TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai (DAS)
Dalam Undang-Undang RI No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air,
pasal 1, Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai “suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya,
yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari
curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di darat merupakan
pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih
terpengaruh aktivitas daratan”.
Secara biogeofisik daerah hulu dimaksudkan sebagai daerah konservasi, dengan karakteristik memiliki kerapatan drainase lebih tinggi, merupakan daerah
dengan kemiringan lereng besar (>15%), bukan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase dan vegetasi umumnya adalah
tegakan hutan. Sedangkan daerah DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan, mempunyai kerapatan drainase lebih kecil, merupakan daerah dengan kemiringan lereng kecil (<8%), pada beberapa tempat merupakan daerah
banjir (genangan), pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi dan vegetasi umumnya adalah tanaman pertanian kecuali daerah pantai yang
didominasi hutan bakau atau gambut. DAS bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofisik DAS yang di atas dengan ciri utama penggunaan lahannya berupa lahan budidaya tanaman tahunan (perkebunan,
Erosi dan Sedimentasi pada DAS
Erosi merupakan proses dimana tanah, bahan mineral dilepaskan dan diangkut oleh air, angin atau gaya berat. Tanah longsor dan batu-batuan
berjatuhan (mass wastage) merupakan akibat dari gaya berat yang makin ditingkatkan oleh air (Arief, 2001).
Karena DAS merupakan suatu ekosistem, maka akan terjadi saling
interaksi dalam sistem tersebut. Hujan yang jatuh di suatu DAS akan mengalami interaksi dengan komponen-komponen ekosistem DAS tersebut dan akan
menghasilkan keluaran berupa debit, muatan sedimen, dan material lainnya yang terbawa oleh aliran sungai. Terdapat hubungan antara erosi di daerah tangkapan air dan besarnya sedimentasi yang terpantau di aliran sungai bagian bawah daerah
tangkapan tersebut yang juga berkaitan erat dengan sistem hidrologi. Curah hujan, jenis tanah, kemiringan lereng, vegetasi, dan aktivitas manusia mempunyai
peranan penting dalam berlangsungnya proses erosi-sedimentasi
(Rauf, dkk, 2011).
Menurut Linsley, dkk (1996), erosi dan sedimentasi merupakan proses
penting dalam pembentukan suatu daerah aliran sungai (DAS) serta memiliki konsekuensi ekonomi dan lingkungan yang penting di DAS tersebut. Erosi dan sedimentasi secara alami akan mempengaruhi pembentukan landskap suatu DAS
dan sebaliknya bentuk dan kondisi fisik suatu DAS akan sangat berpengaruh terhadap laju erosi dan sedimentasi.
kemudian diendapkan di buffer area sungai atau terbuang ke muara dan ke lautan.
Erosi yang terus berlanjut akan mengikis permukaan tanah atau bagian tanah yang lembut (horizon A dan B), sehingga horizon C (bahan induk) dan bahkan horizon
R (batuan induk) muncul ke permukaan (Arsyad, 2010).
Aktivitas bercocok tanam yang tidak atau kurang mengindahkan kaidah-kaidah konservasi di hulu DAS telah mengakibatkan proses sedimentasi yang
serius pada sungai bagian hilir DAS yang bersangkutan. Besarnya proses sedimentasi yang berlangsung di dalam waduk/sungai, tidak hanya mempengaruhi
kualitas dan umur pakai waduk, tetapi juga mengakibatkan terjadinya pendangkalan pada saluran-saluran irigasi yang mendapatkan aliran air dari waduk/sungai tersebut (Rauf dkk, 2011).
Sedimentasi atau pengendapan adalah proses pengendapan sedimen yang dihasilkan oleh proses erosi dan terbawa oleh suatu aliran akan diendapkan pada suatu tempat yang kecepatan airnya melambat atau terhenti. Sedimen adalah hasil
proses erosi yang mengendap di bagian bawah kaki bukit, di daerah genangan banjir, di saluran air, sungai dan waduk. Hasil sedimen (sediment yield) adalah
besarnya sedimen yang berasal dari erosi yang terjadi di daerah tangkapan air yang diukur pada periode tertentu. Secara garis besar, sedimen dibedakan menjadi dua jenis yaitu sedimen melayang (suspended sediment) dan sedimen merayap
(bedload) (Loebis, dkk, 1993).
Faktor yang Mempengaruhi Erosi
diantaranya : curah hujan, aliran permukaan, jenis tanah, lereng, penutup tanah,
jumlah penduduk dan ada atau tidaknya tindakan konservasi tanah.
Rauf, dkk (2011) menyatakan bahwa pada dasarnya erosi yang terjadi
adalah akibat interaksi kerja antara faktor-faktor iklim, topografi, vegetasi, tanah dan tindakan manusia terhadap tanah, yang dapat dinyatakan dalam suatu persamaan deskriptif berikut :
� =� (�,�,�,�,�)
dengan E adalah erosi, i adalah iklim, r adalah relief atau topografi, v adalah vegetasi atau tumbuh-tumbuhan, t adalah tanah dan m adalah manusia. Persamaan
tersebut mengandung dua jenis variabel yaitu (1). Faktor-faktor yang dapat diubah oleh manusia seperti tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di atas tanah (v), sebagian
sifat-sifat tanah (t) yaitu kesuburan tanah, ketahanan agregat, dan kapasitas infiltrasi, dan satu unsur topografi (r) yaitu panjang lereng, dan (2). Faktor-faktor yang tidak dapat diubah oleh manusia seperti iklim (i), tipe tanah, dan kecuraman
lereng. a. Iklim
Di daerah beriklim basah faktor iklim yang mempengaruhi erosi adalah hujan. Besarnya curah hujan, intensitas, dan distribusi hujan menentukan kekuatan dispersi hujan terhadap tanah, jumlah dan kecepatan aliran permukaan dan
kerusakan erosi. Besarnya curah hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu. Oleh karena itu besarnya curah hujan dapat dinyatakan dalam meter
hujan atau untuk masa tertentu seperti per hari, per bulan, per musim, atau per
tahun (Sinukaban, 1986). b. Topografi
Kemiringan dan panjang lereng adalah dua unsur topografi yang paling berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi. Unsur lain yang berpengaruh adalah konfigurasi, keseragaman dan arah lereng. Kemiringan lereng dinyatakan
dalam derajat atau persen. Kecuraman lereng 100% sama dengan kecuraman 450. Semakin curam lereng maka kecepatan aliran permukaan dan energi angkut air
akan semakin besar. Panjang lereng dihitung mulai dari titik pangkal aliran permukaan sampai suatu titik dimana air masuk ke dalam saluran atau sungai, atau dimana kemiringan lereng berkurang sedemikian rupa sehingga kecepatan aliran
air berubah. Air yang mengalir di permukaan tanah akan terkumpul di ujung lereng. Dengan demikian berarti lebih banyak air yang mengalir dan makin besar kecepatannya di bagian bawah lereng daripada di bagian atas sehingga tanah di
bagian bawah lereng mengalami erosi lebih besar daripada bagian atas. Makin panjang lereng permukaan tanah, makin tinggi potensial erosi karena akumulasi
air aliran permukaan semakin tinggi. Kecepatan aliran permukaan makin tinggi mengakibatkan kapasitas penghancuran dan deposisi makin tinggi pula (Wischmeier dan Smith, 1978).
c. Vegetasi
Suatu vegetasi penutup tanah yang baik seperti rumput yang tebal atau
terhadap aliran permukaan dan erosi dapat dibagi dalam lima bagian, yakni (a)
intersepsi hujan oleh tajuk tanaman; (b) mengurangi kecepatan aliran permukaan dan kekuatan perusak air; (c) pengaruh akar dan kegiatan-kegiatan biologi yang
berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif dan pengaruhnya terhadap stabilitas struktur dan porositas tanah; dan (d) transpirasi yang mengakibatkan kandungan air tanah berkurang (Arsyad, 1989).
Intersepsi hujan oleh vegetasi mempengaruhi erosi melalui dua cara yaitu a) mempengaruhi jumlah air yang sampai ke tanah sehingga dapat mengurangi
aliran permukaan dan b) mempengaruhi kekuatan perusak butir-butir hujan yang menimpa tanah (Arsyad, 2010).
Mengurangi kecepatan aliran permukaan dan kekuatan perusak air dapat
dilakukan dengan adanya tumbuhan yang merambat di permukaan tanah. Tumbuhan seperti ini berperan sebagai penghambat aliran permukaan. Sedangkan pohon-pohon yang jarang tegaknya, kecil sekali pengaruhnya terhadap kecepatan
aliran permukaan. Tumbuhan yang merambat di permukaan tanah dengan rapat tidak hanya memperlambat aliran air tetapi juha mencegah pengumpulan air
secara cepat. Tumbuhan merambat mengurangi daya penguras atau daya hancur dan daya angkut air (Banuwa, 2013).
Pengaruh akar tumbuhan dan kegiatan biologi tanah dalam memperbaiki
porositas dan stabilitas agregat dilakukan melalui pembentukan agregat-agregat tanah yang dimulai dengan penghancuran bongkah-bongkah tanah oleh akar
kimia. Akar-akar serabut mengikat butir-butir primer tanah, sedangkan sekresi dan
bagian tanaman yang terombak memberikan senyawa-senyawa kimia yang berfungsi sebagai pemantap agregat (Arsyad, 1989).
d. Tanah
Menurut Arsyad (1989) berbagai tipe tanah mempunyai kepekaan terhadap erosi yang berbeda. Kepekaan erosi tanah yaitu mudah atau tidaknya tanah tererosi dan merupakan fungsi dari berbagai interaksi sifat-sifat fisik dan
kimia tanah. Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi kepekaan erosi adalah (1). Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi laju infiltrasi, permeabilitas, dan kapasitas
menahan air dan (2). Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi ketahan struktur tanah terhadap dispersi dan pengikisan oleh butir-butir hujan yang jatuh dan aliran permukaan. Adapun sifat-sifat tanah yang mempengaruhi erosi adalah a. tekstur,
b. struktur, c. bahan organik, d.kedalaman, e.sifat lapisan, f.tingkat kesuburan tanah.
Tekstur adalah ukuran dan proporsi kelompok ukuran butir-butir primer bagian mineral tanah. Butir-butir primer terbagi dalam liat (clay), debu (silt), dan pasir (sand). Tanah-tanah bertekstur kasar seperti pasir dan pasir berkerikil
mempunyai kapasitas infiltrasi yang tinggi, dan jika tanah tersebut dalam, maka erosi dapat diabaikan. Tanah bertekstur pasir halus juga mempunyai kapasitas
infiltrasi yang cukup tinggi, akan tetapi jika terjadi aliran permukaan maka butir-butir halus akan mudah terangkut (Kemenhut, 2013).
Tanah-tanah yang mengandung liat dalam jumlah yang tinggi dapat
tersuspensi oleh butir-butir hujan yang jatuh menimpanya dan pori-pori lapisan permukaan akan tersumbat oleh butir-butir liat. Hal ini menyebabkan terjadinya
mempunyai struktur yang mantap yaitu tidak mudah terdispersi maka infiltrasi
masih cukup besar sehingga aliran permukaan dan erosi tidak begitu hebat (Banuwa, 2013).
Struktur adalah ikatan butir primer ke dalam butir sekunder atau agregat. Susunan butir-butir primer tersebut menentukan tipe struktur. Tanah-tanah yang berstruktur kersai atau granular lebih terbuka dan lebih sarang dan akan menyerap
air lebih cepat daripada yang berstruktur dengan susunan butir-butir primernya lebih rapat. Terdapatnya dua aspek struktur yang penting dalam hubungannya
dengan erosi. Pertama adalah sifat fisika-kimia liat yang menyebabkan terjadinya flokulasi, dan aspek yang kedua adanya bahan pengikat butir-butir primer sehingga terbentuk agregat yang mantap (Arsyad, 1989).
Bahan organik berupa daun, ranting dan sebagainya yang belum hancur yang menutupi permukaan tanah merupakan pelindung tanah terhadap kekuatan perusak butir-butir hujan yang jatuh. Bahan organik yang telah mulai mengalami
pelapukan mempunyai kemampuan menyerap dan menahan air yang tinggi. Bahan organik dapat menyerap air sebesar dua sampai tiga kali beratnya, akan
tetapi kemampuan itu hanya faktor kecil dalam pengaruhnya terhadap aliran permukaan. Pengaruh bahan organik dalam mengurangi aliran permukaan terutama berupa perlambatan aliran, peningkatan infiltrasi dan pemantapan
agregat tanah (Dariah, dkk, 2004).
Tanah-tanah yang dalam dan permeabel kurang peka terhadap erosi
oleh tekstur dan struktur tanah. Tanah yang lapisan bawahnya berstruktur granuler
dan permeabel kurang peka erosi dibandingkan dengan tanah yang lapisan bawahnya padat dan permeabilitasnya rendah (Arsyad, 2010).
Perbaikan kesuburan tanah akan memperbaiki pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan tanaman yang lebih baik akan memperbaiki penutupan tanah yang lebih baik dan lebih banyak sisa tanaman yang kembali ke tanah setelah panen.
Kepekaan tanah terhadap erosi atau kepekaan erosi tanah yang menunjukkan mudah atau tidaknya tanah mengalami erosi, ditentukan oleh berbagai sifat fisik
dan kimia tanah. Kepekaan erosi tanah haruslah merupakan pernyataan keseluruhan pengaruh sifat-sifat tanah dan bebas dari pengaruh faktor-faktor penyebab erosi lainnya (Arsyad, 1989).
e. Manusia
Pada akhirnya manusialah yang menentukan apakah tanah yang diusahakannya akan rusak dan tidak produktif atau menjadi baik dan produktif
secara lestari. Banyak faktor yang menentukan apakah manusia akan memperlakukan dan merawat serta mengusahakan tanahnya secara bijaksana
sehingga menjadi lebih baik dan dapat memberikan pendapatan yang cukup untuk jangka waktu yang tidak terbatas (Banuwa, 2013).
Perkembangan mengenai perumusan persamaan erosi dimulai sejak tahun
1940-an, diawali dengan prediksi kehilangan tanah di suatu lahan pertanian. Dalam memperkirakan besarnya erosi pada suatu lahan, perlu diketahui data
metode yang bersifat umum. Terdapat beberapa model perhitungan laju erosi yang
kemudian dikembangkan untuk lebih meningkatkan nilai keakuratan serta analisa pada kondisi lahan yang lebih spesifik. Menurut Sandra et all (1995) model-model
tersebut diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Metode USLE (Universal Soil Loss Equation)
Universal Soil Loss Equation (USLE) dikembangkan pertama kali di
USDA-SCS (United State Department of Agriculture-Soil Conversation Services) bekerjasama dengan Universitas Purdue. Metode ini memiliki persamaan yang
sederhana dan bersifat umum untuk suatu lahan, baik lahan pertanian maupun non-pertanian atau campuran. USLE baik untuk digunakan pada perhitungan erosi dalam jangka waktu yang lama.
2. Sediment Delivery Ratio (SDR)
Pada kasus tertentu seperti terutama untuk daerah tangkapan air yang belum diketahui besarnya komponen-komponen rumus USLE, perlu dilakukan
perkiraan nilai erosi yang lebih sederhana tetapi masih bisa dipertanggungjawabkan hasilnya. Cara perkiraan besarnya erosi yang dimaksud
adalah dengan memanfaatkan data debit, muatan sedimen, berat jenis tanah dan nisbah pelepasan sedimen.
3. Revised Universal Soil Loss Equation (RUSLE)
Revised Universal Soil Loss Equation (RUSLE) dikembangkan oleh
USDA Agricultural research service. Model ini meningkatkan keakuratan dari
4. Nonpoint Source Pollutant Models (NPS)
Model NPS dikembangkan untuk menyediakan metode simulasi erosi tanah dan transportasi polusi nonpoint yang konsisten. Pada bulan Juli tahun
1976, sebuah model dikembangkan oleh Anthoni S. Donigian dan Norman H. Crawford. Hasil dari model yang mereka kembangkan itulah yang disebut NPS. NPS menggunakan beberapa program untuk mempresentasikan respon hidrologi
dari watershed/areal aliran air dan hal lain seperti akumulasi salju dan lelehan, proses akumulasi ,perkembangan dan musnahnya polutan di permukaan tanah.
Pada dasarnya model ini digunakan untuk memprediksi polusi yang terjadi pada sebuah watershed, namun demikian juga dapat digunakan untuk memprediksi erosi sedimen. NPS terdiri atas tiga komponen utama, diantaranya menggunakan
program LANDS dan QUAL. LANDS sendiri merupakan sebuah modul yang diambil dari Stanford watershed model. Sedangkan, QUAL merupakan sebuah
subroutine yang mensimulasi proses erosi, akumulasi sedimen serta pemusnahan
sedimen dan polutan pada permukaan tanah. Model ini dapat mensimulasikan run
off sediment tetapi membutuhkan beragam data dan cukup kompleks dalam
aplikasinya.
5. Watershed Erotion and Sediment TransportModel (WEST/ARM)
Model WEST dikembangkan untuk mensimulasi dan memprediksi
perpindahan air dan sedimen dari permukaan tanah yang melalui sistem aliran dari
watershed. Perkembangan model WEST pada tahun 1979 merupakan gabungan
mensimulasikan land paths process/ proses pembentukan alur daratan, sedangkan
model CHANL mensimulasikan in-stream/channel process atau proses aliran masuk pada saluran air. Model WEST ini merupakan model simulasi yang sangat
kompleks dengan perhitungan matematis yang sangat rumit. Hal lain yang menjadi kekurangan adalah bahwa model ini tidak dapat diaplikasikan dengan SIG. Namun demikian model ini memberikan hasil dengan tingkat ketepatan dan
akurasi yang tinggi untuk memprediksi erosi dan yield sediment.
6. Storm Water Models (SWM)
Storm Water Models (SWM) merupakan sebuah model yang
dikembangkan untuk mendeskripsikan kualitas dan kuantitas dari hujan lebat. Pada akhir-akhir ini model SWM banyak dikenal dalam bentuk model-model lain
seperti Stormwater Management Models (SWMM), Storage Treatment Overflow
Runoff Model (STORM) dan Hydrologyc Simulation Program Fortran (HSPF).
Model-model tersebut pada dasarnya memiliki tiga komponen utama, yaitu:
a) Overland flow/aliran permukaan, yaitu berupa kualitas dan kuantitas air pada
aliran permukaan.
b) Sistem drainase, seperti channel atau pipa saluran, dan storage routing.
c) Receiving water/Aliran masuk, yaitu kuantitas dan kualitas air yang masuk
termasuk kadar polusinya.
Model SWM ini pada dasarnya lebih berorientasi pada lingkungan kota, yaitu khususnya pada prediksi perencanaan stormwater. Sedangkan untuk penggunaan
Debit Aliran Sungai
Debit aliran sungai merupakan volume air yang mengalir melewati penampang sungai pada luasan dan kecepatan tertentu yang saling mempengaruhi
terutama curah hujan dan sifat fisik. Data debit atau aliran sungai merupakan informasi yang paling penting bagi pengelolaan sumber daya air (Arsyad, 2010).
Debit aliran adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang
melewati suatu penampang melintasi sungai persatuan waktu, satuan debit adalah m3/detik. Debit sungai diperoleh setelah mengukur kecepatan air dengan alat
pengukur atau pelampung untuk mengetahui data kecepatan aliran sungai (Asdak, 2002).
Sedimentasi
Sedimen adalah hasil proses erosi, baik berupa erosi permukaan, erosi parit, atau jenis erosi tanah lainnya. Sedimen umumnya mengendap di bagian bawah kaki bukit, di daerah genangan banjir, di saluran air, sungai, dan waduk.
Hasil sedimen (sediment yield) adalah besarnya sedimen yang berasal dari erosi yang terjadi di daerah tangkapan air yang diukur pada periode waktu dan tempat
tertentu. Hasil sedimen biasanya diperoleh dari pengukuran sedimen terlarut dalam sungai (suspended sediment) atau dengan pengukuran langsung di dalam waduk, dengan kata lain bahwa sedimen merupakan pecahan, mineral, atau
material organik yang ditransferkan dari berbagai sumber dan diendapkan oleh media udara, angin, es, atau oleh air dan juga termasuk didalamnya material yang
Setiap sungai membawa sejumlah sedimen terapung (suspended sediment)
serta menggerakkan bahan-bahan padat di sepanjang dasar sungai sebagai muatan dasar (bed load). Karena berat jenis bahan-bahan tanah adalah kira-kira 2,65 g/cc,
maka partikel-partikel sedimen terapung cenderung untuk mengendap ke dasar alur, tetapi arus ke atas pada aliran turbulen menghalangi pengendapan secara gravitasi tersebut. Bila air yang mengandung sedimen mencapai suatu waduk,
maka kecepatan dan turbulensinya akan sangat jauh berkurang. Muatan sedimen terapung pada sungai-sungai dikur dengan cara mengambil contoh air,
menyaringnya untuk memisahkan sedimen, mengeringkannya, dan kemudian menimbang bahan-bahan yang disaring tersebut. Muatan sedimen dinyatakan dalam parts per million (ppm). Sedimen yang tererasi dalam suatu lembah sungai
dalam suatu kejadian hujan dapat diendapkan di alur sungai dan tinggal disana hingga hujan berikutnya mendorongnya ke hilir. Bagian-bagian tertentu dari lembah sungai mungkin lebih peka terhadap erosi daripada bagian-bagian lainnya,
sehingga muatan sedimen yang lebih besar dapat diharapkan bila curah hujan terpusat pada daerah semacam ini (Sasongko, 1991).
Hasil sedimen dari suatu daerah aliran tertentu dapat ditentukan dengan pengukuran pengangkutan sedimen terlarut (suspended sediment) pada titik kontrol dari alur sungai. Sedimen yang sering dijumpai dalam sungai baik terlarut
maupun tidak terlarut adalah merupakan produk dari pelapukan batuan induk yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama perubahan iklim. Hasil pelapukan
yang tererosi tersebut keluar dari daerah tangkapan air DAS/sub-DAS. Produksi
sedimen umumnya mengacu kepada besarnya laju sedimen yang mengalir melewati satu titik pengamatan tertentu dalam suatu sistem DAS. Sebagian tanah
tererosi akan terdeposisi di cekungan-cekungan permukaan tanah, di kaki-kaki lereng dan bentuk-bentuk penampungan sedimen lainnya. Oleh karena itu, besarnya hasil sedimen biasanya bervariasi mengikuti karakteristik fisik
DAS/sub-DAS. Besarnya hasil sedimen dinyatakan sebagai volume atau berat sedimen per
satuan daerah tangkapan air per satuan waktu (ton per km2 per tahun)
(Rahim, 2006).
Sistem Informasi Geografis
Menurut Chrisman (2005) SIG adalah sistem yang terdiri atas perangkat
keras, perangkat lunak, data, manusia, organisasi, dan lembaga yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, dan menyebarkan informasi-informasi mengenai daerah-daerah di permukaan bumi.
Dua komponen penting penyusun data geografis, yaitu data spasial dan data atribut. Data spasial mempresentasikan posisi atau lokasi geografis dari suatu
obyek di permukaan bumi. Data spasial dapat diperoleh dari berbagai sumber dan dalam berbagai format. Sumber data spasial antara lain meliputi data grafis peta analaog, foto udara, citra satelit, survei lapangan, pengukuran theodolit
pengukuran menggunakan Global Positioning System (GPS). Sedangkan data atribut memberikan deskripsi atau penjelasan dari suatu obyek. Data atribut dapat
ArcView adalah salah satu software Sistem Informasi Geografis (SIG).
Softwere SIG mempunyai kemampuan untuk menampilkan, memanipulasi dan merubah data SIG. ArcView merupakan salah satu perangkat lunak SIG dan
pemetaan Generasi ke-2 setelah Arcinfo yang dikembangkan oleh Environmental
Systems Research Institute (ESRI). Dengan ArcView kita dapat melakukan
visualisasi data spasial dan data tabular, menganalisis data secara geografis,
melakukan perhitungan statistik, dan sebagainya (ESRI, 1996).
Teknik menumpangtindihkan (overlay) menjadi bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari operasi SIG ini. Albrecht (2007) dalam Irsan (2011) menyatakan bahwa proses overlay memerlukan ketepatan dan kesamaan lokasi. Dengan kata lain, pada suatu lokasi tertentu, semua data yang terdapat dalam sebuah kelas fitur
dan data yang terdapat dalam kelas fitur lain digabungkan menjadi sebuah set data hasil dan membentuk geometri yang sebelumnya tidak ada, sehingga menghasilkan data yang benar-benar baru.
Geoprosessing merupakan suatu perintah dalam Arcview. Geoprocessing
adalah operasi tumpang tindih dalam SIG umumnya dilakukan dengan salah satu
dari empat cara yang dikenal, yaitu:
a. Pemanfaatan fungsi logika seperti gabungan (union), irisan (intersection), pilihan (and dan or), perbedaan (difference) dan pernyataan bersyarat (if, then
dan else).
b. Pemanfaatan fungsi relasional seperti ukuran lebih-besar, lebih-kecil, sama
besar dan kombinasinya.
d. Menyilangkan dua peta langsung berbagai manipulasi teknik tumpang-tindih
ini umumnya bervariasi yang ditentukan pengetahuan operator dan tingkat kemampuan perangkat lunak. Selain itu salah satu faktor utama adalah struktur