Tehnik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan, yaitu

menghimpun data dengan melakukan penelaahan serta membaca, mempelajari dan

menganalisis bahan kepustakaan yang dapat berupa peraturan perundang-undangan dan

karya ilmiah lainnya.68 Sehingga pada penelitian ini tehnik pengumpulan data dilakukan

dengan cara telaah pustaka (library research) melalui alat pengumpulan data berupa studi

dokumen terhadap peraturan perundang-undangan tentang kepailitan serta Putusan

66

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penemuan Hukum, (Jakarta : Ghalian Indonesia, 1982), hal. 24

67

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. Cit., hal. 15 68

(27)

Mahkamah Agung Nomor 27/KN/1999, Putusan Mahkamah Agung Nomor 075

K/Pdt.Sus/2007 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 331 K/Pdt.Sus/2012 yang terkait

dengan kedudukan kreditur lain dalam upaya hukum kasasi pada perkara kepailitan.

Sebagai pendukung data dalam penelitian kepustakaan, dilakukan juga penelitian

lapangan (field research) melalui alat pengumpulan data berupa pedoman wawancara

kepada Hakim Johny Jonggi Hamonangan Simanjuntak yang menjabat sebagai Hakim

Utama Muda pada Pengadilan Negeri Medan. Dengan pertimbangan bahwa Hakim Johny

Jonggi Hamonangan Simanjuntak merupakan hakim pengadilan niaga yang memiliki

wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara-perkara kepailitan, sehingga dapat

memberikan data pendukung berupa studi di lapangan pengadilan niaga dalam

menyelesaikan perkara kepailitan terkait upaya hukum kasasi yang diajukan oleh kreditur

lain.

4. Analisis Data

Analisis merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menggunakan data dalam

pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat dirumuskan suatu hipotesa seperti

yang disarankan oleh data.69

Pada penelitian hukum normatif, pengolahan data pada hakikatnya adalah kegiatan

untuk menganalisa bahan-bahan hukum tertulis dengan menafsirkan isi dari bahan-bahan

hukum, kemudian mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis.

Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan tertulis tersebut untuk

69

(28)

memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi. Selanjutnya analisis data dilakukan secara

kualitatif, maksudnya bahwa hasil analisis tidak tergantung dari jumlah data berdasarkan

angka-angka melainkan data yang dianalisis digambarkan dalam bentuk kalimat-kalimat.

Penarikan kesimpulan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang

dimulai dari hal yang umum untuk selanjutnya menarik kesimpulan kepada hal-hal yang

khusus, dengan cara menggambarkan secara umum tentang kedudukan kreditur lain dalam

perkara kepailitan dan upaya-upaya hukum yang disediakan oleh undang-undang dalam

perkara kepailitan, selanjutnya menarik kesimpulan tentang kedudukan kreditur lain dalam

membela kepentingannya melalui upaya hukum kasasi pada praktek penyelesaian perkara

kepailitan yang terjadi pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 27/KN/1999, Putusan

Mahkamah Agung Nomor 075 K/Pdt.Sus/2007 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 331

Referensi

Dokumen terkait

Penghitungan Optimasi Baja Tulangan pada Pekerjaan Pelat dan Balok dengan Menggunakan Microsoft Excel dan AutoCAD (Studi Kasus Pembangunan Apartemen Gunawangsa Tidar

Permasalahan yang terjadi di Dusun Giring-Giring adalah kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai pemahaman dan kesadaran kebutuhan sistem utilitas/prasarana lingkungan

dengan menurunnya ekspresi MMP 9. Penurunan MMP 9 ini menunjukkan berkurangnya degradasi matrix metalloproteinase dalarn arti berkurangnya kerusakanyang terjadi pada

Perhubungan dengan pihak ketiga, dan juga semua keputusan perniagaan, mestilah berdasarkan yang diperlukan oleh kelakuan secara beretika, perkara yang ditetapkan dalam

Adapun alasan yang harus dipilih pada tingkatan kedua butir soal ini adalah: (i) energi partikel berpindah pada dinding tabung; (ii) ketika menumbuk dinding, momentum

Jumlah pori yang lebih banyak menyebabkan luas permukaan karbon aktif menjadi lebih besar, hal ini menunjukkan bahwasanya pada suhu aktivasi yang lebih tinggi unsur-unsur

Berawal dari kondisi tersebut, maka perlu dilakukan suatu penelitian tingkat kepuasan pasien di RS Muhammadiyah Bandung, sehingga tidak timbul lagi suatu gap antara

peningkatan 34.47 atau 78.057%, dan nilai peserta didik sebelum menerapkan media pembelajaran video scribe yang mencapai KKM hanya 6 peserta didik atau (20%) dan yang