BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Gagasan mengenai demokrasi berawal dari kebudayaan Yunani Kuno dan gagasan
mengenal kebebasan beragama yang dihasilkan oleh aliran reformasi serta perang-perang
agama yang menyusulnya. Sistem demokrasi yang terdapat di negara kota (city state) Yunani
Kuno (abad ke 6 sampai abad ke 3 SM) merupakan demokrasi langsung (direct democracy)
yaitu suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik
dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan proses
mayoritas. Miriam Budiardjo berpendapat bahwa gagasan demokrasi boleh dikatakan hilang
memasuki abad pertengahan (600-1400) yang masyarakat bercirikan masyarakat feodal.1
Perkembangan demokrasi yang terpenting pada abad pertengahan menghasilkan suatu
dokumen yang penting, yaitu Maghna Charta (Piagam Besar 1215) Maghna Charta
merupakan semacam kontrak antara beberapa bangsawan dan Raja John dari Inggris. Piagam
ini dianggap tonggak dalam perkembangan gagasan demokrasi. Perkembangan lainnya di
Eropa Barat, yaitu adanya Renaissance yang merupakan aliran yang menghidupkan kembali
minat kepada kesusastraan dan kebudayaan Yunani kuno yang selama abad pertengahan telah
disisihkan. Berawal dari hal tersebut timbullah gagasan mengenai adanya kebebasan
beragama serta perlu adanya garis pemisah antara soal-soal agama dan soal-soal
keduniawian, khususnya masalah pemerintahan.2
1
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik , Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, hal.53
2
Ibid., hal.54-55
Pertentangan terhadap monarki absolute didasarkan pada mata teori rasionalistis yang
umumnya dikenal sebagai social contract (kontrak sosial). Pada hakekatnya kontrak sosial
merupakan usaha untuk mendobrak dasar dari pemerintahan absolute dan menetapkan
hak-hak politik rakyat. Filsuf yang mencetuskan gagasan ini adalah John Locke, bahwa hak-hak-hak-hak
politik menurutnya yaitu hak atas hidup, hak atas kebebasan dan hak mempunyai milik.
Sedangkan Montesque mencoba menyusun suatu sistem yang dapat menjamin hak-hak
politik, yang dikenal dengan nama Trias Politica. 3
Dalam bukunya yang berjudul Politics, Aristoteles (384-322) menyebut demokrasi
sebagai “politea atau republik”.
Akibat dari pergolakan tersebut di atas, maka pada akhir abad ke-19 gagasan
mengenai demokrasi mendapat wujud yang konkrit sebagai program dan sistem politik.
Demokrasi dalam bentuknya sekarang ini dimulai sejak munculnya revolusi Amerika pada
tahun 1776 dan revolusi pada tahun 1776 dan revolusi pada tahun 1879. Bertolak dari
pemikiran tentang hak-hak politik rakyat dan pemisahan kekuasaan tersebut terlihat
munculnya ide pemerintahan rakyat atau demokrasi.
4
Politea dipandang sebagai bentuk negara paling baik dalam
politik. Adapun yang dimaksudkan dengan politea adalah “demokrasi moderat”, yaitu
demokrasi dengan undang-undang dasar atau demokrasi konstitusional. Tiga sumbangan
Aristoteles yang tertanam di jantung demokrasi adalah : kebebasan pribadi, pemerintahan
berdasarkan undang-undang dasar (konstitusi), dan pentingnya kelas menengah yang besar
sebagai pemegang tampuk kekuasaan. 5
3
Ibid., hal.55-56
4 Diane Revich dan Abigail Thernstrpom (eds.), Demokrasi : Klasik dan Modern, terj.Hermoyo, Jakarta: Yayasan
Obor , 1997, hal.13
5
Ibid., hal. 11-20
Dari sini bisa kita tangkap bahwa pemerintahan oleh
rakyat yang dimaksud adalah pemerintahan oleh rakyat melalui mekanisme perwakilan
bersamaan, kemungkinan ia hanya bisa menduduki satu posisi tertentu dalam waktu yang
tertentu (terbatas) pula. Sebab, bila semua orang berhak untuk menjadi pemerintah maka
diperlukan adanya pembatasan masa jabatan sehingga memungkinkan bagi setiap orang
menjadi pemerintah. Aristoteles memandang bahwa orang yang berasal dari kelas
menengahlah yang paling tepat untuk menduduki posisi penting dalam pemerintahan. Sebab,
menurutnya orang-orang dari kelas menengah mempunyai kecakapan lebih dibanding
kelas-kelas lain. 6
Demokrasi secara etimologis terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa yunani
yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau “cratos”
yang berarti kekuasaan atau kedaulatan, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan rakyat,
rakyat berkuasa, dan pemerintahan rakyat dan kekuasaan dari rakyat.
7
secara terminologis,
demokrasi menurut Joseph A. Schmeter adalah suatu perencanaan institusional untuk
mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan yang penting
secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan
secara bebas dari rakyat. 8 Pendapat lain seperti dinyatakan Henry B. Mayo, demokrasi
merupakan sistem politik yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar
mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam
pemilihan-pemilihan, yang didasarkan atas prinsip-prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam
suasana terjaminnya kebebasan politik. 9
Dalam perkembangannya teori dan praktek politik pada masa kini, defenisi dan
kriteria tentang demokrasi pun mengalami perkembangan, misalnya yang dikemukakan oleh
6
Aristoteles membagi masyarakat menjadi tiga kelas yaitu kelas yang sangat kaya, kelas miskin dan kelas menengah. Lebih lengkapnya lihat Ibid.,hal.11-20
7
M.Arskal Salim, Pendidikan Kewargaan (Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani), Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000, hal.161
8
Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogyakarta: Gema Media, 1999, hal.8
9
Phillipe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl. Kedua ilmuwan politik ini memberikan
karakteristik demokrasi sebagai sistem politik yang tidak otokratis, otoriter, despotis, tirani,
totaliter, absolute, tradisional, monarki, oligarki, dan aristokratis. 10
Defenisi dari demokrasi mempunyai makna yang tidak sama, akan tetapi pada
dasarnya mempunyai prinsip-prinsip yang sama. Dilihat dari sejarahnya, Islam tidak
mengenal demokrasi (ala barat) sebelum adanya benturan kebudayaan antara islam dan barat
yang diawali dari zaman kolonialisme dan imprealisme, kemudian diikuti dengan kemajuan
teknologi dan informasi dimana setiap orang mampu mengakses informasi secara cepat kapan
saja dan dimana saja. Perbenturan antara Islam dan postulat-postulat demokrasi tersebut
disebabkan karena sifat umum islam sebagai agama.
Dewasa ini sistem
demokrasi merupakan sistem yang telah diterima oleh sebagian besar negara di dunia,
meskipun dalam pelaksanaannya disertai dengan interpretasi atau modifikasi konsep sesuai
dengan budaya masing-masing negara. Yang jelas kini demokrasi tidak hanya merupakan
bentuk kelembagaan trias politika atau sebuah model pemerintahan mayoritas melalui
partisipasi politik rakyat dan kompetensi bebas, tetapi juga mengandung nilai-nilai universal,
terutama persamaan, kebebasan dan pluralisme.
11
Pandangan pertama yang menolak demokrasi, pandangan ini menyatakan bahwa
antara islam dan demokrasi merupakan dua hal yang sama sekali berbeda. Antara keduanya
tidak dapat dipersatukan, bahkan saling bertolak belakang. Demokrasi merupakan sesuatu Belum adanya kesepahaman mengenai
relasi Islam dan demokrasi di kalangan umat islam, memunculkan pro dan kontra di kalangan
tokoh-tokoh islam itu sendiri menilai demokrasi dalam islam. Ada tiga kelompok atau
pandangan yang berkembang di dunia muslim.
10
Philipe Schmitter dan Terry Lynn Karl, What Democracy Is…….. And Is Not, dalam Jurnal Of Democracy, Vol.12, No.3 Summer,2001,hal.76
11
yang mesti ditolak, karena merupakan sesuatu yang impossible, dan bahkan merupakan
ancaman yang perlu untuk dihindari. 12 tokoh atau ulama yang masuk dalam kategori ini,
seperti; Syaikh Fadhallah Nuri dan Muhammad Husain Thaba’thaba’I dari Iran, Sayyid Qutb
(1906-1966) dan Al-Sya’rawi dari Mesir, Ali Benhaj dan Abdelkader Moghni dari Aljazair,
Hasan Al-Thurabi dari Sudan, dan Adna Aly Ridha Al-Nahwy, Abd Qadim Zullum. 13 Aliran
ini muncul pada tahun 1905-1911 di iran selama berlangsungnya gerakan konstitusional.
Syah Fadlallah Nuri selama debat tentang formulasi konstitusi mengatakan, suatu kunci
gagasan demokrasi, persamaan semua warga negara, adalah “impossible” dalam islam. 14
Pendapat serupa juga diungkapkan Sayyid Qutb, pemikir dan tokoh Ikhwanul Muslimin,
yang menyatakan bahwa segala bentuk gagasan tentang kedaulatan yang berada di tangan
rakyat adalah tidak mungkin karena hal itu merupakan pelanggaran terhadap Tuhan. Sayyid
Qutb melihat bahwa di dalam sebuah negara Islam haruslah berlandaskan pada musyawarah,
karena ia percaya bahwa islam mencakup tentang sistem pemerintahan, seperti syari’ah. Ia
percaya syari’ah sebagai sebuah sistem hukum dan sistem moral sudah sangat lengkap,
sehingga tidak ada legislasi lain yang mengatasinya. 15
Pandangan kedua adalah kelompok moderat yang menyatakan Islam bisa menerima
adanya hubungan dengan demokrasi. Di satu sisi islam memiliki persamaan dengan
demokrasi, namun disisi lain juga ada perbedaan. Islam bisa menerima hubungan demokrasi,
akan tetapi dengan beberapa catatan penting. Pandangan ini tidak sepenuhnya menolak dan
tidak sepenuhnya menerima hubungan demokrasi.
16
12
Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan Historis, Jakarta: Gaya Media Pratama,2002, hal.47
13
Ibid.,hal.47
14
John L. Esposito dan Piscatori, Islam dan Demokrasi alih bahasa Nurul Agustina, Islamika No.4.April-Juni, 1994 hal.19
15 Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi, hal.48 16
Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais, Teraju, 2005, hal.8-9
dalam kelompok ini adalah ‘Abu Al-A’la Al-Maududi dan Muhammad Iqbal (1876-1938)
dari Pakistan, Imam Khomeini dari Iran, serta Muhammad Dhiya Al-Din Rais dari Mesir.
Pandangan ketiga adalah kelompok yang pro demokrasi berbeda dari uraian di atas ,
kelompok pemikran ketiga ini melihat bahwa Islam di dalam dirinya demokratis karena
menerima sepenuhnya demokrasi sebagai sesuatu yang universal. Aliran ini menyatakan
bahwa tidak ada pemisahan antara Islam dan demokrasi. Demokrasi inhern atau bagian
integral dari islam dan oleh karenanya demokrasi tidak perlu dijauhi dan malah menjadi
bagian dari urusan islam. Islam di dalam dirinya demokratis tidak hanya karena konsep
musyawarah (syura), tetapi ia juga mencakup tentang persetujuan (ijma’) dan penilaian
interpretatif yang mandiri (ijtihad).17 Pemikir-pemikir islam yang termasuk dalam pandangan
ini diantaranya : Muhammad Abduh (1845-1905), Rasyid Ridha (1865-1935), Syaikh
Muhammad Syaltut, Ali Abd Al-Razzaq (1888-1966), Khalid Muhammad Khalid,
Muhammad Husain Haikal, Toha Husain (1891), Zakaria Abd Mun’im Ibrahim Al-Khatib
Mahmud Aqqad, Muhammad Imarah dari Mesir, Sadek Jawad Sulaiman dari Oman,
Mahmoud Mohamed Taha dan Abdullahi Ahmad Al-Na’im dari Sudan, Bani Sadr dan Mehdi
Bazargan dari Iran, Abbasi Madani dari Aljazair, dan Hasan Al-Hakim dari Uni Emirat Arab,
Fazlur Rahman pemikir Pakistan yang menetap di Amerika Serikat, dan beberapa pemikir
dari Indonesia, seperti Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid.18
Dalam konteks Indonesia, perjalanan sejarah bangsa sejak kemerdekaan hingga
sekarang ada empat model demokrasi yang pernah diterapkan dalam ketatanegaraan
Indonesia, yaitu Demokrasi Liberal, Demokrasi terpimpin, Demokrasi Pancasila, dan
Demokrasi Langsung pada Era Reformasi. Pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia, syariat
Islam sempat menjadi acuan dalam kehidupan bernegara, umat islam harus rela
17
John L. Esposito dan John O.Voll, Demokrasi, hlm.32
18
mengorbankan keinginan mereka dan menerima rumusan yang lain, yaitu Ketuhanan Yang
Maha Esa. Memang sebagaimana pandangan para tokoh Islam, rumusan tersebut
mencerminkan ekspresi tauhid umat Islam. Namun ada saja rasa kurang puas dari sebagian
lainnya, sehingga mereka berupaya secara terus menerus untuk memperjuangkannya. Maka
mau tidak mau kita pun masuk ke dalam masa perjuangan wakil-wakil Islam memasukkan
Islam ke dalam rumusan konstitusi.
Era Demokrasi Liberal ditandai dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah No.X
pada 16 Oktober 1945 dan Maklumat 3 November 1945. Maklumat X berisi tentang
perubahan sistem pemerintahan Indonesia dari presidensial ke bentuk parlementer. Dengan
sistem parlementer ini, Indonesia mengalami gonta-ganti kabinet. Usia kabinet tidak bisa
bertahan lama, karena sering mengalami mosi tidak percaya di tengah perjalanan dan
akhirnya jatuh. Namun dalam sistem inilah Indonesia menampung banyak partai yang akan
ikut serta dalam pemilu 1955. Dalam sistem ini pula umat Islam mendapat kesempatan lagi
untuk memperjuangkan aspirasi mereka yang sebelumnya kandas oleh konsensus politik pada
1945. Pada 29 September 1955, pemilu pertama Indonesia dilaksanakam diikuti 39 Partai
Politik yang dipandang paling demokratis di Indonesia. Setidaknya ada tiga Ideologi yang
meraih suara terbesar dan akan bersaing di Konstituante nantinya yaitu Islam, Nasonalis, dan
Komunis. Dari kalangan Islam ada partai Masyumi, NU, PSII, Perti, dan PPTI dari kalangan
Nasionalis diwakili oleh PNI dan Komunis diwakili oleh PKI. Meskipun ada banyak Partai
Islam yang bersaing memperebutkan pengaruh saat itu, namun di Majelis Konstituante
mereka memiliki suara bulat untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Mereka
berhadapan dengan partai-partai nasionalis sekuler yang memperjuangkan Pancasila seperti
PNI, PSI, Partai Katolik, Parkindo, IPKI dan PKI.
Era Demokasi Terpimpin ditandai dengan keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli
negara. Dekrit Presiden dianggap sebagai usaha untuk mencapai jalan keluar dari kemacetan
politik (gagalnya konstituante dalam merumuskan UUD baru) melalui pembentukan
kepemimpinan yang kuat. Isi daripada dekret Presiden ini adalah menetapkan pembubaran
konstituante, kembali ke UUD 45, membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
(MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).19 Era ini dapat dianggap
sebagai masa-masa sulit bagi partai Islam. Setelah mengeluarkan Dekret , Soekarno yang
sudah terobsesi untuk menjadi penguasa mutlak di Indonesia memaksa pembubaran Partai
Masyumi pada 17 Agustus 1960. Partai Masyumi dipaksa membubarkan diri karena dianggap
oposisi dan menentang revolusi. Selain itu Masyumi juga dituduh sebagai dalang
pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di daerah, seperti Sumatera Barat, Aceh,
Sulawesi, dan Kalimantan. Apalagi daerah tersebut merupakan kantong-kantong Masyumi
dan ditambah tokoh Masyumi seperti Natsir Sjafrudin Prawiranegara dan Burhanudin
Harahap yang ikut dalam pemberontakan. Menurut Maarif, tuduhan itu tidak beralasan sama
sekali karena jauh sebelum pemberontakan mereka sudah tidak terlibat aktif dalam partai. 20
Pemberontakan bukan atas nama partai melainkan atas nama pribadi. Mereka memberontak
untuk tujuan supaya Soekarno menyadari kekeliruannya dan kembali ke jalan yang benar
dalam melaksanakan pemerintahannya. 21
Era Demokrasi Pancasila yang kita kenal dengan Orde baru muncul akibat adanya
berbagai penyelewengan dan permasalahan yang dialami bangsa Indonesia pada masa
berlakunya Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila. Era ini ditandai dengan
gagalnya G-30-S/PKI dan beralihnya kekuasaan dari tangan Soekarno ke Soeharto melalui
19
H.A. Notosoetardjo, Proses Kembali Kepada Jiwa Proklamasi 1945 Apakah Demokrasi Terpimpin itu?, Jakarta: Lembaga Penggali dan Penghimpun Sedjarah Revolusi Indonesia, 1964, hal.11-12
20
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan:Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1985 , hal.190
21 Ajip Rosidi, “Kebesaran Mohamad Natsir” dalam Endang Saifuddin Ansari dan Mohammad Amin Rais, eds,
Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar) serta menguatnya peran militer darlam
pemerintahan Indonesia. Pada awalnya Era ini memberikan sebersit harapan untuk kehidupan
bernegara yang normal termasuk bagi masyumi yang mengharapkan hidupnya kembali islam
politik di Indonesia. Namun pada perjalannya usaha untuk membangkitkan kembali Masyumi
ditolak mentah-mentah oleh pemerintah karena trauma dan takut akan terganggunya stabilitas
negara saat itu, upaya lain kemudian melalui usul untuk membuat Muhammadiyah menjadi
Partai Politik kemudian gagal. Pada akhirnya untuk mengakomodir kepentingan umat islam
dan golongan lainnya, pemerintah Orde baru mengeluarkan kebijakan penyederhanaan partai
(Fusi) dimana golongan Islam disederhanakan lewat Partai Persatuan Pembangunan (PPP),
Golongan Nasionalis lewat Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Golongan Karya (Golkar)
yang berafiliasi secara langsung dengan pemerintah.
Namun tidak selamanya pemerintahan Orde Baru kontra dengan Islam, di era 1970 an
Nurcholis Madjid mencoba mencairkan hubungan Islam dengan Negara dengan gagasannya
“Islam yes partai Islam no”. Bagi Cak Nur, partai Islam bukan satu-satunya alat untuk
memperjuangkan aspirasi umat Islam, ide tentang partai islam tidak lagi menarik dan
kehilangan dinamika. Ide ini melahirkan respons negatif dalam sebagian kalangan umat Islam
yang mengimpikan islam politik dalam perjuangan mereka. Namun begitu, pada era
1970-1980 an masa dimana sedang kuatnya pemerintahan Soeharto, banyak tokoh-tokoh Islam
yang muncul dan bergerak dari berbagai lapangan tanpa membawa atribut-atribut islam.
Setelah menamatkan pendidikannya di luar negeri dan kembali ke Indonesia tokoh-tokoh
tersebut dapat masuk ke sektor kehidupan public dan memegang jabatan strategis. Seperti
Abdul Gafur, Akbar Tandjung, Saleh Afif, Azwar Arnas, Mar’ie Muhammad dan lain-lain
yang merupakan tokoh-tokoh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Selain di eksekutif,
fenomena menarik lainnya terjadi pada awal 1990-an yaitu banyaknya aktivis muslim yang
tahun 1991 yang dipimpin oleh B.J. Habibie. Praktis sejak 1990-an tersebut islam dapat lebih
berperan tidak hanya sebagai penonton dalam setiap proses berbangsa dan bernegara, tetapi
juga ikut menentukan arah perjalanan bangsa. Dari perkembangan Orba selama 32 tahun
memang kita melihat gagasan dan perjuangan penerapan politik islam dalam lembaga politik
formal tidak dapat dilakukan secara leluasa. Strategi perjuangan yang menitikberatkan
perhatian pada “Islam Kultural” ternyata berhasil untuk terjalinnya saling pengertian antara
islam dan orba melalui usaha penghilangan stigma radikalisme politik islam yang dicitrakan
selama demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin.
Selanjutnya adalah Era Reformasi ditandai dengan runtuhnya kekuasaan Orde Baru
akibat instabilitas yang terjadi di dalam negeri yang menyebabkan munculnya aksi
mahasiswa untuk menuntut Soeharto mundur sebagai Presiden. Pasca mundur, Soeharto
kemudian digantikan oleh wakilnya yaitu B.J.Habibie dan menandai babak baru dibukanya
keran demokratisasi di Indonesia. hal itu dibuktikan dengan diselenggarakanya Pemilu secara
langsung. Kemudian muncullah berbagai macam partai politik yang merupakan elemen
penting dalam Pemilu. Tahun 1999 adalah Pemilu pertama Indonesia yang dilaksanakan
secara langsung dan diikuti oleh 48 Partai Politik. Dari 48 partai itu ada 16 Partai Islam atau
yang berbasis massa umat islam. Dengan jumlah yang sebesar itu, partai-partai islam
berusaha mendulang suara umat islam sebesar-besarnya. Namun pada Pemilu Legislatif
partai-partai Islam belum mendapatkan kursi yang banyak di parlemen. Hanya PPP,PKB, dan
PAN yang kemudian meraih kursi terbanyak dari partai-partai islam yang lain dan
merupakan 5 partai pemenang dalam Pemilu 1999.
Dalam perkembangan politik selanjutnya, pada saat Pemilihan Presiden RI di MPR
tahun 1999, partai Islam memiliki satu suara dalam poros tengah yang digalang oleh
lokomotif reformasi, Amien Rais untuk memenangkan Abdurrahman Wahid sebagai
itu yang diusung oleh PDI Perjuangan. Pada akhirnya melalui manuver politik yang
dilakukan Amien Rais dan Partai-Partai Islam lainnya, Gusdur keluar sebagai pemenang
dalam siding umum MPR 20 Oktober 1999 mengalahkan Megawati yang harus puas sebagai
Wakil Presiden. Kemenangan itu dipandang sebagai kemenangan sementara politik islam atas
kelompok nasionalis sekuler, karena beberapa tahun berselang Presiden Abdurrahman Wahid
lengser dari jabatannya akibat dari gaya kepemimpinan dan kebijakannya yang kontroversial.
Mulai dari sikapnya yang sering plesir keluar negeri di saat kondisi politik dalam negeri tidak
stabil, sampai dikeluarkannya dekrit oleh Gusdur untuk membubarkan DPR yang dianggap
ingin melengserkan dirinya. Puncaknya terjadi pada 23 Juli 2001 dimana pada hari yang sama
dengan dikeluarkannya dekret presiden, MPR membuka sidang istimewa dengan agenda
pemungutan suara untuk menerima atau menolak dekret. Dan hasilnya dari 601 orang
anggota yang hadir, 599 di antaranya menolak dekret. Hari itu jugalah Gusdur mengakhiri
jabatannya sebagai Presiden RI dan digantikan oleh Megawati. Impeachment terhadap
Gusdur dianggap sebagai kegagalan politik islam.
Meskipun mendapat tentangan dan kritikan dari berbagai kalangan, Megawati
menjalankan pemerintahan bersama wakilnya Hamza Haz dari PPP. Salah satu peran penting
yang dimainkan Megawati adalah mempersiapkan dan melaksanakan Pemilihan Umum
kedua pada masa reformasi. Ada 24 partai politik yang kemudian menjadi peserta Pemilu
berdasarkan hasil verifikasi yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dari 24
partai tersebut ada lima partai islam, yakni PPP, PBB, PKS, PBR, PPNUI, disamping PAN
yang memiliki basis massa organisasi Muhammadiyah dan PKB dari NU. Perkembangan
menarik di tubuh partai islam terjadi ketika Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang
sebelumnya bernama Partai Keadilan (PK) memperoleh suara yang signifikan, yaitu sekitar
7,3 % suara nasional dan 48 kursi di DPR. Padahal pada pemilu 1999 saja PK hanya
menggalang kekuatan pada pemilu Presiden tahun 2004 untuk menggalang kekuatan dan
mengusung Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai Calon Presiden dan Wakil
Presiden RI yang kemudian berhadapan di putaran kedua menghadapi pasangan Megawati
dan Hasyim Muzadi. Dan akhirnya SBY-JK keluar sebagai pemenang dan ditetapkan sebagai
Presiden-Wakil Presiden RI 2004-2009, dan partai islam yang kemudian ikut mendukung
dalam kemenangan SBY-JK itu termasuk PKS mendapatkan posisi strategis dalam
pemerintahan.
Tahun 1980-an merupakan bagian penting dari perkembangan Islam di Indoensia.
Pada tahun 1980-an ini, di kampus-kampus tidak berbasis keislaman seperti Institut
Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI), dan
Universitas Brawijaya berkembang kelompok-kelompok pengajian kampus yang sering
disebut Gerakan Dakwah Kampus, jamaah musholla, usrah-usrah, kelompok tarbiyah dan
halaqoh. Perkembangan kelompok tarbiyah, halaqoh, usrah dan gerakan dakwah kampus ini
terus berkembang dan merebak hampir ke seluruh elemen masyarakat Islam di Indonesia.
Pascareformasi 1998, keterbukaan politik yang dibawa oleh demokratisasi menghasilkan
kebebasan bagi organisasi dan gerakan politik untuk muncul dan berkembang. Di antara
gerakan politik yang muncul signifikan adalah organisasi islam transnasional. Organisasi
tersebut berkembang pesat di hampir berbagai kota-kota penting dengan membawa konsep
politik Islam.22
22
Ahmad Syaf’I Mufid (ed), Perkembangan Paham Keagamaan Transnasional di Indonesia, Jakarta : Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2011
Pergeseran tersebut mempunyai irisan langsung dengan keberadaan
organisasi politik lainnya seperti partai politik. Terutama bagi organisasi dan partai politik
yang mempunyai titik politik pertemuan ideologi Islam politik. Di antara berbagai organisasi
yang mengusung ideologi politik Islam dan bersifat transnasional adalah Hizbut Tahrir
cita-cita mengganti konsep demokrasi dengan sistem khilafah. 23
Gerakan politik Islam yang sukses dalam melakukan transformasi dari gerakan sosial
menjadi gerakan parlementer adalah gerakan Tarbiyah yang digerakkan oleh eksponen aktivis
Islam berlatar pendidikan tinggi di Timur Tengah. Pendirian Partai Keadilan (PK) pada tahun
1998 dan menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada tahun 2003 merupakan bagian dari
perjuangan untuk merealisir gagasan besar politik Islam di Indonesia. Para Pendiri PKS
membuat konsep organisasi PKS hampir mirip dengan IM di Mesir. Mulai dari ideologi
politik, konsep dakwah, maupun pemahaman keislamannya.
Selain itu, beberapa
organisasi lainnya yang memberikan pengaruh cukup penting adalah al-Ikhwan al-Muslimun
(IM) dari Mesir, dan kelompok Salafi Wahabi dari Saudi Arabia.
24
Kebijakan politik PKS juga
banyak menyoroti perkembangan politik di Timur Tengah dang mengangkat isu-isu
anti-zionisme dan pro-Palestina.25
Anton Winardi dalam bukunya Konsep Negara & Gerakan Islam Baru-Menuju
Negara Modern Sejahtera berhasil secara jernih membedakan antara PKS dan HTI. PKS
digambarkan sebagai partai yang beranggapan Islam dan negara tidak dapat dipisahkan,
karena syariat Islam dan negara tidak dapat dipisahkan yang menyangkut seluruh aspek
kemasyarakatan. Jalan yang ditempuh adalah dengan masuk ke dalam pemerintahan yang ada
dan menjalankan setiap mekanisme yang ditetapkan. Sementara HTI, mengusulkan agar
Islam dijadikan sebagai landasan pemerintahan dan negara, bahkan mengusulkan didirikan
khilafah. Dalam merealisasikan gagasannya, HTI menolak bergabung ke dalam sistem
23
Taqiyuddin an-Nabhani, Syakhsiyah Islam, Vol.1 Jakarta : HTI Press, 2007, hal. 281
24
M. Imdadun Rahmat, Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen, Yogyakarta : LKiS, 2008, hal.97
25 Mohammad Riza Widyarsa, Syaifuddin Fadhillah, dkk, Pengaruh Ideologi Politik Islam di Indonesia Terhadap
pemerintahan Indonesia yang ada, karena dianggap tidak sesuai dengan sistem islam.26 PKS dan HTI membawa pemahaman yang relatif baru mengenai pemerintahan menurut Islam.
PKS menerima terminologi demokrasi masuk ke dalam sistem pemerintahan dan membangun
komunitasnyadi tengah masyarakat dengan prinsip tarbiyah. Sementara HTI menolak konsep
demokrasi barat yang dianggap terlalu mengedepankan kebebasan individu yang dianggap
menyimpang. Mereka mengkampanyekan berdirinya khilafah islam sebagai penggantinya
dan berjuang secara damai di luar pemerintahan dengan melakukan dialog terbuka dan
membangun komunitas di luar sistem.
Berdasarkan penjelasan diatas, Penulis tertarik untuk lebih dalam membahas
bagaimana paradigma Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
dalam penerimaannya mengenai sistem demokrasi mengingat kedua partai politik ini
sama-sama menjadikan syariat Islam sebagai panduan dan pedoman dalam aktivitas dan
kegiatannya terutama dalam hal yang berkenaan dengan politik dalam konteks keindonesiaan.
Maka dari itu penulis mengambil judul : “Paradigma Penerimaan Demokrasi Dalam
Gerakan Politik Islam (Studi Analisis : Pemikiran Politik Islam Partai Keadilan
Sejahtera dan Hizbut Tahrir Indonesia).”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan maka dapat dirumuskan masalah,
yaitu : “Bagaimana Paradigma Penerimaan Demokrasi dalam Pemikiran Politik Islam
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)?”
26
1.3 Batasan Masalah
Agar kajian penelitian lebih fokus, maka yang menjadi batasan masalah dalam
penelitian ini adalah “Paradigma Penerimaan Demokrasi Dalam Pemikiran Politik Islam
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).”
1.4 Tujuan Penelitian
Dalam suatu penelitian ilmiah, perlu adanya suatu tujuan penelitian. Tujuan penelitian
adalah pertanyaan mengenai hal yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Adapun tujuan yang
ingin dicapai penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui landasan dan paradigma penerimaan demokrasi dalam pemikiran
politik islam Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
2. Untuk mengetahui landasan dan paradigma penerimaan demokrasi dalam pemikiran
politik islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, antara lain :
1. Secara teoritis, penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang diharapkan mampu
memberikan kontribusi pemikiran mengenai demokrasi dan politik islam dalam sudut
pandang Partai Keadilan Sejahtera dan Hizbut Tahrir Indonesia.
2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pisau analisis bagi para
3. Bagi penulis, membantu untuk mengasah keampuan dan pengetahuan dalam menulis
karya ilmiah di bidang ilmu politik khususnya dan juga merupakan suatu syarat akhir
untuk menyelesaikan studi strata satu di Departemen Ilmu Politik.
1.6 Kerangka Teori
Untuk memecahkan masalah atau menjawab pokok masalah yang telah dikemukakan
oleh penyusun, maka diperlukan pemaparan kerangka dan landasan teoritik untuk mengarah
pada tujuan yang jelas terutama dalam hal ilmu politik. Dalam penelitian ini ada dua teori
besar yang menjadi landasannya, yaitu teori demokrasi dan teori politik islam.
1.6.1 Teori Demokrasi
Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya
berasal dari rakyat baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan
(demokrasi perwakilan). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani yaitu demokratia (kekuasaan
rakyat), yang dibentuk dari kata demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan), merujuk pada sistem
politik yang muncul pada pertengahan abad ke 5 dan ke 4 SM di kota Yunani Kuno
khususnya Athena.27
Konsep demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan, akan tetapi pemakaian konsep
ini di zaman modern dimulai sejak terjadinya pergolakan revolusioner dalam masyarakat Dapat diartikan secara umum bahwa demokrasi adalah pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Begitulah pemahaman yang sederhana tentang
demokrasi, yang diketahui oleh hampir semua orang.
27
Barat pada akhir abad ke-18. Pada pertengahan abad ke-20 dalam perdebatan mengenai arti
demokrasi muncul tiga pendekatan umum. Sebagai suatu bentuk pemerintahan, demokrasi
telah didefinisikan berdasarkan sumber wewenang bagi pemerintah, tujuan yang dilayani oleh
pemerintah dan prosedur untuk membentuk pemerintahan. 28
Demokrasi mementingkan kehendak, pendapat serta pandangan rakyat, corak
pemerintahan demokrasi dipilih melalui persetujuan dengan cara mufakat. Sehingga
demokrasi yang kuat adalah demokrasi yang bersumber dari hati nurani rakyat untuk
mencapai keadilan dan kesejahteraan rakyat.29
Konsep demokrasi sebenarnya identik dengan konsep kedaulatan rakyat, dalam hal ini
rakyat merupakan sumber dari kekuasaan suatu negara. Sehingga tujuan utama dari
demokrasi adalah untuk memberikan kebahagiaan sebesar-besarnya kepada rakyat. Jika ada
pelaksanaan suatu demokrasi yang ternyata merugikan rakyat banyak, tetapi hanya
menguntungkan untuk orang-orang tertentu saja, maka hal tersebut sebenarnya merupakan
pelaksanaan dari demokrasi yang salah arah. Kedaulatan rakyat dalam suatu sistem
demokrasi tercermin dari ungkapan bahwa demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (goverment of the people, by the people for the
people).
Layaknya sebuah sistem, demokrasi juga
mempunyai konsep, ciri-ciri, model dan mekanisme sendiri. Yang mana semuanya itu
merupakan satu kesatuan yang dapat menjelaskan arti, maksud dan praktek sistem demokrasi.
1.6.1.1 Konsep-Konsep Demokrasi
30
28
Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, (Jakarta: PT. Midas Surya Grafindo), hal. 4
29 Zakaria Bangun, Demokrasi dan Kehidupan Demokrasi di Indonesia, (Medan: Bina Media Perintis, 2008), hal.
2
30
Sistem pemerintahan “dari rakyat” (goverment of the people) adalah bahwa suatu
sistem pemerintahan dimana kekuasaan berasal dari rakyat dan para pelaksana pemerintahan
dipilih dari dan oleh rakyat melalui suatu pemilihan umum. Dalam hal ini, dengan adanya
pemerintahan yang dipilih oleh dari rakyat tersebut terbentuk suatu legitimasi terhadap
kekuasaan pemerintahan yang bersangkutan.
Sistem pemerintahan “oleh rakyat” (goverment by the people), yang dimaksudkan
adalah bahwa suaatu pemerintahan dijalankan atas nama rakyat, bukan atas nama pribadi atau
atas nama dorongan pribadi para elit pemegang kekuasaan. Selain itu, pemerintahan “oleh
rakyat” juga mempunyai arti bahwa setiap pembuatan dan perubahan UUD dan
undang-undang juga dilakukan oleh rakyat baik dilakukan secara langsung (misalnya melalui sistem
referendum), ataupun melalui wakil-wakil rakyat yang ada di parlemen yang sebelumnya
telah dipilih oleh rakyat melalui suatu pemilihan umum.
Konotasi lain dari suatu pemerintahan “oleh rakyat” adalah bahwa rakyat mempunyai
kewenangan untuk mengawasi pemerintah, baik dilakukan secara langsung seperti melalui
pendapat dalam ruang publik (public sphere) semisal oleh pers, ataupun diawasi secara tidak
langsung yakni diawasi oleh para wakil-wakil rakyat di parlemen.
Sementara itu, yang dimaksud dengan pemerintah “untuk rakyat” (goverment for the
people) adalah bahwa setiap kebijaksanaan dan tindakan yang diambil oleh pemerintah
haruslah bermuara kepada kepentingan rakyat banyak, bukan untuk kepentingan pribadi atau
kepentingan golongan tertentu saja. Sehingga, kesejahteraan rakyat, keadilan, dan ketertiban
masyarakat haruslah selalu menjadi tujuan utama dari setiap tindakan atau kebijaksanaan
1.6.1.2 Model-model Demokrasi
Berangkat dari pemaknaan yang sama dan karenanya universal, demokrasi
substansial, telah memberikan daya pikat normatif. Bahwa dalam demokrasi, mestinya
berkembang nilai kesetaraan (egalitarian), keragaman (pluralisme), penghormatan atas
perbedaan (toleransi), kemanusiaan atau penghargaan atas hak-hak asasi manusia,
“kebebasan”, tanggung jawab, kebersamaan dan sebagainya. Secara substansif demokrasi
melampaui maknanya secara politis.31
Menurut Inu Kencana ada dua model demokrasi jika dilihat dari segi pelaksanaan,
yaitu demokrasi langsung (direct democracy) dan demokrasi tidak langsung (indirect
democracy).
Sebagai suatu sistem politik demokrasi juga mengalami perkembangan dalam
implementasinya. Banyak model demokrasi hadir di sini, dan itu semua tidak lepas dari
ragam perspektif pemaknaan demokrasi substansial. Menjadikan demokrasi berkembang ke
dalam banyak model, antara lain karena terkait dengan kreativitas para aktor politik di
berbagai tempat dalam mendesain praktik demokrasi prosedural sesuai dengan kultur,
sejarah, dan kepentingan mereka.
Sejarah teori demokrasi terletak suatu konflik yang sangat tajam mengenai apakah
demokrasi harus berarti suatu jenis kekuasaan rakyat (suatu bentuk politik di mana warga
negara terlibat dalam pemerintahan sendiri dan pengaturan sendiri) atau suatu bantuan bagi
pembuatan keputusan (suatu cara pemberian kekuasaan kepada pemerintah melalui
pemberian suara secara periodik).
32
31 Ni’matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010), hal 207 32
Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal 122
Demokrasi langsung terjadi bila rakyat mewujudkan kedaulatannya pada suatu
politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan
prosedur mayoritas.
Pada demokrasi langsung lembaga legislatif hanya berfungsi sebagai lembaga
pengawas jalannya pemerintahan, sedangkan pemilihan pejabat eksekutif (presiden, wakil
presiden, gubernur, bupati, dan walikota) dilakukan rakyat secara langsung. Begitu juga
pemilihan anggota parlemen atau legislatif (DPR, DPD, DPRD) dilakukan rakyat secara
langsung.
Demokrasi tidak langsung terjadi bila untuk mewujudkan kedaulatannya rakyat tidak
secara langsung berhadapan dengan pihak eksekutif, melainkan melalui lembaga perwakilan.
Pada demokrasi tidak langsung, lembaga parlemen dituntut kepekaannya terhadap berbagai
hal yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dalam hubungannya dengan pemerintah
atau negara. Demokrasi tidak langsung disebut juga dengan demokrasi perwakilan.
1.6.1.3 Ciri-ciri Demokrasi
Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara pada umumnya memberikan pengertian
bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok
yang mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijaksanaan tersebut dalam
menentukan kehidupan rakyat. Dengan demikian, negara demokrasi adalah bentuk atau
mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat
(kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Dilihat dari pemilihan umum secara langsung telah mencerminkan sebuah demokrasi
dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia. Menurut Sri Soemantri sebuah negara atau
pemerintah bisa dikatakan demokratis apabila mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:33
Proses demokratisasi dalam sebuah kasus dapat dikelompokkan kedalam tiga tipe proses
diantaranya yaitu:
1) Negara terikat pada hukum maksudnya bukan berarti bahwa kekuasaan negara terikat pada
hukum. Bukan seakan-akan negara hukum adalah sama dengan demokrasi. Negara hukum
tidak mesti negara demokratis. Pemerintahan monarki dapat taat pada hukum, tetapi
demokrasi yang bukan negara hukum bukan demokrasi dalam arti yang sesungguhnya.
Demokrasi merupakan cara paling aman untuk mempertahankan kontrol atas negara hukum
2) Kontrol efektif terhadap pemerintah oleh rakyat
3) Pemilu yang bebas
4) Prinsip mayoritas maksudnya adalah bahwa Badan Perwakilan Rakyat mengambil
keputusan-keputusannya secara sepakat atau jika kesepakatan tidak tercapai bisa dengan
suara terbanyak
5) Adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis
1.6.1.4 Mekanisme Demokrasi
34
a) Transformasi (reforma, dalam istilah Linz) terjadi ketika elite yang berkuasa
mempelopori proses perwujudan demokrasi. Pada tranformasi pihak-pihak yang
berkuasa dalam rezim otoriter mempelopori dan memainkan peran yang menentukan
dalam mengakhiri rezim itu dan mengubahnya menjadi sistem demokratis.
33
Ibid., 125.
34
Tranformasi mensyaratkan pemerintah lebih kuat dari pada oposisi. Dengan demikian,
tranformasi terjadi dalam rezim militer yang telah mapan dimana pemerintah
jelas-jelas mengendalikan alat-alat koersi yang utama kalau dibandingkan dengan pihak
oposisi dan atau dibandingkan dengan sistem otoriter yang sukses secara ekonomi.
Transformasi gelombang ketiga biasanya berkembang melalui lima fase utama, yang
empat diantaranya terjadi didalam sistem otoriter. Fase-fase tersebut yaitu;35
1. Munculnya kelompok pembaharu yaitu munculnya sekelompok pemimpin atau
orang-orang yang berpotensi menjadi pemimpin di dalam rezim otoriter yang percaya bahwa
gerakan ke arah demokrasi adalah sesuatu yang dikehendaki atau perlu.
2. Memperoleh kekuasaan. Para pembaharu demokratis tidak hanya harus ada dalam
rezim otoriter, mereka juga harus berkuasa dalam rezim itu.
3. Kegagalan liberalisasi
4. Mengikutsertakan kelompok oposisi. Kelompok pembaharu demokratis biasanya
segera memulai proses demokratisasi begitu mereka memegang kekuasaan. Lazimnya
hal ini melibatkan konsultasi dengan para pemimpin dari kelompok oposisi, partai
politik dam kelompok serta lembaga utama masyarakat.
b) Pergantian (replacement, atau ruktura dalam istilah Linz) terjadi ketika kelompok
oposisi mempelopori proses perwujudan demokrasi, dan rezim otoriter tumbang atau
digulingkan. Proses replacement ini terdiri dari tiga fase yang berbeda: perjuangan
untuk menumbangkan rezim, tumbangnya rezim dan perjuangan setelah tumbangnya
rezim.
c) Transplacement atau “ruptforma” terjadi apabila demokratisasi terutama merupakan
hasil tindakan bersama kelompok pemerintah dan kelompok oposisi. Pada tipe ini
demokratisasi merupakan hasil aksi bersama pemerintah dan kelompok oposisi. Di
35
dalam pemerintah itu keseimbangan antara kelompok konservatif dengan kelompok
pembaharu sedemikian rupa sehingga pemerintah bersedia merundingkan tetapi tidak
bersedia memprakarsai perubahan rezim, berbeda dengan situasi di mana dominasi
kelompok konservatif menimbulkan replacement. Pemerintah harus didorong dan atau
ditarik ke dalam perundingan formal atau informal dengan pihak oposisi. Di pihak
oposisi, kelompok moderat yang demokratis cukup kuat untuk mengendalikan
kelompok radikal atau anti demokrasi, tetapi mereka tidak cukup kuat untuk
menggulingkan pemerintah. Karena itu mereka melihat faedah perundingan.
Dialektika transplacement sering melibatkan langkah-langkah dalam urutan yang
berbeda satu sama lain. Pertama, pemerintah sibuk dengan liberalisasi dan mulai
kehilangan kekuasaan dan otoritasnya. Kedua, pihak oposisi mengeksploitasi pelonggaran
ini dan memanfaatkan melemahnya pemerintah untuk memperluas dukungan dan
mengintensifkan kegiatannya dengan harapan dan perkiraan bahwa mereka akan segera
mampu menjatuhkan pemerintah. Ketiga, pemerintah bereaksi keras dengan membendung
dan menekan upaya pihak oposisi memobilisasi kekuasaan politik. Keempat, pemerintah
dan para pemimpin oposisi menyadari munculnya kekuatan tandingan untuk mengadakan
transisi yang disetujui kedua belah pihak.
Dengan demikian, proses politik yang mengarah pada tranplacement, sering ditandai
oleh tarik menarik antara pemogokan, protes dan demonstrasi di satu pihak dengan
represi, pemenjaraan, tindak kekerasan oleh polisi, keadaan darurat, hukum darurat
1.6.2 Kerangka Dasar Gerakan Politik Islam
Pada dasarnya Allah telah memberikan ruang lingkup yang sangat luas bagi
hambaNya untuk melaksanakan segala aktifitasnya sebagai kodrat manusia dalam rangka
mengabdi pada Sang Pencipta. Kewenangan yang diberikan Allah kepada hambaNya melalui
al-Qur’an tidak hanya terbatas pada penerapan pada hukum-hukum Allah, tetapi juga
kewenangan membuat aturan-aturan hukum berkenaan dengan hal-hal yang tidak diatur
syari’ah secara tegas dan rinci, politik salah satunya. Dalam Islam cita-cita politik yang
dijanjijan Allah kepada orangorang beriman dan beramal sholeh dalam al-Qur’an adalah (1)
terwujudnya sebuah sistem politik (2) berlakunya hukum Islam dalam masyarakat secara
mantap (3) terwujudnya ketentraman dalam kehidupan masyarakat. Cita-cita politik tersebut
ini tersimpul dalam ungkapan . Baldatu Thayyibatun Warabbun Ghofur yakni negeri yang
baik dan Tuhan yang pengampun, yang mengandung konsep ”Negeri sejahtera dan
sentosa”.36
Pada dasarnya, mendirikan pemerintah Islam merupakan suatu kebutuhan Islami dan
Insani yang akan menyuguhkan kepada manusia contoh hidup tentang kesatuan agama dan
dunia, kemanunggalan moral dan materil, serta keserasian antara kemajuan peradaban dengan
keluhuran moral. Dengan demikian fungsi dari pemerintahan Islam adalah untuk
melestarikan dan mengembangkan ajaran Islam, menjadikan Islam sebagai akidah dan sistem,
ibadah dan moral, serta sebagai nilai-nilai kehidupan dan peradaban.
37
Sedangkan tujuan dari pemerintahan Islam itu sendiri adalah untuk mencapai
terciptanya identitas Islam dalam masyarakat. Artinya seluruh aspek kehidupan perorangan
maupun pemerintahan harus berpijak pada prinsip-prinsip nilai Islam. Pijakan itu diwujudkan
36 Abdul Muin Salim, Konsepsi kekuasaan Politik Dalam Al-Quran, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002,
hal. 290-291.
37
dalam pengikatan diri (commitment) terhadap peraturan-peraturan hukum dan sebagai
aplikasi dari ajaran Islam.38
Menurut al-Mawardi, secara garis besar tugas dan tujuan pemerintahan Islam adalah
melaksanakan sepenuhnya syari'ah Islam yang bersumber pada al- Qur'an dan as-Sunnah,
untuk menjaga tegaknya agama dan menangani seluruh masalah kehidupan.39
Untuk dapat mengondisikan suatu negara agar sistem negara lebih baik dan
merealisasikan ketertiban, al-Mawardi mengemukakan bahwa perlu adanya Imamah
(pemimpin) atau Khalifah. Imamah atau Khalifah adalah pengganti posisi nabi untuk menjaga
kelangsungan agama dan urusan dunia. Secara tersirat bahwa bentuk negara yang ditawarkan
al-Mawardi lebih kepada Teokrasi, yakni menjadikan agama dan Tuhan sebagai pedoman
dalam bernegara. Bahwa pemerintahan merupakan sarana untuk menegakkan hukum-hukum
Allah, sehingga pelaksanaannya pun berdasar dan dibatasi oleh kekuasaan Tuhan. Berarti
mengurus segala tugas dan kewajiban sesuai dengan ajaran dan hukum Islam seperti
memelihara iman, menegakan supremasi hukum, mengatur keamanan wilayah hingga
penduduk bisa merasakan hidup tentram dan aman, menjaga perbatasan negara dengan
berbagai peralatan yang dimiliki, melindungi serta melayani hak-hak perorangan maupun
kolektif, memungut pajak dan mengumpulkan zakat, mengatur anggaran belanja untuk gaji
karyawan atau pejabat, mengangkat pegawai berdasarkan kompetensi yang dimiliki serta
mengawasi tugas-tugas seluruh personal terutama menguji para pelaksana tugas-tugas
kemasyarakatan.
40
38
Mohammad S. Elwa, Sistem Politik dalam Pemerintaha Islam, terj. Anshori Thalib, Surabaya: Bina Ilmu, 1983, hal. 103
39 Ali bin Muhammad Habib al-Bashri al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyah, Surabaya: Syirkah Bngil Indah, tt.,
hal. 5.
40
Ibid., hal. 29.
Sepanjang perjalanan sejarah kenegaraan Indonesia, ada beberapa upaya yang dilakukan
mengimplementasikan syari'at Islam. Gerakan-gerakan seperti itu tidak jarang berupaya
mencapai tujuannya dengan melakukan pemberontakan bersenjata terhadap pemerintah
Indonesia atau menggunakan cara-cara kekerasan.41
Danial Pipes mengatakan bahwa kebangkitan Islam adalah sebuah kekuatan yang
melakukan kegiatan dengan militan, serta didorong oleh kebencian terhadap
pemikiran-pemikiran barat. Hal serupa diungkapkan oleh Moltimer Suckerziman, dengan menyatakan
bahwa: "Kita sedang berada digaris depan pertempuran yang telah ada sejak ratusan tahun
lamanya. Sebuah rintangan besar bagi para ekstrimis yang ingin membenamkan nilai-nilai
barat yang dinilai jahat itu ke dalam laut, seperti yang pernah mereka lakukan terhadap para
pejuang kristen.
Gerakan politik dewasa ini seringkali mendapatkan tanggapan negatif dari berbagai
kalangan baik dari pihak Islam sendiri maupun dari pihak non-Islam. Pasalnya, gerakan Islam
terkesan kurang menjunjung nilai "Demokrasi" atau lebih menunjukkan sikap militansinya
atau fundamentalis dan konservatifnya. Anggapan semacam ini tidak selamanya dapat
diterima, sebab sebuah gerakan hanya dapat menilai secara obyektif jika Islam dapat
dipahami secara luas, mendalam dan benar. Di samping itu juga ditentukan oleh sejauh mana
dalam melakukan interaksi dengan pelaku-pelaku gerakan Islam. Pandangan yang bernada
minor terhadap gerakan Islam dilontarkan terutama oleh kalangan barat,yang secara umum
baru diakui secara meluas oleh dunia barat pada dekade terakhir.
42
Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pertentangan persepsi antara dunia Barat dengan
dunia Islam. Dengan demikian teori sekulerisme menjadi faktor esensial dalam menelusuri
akar-akar kelahiran gerakan politik Islam di negara-negara yang mayoritas Islam, termasuk
41
Taufiq Adnan Amal, dkk, "Politik Syariat Islam" dari Indonesia Hingga Nigeria, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004, hal. 65.
42
Indonesia yang menjadi pembahasan dalam skripsi ini. Meskipun, tentu saja terhadap
faktor-faktor lain yang menjadi penyebab berkembangnya pergerakan Islam politik. Namun pada
akhirnya adalah bahwa sekulerisme yang substansi teorinya, memisahkan antara agama dan
dunia, agama dengan negara atau memisahkan politik dengan agama secara total, merupakan
sentral pertentangan karena bertolak belakang dengan pandangan hidup Islam.
Hampir semua pembahasan pergerakan Islam menemukan titik terang bahwa
sekulerisme adalah masalah yang sangat krusial dalam tubuh umat Islam di era modern.
Karenanya jika seorang pengkaji atau peneliti tentang sejarah keruntuhan Islam dewasa ini,
umumnya tidak pernah lepas dari sorotan kepada negara Indonesia yang memang
diundang-undangkan sebagai negara sekuler pasca kemerdekaan.
Bagi umat Islam, kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan hal yang sangat
disyukuri dan ditunggu-tunggu. Umat Islam memang memiliki legitimasi historis untuk
merasa paling berkepentingan dengan kemerdekaan tersebut. Pertama, Sebagian besar
wilayah nusantara dihuni oleh umat Islam dan hampir disemua wilayah yang mayoritas umat
Islam terjadi perlawanan yang sangat gigih terhadap penjajah. Misalnya, perang Aceh, perang
di Jawa pada umumnya, perang di Kesultanan Palembang, Kesultanan Banjarmasin, Kerajaan
Gowa dan Tallo dan lain-lainnya. Kedua, Ajaran Islam sangat berkepentingan dengan
pelaksanaan Syari'at Islam secara bebas dan diatur oleh orang Islam sendiri. Itu berarti bahwa
umat Islam harus memiliki kemerdekaan sendiri dan tanah air sendiri yang berdaulat. Ketiga,
Para penjajah yang menyengsarakan rakyat jelas-jelas dalam pandangan Islam adalah kafir.
Berjuang memerdekakan diri dari orang kafir adalah sebuah jihad yang besar dan mulia.
penyelesaian terbaik bagi bangsa ini, maka umat Islam-lah yang akan mendapatkan kebaikan
yang lebih banyak.43
Teori politik Islam memiliki konsep dasar Al Ahlak asiyasah Al Islami yang
menyatakan bahwa “kedaulatan ada di tangan Allah SWT”, bukan di tangan manusia. Dalam
teori ini juga dijelaskan bahwa Islam bukanlah semata agama (a religion) namun ia
merupakan sistem politik (a political system),
1.6.3 Teori Politik Islam
44
Pertama: Tidak seorang pun, atau sekelompok orang, atau bahkan seluruh penduduk suatu
negara yang dapat melakukan klaim atas kedaulatan. Hanya Allah saja yang memegang
kedaulatan dalam arti sebenarnya. Seluruh manusia hanyalah pelaksana kedaulatan Allah. karena itu Islam harus menjadi sistem yang
bisa memenuhi hak-hak perlindungan, jaminan kebutuhan primer, dan kebebasan
berpendapat.
Teori ini agak menolak teori kedaulatan rakyat, bukan karena banyaknya bukti yang
berserakan mengenai penyelewangan pada praktek demokrasi, tapi lebih kepada ayat-ayat
Al-Qur’an yang menyatakan bahwa “kedaulatan tertinggi ada di tangan Allah SWT”(QS.Yusuf :
40). Selain itu juga, Allah berhak membentuk hukum bagi manusia, yang menentukan halal
dan haram. Hukum dalam teori ini tentunya bukan hukum administratif melainkan hukum
yang dimaksud adalah norma. Dalam hal ini manusia tentu saja boleh membuat suatu
peraturan serinci mungkin, selama tidak bertentangan dengan ajaran Allah SWT.
Teori politik Islam mempunyai beberapa prinsip mengenai kedaulatan tertinggi yang
ada pada Allah begitu juga pembuat hukum, adapun yang dimaksud, yaitu;
43
Djayadi Hanan, Gerakan Pelajar Islam; dibawah Bayang-bayang Negara, Yogyakarta: UII Press, 2002, hal. 48
44
Kedua: Allah adalah pencipta hukum yang sebenarnya, sehingga Dia sajalah yang berhak
membuat legislasi secara mutlak. Manusia diperkenankan membuat legislasi sepanjang
legislasi itu tidak bertentangan dengan legislasi dasar yang berasal dari wahyu. Maka, kita
tidak dapat melakukan modifikasi atas hukum yang telah Allah SWT tetapkan, walaupun
rencana modifikasi itu disetujui secara aklamasi oleh seluruh anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR).
Ketiga : Suatu pemerintahan yang menjalankan peraturan-peraturan dasar dari Allah
sebagaimana diterangkan oleh nabi-Nya wajib memperoleh ketaatan rakyat karena
pemerintahan seperti itu ada pada prinsipnya bertindak sebagai badan politik yang
memberlakukan peraturan-peraturan Allah.45
Kehidupan berpolitik dan bernegara ini kita sangat dan tetap memerlukan Tuhan. Bila
norma Tuhan itu disingkirkan maka negara akan diolah dengan cara semau kita, sesuai
ambisi, nafsu, dan kecenderungan gila kekuasaan yang ada dalam diri manusia. Ada
batas-batas yang ditetapkan oleh Allah SWT demi keselamatan umat manusia dan mutlak kita
perlukan. Batas-batas ini yang dalam Al-Qur’an dinamakan Huudud ( ketentuan ) Allah berisi
tentang prinsip-prinsip yang jelas check and balances, dan perintah-perintah khusus dalam
berbagai dimensi kehidupan yang semuanya diberikan oleh Allah untuk manusia agar bisa
tercipta kehidupan yang seimbang wajar dan sehat baik spiritual dan material. Apabila
batas-batas ini diterjang maka seluruh bangunan kehidupan manusia akan ambruk dengan Teori ini menyatakan bahwa dalam Islam tidak dapat dan tidak boleh menggunakan
kedaulatan dengan sebebas-bebasnya karena ada peraturan dari Allah SWT, norma dan nilai
Ilahi itu harus dipatuhi dan dalam perkembangannya sekarang ini, norma dan ilahi itulah
yang menjadi pegangan dan paradigma dalam tindakan sosial, politik, dan ekonomi.
45
sendirinya. Suatu pemerintahan yang ingin mencapai tujuan-tujuan luhurnya harus
mengindahkan batas-batas tersebut. 46
Berangkat dari uraian serta penjelasan tujuan penelitian maupun kerangka teori di
atas, penelitian ini memiliki metode deskriptif (melukiskan), dimana penelitian deskriptif
merupakan suatu cara yang digunakan untuk memecahkan masalah yang ada pada masa
sekarang berdasarkan fakta dan data-data yang ada. Penelitian ini memberikan gambaran
yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena.
Berdasarkan hal tersebut, dengan kaitannya Islam dan politik tentu saja tidak lepas
dari norma dan aturan dari Allah SWT, norma-norma itulah yang mendorong untuk
membentuk suatu partai politik yang kemudian bercita-cita mensejahterahkan kehidupan
masyarakat dengan mencalonkan diri sebagai pemimpin untuk masyarakat dan tetap
berpegang teguh pada prinsip-prinsip Islam seperti yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an.
1.7 Metodologi Penelitian
1.7.1 Metode Penelitian
47
Tujuan dasar penelitian deskriptif
ini adalah membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.
46
Ibid.,
47
1.7.2 Jenis Penelitian
Berdasarkan metode yang dipakai maka penelitian ini menggunakan penelitian
kualitatif yang bersifat deskriptif. Langkah pertama yang dilakukan oleh peneliti dalam
penelitian ini ialah mendeskripsikan paradigma penerimaan demokrasi Partai Keadilan
Sejahtera dan Hizbut Tahrir Indonesia dengan menggunakan teori politik islam dan teori
demokrasi.
1.7.3 Objek Penelitian
Dalam Penelitian ini, yang menjadi objek penelitian adalah Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
1.7.4 Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data atau informasi yang dibutuhkan, penulis menggunakan teknik
pengumpulan data sebagai berikut:
a. Library Research adalah metode penelusuran terhadap sumber-sumber tertulis tentang
suatu pemikiran atau fenomena.48
b. Metode interview wawancara adalah tanya jawab sepihak yang dikerjakan dengan
sistematik dan berlandaskan kepada tujuan penelitian.
Metode ini penulis gunakan untuk menggali
pemikiran Hizbut Tahrir Indonesia dan Partai Keadilan Sejahtera yang terdapat dalam
buku primer maupun sekunder.
49
48
Sutrisno Hadi, Metodologi Reseach, Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, 1995, hal. 5.
49
Lexy J. Moleong, Metode penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Rosdakarya, 2001, hal. 135
Wawancara ini dilakukan
bertanya langsung kepada responden tentang pemikiran dan gerakan politik Partai
Keadilan Sejahtera dan Hizbut Tahrir Indonesia sekaligus mengkonformasi data yang
penulis peroleh dari sumber tertulis. Wawancara penulis lakukan dengan pengurus
Hizbut Tahrir Indonesia dan Partai Keadilan Sejahtera maupun orang yang pernah
berkecimpung langsung dengan HTI dan PKS untuk menggali informasi tambahan
tentang pemikiran dan gerakan politik HTI dan PKS.
1.7.5 Teknik Analisa Data
Setelah data-data diperoleh dari data primer maupun sekunder, selanjutnya akan
dianalisis menggunakan metode deskriptif analisis, fenomenologis, content analysis dan
komparatif.
a. Deskriptif analisis
Deskriptif analitis yaitu penyajian data guna menjelaskan suatu pemikiran atau fakta
apa adanya.50
Fenomenologis adalah suatu penelitian yang berusaha memahami arti peristiwa dan
kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu,
Metode ini digunakan untuk menyajikan profil, aktifitas HTI dan PKS dalam
kontribusi kepada bangsa Indonesia yang penulis tuangkan dalam bab II.
b. Fenomenologis
51
atau dengan kata
lain memaparkan data-data serta menguraikannya secara teratur, sehingga didapat
pemahaman data yang valid dan tidak lepas dari sumber data.52
50 Sumadi Suryabrata, Metode Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. ke 12, 1998, hal. 18 51
Lexy J. Moleong, op. cit., hal. 9.
52
Ibid, hal. 19.
Dengan metode ini penulis
didalam aspek yang diselidiki agar jelas keadaan dan kondisinya.53
Content analisis adalah metode untuk menganalisis keseluruhan makna yang
terkandung dalam data.
Sehingga untuk
memahami sebuah fenomena konsep pergerakan yang ditawarkan lebih mudah.
c. Content Analisis
54
Komparasi adalah suatu upaya pemaknaan dengan langkah membandingkan antara
satu gagasan dengan gagasan yang lain.
Langkah-langkah yang ditempuh sebagai berikut:
menginventarisasi pokok-pokok pikiran Hizbut Tahrir Indonesia dan Partai Keadilan
Sejahtera yaitu mengenai Kedaulatan, Pemilihan Umum (Pemilu), Negara Hukum, dan
Sistem Demokrasi. Selanjutnya menilai data terkait, mengidentifikasikan dan memadukan
konsep-konsep yang digunakannya yang penulis tuangkan dalam bab III.
d. Komparasi
55
Langkah ini merupakan suatu upaya guna
mengetahui relevan dan tidaknya suatu upaya atau setrategi dan gerakan politik Hizbut Tahrir
Indonesia dan Partai Keadilan Sejahtera dalam kancah perpolitikan di Indonesia
53 Hadati Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1993, hal. 63. 54
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi IV, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2002, hal. 68-69.
55
1.8 Sistematika Penulisan
Dalam suatu penelitian, perlu adanya sistematika penulisan agar dapat diperoleh suatu
gambaran yang jelas dan terperinci. Adapun yang menjadi sistematika penulisan dalam
penelitian ini adalah :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah,
batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN
Bab ini penulis akan menjelaskan profil dan gambaran umum dari
Partai Keadilan Sejahtera dan Hizbut Tahrir Indonesia.
BAB III : PARADIGMA PENERIMAAN DEMOKRASI PKS DAN HTI
Pada bab ini penulis akan menjelaskan paradigma penerimaan
demokrasi PKS dan HTI melalui pendekatan kedaulatan, sistem
demokrasi, pemilihan umum, dan hukum negara.
BAB IV : KESIMPULAN
Merupakan bab penutup, yang berisikan kesimpulan dari seluruh
penelitian serta saran-saran. Pada bagian pembahasan skripsi disertai