• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUMAN PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUKUMAN PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM."

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUMAN PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME

DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA

DAN HUKUM PIDANA ISLAM

SKRIPSI

Oleh:

Khayyirotun Nikmah

C03212046

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Publik Islam

Prodi Hukum Pidana Islam

Surabaya

(2)

HUKUMAN PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME

DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA

DAN HUKUM PIDANA ISLAM

SKRIPSI

Diajukan kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu

Fakultas Syariah dan Hukum

Oleh:

Khayyirotun Nikmah

NIM. C03212046

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah Dan Hukum

Jurusan Hukum Publik Islam

Prodi Hukum Pidana Islam

Surabaya

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian studi pustaka dengan judul “Hukuman Pelaku Tindak Pidana Terorisme dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia dan Hukum Pidana Islam” yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana hukuman pelaku tindak pidana terorisme menurut hukum positif di Indonesia dan hukum Pidana Islam dan Bagaimana persamaan dan perbedaan terhadap hukuman pelaku tindak pidana terorisme menurut hukum positif di Indonesia dan hukum Pidana Islam.

Data ini dihimpun dengan memahami buku-buku, peraturan perundang-undangan serta karya tulis ilmiah lainnya yang berhubungan dengan tindak pidana terorisme yang selanjutnya diolah dengan menggunakan metode penelitian deskriptif komparatif .

Hasil penelitian ini adalah dasar hukum yang digunakan untuk menjerat para pelaku tindak pidana terorisme yakni dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mana terdapat dalam Pasal 106 sampai 108 pada Bab I, Pasal 187 Bab VII dan Pasal 406 Bab XXVII hukuman yang terdapat pada Pasal 106 sampai 108 yakni pidana penjara paling lama seumur hidup, dan hukuman yang terdapat pada Pasal 187 yakni pidana penjara paling lama seumur hidup, dan pada Pasal 406 yakni pidana paling lama dua puluh tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empet ribu lima ratus rupiah. Selain itu juga dijerat dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang terdapat dalam Pasal 6 sampai Pasal 10 dengan anacaman hukuman pidana mati yang dimungkinkan dapat memberikan efek jera agar tidak terjadi tindak pidana yang sama di masa yang akan datang dan dapat mengurangi tindak pidana terorisme. Dalam hukum positif diIndonesia tindak pidana terorisme diberikan kewenangan kepada hakim dalam menjatuhkan hukuman yang sesuai dengan ketentuan yang ada seperti dalam al-Qur’an dan Hadis. Dalam hukum pidana Islam tindak pidana terorisme termasuk dalam kategori

dalam jarimah al-Baghyu yang dapat dijatuhi hukuman Qis}as} karena terdapat

ketentuan nas} didalam al-Qur’an dan Hadis mengenai tindak pidana ini.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TRANSLITERASI ... xii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 10

C. Rumusan Masalah ... 11

D. Kajian Pustaka ... 11

E. Tujuan Penelitian ... 12

F. Kegunaan Hasil penelitian ... 12

G. Definisi Operasional ... 13

H. Metode Penelitian ... 14

I. Sistematika Pembahasan ... 18

BAB II HUKUMAN PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA ... 20

A. Pengertian Terorisme ... 20

B. Hukuman Pelaku Terorisme Menurut Hukum Positif ... 31

C. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme ... 40

D. Kasus Tindak Pidana Terorisme ... 42

(9)

MENURUT HUKUM ISLAM ... 47

A. Menurut Hukum Islam ... 47

B. Qis}as} ... 53

BAB IV KOMPARASI HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM MENGENAI HUKUMAN PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME ... 72

A. Persamaan Hukuman Pelaku Tindak Pidana Terorisme Menurut Hukum Positif dan Islam ... 72

B. Perbedaan Hukuman Pelaku Tindak Pidana Terorisme Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam ... 76

C. Kelebihan dan Kekurangan Hukuman Pelaku Tindak Pidana Terorisme Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam ... 78

BAB V PENUTUP ... 80

A. Kesimpulan ... 80

B. Saran... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 82

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kelompok ekstrimis paling diburu pada saat ini yaitu Mujahidin

Indonesia Timur (MIT) yaitu kepala kelompok Santoso yang tidak lepas dari

kelompok-kelompok Islam militan dimasa lalu, yang berpusat diPoso yang

tidak serta merta muncul begitu saja. Kelompok Islam militan bernama

Jamaah Islamiyah pimpinan Abu Bakar Ba’asyir menjadi salah satu akar

lahirnya kelompok santoso, selain kerusahan yang terjadi saat ini diPoso.

Kelompok Santoso merupakan kepala kelompok terorisme yang ada

diIndonesia saat ini yang sedang diburu oleh para aparat gabungan Polri dan

TNI yang berbagung dalam Satgas Operasi Tinombala guna menangkap para

kelompok teroris pimpinan Santoso atau yang sering disebut juga teroris

kelompok Santoso.1

Santoso merupakan pimpinan yang anggota dari Abu Bakar Ba’asyrir,

langkah awal yang dilakukan oleh Santoso dengan Ustadz Yasin yang tidak

lain yaitu teman Santoso yaitu dengan membentuk proyek Uhud yang akan

didirikan di Poso sebagai wilayah qoidah amaniah atau daerah yang berbasis

cikal bakal dari negara Islam. Dan langkah awal dalam mempersiapkan

qoidah amaniah di Poso adalah pelatihan militer. Pelatihan militer ini

1

“asal muasal kelompok jaringan teroris Santoso” http://www.sangfaqir.blogspot.co.id/2210/asal-muasal-kelompok-jaringan-teroris-santoso, diakses sejak 26 April 2016.

(11)

2

direncakan agar dapat membentuk kader-kader asyakari yang kelak akan

memperjuangkan negara Islam di Poso. Selain itu Santoso dan

kawan-kawannya juga membentuk Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) di Poso yang

diketuai oleh Santoso dan Ustadz Yasin sebagai Amir JAT Poso. Untuk

merealisasikan rencana tersebut Santoso dan kawan-kawan segera

mengumpulkan senjata dan mencari tempat pelatihan militer. Dan pada tahun

2010 mereka berhasil membeli beberapa pucuk senjata dan juga menemukan

tempat pelatihan militer di daerah Gunung Mauro, Tambarana, Poso Pesisir

serta didaerah Gunung Biru, Tamanjeka Kabupaten Morowali. Selain itu

Santoso dan Ustadz Yasin merintis pembentukan JAT Poso, mereka mulai

merekrut para teman dekatnya seperti Aryanto Haluta, Rafli alias Furqon,

Upik Pagar, Riyanto alias Ato Margono alias Abu Ulya dan masih banyak

lagi yang lainnya. Dan pada Januari 2011 jumlah calon anggota JAT sudah

mencapai sekitar 50-an orang.2

Pada pertengahan bulan Februari 2011 anggota Ustadz Yasin

memerintahkan kepada Santoso untuk segera melaksanakan kegiatan Tadrib

Asykari (pelatihan militer) dalam pelatihan militer Santoso sebagai ketua dan

yang mempimin untuk pelatihan militer tersebut memberikan pelaitihan

kepada calon JAT yaitu pelatihan fisik, belajar teori dan praktek marakit bom

bakar dan bom ranjau, teori pengenalan senjata dan latihan menembak

menggunakan peluru. Dan dalam yaitu Ariyanto alias Ato Margono alias

Abu Ulya Tadrib Asykari (pelatihan militer) Ustadz Yogi memeberikan

2

Ansyaad Mbai, Dinamika Baru Jejaringan Teror di Indoensia, (Jakarta: Squad Publising, 2014), 30

(12)

3

tausiyah yang isinya tentang seputaran jihad yang dimaksud adalah

memerangi kaum kafir ataupun thogut dengan menggunakan kekuatan fisik

ataupun senjata. Para kelompok Santoso diwajibakan untuk melakukan

perbuatan amaliyah yaaitu dengan memerangi kaum kafir atau thogut, seperti

yang dilakukan oleh Riyanto alias Ato Margono alias Abu Ulya yang

mendapat tugas dari Santoso untuk melakukan perbuatan amaliyah, yang

dilakukan oleh Riyanto yaitu dengan membunuh seseorang yang

diangganpnya memiliki perilaku yang buruk dan juga Riyanto alias Ato

Margono alias Abu Ulya memasang bom didekat Gereja yang merupakan

tempat ibadah orang kafir.3

Pemikiran menyimpang dari para pengikut gerakan Islam politik dapat

dikembalikan pada pemikiran yang dilahirkan oleh Ibnu Taimiyah, sebagai

seorang yang pemikir Islam yang pertama kali menyuarakan tuduhan

kekufuran kumulatif terhadap sejumlah organisasi dan ormas Islam.

Kemudian pemikiran ini menjadi bagian dari ideologi gerakan partisan

Ikhwanul Muslimin yang kemudian menjadi kelompok paling produktif

mengorganisir aksi gerakan radikal dan teror.4

Selain yang telah muncul kelompok gerakan partisan Ikhwanul

Muslimin sebagai gerakan radiakal dan teror terdapat juga fatwa-fatwa yang

menyesatkan yang membuat gerakan-gerakan radikal dan teror itu

bermunculan yaitu sebagai berikut:

1. Fatwa Menyimpang Kelompok Thaliban

3

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor:629/Pid.Sus/2014/PN.Jkt. 4

(13)

4

Munculnya fatwa menyimpang dari kelompok Thaliban ini

muncul karena pada saat itu Negara-negara Islam menyadari bahaya

yang timbul dari gerakan Ikhwanul Muslimin terutama untuk agama

Islam. Dan setiap manuver dari Negara-negara barat yang ditunjukan

kepada umat islam dengan tujuan kolonialisme yang dikhususkan untuk

kepentingam Yahudi. Setelah itu gerakan dari barat tersebut berpindah

ke Afganistan, gerakan mereka diajukan atas nama Islam dimana pada

awalnya ditujukan untuk memerangi komunisme, namun pada akirnya

berdirilah sebuah pemerintahan Islam dibawah kepemimpinan

kelompok Thaliban. Mereka menampilana situasi yang tidak

mengenakkan hati dan berpengaruh negatif kepada citra Islam dan umat

Islam sekaligus.5

2. Fatwa Menyimpang Jamaah Islamiyah Libanan

Fatwa menyimpang Jamaah Islamiyah Libanon muncul karena

sejumlah fatwa yang diajukan oleh para ahli fiqih pemimpin kelompok

Ikhwanul Muslimin Libanon, kelompok ini menamakan diri mereka

sebagai “Jamaah Islamiyah” yang memicu radikalisme dan tindakan

teror.. Tokoh yang mengeluarkan peraturan Jamaah Islamiyah yaitu

Mufti seorang pengikut Sayyid Qutub (Tokoh utama Ikhwanul

Muslimin Mesir). Peraturan ini telah diterbitkan pada sebuah majalah

terbitan Libanon pada tahun 70-an. Salah satu Peraturan tersebut yaitu:

5

Ibid., 31

(14)

5

a. Seorang hakim peradilan negeri sipil dapat dijatuhi hukuman kafir

apabila menetapkan hukum dengan menggunakan undang-undang

kontroversional sebagai dasar ketetapan hukumnya.

b. Fatwa lain yaitu untuk kepentingan dakwah Islam, bahwa laki-laki

tidak boleh berkomunikasi dengan perempuan karena pada

dasarnya laki-laki tidak ditugaskan untuk menyampaikan dakwah

kepada kaum wanita.6

3. Paham Wahabisme

Padangan Wahabi lebih menekankan pada masalah akidah

misalnya, Wahabi banyak mengambil pandangan Ibnu Taimiyah dan

Muridnya, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah. Tauhid mereka yang pertama

bertujuan untuk mengenal dan menetapkan Allah sebagai Rabb dan

yang kedua terkait dengan tuntutan dan tujuan. bagi Wahabi, masalah

umat Islam adalah masalah akidah bahwa akidah umat ini dianggap

sesat, kaarena dipenuhi syirik, tahayul, bid’ah dan khufarat. Oleh karena

itu aktivitas dakwah mereka lebih memfokuskan pada upaya purifikasi

(pemurnian) akidah dan ibadah umat Islam. Aliran paham Wahabi inilah

yang memunculkan Islam radikal dan tindakan teror karena para

pengikut paham Wahabi lebih memerangi umat Islam maupun non

Islam yang dianggap telah jauh dari paham Wahabi.7

Tindak pidana terorisme merupakan bentuk-bentuk aksi

kejahatan dengan menggunakan cara-cara kekerasan yang dilakukan

6

Ibid., 35-38 7

Ibid., 46

(15)

6

oleh seseorang atau sekelompok orang yang ditujukan pada orang sipil,

baik masyarakat maupun harta kekayaannya untuk tujuan politik dengan

motivasi yang berbeda-beda.8 Kaum teroris juga sering menggunakan

tindakan teror seperti, pembunuhan, penculikan, serangan bersenjata,

pembajakan dan penyanderaan, serta penggunaan senjata pembunuh

massal (kimia, biologi, radioaktif, nuklir/CBRN).9

Menurut Neil J. Smeler, berbagai faktor politik seperti kondisi

ekonimi, politik, agama dan lain-lain memang dapat menimbulkan

gerakan terorganisir dalam terorisme. Akan tetapi kondisi tersebut tidak

menjamin adanya suatu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para

terorisme terkecuali dengan diikuti oleh faktor-faktor lain, seperti

doktrin ideologi keagamaan yang ditamankan oleh para pemimpin.

Dengan adanya doktrin ideologi yang telah ditanamkan para

pengikutnya maka hal tersebut dapat membuat terorisme melakukan

tindakan kekerasan yang dapat mengancam seluruh masyarakat yang

tidak dianggapnya dapat menghalangi tujuan mereka dan setiap orang

yang dianggapnya telah menyalahi agama pun menjadi objek sasaran

untuk para teroris. Dengan basis kekerasan yang dilakukan oleh para

kelompok teroris merepakan ajaran bahwa perilaku menyimpang dan

8 Ibid., 59 9

(16)

7

adanya pandangan bahwa kekerasan merupakan suatu perilaku inovatif,

mundur (retreatis) atau perilaku pemberontak.10

Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para pelaku terorime

dalam hukum nasional sudah merupakan suatu tindak pidana yang harus

dihukum sesuai dengan apa yang telah dilakukan oleh para pelaku

teroris tersebut. Penerapan hukuman terhadap para pelaku terorisme di

Indonesia didasarkan atas dasar pola atau bentuk kejahatan yang

dilakukan oleh para pelaku terorisme, karena para pelaku terorisme

mempunyai banyak bentuk dalam melaksanakan suatu tindka pidana

terorisme, seperti pengeboman sarana publik yang mengakibatkan

korabn jiwa pembunuhan orang-orang yang dianggapnya kafir yang

dapat menjadi teror bagi para masyarakat luas.

Terorisme di Indonesia yang ada saat ini dapat dikatakan dalam

skala yang besar karena adanya para pendukung para terorisme yang

tidak hanya datang dari Indonesia tetapi juga dari luar negara Indoensia.

Seperti kelompok Santoso dengan ISIS yang mempunayi pola yang

sama atau dapat dikatakan kelompok Santoso merupkan bagian dari

ISIS yang berada di Indoesia. Dukungan ISIS kepada kelompok Santoso

yang menjadikan terorrisme di Indonesia kelompok teroris yang

terorganisir secara Internasional. Dengan fakta yang ada sekarang

10

(17)

8

terorisme di Indonesia sudah bukan lagi sekedar international crime

dan sudah menjadi internatinolly organized crime.11

Menurut hukum positif di Indonesia seseorang yang masuk dalam

terorisme meskipun tidak melakukan tindak pidana yang dapat

membahayakan orang sudah dapat dijatuhi hukuman, karena dalam

hukum positif sekarang ini seseorang yang masuk menjadi anggota ISIS

dianggap telah melakukan kejahatan.

Hukum di Indonesia telah mengatur tentang tindak pidana

terorisme menjadi tindak pidana khusus dengan Undang-Undang yang

digunakan yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme seperti dalam Pasal 1 yang

menyebutkan bahwa seseorang dianggap teroris jika seseorang telah

menimbulkan rasa teror yang dapat membahayakan masyarakat luas dan

merusak fasilitas publik yang menimbulkan korban jiwa. Selain dalam

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 terorisme juga telah diatur

dalam KUHP meskipun tidak dijelaskan secara gamblang tetapi banyak

unsur-unsur dari tindakan para terorisme yang terdapat dalam KUHP,

seperti Membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang yang

terdapat dalam Pasal 187 KUHP yang merupakan salah satu dari tindak

pidana terorisme.

Tindakan terorisme tidak luput dari unsur agama, dalam agama

Islam tindakan terorisme dapat dikatakan sebagai pemberontakan

(al-11

Wahid Abdul, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan Hukum, (Bandung: PT Refika Aditama. 2004), 54

(18)

9

Baghyu)12 seperti yang terdapat pada al-Qur’an surah al-Hujarat ayat

9-10 yang berbunyi:















































































































































Artinya: dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil.(9) Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah

terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.(10)13

Hukuman dalam hukum pidana Islam yaitu qis}as}, hudud, dan diyat.

yang disebut hudud atau had adalah larangan atau pencegahan. Hukuman

hudud merupakan hukuman yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan

Hadist Rasul. Dan untuk pemberontak dalam hukum Islam yang sama seperti

garis hukum pada ayat al-Hujurat ayat 9-10 diatas, yaitu para pemberontak

dapat dijatuhi sanksi yang sama dengan sikap yang telah dilakukan saat

mereka melakukan jarimah. Akan tetapi dalam menerapkan hukuman bagi

12

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 109 13

Yayasan Penyelenggara penerjemah. Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Jakarta: Dep. Agama. 1985). 846

(19)

10

para pemberontak harus dilakukan secara berhati-hati dan tidak boleh

gegabah.14

Hukum pidana Islam seorang teroris bisa juga disebut dengan

al-Baghyu, dengan hukuman Qishash. Dalam hukum positif seorang teroris

dapat dikenai hukuman mati atau seumur hidup yang merupakan hukuman

terberat, sedangkan hukuman paling ringan pidana penjara yaitu 4 tahun.

Seperti yang terdapat dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Akan tetapi dalam

hukum positif di Indonesia pada masa sekarang ini, maka hukuman suatu

tindak pidana terorisme itu tergantung pada seorang hakim. Dalam hukum

Pidana Islam dan hukum positif mempunyai hukuman yang berbeda terhadap

para pelaku tindak pidana terorisme yang terkadang tidak seimbang dengan

tindakan yang dilakukan oleh pelaku terorisme.

Dari uraian diatas, maka dapat ditarik suatu permasalahan yang ada

tersebut, Sehingga penulis dapat mengangkat judul skripsi dengan judul

“Hukuman Pelaku Tindak Pidana Terorisme dalam Prespektif Hukum Positif

di Indonesia dan Hukum Pidana Islam”.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, terdapat beberapa masalah

pada penelitian ini. Adapun masalah-masalah tersebut dapat diidentifikasikan

sebagai berikut:

1. hukuman pelaku tindak pidana terorisme menurut hukum positif.

14

Jaih mubarok dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah, (Jakarta: Pustaka Bani Quraisy, 2004), 26

(20)

11

2. hukuman pelaku tindak pidana terorisme menurut hukum pidana Islam..

Berdasarkan identifikasi masalah diatas, tujuan agar permasalahan ini

dikaji dengan baik, maka penulis membatasi data permasalahan pada kajian

hukum positif di Indonesia dan hukum islam terhadap Terorisme:

1. Bagaimana hukuman bagi pelaku tindak pidana terorisme menurut

hukum positif di Indonesia.

2. Bagaimana hukuman bagi pelaku tindak pidana terorisme menurut

hukum pidana Islam.

3. Bagaimana persamaan dan perbedaan hukuman pelaku tindak pidana

terorisme menurut hukum positif di Indonesia dan hukum pidana

Islam.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah yang telah

diuraikan di atas, maka penulis dapat merumuskan permasalahan yang lebih

rinci dalam skripsi ini sebagai berikut:

1. Bagaimana hukuman bagi pelaku tindak pidana terorisme menurut

hukum positif di Indonesia?

2. Bagaimana hukuman bagi pelaku tindak pidana terorisme menurut

hukum pidana Islam?

3. Bagaimana persamaan dan perbedaan hukuman pelaku tindak pidana

terorisme menurut hukum positif di Indonesia dan hukum pidana Islam?

(21)

12

Sejauh pengamatan dan penelitian penulis mengenai topik tentang

tindak pidana terorime baik secara umum maupun secara spesifik dan yang

membahas tentang tindak pidana terorisme diantaranya adalah sebagai

berikut.

Skripsi Ahyari Zain, Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel

yang berjudul “Dampak dari Penetapan UU No. 15 Tahun 2003 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Bagi Umat Islam di Indonesia”.

Dalam skripsi tersebut menjelaskan tentang dampak penerapan UU No. 15

Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme yang

memberikan dampak kepada UU dengan dampak di penegakan hukum di

Indonesia yang kurang efektif dan terbilang penegak hukum tidak

professional. Dalam skripsi tersebut juga menjelaskan tentang bagaimana

jaringan-jaringan terorisme tersebut bisa tumbuh di Indonesia seperti contoh

jaringan terorisme Abu Bakar Ba’asyir dan jaringan-jaringan terorisme di

Aceh yang memberikan dampak bagi kelompok Islam Fundamentalis dan

umat Islam semakin defensif (diam dan bertahan sebagai kaibat dari situsi

tersebut). Dalam skripsi tersebut menjelaskan tentang jaringan terorisme

yang dapat dijadikan sumber dari skripsi ini.15

E. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah:

15

(22)

13

1. Untuk mengetahui bagaimana hukuman bagi pelaku tindak pidana

terorisme menurut hukum positif di Indonesia.

2. Untuk mengetahui bagaimana hukuman bagi pelaku tindak pidana

terorisme menurut hukum pidana Islam.

3. Untuk mengetahui bagaimana persamaan dan perbedaan hukuman

pelaku tindak pidana terorisme menurut hukum positif di Indonesia dan

hukum pidana Islam.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan berguna, minimal

dapat digunakan dalam dua aspek, yaitu:

1. Secara Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini dimaksudkan untuk

memberikan sumbangan pengembagan ilmu pengetahuan penulis atau

untuk pedoman dalam menyusun hipotesa berikutnya bila ada

kecemasan dalam masalah ini dan khazanah keilmuan, khususnya tindak

pidana terorisme yang merupakan tindak pidana yang sudah banyak

terjadi meskipun sulit untuk diungkapkan.

2. Secara Praktis

Secara praktis, dapat dijadikan para pertimabangan para penegak

hukum (hakim) dan pemerintah dalam menindak lanjuti suatu perkara

(23)

14

maraknya tindak pidana terorisme saat ini dan sulitnya untuk

mengetahuai bagaimana tindak pidana terorisme terjadi.

G. Definisi Operasional

Guna memahami suatu pembahasan tersebut, maka diperlukan adanya

penjelasan terhadap judul yang bersifat operasional dalam skripsi ini, agar

mudah dipahami secara jelas tentang arah dan tujuannya.

Adapun judul skripsi ini adalah “Hukuman Pelaku Tindak Pidana

Terorisme dalam Prespektif Hukum Positif di Indonesia dan Hukum Pidana

Islam.” Maksud dari judul ini adalah untuk mengetahui hukuman bagi pelaku

tindak pidana terorisme menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia

seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dan juga untuk mengetahui

bagaimana hukuman bagi pelaku tindak pidana terorisme menurut hukum

pidana Islam, serta mencari persamaan dan perbedaan hukuman bagi pelaku

tindak pidana terorisme dari hukum positif di Indonesia dan hukum pidana

Islam. Agar tidak terjadi kesalahpahaman di dalam memahami judul ini,

maka perlulah kiranya diuraikan beberapa istilah dari judul tersebut:

1. terorisme : segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung

kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap

(24)

15

2. Tindak {Pidana : suatu tindakan atau perbuatan yang dengan sengaja

melanggar perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang Hukum

Pidana yang dapat diberi sanksi berupa sanksi pidana.

3. Hukum Pidana Islam: ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan

masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumannya (uqubah),

yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.

4. Hukum positif : Hukum yang berlaku pada saat ini dalam sistem tata

hukum di Indonesia.

H. Metode Penelitian

1. Data yang dikumpulkan

Penelitian ini adalah studi kualitatif dengan data yang dikumpulkan

yaitu yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme dengan kasus-kasus

tindak pidana terorisme dan hukum pidana Islam berserta

ketentuan-ketentuan pidananya.

2. Sumber data

Untuk mendapat data penelitian ini maka diperlukan dua sumber

data yaitu:

a. Sumber Primer : data yang diperoleh lansung dari sumber pertama16

yaitu:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

16

Soekanto Soejono. Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: Universitas Airlangga UI Pres, 1986), 12

(25)

16

2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme.

3) Fikih jinayah

b. Sumber sekunder: data yang antara lain mencakup

dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan,

dan sebagainya. Dalam hal ini yang digunakan oleh penulis yaitu

berupa buku. Adapun sumber sekunder yang dimaksud antara lain:

1) Wahid Abdul. Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM,

dan Hukum. Bandung: PT Refika Aditama. 2004.

2) Abdurrahman Pribadi. Membongkar Jaringan Teroris. Jakarta:

Abdika Press. 2009.

3) H. Ansyaad Mbai. Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia.

Jakarta: Squad Publising. 2014.

4) I Wayan Parthiana. Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi.

Bandung: Yrama Widya. 2003.

5) Sukawarsini Djelantik. Terorisme Tinjauan Psiko-Politis, Peran

Media, Kemiskinan, dan Keamanan Nasional. Jakarta: Yayasan

Pustaka Obor Indonesia. 2010.

6) Ari Wibowo. Hukum Pidana Terorisme. Yogyakarta: Graha

Ilmu. 2012.

7) Bambang Abimanyu. Teror Bom di Indonesia. Jakarta: Grafindo

(26)

17

8) Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar

Grafika. 2005.

9) Yayasan Penyelenggara penerjemah. Al-Qur’an dan

Terjemahnya. Jakarta: Dep. Agama. 1985.

10)Jaih mubarok dan Enceng Arif Faizal. Kaidah Fiqh Jinayah.

Jakarta: Pustaka Bani Quraisy. 2004.

11)Frans Maramis. Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia.

Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2012.

12)Soekanto Soejono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta:

Universitas Airlangga UI Pres. 1986.

3. Teknik Pengumpulan data

Pembahasan penulisan skripsi ini menggunakan library reseach.

Maka dari itu teknik yang digunakan adalah dengan pengumpulan data

literatur, yaitu dengan penggalian bahan-bahan pustaka yang

berhubungan dengan hukuman bagi pelaku tindak pidana terorisme.

Bahan-bahan pustaka yang digunakan disini adalah buku-buku yang

ditulis oleh para pakar atau ahli hukum terutama dalam hukum positif dan

hukum pidana Islam. Data penelitian ini keseluruhannya diperoleh dan

dihimpun melalui pembacaan dan kajian kepustakaan.17

Karena kategori penelitian ini adalah literatur, maka teknik

pengumpulan datanya diselaraskan dengan sifat penelitian.

4. Teknik Pengelolaan data

17

Ibid., 14

(27)

18

Data yang didapat dari dokumen-dokumen dan terkumpul yang

kemudian diolah dengan merumusakan data-data yang diperoleh dari

sumber primer dan sumber sekunder tentang kajian hukum pidana Islam

terhadap tindak pidana terorisme, kemudian diuraikan dan dianalisis

terhadap data-data yang telah diuraikan dengan mengkomparatifkan

antara hukum positif yaitu Undang-Undang dan hukum pidana Islam

mengenai hukuman pelaku tindak pidana terorisme.

5. Teknik Analisis Data

Setelah data yang dikumpulkan lengkap, maka penulis menganalisis

data ini dengan menggunakan metode dekriptif-komparatif yaitu suatu

teknik yang dipergunakan dengan jalan memberikan gambaran terhadap

masalah yang dibahas dengan menyusun fakta-fakta sedemikian rupa

seingga membentuk konfigurasi masalah yang dapat dipahami dengan

mudah.18 Langkah yang ditempuh penulis adalah mendeskrepsikan secara

sistematis semua fakta aktual yangdiketahui, kemudian ditarik kepada

sebuah kesimpulan, sehingga dapat memberikan sebuah pemahaman yang

konkrit. Dalam hal ini dengan mengemukakan kasus yang terjadi di

Indonesia akhir-akhir ini yang kemudian akan dikaitkan dengan teori dan

dalil-dalil yang terdapat dalam literatur sebagai analisis, sehingga

mendapatkan kesimpulan yang bersifat khusus.

I. Sistematika Pembahasan

18

Ibid., 19

(28)

19

Guna menyusun skripsi ini yang berjudul “Hukuman Pelaku Tindak

Pidana Terorisme dalam Prespektif Hukum Positif di Indonesia dan Hukum

Pidana Islam.” diperlukan penyusunan skripsi ini yang terdiri dari lima bab

dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I merupakan bagian pendahuluan, merupakan uraian umum yang

terdiri dari beberapa sub bab yang meliputi Latar Belakang, Identifikasi dan

Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Kajian Pustaka, Tujuan Penelitian,

Kegunaan Hasil Penelitian, Defini Operasional, Metode Penelitian serta

Sistematika Pembahasan. Alasan sub bab tersebut diletakkan pada bab I

adalah untuk mengetahui alasan pokok mangapa penulisan ini dilakukan dan

untuk lebih mengatahui cakupan, batasan dan metode yang dilakukan dalam

penulisan skripsi ini agar lebih mudah untuk dipahami.

Bab II yaitu tentang landasan teori mengenai hukuman tindak pidana

terorisme, kemuadian dipaparkan menurut hukum positif dalam hal ini adalah

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme dan hukum pidana Islam.

Bab III bab ini adalah penyajian data, akan dipaparkan data penelitian

tentang hukuman tindak pidana terorisme dalam hukum Islam yang terdiri

dari pengertian hukuman terorisme dalam hukum Islam, unsur-unsur tindak

pidana terorisme dalam hukum pidana Islam, dan hukuman terhadap pelaku

tindak pidana terorisme dalam hukum pidana Islam.

Bab IV bab ini mengemukakan tentang persamaan dan perbedaan

(29)

20

kelebihan dan keklemahan dari hukum positif dan hukum pidana Islam

mengenai hukuman tindaka pidana terorisme.

Bab V merupakan bab terakhir yang menjadi penutup penelitian ini

yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran. Bab ini bertujuan untuk

memberikan kesimpulan isi pokok dari semua bab dalam skripsi ini dan

memberikan saran untuk lembaga penegak hukum terkait isi pemabahasan

(30)

BAB II

HUKUMAN PELAKU TERORISME MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA

A. Pengertian Terorisme

1. Terorisme Menurut Undang-Undang di Indonesia

Kata teror beraal dari bahasa latin terrere yang dapat diartikan

sebagai kegiatan atau tindakan yang dapat menimbulkan rasa ketakutan

pada masyarakat. Dengan demikian terorisme dapat merupakan suatu

faham yang gemar melakukan intimidasi seperti aksi kekerasan pada

masyarakat yang tidak berdosa dalam suatu negara dengan beberapa motif

tertentu.1

Pengertian terorisme menurut perpu Nomor 1 Tahun 2003 yang

sekarang menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, disebutkan bahwa yang

dimaksud dengan tindak pidana terorisme adalah setiap tindakan dari

seseorang yang dengan segaja menggunakan kekerasan atau ancaman

kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap

publik secara luas. Tindakan dengan cara merampas kemerdekaan atau

menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau menghancurkan

obyek-obyek vital yang strategis atau fasilitas publik/internasional

tersebut, bahkan dapat menimbulkan korban yang bersifat massal.

1

Luqman Hakim, Terorisme di Indonesis, (Surakarta: Forum Studi Islam Surakarta, 2004), 9.

(31)

21

Dari pengertian dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, bahwa seseorang dapat

dikatakan terorisme jika memenuhi unsur yaitu:

a. Aksi yang dilakukan menggunakan cara kekerasan dan anacaman

untuk menciptakan ketakutan publik.

b. Ditujukan kepada negara, masyarakat atau individu atau kelompok

masyarakat tertentu.

c. Kelompok anggota-anggotanya dengan cara teror juga, seperti

membunuh, menghancurkan obyek-obyek vital milik negara atau

merusak fasilitas publik yang dapat menimbulkan korban jiwa.

d. Melakukan kekerasan dengan maksud untuk mendapatkan dukungan

dengan cara yang sistematis dan terorganisir.

e. Sasaran teror biasanya pemerintahan, kelompok etnis, partai politik

dan sebagainya.

Menurut hukum di Indonesia terorisme merupakan kejahatan yang

luar biasa dan dapat dikatakan menjadi kejahatan internasional karena

banyaknya pelaku teroris atau kelompok teroris yang berasal dari

beberapa negara. Akan tetapi hukum internasional tidak memberikan

defini secara jelas tentang terorisme dan ketidak jelasan dalam hukum

internasional tidak membuat bahwa tindak pidana terorisme bebas dari

segala tuntutan. Karena menurut hukum nasional masing-masing negara

bukan berarti meniadakan sifat jahat perbuatan itu dan dengan demikian

(32)

22

Dalam hukum di Indonesia terdapat kata Nullum crimen sine poena,

yang artinya tiada kejahatan yang boleh dibiarkan berlalu begitu saja

tanpa hukuman, tetapi karena faktanya kini terorisme sudah bukan lagi

sekedar internasional crime dan sudah menjadi internasional organized

crime maka sangat sulit untuk memberantas kejahatan jenis ini tanpa

adanya kerja sama dan pemahaman yang sama di kalangan

negera-negara.2

Teroris dalam hukum di Indonesia sering digunakan untuk

mengimplementasikan bentuk keagamaan yang merupakan bagian dari

strategi perjuangan. Strategi perjuangan ini dipopulerkan dalam kategori

“jihad”, meskipun menggunakan kategori jihad, banyak manusia yang

tidak berdosa menjadi korban dan kepentingan publik menjadi rusak

berantakan serta negara dilanda disharmonisasi nasional.3

Sedangkan menurut lembaga penggagulangan terorisme, bahwa

terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang bersifat lintas

negara, terorganisasi dan mempunyai jaringan yang luas, sehingga

mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional

oleh karena itu memerlukan penanganan secara terpusat, terpadu dan

terkoordinasi, dan terorisme juga merupakan ancaman yang nyata dan

serius dan setiap saat dapat membahayakan keamanan bangsa dan negara.

2

Abdul Wahid, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum, (Bandung: PT Refika Aditama, 2011), 22.

3 Ibid.

(33)

23

Dalam terorisme terdapat juga beberapa organ yang menjadi bagian

dari terorisme, antara lain:

a. Pelaku Terorisme

Kata teroris merupakan pelaku dari aksi teror, yang bisa

bermakna jamak atau tunggal. Dalam kamus Bahasa Indonesia

teroris adalah orang atau golongan yang berbuat kejam dan

menimbulkan tetakutan. Teroris juga dapat diartikan sebagai

pelaksana bentuk-bentuk terorisme, baik oleh individu, golongan

ataupun kelompok dengan cara tindak kekerasan sampai dengan

pembunuhan, disertai berbagai penggunaan senjata, mulai dari

sistem konvensional hingga modern.4

Oleh karena itu aksi teror bisa dilakukan oleh siapapun baik

secara individu maupun kelompok, kapanpun dan dimanapun.

Banyak yang mengatakan, seseorang bisa disebut teroris sekaigus

juga sebagai pejuang kebebasan.5

Aksi teroris selalu mengikuti perubahan zaman dan waktu

kewaktu diseluruh duna yang menajdi terorisme menjadi hubungan

secara internasional, berdasarkan kebangsaan, agama, ras atau

ideologi politik. Pada umumnya para teroris banyak dibiayai oleh

agen di luar negara, yang menjadi sekutu bagi para teroris tersebut.

Dan dalam pelaksanaan aksinya para teroris mempunyai mekanisme

4

Adjie S, Terorisme, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), 11. 5

Abdul Wahid, Kejahatan Terorisme . . . , 22

(34)

24

sendiri seperti struktur organisasi, finansial, persenjataan, strategi,

dan taktik pengoperasian.

Akan tetapi mekanisme teroris tidak hanya itu tetapi juga

meliputi kelompok usia, jenis kelamin, status perkawinan, tempat

tinggal, penduduk asli, latar belakang sosial dan ekonomi, serta

filosofi politik yang menjadi acuan dalam mekanisme terorisme

secara khusus dengan banyaknya ideologi para teroris yang

berbeda-beda. Perkembangan teroris menjadikan sebuah kekhawatiran

dibanyak negara-negara di dunia yang saat ini para teroris tidak

hanya mengenai ideologi semata akan tetapi juga membekai dirinya

dengan kemiliteran guna untuk memperkuat dan membekai diri para

teroris.6

b. Kelompok Teroris

Kategori kelompok teroris ada 2 yaitu: 1. Kelompok kecil

yang memiliki kepentingan khusus, seperti kelompok yang

antiaborsi, antikorupsi dan lain sebagainya. Kelompok teroris dalam

kategori ini, memiliki kemampuan yang terbatas dan tidak

dilengkapi dengan infrastruktur yang diperlukan untuk memberikan

dukungan, atau kontribusi lain demi kelangsungan kelompoknya

dalam waktu tertentu.

Dan yang ke2, yaitu kelompok yang memperoleh pelatihan

militer, senjata dan keperluan logistik dan dukungan administrasi

6

Adjie S, Terorisme . . . , 12

(35)

25

dari negara-negara asing. Kelompok teroris dalam kategori ini

dinyatakan bertanggung jawab terhadap 70% insiden yang terjadi

banyak dunia dan hampir seluruh dunia yang dilakukan oleh para

teroris, yang ditergetkan kepada warga negera atau kepentingan

dunia yang dianggap sebagai musuh oleh para terorisme dalam

pemikiran ideologi yang dianutnya.7

Dalam kelompok teroris terdapat suatu organisasi kelompok

teroris yang mempunyai arti sebagai suatu kelompok teroris

gerakannya harus memiliki kepemimpian guna untuk mempermudah

untuk dukungan dari pihak lain dan mendapatkan struktur yang luas

dan dapat tertus berkembang. Suatu organisasi kelompok teroris

mewajibkan adanya seorang pemimpin yang berdedikasi tinggi,

terutama dalam hal mengoperasikan suatu organisasi dan para

pengikutnya. Dan seorang pemimpin teroris harus yang jenius,

karismatik, dan terlahir dari keluarga yang kaya, atau individu yang

telah memiliki penghasilan diatas rata-rata. Tujuan kriteria para

pemimpin tersebut diharapkan dapat memberikan dana dan dapat

menfasilitasi para anggotanya.8

2. Bentuk-Bentuk Aksi Pelaku Terorisme

Terdapat beberapa bentuk terorisme yang dikenal diantaranya yaitu

teror kriminal dan teror politik. Teror kriminal biasanya hanya digunakan

7

Ibid., 16 8

Ibid., 19

(36)

26

untuk kepentingan pribadi atau memperkaya diri sendiri, dnegan cara

pemerasan dan intimidasi. Teroris kriminal bisa menggunakan kata-kata

yang dapat menimbulkan ketakutan atau teror psikis. Sedangkan teror

politik tidak pernah memilih-milih korban. Teroris politik selalu siap

melakukan pembunuhan terhadap orang-orang sipil: laki-laki, perempuan,

dewasa dan anak-anak dengan tanpa pertimbangan penilaian politik atau

moral, teror politik adalah suatu fenomona sosial yang penting.

Sedangkan terorisme politik memiliki karakteristik sebagai berikut: (1)

merupakan intimidasi koersif; (2) memakai pembunuhan dan destruksi

secara sistematis sebagai sarana untuk tujuan tertentu; (3) korban bukan

tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan perang urat syaraf, yakni

“bunuh satu orang untuk menakuti seribu orang”; (4) target aksi teror

dipilih, bekerja secara rahasia, namun tujuannya adalah publisitas; (5)

pesan aksi cukup jelas, meski pelaku tidak selalu menyatakan diri secara

personal; (6)para pelakun kebanyakan dimotivasi oleh idealisme yang

cukup keras, mislanya “berjuang demi agama dan kemanusiaan”.9

Selain dua bentuk teror yang menjadi fokus bagi para teroris ada

beberapa model/bentuk aksi teror dengan berbagai macam gerakan yang

biasa dilakukan. Hal tersebut dimaksudkan oleh para teroris sebagai

taktik, agar maksud dan tujuannya bisa dirahi. Sekurang-kurangnya ada

sembilan bnetuk aksi teror yang populer atau sering digunakan untuk para

teroris dalam melancarkan aksi terornya, diantaranya yaitu:

9

Abdul Wahid, Kejahatan Terorisme..., 38

(37)

27

a. Peledakan bom/ pengeboman

Pengeboman adalah taktik yang paling umum digunakan oleh

kelompok teroris dan merupakan aksi teror yang paling populer

dilakukan karena selain mempunyai nilai mengangetkan (shock

value), aksi ini lebih cepat mendapat respon karena korbannya

relatif lebih banyak. Selain itu pengeboman juga sebagai salah satu

yang paling sering digunakan dan paling disuakai karena biayanya

murah, bahannya mudah didapat, mudah dirakit dan mudah

digunakan serta akibatnya bisa dirasakan langsung dan dapat

menarik perhatian publik dan media massa.

Bom bunuh diri atau yang dikenal dnegan suicide bombing

yang telah menjadi model yang dipilih oleh para teroris untuk

menghancurkan sarana seperti gedung kembar WTC di New York,

Bom Bali I dan II, hingga peledakan bom di berbagai negara seperti

Rusia, Mesir, Spanyol, Inggris dan Irak. Penggunaan bom

disejumlah tempat baik di Indonesia maupun di negara lain

memperlihatkan tren yang meningkat.10

b. Pembunuhan

Pembunuhan adalah bentuk aksi teroris yang tertua dan masih

digunakan hingga saat ini. Dengan model pembunuhan yang sering

digunakan yaitu pembunuahan terpilih/selektif, yaitu tindakan

serangan terhadap target atau sasaran yang dipilih atau pembunuhan

10

Aulia Rosa Nasution, Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan: dalam Perspektif Hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2012) , 108

(38)

28

terhadap figur yang dikenal masyarakat (public figure) dengan

sasaran pejabat pemerintah, pengusaha, politisi dan aparat

keamanaan. Semakin tinggi tingkatan target dan semakin

memperoleh pengamanan yang baik, akan membawa efek yang

cukup besar dalam kehidupan masyarakat.11

c. Pembajakan

Pembajakan adalah perebutan kekuasaan dengan paksaan

terhadap kendaraan dipermukaan, penumpang-penumpangnya,

dan/atau barang-barangnya. Dnegan kata lain, pembajakan adaah

kegiatan merampas barang atau hak orang lain. Pembajakan yang

sering dilakukan oleh para teroris adalah pembajakan terhadap

sebauah pesawat uadara, karena dapat menciptakan situasi yang

menghalangi sandera bergerak dari satu tempat ketempat yang lain,

yang melibatkan sandera-sandera dari berbagai bangsa dengan

tujuan agar menimbulkan perhatian media atau publik.12

d. Penghadangan

Aksi terorisme juga sering menggunakan taktik

pengahadangan. Dimana penghadangan tersebut biasanya telah

dipersiapkan terlebih dahulu secara matang oleh para teroris dengan

melakukan berbagai latihan-latihan terlebih dahulu, serta

11

Adjie S, Terorisme..., 54 12

Aulia Rosa Nasution, Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan..., 111

(39)

29

perencanaan medan dan waktu. Oleh karena iti taktik ini disinyalir

jarang sekali mengalami kegagalan.13

e. Penculikan dan penyanderaan

Penculikan adaalah salah satu tindakan terorisme yang paling

sulit dilaksanakan, tetapi bila penculikan tersebut berhasil, maka

mereka akan mendapatkan uang untuk pendanaan teroris atau

melepaskan teman-teman seperjuangan yang dipenjara serta

mendapatkan publisitas untuk jangka panjang. Sementara itu,

perbedaan anatara penculikan dan penyaderaan dalam dunia

terorisme sangatlah tipis. Berbeda dengan penculikan, penyanderaan

menyebabkan konfrontasi atau perlawanan dengan penguasa

setempat. Misi penyanderaan sifatnya kompleks dari segi

penyediaan logistik dan beresiko tinggi, termasuk aksi penculikan,

membuat barikade dan penyanderaan (mengambil alih sebuah

gedung dan aksi mengamankan sandera). Misanya penyanderaan

pesawat, mengambil laih transportasi darat, menuntut uang tebusan

untuk penyanderaan, telah dipakai oleh kelompok-kelompok teroris

sebagai cara mengmpulkan dana untuk membiayai operasional

mereka.14

f. Perampokan

Taktik perampokan biasa dilakukan para teroris untuk mencari

dana dalam membiayai operasionalnya, teroris melakukan

13

Abdurrahman Pribadi dan Abu Rayyan, Membongkar Jaringan..., 16 14

Aulia Rosa Nasution, Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan..., 113

(40)

30

perampokan bank, toko perhiasan atau tempat lainnya. Karena

kegiatan terorisme sesungguhnya memiliki baiaya yang snagat

mahal. Perampokan juga dapat digunakan sebagai bahan ujian bagi

program latihan personil baru.15

g. Pembakaran dan Penyerangan dengan Peluru Kendali (Firebombing)

Pembakaran dan penyerangan dengan peluru kendali lebih

mudah dilakukan oleh kelompok teroris yang biasanya tidak

terorganisir. Pembekaran dan penembakan dengan peluru kendali

diarahkan kepada hotel, bangunan pemerintah, atau pusat industri

untuk menunjukkan citra bahwa pemerintahan yang sedang

berkuasa tidak mampu menjaga keamanan objek vital tersebut.16

h. Serangan bersenjata

Serangan bersenjata oleh teroris telah meningkat menjadi

sesuatu aksi yang mematikan dalam beberapa tahun belakangan ini.

Teroris Sikh di India dalam sejumlah kejadian melakukan

penghentian bus yang berisi penumpang, kemudian menembak

sekaligus membunuh seluruh penumpang yang beragama hindu yang

berada di bus tersebut dengan menggunakan senapan mesin yang

menewaskan sejumlah korban, yaitu anak-anak, wanita dan orang

tua seluruhnya.17

i. Penggunaan Senjata Pemusnah Massal (Senjata Kimia)

15

Abdurrahman Pribadi dan Abu Rayyan, Membongkar Jaringan..., 17 16

Aulia Rosa Nasution, Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan..., 114 17

Ibid.

(41)

31

Perkembagan teknologi tidak hanya berkembang dari dampak

positifnya untuk membantu kehidupan umat manusia, akan tetapi

juga membunuh umat manusia itu sendiri dengan kejam. Melalui

penggunaan senjata-senjata pembunuh massal yang sekarang mulai

digunakan oleh para terorisme dalam menjalankan tujuan dan

sebagai salah satu bentuk teror yang baru dikalangan masyarakat.18

B. Hukuman Pelaku Terorisme Menurut Hukum Positif

1. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Tindak pidana terorisme dalam hukum pidana di Indonesia telah

diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Buku II tentang

kejahatan terdapat pada Bab I. Tentang Kejahatan Terhadap Keamanan

Negara, Bab VII tentang Kejahatan yang Membahayakan Keamanan

Umum Bagi Orang atau Barang, yang merupakan bagian unsur kejahatan

dari tindak pidana terorisme. Selain itu juga terdapat pada Bab XXVII

tentang Penghancuran atau Pengerusakan Barang.

Dalam KUHP bahwa dapat dikatakan sebagai tindak pidana

terorisme jika tindak pidana tersebut membuat kekacauan bagi keamanan

suatu negara dan membahayakan keamanan bagi masyarakat umum

dengan pengerusakan dan penghancuran barang milik negara yang

mempunyai dampak yang besar bagi suatu negara.

Adapun penjelasan mengenai tindak pidana terorisme yang terdapat

dalam KUHP sebagai berikut:

18

Ibid., 115

(42)

32

a. Pasal 106 sampai Pasal 108 Bab I Tentang Kejahatan Terhadap

Keamanan Negara, yang berbunyi:19

Pasal 106:

“Makar dengan maksud supaya wilayah negara seluruhnya atau sebagian jatuh ketangan musuh atau dengan maksud untuk memisahkan sebagian dari wilayah negara dari yang lain, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”

Pasal 107:

(1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah,

diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

(2) Para pemimpin dan para pengatur makar tersebut dalam

ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Pasal 108:

(1) “diancam denagn pidana paling lama lima belas tahun,

karena pemberontakan:

1. Orang yang melawan Pemerintah dengan senjata;

2. Orang yang dengan maksud melawan Pemerintah

menyerbu bersama-sama dengan gerombolan yang melawan Pemerintah dengan senjata.

(2) Pemimpin-pemimpin dan para pengatur pemberontakan

diancam dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”

b. Pasal 187 VII tentang Kejahatan yang Membahayakan Keamanan

Umum Bagi Orang atau Barang yang berbunyi:20

“Barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam:

1. Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika

karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya umum bagi barang;

2. Dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika

karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain.

19

Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 43-44 20

Ibid., 69

(43)

33

3. Dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu

tertentu paling lama dua puluh tahun, jika karena perbutan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan matinya orang.”

c. Pasal 406 Bab XXVII tentang Penghancuran atau Pengerusakan

Barang yang berbunyi:21

(1) Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum

menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Dijatuhkan pidana yang sama terhadap orang yang dengan

sengaja dan melawan hukum membunuh, merusakkan, membuat tak dapat digunakan atau menghilangkan hewan, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain.

Dengan kata “Makar” mempunyai arti setiap orang yang merusak

keamanan negara yang dapat dikatakan dengan seorang teroris karena

menimbulkan yang besar dan meluas untuk negara. Dan terdapat kata

“Pemberontak” yang dapat diartikan bahwa seorang teroris merupakan

pemberontak negara yang menimbulkan pengerusakan, penghancuran

barang, bagunan atau fasilitas negara dengan adanya korban jiwa ataupun

tidak, baik itu merupakan pengunaan bahan peledak maupun dengan

senjata, hal tersebut dapat dikatakan sebagai tindak pidana terorisme.

Dalam Pasal 406 Buku XVII tentang Penghancuran atau

Pengerusakan Barang yang merupakan bentuk dari tindak pidana

terorisme selain merusak tatanan keamanan negara dan keamanan

masyarakat umum. Meskipun sekarang ini tindak pidana terorisme sudah

21

Ibid., 146

(44)

34

mempunyai Undang-Undang tersediri karena tindak pidana terorisme

yang merupakan tindak pidana khusus. Dan banyaknya kasus tindak

pidana terorisme yang tidak lagi menggunakan KUHP sebagai hukuman

untuk mencerat para pelaku tindak pidana terorisme yang menjadikan

KUHP dalam Pasal-Pasal tersebut diatas dianggap tidak merupakan unsur

dari kejahatan tindak pidana terorisme.

2. Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme

Secara umum tindak pidana terorisme telah diatur dalam Perpu No.

1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme yang telah

disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 yang menjadi

dasar hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia,

menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme

sebagai berikut: tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang

memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang sesuai dengan ketentuan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini. (pasal 1 ayat (1)

UU No. 15 Tahun 2003 ).

Pasal 1 ayat (1) dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang

pemberantasan tindak pidana terorisme tersebut, rumusannya sama

dengan yang ada dalam draft rancangan Undang-Undang tentang tindak

pidana Terorisme.22

22

Abdul Wahid, Kejahatan Terorisme..., 76

(45)

35

Sedangkan yang dimaksudkan unsur-unsur terorisme dalam Pasal 1

ayat (1) UU No. 15 Tahun 2003 tetang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme adalah perbuatan melawan hukum dengan penjelasan dalam

pasal 6 bahwa tindak pidana terorisme adalah sebagai berikut:23

Setiap orang dengan segaja menggunakan kekerasaan atau ancaman kekerasaan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidna dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Dengan demikian, rumusan tindak pidana terorisme mengandung

enam unsur pokok, yaitu: (1) setiap orang; (2) dengan sengaja

menggunakan kekerasan, ancaman kekerasaan; (3) menimbulkan suasana

teror atau rasa takut; (4) terhadap orang secara meluas, atau menimbulkan

korban yang bersifat massal; (5) dengan cara merampas kemerdekaan atau

hilangnya nyawa dan harta benda orang lain; (6) dan/atau mengakibatkan

kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategi dan

lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.24

Pasal ini adalah termasuk dalam materiil yaitu yang ditekankan

pada akibat yang dilarang yaitu hilangnya nyawa, hilangnya harta atau

kerusakan dan kehancuran. Dan yang dimaksud dengan kerusakan atau

kehancuran lingkungan hidup adalah tercemarnya atau rusaknya kesatuan

23

Undang-Undang RI nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme 24

Aulia Rosa Nasution, Terorisme Sebagai Kejahatan..., 152

(46)

36

ruang sengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk

manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan

dan kesejahteraan manusia serta makhluk lainnya. Yang dimkasud dengan

merusak atau mengahancurkan adalah dengan sengaja melepaskan atau

membuang zat, energi dan/atau komponen lain yang berbahaya atau

beracun ke dalam tanah, udara, air permukaan yang membahayakan

terhadap orang atau barang.25

Dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberatasan

Tindak Pidana Terorisme membatasi atau mengecualikan tindak pidana

terorisme yang bermotif politik. Pengaturannya terdapat dalam Pasal 5

ysng menyatakan bahwa, tindak pidana terorisme yang diatur dalam

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dikecualikan dari

tindak pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana

politik, tindak pidana dengan motif politik, dan tindak pidana dengan

tujuan politik yang menghambat proses ekstradisi.

Sedangkan yang mengenai delik formil tindak pidana terorisme

terdapat dalam Pasal 7 sampai pasal 12 Undang-Undang No. 15 Tahun

2003 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Terorisme.26

Bunyi rumusan Pasal 7 adalah:

Orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain atau untuk menimbulkan

25

Abdul Wahid, Kejahatan Terorisme..., 77 26

Abdul Wahid, Kejahatan Terorisme..., 79

(47)

37

kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional dipidana dengan penjara paling lama seumur hidup.

Dalam hal ini perbuatan yang dilarang dan dikategorikan sebagai

kegiatan Setiap terorisme adalah bermaksud untuk melakukan perbuatan

yang menggunakan kekerasaan atau ancaman kekerasaan di mana

perbuatan tersebut dapat menimbulkan suasana teror ditengah-tengah

masyarakat. Berdasarkan ketentuan Pasal ini bahwa adanya unsur batin

dari pembuat kehendak untuk menjangkau secara luas yaitu rumusan

“dengan maksud untuk menimbulkan teror.”

Delik formil lainnya, yang mengatur suatu kejahatan yang dilakukan

terhadap dan di dalam peswat udara. Dalam Pasal 8 yang menyebutkan

bahwa:

Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana yang sama sebagimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang

yang:27

a. Menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak

bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bagungan tersebut:

b. Menyebabkan hancurnya, tidak dapat diapakinya atau

rusaknya bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha untuk pengamanan bagunan tersebut:

c. Dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan,

merusak, mengambil, atau memindahkan tanda atau lat untuk pengamanan penerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau memasang tanda atau alat yang keliru:

d. Karena kealpahannya menyebabkan tanda atau alat untuk

pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan terpasangnya tanda yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain:

27

Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

(48)

38

e. Dengan segaja atau melawan hukum, menghancurkan atau

membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain:

f. Dengan segaja dan melawan hukum menghancurkan atau

membuat tidak dipakai atau merusak pewasat udara:

g. Karena kealpahannya menyebabkan pesawat udara celaka,

hancur, tidak dapat diapakai, atau rusak:

h. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang

lain dengan melawan hukum, atas penanggung asuransi menimbulkan kebakaran atau ledakan, kecelakan kehancuran, kerusakan atau membua tidak dapat dipakainya pesawat udara yang dipertanggungkan terhadap bahaya atau yang dpertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan tersebut telah diterima uang tanggungan:

i. Dalam pesawat udara dengan perbuatan melawan hukum,

merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai peswat udara dalam penerbangan:

j. Dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman

kekerasan atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara dalam penerbangan:

k. Melakukan bersama-sama sebgai kelanjutan pemufakatan

jahat, dilakukan dengan direncakan terlebih dahulu, mengakibatkan luka berat seseorang, mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara sehingga dapat membahayakan penerbangannya, dilakukan dengan merampas kemerdekaan atau meneruskan merampas kemerdekaan seseorang:

l. Dengan segaja dan melawan hukum melakukan perbuatan

kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat uadra dalam penerbangan, jika perbuatan membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut:

m. Dengan sengaja dan melawan hukum perbuatan merusak

pesawat uadara dalam dinas atau menyababkan kerusakan atau peesawat undara tersebut yang menyababkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan penerabangan;

n. Dengan sengaja dan melawan hkum menempatkan atau

menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, alat atau bahan mengahancurkan pesawat uadara yang membuatnya tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan;

o. Melakukan secara bersam-sama 2 orang atau lebih, sebagai

(49)

39

seseorang dari perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf i, huruf m, dan huruf n;

p. Memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan

karena perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan;

q. Didalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat

membahayakan keamanaan dalam pesawat udara dalam penerbangan;

Ketentuan-ketentuan Pasal diatas menunjukkan tindak pidana yang

dilakukan di dalam pesawat dinas, yakni sebelum pesawat udara tersebut

berada dalam penerbangan sehingga timbul masalah apabila pesawat

tersebut dalam penerbangan (in flight). Akan tetapi seseorang yang dapat

dikatakan sebagai teroris dalam suatu penerbangan jika seseorang

tersebut melukai orang lain yang menimbulkan rasa takut dalam suatu

penerbangan yang dapat menggungu penerbangan pesawat seperti

pembajakan pesawat.

Pada Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:

Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, menggangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonsia sesuatu senjata apai, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau dipidana paling sengkat 3 tahun atau paling lama 20 tahun.

Pada Pasal 10 berbunyi sebagai berikut:

(50)

40

komponennya, sehingga menimbulkan suasana teror, atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korabn yang bersifat massal, membahayakan terhadap kesehatan, terjadi kekacauan terhadap kehidupan, keamanan, dan hak-hak orang, atau yang terjadi kerusakan, kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkuangan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional.

C. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan

Nasional Penanggulangan Terorisme

Maraknya suatu tindak pidana terorisme yang terjadi di Indonesia

membuat para penegak hukum maupun kepala pemerintahan negara/Presiden

harus mempunyai sifat yang tegas dalam menyelesaikan tindak pidana

terorisme. Atas dasar banyaknya terorisme di Indonesia, Presiden selaku

kepala pemerintahan suatu negara yang membuat suatu lembaga dengan

peraturannya. Lembaga tersebut berisi bagaimana cara untuk

menganggulangi terorisme dengan cara-cara yang telah ditentukan oleh para

penegak hukum di Indonesia. Sebagaimana terdapat pada bagian keempat

tentang deputi bidang pencegahan, perlindungan, dan Deradikalisasi, bagian

kelima tentang Deputi Bidang Penindakan dan Pembeniaan PP Nomor 46

Tahun 2010 Tentang Badan Nasional Penganggulangan Terorisme pasal 11

sampai Pasal 13 yang berbunyi:

Pasal 11

(1) Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi berada

di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala BNPT.

(2) Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi

dipimpin oleh Deputi

(51)

41

Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi mempunyai tugas merumuskan, mengkoordinasikan, dan melaksanakan kebijakan, strategi, dan program nasional penanggulangan terorisme di bidang pencegahan, perlindungan, dan deradikalisasi.

Pasal 13

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana di maksud dalam Pasal 12, Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi menyelenggarakan fungsi:

a. monitoring, analisa, dan evaluasi mengenai ancaman terorisme di

bidang pencegahan, perlindungan, dan deradikalisasi;

b. penyusunan kebijakan, strategi, dan program nasional

penanggulangan terorisme di bidang pencegahan, perlindungan, dan deradikalisasi;

c. koordinasi pelaksanaan penanggulangan terorisme di bidang

pencegahan ideologi radikal;

d. pelaksanaan kegiatan melawan propaganda ideologi radikal;

e. pelaksanaan sosialisasi penanggulangan terorisme di bidang

pencegahan, perlindungan, dan deradikalisasi;

f. koordinasi pelaksanaan program-program edukasi dan

re-sosialisasi dalam rangka deradikalisasi;

g. koordinasi pelaksanaan program-program pemulihan terhadap

korban aksi terorisme.

Dan bagian kelima tentang Deputi Bidang Penindakan dan Pembeniaan

Kemampuan PP Nomor 46 Tahun 2010 Tentang Badan Nasional

Penganggulangan Terorisme Pasal 14 sampai Pasal 16 yang berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 14

(1) Deputi Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan berada di

bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala BNPT.

(2) Deputi Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan dipimpin

oleh Deputi.

Pasal 15

(52)

42

kebijakan, strategi, dan program nasional penanggulangan terorisme di bidang penindakan dan pembinaan kemampuan.

Pasal 16

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Deputi Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan menyelenggarakan fungsi:

a. monitoring, analisa, dan evaluasi mengenai ancaman terorisme di

bidang penindakan, pembinaan kemampuan, dan penyiapan kesiapsiagaan nasional;

b. penyusunan kebijakan, strategi, dan program nasional

penanggulangan terorisme di bidang penindakan, pembinaan kemampuan, dan penyiapan kesiapsiagaan nasional;

c. koordinasi dalam penentuan tingkat ancaman dan upaya persiapan

penindakan;

d. koordinasi pelaksanaan perlindungan korban, saksi, dan aparat

penegak hukum terkait ancaman terorisme;

e. koordinasi

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kendati pemberian bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme adalah sesuatu yang urgent disebabkan oleh karena

Penulisan hukum yang dilakukan dengan judul “TINJAUAN TENTANG PEMBERIAN REMISI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA” merupakan hasil karya asli penulis,bukan

Pertanggungjawaban pidana anak sebagai pelaku tindak pidana kekerasan seksual pada anak tidak hanya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana saja tetapi juga diatur

15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme di atas adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan

2) Bab IV merumuskan Tindak Pidana yang berkaitan dengan Tindak Pidana Terorisme yang diatur di dalam Pasal 20 sampai dengan 24. Pelaksanaan Counter Terrorism Terhadap Pelaku

Dapat dilihat bahwa alasan mempertahankan ancaman maksimal pidana mati, telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Tindak Pidana

Dengan alasan ada kekosongan hukum yakni bahwa tindak pidana terorisme tidak diatur dalam hukum pidana positif yang ada, berdasarkan Pasal 22 Undang- Undang Dasar

Di Indonesia sanksi bagi pelaku tindak pidana kekerasan seksual pada anak didasarkan pada Pasal 290 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang