BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam dunia usaha ada banyak resiko yang dapat mempengaruhi kondisi keuangan
perusahaan, yaitu resiko investasi, resiko pembiayaan dan resiko operasi.1 Kegagalan
perusahaan dalam merespon berbagai resiko tersebut dapat mengakibatkan perusahaan
mengalami kesulitan keuangan secara ekonomi. Perusahaan yang mengalami kesulitan
keuangan secara ekonomi memiliki pendapatan yang lebih kecil dari biaya operasional
perusahaan yang harus dikeluarkan.2 Hal ini yang mengakibatkan perusahaan mengalami
kesulitan untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang kepada para krediturnya.
Secara umum Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
mengatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi
tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.3 Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa
pelaku usaha sebagai pihak yang berutang atau disebut debitur memiliki kewajiban untuk
membayar utang-utangnya sebagai wujud prestasi atas perjanjian yang telah dibuatnya.
Dengan kata lain tidak ada alasan yang dapat membebaskan debitur dari kewajibannya
untuk membayar utangnya meskipun sedang mengalami kesulitan keuangan.
1
Ardy Billy Lumowa, Tanggung Jawab Perusahaan Yang Dianyatakan Pailit Terhadap Pihak Ketiga, Lex Privatum Vol. I Nomor 3 Juli 2013, hal. 5
2
Andriani Nurdin, Kepailitan BUMN Persero Berdasarkan Asas Kepastian Hukum, (Bandung : Alumni, 2012), hal. 186
3
Selanjutnya ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata mengatakan bahwa :
''kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu di bagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.''4
Ketentuan yang diatur dalam Pasal 1132 KUHPerdata tersebut menjelaskan bahwa
KUHPerdata melindungi kepentingan dari setiap kreditur dengan tidak mendahulukan
kepentingan satu kreditur dari para kreditur lainnya untuk mendapatkan pelunasan utang
dari debitur, kecuali ada alasan yang sah untuk didahulukan.5 Alasan sah untuk didahulukan
tersebut adalah adanya hak jaminan kebendaan yang merupakan hak mutlak atas suatu
benda tertentu dari harta kekayaan debitur yang memberikan kedudukan diutamakan
daripada kreditur lainnya atas benda yang dijadikan jaminan tersebut.6 Dengan demikian
harta kekayaan debitur merupakan jaminan atas segala utang debitur kepada seluruh
krediturnya dengan pembagian hak yang seimbang dan adil.
Keadilan dalam pembagian hak para kreditur sebagaimana yang telah diatur dalam
Pasal 1132 KUHPerdata membutuhkan aturan hukum yang jelas sehingga dapat
memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, hukum kepailitan
diperlukan untuk merealisasikan ketentuan dari Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata.7
Hukum kepailitan juga memiliki tujuan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah oleh
4
Ibid., hal. 291 5
Bagus Irawan, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan, Perusahaan Dan Asuransi, (Bandung : Alumni, 2007), hal. 21
6
Irma Devita Purnamasari, Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer : Kiat-kiat Cerdas, Mudah Dan Bijak Memahami Masalah Hukum Jaminan Perbankan, (Bandung : Kaifa, 2014), hal. 4
7
kreditur8 dan menggantinya dengan suatu sitaan umum atas seluruh harta kekayaan debitur
untuk kepentingan seluruh kreditur.9 Dengan demikian, hukum kepailitan dapat
menghindari terjadinya perebutan harta kekayaan debitur secara tidak adil oleh salah satu
atau beberapa krediturnya.
Hukum kepailitan berdasarkan filosofi dasarnya merupakan suatu lembaga hukum
untuk mengatasi permasalahan apabila seluruh harta debitur tidak cukup untuk membayar
seluruh utang-utangnya kepada seluruh krediturnya.10 Filosofi tersebut mengandung
pengertian bahwa penyelesaian masalah utang-piutang melalui lembaga kepailitan dapat
digunakan apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar yang diakibatkan oleh
kesulitan keuangan secara ekonomi, yaitu keadaan yang menunjukkan nilai keekonomian
debitur negatif karena sudah tidak dapat menghasilkan pendapatan yang cukup untuk
menutupi biaya usaha.11
Hukum kepailitan memiliki sebuah prinsip dalam menyelesaikan kepailitan
perseroan terbatas. Prinsip tersebut adalah prinsip commercial exit from financial
distress.12 Prinsip tersebut mengandung makna bahwa penyelesaian masalah utang-piutang
melalui lembaga kepailitan bukanlah semata suatu upaya untuk mempermudah sebuah
usaha menjadi bangkrut, melainkan sebagai upaya untuk mengatasi kebangkrutan sebuah
usaha.13 Dengan kata lain, hukum kepailitan seharusnya digunakan sebagai jalan keluar
8
Andriani Nurdin, Op.Cit., hal. 131 9
Abdul R.Saliman, dkk, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2004), hal. 93 10
Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi 2, (Jakarta : Sofmedia, 2010), hal. 19 11
Andriani Nurdin, Op. Cit., hal. 186 12
Supriyono, Perlindungan Para Kreditur Sehubungan Dengan Debitur Mempailitkan Diri, Supremasi Hukum Vol. 2 Nomor 2, Desember 2013, hal. 369
13
terhadap debitur yang sedang mengalami kesulitan keuangan untuk mengatasi
kebangkrutan debitur. Hukum kepailitan seharusnya tidak digunakan terhadap
debitur yang memiliki keuangan sehat dan memiliki aset yang cukup untuk menutup
utang-utangnya. Apabila kepailitan digunakan terhadap debitur yang memiliki keuangan sehat
maka kepailitan justru dapat mempermudah debitur untuk bangkrut karena debitur pailit
akan kehilangan kepercayaan dan kesulitan untuk menjalin bisnis baru yang akan
berdampak pada kelangsungan usahanya.
Apabila kelangsungan usaha debitur terancam bangkrut tentunya hal tersebut akan
berdampak kepada kepentingan pihak-pihak lain yang bergantung pada kelangsungan usaha
debitur, seperti kepentingan kreditur lain. Putusan pailit yang diberikan hakim kepada
debitur mempunyai dampak global, tidak terbatas hanya kepada debitur itu sendiri tetapi
juga para stakeholders dari debitur dan kreditur, yaitu stakeholders internal yang terdiri dari
para pemegang saham dan karyawan14 serta stakeholders eksternal yang terdiri dari
pihak-pihak yang tidak terlibat secara langsung dengan perusahaan seperti para konsumen,
masyarakat, pemerintah dan lingkungan hidup.15
Penyelesaian masalah utang-piutang melalui lembaga kepailitan perlu
memperhatikan latar belakang dari ketidakmampuan debitur dalam melunasi
utang-utangnya agar menciptakan penyelesaian yang memberi keadilan bagi semua pihak yang
14
Bismar Nasution, Pengelolaan Stakeholder Perusahaan, Makalah disampaikan pada Pelatihan Mengelola Stakeholders yang dilaksanakan PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) tanggal 17 Oktober 2008 di Sei Karang Sumatera Utara, hal. 6
15
terlibat. Sehingga penyelesaian perkara kepailitan sejalan dengan filosofi dasar hukum
kepailitan.
Hukum kepailitan merupakan tindakan hukum yang terakhir yang dapat dilakukan
apabila langkah-langkah berupa perdamaian atau restrukturisasi utang telah gagal.16
Kepailitan merupakan salah satu pranata hukum untuk melakukan percepatan likuidasi
terhadap subjek hukum yang mengalami kesulitan keuangan akibat utang yang lebih besar
dari aset debitur.17 Kepailitan seyogianya hanya merupakan ultimum remidium.18
Hukum kepailitan yang baik seharusnya memperhatikan asas pemberian manfaat
dan perlindungan yang seimbang bagi semua pihak yang terkait dan memiliki kepentingan
dengan kepailitan debitur.19 Dengan demikian, hukum kepailitan dapat memenuhi rasa
keadilan bagi semua pihak yang terlibat. Pada praktek penyelesaian perkara kepailitan
dibutuhkan tidak hanya sekedar aturan hukum yang adil tetapi juga putusan hakim yang
dapat menjamin kepastian hukum atas penergakan aturan hukum yang adil bagi semua
pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan.
Pada praktek perkara kepailitan adakalanya kreditur lain tidak menginginkan
kepailitan debitur dan bahkan keberatan dengan putusan pailit atas diri debitur.
16
Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan Di Indonesia Edisi 2, (Jakarta : Sofmedia, 2010), hal.11
17
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2010, hal. 315
18
Hadi Subhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, (Jakarta : Kencana, 2008), hal. 49
19
Kelangsungan usaha debitur menjadi alasan bagi kreditur lain menolak kepailitan debitur.20
Kreditur lain menilai usaha debitur memiliki potensi untuk berkembang dan maju maka
akan lebih adil bagi semua pihak apabila usaha debitur tetap dipertahankan. Apabila
keadaan keuangan debitur sudah membaik maka debitur dapat melunasi utang-utangnya
dengan wajar kepada para krediturnya.
Kreditur lain yang keberatan dengan kepailitan debitur dilakukan oleh PT. Bank
Bumi Daya (PT. BBD) dan PT. Bank Negara Indonesia Tbk (PT. BNI Tbk) yang
merupakan kreditur lain dalam kasus Putusan Nomor : 27K/N/1999 yaitu perkara kepailitan
antara Ssangyong Engineering & Construction Co. Ltd melawan PT. Citra Jimbaran Indah
Hotel. Alasan Ssangyong Engineering & Construction Co. Ltd mengajukan permohonan
pailit atas PT. Citra Jimbaran Indah Hotel ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat adalah PT.
Citra Jimbaran Indah Hotel belum melunasi pembayaran jasa konstruksi atas pembangunan
sebuah hotel di pulau Bali dengan nama Bali Intercontinental Resort yang telah selesai
dibangunnya dan telah dilakukan serah terima. 21
Pada tingkat pengadilan niaga, hakim menolak permohonan pailit dari Ssangyong
Engineering & Construction Co. Ltd atas PT. Citra Jimbaran Indah Hotel dengan
pertimbangan hukum bahwa utang dalam konteks kepailitan haruslah diartikan pada utang
yang bersumber pada hubungan hukum pinjam meminjam uang dan tidak meliputi bentuk
wanprestasi lainnya.22 Hakim menilai utang atas tidak dibayarnya pelunasan jasa kontruksi
20
Bambang Pratama, Kepailitan Dalam Putusan Hakim Ditinjau Dari Perspektif Hukum Formil Dan Materil-Kajian Putusan Nomor 02/Pailit/2012/PN. SMG dan Nomor 522K/Pdt.Sus/2012, Jurnal Yudisial Vol. 7 Nomor 2, Agustus 2014, hal. 158
21
Putusan Nomor : 41/Pailit/1999, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat 22
pembangunan hotel Bali Intercontinental Resort tidak masuk dalam kategori utang yang
harus diselesaikan melalui lembaga kepailitan.
Selanjutnya Ssangyong Engineering & Construction Co. Ltd mengajukan upaya
hukum kasasi karena keberatan dengan putusan pengadilan niaga dan memohon kembali
kepada hakim tingkat kasasi agar PT. Citra Jimbaran Indah Hotel dinyatakan pailit. Dalam
proses persidangan pada tingkat kasasi ini, PT. BBD (kreditur separatis) dan PT. BNI Tbk
(kreditur separatis) yang bertindak sebagai kreditur lain dari PT. Citra Jimbaran Indah
Hotel menyampaikan keberatannya terhadap upaya hukum kasasi yang diajukan Ssangyong
Engineering & Construction Co. Ltd dengan pertimbangan bahwa antara PT. BBD dan PT.
BNI Tbk dengan PT. Citra Jimbaran Indah Hotel telah melakukan restrukturisasi utang. PT.
BBD dan PT. BNI Tbk berpendapat bahwa PT. Citra Jimbaran Indah Hotel masih memiliki
potensi dan prospek untuk berkembang sehingga di kemudian hari setelah kondisi
keuangannya membaik dapat kembali memenuhi kewajibannya kepada seluruh krediturnya.
23
Pada tingkat kasasi, hakim memutuskan PT. Citra Jimbaran Indah Hotel dalam
keadaan pailit dengan pertimbangan telah memenuhi syarat untuk dijatuhkan pailit karena
pelunasan pembayaran jasa konstruksi yang tidak dibayar tersebut termasuk dalam kategori
utang yang dimaksud dalam perkara kepailitan yaitu utang yang timbul dari kewajiban
untuk membayar sejumlah uang pada waktu yang telah ditentukan tanpa mempersoalkan
asal kewajiban itu timbul tapi melihat kepada suatu kewajiban seseorang untuk membayar
sejumlah uang kepada orang lain berdasarkan kontrak yang telah disepakati. Selain itu
23
hakim berpendapat telah terdapat dua atau lebih kreditur yaitu Ssangyong Engineering &
Construction Co. Ltd, PT. BBD dan PT. BNI Tbk.24
Pada proses persidangan tingkat pertama, PT. BBD dan PT. BNI Tbk tidak turut
serta mengajukan permohonan pailit atas PT. Citra Jimbaran Indah hotel. Pada tingkat
kasasi, PT. BBD dan PT. BNI Tbk telah menyampaikan keberatannya akan upaya hukum
kasasi yang dilakukan Ssangyong Engineering & Construction Co. Ltd untuk mempailitkan
PT. Citra Jimbaran Indah Hotel. PT. Citra Jimbaran Indah Hotel juga sedang menjalankan
proses restrukturisasi utang dengan PT. BBD dan PT. BNI Tbk. Sehingga putusan pailit
yang diberikan hakim tingkat kasasi kepada PT. Citra Jimbaran Indah Hotel belum
memberikan kepastian hukum terhadap penyelesaian perkara kepailitan yang adil bagi
semua pihak karena ada hak dan kepentingan PT. BBD dan PT. BNI yang dikorbankan.
Hakim dalam membuat sebuah keputusan di dalam penyelesaian perkara kepailitan
seharusnya selain menegakkan kepastian hukum juga harus memberikan keadilan yang
seimbang sehingga putusan hakim menjadi bermanfaat bagi semua pihak. Putusan hakim
merupakan wujud terealisasinya kepastian hukum atas penerapan peraturan kepailitan yang
adil dan bermanfaat.
Pada realita penyelesaian perkara kepailitan di Indonesia memang terdapat dua
macam sikap hakim, yaitu hakim yang sangat legalistic positivistic dan hakim progresif.25
Maka pada praktek penyelesaian perkara kepailitan terdapat putusan hakim yang
berbeda-berbeda. Hakim yang sangat legalistic positivistic akan memahami hukum hanya sebatas
24
Ibid 25
rumusan undang-undang yang harus diterapkan atau hakim yang hanya menjadi corong
undang-undang tanpa ada ruang dan kemauan untuk bertindak progresif.26
Hakim tersebut akan condong menyelesaikan perkara kepailitan sebatas menjamin
kepastian hukum dari terpenuhinya syarat debitur dapat dinyatakan pailit sebagaimana yang
telah ditentukan oleh undang-undang, yaitu terbukti secara sederhana adanya dua atau lebih
kreditur lain dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih.27 Hakim yang progresif akan condong memahami hukum bukan hanya
sekedar suatu skema yang final namun terus bergerak, berubah mengikuti dinamika
kehidupan manusia, sehingga hukum terus digali dan dipahami melalui upaya-upaya
progresif untuk mencapai kebenaran dan keadilan.28 Sehingga hakim tersebut tidak hanya
sebatas menjamin kepastian hukum dari penegakan undang-undang tetapi juga asas-asas
hukum kepailitan yang berkembang agar melahirkan putusan yang memberikan keadilan
yang sebenarnya dengan tidak mengorbankan kepentingan dan hak sebagian kecil pihak
lainnya, seperti kepentingan dan hak dari kreditur lain yang juga memiliki kepentingan
terhadap harta kekayaan debitur.
Pada tahun 2007 muncul kasus lainnya terkait keberatan kreditur lain terhadap
kepailitan debitur, yaitu kasus Putusan Nomor : 075K/Pdt.Sus/2007. Pada kasus ini,
kreditur lain dapat langsung melakukan upaya hukum terhadap putusan hakim yang
mengabulkan permohonan pailit debitur melalui upaya hukum kasasi sebagaimana telah
diatur dalam Pasal 11 ayat (3) UUKPKPU yang menyebutkan bahwa permohonan kasasi
26
Loc. Cit 27
Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (4) UUKPKPU 28
selain dapat diajukan oleh debitur dan kreditur yang merupakan pihak pada persidangan
tingkat pertama, juga dapat diajukan oleh kreditur lain yang bukan merupakan pihak pada
persidangan tingkat pertama apabila tidak puas dengan putusan atas permohonan
pernyataan pailit.
Kreditur lain pada kasus tersebut adalah PT. Perusahaan Pengelola Aset Persero,
kreditur separatis (PT. PPA) dari PT. Dirgantara Indonesia Persero (PT. DI) yang
menggunakan haknya dengan turut serta melakukan upaya hukum kasasi guna membela
kepentingannya, karena keberatan dengan kepailitan PT. DI yang diajukan oleh eks
karyawan PT. DI.29 Kemudian pada tahun 2012 yaitu kasus Putusan Nomor :
331K/Pdt.Sus/2012, hal serupa juga dilakukan oleh PT. Bank Tabungan Negara Persero
Tbk (PT. BTN) yang melakukan upaya hukum kasasi sebagai kreditur lain yang menolak
kepailitan atas PT. Graha Permata Properindo (PT. GPP) yang diajukan oleh para pembeli
satuan Rumah Susun/Apartemen Graha Setia Budi.30
Keterlibatan kreditur lain yang bukan merupakan para pihak pada persidangan
tingkat pertama dalam upaya hukum kasasi pada perkara kepailitan adalah ketentuan baru
yang menarik dari hukum kepailitan.31 Ketentuan ini sebelumnya tidak diatur.32 Pada
hukum acara perdata, upaya hukum dari pihak yang bukan merupakan para pihak pada
persidangan tingkat pertama atau pihak ketiga hanya dapat dilakukan melalui perlawanan
(derden verzet) yaitu dengan cara mengajukan perlawanan ke pengadilan negeri yang telah
29
Putusan Nomor : 075 K/Pdt. Sus/2007, Mahkamah Agung 30
Putusan Nomor : 331 K/Pdt. Sus/2012, Mahkamah Agung 31
Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi 2, Op. Cit., hal. 75 32
memutus perkara tersebut.33 Ketentuan Pasal 11 ayat (3) UUKPKPU merupakan
kekhususan dalam perkara kepailitan yang memberikan kreditur lain kesempatan yang
sama dalam menggunakan upaya hukum kasasi seperti kesempatan yang diberikan hukum
kepailitan kepada para pihak dalam persidangan tingkat pertama sebagai upaya untuk
memperoleh putusan yang lebih adil.
Oleh karena itu berangkat dari uraian-uraian di atas maka penelitian pada penulisan
tesis ini mengangkat judul tentang : "Analisa Hukum Atas Kedudukan Kreditur Lain Dalam
Upaya Hukum Kasasi Pada Perkara Kepailitan (Studi Terhadap Tiga Putusan Mahkamah
Agung).''
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan sebelumnya, maka dapat
dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana upaya hukum dalam perkara kepailitan?
2. Bagaimana kedudukan kreditur lain dalam mengajukan upaya hukum pada perkara
kepailitan?
3. Bagaimana putusan Mahkamah Agung dalam upaya hukum kasasi yang diajukan
kreditur lain pada perkara kepailitan?
33
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :
1. Untuk menggambarkan dan menjelaskan tentang upaya hukum yang disediakan
oleh peraturan perundang-undangan dalam perkara kepailitan
2. Untuk menggambarkan dan menjelaskan kedudukan kreditur lain dalam
mengajukan upaya hukum pada perkara kepailitan sehingga diketahui kedudukan
antara kreditur lain dengan kreditur dalam hukum kepailitan
3. Untuk menggambarkan dan menganalisa putusan Mahkamah Agung dalam upaya
hukum kasasi yang diajukan kreditur lain pada perkara kepailitan sehingga
diketahui kedudukan kreditur lain dalam mengajukan upaya hukum kasasi pada
praktek penyelesaian perkara kepailitan
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Secara teoritis
Kegiatan penelitian ini dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan,
khususnya dalam hukum kepailitan di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan bisa
memberikan masukan bagi penyempurnaan peraturan hukum kepailitan, khususnya
mengenai perlindungan hukum terhadap kepentingan kreditur lain
2. Secara praktis
Penelitian ini ditujukan kepada kalangan praktisi yang berkaitan langsung maupun
hakim, notaris, agar lebih mengetahui tentang hukum kepailitan, khususnya yang
terkait dengan perlindungan hukum terhadap kepentingan kreditur lain
E. Keaslian Penelitian
Sepanjang yang diketahui dan berdasarkan data dan informasi yang ada serta
penelusuran pada kepustakaan yang ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara,
khususnya di lingkungan Studi Magister Kenotariatan, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas
Sumatera Utara Medan diketahui bahwa belum ada penelitian sebelumnya yang berjudul
tentang ''Analisa Hukum Atas Kedudukan Kreditur Lain Dalam Upaya Hukum Kasasi Pada
Perkara Kepailitan (Studi Terhadap Tiga Putusan Mahkamah Agung).'' Dengan demikian
penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun terdapat beberapa
penelitian lainnya yang dapat dijadikan rujukan karena berkaitan dengan kedudukan
kreditur dalam hukum kepailitan, meskipun dalam hal judul dan permasalahan terdapat
perbedaan, yaitu :
1. Ditulis oleh Herlina Sihombing (047011029), yang berjudul : "Kedudukan Kreditur
Separatis Ditinjau Dari Undang-Undang Kepailitan Dikaitkan Dengan Objek Hak
Tanggungan'', dengan permasalahan, yaitu :
a. Bagaimanakah pengaruh kepailitan terhadap objek Hak Tanggungan dalam
praktek pelaksanaan eksekusi?
b. Bagaimana Undang-Undang Kepailitan memberikan jaminan kepastian
hukum terhadap pelunasan piutang kreditur separatis yang dijamin dengan
2. Ditulis oleh Zulfikar (077011075), yang berjudul : ''Efektivitas Perlindungan
Hukum Terhadap Para Kreditur Dalam Hukum Kepailitan'', dengan permasalahan,
yaitu :
a. Bagaimanakah golongan kreditur dalam hukum kepailitan?
b. Bagaimanakah kedudukan para kreditur dalam hukum kepailitan?
c. Bagaimanakah efektivitas perlindungan hukum terhadap para kreditur dalam
hukum kepailitan?
3. Ditulis oleh Kartini Meilina H (117011128), yang berjudul : ''Analisis Hukum
Terhadap Permohonan Pailit Atas Developer Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli
Apartemen (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No.331 K/PDT.SUS/2012
Tanggal 12 Juni 2012), dengan permasalahan, yaitu :
a. Apakah para konsumen apartemen boleh mengajukan permohonan pailit
terhadap developer PT. Graha Permata Properindo ke pengadilan niaga?
b. Apakah yang menyebabkan PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk ikut
mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung atas putusan
pailit yang dikeluarkan pengadilan niaga terhadap developer?
c. Bagaimana analisa hukum terhadap kasus permohonan pailit atas developer
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Menurut M. Solly Lubis landasan teori adalah suatu kerangka pemikiran atau
butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang dijadikan bahan
perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang
merupakan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.34
Teori merupakan generalisasi yang dicapai setelah mengedepankan pengujian dan
hasilnya mencakup ruang lingkup dan fakta yang luas.35 Perkembangan ilmu hukum, selain
bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial juga sangat ditentukan
oleh teori.36 Seperti pada ilmu lain, teori dalam ilmu hukum berfungsi untuk menjelaskan,
menilai, memprediksi dan karena sifat khasnya juga untuk mempengaruhi perkembangan
hukum positif.37
Dalam sebuah penelitian, teori dijadikan panduan dalam menganalisa subjek dan
objek penelitian. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan
dari John Rawls yang dipandang sebagai teori keadilan paling komprehensif. Penerapan
teori keadilan ini dalam analisa didasarkan pada sudut kepentingan dan manfaat.
Bagi John Rawls, konsep keadilan harus dapat menjamin bahwa setiap orang
mendapatkan keadilan yang sama bahkan alasan demi kesejahteraan masyarakat tidak boleh
menghilangkannya. Keadilan tidak boleh mengorbankan hak sebagian kecil orang demi hak
34
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal. 80 35
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986), hal.126
36
Ibid, hal.6 37
orang banyak.38 Teori keadilan menurut John Rawls adalah teori sebagaimana umumnya
tapi teori keadilan harus menggambarkan rasa keadilan yang secara intuisi dan moral
dianggap sebagai suatu keadilan.39
Teori keadilan yang berangkat dari keyakinan intuisi ini, pada pokoknya
menuangkan bahwa :40
a. Keadilan merupakan keutamaan utama lembaga sosial. Hukum atau lembaga-lembaga betapa pun bagus dan efisiennya apabila tidak adil harus diperbaiki atau dihapus. Benar dan adil adalah hal yang tidak bisa dikompromikan
b. Keadilan tidak membenarkan dikorbankannya kepentingan seseorang atau sekelompok orang demi kepentingan orang banyak
c. Dalam masyarakat berkeadilan, kemerdekaan dengan sendirinya terjamin
d. Ketidakadilan dapat ditoleransi hanya apabila diperlukan untuk menghindarkan ketidakadilan yang lebih besar
Menurut John Rawls, semua orang akan menerima keadilan yang mengandung
kejujuran. Keadilan yang mengandung prinsip kebebasan dengan batasan, prinsip
kesetaraan kesempatan dan prinsip perbedaan untuk mencapai masyarakat adil.41 Untuk
dapat menjamin stabilitas hidup manusia maka dari itu dalam keadilan perlu ada
keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan bersama. Dan untuk
mencegah benturan kepentingan diperlukan peraturan-peraturan hukum yang adil.42
Menurut W. Friedman, suatu undang-undang atau peraturan haruslah memberikan
keadilan yang sama kepada semua walaupun terdapat perbedaan-perbedaan diantara
38
pribadi-pribadi itu.43 Keadilan yang sama ini maksudnya adalah mendapat perlakuan yang
sama dalam hukum dan kesempatan yang sama. Sehingga tidak hanya memberikan
keadilan pada kepentingan satu pihak tapi juga pihak lainnya. Adanya keseimbangan dalam
mendistribusikan keadilan untuk mencapai kemanfaatan. Karena keadilan hanya bisa
dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum yaitu
kemanfaatan, kegunaan dan kepastian hukum. 44
Hukum dalam pengertian luas tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan
kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi juga meliputi
lembaga-lembaga dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya asas-asas dan
kaidah-kaidah itu dalam masyarakat.45 Dengan kata lain hukum tidak hanya sebagai seperangkat
peraturan perundang-undangan yang mengatur kehidupan masyarakat tetapi harus juga
mencakup lembaga dan proses, yaitu lembaga peradilan yang menjadi lembaga yang
berwenang untuk memproses tegaknya asas-asas dan kaidah-kaidah dalam perangkat
peraturan perundang-undangan sehingga tercipta ketertiban dalam masyarakat.
Di Indonesia, hukum kepailitan memiliki tujuan untuk mendukung pembangunan
perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD 1945). Perbaikan terhadap peraturan tentang kepailitan memiliki tujuan untuk
43
W. Friedman, Teori Dan Filsafat Hukum Dalam Buku Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum, diterjemahkan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhammad Arifin (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 7
44
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung : Nusamedia, 2008), hal. 239
45
menjamin kepastian, ketertiban, penegakan dan perlindungan hukum dalam menyelesaikan
masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Namun penegakan hukum
yang adil sebagaimana yang dicita-citakan tersebut tidak cukup hanya dengan peraturan
perundang-undangan saja. Selain peraturan perundang-undangan juga dibutuhkan kekuasan
kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menjamin kepastian
hukum terhadap penegakan hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1)
UUD 1945.
Pada awalnya penyelesaian perkara-perkara kepailitan saat diberlakukan
Faillissements Verordening (FV) diselesaikan oleh pengadilan negeri. Untuk
mempertahankan hak-haknya, kreditur dapat menempuh jalur hukum melalui hukum acara
perdata dengan cara mengajukan tuntutan hak ke hadapan pengadilan.46 Namun setelah
dirubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang (UUK), penyelesaian
perkara kepailitan diselesaikan oleh pengadilan niaga yang merupakan pengkhususan
pengadilan di bidang perniagaan yang dibentuk dalam lingkup peradilan umum.47
Perbaikan proses beracara dalam menyelesaikan perkara kepailitan melalui
pengadilan niaga dan perubahan terhadap aturan hukum tentang kepailitan dari UUK
menjadi UUKPKU diharapkan dapat memberikan perlindungan lebih baik terhadap
46
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Ketujuh, (Yogyakarta : Liberty, 2006), hal. 52
47
hak debitur dan kreditur. Hukum kepailitan diharapkan dapat berperan untuk melindungi
kepentingan debitur dari perbuatan main hakim sendiri para krediturnya, seperti perbuatan
perebutan harta oleh para kreditur. Hukum kepailitan juga diharapkan dapat menjamin
terlindunginya hak-hak kreditur dan mencegah perbuatan-perbuatan debitur yang
merugikan kreditur. Dengan adanya hukum kepailitan diharapkan dapat mencegah
kesewenang-wenangan pihak kreditur yang mengusahakan pembayaran atas tagihan
masing-masing terhadap debitur dengan tidak memperdulikan kepentingan kreditur lainnya.
Oleh karena itu teori keadilan John Rawls dipandang tepat untuk menjawab
permasalahan pada penelitian ini. John Rawls berpendapat bahwa keadilan berpedoman
pada keadilan yang diberikan oleh lembaga sosial yang ada di dalam masyarakat. Dalam
hukum kepailitan, lembaga sosial tersebut adalah peraturan perundang-undangan tentang
kepailitan dan lembaga peradilannya. Peraturan dan putusan dari lembaga peradilan yang
adil dan tidak mengorbankan kepentingan pihak lain terutama kepentingan kreditur lain
yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah suatu bentuk keadilan yang sesuai dengan
konsep keadilan John Rawls. Sehingga apabila lembaga sosial dalam hukum kepailitan
tersebut tidak dapat memberikan keadilan terhadap kedudukan kreditur lain dalam membela
kepentingannya melalui upaya hukum kasasi pada perkara kepailitan dan sebaliknya
mengorbankan kepentingan kreditur lain, maka sesuai dengan pendapat John Rawls
terhadap lembaga sosial tersebut perlu dilakukan perbaikan.
Selanjutnya penelitian ini juga menggunakan teori kepastian hukum. Kepastian
hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum terutama untuk hukum
digunakan sebagai pedoman perilaku.48 Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum
untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat.
Gustav Radbruch mengemukakan empat hal mendasar yang behubungan dengan
kepastian hukum, yaitu :49
a. Hukum itu positif artinya hukum itu adalah peraturan perundang-undangan b. Hukum itu didasarkan kepada fakta
c. Fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan dan mudah dilaksanakan
d. Hukum positif tidak boleh mudah diubah
Pendapat tentang kepastian hukum juga disampaikan oleh Jan M. Otto yang
berpendapat bahwa kepastian hukum mensyaratkan sebagai berikut :50
a. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas yang diterbitkan oleh kekuasaan negara b. Lembaga-lembaga penguasa menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara
konsisten dan juga taat dan tunduk kepadanya
c. Mayoritas masyarakat menyetujui muatan isi dari peraturan tersebut dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut
d. Hakim-hakim mandiri dan tidak berpihak dalam menerapkan aturan-aturan hukum tersebut
e. Putusan pengadilan secara konkrit dilaksanakan
Syarat-syarat yang dikemukakan Jan M. Otto tersebut menunjukkan bahwa
kepastian hukum dapat dicapai jika substansi hukum sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Kepastian hukum yang seperti inilah yang disebut dengan kepastian hukum yang
sebenarnya yang mensyaratkan adanya keharmonisan antara negara dengan rakyat.51
48
Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum adalah jaminan hukum yang
harus dijalankan, yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan putusan
harus dapat dilaksanakan.52 Hans Kelsen melalui teori hukum murninya juga menekankan
kepastian hukum. Kepastian ini penting karena hukum menjadi satu-satunya alat untuk
menilai dan mengontrol secara tegas perilaku setiap anggota masyarakat. Tanpa ketegasan
hak maka kepentingan warga negara dipertaruhkan.53
Unsur kepastian hukum dalam peraturan kepailitan terdapat dalam Pasal 2 ayat (1)
UUKPKPU. Dalam ketentuan ini disebutkan bahwa debitur yang mempunyai dua atau
lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya
sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.
Syarat kepailitan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU ini
memang sangat sederhana. Hal ini untuk mendukung prinsip penyelesaian perkara secara
cepat dan prinsip pembuktian secara sederhana. Sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (4)
UUKPKPU yang menyebutkan bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan
apabila terdapat fakta yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan
pailit telah dipenuhi.
Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa tujuan kepailitan sangat sederhana yaitu
melindungi kepentingan kreditur dari debitur yang tidak membayar utang tepat waktu.
Namun pada kenyataannya tidak semua kreditur menginginkan debitur pailit. Ada kreditur
52
Ibid, hal. 53 53
lain yang tidak menginginkan kepailitan debitur. Dan terhadap kreditur lain tersebut oleh
UUKPKPU melalui Pasal 11 ayat (3) telah disediakan upaya hukum melalui kasasi.
UUKPKPU memberikan ruang kepada kreditur lain untuk dapat mengajukan upaya hukum
kasasi atas kepailitan debitur guna memberikan kepastian hukum atas perlindungan
kepentingan kreditur lain.
Teori kepastian hukum dipandang tepat untuk menjawab permasalahan dalam
penelitian ini yang terkait dengan kedudukan kreditur lain dalam upaya hukum kasasi pada
perkara kepailitan. Kepastian hukum terhadap kedudukan kreditur lain dalam menggunakan
Pasal 11 ayat (3) UUKPKPU untuk membela kepentingannya melalui upaya hukum kasasi
tercermin dengan tersedianya aturan hukum yang jelas dan tegas di dalam peraturan hukum
kepailitan. Lembaga peradilan harus menerapkan aturan tersebut secara konsisten sehingga
putusan yang dihasilkan menjamin terwujudnya kepastian hukum atas kedudukan kreditur
lain dalam membela kepentingannya melalui upaya hukum kasasi pada perkara kepailitan.
Oleh karena itu untuk menganalisa dan memecahkan permasalahan terkait
kedudukan kreditur lain dalam upaya hukum kasasi pada perkara kepailitan dalam
penelitian ini, sebagaimana terjadi pada kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor
27/KN/1999, Putusan Mahkamah Agung Nomor 075 K/Pdt.Sus/2007 dan Putusan
Mahkamah Agung Nomor 331 K/Pdt.Sus/2012 digunakan teori keadilan dari John Rawls
2. Kerangka Konsepsi
Peranan konsep dalam penelitian digunakan untuk menghindari masalah penafsiran.
Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa konsep dasar agar diperoleh
hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan ,yaitu :
a. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan
dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah hakim pengawas54
b. Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau
undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan55
c. Kreditur lain adalah kreditur yang bukan merupakan pihak pada persidangan tingkat
pertama yang tidak puas terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit
terhadap debitur56
d. Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang
yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan57
e. Wanprestasi adalah tidak dipenuhinya janji, baik karena disengaja maupun tidak
disengaja atau sama sekali tidak memenuhi prestasi, prestasi yang dilakukan tidak
sempurna, terlambat memenuhi prestasi dan melakukan apa yang dalam perjanjian
di larang untuk dilakukan58
f. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang
maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena
perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak
dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapatkan pemenuhannya dari
harta kekayaan debitur59
g. Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum60
h. Upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang
atau badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan putusan hakim61
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan
pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu
atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.62 Jenis penelitian yang
dilakukan dalam penyusunan tesis ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu penelitian
yang dilakukan dengan cara menganalisa bahan pustaka atau data sekunder berupa bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder,63 seperti peraturan perundang-undangan tentang
hukum perdata serta kepailitan dan putusan-putusan pengadilan yang memiliki kaitan
dengan kedudukan kreditur lain dalam upaya hukum kasasi pada perkara kepailitan
Whimbo Pitoyo, Strategi Jitu Memenangi Perkara Perdata Dalam Praktik Peradilan, (Jakarta : Transmedia Pustaka, 2012), hal. 135
62
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986), hal. 43
63
Oleh karena itu penelitian dalam penyusunan tesis ini akan menganalisa asas-asas yang
berkembang dalam hukum kepailitan yang diatur dalam peraturan hukum tentang kepailitan
serta putusan Mahkamah Agung Nomor 27/KN/1999, Putusan Mahkamah Agung Nomor
075 K/Pdt.Sus/2007 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 331 K/Pdt.Sus/2012 yang
terkait dengan kedudukan kreditur lain dalam upaya hukum kasasi pada perkara kepailitan.
Penelitian ini bersifat deskriftif yaitu menggambarkan, menginventarisasikan dan
menganalisis teori-teori dan peraturan yang berhubungan dengan permasalahan dalam
penelitian ini.64 Penelitian ini akan menggambarkan dan menganalisa kedudukan kreditur
lain dalam upaya hukum kasasi pada perkara kepailitan berdasarkan sumber data sekunder
yang telah dilakukan inventarisasi sebelumnya, untuk mengetahui kedudukan kreditur lain
dalam membela kepentingannya melalui upaya hukum kasasi pada perkara kepailitan yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan.
2. Sumber Data
Penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum
berupa data sekunder yaitu bahan pustaka yang diperoleh melalui studi dokumen65, yaitu :
a. Bahan hukum primer, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Faillismentsverordening (Stb. 1905 Nomor 217 jo. Stb. 1906 Nomor 384), Perpu
Nomor 1 Tahun 1998 jo. Undang Nomor 4 Tahun 1998 dan
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
64
Setiono, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, (Surakarta : Program Studi Ilmu Hukum Pasca Sarjana UNS, 2005), hal. 6
65
Pembayaran Utang serta Putusan Mahkamah Agung Nomor 27/KN/1999, Putusan
Mahkamah Agung Nomor 075 K/Pdt.Sus/2007 dan Putusan Mahkamah Agung
Nomor 331 K/Pdt.Sus/2012 yang melibatkan kreditur lain dalam upaya hukum
kasasi pada perkara kepailitan
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, dokumen
pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum sepanjang relevan dengan objek
penelitian66
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus
hukum, majalah dan jurnal67
3. Tehnik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan, yaitu
menghimpun data dengan melakukan penelaahan serta membaca, mempelajari dan
menganalisis bahan kepustakaan yang dapat berupa peraturan perundang-undangan dan
karya ilmiah lainnya.68 Sehingga pada penelitian ini tehnik pengumpulan data dilakukan
dengan cara telaah pustaka (library research) melalui alat pengumpulan data berupa studi
dokumen terhadap peraturan perundang-undangan tentang kepailitan serta Putusan
66
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penemuan Hukum, (Jakarta : Ghalian Indonesia, 1982), hal. 24
67
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. Cit., hal. 15 68
Mahkamah Agung Nomor 27/KN/1999, Putusan Mahkamah Agung Nomor 075
K/Pdt.Sus/2007 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 331 K/Pdt.Sus/2012 yang terkait
dengan kedudukan kreditur lain dalam upaya hukum kasasi pada perkara kepailitan.
Sebagai pendukung data dalam penelitian kepustakaan, dilakukan juga penelitian
lapangan (field research) melalui alat pengumpulan data berupa pedoman wawancara
kepada Hakim Johny Jonggi Hamonangan Simanjuntak yang menjabat sebagai Hakim
Utama Muda pada Pengadilan Negeri Medan. Dengan pertimbangan bahwa Hakim Johny
Jonggi Hamonangan Simanjuntak merupakan hakim pengadilan niaga yang memiliki
wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara-perkara kepailitan, sehingga dapat
memberikan data pendukung berupa studi di lapangan pengadilan niaga dalam
menyelesaikan perkara kepailitan terkait upaya hukum kasasi yang diajukan oleh kreditur
lain.
4. Analisis Data
Analisis merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menggunakan data dalam
pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat dirumuskan suatu hipotesa seperti
yang disarankan oleh data.69
Pada penelitian hukum normatif, pengolahan data pada hakikatnya adalah kegiatan
untuk menganalisa bahan-bahan hukum tertulis dengan menafsirkan isi dari bahan-bahan
hukum, kemudian mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis.
Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan tertulis tersebut untuk
69
memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi. Selanjutnya analisis data dilakukan secara
kualitatif, maksudnya bahwa hasil analisis tidak tergantung dari jumlah data berdasarkan
angka-angka melainkan data yang dianalisis digambarkan dalam bentuk kalimat-kalimat.
Penarikan kesimpulan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang
dimulai dari hal yang umum untuk selanjutnya menarik kesimpulan kepada hal-hal yang
khusus, dengan cara menggambarkan secara umum tentang kedudukan kreditur lain dalam
perkara kepailitan dan upaya-upaya hukum yang disediakan oleh undang-undang dalam
perkara kepailitan, selanjutnya menarik kesimpulan tentang kedudukan kreditur lain dalam
membela kepentingannya melalui upaya hukum kasasi pada praktek penyelesaian perkara
kepailitan yang terjadi pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 27/KN/1999, Putusan
Mahkamah Agung Nomor 075 K/Pdt.Sus/2007 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 331