• Tidak ada hasil yang ditemukan

FOREIGN DIRECT INVESTMENT FDI DAN MASALA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "FOREIGN DIRECT INVESTMENT FDI DAN MASALA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

FOREIGN DIRECT INVESTMENT (FDI) DAN MASALAH PENGANGGURAN: STUDI EMPIRIK KEBIJAKAN INDUSTRI DI INDONESIA

Oleh: Hafis Muaddab1

Pertumbuhan ekonomi pada tiga triwulan terakhir ini mengalami perlambatan. Target pertumbuhan ekonomi pemerintah sebagaimana tercantum dalam APBN-P yang 6,3 persen kemungkinan besar tidak akan tercapai. Bank Indonesia (2013) dan BPS(2013) mencatat bahwa kondisi dua triwulan terakhir menunjukkan pertumbuhan ekonomi hanya 5,8%. Implikasinya jelas, menurut Hukum Okun, kemampuan ekonomi menyerap tenaga kerja juga berkurang. Kelihatannya trickle-down effect pertumbuhan ekonomi makro yang 5,8% tersebut kurang mampu menyerap tenaga kerja, “perekonomian mikro tak seindah warna perekonomian makro” karena permasalahan struktural, seperti daya saing tenaga kerja, infrastruktur dan lain-lain.

Industri dan investasi baik asing dan domestik lebih bias pada padat modal (capital intensive) ketimbang padat karya (labor intensive). Daya saing tenaga kerja, kegamangan peraturan ketenagakerjaan memperparah pesimisme dunia usaha. Interview dengan asosiasi pengusaha menunjukkan banyak pengusaha yang semula bergerak di manufaktur padat tenaga kerja seperti tekstil, elektronik dan lain-lain beralih pada bisnis yang lebih sedikit berinteraksi dengan buruh, yaitu bisnis properti di mana sebagian besar tenaga kerja bisa di-outsourcing-kan. Banyak pengusaha, tidak lagi memproduksi barang tetapi mereka lebih suka untuk menjadi pedagang/importir. Impor lebih menarik dan menguntungkan dari pada berproduksi di domestik. Kondisi ini memperparah defisit perdagangan. Pada bulan Juli 2013 tercatat defisit USD 2,3 miliar. Padahal, impor kita saat ini tidak hanya di barang-baang modal, bahan baku dan penolong tetapi juga barang-barang konsumsi ini adalah pertanda masalah struktural daya saing bangsa.

Neraca pembayaran Indonesia tahun 2013 dapat dikatakan cukup buruk mengingat pada krisis tahun 2008 defisit neraca pembayaran hanya sebesar USD 2,2 miliar. Namun di semester I tahun 2013 ini defisit neraca pembayaran sebesar USD 9,1 Milyar (USD6,6 miliar pada kuartal I dan USD 2,5 miliar pada kuartal II-2013) mendekati kondisi krisis tahun 1998 yang defisit sebesar USD 9,3 Milyar. Hingga 2013 tersebut neraca pembayaran Indonesia sama-sama mengalami defisit. Pertumbuhan ekonomi yang melambat tersebut selain mempengaruhi penyerapan tenaga kerja juga akan mempengaruhi kemampuan pemerintah dalam memperoleh pendapatan pajak dan non pajak.

Meskipun pertumbuhan ekonomi melamban, tingkat pengangguran terbuka (TPT) hingga Februari 2013 mencapai 5,92% atau turun dibandingkan TPT Agustus 2012 yang tercatat sebesar 6,14%. Begitu juga bila dibandingkan dengan TPT Februari 2012 yang tercatat mencapai 6,32%. Penurunan tersebut sebenarnya tidak terlalu besar, hanya 440 ribu orang, dari 7,61 juta orang pada Februari 2012 menjadi

1

(2)

7,17 juta pada Februari 2013. Apalagi jumlah penduduk setengah menganggur meningkat, tercatat sebesar 12,77 juta orang pada Agustus 2012 menjadi 13,56 juta orang pada Februari 2013.

Dari sisi jumlah angkatan kerja, sepanjang Februari 2012 hingga Februari 2013 tercatat peningkatan angkatan kerja di Indonesia sebesar 780 ribu orang, dimana pada Februari 2012 angkatan kerja tercatat sebesar 120,41 juta sedangkan di bulan Februari 2013 jumlahnya naik menjadi 121,19 juta orang. Meskipun jumlah angkatan kerja meningkat, dalam satu tahun terakhir (Februari 2012 hingga Februari 2013) terjadi penurunan tingkat partisipasi angkatan kerja sebesar 0,45%. Kondisi ketenagakerjaan di Indonesia menunjukkan perbaikan dalam hal jumlah angkatan kerja maupun penurunan tingkat pengangguran, meskipun jumlah penduduk setengah menganggur meningkat. Tingkat partisipasi angkatan kerja pada Februari 2013 sebesar 69,2 % menurun tipis dibanding Februari 2012 sebesar 69,66%. Sementara bila dibandingkan dengan Agustus 2012 masih cenderung naik karena pada periode itu tingkat partisipasi angkatan kerja tercatat sebesar 67,88%.

Hinggal Februari 2013, penyerapan tenaga kerja terbesar masih dikontribusikan oleh sektor Pertanian, Perdagangan, Jasa Kemasyarakatan, dan sektor Industri .

Tabel 1 : Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama, Tahun 2011 – 2013* (dalam juta orang)

Sumber : Berita Statistik BPS No 35/05/Th.XVI, 6 Mei 2013

Dilihat dari struktur lapangan pekerjaan hingga Februari 2013 belum ada perubahan yang signifikan, penyerapan tenaga kerja terbesar masih dikontribusikan dari sektor Pertanian, Perdagangan, Jasa Kemasyarakatan, dan sektor Industri. Sejalan dengan penurunan tingkat pengangguran di Indonesia, jumlah penduduk miskin pun turut berkurang. Berdasarkan data terbaru dari BPS, penduduk miskin di Indonesia pada September 2012 sebanyak 28,59 juta orang (11,66%), turun dibandingkan pada Febuari 2004 yang mencapai 36,1 juta orang (16,66%). Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada Maret 2012, maka selama satu semester berikutnya terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 0,54 juta orang.

(3)

dibandingkan Maret 2012, jika dicermati secara kritis tidak mengindikasikan penduduk miskin berkurang. Sebagai ilustrasi, berdasarkan garis kemiskinan yang ditetapkan sebesar IDR 259.520 per bulan, berarti satu keluarga yang memiliki satu orang anak dengan penghasilan tunggal sebesar IDR 800.000 per bulan sudah tidak dikatakan miskin. Padahal, jelas terlihat bahwa kehidupan keluarga tersebut tentu sangat tidak layak.

Pengangguran dan kemiskinan selalu berkorelasi karena masyarakat yang menganggur tidak produktif dan pasti menambah jumlah masyarakat miskin. Maka mengatasi pengangguran akan berdampak pada pengurangan jumlah orang miskin. Sehingga, masalah pengangguran merupakan hal yang krusial dalam perekonomian negeri ini, sekaligus salah satu indikator keberhasilan program ekonomi pemerintah SBY. Untuk mengurangi jumlah penganggur di Indonesia kebijakan umum yang dilakukan pemerintah adalah dengan perbaikan iklim investasi. Perbaikan iklim investasi dimaksudkan untuk mengundang investor asing agar bersedia menanamkan modalnya di Indonesia dalam bentuk FDI (Foreign Direct Investment). Pemerintah Indonesia percaya bahwa investasi langsung dalam wujud pembangunan pabrik-pabrik baru akan membuka tambahan lapangan pekerjaan baru yang cukup menyerap pertumbuhan tenaga kerja baru di Indonesia.

Namun, pada beberapa saat yang lalu BKPM sendiri merilis total PMA per triwulan III tahun ini mencapai Rp67 triliun. Bisa dikatakan besarya investasi tersebut, membawa angin segar untuk perekonomian Indonesia. Namun jika dilihat lebih teliti ternyata nilai investasi yang menembus angka Rp100,5 triliun hanya menyerap 411.543 tenaga kerja. Penyerapan tenaga kerja tersebut tentu terbilang kecil. Bayangkan saja, pada triwulan II realisasi investasi hanya mencapai angka Rp99,8 triliun, namun mampu menyerap 626.376 tenaga kerja. Ini tentu harus menjadi perhatian penting bagi pemerintah.

Dari angka investasi PMA tersebut salah satu sektor energi dan sumber daya mineral, sektor pertambangan masih menorehkan capaian tertinggi dari sektor lainnya. Investasi PMA untuk sektor itu mencapai USD1,4 miliar. Hal ini tidak sebanding dengan kontribusi sektor Pertambangan dan Penggalian terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya sebesar -0,43% (YoY). Penyerapan tenaga kerja untuk sektor ini pun tidak lebih dari angka satu persen dibandingkan dengan jenis investasi lain.

Bukankah tujuan akhir dari pembangunan adalah mengurangi angka pengangguran dan mengentaskan kemiskinan, sehingga tercipta masyarakat yang sejahtera. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pun jelas diamanatkan, tujuan pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial, selain untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

(4)

Tinjauan pustaka

1. Masalah Pengangguran di Indonesia

Teori pembangunan mainstream ala negara maju selalu mengemukakan bahwa pembangunan adalah transfer manusia dan aktivitas ekonomi secara terus menerus dari pedesaan ke perkotaan. Kondisi ini terjadi karena dua hal, pertama, ekspansi industri perkotaan menimbulkan penciptaan lapangan pekerjaan baru. Kedua, kemajuan teknologi mengakibatkan industri lebih bersifat padat modal sehingga mengurangi permintaan terhadap tenaga kerja, terutama di sektor pertanian.

Saran yang selalu disampaikan oleh ekonom negara maju kepada pemerintahan negara-negara berkembang adalah agar mereka berupaya untuk melakukan percepatan ekspansi industri terutama di perkotaan sehingga daerah perkotaan menjadi sentra pertumbuhan ekonomi. Tetapi beberapa negara berkembang di kawasan Pasifik Selatan mengalami kegagalan dalam melaksanakan kebijakan tersebut karena kemampuan adaptasi teknologi yang rendah (Zulkieflimansyah, 2000).

Kondisi di Indonesia, rupanya tidak jauh berbeda, orientasi industri substitusi impor tanpa kemampuan teknologi yang mencukupi ternyata berimplikasi pada tingginya angka pengangguran. Menurut definisi dari Badan Pusat Statistik (BPS), pengangguran di Indonesia diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar, pertama, pengangguran terbuka, yaitu seluruh angkatan kerja yang mencari kerja, baik para pencari kerja baru (first time job), maupun mereka yang sebelumnya pernah bekerja. Kedua, setengah pengangguran, yaitu mereka yang bekerja kurang dari 35 jam dalam seminggu. Ironisnya, kontradiktif dengan teori pembangunan mainstream diatas, angka pengangguran di Indonesia justru lebih banyak di perkotaan, karena industri yang rata-rata padat modal (teknologi) membutuhkan kualifikasi SDM yang mampu beradaptasi dengan teknologi, namun kebanyakan angkatan kerja di Indonesia tidak mempunyai kemampuan tersebut.

(5)

friksional yang muncul di Indonesia tidak karena menganggur secara “sukarela” melainkan karena kondisi krisis ekonomi.

Menurut Dhanani (2004) ada 8 paradoks dalam fenomena pengangguran di Indonesia. Delapan paradoks ini menunjukkan karakteristik pengangguran di Indonesia:

• Pengangguran di perkotaan tiga kali lebih besar daripada pengangguran di pedesaan. Angka pengangguran terbuka di Jakarta adalah yang terbesar di seluruh Indonesia. Lalu mengapa orang-orang terus bermigrasi ke Jakarta? Logika yang dipakai para pencari kerja seharusnya adalah karena lebih banyak orang menganggur di perkotaan, maka lapangan pekerjaan di kota lebih sedikit daripada di desa. Poin ini diperkuat oleh riset dari Byrne dan Strobl (2004) yang mengemukakan di perkotaan pekerjaan lebih dianggap mempunyai arti daripada di wilayah pedesaan.

• Pengangguran terbuka di kalangan kaum muda lebih besar daripada di kalangan dewasa, padahal perusahaan maupun organisasi pemerintah selalu merekrut lulusan baru daripada mereka yang berusia di atas 30 tahun.

• Pengangguran terbuka di kalangan wanita lebih besar daripada pria, padahalperusahaan dan semua sektor modern termasuk industri padat karya manufaktur, supermarket, department store, restoran, bank dan hotel lebih banyak merekrut pekerja wanita.

• Pengangguran terbuka di kalangan pekerja terdidik lebih besar daripada pekerja tidak terdidik. Data tahun 1997 menunjukkan pengangguran terbuka lulusan SMU dan perguruan tinggi mendominasi angka pengangguran terbuka yaitu 60 persen. Namun demikian, permintaan terhadap pendidikan masih tetap tinggi dengan dibukanya perguruan tinggi maupun SMU swasta. Sektor industri merekrut tenaga kerja dengan pendidikan menengah bahkan untuk pekerjaan yang seharusnya membutuhkan skill yang lebih baik, seperti pekerjaan sekretaris dan teknisi.

• Pada level lulusan SMU angka pengangguran terbuka lebih tinggi daripada SMP. Namun demikian, di lapangan kerja tidak ada perbedaan upah yang signifikan antara pekerja lulusan SMU dan SMP.

• Pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak pertengahan 1970-an mencapai 7-8 persen per tahun, namun demikian angka pengangguran terbuka selalu mencapai 2-6 persen per tahun. Apakah ini berarti pertumbuhan ekonomi tidak mampu mengatasi masalah pengangguran?

• Tingkat pengangguran terbuka hampir sama di semua tingkat pendapatan, para pencari kerja dari keluarga miskin tidak mampu menjadi penganggur terbuka, artinya dia harus bekerja dengan tingkat upah berapa pun.

(6)

2. Investasi dan Iklim Investasi

Investasi adalah salah satu pembentuk pendapatan nasional (GDP). Dalam teori ekonomi makro, investasi diperoleh dari tabungan domestik, yang terdiri dari tabungan pemerintah, swasta dan individu. Indonesia pada masa Orba mempunyai angka tabungan domestik paling tinggi hanya 30 persen dari PDB. Suatu negara yang memiliki nilai tabungan domestik rendah harus berpikir lebih keras untuk meningkatkan investasi. Ada dua pilihan yang bisa dilakukan, yaitu hutang luar negeri dan mengundang investor asing. Pilihan pertama adalah hutang luar negeri, namun pilihan ini mengandung resiko membebani APBN.

Ada dua jenis investasi yang mempengaruhi pendapatan nasional suatu negara. Pertama, investasi portfolio yaitu investasi yang dilakukan dengan pembelian surat berharga (saham) di pasar bursa. Investasi jenis ini tidak bisa diharapkan stabilitasnya karena investor mempunyai mobilitas modal yang tinggi, tergantung kondisi pasar modal negara bersangkutan. Kedua, investasi langsung. Investasi ini dilakukan investor dengan membangun pabrik baru atau menambah barang modal. Investasi ini mempunyai efek pengganda tinggi karena bisa membuka lapangan pekerjaan baru. Investasi jenis kedua inilah yang diharapkan oleh pemerintah terus masuk ke Indonesia.

Dalam publikasi UNCTAD (2004) disebutkan syarat utama sebuah negara menjadi tujuan investasi adalah negara bersangkutan harus mempunyai iklim investasi yang baik. Kishi (2003) mengemukakan negara-negara yang ingin menjadi tujuan investasi harus melakukan konsolidasi pasar uang dan pasar saham dalam negeri mereka. Adapun untuk investasi langsung, selain dua hal itu, perlu juga penerapan corporate governance dalam praktek bisnis maupun sektor publik.

Penelitian yang dilakukan Sanyal dan Guvenli (2000) mengemukakan bahwa negara harus meminimalisir campur tangannya terhadap perusahaan asing yang menanamkan modal di negaranya, sehingga mereka bisa beroperasi lebih efisien, karena campur tangan pemerintah biasanya menyebabkan kegagalan pasar. Demirbag dan Mirza (2000) mengemukakan adanya dampak positif perusahaan dalam negeri yang bekerja sama (joint venture) dengan perusahaan asing yaitu transfer teknologi dan budaya profesional.

3. Riset Empirik FDI dan Pengangguran

(7)

negara-negara berkembang. Penelitian lain dari Baier dan Bergstrand (2001) memperkuat argumen ini dengan temuannya bahwa liberalisasi perdagangan memberikan sumbangan besar terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi dunia.

Roy (2004) meneliti pola pengangguran dan industri di India menemukan adanya lag atau jarak waktu antara pembukaan pabrik baru dan tambahan jumlah orang yang bekerja. Hal ini berarti penggunaan angka realisasi investasi langsung lebih bisa memprediksi pembukaan lapangan pekerjaan baru. Penelitian yang dilakukan oleh Ramstetter (2004) dengan data FDI dan angka pengangguran di Thailand tahun 1996-2000 menunjukkan adanya pola ketertarikan para pencari kerja dengan pendidikan tinggi untuk bekerja di perusahaan asing karena standar upah yang lebih tinggi. Maka, pengangguran struktural dan penganggur yang tidak terdidik tidak akan terserap oleh lapangan pekerjaan yang dibuka investor asing.

Perusahaan asing yang masuk sebagai investor di negara berkembang seperti Indonesia tidak bisa dibedakan antara perusahaan yang padat modal atau padat karya. Hal ini dikarenakan pemerintah Indonesia tidak mempunyai kebijakan industri yang mengarahkan investasi asing untuk menanamkan modalnya pada industri-industri padat karya. Penelitian dari Falk dan Koebel (2004) memberikan kesimpulan yang menarik terkait dengan hal ini. Dalam industri manufaktur, penggunaan teknologi canggih atau komputerisasi ternyata tidak mempunyai efek substitusi yang kuat terhadap penggunaan pekerja tidak terdidik.

Namun demikian, industri jasa efek substitusi dari komputerisasi terhadap penggunaan tenaga kerja tidak terdidik sangat besar. Adapun variabel investasi asing langsung (FDI) ternyata tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap penambahan jumlah orang yang bekerja. Hal ini dapat diartikan peningkatan jumlah investasi asing langsung yang masuk ke Indonesia ternyata tidak mampu mengatasi masalah pengangguran. Hasil pengujian ini menunjukkan sesuatu yang tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah untuk mengundang investor asing agar membuka pabrik di Indonesia, karena pembukaan pabrik baru itu ternyata tidak menyerap tenaga kerja. Hal ini berarti dalam setting Indonesia, hipotesis yang menyatakan ada pengaruh positif signifikan investasi langsung (FDI) terhadap peningkatan jumlah orang yang bekerja tidak didukung.

Diskusi: Perlukah Reorientasi Kebijakan Industri?

(8)

Ada sesuatu yang tidak diperhatikan oleh pemerintah terkait dengan masalah investasi langsung. Pertama, penyerapan tenaga kerja masih didominasi oleh penduduk bekerja dengan pendidikan rendah. Implikasi transfer teknologi dan pengetahuan atas adanya investasi asing langsung masih jauh dari yang diharapkan pemerintah.

Sumber: Berita Statistik BPS No. 35/05/Th. XVI, 6 Mei 2013

Kedua, pemerintah tidak memfokuskan arah investasi pada suatu industri tertentu. Mankiw (2003) dalam pembahasan tentang pertumbuhan ekonomi menegaskan perlunya adanya alokasi investasi ekonomi yang tepat. Analisis dengan Model Solow tentang pertumbuhan ekonomi menyatakan perlunya stimuli untuk mengarahkan investasi. Dalam bahasa yang mudah, maka kebijakan industri diperlukan untuk mengarahkan investasi yang berdampak besar bagi perekonomian suatu negara.

Amerika Serikat saat ini adalah negara yang percaya dengan mekanisme pasar sehingga mereka tidak melakukan kebijakan industri. Para ekonom AS inilah yang menjadi referensi ekonom Indonesia. Padahal jika kita menyadari, keberhasilan Korsel dan India dalam memperbaiki kinerja ekonomi adalah karena mereka melakukan kebijakan industri. Korea Selatan sejak kebangkitan ekonominya pada tahun 70-an mengarahkan industrinya pada sektor otomotif dan industri. Kebangkitan ekonomi India dari ejekan The Hindu’s Economic Growth adalah karena orientasi industri yang diarahkan pada pengembangan teknologi informasi. Kelemahan utama, kebijakan industri adalah adanya campur tangan pemerintah yang terlalu banyak dalam perekonomian. Campur tangan pemerintah yang terlalu banyak ini jika tidak dikendalikan justru bisa mengakibatkan kegagalan pasar (market failure).

(9)

biaya, dampak jangka panjang dan teknologi. Terkait dengan kondisi di Indonesia, perbaikan iklim investasi dengan hasil tambahan investor yang masuk membangun pabrik baru, tidak cukup untuk mengatasi masalah pengangguran di Indonesia. Hal ini didukung oleh hasil empirik paper ini yang menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara tambahan jumlah orang yang bekerja dengan tambahan FDI. Pemerintah harus mulai mengarahkan investasi langsung di Indonesia pada industri-industri yang mempunyai nilai strategis.

Tingginya angka pengangguran terbuka di Indonesia seharusnya memberikan kesadaran pada pemerintah untuk mengarahkan investasi pada industri-industri padat karya. Hal ini bisa dilakukan dengan pemberian fasilitas dan kemudahan pada industri-industri tersebut.

KESIMPULAN

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, investasi asing langsung yang masuk di Indonesia dalam kurun waktu tiga tahun terakhir hanya berada pada industri padat modal seperti industri farmasi dan otomotif (BPS, 2013). Simpulan dalam paper ini memberikan kritik kepada pemerintah bahwa pemulihan iklim investasi yang bisa jadi berujung pada perbaikan realisasi investasi, tidak akan bisa menyelesaikan masalah tingginya angka pengangguran di Indonesia. Masalah pengangguran di Indonesia cenderung mengalami peningkatan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, padahal hampir semua indikator ekonomi makro mengalami perbaikan.

Pemerintah perlu menganalisis lebih dalam tentang masalah pengangguran di Indonesia dengan melihat karakteristik dan kemungkinan solusinya. Melihat contoh dari negara tetangga seperti Thailand, Korea Selatan dan India, pemerintah perlu mempertimbangkan penyusunan desain industrialisasi di Indonesia. Pemerintah perlu membuat cetak biru yang memberikan arah industri nasional. Dalam cetak biru itu perlu dianalisis industri-industri apa yang perlu diprioritaskan, apa keuntungan dan kerugian pengembangan industri tersebut, berapa biaya (ekonomi dan sosial) yang diperlukan dan yang paling penting apa dampaknya bagi perekonomian nasional secara keseluruhan termasuk apakah industri yang dikembangkan mampu mengatasi masalah pengangguran.

Paper ini mencoba menganalisis fenomena pengangguran terbuka di Indonesia yang semakin mengkhawatirkan. Pemerintah seharusnya menyadari perlu usaha yang lebih keras dengan tidak hanya bergantung pada investasi asing saja dalam mengatasi masalah pengangguran di negara ini.

DAFTAR PUSTAKA

Baier, Scott L dan Jeffrey H Bergstand (2001), the Growth of World Trade; Tariffs, Transport Costs, and Income Similarity, Journal of International Economics Vol 53 pp 1-27.

(10)

Byrne, David dan Eric Strobl (2004), Defining Unemployment in Developing Countries: Evidence from Trinidad and Tobago, Journal of Development Economics Vol 73 pp 465– 476.

Demirbag, Mehmet dan Hafiz Mirza (2000), Factors Affecting International Joint Venture Success: an Empirical Analysis of Foreign-Local Partner Relationships and Performance in Joint Ventures in Turkey, International Business Review Vol 9, pp 1-35.

Dhanani, Shafiq, (2004), Unemployment and Underemployment in Indonesia, 1976-2000: Paradoxes and Issues, Research Paper, Geneva: International Labour Office.

Greenaway, David, Wyn Morgan dan Peter Wright (2002), Trade Liberalization and Growth in Developing Countries, Journal of Development Economics Vol 67 pp 229-244.

Gujarati, Damodar (2003). Basic Econometrics, Boston: McGraw Hill International. Insukindro (1991), Regresi Linear Lancung dalam Analisis Ekonomi: Suatu Tinjauan dengan Satu Studi Kasus di Indonesia, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol 1 pp 88-23.

Insukindro (1999), Pemilihan Model Ekonomi Empirik dengan Pendekatan Koreksi Kesalahan, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia (JEBI), Vol 14, No.1.

Kishi, Mashumi (2003), Foreign Direct Investment by Japanese Firms and Corporate Governance:in Relation of Monetary Policies of China, Korea and Japan, Journal of Asian Economics Vol 13, pp 731-748.

Kuncoro, Mudrajad (2000), Ekonomi Pembangunan; Teori, Masalah dan Kebijakan, Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

BPS, (2013). Laporan Tahunan Badan Pusat Statistik, (Online) (http://www.bps.go.id, diakses 04 November 2013)

Lipsey, Robert E dan Fredrik Sjoholm, (2004). Foreign Direct Investment, Education and Wages in Indonesian Manufacturing, Journal of Development Economics Vol. 73.

Mankiw, Gregory N., (2003), Macroeconomics 5th Edition, New York: Worth Publisher. Ramstetter, Eric D., (2004) . Labor Productivity, Wages, Nationality, and Foreign Ownership Shares in Thai Manufacturing, 1996-2000, Journal of Asian Economics Vol 14 pp 861–884.

Roy, Sudipta Dutta (2004), Employment Dynamics in Indian industry: Adjustment Lags and the Impact of Job Security Regulations, Journal of Development Economics Vol 73 pp 233– 256.

Sanyal Rajib N dan Turgut Guvenli (2000), Relations between Multinational Firms and Host Government: the Experience of American-owned Firms in China, International Business Review Vol 9, pp 119-134.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

(11)

UNCTAD. World Investment Report 2013. Diakes melalui http://unctad.org/en/PublicationsLibrary/wir2013_en.pdf pada 27 Oktober 2013

Widodo, Tri (2013), Indonesia di Bawah Bayang-Bayang “Sindrom” Krisis. http://macroeconomicdashboard.com/index.php/id/isu-terkini/135-indonesia-di-bawah-bayang-bayang-%E2%80%9Csindrom%E2%80%9D-krisis diakses pada 04 November 2013

Referensi

Dokumen terkait

Selain terjadinya peningkatan keterampilan guru dalam menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran dari siklus I ke siklus II serta kinerja guru saat proses pembelajaran berlangsung

Bertitik tolak dari penjelasan di atas, maka yang menjadi masalah pembahasan dalam paper ini adalah bagaimana peranan universitas dan profesi akuntan dalam

Definisi ini dipenuhi oleh elemen-elemen rangkaian seperti R, L, dan C, karena elemen-elemen ini akan memberikan sinyal keluaran (tegangan atau arus) tertentu jika diberi

Dengan melihat perkembangan nilai penyelesaian transaksi Efek yang dilakukan oleh Bank Kustodian selama tahun 2015 melalui Bank Pembayar, maka dapat terlihat bahwa fasilitas

Pengaruh Pembelajaran Sejarah Dengan Peneladanan Biografi Pahlawan Terhadap Pengembangan Karakter Siswa.. Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

Pasien tidak jatuh karena adanya tempat tidur yang menahan ke atas dengan gaya yang setara dan berlawanan arah. Gaya ini saling meniadakan sehingga pasien tidak

Also see Teaching Reading to Adult English Language Learners: A Reading Instruction Staff Development Program available online from the Virginia Adult Learning Resource Center

Hasil penelitihan ini tidak sama dengan penelitihan Hamzah dkk (2012) yang mendapatkan hasil bahwa pengeluaran sektor pendidkan berpengaruh negatif dan signifikan