• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Pelaksanaan Program Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni Di Kota Payakumbuh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Pelaksanaan Program Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni Di Kota Payakumbuh"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Evaluasi

2.1.1 Pengertian Evaluasi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, evaluasi memiliki arti penilaian. Penilaian berarti pengukuran atau penentuan manfaat daripada suatu kegiatan. Dalam perusahaan evaluasi dapat diartikan sebagai suatu proses pengukuran akan efektivitas strategi yang digunakan dalam upaya mencapai tujuan perusahaan. Data yang diperoleh dri hasil pengukuran tersebut akan digunakan sebagai analisis situasi program berikutnya.

Viviane dan gilbert de lansheere dalam bukunya menyatakan bahwa evaluasi adalah proses penentuan apakah materi dan metode pembelajaran telah sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Penentuannya bias dilakukan salah satunya dengan cara pemberian tes kepada pembelajar. Terlihat disana bahwa acuan tes adalah tujuan pembelajaran. Selanjutnya evaluasi adalah suatu aktivitas yang dirancang untuk menimbang manfaat atau efektivitas suatu program melalui indicator yang khusus, teknik pengukuran, metode analisis, dan bentuk perencanaan (siagian dan agus, 2010:117).

(2)

ukuran baik atau buruk,sehat atau sakit, pandai atau bodoh dan sebagainya. Serta penilaian bersifat kualitatif. Menilai adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk (bersifat kualitatif), dan evaluasi meliputi kedua langkah tersebut (arikunto,2009:3).

Dari rumusan evaluasi yang dikemukakan tersebut maka dapat diartikan bahwa evaluasi adalah sebuah proses yang dilakukan oleh seseorang untuk melihat sejauh mana keberhasilan (efektivitas dan efisiensi) sebuah program dengan menggunakan indicator yag khusus,teknik pengukuran, metode analisis, dan bentuk perencanaan. Keberhasilan program itu sendiri dapat dilihat dari dampak atau hasil yang dicapai oleh program tersebut.

2.1.2 Tujuan dan Fungsi Evaluasi

Setiap kegiatan yang dilaksanakan pasti mempunyai tujuan, demikian juga dengan evaluasi. Ada dua tujuan evaluasi yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum diarahkan kepada program dan secara keseluruhan sedangkan tujuan khusus lebih difokuskan pada masing-masing komponen (arikunto,2002:13).

Pada dasarnya tujuan akhir evaluasi adalah untuk memberikan bahan-bahan pertimbangan untuk menentukan/membuat kebijakan tertentu, yang diawali dengan suatu proses pengumpulan data yang sistematis.

Evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan antara lain : 1. Evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai

(3)

2. Evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai

yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Nilai diperjelas dengan mendefenisikan dan mengoperasikan tujuan dan target.

3. Evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisi kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi. Informasi tentang tidak memadainya kinerja kebijakan dapat memberi sumbangan pada perumusan ulang masalah kebijakan. Evaluasi dapat pula menyumbang pada defenisi alternative kebijakan yang baru atau revisi kebijakan.

Dari fungsi-fungsi evaluasi yang telah dikemukakan beberapa ahli, dapatlah disimpulkan bahwa evaluasi merupakan sebuah proses yang dilkukan oleh seseorang untuk melihat sejauh mana keberhasilan sebuah program. Keberhasilan program itu sendiri dapat dilihat dari dampak atau hasil yang dicapai program tersebut.

Evaluasi berusaha mengidentifikasi mengenai apa sebenarnya terjadi pada pelaksanaan atau penerapan program. Evaluasi (Suhartono, 2008: 119) bertujuan untuk:

1. Mengidentificaksi tingkat pencapaian tujuan.

2. Mengukur dampak langsung yang terjadi pada kelompok sasaran.

3. Mengetahui dan menganalisis konsekuensi-konsekuensi lain yang mungkin terjadi diluar rencana (exterbalities).

2.1.3 Proses Evaluasi

(4)

1. Penilaian atas perencanaan, yaitu mencoba memilih dan menerapkan proiritas

terhadap berbagai alternative dan kemungkinan atas cara mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya

2. Penilaian atas pelaksanaan, yaitu melakukan analisis tingkat kemajuan pelaksanaan dibandingkan dengan perencanaan, didalamnya meliputi apakah pelaksanaan program sesuai dengan apa yang direncanakan, apakah ada perubahan-perubahan sasaran maupun tujuan dari program yang sebelumnya direncanakan.

3. Penilaian atas aktivitas yang telah selesai dilaksanakan, yaitu menganalisis hasil yang diperoleh sesuai dengan tujuan yang sebelumnya ditetapkan.

2.1.4 Tolak Ukur Evaluasi

Suatu program dapat dievaluasi apabila ada tolak ukur yang menantinya dijadikan penilaian suatu program. Berhasil atau tidaknya program berdasarkan tujuan yang dibuat sebelumnya harus memiliki tolak ukur, dimana tolak ukur ini harus dicapai dengan baik oleh sumber daya yang mengelolanya.

Adapun yang menjadi tolak ukur dalam evaluasi suatu program adalah 1. Ketersediaan sarana untuk mencapai tujuan tersebut

2. Apakah hasil proyek sesuai dengan hasil yang diinginkan

3. Apakah sarana atau kegiatan yang benar-benar membutuhkannya

4. Apakah sarana yang disediakan benar-benar dilakukan untuk tujuan semula 5. Berapa persen jumlah atau luasan sasaran sebenarnya yang dapat dijangkau

oleh program

6. Bagaimana mutu pekerjaan atau sasaran yang dihasilkan dari program

(5)

8. Apakah sumber daya dan kegiatan yang dilakukan benar-benar dimanfaatkan

secara maksimal

9. Apakah kegiatan yang dilakukan benar-benar memberikan masukan terhadap perubahan

2.2 Pengertian Program

Program merupakan tahap-tahap dalam penyelesaian rangkaian kegiatan yang berisi langkah-langkah yang akan dikerjakan untuk mencapai tujuan dan merupakan unsure pertama yang harus ada demi tercapainya kegiatan implementasi. Manila(dalam jones, 1996:43) mengemukakan bahwa program akan menunjang implementasi, karena dalam program telah dimuat berbagai aspek antara lain:

a. Adanya tujuan yang ingin dicapai

b. Adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diambil dalam mencapai tujuan itu

c. Adanya aturan-aturan yang harus dipegang dan prosedur yang harus dilalui d. Adanya perkiraan anggaran yang dibutuhkan

e. Adanya strategi dalam pelaksanaan

2.3 Pengertian Evaluasi Pelaksanaan Program

Evaluasi program merupakan suatu langkah yaitu awal dalam supervise yaitu mengumpulkan data yang tepat agar dapat dilanjutkan dengan pemberian pembinaan yang tepat pula. Jika ditinjau dari aspek tingkat peaksanaannya secara umum evaluasi terhadap program dapat dikelompokkan kedalam tiga jenis, yaitu :

(6)

2. Penilaian atas pelaksanaan yaitu melakukan analisis tingkat kemajuan

pelaksanaan dibandingkan denga perencanaan, didalamnya meliputi apakah pelaksanaan program sesuai dengan apa yang direncanakan, apakah ada perubahan-perubahan sasaran maupun tujuan dari program yang sebelumnya direncanakan.

Evaluasi dalam pelaksanaan suatu program yaitu, melakukan analisis tingkat kemajuan pelaksanaan dibandingkan dengan perencanaan,didalamnya meliput i apakah pelaksanaan program sesuai dengan apa yang direncanakan, apakah ada perubahan-perubahan sasaran maupun tujuan dari program yang sebelumnya direncanakan (siagian & suriadi, 2012:117-118).

Dapat diketahui bahwa pelaksanaan program adalah sejauh mana pelaksanaan suatu program, yaitu sosialisasi yang dilakukan, ketepatan sasaran dan waktu program, pelayanan program yang diberikan, manfaat dan tujuan serta penanganan dari pengaduan masyarakat terhadap program.

2.4 Kebijakan Publik dan Kebijakan Sosial 2.4.1. Kebijakan Publik

Kebijakan (policy) adalah sebuah instrument pemerintah, bukan saja dalam arti government yang hanya menyangkut aparatur Negara, melainkan pula gevermance yang menyentuh pengelolaan sumber daya publik. Kebijakan pada

(7)

Banyak definisi mengenai kebijakan public. Sebagian ahli member pengertian kebijakan publik dalam kaitannya dengan keputusan atau ketetapan pemerintah untuk melakukan sesuatu tindakan yang dianggap akan membawa dampak bagi kehidupan warganya. Kebijakan publik pada umumnya mengandung pengertian mengeni “whatever government choose to do or not to do”. Artinya kebijakan publik adalah “apa saja yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan” (Brigdman dan Davis, dalam Suhartono, 2009: 3).

Tidak berarti bahwa kebijakan hanyalah milik atau domain pemerintah saja. Organisasi non pemerintah, organisasi sosial dan lembaga-lembaga sukarela lainnya memiliki kebijakan-kebijakan pula. Namun, kebijakan mereka tidak dapat diartikan sebagai kebijakan publik karena kebijakan mereka tidak memakai sumber daya publik atau tidak memiliki legalitas hukum sebagaimana kebijakan lembaga pemerintah.

Kebijakan publik sedikitnya mencakup hal-hal sebagai berikut (Hogwood dan Gunn, dalam Suhartono, 2009: 5) :

1. Bidang kegiatan sebagai ekspresi dari tujuan umum atau

pernyataan-pernyataan yang ingin dicapai.

2. Proposal tertentuyang mencerminkan keputusan-keputusan pemerintah yang telah dipilih.

3. Kewenangan formal seperti undang-undang atau peraturan pemerintah. 4. Program, yakni seperangkat kegiatan yang mencakup rencana penggunaan

sumber daya lembaga dan strategi pencapaian tujuan.

5. Keluaran, yaitu apa yang nyata tlah disediakan oleh pemerintah, sebagai produk dari kegiatan tertentu.

(8)

7. Proses yang panjang dalam periode waktu tertentu yang relative panjang

(Hogwood dan Gunn, dalam Suhartono, 2009: 5).

Brigdman dan Davis (2004: 4-7)menerngkan bahwa kebijakan publik sedikitnya memiliki tiga dimensi yang saling bertautan yakni:

1. Kebijakan publik sebagai tujuan

Kebijakan adalah a means to an end yaitu alat untul mencapai sebuah tujuan. Kebijakan publik pada akhirnya menyangkut pencapaian tujuan publik. Artinya, kebijakan publik adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didisain untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diharapkan oleh publik sebagai kenstituen pemerintah.

2. Kebijakan publik sebagai pilihan tindakan yang legal

Melalui kebijakan–kebijakan, pemerintah membuat ciri khas kewenangannya. Artinya, kompleksitas dunia politik disederhanakan menjadi pilihan-pilihan tindakan yang sah atau legal untuk mencapai ttujuan tertentu. Kebijakan kemudian dapat dilihat sebagai respon atau tanggapan resmi terhadap isu atau masalah publik.

3. Kebijakan publik sebagai hipotesis

Kebijakan dibuat berdasarkan teori, model atau hipotesis mengenai sebab dan akibat. Kebijakan kebijakan senantiasa bersandar pada asumsi-asumsi mengenai perilaku. Kebijakan selalu menngandung insentif yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu. Kebijakan juga selalu memuat disinsetif yang mendorong orang tidak melakukan sesuatu.

2.4.2. Kebijakan Sosial

(9)

bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak (Bessant, Watts, dan Smith, dalam Suhartono, 2009: 10).

Dalam garis besar, kebijakan sosial diwujudkan dalam tiga kategori, yaitu perundang-undangan, program pelayanan sosial, dan sistem perpajakan. Berdasarkan kategori ini, maka dapat ditanyakan bahwa setiap perundang-undangan, hukum atau peraturan daerah yang menyangkut masalah dan kehidupan sosial adalah wujud dari kebijakan sosial. Namun, tidak semua kebijakan berbentuk perundang-undangan.

Kebijakan sosial sering kali melibatkan program-program bantuan yang sulit dilihat secara kasat mata. Karenanya,masyarakat luas kadang-kadang sulit mengenali kebijakan sosial dan membedakannya dengan kebijakan publik lainnya. Secara umum kebijakan publik lebih luas daripada kebijkan sosial. Kebijakan Transportasi.Jalan raya,Air bersih,Pertahanan Dan Keamanan merupakan beberapa kebijakan publik. Sedangkan,kebijakan mengenai jaminan sosial,seperti bantuan sosial dan asuransi sosial yang umumnya diberikan bagi kelompok mikin atau rentat,adalah contoh kebijakan sosial (Suhartono,2009: 11-12).

Kebijakan sosial sejatinya merupakan kebijakan kesejahteraan (welfare policy), yakni kebijakan pemerintah yang secara khusus melibatkan

program-program pelayanan sosial bagi kelompok-kelompok kurang beruntung yakni para pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial seperti keluarga miskin, anak terlantar, pekerja anak, korban HIV/AIDS, penyalahguna narkoba dan kelompok-kelompok rentan lainnya, baik secara ekonomi maupun psikososial. Setiap Negara memiliki perbedaan dalam mengkategorikan kebijakan public dan kebijakan sosial.

2.5 Pengertian Rehabilitasi Sosial

(10)

sosial, pekerjaan dan ekonomi. Rehabilitasi didefinisikan sebagai “satu program holistik dan terpadu atas intervensi-intervensi medis, fisik, psikososial, dan vokasional yang memberdayakan seorang (individu penyandang cacat) untuk meraih pencapaian pribadi kebermaknaan sosial, dan interaksi efektif yang fungsional dengan dunia.

Rehabilitasi mangandung makna pemulihan kepada kedudukan (keadaan, nama baik) yg dahulu (semula) atau perbaikan anggota tubuh yg cacat dan sebagainya atas individu supaya menjadi manusia yang berguna dan memiliki tempat di masyarakat (KBBI, 1998:92).

Jadi apabila kata rehabilitasi dipadukan dengan kata sosial, maka rehabilitasi sosial bisa diartikan sebagai pemulihan kembali keadaan individu yang mengalami permasalahan sosial kembali seperti semula.

(11)

Rehabilitasi sosial mempunyai beberapa tujuan, diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Memulihkan kembali rasa harga diri, percaya diri, kesadaran serta tanggung jawab terhadap masa depan diri, keluarga maupun masyarakat atau lingkungan sosialnya.

2. Memulihkan kembali kemauan dan kemampuan untuk dapat

melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. 2. 6 Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni

2.6.1 Kriteria Kepala Keluarga Penerima Bantuan RS-RTLH

Adapun kriteria yang harus dimiliki kepala keluara penerima bantuan RS-RTLH adalah sebagai berikut;

a. Memiliki KTP/identitas diri yang berlaku;

b. Kepala keluarga /anggota keluarga tidak mempunyai sumber mata pencaharian atau mempunyai mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiian;

c. Kehidupan sehari-hari masih memerlukan bantuan pangan untuk penduduk miskin seperti zakat dan raskin;

d. Tidak memiliki asset lain apabila dijual tidak cukup untuk membiayai kebutuhan hidup anggota keluarga selama 3 bulan kecuali tanah dan rumah yang ditempati;

(12)

f. Rumah yang dimiliki dan ditempati adalah rumah tidak layak huni yang

tidak memenuhi syarat kesehatan, keamanan dan sosial, dengan kondisi sebagai berikut

a. Tidak permanen dan / atau rusak;

b. Dinding dan atap dibuat dari bahan yang mudah rusak/lapuk, seperti : papan, ilalang, bamboo yang dianyam/gedeg, dsb;

c. Dinding dan atap sudah rusak sehingga membahayakan, mengganggu keselamatan penghuninya;

d. Lantai tanah/semen dalam kondisi rusak;

e. Diutamakan rumah tidak memiliki fasilitas kamar mandi, cuci dan kakus

2.6.2 Kriteria Sarana dan Prasarana Lingkungan

Sarana prasarana lingkungan yang menjadi sasaran kegiatan adalah :

1. Terletak pada lokasi RS-RTLH;

2. Merupakan fasilitas umum yang mendukung peningkatan kualitas hidup masyarakat terutama warga miskin;

3. Menjadi kebutuhan dan diusulkan oleh masyarakat; 4. Legal dan tidak berpotensi menimbulkan konflik sosial;

5. Masyarakat setempat bersedia untuk mengalokasikan sumber daya yang mereka miliki seperti : lahan, tenaga dan material

2.6.3 Kelompok Penerima Bantuan

(13)

1. Membentuk pengurus kelompok terdiri dari ketua, sekretaris dan bendahara; 2. Membuka rekening di Bank Pemerintah atas nama kelompok dengan

specimen ditandatangani ketua dan bendahara;

3. Melakukan penilaian bagian rumah yang akan direhabilitasi;

4. Menetapkan toko bangunan yang akan menjamin penyediaan barang; 5. Mengusulkan pelaksana yang ahli dalam bidang bangunan (tukang);

6. Mengajukan usulan kebutuhan perbaikan rumah beserta dana yang diperlukan maksimal sebesar Rp. 10.000.000,- setiap rumah untuk disetujui oleh Dinas SosialKab/Kota;

7. Membantu tukang yang telah ditunjuk untuk mengerjakan perbaikan rumah secara gotong royong dalam satu kelompok;

8. Setelah uang diterima, ketua membuat dan menandatangani tanda terima uang bantuan dari Kementerian Sosial sejumlah yang tercantum dalam rekening dengan diketahui aparat desa/kelurahan setempat dan segera dikirim ke Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Dinas Sosial Kab/Kota; 9. Menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan dan kegiatan

RS-RTLH kepada Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Dinas Sosial Kab/Kota tembusan disampaikan kepada Dinas Sosial Provinsi dengan malampirkan bukti-bukti kwitansi pengeluaran dan surat pernyataan telah diselesaikannya pekerjaan yang diketahui kepala desa/lurah.

2.6.4 Tim Pembangunan Sarling

(14)

1. Menyusun pengurus Tim Sarling yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara

dan anggota;

2. Membuka rekening di bank pemerintah atas nama kelompok dengan specimen ditandatangani ketua dan bendahara;

3. Menentukan jenis Sarling yang akan dibangun sesuai kebutuhan masyarakat; 4. Menggali dan mendayagunakan potensi dan sumber local;

5. Menggerakkan masyarakat dan dunia usaha untuk berpartisipasi; 6. Menunjuk tenaga ahli (tukang);

7. Melaksanakan pembangunan Sarling secara bergotong-royong;

8. Setelah uang diterima, ketua membuat dan menandatangani tanda terima uang bantuan dari Kementerian Sosial sejumlah yang tercantum dalam rekening dengan diketahui aparat desa/kelurahan setempat dan segera dikirim ke Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Dinas Sosial Kab/Kota; 9. Menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan dan kegiatan Sarling

kepada Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Dinas Sosial Kab/Kota tembusan disampaikan kepada Dinas Sosial Provinsi, dengan melampirkan bukti-bukti kwitansi pengeluaran dan surat pernyataan selesainya pekerjaan yang diketahui kepala desa/lurah.

2.6.5 Prosedur Pengusulan Kegiatan

Prosedur pengusulan penerima bantuan rehabilitasi social rumah tidak layak huni dan sarana prasarana lingkungfan adalah sebagai berikut :

(15)

2. Berdasarkan hasil pendataan tersebut, Dinas Sosial/Instansi Kab/Kota

mengajukan permohonan bantuan rehabilitasi sosial rumah tidak layak huni ke Kementerian Sosial dengan rekomendasi Dinas Sosial Provinsi dengan melampirkan data lokasi, data calon penerima (by name by address) dan foto rumah;

3. Ditjen Pemberdayaan Sosial cq Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin

melakukan verifikasi administrasi dan verifikasi lapangan;

4. Berdasarkan hasil verifikasi administrasi dan lapangan Ditjen Pemberdayaan Sosial mengeluarkan SK Penerapan KK penerima bantuan RS-RTLH dan alokasi Sarling;

5. Nama penerima bantuan yang sudah ditetapkan dalam SK Dirjen

Pemberdayaan Sosial tidak dapat diganti.

2.6.6 Pelaksanaan Kegiatan

2.6.6.1 Prinsip Pelaksanaan

Prinsip pelaksanaan kegiatan RS-RTLH dan Sarling adalah :

a. Swakelola; Baik secara individu maupun kelompok sesuai pasal 39 dan lampiran I Bab III Keppres No.80 tahun 2003.

b. Kesetiakawanan; Dilandasi oleh kepedulian sosial untuk membantu orang. c. Keadilan; Menekankan pada aspek pemerataan, tidak diskriminatif dan

seimbang antara hak dan kewajiban.

d. Kemanfaatan; Dilaksanakan dengan memperhatikan kegunaan atau fungsi dari barang/ruang/kondisi yang diperbaiki atau diganti.

(16)

f. Kemitraan; Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan fakir miskin dan

masyarakat pada umumnya dibutuhkan kemitraan dengan berbagai pihak. g. Keterbukaan; Pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan ini berhak

mendapatkan informasi yang benar dan bersedia menerima masukan bagi keberhasilan pelaksanaan kegiatan RS-RTLH.

h. Akuntabilitas; Berbagai sumber daya digunakan dengan penuh tanggung

jawab dan dapat dipertanggungjawabkan secara teknis maupun administratif. i. Partisipasi; Pelaksaan RS-RTLH dan Sarling dilaksanakan dengan melibatkan

unsur masyarakat termasuk dunia usaha dengan mendayagunakan berbagai sumber daya yang dimilikinya.

j. Profesional; Dilaksanakan dengan menggunakan manajemen yang baik dan

pendekatan /konsep yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

k. Keberlanjutan; Dilaksanakan secara berkesinambungan untuk mencapai kesejahteraan dan kemandirian.

2.6.6.2 Tahapan Pelaksanaan Bantuan

a. Verifikasi proposal RS-RTLH dan Sarling;

b. Penjajagan calon lokasi kegiatan, dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang kesiapan daerah dan masyarakat, kelayakan calon penerima bantuan dan faktor lainnya nyang akan mendukung keberhasilan kegiatan;

c. Sosialisasi

Sosialisasi dilaksanakan dalam rangka memperoleh kesamaan pemahaman dan gerak langkah setiap pihak yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan RS-RTLH dan Sarling. Sasaran kegiatan sosialisasi mencakup :

1) Dinas/Instansi Sosial Provinsi;

(17)

3) Unsur Masyarakat; 4) Pendamping (TKSK).

d. Membangun dan mengembangkan komitmen untuk menyepakati berbagai sumber daya yang dapat dan akan dialokasikan oleh Pemerintah Daerah, masyarakat dan dunia usaha dalam rangka mencapai keberhasilan pelaksanaan program;

e. Penentuan lokasi dan calon penerima; f. Verifikasi Calon Penerima Bantuan;

g. Pelaksanaan pembangunan RS-RTLH dan Sarling :

1) Melakukan penilaian dan menentukan bagian rumah yang akan diperbaiki;

2) Menetapkan prioritas bagian rumah yang akan diperbaiki berdasarkan pada fungsi dan ketersediaan dana dan sumber lainnya; 3) Membuat rincian jenis/bahan bangunan yang diperlukan serta

besarnya biaya;

4) Melaksanakan pembelian bahan bangunan;

5) Melaksanakan kegiatan perbaikan rumah dan pembangunan Sarling; 6) Pelaksanaan pembangunan RS-RTLH dan Sarling telah selesai

selambat-lambatnya 100 hari setelah dana masuk ke rekening kelompok.

2.6.6.3 Pelaporan

(18)

a. Laporan pertanggungjawaban keuangan dana operasional dan Sarling

masing-masing Kab/Kota selambat-lambatnya akhir tahun anggaran;

b. Laporan pertanggungjawaban keuangan bantuan RS-RTLH masing-masing kelompok dan Sarling setelah selesai pelaksanaan pekerjaan;

c. Laporan hasil pelaksanaan kegiatan dengan melampirkan foto rumah dan Sarling dalam kondisi sebelum, proses dan hasil akhir kegiatan dengan disertakan surat pernyataan penyelesaian pekerjaan untuk kelompok, disampaikan selambat-lambatnya 14 hari setelah pekerjaan selesai.

2.6.7 Penyaluran, Pencairan dan Penggunaan Dana

2.6.7.1 Penyaluran

1. Pihak Dinas Sosial Kab/Kota mengajukan identitas penanggung jawab

pengelola anggaran (nama dan alamat kantor, penanggung jawab program, nama bendahara pengeluaran, nomor rekening bank dan nomor pokok wajib pajak) ke Dit. PFM untuk dana operasional (tembusan disampaikan kepada Dinas/Instansi Sosial Provinsi);

2. Pihak Dinas Sosial Kab/Kota mengajukan identitas dan nomor

rekening Dinas Sosial yang sudah ada, rekening kelompok penerima bantuan RS-RTLH dan rekening Tim Sarling;

(19)

4. Pejabat Pembuat Komitmen mengajukan SPM-LS ke KPPN dilampiri

SK Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial tentang penerima bantuan RS-RTLH dan Sarling, serta dana operasional;

5. KPPN menerbitkan SP2D dan menyalurkan ke rekening Dinas Sosial Kab/Kota, rekening kelompok penerima bantuan RS-RTLH dan rekening tim Sarling;

6. Pencairan dana kegiatan RS-RTLH dari rekening kelompok dapat dilaksanakan setelah mendapatkan rekomendasi/persetujuan dari Dinas Sosial Kab/Kota.

2.6.7.2 Penggunaan Dana

1. Jumlah dana bantuan stimulant untuk setiap unit rumah; Rp. 10.000.000,- dengan proporsi penggunaan sebagai berikut :

Tabel 2.1

Rincian penggunaan dana bantuan RS-RTLH

Uraian % Jumlah (Rp)

Pembelian bahan bangunan dqn konsumsi 90 9.000.000,-

Biaya tukang 10 1.000.000,-

J u m l a h 100 10.000.000,-

(20)

Table 2.2

Rincian penggunaan dana bantuan sarling

Uraian % Jumlah (Rp)

Pembelian bahan bangunan dqn konsumsi 90 40.500.000,-

Biaya tukang 10 4.500.000,-

J u m l a h 100 45.000.000,-

3. Jumlah dana untuk operasional kegiatan sebesar Rp. 12.500.000,- yang digunakan untuk :

• Sosialisasi

• Monitoring dan Evaluasi

• Pelaporan

4. Apabila sampai dengan akhir tahun anggaran masih terdapat sisa dana operasional, maka Dinas Sosial kab/Kota harus segera menyetor ke kas Negara dengan blanko Surat Setoran Pengembalian Belanja, belanja barang non operasional lainnya dengan kode 521218 an. Direktorat PFM kode Satker 440207.

(21)

2.6.8 Sanksi

Sanksi hukum akan dikenakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila :

1. Dinas Sosial selaku penerima, pengelola dan penanggung jawab dana operasional tidak sepenuhnya dipergunakan sesuai dengan peruntukkannya; 2. Kelompok penerima bantuan stimulan RS-RTLH selaku penerima, pengelola

dan penanggung jawab dana bantuan tidak sepenuhnya dipergunakan sesuai dengan peruntukkannya;

3. Tim Sarling selaku pengelola dan penanggung jawab dana Sarling tidak sepenuhnya dipergunakan sesuai dengan peruntukkannya (Kementrian Sosial RI. 2013. Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni dan Sarana Prasarana Lingkungan

2.7. Kesejahteraan Sosial

Kesejahteraan (welfare) ialah dua kata benda yang dapat diartikan nasib yang baik, keseahatan, kebahagiaan, dan kemakmuran. Dalam istilah umum, sejahtera menunjuk pada keadaan yang baik, kondisi masyarakat dimana orang-orangnya dalam keadaan makmur, sehat, dan damai.

Kesejahteraan sosial dalam arti sangat luas mencakup berbagai tindakan yang dilakukan manusia untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik. Taraf kehidupan yang lebih baik ini tidak hanya diukur secara ekonomi dan fisiknya belaka, tetpi juga ikut memperhatikan aspek sosial, mental dan segi kehidupan spiritual (Adi, 2005: 40).

(22)

perbaikan-perbaikan penyakit-penyskit sosial tertentu saja. Kemudian pengertian tersebutdisempurnakan menjadi: suatu kegiatan yang terorganisasi dengan tujuan membantu penyesuain timbale balik antara individu-individu dengan lingkungan sosial mereka. Tujuan ini dicapai secara seksama melalui teknik-teknik dan metode-metode dengn maksud agar supaya kemungkinan individu-individu, kebutuhan-kebutuhan dan memecahkan masalah-masalah penyesuaian diri mereka terhadap perubahan pola-pola masyarakat, serta melalui tindakan kerja sama untuk memperbaiki kondisi-kondisi ekonomi dan sosial.

Dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial.

Penyelenggaraan kesejahteraan sosial dilakukan berdasarkan asas: 1. Kesetiakawanan.

(23)

9. Profesionalitas. 10. Keberlanjutan.

Kesejahteraan sosial memiliki beberapa makna yang relatif berbeda, meskipun substansinya tetap sama. Kesejahteraan sosial pada intinya mencakup tiga konsepsi, yaitu:

1. Kondisi kehidupan atau keadaan kesejahteraan, yakni terpenuhinya

kebutuhan-kebutuhan jasmani, rohani dan sosial.

2. Institusi, arena atau bidang kegiatan yang melibatkan lembaga kesejahteraan sosial dan berbagai profesi kemanusiaan yang menyelenggarakan usaha kesejahteraan sosial dan pelayanan sosial.

3. Aktivitas, yakni suatu kegiatan-kegiatan atau usaha yang terorganisir untuk

mencapai kondisi sejahtera (Suhartono, 2009: 2).

Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan informasi mengenai konsep dari istilah yang digunakan dalam statistik kesejahteraan sosial diantaranya adalah kondisi rumah tangga, luas lantai, daerah perkotaan atau pedesaan, probabilitas bayi mati sebelum mencapai usia satu tahun, keluhan masyarakat terhadap kesehatan imunisasi, pasien rawat inap, status gizi, narapidana, aksi dan korban kejahatan. Dari kelompok tersebut BPS melakukan pengelompokan menjadi lima indikator dalam pengukuran kesejahteraan sosial, yaitu:

a. Kesehatan b. Pendidikan

c. Akses menjangkau media massa d. Perumahan

(24)

2.7.1. Pengertian Usaha Kesejahteraan Sosial

Pengertian usaha kesejahteraan sosial sebagai suatu aktivitas biasanya disebut sebagai Usaha Kesejahteraan Sosial (UKS). Dalam skala dan perspektif makro, Usaha Kesejahteran Sosial ini pada intinya menunjuk pada apa yang ditanah air dikenal dengn nama Pembangunan Kesejahteraan Sosial (PKS). Perlu dijelaskan disini b ahwa konsep mengenai pembangunan kesejahteraan sosial merupakan istilah khas di Indonesia. Dinegara-negara lain, seperti di AS, Selandia Baru, Inggris atau Australia, konsep mengenai Social Welfare Development kurang dikenal. Dalam benak publik UKS atau PKS (Suhartono, 2008: 4).

Peningkatan taraf hidup masyarakat diwujudkan dengan berbagai bentuk usaha kesejahteraan sosial yang konkret. Usaha kesejahteraan sosial mengacu pada program, pelayanan dan berbagai kegiatan yang konkret (nyata) berusaha menjawab kebutuhan atau masalah yang dihadapi anggota masyarakat. usaha kesejahteraan sosial itu sendiri dapat diarahkan pada individu, keluarga, kelompok, ataupun komunitas.

Usaha kesejahteraan sosial adalah usaha yang nyata untuk membangun seluruh masyarakat agar terciptanya kesejahteraan bangsa dan negara. Usaha ini dilakukan untuk memperbaiki tatanan yang dilihat sudah mempunyai nilai buruk yang fungsi sosialnya sudah tidak terlaksana. Hal ini diperlukan pembenahan agar terciptanya suasana yang sejahtera disetiap negara. Usaha kesejahteraan sosial ini dilakukan dngan cara melakukan pembangunan. Pembangunan yang dilakukan tujuannya adalah memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Pembangunan ini dilakukan disetiap Negara dengan perencanaan dan strategi yang matang.

(25)

1. meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kelangsungan hidup. 2. memulihkan fungsi sosial dalam rangka mencapai kemandirian.

3. meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam mencegah dan menangani masalah kesejahteraan sosial.

4. meningkatkan kemampuan, kepedulian dan tanggung jawab sosial dunia usaha dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan.

5. meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan; dan

6. meningkatkan kualitas manajemen penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

Dalam kaitan dengan kesejahteraan sosial ada beberapa karakteristik usaha kesejahteraan sosial masa kini, yaitu:

1. Menanggapi kebutuhan manusia.

2. Usaha kesejahteraan sosial diorganisir guna menanggapi kompleksitas masyarakat perkotaan yang modern.

3. Kesejahteraan sosial mengarah ke spesialisasi, sehingga lembaga kesejahteraan sosialnya juga lebih terspesialisasi.

4. Usaha kesejahteraan sosial menjadi sangat luas (Adi, 1994: 10). 2.8 Kerangka Pemikiran

(26)

sejauhmana program pemerintah dapat dilaksanakan sesuai dengan mekanisme yang telah ditetapkan, tepat waktu, tepat pengerjaan dan tepat sasaran sehingga tujuan diadakannya RS-RTLH benar-benar dapat membantu meringankan kesulitan keluarga miskin untuk memiliki rumah yang layak untuk dihuni.

Program RS-RTLH adalah program yang diberikan kepada rumah tangga miskin yang rumahnya tidak memenuhi standar untuk dihuni, dengan dimaksud agar mereka dapat meningkatkan kehidupan secara wajar. Kegiatan Rehabilitasi Sosial - Rumah Tidak Layak Huni bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial penduduk miskin melaui pemberian kepada yang bersangkutan untuk berpartisipasi aktif dalam melaksanakan kegiatan secara swakelola dan melestarikan hasil pencapaian kegiatan secara mandiri dengan memanfaatkan dana dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten hubungan dengan pelaksanaan RS-RTLH, seseorang akan mengalami kesulitan apabila program itu tidak terealisasi dengan baik, maka dari itu dibutuhkan pemahaman mengenai tujuan ataupun mekanisme dari program yang dilakukan melalui sosialisasi, apapun bentuk program kalau tidak disosialisasikan akan sulit bagi masyarakat untuk mengerti.

(27)

Untuk memperjelas alur pemikiran tersebut, dapat dilihat bagan kerangka pemikiran dibawah ini:

Bagan Alir Pemikiran

2.9 Defenisi Konsep dan Operasional

2.9. 1 Defenisi Konsep

Konsep merupakan istilah khusus yang digunakan para ahli dalam upaya menggambarkan secara cermat fenomena sosial yang akan dikaji, untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep-konsep yanmg dijadikan objek penelitian, maka seorang peneliti harus menegaskan dan membatasi makna konsep-konsep yang

RS-RTLH(rehabilitasi social- rumah tidak layak huni

Pemberian bantuan kepada keluarga miskin untuk memiliki rumah yang layak huni

Kepala keluarga penerima bantuan program RS-RTLH di Kota

Payakumbuh

1. Kesesuaian sasaran yang direncanakan dengan pelaksanaan

(28)

diteliti. Proses dan upaya penegasan dan pembatasan mana konsep dalam suatu penelitian disebut dengan defenisi konsep.

Dengan kata lain, peneliti berupaya mengiring para pembaca hasil penelitian itu memaknai konsep itu sesuai dengan yang diinginkan dan dimaksudkan oleh si peneliti, jadi defenisi konsep adalah pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitin (Siagian, 2011:136-138). Untuk lebih memahami pengertian mengenai konsep –konsep yang akan digunakan, maka peneliti membatasi konsep yang digunakan sebagai berikut:

1. Evaluasi, adalah proses menentukan sampai sejauh mana kelebihan dan kekurangan suatu program sejak direncanakan sampai pada pelaksanaan untuk mencapai tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

2. Program, merupakan tahap-tahap dalam penyelesaian rangkaian kegiatan yang berisi langkah-langkah yang akan dikerjakan untuk mencapai tujuan dan merupakan unsure pertama yang harus ada demi tercapainya kegiatan implementasi.

3. Rehabilitasi adalah proses perbaikan yang ditujukan pada penderita cacat agar mereka cakap berbuat untuk memiliki seopyimal mungkin kegunaan jasmani, rohani, sosial, pekerjaan dan ekonomi

4. Rehabilitasi sosial merupakan upaya yang ditujukan untukmengintegrasikan kembali seseorang ke dalam kehidupan masyarakatdengan cara membantunya menyesuaikan diri dengan keluarga, masyarakat, dan pekerjaan

(29)

2.9.2 Defenisi Operasional

Dintinjau dari proses atau langkah-langkah penelitian, dapat dikemukakan bahwa perumusan defenisi operasional adalah langkah lanjutan dari perumusan defenisi konsep. Jika defenisi konsep ditujukan untuk mencapai keseragaman pemahaman tentang konsep-konsep, baik berupa obyek, peristiwa maupun fenomena yang diteliti, maka perumusan operasional ditujukan dalam upaya transformasi konsep ke dunia nyata sehingga konsep-konsep penelitian dapat diobservasi (Siagian, 2011:141).

Adapun yang menjadi defenisi operasional dalam evaluasi pelaksanaan Program Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni di Kota Payakumbuhdapat diukur melalui indikator sebagai berikut:

1. Kesesuaian pelaksanaan Program Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni yang direncanakan dengan pelaksanaan adalah kesesuaian pelaksanaan yang meliputi ketepatan waktu,ketepatan pengerjaan dan tepat sasaran

 Ketepatan waktu diukur dengan:

a. Ketepatan Ketersediaan bahan bangunan b. Jumlah dan mutu pekerja

 Ketepatan pengerjaan diukur dengan:

a. Keterlibatan penerima bantuan

b. Membuat rincian jenis/bahan bangunan yang diperlukan serta besarnya biaya

c. pembelian bahan bangunan;  Ketepatan sasaran diukur dengan:

(30)

b. Mata pencaharian kepala keluarga penerima sasaran c. Kondisi rumah penerima bantuan

2. Terwujudnya hunian yang layak huni bagi masyarakat miskin sehingga mampu meningkatkan taraf hidupnya adalah tujuan pemerintah melaksanakan Program Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni

Gambar

Tabel 2.1
Table 2.2

Referensi

Dokumen terkait

Analisis konsep sei dalam chanoyu aliran Urasenke adalah persiapan yang dilakukan teishu sebelum melaksanakan chanoyu, yaitu ketika teishu membersihkan roji dari kotoran

Metode ini serupa dengan metode disc diffusion, dimana dibuat sumur pada media agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme dan pada sumur tersebut diberi agen

Peserta yang memasukan dokumen penawaran dapat menyampaikan sanggahan secara elektonik melalui aplikasi SPSE atas penetapan pemenang kepada Pokja Jasa Konsultansi ULP

Adapun masa sanggah dilaksanakan mulai hari Rabu, 20 Mei 2015 sampai dengan hari Jum’at, 22 Mei 2015, sanggahan dapat disampaikan kepada Ketua Pokja Pelelangan Sederhana

[r]

Dari permasalahan ini maka muncul rumusan masalah yaitu bagaimana pola interaksi sosial antara keluarga miskin dan pelaksana program dalam penanggulangan kemiskinan

Dengan demikian, penelitian ini berfokus untuk menganalisis dampak yang terjadi pada pasar ekspor perikanan dengan komoditas udang dan ikan ke Eropa bila

Dari hasil singkronisasi antara pernyataan dari partisipan dan informan, peneliti menyimpulkan bahwa dampak psikologis yang dialami oleh siswi terkait, itu dikarenakan