• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paradigma Penerimaan Demokrasi Dalam Gerakan Politik Islam (Studi Analisis : Pemikiran Politik Islam Partai Keadilan Sejahtera dan Hizbut Tahrir Indonesia)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Paradigma Penerimaan Demokrasi Dalam Gerakan Politik Islam (Studi Analisis : Pemikiran Politik Islam Partai Keadilan Sejahtera dan Hizbut Tahrir Indonesia)"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Gagasan mengenai demokrasi berawal dari kebudayaan Yunani Kuno dan gagasan

mengenal kebebasan beragama yang dihasilkan oleh aliran reformasi serta perang-perang

agama yang menyusulnya. Sistem demokrasi yang terdapat di negara kota (city state) Yunani

Kuno (abad ke 6 sampai abad ke 3 SM) merupakan demokrasi langsung (direct democracy)

yaitu suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik

dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan proses

mayoritas. Miriam Budiardjo berpendapat bahwa gagasan demokrasi boleh dikatakan hilang

memasuki abad pertengahan (600-1400) yang masyarakat bercirikan masyarakat feodal.1

Perkembangan demokrasi yang terpenting pada abad pertengahan menghasilkan suatu

dokumen yang penting, yaitu Maghna Charta (Piagam Besar 1215) Maghna Charta

merupakan semacam kontrak antara beberapa bangsawan dan Raja John dari Inggris. Piagam

ini dianggap tonggak dalam perkembangan gagasan demokrasi. Perkembangan lainnya di

Eropa Barat, yaitu adanya Renaissance yang merupakan aliran yang menghidupkan kembali

minat kepada kesusastraan dan kebudayaan Yunani kuno yang selama abad pertengahan telah

disisihkan. Berawal dari hal tersebut timbullah gagasan mengenai adanya kebebasan

beragama serta perlu adanya garis pemisah antara soal-soal agama dan soal-soal

keduniawian, khususnya masalah pemerintahan.2

1

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik , Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, hal.53

2

Ibid., hal.54-55

(2)

Pertentangan terhadap monarki absolute didasarkan pada mata teori rasionalistis yang

umumnya dikenal sebagai social contract (kontrak sosial). Pada hakekatnya kontrak sosial

merupakan usaha untuk mendobrak dasar dari pemerintahan absolute dan menetapkan

hak-hak politik rakyat. Filsuf yang mencetuskan gagasan ini adalah John Locke, bahwa hak-hak-hak-hak

politik menurutnya yaitu hak atas hidup, hak atas kebebasan dan hak mempunyai milik.

Sedangkan Montesque mencoba menyusun suatu sistem yang dapat menjamin hak-hak

politik, yang dikenal dengan nama Trias Politica. 3

Dalam bukunya yang berjudul Politics, Aristoteles (384-322) menyebut demokrasi

sebagai “politea atau republik”.

Akibat dari pergolakan tersebut di atas, maka pada akhir abad ke-19 gagasan

mengenai demokrasi mendapat wujud yang konkrit sebagai program dan sistem politik.

Demokrasi dalam bentuknya sekarang ini dimulai sejak munculnya revolusi Amerika pada

tahun 1776 dan revolusi pada tahun 1776 dan revolusi pada tahun 1879. Bertolak dari

pemikiran tentang hak-hak politik rakyat dan pemisahan kekuasaan tersebut terlihat

munculnya ide pemerintahan rakyat atau demokrasi.

4

Politea dipandang sebagai bentuk negara paling baik dalam

politik. Adapun yang dimaksudkan dengan politea adalah “demokrasi moderat”, yaitu

demokrasi dengan undang-undang dasar atau demokrasi konstitusional. Tiga sumbangan

Aristoteles yang tertanam di jantung demokrasi adalah : kebebasan pribadi, pemerintahan

berdasarkan undang-undang dasar (konstitusi), dan pentingnya kelas menengah yang besar

sebagai pemegang tampuk kekuasaan. 5

3

Ibid., hal.55-56

4 Diane Revich dan Abigail Thernstrpom (eds.), Demokrasi : Klasik dan Modern, terj.Hermoyo, Jakarta: Yayasan

Obor , 1997, hal.13

5

Ibid., hal. 11-20

Dari sini bisa kita tangkap bahwa pemerintahan oleh

rakyat yang dimaksud adalah pemerintahan oleh rakyat melalui mekanisme perwakilan

(3)

bersamaan, kemungkinan ia hanya bisa menduduki satu posisi tertentu dalam waktu yang

tertentu (terbatas) pula. Sebab, bila semua orang berhak untuk menjadi pemerintah maka

diperlukan adanya pembatasan masa jabatan sehingga memungkinkan bagi setiap orang

menjadi pemerintah. Aristoteles memandang bahwa orang yang berasal dari kelas

menengahlah yang paling tepat untuk menduduki posisi penting dalam pemerintahan. Sebab,

menurutnya orang-orang dari kelas menengah mempunyai kecakapan lebih dibanding

kelas-kelas lain. 6

Demokrasi secara etimologis terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa yunani

yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau “cratos”

yang berarti kekuasaan atau kedaulatan, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan rakyat,

rakyat berkuasa, dan pemerintahan rakyat dan kekuasaan dari rakyat.

7

secara terminologis,

demokrasi menurut Joseph A. Schmeter adalah suatu perencanaan institusional untuk

mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan yang penting

secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan

secara bebas dari rakyat. 8 Pendapat lain seperti dinyatakan Henry B. Mayo, demokrasi

merupakan sistem politik yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar

mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam

pemilihan-pemilihan, yang didasarkan atas prinsip-prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam

suasana terjaminnya kebebasan politik. 9

Dalam perkembangannya teori dan praktek politik pada masa kini, defenisi dan

kriteria tentang demokrasi pun mengalami perkembangan, misalnya yang dikemukakan oleh

6

Aristoteles membagi masyarakat menjadi tiga kelas yaitu kelas yang sangat kaya, kelas miskin dan kelas menengah. Lebih lengkapnya lihat Ibid.,hal.11-20

7

M.Arskal Salim, Pendidikan Kewargaan (Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani), Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000, hal.161

8

Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogyakarta: Gema Media, 1999, hal.8

9

(4)

Phillipe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl. Kedua ilmuwan politik ini memberikan

karakteristik demokrasi sebagai sistem politik yang tidak otokratis, otoriter, despotis, tirani,

totaliter, absolute, tradisional, monarki, oligarki, dan aristokratis. 10

Defenisi dari demokrasi mempunyai makna yang tidak sama, akan tetapi pada

dasarnya mempunyai prinsip-prinsip yang sama. Dilihat dari sejarahnya, Islam tidak

mengenal demokrasi (ala barat) sebelum adanya benturan kebudayaan antara islam dan barat

yang diawali dari zaman kolonialisme dan imprealisme, kemudian diikuti dengan kemajuan

teknologi dan informasi dimana setiap orang mampu mengakses informasi secara cepat kapan

saja dan dimana saja. Perbenturan antara Islam dan postulat-postulat demokrasi tersebut

disebabkan karena sifat umum islam sebagai agama.

Dewasa ini sistem

demokrasi merupakan sistem yang telah diterima oleh sebagian besar negara di dunia,

meskipun dalam pelaksanaannya disertai dengan interpretasi atau modifikasi konsep sesuai

dengan budaya masing-masing negara. Yang jelas kini demokrasi tidak hanya merupakan

bentuk kelembagaan trias politika atau sebuah model pemerintahan mayoritas melalui

partisipasi politik rakyat dan kompetensi bebas, tetapi juga mengandung nilai-nilai universal,

terutama persamaan, kebebasan dan pluralisme.

11

Pandangan pertama yang menolak demokrasi, pandangan ini menyatakan bahwa

antara islam dan demokrasi merupakan dua hal yang sama sekali berbeda. Antara keduanya

tidak dapat dipersatukan, bahkan saling bertolak belakang. Demokrasi merupakan sesuatu Belum adanya kesepahaman mengenai

relasi Islam dan demokrasi di kalangan umat islam, memunculkan pro dan kontra di kalangan

tokoh-tokoh islam itu sendiri menilai demokrasi dalam islam. Ada tiga kelompok atau

pandangan yang berkembang di dunia muslim.

10

Philipe Schmitter dan Terry Lynn Karl, What Democracy Is…….. And Is Not, dalam Jurnal Of Democracy, Vol.12, No.3 Summer,2001,hal.76

11

(5)

yang mesti ditolak, karena merupakan sesuatu yang impossible, dan bahkan merupakan

ancaman yang perlu untuk dihindari. 12 tokoh atau ulama yang masuk dalam kategori ini,

seperti; Syaikh Fadhallah Nuri dan Muhammad Husain Thaba’thaba’I dari Iran, Sayyid Qutb

(1906-1966) dan Al-Sya’rawi dari Mesir, Ali Benhaj dan Abdelkader Moghni dari Aljazair,

Hasan Al-Thurabi dari Sudan, dan Adna Aly Ridha Al-Nahwy, Abd Qadim Zullum. 13 Aliran

ini muncul pada tahun 1905-1911 di iran selama berlangsungnya gerakan konstitusional.

Syah Fadlallah Nuri selama debat tentang formulasi konstitusi mengatakan, suatu kunci

gagasan demokrasi, persamaan semua warga negara, adalah “impossible” dalam islam. 14

Pendapat serupa juga diungkapkan Sayyid Qutb, pemikir dan tokoh Ikhwanul Muslimin,

yang menyatakan bahwa segala bentuk gagasan tentang kedaulatan yang berada di tangan

rakyat adalah tidak mungkin karena hal itu merupakan pelanggaran terhadap Tuhan. Sayyid

Qutb melihat bahwa di dalam sebuah negara Islam haruslah berlandaskan pada musyawarah,

karena ia percaya bahwa islam mencakup tentang sistem pemerintahan, seperti syari’ah. Ia

percaya syari’ah sebagai sebuah sistem hukum dan sistem moral sudah sangat lengkap,

sehingga tidak ada legislasi lain yang mengatasinya. 15

Pandangan kedua adalah kelompok moderat yang menyatakan Islam bisa menerima

adanya hubungan dengan demokrasi. Di satu sisi islam memiliki persamaan dengan

demokrasi, namun disisi lain juga ada perbedaan. Islam bisa menerima hubungan demokrasi,

akan tetapi dengan beberapa catatan penting. Pandangan ini tidak sepenuhnya menolak dan

tidak sepenuhnya menerima hubungan demokrasi.

16

12

Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan Historis, Jakarta: Gaya Media Pratama,2002, hal.47

13

Ibid.,hal.47

14

John L. Esposito dan Piscatori, Islam dan Demokrasi alih bahasa Nurul Agustina, Islamika No.4.April-Juni, 1994 hal.19

15 Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi, hal.48 16

Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais, Teraju, 2005, hal.8-9

(6)

dalam kelompok ini adalah ‘Abu Al-A’la Al-Maududi dan Muhammad Iqbal (1876-1938)

dari Pakistan, Imam Khomeini dari Iran, serta Muhammad Dhiya Al-Din Rais dari Mesir.

Pandangan ketiga adalah kelompok yang pro demokrasi berbeda dari uraian di atas ,

kelompok pemikran ketiga ini melihat bahwa Islam di dalam dirinya demokratis karena

menerima sepenuhnya demokrasi sebagai sesuatu yang universal. Aliran ini menyatakan

bahwa tidak ada pemisahan antara Islam dan demokrasi. Demokrasi inhern atau bagian

integral dari islam dan oleh karenanya demokrasi tidak perlu dijauhi dan malah menjadi

bagian dari urusan islam. Islam di dalam dirinya demokratis tidak hanya karena konsep

musyawarah (syura), tetapi ia juga mencakup tentang persetujuan (ijma’) dan penilaian

interpretatif yang mandiri (ijtihad).17 Pemikir-pemikir islam yang termasuk dalam pandangan

ini diantaranya : Muhammad Abduh (1845-1905), Rasyid Ridha (1865-1935), Syaikh

Muhammad Syaltut, Ali Abd Al-Razzaq (1888-1966), Khalid Muhammad Khalid,

Muhammad Husain Haikal, Toha Husain (1891), Zakaria Abd Mun’im Ibrahim Al-Khatib

Mahmud Aqqad, Muhammad Imarah dari Mesir, Sadek Jawad Sulaiman dari Oman,

Mahmoud Mohamed Taha dan Abdullahi Ahmad Al-Na’im dari Sudan, Bani Sadr dan Mehdi

Bazargan dari Iran, Abbasi Madani dari Aljazair, dan Hasan Al-Hakim dari Uni Emirat Arab,

Fazlur Rahman pemikir Pakistan yang menetap di Amerika Serikat, dan beberapa pemikir

dari Indonesia, seperti Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid.18

Dalam konteks Indonesia, perjalanan sejarah bangsa sejak kemerdekaan hingga

sekarang ada empat model demokrasi yang pernah diterapkan dalam ketatanegaraan

Indonesia, yaitu Demokrasi Liberal, Demokrasi terpimpin, Demokrasi Pancasila, dan

Demokrasi Langsung pada Era Reformasi. Pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia, syariat

Islam sempat menjadi acuan dalam kehidupan bernegara, umat islam harus rela

17

John L. Esposito dan John O.Voll, Demokrasi, hlm.32

18

(7)

mengorbankan keinginan mereka dan menerima rumusan yang lain, yaitu Ketuhanan Yang

Maha Esa. Memang sebagaimana pandangan para tokoh Islam, rumusan tersebut

mencerminkan ekspresi tauhid umat Islam. Namun ada saja rasa kurang puas dari sebagian

lainnya, sehingga mereka berupaya secara terus menerus untuk memperjuangkannya. Maka

mau tidak mau kita pun masuk ke dalam masa perjuangan wakil-wakil Islam memasukkan

Islam ke dalam rumusan konstitusi.

Era Demokrasi Liberal ditandai dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah No.X

pada 16 Oktober 1945 dan Maklumat 3 November 1945. Maklumat X berisi tentang

perubahan sistem pemerintahan Indonesia dari presidensial ke bentuk parlementer. Dengan

sistem parlementer ini, Indonesia mengalami gonta-ganti kabinet. Usia kabinet tidak bisa

bertahan lama, karena sering mengalami mosi tidak percaya di tengah perjalanan dan

akhirnya jatuh. Namun dalam sistem inilah Indonesia menampung banyak partai yang akan

ikut serta dalam pemilu 1955. Dalam sistem ini pula umat Islam mendapat kesempatan lagi

untuk memperjuangkan aspirasi mereka yang sebelumnya kandas oleh konsensus politik pada

1945. Pada 29 September 1955, pemilu pertama Indonesia dilaksanakam diikuti 39 Partai

Politik yang dipandang paling demokratis di Indonesia. Setidaknya ada tiga Ideologi yang

meraih suara terbesar dan akan bersaing di Konstituante nantinya yaitu Islam, Nasonalis, dan

Komunis. Dari kalangan Islam ada partai Masyumi, NU, PSII, Perti, dan PPTI dari kalangan

Nasionalis diwakili oleh PNI dan Komunis diwakili oleh PKI. Meskipun ada banyak Partai

Islam yang bersaing memperebutkan pengaruh saat itu, namun di Majelis Konstituante

mereka memiliki suara bulat untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Mereka

berhadapan dengan partai-partai nasionalis sekuler yang memperjuangkan Pancasila seperti

PNI, PSI, Partai Katolik, Parkindo, IPKI dan PKI.

Era Demokasi Terpimpin ditandai dengan keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli

(8)

negara. Dekrit Presiden dianggap sebagai usaha untuk mencapai jalan keluar dari kemacetan

politik (gagalnya konstituante dalam merumuskan UUD baru) melalui pembentukan

kepemimpinan yang kuat. Isi daripada dekret Presiden ini adalah menetapkan pembubaran

konstituante, kembali ke UUD 45, membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara

(MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).19 Era ini dapat dianggap

sebagai masa-masa sulit bagi partai Islam. Setelah mengeluarkan Dekret , Soekarno yang

sudah terobsesi untuk menjadi penguasa mutlak di Indonesia memaksa pembubaran Partai

Masyumi pada 17 Agustus 1960. Partai Masyumi dipaksa membubarkan diri karena dianggap

oposisi dan menentang revolusi. Selain itu Masyumi juga dituduh sebagai dalang

pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di daerah, seperti Sumatera Barat, Aceh,

Sulawesi, dan Kalimantan. Apalagi daerah tersebut merupakan kantong-kantong Masyumi

dan ditambah tokoh Masyumi seperti Natsir Sjafrudin Prawiranegara dan Burhanudin

Harahap yang ikut dalam pemberontakan. Menurut Maarif, tuduhan itu tidak beralasan sama

sekali karena jauh sebelum pemberontakan mereka sudah tidak terlibat aktif dalam partai. 20

Pemberontakan bukan atas nama partai melainkan atas nama pribadi. Mereka memberontak

untuk tujuan supaya Soekarno menyadari kekeliruannya dan kembali ke jalan yang benar

dalam melaksanakan pemerintahannya. 21

Era Demokrasi Pancasila yang kita kenal dengan Orde baru muncul akibat adanya

berbagai penyelewengan dan permasalahan yang dialami bangsa Indonesia pada masa

berlakunya Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila. Era ini ditandai dengan

gagalnya G-30-S/PKI dan beralihnya kekuasaan dari tangan Soekarno ke Soeharto melalui

19

H.A. Notosoetardjo, Proses Kembali Kepada Jiwa Proklamasi 1945 Apakah Demokrasi Terpimpin itu?, Jakarta: Lembaga Penggali dan Penghimpun Sedjarah Revolusi Indonesia, 1964, hal.11-12

20

Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan:Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1985 , hal.190

21 Ajip Rosidi, “Kebesaran Mohamad Natsir” dalam Endang Saifuddin Ansari dan Mohammad Amin Rais, eds,

(9)

Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar) serta menguatnya peran militer darlam

pemerintahan Indonesia. Pada awalnya Era ini memberikan sebersit harapan untuk kehidupan

bernegara yang normal termasuk bagi masyumi yang mengharapkan hidupnya kembali islam

politik di Indonesia. Namun pada perjalannya usaha untuk membangkitkan kembali Masyumi

ditolak mentah-mentah oleh pemerintah karena trauma dan takut akan terganggunya stabilitas

negara saat itu, upaya lain kemudian melalui usul untuk membuat Muhammadiyah menjadi

Partai Politik kemudian gagal. Pada akhirnya untuk mengakomodir kepentingan umat islam

dan golongan lainnya, pemerintah Orde baru mengeluarkan kebijakan penyederhanaan partai

(Fusi) dimana golongan Islam disederhanakan lewat Partai Persatuan Pembangunan (PPP),

Golongan Nasionalis lewat Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Golongan Karya (Golkar)

yang berafiliasi secara langsung dengan pemerintah.

Namun tidak selamanya pemerintahan Orde Baru kontra dengan Islam, di era 1970 an

Nurcholis Madjid mencoba mencairkan hubungan Islam dengan Negara dengan gagasannya

“Islam yes partai Islam no”. Bagi Cak Nur, partai Islam bukan satu-satunya alat untuk

memperjuangkan aspirasi umat Islam, ide tentang partai islam tidak lagi menarik dan

kehilangan dinamika. Ide ini melahirkan respons negatif dalam sebagian kalangan umat Islam

yang mengimpikan islam politik dalam perjuangan mereka. Namun begitu, pada era

1970-1980 an masa dimana sedang kuatnya pemerintahan Soeharto, banyak tokoh-tokoh Islam

yang muncul dan bergerak dari berbagai lapangan tanpa membawa atribut-atribut islam.

Setelah menamatkan pendidikannya di luar negeri dan kembali ke Indonesia tokoh-tokoh

tersebut dapat masuk ke sektor kehidupan public dan memegang jabatan strategis. Seperti

Abdul Gafur, Akbar Tandjung, Saleh Afif, Azwar Arnas, Mar’ie Muhammad dan lain-lain

yang merupakan tokoh-tokoh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Selain di eksekutif,

fenomena menarik lainnya terjadi pada awal 1990-an yaitu banyaknya aktivis muslim yang

(10)

tahun 1991 yang dipimpin oleh B.J. Habibie. Praktis sejak 1990-an tersebut islam dapat lebih

berperan tidak hanya sebagai penonton dalam setiap proses berbangsa dan bernegara, tetapi

juga ikut menentukan arah perjalanan bangsa. Dari perkembangan Orba selama 32 tahun

memang kita melihat gagasan dan perjuangan penerapan politik islam dalam lembaga politik

formal tidak dapat dilakukan secara leluasa. Strategi perjuangan yang menitikberatkan

perhatian pada “Islam Kultural” ternyata berhasil untuk terjalinnya saling pengertian antara

islam dan orba melalui usaha penghilangan stigma radikalisme politik islam yang dicitrakan

selama demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin.

Selanjutnya adalah Era Reformasi ditandai dengan runtuhnya kekuasaan Orde Baru

akibat instabilitas yang terjadi di dalam negeri yang menyebabkan munculnya aksi

mahasiswa untuk menuntut Soeharto mundur sebagai Presiden. Pasca mundur, Soeharto

kemudian digantikan oleh wakilnya yaitu B.J.Habibie dan menandai babak baru dibukanya

keran demokratisasi di Indonesia. hal itu dibuktikan dengan diselenggarakanya Pemilu secara

langsung. Kemudian muncullah berbagai macam partai politik yang merupakan elemen

penting dalam Pemilu. Tahun 1999 adalah Pemilu pertama Indonesia yang dilaksanakan

secara langsung dan diikuti oleh 48 Partai Politik. Dari 48 partai itu ada 16 Partai Islam atau

yang berbasis massa umat islam. Dengan jumlah yang sebesar itu, partai-partai islam

berusaha mendulang suara umat islam sebesar-besarnya. Namun pada Pemilu Legislatif

partai-partai Islam belum mendapatkan kursi yang banyak di parlemen. Hanya PPP,PKB, dan

PAN yang kemudian meraih kursi terbanyak dari partai-partai islam yang lain dan

merupakan 5 partai pemenang dalam Pemilu 1999.

Dalam perkembangan politik selanjutnya, pada saat Pemilihan Presiden RI di MPR

tahun 1999, partai Islam memiliki satu suara dalam poros tengah yang digalang oleh

lokomotif reformasi, Amien Rais untuk memenangkan Abdurrahman Wahid sebagai

(11)

itu yang diusung oleh PDI Perjuangan. Pada akhirnya melalui manuver politik yang

dilakukan Amien Rais dan Partai-Partai Islam lainnya, Gusdur keluar sebagai pemenang

dalam siding umum MPR 20 Oktober 1999 mengalahkan Megawati yang harus puas sebagai

Wakil Presiden. Kemenangan itu dipandang sebagai kemenangan sementara politik islam atas

kelompok nasionalis sekuler, karena beberapa tahun berselang Presiden Abdurrahman Wahid

lengser dari jabatannya akibat dari gaya kepemimpinan dan kebijakannya yang kontroversial.

Mulai dari sikapnya yang sering plesir keluar negeri di saat kondisi politik dalam negeri tidak

stabil, sampai dikeluarkannya dekrit oleh Gusdur untuk membubarkan DPR yang dianggap

ingin melengserkan dirinya. Puncaknya terjadi pada 23 Juli 2001 dimana pada hari yang sama

dengan dikeluarkannya dekret presiden, MPR membuka sidang istimewa dengan agenda

pemungutan suara untuk menerima atau menolak dekret. Dan hasilnya dari 601 orang

anggota yang hadir, 599 di antaranya menolak dekret. Hari itu jugalah Gusdur mengakhiri

jabatannya sebagai Presiden RI dan digantikan oleh Megawati. Impeachment terhadap

Gusdur dianggap sebagai kegagalan politik islam.

Meskipun mendapat tentangan dan kritikan dari berbagai kalangan, Megawati

menjalankan pemerintahan bersama wakilnya Hamza Haz dari PPP. Salah satu peran penting

yang dimainkan Megawati adalah mempersiapkan dan melaksanakan Pemilihan Umum

kedua pada masa reformasi. Ada 24 partai politik yang kemudian menjadi peserta Pemilu

berdasarkan hasil verifikasi yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dari 24

partai tersebut ada lima partai islam, yakni PPP, PBB, PKS, PBR, PPNUI, disamping PAN

yang memiliki basis massa organisasi Muhammadiyah dan PKB dari NU. Perkembangan

menarik di tubuh partai islam terjadi ketika Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang

sebelumnya bernama Partai Keadilan (PK) memperoleh suara yang signifikan, yaitu sekitar

7,3 % suara nasional dan 48 kursi di DPR. Padahal pada pemilu 1999 saja PK hanya

(12)

menggalang kekuatan pada pemilu Presiden tahun 2004 untuk menggalang kekuatan dan

mengusung Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai Calon Presiden dan Wakil

Presiden RI yang kemudian berhadapan di putaran kedua menghadapi pasangan Megawati

dan Hasyim Muzadi. Dan akhirnya SBY-JK keluar sebagai pemenang dan ditetapkan sebagai

Presiden-Wakil Presiden RI 2004-2009, dan partai islam yang kemudian ikut mendukung

dalam kemenangan SBY-JK itu termasuk PKS mendapatkan posisi strategis dalam

pemerintahan.

Tahun 1980-an merupakan bagian penting dari perkembangan Islam di Indoensia.

Pada tahun 1980-an ini, di kampus-kampus tidak berbasis keislaman seperti Institut

Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI), dan

Universitas Brawijaya berkembang kelompok-kelompok pengajian kampus yang sering

disebut Gerakan Dakwah Kampus, jamaah musholla, usrah-usrah, kelompok tarbiyah dan

halaqoh. Perkembangan kelompok tarbiyah, halaqoh, usrah dan gerakan dakwah kampus ini

terus berkembang dan merebak hampir ke seluruh elemen masyarakat Islam di Indonesia.

Pascareformasi 1998, keterbukaan politik yang dibawa oleh demokratisasi menghasilkan

kebebasan bagi organisasi dan gerakan politik untuk muncul dan berkembang. Di antara

gerakan politik yang muncul signifikan adalah organisasi islam transnasional. Organisasi

tersebut berkembang pesat di hampir berbagai kota-kota penting dengan membawa konsep

politik Islam.22

22

Ahmad Syaf’I Mufid (ed), Perkembangan Paham Keagamaan Transnasional di Indonesia, Jakarta : Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2011

Pergeseran tersebut mempunyai irisan langsung dengan keberadaan

organisasi politik lainnya seperti partai politik. Terutama bagi organisasi dan partai politik

yang mempunyai titik politik pertemuan ideologi Islam politik. Di antara berbagai organisasi

yang mengusung ideologi politik Islam dan bersifat transnasional adalah Hizbut Tahrir

(13)

cita-cita mengganti konsep demokrasi dengan sistem khilafah. 23

Gerakan politik Islam yang sukses dalam melakukan transformasi dari gerakan sosial

menjadi gerakan parlementer adalah gerakan Tarbiyah yang digerakkan oleh eksponen aktivis

Islam berlatar pendidikan tinggi di Timur Tengah. Pendirian Partai Keadilan (PK) pada tahun

1998 dan menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada tahun 2003 merupakan bagian dari

perjuangan untuk merealisir gagasan besar politik Islam di Indonesia. Para Pendiri PKS

membuat konsep organisasi PKS hampir mirip dengan IM di Mesir. Mulai dari ideologi

politik, konsep dakwah, maupun pemahaman keislamannya.

Selain itu, beberapa

organisasi lainnya yang memberikan pengaruh cukup penting adalah al-Ikhwan al-Muslimun

(IM) dari Mesir, dan kelompok Salafi Wahabi dari Saudi Arabia.

24

Kebijakan politik PKS juga

banyak menyoroti perkembangan politik di Timur Tengah dang mengangkat isu-isu

anti-zionisme dan pro-Palestina.25

Anton Winardi dalam bukunya Konsep Negara & Gerakan Islam Baru-Menuju

Negara Modern Sejahtera berhasil secara jernih membedakan antara PKS dan HTI. PKS

digambarkan sebagai partai yang beranggapan Islam dan negara tidak dapat dipisahkan,

karena syariat Islam dan negara tidak dapat dipisahkan yang menyangkut seluruh aspek

kemasyarakatan. Jalan yang ditempuh adalah dengan masuk ke dalam pemerintahan yang ada

dan menjalankan setiap mekanisme yang ditetapkan. Sementara HTI, mengusulkan agar

Islam dijadikan sebagai landasan pemerintahan dan negara, bahkan mengusulkan didirikan

khilafah. Dalam merealisasikan gagasannya, HTI menolak bergabung ke dalam sistem

23

Taqiyuddin an-Nabhani, Syakhsiyah Islam, Vol.1 Jakarta : HTI Press, 2007, hal. 281

24

M. Imdadun Rahmat, Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen, Yogyakarta : LKiS, 2008, hal.97

25 Mohammad Riza Widyarsa, Syaifuddin Fadhillah, dkk, Pengaruh Ideologi Politik Islam di Indonesia Terhadap

(14)

pemerintahan Indonesia yang ada, karena dianggap tidak sesuai dengan sistem islam.26 PKS dan HTI membawa pemahaman yang relatif baru mengenai pemerintahan menurut Islam.

PKS menerima terminologi demokrasi masuk ke dalam sistem pemerintahan dan membangun

komunitasnyadi tengah masyarakat dengan prinsip tarbiyah. Sementara HTI menolak konsep

demokrasi barat yang dianggap terlalu mengedepankan kebebasan individu yang dianggap

menyimpang. Mereka mengkampanyekan berdirinya khilafah islam sebagai penggantinya

dan berjuang secara damai di luar pemerintahan dengan melakukan dialog terbuka dan

membangun komunitas di luar sistem.

Berdasarkan penjelasan diatas, Penulis tertarik untuk lebih dalam membahas

bagaimana paradigma Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)

dalam penerimaannya mengenai sistem demokrasi mengingat kedua partai politik ini

sama-sama menjadikan syariat Islam sebagai panduan dan pedoman dalam aktivitas dan

kegiatannya terutama dalam hal yang berkenaan dengan politik dalam konteks keindonesiaan.

Maka dari itu penulis mengambil judul : “Paradigma Penerimaan Demokrasi Dalam

Gerakan Politik Islam (Studi Analisis : Pemikiran Politik Islam Partai Keadilan

Sejahtera dan Hizbut Tahrir Indonesia).”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan maka dapat dirumuskan masalah,

yaitu : “Bagaimana Paradigma Penerimaan Demokrasi dalam Pemikiran Politik Islam

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)?

26

(15)

1.3 Batasan Masalah

Agar kajian penelitian lebih fokus, maka yang menjadi batasan masalah dalam

penelitian ini adalah “Paradigma Penerimaan Demokrasi Dalam Pemikiran Politik Islam

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).”

1.4 Tujuan Penelitian

Dalam suatu penelitian ilmiah, perlu adanya suatu tujuan penelitian. Tujuan penelitian

adalah pertanyaan mengenai hal yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Adapun tujuan yang

ingin dicapai penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui landasan dan paradigma penerimaan demokrasi dalam pemikiran

politik islam Partai Keadilan Sejahtera (PKS)

2. Untuk mengetahui landasan dan paradigma penerimaan demokrasi dalam pemikiran

politik islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)

.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, antara lain :

1. Secara teoritis, penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang diharapkan mampu

memberikan kontribusi pemikiran mengenai demokrasi dan politik islam dalam sudut

pandang Partai Keadilan Sejahtera dan Hizbut Tahrir Indonesia.

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pisau analisis bagi para

(16)

3. Bagi penulis, membantu untuk mengasah keampuan dan pengetahuan dalam menulis

karya ilmiah di bidang ilmu politik khususnya dan juga merupakan suatu syarat akhir

untuk menyelesaikan studi strata satu di Departemen Ilmu Politik.

1.6 Kerangka Teori

Untuk memecahkan masalah atau menjawab pokok masalah yang telah dikemukakan

oleh penyusun, maka diperlukan pemaparan kerangka dan landasan teoritik untuk mengarah

pada tujuan yang jelas terutama dalam hal ilmu politik. Dalam penelitian ini ada dua teori

besar yang menjadi landasannya, yaitu teori demokrasi dan teori politik islam.

1.6.1 Teori Demokrasi

Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya

berasal dari rakyat baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan

(demokrasi perwakilan). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani yaitu demokratia (kekuasaan

rakyat), yang dibentuk dari kata demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan), merujuk pada sistem

politik yang muncul pada pertengahan abad ke 5 dan ke 4 SM di kota Yunani Kuno

khususnya Athena.27

Konsep demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan, akan tetapi pemakaian konsep

ini di zaman modern dimulai sejak terjadinya pergolakan revolusioner dalam masyarakat Dapat diartikan secara umum bahwa demokrasi adalah pemerintahan

dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Begitulah pemahaman yang sederhana tentang

demokrasi, yang diketahui oleh hampir semua orang.

27

(17)

Barat pada akhir abad ke-18. Pada pertengahan abad ke-20 dalam perdebatan mengenai arti

demokrasi muncul tiga pendekatan umum. Sebagai suatu bentuk pemerintahan, demokrasi

telah didefinisikan berdasarkan sumber wewenang bagi pemerintah, tujuan yang dilayani oleh

pemerintah dan prosedur untuk membentuk pemerintahan. 28

Demokrasi mementingkan kehendak, pendapat serta pandangan rakyat, corak

pemerintahan demokrasi dipilih melalui persetujuan dengan cara mufakat. Sehingga

demokrasi yang kuat adalah demokrasi yang bersumber dari hati nurani rakyat untuk

mencapai keadilan dan kesejahteraan rakyat.29

Konsep demokrasi sebenarnya identik dengan konsep kedaulatan rakyat, dalam hal ini

rakyat merupakan sumber dari kekuasaan suatu negara. Sehingga tujuan utama dari

demokrasi adalah untuk memberikan kebahagiaan sebesar-besarnya kepada rakyat. Jika ada

pelaksanaan suatu demokrasi yang ternyata merugikan rakyat banyak, tetapi hanya

menguntungkan untuk orang-orang tertentu saja, maka hal tersebut sebenarnya merupakan

pelaksanaan dari demokrasi yang salah arah. Kedaulatan rakyat dalam suatu sistem

demokrasi tercermin dari ungkapan bahwa demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dari

rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (goverment of the people, by the people for the

people).

Layaknya sebuah sistem, demokrasi juga

mempunyai konsep, ciri-ciri, model dan mekanisme sendiri. Yang mana semuanya itu

merupakan satu kesatuan yang dapat menjelaskan arti, maksud dan praktek sistem demokrasi.

1.6.1.1 Konsep-Konsep Demokrasi

30

28

Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, (Jakarta: PT. Midas Surya Grafindo), hal. 4

29 Zakaria Bangun, Demokrasi dan Kehidupan Demokrasi di Indonesia, (Medan: Bina Media Perintis, 2008), hal.

2

30

(18)

Sistem pemerintahan “dari rakyat” (goverment of the people) adalah bahwa suatu

sistem pemerintahan dimana kekuasaan berasal dari rakyat dan para pelaksana pemerintahan

dipilih dari dan oleh rakyat melalui suatu pemilihan umum. Dalam hal ini, dengan adanya

pemerintahan yang dipilih oleh dari rakyat tersebut terbentuk suatu legitimasi terhadap

kekuasaan pemerintahan yang bersangkutan.

Sistem pemerintahan “oleh rakyat” (goverment by the people), yang dimaksudkan

adalah bahwa suaatu pemerintahan dijalankan atas nama rakyat, bukan atas nama pribadi atau

atas nama dorongan pribadi para elit pemegang kekuasaan. Selain itu, pemerintahan “oleh

rakyat” juga mempunyai arti bahwa setiap pembuatan dan perubahan UUD dan

undang-undang juga dilakukan oleh rakyat baik dilakukan secara langsung (misalnya melalui sistem

referendum), ataupun melalui wakil-wakil rakyat yang ada di parlemen yang sebelumnya

telah dipilih oleh rakyat melalui suatu pemilihan umum.

Konotasi lain dari suatu pemerintahan “oleh rakyat” adalah bahwa rakyat mempunyai

kewenangan untuk mengawasi pemerintah, baik dilakukan secara langsung seperti melalui

pendapat dalam ruang publik (public sphere) semisal oleh pers, ataupun diawasi secara tidak

langsung yakni diawasi oleh para wakil-wakil rakyat di parlemen.

Sementara itu, yang dimaksud dengan pemerintah “untuk rakyat” (goverment for the

people) adalah bahwa setiap kebijaksanaan dan tindakan yang diambil oleh pemerintah

haruslah bermuara kepada kepentingan rakyat banyak, bukan untuk kepentingan pribadi atau

kepentingan golongan tertentu saja. Sehingga, kesejahteraan rakyat, keadilan, dan ketertiban

masyarakat haruslah selalu menjadi tujuan utama dari setiap tindakan atau kebijaksanaan

(19)

1.6.1.2 Model-model Demokrasi

Berangkat dari pemaknaan yang sama dan karenanya universal, demokrasi

substansial, telah memberikan daya pikat normatif. Bahwa dalam demokrasi, mestinya

berkembang nilai kesetaraan (egalitarian), keragaman (pluralisme), penghormatan atas

perbedaan (toleransi), kemanusiaan atau penghargaan atas hak-hak asasi manusia,

“kebebasan”, tanggung jawab, kebersamaan dan sebagainya. Secara substansif demokrasi

melampaui maknanya secara politis.31

Menurut Inu Kencana ada dua model demokrasi jika dilihat dari segi pelaksanaan,

yaitu demokrasi langsung (direct democracy) dan demokrasi tidak langsung (indirect

democracy).

Sebagai suatu sistem politik demokrasi juga mengalami perkembangan dalam

implementasinya. Banyak model demokrasi hadir di sini, dan itu semua tidak lepas dari

ragam perspektif pemaknaan demokrasi substansial. Menjadikan demokrasi berkembang ke

dalam banyak model, antara lain karena terkait dengan kreativitas para aktor politik di

berbagai tempat dalam mendesain praktik demokrasi prosedural sesuai dengan kultur,

sejarah, dan kepentingan mereka.

Sejarah teori demokrasi terletak suatu konflik yang sangat tajam mengenai apakah

demokrasi harus berarti suatu jenis kekuasaan rakyat (suatu bentuk politik di mana warga

negara terlibat dalam pemerintahan sendiri dan pengaturan sendiri) atau suatu bantuan bagi

pembuatan keputusan (suatu cara pemberian kekuasaan kepada pemerintah melalui

pemberian suara secara periodik).

32

31 Ni’matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010), hal 207 32

Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal 122

Demokrasi langsung terjadi bila rakyat mewujudkan kedaulatannya pada suatu

(20)

politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan

prosedur mayoritas.

Pada demokrasi langsung lembaga legislatif hanya berfungsi sebagai lembaga

pengawas jalannya pemerintahan, sedangkan pemilihan pejabat eksekutif (presiden, wakil

presiden, gubernur, bupati, dan walikota) dilakukan rakyat secara langsung. Begitu juga

pemilihan anggota parlemen atau legislatif (DPR, DPD, DPRD) dilakukan rakyat secara

langsung.

Demokrasi tidak langsung terjadi bila untuk mewujudkan kedaulatannya rakyat tidak

secara langsung berhadapan dengan pihak eksekutif, melainkan melalui lembaga perwakilan.

Pada demokrasi tidak langsung, lembaga parlemen dituntut kepekaannya terhadap berbagai

hal yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dalam hubungannya dengan pemerintah

atau negara. Demokrasi tidak langsung disebut juga dengan demokrasi perwakilan.

1.6.1.3 Ciri-ciri Demokrasi

Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara pada umumnya memberikan pengertian

bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok

yang mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijaksanaan tersebut dalam

menentukan kehidupan rakyat. Dengan demikian, negara demokrasi adalah bentuk atau

mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat

(kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.

Dilihat dari pemilihan umum secara langsung telah mencerminkan sebuah demokrasi

(21)

dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia. Menurut Sri Soemantri sebuah negara atau

pemerintah bisa dikatakan demokratis apabila mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:33

Proses demokratisasi dalam sebuah kasus dapat dikelompokkan kedalam tiga tipe proses

diantaranya yaitu:

1) Negara terikat pada hukum maksudnya bukan berarti bahwa kekuasaan negara terikat pada

hukum. Bukan seakan-akan negara hukum adalah sama dengan demokrasi. Negara hukum

tidak mesti negara demokratis. Pemerintahan monarki dapat taat pada hukum, tetapi

demokrasi yang bukan negara hukum bukan demokrasi dalam arti yang sesungguhnya.

Demokrasi merupakan cara paling aman untuk mempertahankan kontrol atas negara hukum

2) Kontrol efektif terhadap pemerintah oleh rakyat

3) Pemilu yang bebas

4) Prinsip mayoritas maksudnya adalah bahwa Badan Perwakilan Rakyat mengambil

keputusan-keputusannya secara sepakat atau jika kesepakatan tidak tercapai bisa dengan

suara terbanyak

5) Adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis

1.6.1.4 Mekanisme Demokrasi

34

a) Transformasi (reforma, dalam istilah Linz) terjadi ketika elite yang berkuasa

mempelopori proses perwujudan demokrasi. Pada tranformasi pihak-pihak yang

berkuasa dalam rezim otoriter mempelopori dan memainkan peran yang menentukan

dalam mengakhiri rezim itu dan mengubahnya menjadi sistem demokratis.

33

Ibid., 125.

34

(22)

Tranformasi mensyaratkan pemerintah lebih kuat dari pada oposisi. Dengan demikian,

tranformasi terjadi dalam rezim militer yang telah mapan dimana pemerintah

jelas-jelas mengendalikan alat-alat koersi yang utama kalau dibandingkan dengan pihak

oposisi dan atau dibandingkan dengan sistem otoriter yang sukses secara ekonomi.

Transformasi gelombang ketiga biasanya berkembang melalui lima fase utama, yang

empat diantaranya terjadi didalam sistem otoriter. Fase-fase tersebut yaitu;35

1. Munculnya kelompok pembaharu yaitu munculnya sekelompok pemimpin atau

orang-orang yang berpotensi menjadi pemimpin di dalam rezim otoriter yang percaya bahwa

gerakan ke arah demokrasi adalah sesuatu yang dikehendaki atau perlu.

2. Memperoleh kekuasaan. Para pembaharu demokratis tidak hanya harus ada dalam

rezim otoriter, mereka juga harus berkuasa dalam rezim itu.

3. Kegagalan liberalisasi

4. Mengikutsertakan kelompok oposisi. Kelompok pembaharu demokratis biasanya

segera memulai proses demokratisasi begitu mereka memegang kekuasaan. Lazimnya

hal ini melibatkan konsultasi dengan para pemimpin dari kelompok oposisi, partai

politik dam kelompok serta lembaga utama masyarakat.

b) Pergantian (replacement, atau ruktura dalam istilah Linz) terjadi ketika kelompok

oposisi mempelopori proses perwujudan demokrasi, dan rezim otoriter tumbang atau

digulingkan. Proses replacement ini terdiri dari tiga fase yang berbeda: perjuangan

untuk menumbangkan rezim, tumbangnya rezim dan perjuangan setelah tumbangnya

rezim.

c) Transplacement atau “ruptforma” terjadi apabila demokratisasi terutama merupakan

hasil tindakan bersama kelompok pemerintah dan kelompok oposisi. Pada tipe ini

demokratisasi merupakan hasil aksi bersama pemerintah dan kelompok oposisi. Di

35

(23)

dalam pemerintah itu keseimbangan antara kelompok konservatif dengan kelompok

pembaharu sedemikian rupa sehingga pemerintah bersedia merundingkan tetapi tidak

bersedia memprakarsai perubahan rezim, berbeda dengan situasi di mana dominasi

kelompok konservatif menimbulkan replacement. Pemerintah harus didorong dan atau

ditarik ke dalam perundingan formal atau informal dengan pihak oposisi. Di pihak

oposisi, kelompok moderat yang demokratis cukup kuat untuk mengendalikan

kelompok radikal atau anti demokrasi, tetapi mereka tidak cukup kuat untuk

menggulingkan pemerintah. Karena itu mereka melihat faedah perundingan.

Dialektika transplacement sering melibatkan langkah-langkah dalam urutan yang

berbeda satu sama lain. Pertama, pemerintah sibuk dengan liberalisasi dan mulai

kehilangan kekuasaan dan otoritasnya. Kedua, pihak oposisi mengeksploitasi pelonggaran

ini dan memanfaatkan melemahnya pemerintah untuk memperluas dukungan dan

mengintensifkan kegiatannya dengan harapan dan perkiraan bahwa mereka akan segera

mampu menjatuhkan pemerintah. Ketiga, pemerintah bereaksi keras dengan membendung

dan menekan upaya pihak oposisi memobilisasi kekuasaan politik. Keempat, pemerintah

dan para pemimpin oposisi menyadari munculnya kekuatan tandingan untuk mengadakan

transisi yang disetujui kedua belah pihak.

Dengan demikian, proses politik yang mengarah pada tranplacement, sering ditandai

oleh tarik menarik antara pemogokan, protes dan demonstrasi di satu pihak dengan

represi, pemenjaraan, tindak kekerasan oleh polisi, keadaan darurat, hukum darurat

(24)

1.6.2 Kerangka Dasar Gerakan Politik Islam

Pada dasarnya Allah telah memberikan ruang lingkup yang sangat luas bagi

hambaNya untuk melaksanakan segala aktifitasnya sebagai kodrat manusia dalam rangka

mengabdi pada Sang Pencipta. Kewenangan yang diberikan Allah kepada hambaNya melalui

al-Qur’an tidak hanya terbatas pada penerapan pada hukum-hukum Allah, tetapi juga

kewenangan membuat aturan-aturan hukum berkenaan dengan hal-hal yang tidak diatur

syari’ah secara tegas dan rinci, politik salah satunya. Dalam Islam cita-cita politik yang

dijanjijan Allah kepada orangorang beriman dan beramal sholeh dalam al-Qur’an adalah (1)

terwujudnya sebuah sistem politik (2) berlakunya hukum Islam dalam masyarakat secara

mantap (3) terwujudnya ketentraman dalam kehidupan masyarakat. Cita-cita politik tersebut

ini tersimpul dalam ungkapan . Baldatu Thayyibatun Warabbun Ghofur yakni negeri yang

baik dan Tuhan yang pengampun, yang mengandung konsep ”Negeri sejahtera dan

sentosa”.36

Pada dasarnya, mendirikan pemerintah Islam merupakan suatu kebutuhan Islami dan

Insani yang akan menyuguhkan kepada manusia contoh hidup tentang kesatuan agama dan

dunia, kemanunggalan moral dan materil, serta keserasian antara kemajuan peradaban dengan

keluhuran moral. Dengan demikian fungsi dari pemerintahan Islam adalah untuk

melestarikan dan mengembangkan ajaran Islam, menjadikan Islam sebagai akidah dan sistem,

ibadah dan moral, serta sebagai nilai-nilai kehidupan dan peradaban.

37

Sedangkan tujuan dari pemerintahan Islam itu sendiri adalah untuk mencapai

terciptanya identitas Islam dalam masyarakat. Artinya seluruh aspek kehidupan perorangan

maupun pemerintahan harus berpijak pada prinsip-prinsip nilai Islam. Pijakan itu diwujudkan

36 Abdul Muin Salim, Konsepsi kekuasaan Politik Dalam Al-Quran, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002,

hal. 290-291.

37

(25)

dalam pengikatan diri (commitment) terhadap peraturan-peraturan hukum dan sebagai

aplikasi dari ajaran Islam.38

Menurut al-Mawardi, secara garis besar tugas dan tujuan pemerintahan Islam adalah

melaksanakan sepenuhnya syari'ah Islam yang bersumber pada al- Qur'an dan as-Sunnah,

untuk menjaga tegaknya agama dan menangani seluruh masalah kehidupan.39

Untuk dapat mengondisikan suatu negara agar sistem negara lebih baik dan

merealisasikan ketertiban, al-Mawardi mengemukakan bahwa perlu adanya Imamah

(pemimpin) atau Khalifah. Imamah atau Khalifah adalah pengganti posisi nabi untuk menjaga

kelangsungan agama dan urusan dunia. Secara tersirat bahwa bentuk negara yang ditawarkan

al-Mawardi lebih kepada Teokrasi, yakni menjadikan agama dan Tuhan sebagai pedoman

dalam bernegara. Bahwa pemerintahan merupakan sarana untuk menegakkan hukum-hukum

Allah, sehingga pelaksanaannya pun berdasar dan dibatasi oleh kekuasaan Tuhan. Berarti

mengurus segala tugas dan kewajiban sesuai dengan ajaran dan hukum Islam seperti

memelihara iman, menegakan supremasi hukum, mengatur keamanan wilayah hingga

penduduk bisa merasakan hidup tentram dan aman, menjaga perbatasan negara dengan

berbagai peralatan yang dimiliki, melindungi serta melayani hak-hak perorangan maupun

kolektif, memungut pajak dan mengumpulkan zakat, mengatur anggaran belanja untuk gaji

karyawan atau pejabat, mengangkat pegawai berdasarkan kompetensi yang dimiliki serta

mengawasi tugas-tugas seluruh personal terutama menguji para pelaksana tugas-tugas

kemasyarakatan.

40

38

Mohammad S. Elwa, Sistem Politik dalam Pemerintaha Islam, terj. Anshori Thalib, Surabaya: Bina Ilmu, 1983, hal. 103

39 Ali bin Muhammad Habib al-Bashri al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyah, Surabaya: Syirkah Bngil Indah, tt.,

hal. 5.

40

Ibid., hal. 29.

Sepanjang perjalanan sejarah kenegaraan Indonesia, ada beberapa upaya yang dilakukan

(26)

mengimplementasikan syari'at Islam. Gerakan-gerakan seperti itu tidak jarang berupaya

mencapai tujuannya dengan melakukan pemberontakan bersenjata terhadap pemerintah

Indonesia atau menggunakan cara-cara kekerasan.41

Danial Pipes mengatakan bahwa kebangkitan Islam adalah sebuah kekuatan yang

melakukan kegiatan dengan militan, serta didorong oleh kebencian terhadap

pemikiran-pemikiran barat. Hal serupa diungkapkan oleh Moltimer Suckerziman, dengan menyatakan

bahwa: "Kita sedang berada digaris depan pertempuran yang telah ada sejak ratusan tahun

lamanya. Sebuah rintangan besar bagi para ekstrimis yang ingin membenamkan nilai-nilai

barat yang dinilai jahat itu ke dalam laut, seperti yang pernah mereka lakukan terhadap para

pejuang kristen.

Gerakan politik dewasa ini seringkali mendapatkan tanggapan negatif dari berbagai

kalangan baik dari pihak Islam sendiri maupun dari pihak non-Islam. Pasalnya, gerakan Islam

terkesan kurang menjunjung nilai "Demokrasi" atau lebih menunjukkan sikap militansinya

atau fundamentalis dan konservatifnya. Anggapan semacam ini tidak selamanya dapat

diterima, sebab sebuah gerakan hanya dapat menilai secara obyektif jika Islam dapat

dipahami secara luas, mendalam dan benar. Di samping itu juga ditentukan oleh sejauh mana

dalam melakukan interaksi dengan pelaku-pelaku gerakan Islam. Pandangan yang bernada

minor terhadap gerakan Islam dilontarkan terutama oleh kalangan barat,yang secara umum

baru diakui secara meluas oleh dunia barat pada dekade terakhir.

42

Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pertentangan persepsi antara dunia Barat dengan

dunia Islam. Dengan demikian teori sekulerisme menjadi faktor esensial dalam menelusuri

akar-akar kelahiran gerakan politik Islam di negara-negara yang mayoritas Islam, termasuk

41

Taufiq Adnan Amal, dkk, "Politik Syariat Islam" dari Indonesia Hingga Nigeria, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004, hal. 65.

42

(27)

Indonesia yang menjadi pembahasan dalam skripsi ini. Meskipun, tentu saja terhadap

faktor-faktor lain yang menjadi penyebab berkembangnya pergerakan Islam politik. Namun pada

akhirnya adalah bahwa sekulerisme yang substansi teorinya, memisahkan antara agama dan

dunia, agama dengan negara atau memisahkan politik dengan agama secara total, merupakan

sentral pertentangan karena bertolak belakang dengan pandangan hidup Islam.

Hampir semua pembahasan pergerakan Islam menemukan titik terang bahwa

sekulerisme adalah masalah yang sangat krusial dalam tubuh umat Islam di era modern.

Karenanya jika seorang pengkaji atau peneliti tentang sejarah keruntuhan Islam dewasa ini,

umumnya tidak pernah lepas dari sorotan kepada negara Indonesia yang memang

diundang-undangkan sebagai negara sekuler pasca kemerdekaan.

Bagi umat Islam, kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan hal yang sangat

disyukuri dan ditunggu-tunggu. Umat Islam memang memiliki legitimasi historis untuk

merasa paling berkepentingan dengan kemerdekaan tersebut. Pertama, Sebagian besar

wilayah nusantara dihuni oleh umat Islam dan hampir disemua wilayah yang mayoritas umat

Islam terjadi perlawanan yang sangat gigih terhadap penjajah. Misalnya, perang Aceh, perang

di Jawa pada umumnya, perang di Kesultanan Palembang, Kesultanan Banjarmasin, Kerajaan

Gowa dan Tallo dan lain-lainnya. Kedua, Ajaran Islam sangat berkepentingan dengan

pelaksanaan Syari'at Islam secara bebas dan diatur oleh orang Islam sendiri. Itu berarti bahwa

umat Islam harus memiliki kemerdekaan sendiri dan tanah air sendiri yang berdaulat. Ketiga,

Para penjajah yang menyengsarakan rakyat jelas-jelas dalam pandangan Islam adalah kafir.

Berjuang memerdekakan diri dari orang kafir adalah sebuah jihad yang besar dan mulia.

(28)

penyelesaian terbaik bagi bangsa ini, maka umat Islam-lah yang akan mendapatkan kebaikan

yang lebih banyak.43

Teori politik Islam memiliki konsep dasar Al Ahlak asiyasah Al Islami yang

menyatakan bahwa “kedaulatan ada di tangan Allah SWT”, bukan di tangan manusia. Dalam

teori ini juga dijelaskan bahwa Islam bukanlah semata agama (a religion) namun ia

merupakan sistem politik (a political system),

1.6.3 Teori Politik Islam

44

Pertama: Tidak seorang pun, atau sekelompok orang, atau bahkan seluruh penduduk suatu

negara yang dapat melakukan klaim atas kedaulatan. Hanya Allah saja yang memegang

kedaulatan dalam arti sebenarnya. Seluruh manusia hanyalah pelaksana kedaulatan Allah. karena itu Islam harus menjadi sistem yang

bisa memenuhi hak-hak perlindungan, jaminan kebutuhan primer, dan kebebasan

berpendapat.

Teori ini agak menolak teori kedaulatan rakyat, bukan karena banyaknya bukti yang

berserakan mengenai penyelewangan pada praktek demokrasi, tapi lebih kepada ayat-ayat

Al-Qur’an yang menyatakan bahwa “kedaulatan tertinggi ada di tangan Allah SWT”(QS.Yusuf :

40). Selain itu juga, Allah berhak membentuk hukum bagi manusia, yang menentukan halal

dan haram. Hukum dalam teori ini tentunya bukan hukum administratif melainkan hukum

yang dimaksud adalah norma. Dalam hal ini manusia tentu saja boleh membuat suatu

peraturan serinci mungkin, selama tidak bertentangan dengan ajaran Allah SWT.

Teori politik Islam mempunyai beberapa prinsip mengenai kedaulatan tertinggi yang

ada pada Allah begitu juga pembuat hukum, adapun yang dimaksud, yaitu;

43

Djayadi Hanan, Gerakan Pelajar Islam; dibawah Bayang-bayang Negara, Yogyakarta: UII Press, 2002, hal. 48

44

(29)

Kedua: Allah adalah pencipta hukum yang sebenarnya, sehingga Dia sajalah yang berhak

membuat legislasi secara mutlak. Manusia diperkenankan membuat legislasi sepanjang

legislasi itu tidak bertentangan dengan legislasi dasar yang berasal dari wahyu. Maka, kita

tidak dapat melakukan modifikasi atas hukum yang telah Allah SWT tetapkan, walaupun

rencana modifikasi itu disetujui secara aklamasi oleh seluruh anggota Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR).

Ketiga : Suatu pemerintahan yang menjalankan peraturan-peraturan dasar dari Allah

sebagaimana diterangkan oleh nabi-Nya wajib memperoleh ketaatan rakyat karena

pemerintahan seperti itu ada pada prinsipnya bertindak sebagai badan politik yang

memberlakukan peraturan-peraturan Allah.45

Kehidupan berpolitik dan bernegara ini kita sangat dan tetap memerlukan Tuhan. Bila

norma Tuhan itu disingkirkan maka negara akan diolah dengan cara semau kita, sesuai

ambisi, nafsu, dan kecenderungan gila kekuasaan yang ada dalam diri manusia. Ada

batas-batas yang ditetapkan oleh Allah SWT demi keselamatan umat manusia dan mutlak kita

perlukan. Batas-batas ini yang dalam Al-Qur’an dinamakan Huudud ( ketentuan ) Allah berisi

tentang prinsip-prinsip yang jelas check and balances, dan perintah-perintah khusus dalam

berbagai dimensi kehidupan yang semuanya diberikan oleh Allah untuk manusia agar bisa

tercipta kehidupan yang seimbang wajar dan sehat baik spiritual dan material. Apabila

batas-batas ini diterjang maka seluruh bangunan kehidupan manusia akan ambruk dengan Teori ini menyatakan bahwa dalam Islam tidak dapat dan tidak boleh menggunakan

kedaulatan dengan sebebas-bebasnya karena ada peraturan dari Allah SWT, norma dan nilai

Ilahi itu harus dipatuhi dan dalam perkembangannya sekarang ini, norma dan ilahi itulah

yang menjadi pegangan dan paradigma dalam tindakan sosial, politik, dan ekonomi.

45

(30)

sendirinya. Suatu pemerintahan yang ingin mencapai tujuan-tujuan luhurnya harus

mengindahkan batas-batas tersebut. 46

Berangkat dari uraian serta penjelasan tujuan penelitian maupun kerangka teori di

atas, penelitian ini memiliki metode deskriptif (melukiskan), dimana penelitian deskriptif

merupakan suatu cara yang digunakan untuk memecahkan masalah yang ada pada masa

sekarang berdasarkan fakta dan data-data yang ada. Penelitian ini memberikan gambaran

yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena.

Berdasarkan hal tersebut, dengan kaitannya Islam dan politik tentu saja tidak lepas

dari norma dan aturan dari Allah SWT, norma-norma itulah yang mendorong untuk

membentuk suatu partai politik yang kemudian bercita-cita mensejahterahkan kehidupan

masyarakat dengan mencalonkan diri sebagai pemimpin untuk masyarakat dan tetap

berpegang teguh pada prinsip-prinsip Islam seperti yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an.

1.7 Metodologi Penelitian

1.7.1 Metode Penelitian

47

Tujuan dasar penelitian deskriptif

ini adalah membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat

mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.

46

Ibid.,

47

(31)

1.7.2 Jenis Penelitian

Berdasarkan metode yang dipakai maka penelitian ini menggunakan penelitian

kualitatif yang bersifat deskriptif. Langkah pertama yang dilakukan oleh peneliti dalam

penelitian ini ialah mendeskripsikan paradigma penerimaan demokrasi Partai Keadilan

Sejahtera dan Hizbut Tahrir Indonesia dengan menggunakan teori politik islam dan teori

demokrasi.

1.7.3 Objek Penelitian

Dalam Penelitian ini, yang menjadi objek penelitian adalah Partai Keadilan Sejahtera

(PKS) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

1.7.4 Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data atau informasi yang dibutuhkan, penulis menggunakan teknik

pengumpulan data sebagai berikut:

a. Library Research adalah metode penelusuran terhadap sumber-sumber tertulis tentang

suatu pemikiran atau fenomena.48

b. Metode interview wawancara adalah tanya jawab sepihak yang dikerjakan dengan

sistematik dan berlandaskan kepada tujuan penelitian.

Metode ini penulis gunakan untuk menggali

pemikiran Hizbut Tahrir Indonesia dan Partai Keadilan Sejahtera yang terdapat dalam

buku primer maupun sekunder.

49

48

Sutrisno Hadi, Metodologi Reseach, Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, 1995, hal. 5.

49

Lexy J. Moleong, Metode penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Rosdakarya, 2001, hal. 135

Wawancara ini dilakukan

(32)

bertanya langsung kepada responden tentang pemikiran dan gerakan politik Partai

Keadilan Sejahtera dan Hizbut Tahrir Indonesia sekaligus mengkonformasi data yang

penulis peroleh dari sumber tertulis. Wawancara penulis lakukan dengan pengurus

Hizbut Tahrir Indonesia dan Partai Keadilan Sejahtera maupun orang yang pernah

berkecimpung langsung dengan HTI dan PKS untuk menggali informasi tambahan

tentang pemikiran dan gerakan politik HTI dan PKS.

1.7.5 Teknik Analisa Data

Setelah data-data diperoleh dari data primer maupun sekunder, selanjutnya akan

dianalisis menggunakan metode deskriptif analisis, fenomenologis, content analysis dan

komparatif.

a. Deskriptif analisis

Deskriptif analitis yaitu penyajian data guna menjelaskan suatu pemikiran atau fakta

apa adanya.50

Fenomenologis adalah suatu penelitian yang berusaha memahami arti peristiwa dan

kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu,

Metode ini digunakan untuk menyajikan profil, aktifitas HTI dan PKS dalam

kontribusi kepada bangsa Indonesia yang penulis tuangkan dalam bab II.

b. Fenomenologis

51

atau dengan kata

lain memaparkan data-data serta menguraikannya secara teratur, sehingga didapat

pemahaman data yang valid dan tidak lepas dari sumber data.52

50 Sumadi Suryabrata, Metode Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. ke 12, 1998, hal. 18 51

Lexy J. Moleong, op. cit., hal. 9.

52

Ibid, hal. 19.

Dengan metode ini penulis

(33)

didalam aspek yang diselidiki agar jelas keadaan dan kondisinya.53

Content analisis adalah metode untuk menganalisis keseluruhan makna yang

terkandung dalam data.

Sehingga untuk

memahami sebuah fenomena konsep pergerakan yang ditawarkan lebih mudah.

c. Content Analisis

54

Komparasi adalah suatu upaya pemaknaan dengan langkah membandingkan antara

satu gagasan dengan gagasan yang lain.

Langkah-langkah yang ditempuh sebagai berikut:

menginventarisasi pokok-pokok pikiran Hizbut Tahrir Indonesia dan Partai Keadilan

Sejahtera yaitu mengenai Kedaulatan, Pemilihan Umum (Pemilu), Negara Hukum, dan

Sistem Demokrasi. Selanjutnya menilai data terkait, mengidentifikasikan dan memadukan

konsep-konsep yang digunakannya yang penulis tuangkan dalam bab III.

d. Komparasi

55

Langkah ini merupakan suatu upaya guna

mengetahui relevan dan tidaknya suatu upaya atau setrategi dan gerakan politik Hizbut Tahrir

Indonesia dan Partai Keadilan Sejahtera dalam kancah perpolitikan di Indonesia

53 Hadati Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1993, hal. 63. 54

Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi IV, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2002, hal. 68-69.

55

(34)

1.8 Sistematika Penulisan

Dalam suatu penelitian, perlu adanya sistematika penulisan agar dapat diperoleh suatu

gambaran yang jelas dan terperinci. Adapun yang menjadi sistematika penulisan dalam

penelitian ini adalah :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah,

batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori,

metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN

Bab ini penulis akan menjelaskan profil dan gambaran umum dari

Partai Keadilan Sejahtera dan Hizbut Tahrir Indonesia.

BAB III : PARADIGMA PENERIMAAN DEMOKRASI PKS DAN HTI

Pada bab ini penulis akan menjelaskan paradigma penerimaan

demokrasi PKS dan HTI melalui pendekatan kedaulatan, sistem

demokrasi, pemilihan umum, dan hukum negara.

BAB IV : KESIMPULAN

Merupakan bab penutup, yang berisikan kesimpulan dari seluruh

penelitian serta saran-saran. Pada bagian pembahasan skripsi disertai

Referensi

Dokumen terkait

PEI.,AKSANAAN PERATURAN DAERAH TINGKAT I BENGKULU NOMOR 2 TAHUN 1994 TENTANG PENERIMAAN SUMBANGAN DARI PIHAK KETIGA KEPADA PEMERINTAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I

Hasil pengamatan dan catatan dari mitra kolaborasi menunjukkan masih banyak siswa yang kuranag mampu memberikan banyak gagasan dan usul terhadap suatu masalah,

Hasil penelitian menunjukan bahwa berdasarkan data tahun 2015 pelayanan pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Aceh Besar memiliki kecendrungan masuk ke daerah efisiensi dengan

Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak daun inai (Lawsonia inermis L.) berpengaruh sangat nyata pada taraf uji 5% terhadap tingkat kelangsungan hidup ikan

KI 2: Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan

[r]

superior.Meski di sebagian masyarakat mungkin tidak secara eksplisit dinyatakan, tetapi sejumlah indikasi memperlihatkan bahwa dalam banyak hal memang posisi kaum lelaki

 Dengan bimbingan dan arahan guru, peserta didik mempertanyakan antara lain perbedaan antar berbagai ungkapan sapaan, pamitan, ucapan terimakasih, dan permintaan maaf dalam