D
I
S
U
S
U
N
OLEH
Nama : Rico Ricardo Sinaga
Nim : 1301034
Kelas : BDP III A
STIP-AP
Tahun Ajaran 2015/2016
Abstrak : UU No 14/2005 tentang guru dan dosen pada hakekatnya untuk mengangkat harkat dan martabat guru sebagai pendidik professional. Sebagai guru professional guru wajib : (a) memiliki kualifikasi akademik minimal sarjana/diploma empat, (b) memiliki kompetensi (pedagogik, kepribadian, social dan professional) (c) memiliki sertifikat pendidik (d) sehat jasmani dan rohani dan (e) memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya guru memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimal dan jaminan kesejahteraan social, yang meliputi : (1) gaji pokok, (2) tunjangan yang melekat pada gaji, serta (3) penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi. Ke depan, profesi guru cukup menjanjukan dan diharapkan menjadi pilihan pertama bagi generasi muda atau setidak-tidaknya menjadi pilihan yang sama dengan profesi lainnya, seperti dokter, akuntan, insinyur, advokat, notaries, dan lainnya.
Kata kunci : profesi guru dan UU guru dan dosen
Pengantar
diundangkannya UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru diakui sebagai jabatan yang professional. Hal ini sekaligus mengangkat harkat dan martabat guru yang sungguh luar biasa bila dibandingkan dengan profesi lainnya dikalangan pegawai negri sipil. Namun demikian, untuk menjadi guru mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan sekolah menengah atas persyaratannya cukup kompleks, yaitu : (a) memiliki kualifikasi akademik minimal sarjana/diploma empat, (b) memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, social dan professional (c) memiliki sertifikat pendidik (d) sehat jasmani dan rohani dan (e) memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (UU Nomor : 14/2005). Dengan demikian, keberadaan UU Guru dan Dosen pada prinsipnya memiliki dua komponen pokok, yaitu : pertama meningkatkan kualitas guru sebagai pendidik professional dan kedua meningkatkan kesejahteraan guru sebagai konsekuensi logis dari keprofesionalannya.
Permasalahan yang diduga terjadi adalah sejauh mana profesi guru pasca UU No 14 tahun 2005 memiliki daya tarik yang menjanjikan bagi generasi mendatang, khususnya bagi mereka yang memiliki kecenderungan dan bakat istimewa. Mencermati berbagai penghasilan guru sebagai pendidik yang professional, calon mahasiswa yang berprestasi dan atau mereka yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa semestinya tertarik untuk menjadi guru. Jika demikian adanya, maka patut di duga bahwa hasil pendidikan akan meningkat secara signifikan.
Profesi dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan atau jabatan yang dilakukan seseorang sesuai dengan keahliannya. Ini berarti bahwa suatu keahlian atau jabatan harus dikerjakan oleh orang yang sudah terlatih dan disiapkan untuk melakukan pekerjaan tertentu. Dengan kata lain suatu profesi erat kaitannya dengan pekerjaan yang spesifik, terstandart mutunya dan dapat menjadi sumber penghasilan sesuai dengan penghargaan keprofesionalannya. Para ahli professional di Indonesian merumuskan cirri-ciri utama profesi sebagai berikut : (a) memiliki fungsi dan signifikasi social yang crucial, (b) adanya tuntutan penguasaan keahlian/ketrampilan sampai tingkatan tertentu, (c) memiliki perolehan keahlian/ketrampilan tersebut bukan hanya dilakukan secara rutin, tetapi melalui pemecahan masalah atau penanganan situasi kritis melaui penggunaan metode ilmiah, (d) memiliki batang tubuh disiplin ilmu yang jelas, sistematis dan eksplisit serta (e) penguasaan profesi membutuhkan pendidikan yang relative lama, pada jenjang perguruan tinggi.
Profesional Guru
Menurut Allison dalam Ki Supriyoko (2004), guru yang professional adalah guru yang
menyayangi peserta didiknya, membantu mencarikan jalan keluar atas masalah yang dihadapi, murah senyum, membuat kejutan-kejutan yang menyenangkan, sangat peduli dan
memperhatikan peserta didik, memiliki kecerdasan yang tinggi, selalu mencoba berbuat yang terbaik, senang menyegarkan suasana, serta mau mendengarkan kata hatinya. Untuk
meningkatkan mutu pendidikan, secara formal guru mempunyai peranan penting, disamping aspek lainnya seperti sarana/prasarana, kurikulum, peserta didik dan manajemen. Guru merupakan kunci keberhasilan pendidikan, sebab inti dari kegiatan pendidikan adalah
pembelajaran yang memerankan peran guru didalamnya. Oleh karena itu, guru yang professional tidak hanya mengetahui apa yang menjadi tugas pokoknya, peranan, dan kompetensinya, namun dituntut pula untuk mampu melaksanakan tugas dan peranannya dalam rangka meningkatkan kompetensinya dan optimalisasi proses pembelajaran secara efektif.
Bnyak factor yang diduga terkait dengan profesionalisme guru, seperti kelayakan mengajar, kesejahteraan, pembinaan profesi, perlindungan profesi, komitmen, serta kebijakan pemerintah. Factor lain yang mempengaruhi profesionalisme guru adalah perlindungan profesi guru yang mencakup (a) pengakuan terhadap ilmu pendpendidikan dan keguruan yang saat ini masih setengah hati dari pengambil kebijakan dan pihak-pihak yang terlibat, (b) PGRI belum berfungsi sebagai organisasi profesi dalam meningkatkan profesionalisme anggotanya, (c) Pusat Kegiatan Guru (PKG) dan Kelompok Kerja Guru (KKG) yang memungkinkan para guru untuk berbagi pengalaman dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam kegiatan mengajarnya, dan (d) pengukuhan progam Akta Mengajar melalui peraturan perundangan (Akadum dalam Hasan, 2003).
Profesi Guru paska UU Guru dan Dosen
Pasca UU Guru dan Dosen, profesi guru merupakan salah satu profesi yang menjanjikan bagi generasi mendatang. Sebagaimana telah dikemukakan dalam pendahuluan, mahwa untuk menjadi guru seseorang wajib :
Kualifikasi Akademik
Kualifikasi akademik guru ditunjukkan dengan ijazah yang merefleksikan kemampuan
yang dipersyaratkan bagi guru untuk melaksanakan tugas sebagai pendidik pada jenjang, jenis, d an satuan pendidikan atau mata pelajaran
yang diampunya sesuai Standar Nasional Pendidikan (PP Nomor 1912005). Kualifikasi akademi k guru diperoleh melalui pendidikan tinggi progam sarjana (S1) atau program diploma empat (D-IV) pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pendidikan tenaga kependidikan dari atau program pendidikan non kependidikan. Kualifikasi, akademik guru bagi seseorang yang akan menjadi guru harus dipenuhi sebelum yang bersangkutan diangkat menjadi guru.
Kompetensi merupakan seperangkat pengetahuan, ketrampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai, dan diaktualisasikan oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesinalannya. Kompetensi guru meliputi : (1) kompetensi pedagogic, yaitu kemampuan mengelola
pembelajaran peserta didik, (2) kompetensi kepribadian, yaitu kemampuan kepribadian yang mantap, beraklak mulia, arif, dan beribawa serta menjadi teladan bagi peserta didik, (3) kompetensi professional yaitu kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan
mendalam, (4) kompetensi social yaitu kemampuan untuk berinteraksi dan berkomunikasi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesame guru, orangtua peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Memiliki Sertifikat Pendidik
Sertifikat pendidik diperoleh melalui program pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi, baik yang diselenggar,akan oleh Pemerintah atau masyarakat dan ditetapkan oleh Pemerintah.
Program pendidikan profesi hanya diikuti oleh peserta didik yang telah memiliki kualifikasi akademik sarjana atau diploma empat.
Sehat Jasmani dan Rohani
Sosok guru bagaikan public figure yang senantiasa menjadi pusat perhatian masyarakat dari berbagai aspek, mulai dari penampilan, ucapan, perilaku, keteladanan, ketrampilan, kepiawian, dan status social. Oleh karena itu, seorang guru tidak bole memiliki cacad baik secara fisik maupun jasmani.
Setiap guru berkewajiban untuk menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif serta edukatif dalam upaya membentuk watak dan kepribadian sebagai warga negara yang mau dan mampu menghargaisesama warga Indonesia secara demokratis dan bertanggung jawab atas perilaku dalam setiap langkah perilaku, ucapan dan tindakannya. Sesungguhpun demikian dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional tidaklah mudah seperti membalikan telapak tangan, namun hal ini perlu proses yang panjang dan kesungguhan dan keiklasan setiap gurudalam melakukan pembelajaransecra disiplin dan konsekuen sesuai dengan kaidah-kaidah dikdatik-metodik.
Kesimpulan
Profesi guru pasca berlakunya Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14/2005 memiliki prospek yang menjanjikan, baik dari aspek kualitasmaupun kesejahteraan. Sebagai tenaga professional, guru taman kanak-kanak sampai guru sekolah menengah atas minimal disyaratkan berpendidikan sarjana atau diploma empat. Kesejahteraan guru sebagai tenaga kerja
profesionalcukup menjanjikan yang berasal dari : (1) gaji pokok, (2) tunjangan yang melekat pada gaji, (3) penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjagan khusus, dan tunjangan maslahat tambahan sebagai penghasilan tambahan yang terkait dengan tugasnya dengan prinsip penghargaan atas dasar pestasi.
Mengacu pada simpulan, maka penulis menyarankan agar Pemerintah segera menyelesaikan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Guru dan Dosen menjadi Peraturan Pemerintah sebagai acuan bagi guru untuk memperoleh hak dan kewajibannya sebagai pendidik profesional, pemerintah juga harus melakukan sosialisasi Peraturan Pemerintah tentang Guru ke
seluruh jajaran pendidik, dinas pendidikan tingkat provinsi/ kabupaten/kota, asosiasi profesi pendidik, Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), kantor dinas pendidikan
provinsi/kabupaten/kota kantor wilayah Departemen Agama, kantor pemerintah daerah, LSM pendidikan, para pemangku kepentingan pendidikan (stake holders) dan departemen lain yang menyelenggarakan pendidikan.
Departemen Pendidikan Nasional.2005. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.Depdiknas.Jakarta
Hasan, Ani, M.2003.Pengembangan Profesionalisme Guru di Abad Pertengahan: www.artikelpendidikan network/html.
Ki Supriyoko, 2004. Pendidikan Tanpa Guru Bermutu.www.kompas.com/kompas-cetak/0207/09/opini/pens04.htm
Effects of lnterference Fit Screw Length Tibial runnel Fixation For Anterior ruciate Ligament Reconstruction
Graft-tunnel mismatch during Arthroscopically assisted anterigr cruciate ligament reconstruction using the cen-tral-third patellar tendon results in less than 20 mm of bone plug remaining in the tibialtunnel. We decided to evaluate the strength of bone plug fixation using inter-ference fit screws that were less than 20mm in iength. Biomechanical testing was
performed on 48 porcine hindquarters using 9-mm diameter interference fit screws that measured 12.5, 15, and 20 mm in length. No significant difference was noted between the different-length screws for insertion torque, divergence, stitf-ness, displacement, or load to failure. We believe, therefore, that comparable graft fixation can be achieved in the tibial tunnel using 9-mm
diameter interference fit screws that are less than 20 mm long, and that these shorter screws may be useful incases of graft-tunnel mismatch.
Endoscopic single-incision ACL reconstruction using bone-patellar tendon-bone autograft has become
increasingly popular because of proposed advantages of decreased surgical morbidity by a oiding a
second incision and easier postoperatiye posed rehabilitation. Despite these proadvantages, seve ral problems related to graft fixation have been described, including inaccurate graft placement, divergent screw fixation, autograft tendon injury, and suboptimal interference screw fixation of the bone bloek in the tibial tuqnel After the bone plug into the femoral tunael, mismatch between the length of the graft and the tibial tunnel may leave the bone plug protruding from the tunnel,. Shortening the effective length of the plug and potentially is secured compromising strength of the initial fixation. Although Kenna et al and Lemos et al have recommended that this
problem prevented by understanding the dimensions of the knee and graft preoperatively and planning the can be an appropriate- length tibial tunnel, Shiffer et al reported a graft-tunnel mismatch incidence of 26% in their series of 34 endo-scopic ACL reconstructions. The incidence in other series is unpublished.
laceration by the longer screw. Other options for fixation, including staples or tying sutures in the tibial bone plug around a post, compromise the initial strength of the construct in ssmparison with the relatively rigid fixation of an interference screw. Use of a shorter interference fit screw has not been described in the clinical literature as a solution to this problem.
Several investigations have been performed to evalu-ate the relationship between
interference screw diame- ter or length and fixation strength. Brown et al reported no significant effect of screw length on fixation strength for 20- and 25-mm screws in human cadavers. To the best of our knowledge, reports of biomechanical testing of shorter interference fit screws, which may applicable in situations of graft-tunnel not been published. The purpose mismatch, have ofthis study was evaluate the failure of 12.5-, 15-, and 20-mm interfer-ence fit screws.
MATERIALS AND METHODS
Hindquarters were obtained from 48 fresh-frozen pigs weighing between 240 and 260 pounds. Bonepatellar ten-grafts-bone grafts were harvested from each pig by removing 10 mm diameter tibial bone plugs, leaving the patellar tendon attached to an intact patella. Each tibial bone plug was noted to have an approximately 15-mm apophysis proximal to a predominately cortical anterior tibial crest.The Tibial bone plugwas cut to 13, 15,or 20 mm lengths to
correspond to the length of the cannulated interference screw. The tibial plug was trimmed into a cylindrical shape to snugly fitthrough a 10-mm sizer with less than 2mm of space between the plug and the tunnel wall. The tibial plug was left securely attached to the patellar tendon A No. 2 Ethibond suture (Ethicon, Somenrille, New Jersey) was passed through the patellar tendon as a modKessler suture and was used to pull the graft into the l. This was done to avoid the necessity of creating drill holes in the bone plug and thus weakening it, as noted by Resnick.
insertion was ing again recorded. Repeat radiographs confirmed firll seat- of the screw. The angle of divergence in both AP and lateral planes was measured usrng the angle forned bylines tilong the axis of the tunnel and the screw. The number of threads engaged into the plugwas also recorded. The patella was mounted in a steel clamp through which a 3-cm, partially enclosed hole had been made to permit passage of the patellar tendon. A small, threaded Steinmann pin was passed hrough the proximal aspect of the cannulated screw and locked onto the screw with a emall nut. The distal load was applied, therefore, at the proximal end of the screw.
DISSCUSION
Anterior cnrciate ligament reconstruetion has given many athletes the opportunity to return to their prwious levels of activity with minimal functional d€ficits. Great advances have been made in understanding the biolory of placement and the technical pitfalls involved in successfirl ligament reconstruction. It is generally agreed that the initial weak link'sf the
reconstnrcted knee is at the graft fixatioa site. Consequentfy, much has been done to investigate tlre factors involved in initial fixation strength: type of graft, nethod of fixation, interfenence screw width/core diameter, screw divergence, and torque of insertion Methods of fixation of insertion.Method of fixation the patellar tendon graft have varied. Kurosnka et al. demonstrated the superiority 9.0-mm interference screws compared with 6.5-dn screws, butbons, and staples. Pull-out strengths of greater than 400 N have been found in cadaveric studies Using 9-rnm Kurosoka bcrews by Black et al. and Matthews al.,lo and by Bmwn et aI. when correct€d to the bone density of a young adult. This shength is very close to the 450 N that Noyes and Grmd stated the normal ACL was exposed t0 during activities of daily living. Compromise of
fixation may occur by 1) changing screw specifications or 2) straying recognized principles in technical insertion.
In conclusion, in this study there was a positive lation between torque of
interference corre and fit screws may be used clinically in the tibial tunnel without compromise ing graft fixation.
Daftar Pustaka
Aerssens J, Boonen S, Lowet G, et all : Interspesies differences in bone composition, density, and quality : Potential for in vivo bone research. Endocrinology 139:663-670, 1998.
Kenna B, Simon TM, Jackson DW, et all ;Endoscopic ACL reconstruction : A technical note on tunnel length for interference fixation. Arthroscopy 9 : 228-230, 1993