• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dan Employability pada Mahasiswa Tingkat Akhir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dan Employability pada Mahasiswa Tingkat Akhir"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dan

Employability

pada Mahasiswa Tingkat Akhir

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Merrysha Eudia Atpen

149114029

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv MOTTO

It would all be okay. There was no need to worry. You must be ready to face it,

what ever it was. Tell to yourself. You could handle it either way.

-Anonymous-Let your FAITH bury your FEAR -Anonymous-

It always seems impossible until it’s done

-Nelson Mandela-

Where there’s a will, there’s a way

-Angela Merkel-

Marilah kepada-Ku semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi

kelegaan kepadamu

(5)

28-v

Teruntuk papa dan mama yang selalu mengasihi ku

Walaupun tak berarti banyak,

semoga mampu menjadi sedikit obat penawar

ditengah getirnya kenyataan hidup yang harus kita hadapi bersama 

Meskipun sederhana, semoga bisa menjadi alasan kalian

(6)
(7)

vii

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DAN EMPLOYABILITY PADA MAHASISWA TINGKAT AKHIR

Merrysha Eudia Atpen

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara kecerdasan emosional dengan

employability pada mahasiswa tingkat akhir. Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kecerdasan emosional dengan employability pada mahasiswa tingkat akhir. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 236 mahasiswa. Skala yang digunakan berupa skala kecerdasan emosional dan skala employability yang dibuat oleh peneliti. Skala kecerdasan emosional memiliki nilai alpha cronbach sebesar0,85 yang terdiri dari 26 item yang mengacu pada teori milik Peter Salovey dan John Mayer (1990). Skala employability memiliki nilai alpha cronbach

sebesar0,86, terdiri dari 26 item, dan mengacu pada teori dari Fugate, Kinicki, dan Ashford (2004). Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan teknik Spearman’s Rho karena data tidak terdistribusi normal. Hasil uji hipotesis Spearman’s Rho menunjukkan bahwa koefisien korelasi yang dimiliki antara kecerdasan emosional dan employability sebesar 0,525 dengan taraf signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kecerdasan emosional dengan employability pada mahasiswa tingkat akhir.

(8)

viii

THE RELATIONSHIP BETWEEN EMOTIONAL INTELLIGENCE AND EMPLOYABILITY TOWARDS FINAL YEAR STUDENT

Merrysha Eudia Atpen

ABSTRACT

This study aims to examine the relationship between emotional intelligence and employability towards final year students. The hypothesis of this study is that there is a positive and significant relationship between emotional intelligence and employability towards final year students. Subjects in this study amounted to 236 students. The scale used in the research are emotional intelligence scale and employability scale which is made by researcher. The emotional intelligence scale has a cronbach alpha value of 0.85 which consists of 26 items which refers to Peter Salovey's and John Mayer's (1990) theory. The employability scale has a cronbach alpha value of 0.86, consisting of 26 items, and refers to the theory of Fugate, Kinicki, and Ashford (2004).

Hypothesis testing in this study uses Spearman’s Rho technique since the data is not normally

distributed. The results of the Spearman’s Rho hypothesis test show that the correlation coefficient between emotional intelligence and employability is 0.525 with a significance level of 0.000 (p <0.05). These results indicate that there is a positive and significant relationship between emotional intelligence and employability towards final year students.

(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan, Pencipta langit, bumi dan segala isinya atas

segala penyertaan dan berkat yang telah diberikan kepada saya. Terima kasih atas

segala pergumulan dan ujian yang selalu diberikan, lengkap dengan hikmat-Nya

untuk menyelesaikan semuanya. Penulis menyadari bahwa segala keberhasilan dan

kelancaran proses penyelesaian skripsi ini terjadi atas segala bantuan dan dukungan

yang berasal dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis ingin mengucapkan terima

kasih yang tulus kepada berbagai pihak.

1. Ibu Dr. Titik Kristiani, M.Psi., Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

2. Ibu Monica Eviandaru Madyaningrum, M.App., Ph.D. selaku Ketua Program

Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

3. Romo A. Priyono Marwan, S.J dan Bapak Paulus Eddy Suhartanto, M.Si selaku

Dosen Pembimbing Akademik yang senantiasa membantu dalam proses KRS

dan mendorong penulis agar segera menyelesaikan studi.

4. Ibu Passchedona Henrietta Puji Dwi Astuti Dian Sabatti, S.Psi., M.A., selaku

Dosen Pembimbing Skripsi yang dengan ketulusannya selalu membimbing,

memberi saran, solusi, dan semangat bagi penulis agar segera menyelesaikan

proses ini.

5. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi khususnya bagian sekretariat yang sudah

(11)

xi

6. Keluargaku, Papa, Mama, Kak Ling, Dek Rico, Leora tempat ternyaman untuk

berlindung dari kegalauan proses penulisan skripsi, yang dengan cinta dan

ketulusannya senantiasa mendengarkan keluh kesahku, memberikan dorongan

dan semangat untuk segera mendapatkan gelar S.Psi.

7. Partner tersayang, Robertus Doni Pardamean S. Terimakasih selalu

menerimaku apa adanya. Selalu sabar mendengarkan curhatan, keluhan, dan

kegembiraanku selama proses pengerjaan skrispi ini. Selalu memberikan waktu,

bantuan, dorongan, semangat, cinta yang tulus dan penerimaan tanpa syarat.

Selalu membuatku tenang saat proses ini terasa berat dan melelahkan.

8. Sahabatku, “Otw S.Psi” (Ima, Dhea, Rizka, Devina, Dimitri, Wulan, Chilla,

Ara, Yus, Vanio, Jati, Feliks, Rudy, Teguh), terimakasih banyak atas segala

dukungan yang kalian berikan padaku. Terimakasih atas semangatnya,

keceriaannya, konfliknya, kecunya, dan apapun itu selama ini. Me luvvv 

9. Teman-teman asisten Pusat Pelayanan Tes dan Konsultasi Psikologi (P2TKP)

yang sudah mendukung dan menyemangati satu sama lain.

10.Teman-teman UKM KSR PMI Unit VI USD untuk kerelaannya

membebaskanku dari mengisi penjagaan dan pelatihan demi menyelesaikan

skripsi ini.

11.Teman-teman “Kumpulan Orang Sukses” a.k.a anak bimbingan Mbak Etta

(Lona, Mega, Gantih, Viola, Aniella, Gladys, Carys, Trisna, Dea, Kadek,

Chendri, Monik), untuk setiap masukan dan semangat yang telah diberikan

(12)

xii

12.Teman-teman BEMF periode 2017, terlebih anak-anak Orgasme ku (Panca,

Gicil, dan Tias) dan teman-teman DPMF periode 2014, rekan Komisi C ku (Kak

Lona, Kak Vivi, Kak Panca, dan Galih) atas segala pengalaman yang diberikan

selama 1 periode kepengurusan.

13.Mas Randy, Kak KI, Kak Igna, Kak Adhigor, Ruth, Doni, Kak Tia, mbak Dita

dan teman-teman lain yang senantiasa bersabar membantu menjawab semua

pertanyaanku dan memberikan solusi atas kegalauan ku.

14.Teman-teman Psikologi 2014 kelas C yang telah berjuang bersama dari awal

perkuliahan sampai tahap per-skripsi-an ini. Khususnya Ruth Elisa

Kusumastuti, S.Psi dan Prastika Prima Nugraheni yang dengan sabar selalu

memberikanku semangat, dukungan, dan motivasi dalam pengerjaan skripsi ini.

15.Teman-teman yang sudah bersedia membantu penulis, baik dengan mengisi

skala yang dibagikan maupun dengan menyebarkannya kembali.

16.Siapapun kalian yang selalu bertanya “kapan ujian?, kapan lulus?”. Aku

berjuang demi bisa memberikan jawaban atas pertanyaan kalian selama ini.

17.Setiap pribadi yang tidak pernah lelah memberikan dukungan dan perhatiannya

kepada peneliti.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini memiliki banyak

kekurangan. Oleh karena itu, penulis terbuka untuk menerima kritik dan saran

demi skripsi yang lebih baik. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua

pihak yang membacanya. Terima kasih. Tuhan memberkati

(13)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR SKEMA ... xvii

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I: PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

1. Manfaat Teoritis ... 12

(14)

xiv

BAB II: LANDASAN TEORI ... 13

A. Employability ... 13

1. Definisi Employability ... 13

2. Dimensi Employability ... 15

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Employability ... 21

B. Kecerdasan Emosional ... 22

1. Definisi Kecerdasan Emosional ... 20

2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional ... 25

3. Dampak Kecerdasan Emosional ... 27

C. Mahasiswa Tingkat Akhir ... 29

D. Dinamika Hubungan Kecerdasan Emosional dan Employability pada Mahasiswa Tingkat Akhir ... 29

E. Kerangka Berpikir ... 33

F. Hipotesis Penelitian ... 33

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN ... 34

A. Jenis Penelitian ... 34

B. Variabel Penelitian ... 34

C. Definisi Operasional ... 34

1. Employability ... 35

2. Kecerdasan Emosional ... 36

D. Subjek Penelitian ... 36

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 38

(15)

xv

1. Validitas Alat Ukur ... 40

2. Seleksi Item ... 43

1. Skala Employability ... 44

2. Skala Kecerdasan Emosional ... 44

3. Reliabilitas Alat Ukur ... 45

G. Metode Analisis Data ... 48

1. Uji Asumsi ... 48

a. Uji Normalitas ... 48

b. Uji Linearitas ... 48

2. Uji Hipotesis ... 49

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 50

A. Pelaksanaan Penelitian ... 50

B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 50

C. Deskripsi Data Penelitian ... 52

D. Hasil Analisis Data ... 53

1. Uji Asumsi ... 53

a. Uji Normalitas ... 53

b. Uji Linearitas ... 54

2. Uji Hipotesis ... 55

E. Hasil Analisis Tambahan ... 57

F. Pembahasan ... 59

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN ... 66

(16)

xvi

B. Keterbatasan Penelitian ... 66

C. Saran ... 66

1. Bagi Subjek Penelitian ... 66

2. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 68

(17)

xvii

DAFTAR SKEMA

Skema 1 Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan

(18)

xviii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Penilaian Skala Likert ... 39

Tabel 2 Blue Print Skala Employability sebelum uji coba ... 39

Tabel 3 Blue Print Skala Kecerdasan Emosional sebelum uji coba ... 40

Tabel 4 Sebaran skala item Employability hasil uji validitas ... 42

Tabel 5 Sebaran skala item Kecerdasan Emosional hasil uji validitas ... 43

Tabel 6 Distribusi item skala Employability setelah seleksi item ... 44

Tabel 7 Distribusi item skala Kecerdasan Emosional setelah seleksi item ... 45

Tabel 8 Deskripsi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin ... 50

Tabel 9 Deskripsi subjek penelitian berdasarkan usia ... 51

Tabel 10 Deskripsi subjek penelitian berdasarkan semester ... 51

Tabel 11 Deskripsi statistik data penelitian Variabel Kecerdasan Emosional dan Employability ... 52

Tabel 12 Uji Normalitas Variabel Kecerdasan Emosional dan Employability ... 54

Tabel 13 Uji Linearitas Kecerdasan Emosional dan Employability ... 54

Tabel 14 Hasil Uji Hipotesis Variabel Kecerdasan Emosional dan Employability ... 55

Tabel 15 Acuan interpretasi koefisien korelasi menurut Sugiyono ... 56

Tabel 16 Uji Spearman’s Rho Kecerdasan Emosional dan Employability serta masing-masing dimensinya ... 57

(19)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Skala Uji Coba ... 78

Lampiran 2 Hasil Reliabilitas dan Seleksi Item ... 82

Lampiran 3 Skala Final ... 87

Lampiran 4 Hasil Uji Asumsi ... 91

(20)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Memperoleh gelar sarjana merupakan suatu kebanggaan bagi mahasiswa.

Akan tetapi, memiliki gelar sarjana saja tidak menjamin seseorang akan siap

dan mampu untuk masuk dalam dunia kerja (kompas.com, diakses pada 10

Maret 2018). Menurut Lilis Hakim, Consultant Director Willis Tower Watson

Indonesia, delapan dari sepuluh perusahaan Indonesia mengalami kesulitan

mendapatkan lulusan perguruan tinggi yang siap untuk bekerja. Hal tersebut

tentu cukup membingungkan, melihat fakta bahwa jumlah lulusan perguruan

tinggi yang menjadi pengangguran semakin meningkat tiap tahunnya

(kompas.com, diakses pada 10 Maret 2018). Ditambah lagi angka permintaan

tenaga kerja dari perusahaan selalu lebih rendah dibandingkan jumlah sarjana

yang lulus setiap tahunnya (Saroh, 2016).

Purnomo (2016) mengatakan bahwa mahasiswa lulusan perguruan tinggi

seharusnya memberikan kontribusi terhadap masyarakat berupa lapangan

pekerjaan. Akan tetapi, yang terjadi adalah sebaliknya, lulusan perguruan tinggi

malah menambah beban bagi masyarakat ketika mereka belum mendapatkan

pekerjaan. Semakin tinggi pendidikan seseorang seharusnya dapat

memperbesar peluang baginya untuk mendapatkan pekerjaan (Seftiawan,

2018). Menurut Tran (2012), semakin tinggi pendidikan seseorang, maka

(21)

dimiliki seseorang akan berdampak pada tingginya kemampuan seseorang

untuk bekerja (Tran, 2012). Tetapi yang terjadi sebaliknya, fakta yang ada

menunjukkan bahwa jumlah sarjana yang menjadi pengangguran semakin

meningkat. Ketika masalah pengangguran ini tidak segera diatasi, maka akan

berakibat pada semakin banyaknya kekacauan politik, ketidakamanan sosial,

dan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi

(kompas.com).

Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan bahwa jumlah sarjana yang

menjadi pengangguran per Februari 2018 adalah sebanyak 789.113 orang, dari

jumlah total 6.871.264 orang (www.bps.go.id). Angka ini mengalami

peningkatan bila dibandingkan pada perhitungan yang dilakukan pada Agustus

2016, angka pengangguran sebanyak 567.235 orang dari total 7.031.775 orang.

Februari 2017 sebanyak 606.939 orang dari 7.005.262 orang, Agustus 2017

sebanyak 618.758 orang dari 7.005.262 orang, sedangkan pada Februari 2018

sebanyak 789.113 orang (www.bps.go.id).

. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh jobstreet.com, dapat

diketahui bahwa beberapa perusahaan masih mengalami kesulitan dalam

mendapatkan calon karyawan yang sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan

oleh perusahaan (jobstreet.com, diakses pada 1 November 2018). Kesulitan

lulusan perguruan tinggi untuk mendapatkan pekerjaan juga disebabkan

adanya kesenjangan antara kualifikasi lulusan perguruan tinggi yang

dibutuhkan perusahaan dengan kemampuan yang dimiliki oleh lulusan

(22)

3

2017; kemenperin.go.id diakses pada 20 November 2017). Staf Ahli Menteri

Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, Abdul Wachid Maktub (dalam Humas

UMY, 2011) mengatakan bahwa adanya kesenjangan antara kualifikasi lulusan

perguruan tinggi dengan kemampuan yang dimiliki oleh lulusan disebabkan

oleh kesiapan kerja lulusan perguruan tinggi yang rendah.

Saat ini, lulusan perguruan tinggi secara tidak langsung dituntut untuk

lebih proaktif, kreatif, inovatif, terampil, memiliki kompetensi yang sesuai

dengan kebutuhan di lapangan, serta memiliki kepribadian yang baik agar

dapat mengatasi persaingan dalam memperoleh pekerjaan (Potgieter &

Coetzee, 2013). Shafie dan Nayan (2010) juga mengungkapkan bahwa saat ini

banyak perusahaan yang mempekerjakan seseorang yang berkualitas, baik

secara akademis, pemecahan masalah, kemampuan memberikan pendapat

dalam suatu pekerjaan, serta memiliki kemampuan beradaptasi. Agustin (2012)

mengungkapkan bahwa seorang lulusan perguruan tinggi merupakan calon

pekerja yang harus memiliki kompetensi, baik hard skills maupun soft skills.

Hard skills meliputi pengetahuan teknis dan akademis, sedangkan soft skills

meliputi keterampilan interpersonal dan intrapersonal, sehingga hal tersebut

semakin memperkuat bahwa gelar saja tidak menjamin seseorang untuk

memperoleh pekerjaan.

Department of Higher and Further Education, Training and Employment

(dalam McQuaid & Lindsay, 2005) mengatakan bahwa pengetahuan,

keterampilan, dan sikap yang dimiliki oleh seseorang yang ditunjukkan pada

(23)

seseorang. Abdul Wachid Muktab (dalam humas UMY, 2011) juga

mengatakan bahwa employability dapat dilihat dari kesiapan kerja yang

dimiliki oleh seseorang. Bagi beberapa perusahaan, kesiapan kerja merupakan

suatu transisi dari perguruan tinggi menuju dunia kerja. Employability

berkaitan dengan keterampilan dan kemampuan seseorang dalam

mengusahakan pekerjaannya, dalam hal ini berusaha memperbaiki kesalahan

dan mempertahankan posisi dalam pekerjaan (McQuaid & Lindsay, 2005).

Menurut Fugate, Kinicki, dan Ashforth (2004), employability merupakan

karakteristik individu yang dapat mendorong seseorang menjadi lebih adaptif

baik secara kognisi, perilaku, dan afeksi, dengan memanfaatkan kemampuan

yang ada dalam diri seseorang dan sehingga mampu meningkatkan kualitas

kerjanya. Confederation of British Industry (CBI) (2009) mengungkapkan

employability merupakan sekumpulan atribut, keterampilan, dan pengetahuan

yang harus dimiliki karyawan, sehingga dapat berguna, baik bagi diri sendiri

maupun atasan. Employability mencakup rangkaian konstruksi psikologis

seseorang yang dapat membuatnya mampu menyesuaikan diri secara sinergis

berkaitan dengan lingkungan kerja (Fugate, Kinicki, & Ashforth, 2004).

Seseorang yang memiliki employability mampu untuk menjalin kerjasama

baik dengan sesama karyawan maupun dengan atasannya, serta mampu untuk

menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan terkait dengan tuntutan

pekerjaan (Russell, 2012). Fugate et al. (2004) juga mengatakan bahwa

employability dapat meningkatkan peluang seseorang untuk mendapatkan

(24)

5

juga mampu mendorong seseorang untuk terus mengembangkan keterampilan

dan kemampuan yang dimilikinya dalam konteks pekerjaan (McQuaid &

Lindsay, 2005).

Mahasiswa perlu mengembangkan employability yang mereka miliki

untuk dapat bersaing dijaman ini. Di Inggris, employability yang dimiliki oleh

para mahasiswa menjadi sorotan penting selama beberapa dekade (Russell,

2012). Hal tersebut senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Puhakka et al. (2010), yang mengatakan bahwa employability perlu

dikembangkan karena terkait dengan keterampilan yang mampu membuat

lulusan dapat dipekerjakan. Beberapa keterampilan yang dimaksud adalah

keterampilan sosial dan informasi, kemampuan komunikasi, pemecahan

masalah, dan kerjasama.

Johannes, Beatrice, dan Tonette (2008) mengatakan bahwa employability

penting untuk dimiliki oleh mahasiswa tingkat akhir. Employability berguna

untuk mempersiapkan mahasiswa tingkat akhir untuk memasuki lingkungan

kerja. Harvey (2001) mengatakan bahwa employability yang diukur secara

jelas, akan mampu menunjukkan apa yang harus dipertahankan dan apa yang

harus ditingkatkan. Hasil pengukuran juga dapat digunakan oleh instansi

tertentu terkait program pengembangan untuk mengevaluasi kurikulum yang

telah diterapkan sebelumnya.

Yorke (2004) dalam penelitiannya menemukan bahwa employability

merupakan konstruksi psikologis yang bersifat multidimensional. Sejalan

(25)

memiliki beberapa dimensi, diantaranya adalah identitas karir, adaptasi

personal, dan social and human capital yang dapat diteliti secara

multidimensional maupun unidimensional. Identitas karir merupakan

kemampuan seseorang untuk memberikan gambaran dirinya terkait tujuan,

harapan, ketakutan, sifat kepribadian, dan nilai yang dimilikinya (Fugate et al.,

2004). Adaptasi personal adalah kemampuan seseorang untuk mau mengubah

keadaan dirinya agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan kerjanya

(Fugate et al., 2004). Social and human capital merupakan kemampuan

seseorang dalam melihat peluang kerja berdasarkan faktor yang ada di dalam

dirinya (Fugate et al., 2004).

Menurut Davis dan Luthans (1980), ada beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi employability, yaitu faktor lingkungan, perilaku, dan personal

yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Faktor lingkungan

menjelaskan bagaimana seseorang cenderung memperkuat, mempertahankan,

ataupun mengubah perilakunya agar dapat menyesuaikan diri dengan

lingkungannya, khususnya dalam lingkungan pekerjaan. Faktor selanjutnya

adalah faktor perilaku. Faktor ini merupakan akibat yang ditimbulkan dari

suatu tindakan yang dilakukan sebelumnya (teori Social Learning Behavior).

Social Learning Theory menjelaskan bahwa sebagian besar tindakan yang

dilakukan seseorang telah dipengaruhi dan akan mempengaruhi lingkungan

disekitarnya. Faktor yang ketiga adalah faktor personal. Faktor personal

merupakan faktor penting yang menjelaskan bagaimana seseorang berpikir dan

(26)

7

dalam faktor personal adalah emosi, motivasi, persepsi, sikap, harapan, serta

karakteristik kepribadian.

Senada dengan Davis dan Luthans; Hidayati, Purwanto, dan Yuwono

(2008) juga mengatakan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi kinerja

seseorang adalah kualitas emosional yang dimilikinya. Damasio (dalam

Goleman, 1997) mengatakan bahwa emosi sangat berperan bagi seseorang

dalam pengambilan keputusan, mengatasi konflik, serta menciptakan suasana

kerja yang kondusif. Goleman (1999) dalam bukunya mengatakan bahwa

karyawan yang dibutuhkan di tempat kerja adalah mereka yang memiliki

penguasaan emosi yang baik, memahami bagaimana cara berkonfrontasi

dengan baik, bagaimana cara bekerjasama dengan orang lain dalam kelompok.

Goleman juga mengatakan bahwa semakin hari semakin banyak pengusaha

yang mengeluhkan kemampuan sosial karyawannya. Para karyawan dinilai

semakin defensif ketika diberikan kritik terkait cara kerja yang mereka

lakukan, dan menganggapnya sebagai serangan yang bersifat personal

(Goleman, 1999).

Emosi adalah tanggapan seseorang mengenai informasi maupun

pengalaman yang dapat mengubah keadaan kognitif seseorang (Fugate dan

Kinicki, 2008). Emosi dinilai penting sebab emosi mampu mempengaruhi

seseorang dalam berpikir, berbicara, dan berperilaku (Salovey & Mayer, 1990).

Hal tersebut senada dengan Valach (2007) yang mengatakan bahwa emosi

memiliki fungsi untuk memberikan energi pada tindakan serta memberikan

(27)

dengan emosi negatif tidak akan memiliki hasil pekerjaan yang maksimal.

Emosi negatif seseorang akan berpengaruh terhadap berkurangnya

keberhasilan perusahaan untuk mencapai targetnya (Djajendra, 2015).

Muhammad Noer (2009) mengatakan bahwa dunia kerja tidak hanya

membutuhkan seseorang yang pintar di bidangnya, tetapi juga seseorang yang

mampu mengelola emosi diri sendiri maupun orang lain. Winarno (2008)

dalam jurnalnya mengatakan bahwa kecerdasan emosional mampu membuat

seseorang mengenali dan menggunakan emosinya guna memecahkan masalah.

Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa faktor terbesar yang

mempengaruhi keberhasilan seseorang adalah kecerdasan emosional. Hal

tersebut mendukung temuan Goleman (1995) yang menyatakan bahwa

kecerdasan emosional mempengaruhi keberhasilan seseorang di tempat kerja

sebanyak 80%.

Kemampuan seseorang dalam mengelola emosi diri serta membina

hubungan baik dengan orang lain penting untuk dikembangkan karena kinerja

seseorang tidak hanya dilihat dari kemampuan kerja yang dimilikinya

(Trihandiri, 2005 dalam Sanjaya, 2012). Seseorang yang dapat mengelola

emosi diri akan lebih mampu memahami dan mengatur perasaannya dengan

baik sehingga kinerjanya dalam mengambil keputusan juga akan meningkat

(Se & Barrett, 2007; Yitshaki, 2012 dalam Coetzee & Harry, 2013). Patton

(1998) mengatakan bahwa agar seseorang dapat bekerja dengan baik, ia juga

harus memiliki kecerdasan emosional yang baik. Seseorang yang memiliki

(28)

9

yang tinggi akan membuat orang tersebut hidup dalam kesendirian serta

diliputi perasaan kecewa dalam pekerjaannya (Patton, 1998).

Naval Karrir (2003) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kecerdasan

emosional perlu dimiliki seseorang agar dapat sukses dalam pekerjaannya

kelak, karena menurutnya lebih penting untuk memiliki kemampuan dalam

menghadapi kesulitan daripada hanya memiliki intelegensi yang tinggi.

Coetzee dan Harry (2013) mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional

merupakan kemampuan yang perlu diperhatikan karena kecerdasan emosional

berkaitan dengan potensi kerja yang dimiliki seseorang (dalam Schutte et al.,

2008). Kecerdasan emosional juga digunakan untuk mengendalikan

kemampuan kognitif yang dimiliki seseorang, sehingga dapat

mempengaruhinya dalam mempertahankan maupun meningkatkan

employability yang dimilikinya (Goleman, 1999; Fugate & Kinicki, 2008;

Potgieter & Coetzee, 2014).

Menurut Reuven Bar-On (dalam Petrovici & Dobrescu, 2014), kecerdasan

emosional merupakan keberlanjutan kemampuan non-kognitif, kompetensi,

dan keterampilan seseorang yang mempengaruhi tingkat kemampuan adaptasi

seseorang terhadap tuntutan dan tekanan yang berasal dari lingkungannya.

Salovey dan Mayer (1990) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah

kemampuan seseorang untuk memahami dan mengendalikan emosi yang

dirasakannya, guna mengembangkan pikiran serta tindakan yang

(29)

Kecerdasan emosional mengarah pada upaya seseorang untuk mengenali,

memahami, serta menunjukkan emosi yang mereka miliki dalam takaran yang

tepat. Kecerdasan emosional juga mengarah pada keterampilan seseorang

untuk dapat memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain atau empati,

serta membina hubungan dengan orang lain (Goleman, 1999). Selain itu,

kecerdasan emosi juga merupakan upaya untuk mengelola emosi diri sendiri

agar dapat bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari. Salah satunya dapat

digunakan untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan hubungan antar

manusia (Goleman, 2007). Seseorang dengan kecerdasan emosional yang

tinggi akan mampu mengetahui, menunjukkan, dan mengendalikan emosinya

secara tepat sehingga dapat bermanfaat bagi kehidupannya sehari-hari (Karrir,

2003).

Salovey dan Mayer (1990) menyatakan bahwa kecerdasan emosional

merupakan bagian dari kecerdasan sosial yang berfokus pada proses

penggunaan keadaan emosional seseorang dan orang lain untuk memecahkan

masalah dan mengatur perilaku. Seseorang perlu untuk memiliki dan

meningkatkan kecerdasan emosional yang dimilikinya, karena kondisi

emosional dapat mempengaruhi pikiran, perkataan, dan perilaku manusia,

termasuk dalam konteks pekerjaan (Goleman, 2007). Tingkat kecerdasan

emosional yang tinggi diharapkan mampu meningkatkan employability

seseorang, serta mampu meningkatkan kemauan untuk memperbaiki

(30)

11

Berdasarkan uraian tersebut, dapat diketahui bahwa saat ini permasalahan

employability semakin sering dibahas. Hal tersebut terjadi akibat meningkatnya

persaingan antar lulusan perguruan tinggi dalam memperoleh pekerjaan. Salah

satu faktor yang dapat mempengaruhi employability seseorang adalah faktor

personal, yaitu faktor dari dalam diri yang menjadi dasar bagi seseorang untuk

melakukan sesuatu. Faktor ini meliputi emosi, motivasi, persepsi, sikap,

harapan, dan karakteristik kepribadian. Oleh karena itu, peneliti ingin melihat

apakah kecerdasan emosional memiliki hubungan yang positif dan signifikan

dengan employability pada mahasiswa tingkat akhir.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah terdapat hubungan

antara Kecerdasan Emosional dan Employability pada Mahasiswa Tingkat

Akhir?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara

(31)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian yang dilakukan diharapkan mampu memberikan

sumbangan informasi bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang

Psikologi Industri Organisasi terkait konsep employability dan kecerdasan

emosional pada mahasiswa tingkat akhir.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat memberikan gambaran

kepada mahasiswa tingkat akhir maupun universitas terkait employability

dan kecerdasan emosional. Melalui gambaran tersebut diharapkan

perguruan tinggi mampu mengembangkan kegiatan yang dapat

mengembangkan kecerdasan emosional dan employability para

mahasiswanya. Hasil penelitian juga dapat digunakan oleh para mahasiswa

tingkat akhir untuk mengasah ataupun meningkatkan kecerdasan emosional

(32)

13 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Employability

1. Definisi Employability

Ashford dan Taylor (1990, dalam Fugate, Kinicki & Ashford, 2004)

menyatakan bahwa employability merupakan bentuk adaptasi seseorang

terhadap lingkungan kerjanya yang memungkinkan mereka untuk

mengidentifikasi peluang karir yang mereka miliki. Ashford dan Taylor

juga mengungkapkan bahwa ada beberapa persyaratan bagi seseorang yang

dikatakan memiliki employability. Persyaratan tersebut antara lain mampu

mengidentifikasi dan merealisasikan peluang yang dimiliki, sehingga

mampu mendapatkan informasi mengenai lingkungan tempat kerjanya, dan

dapat bertindak sesuai dengan informasi yang diperoleh (1990, dalam

Fugate, Kinicki, & Ashford, 2004). Syarat yang kedua adalah memiliki

kumpulan atribut individu yang diperlukan untuk beradaptasi, seperti

identitas karir, kemampuan adaptasi, dan social and human capital.

Fugate, Kinicki, & Ashford (2004) menambahkan bahwa employability

merupakan kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan

perubahan yang berhubungan dengan pekerjaan. Seseorang dapat diterima

dalam pekerjaan apabila ia memiliki kemampuan untuk menyeimbangkan

antara faktor yang ada dalam dirinya dengan faktor tuntutan dari lingkungan

(33)

Senada dengan Fugate, Kinicki dan Ashford, Knight (2006, dalam

Agustin, 2012) juga mengatakan bahwa employability merupakan

kemampuan yang dapat memengaruhi seseorang dalam mendapatkan

pekerjaan, yang meliputi keterampilan, pemahaman, dan atribut personal.

Treasury (1997, dalam McQuaid & Lindsay, 2005) juga menambahkan

definisi terkait employability. Menurutnya, employability adalah

kemampuan seseorang untuk masuk dan bekerja dengan cara

mengembangkan keterampilan, pengetahuan, teknologi dan kemampuan

kerja yang dimilikinya.

Selain itu, Yorke (2004) juga mengatakan bahwa employability

merupakan gabungan dari keterampilan, pemahaman, dan atribut pribadi

yang dapat membantu seseorang untuk mendapatkan pekerjaan dan sukses

dalam bidang pekerjaan yang mereka pilih. Fugate, Kinicki, dan Ashford

(2004) dalam jurnalnya mengatakan employability merupakan konstruk

psikososial yang membentuk karakter seseorang agar dapat beradaptasi baik

secara kognisi, perilaku, dan afeksi, sehingga mampu meningkatkan

performansi kinerja individu. Employability juga merupakan sekelompok

karakteristik dalam diri seseorang yang secara sinergis mampu mendorong

dan mengarahkan tujuan karir seseorang sehingga mereka mampu

menyesuaikan diri secara efektif dengan berbagai perubahaan yang terjadi

dalam lingkungan kerja (Fugate et al., 2004). Semakin tinggi employability

yang dimiliki seseorang, semakin tinggi pula kemampuannya untuk

(34)

15

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa

employability merupakan kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri

dengan lingkungan pekerjaannya, memahami gambaran dirinya dan melihat

adanya peluang kerja berdasarkan faktor yang ada dalam diri seseorang.

2. Dimensi Employability

Menurut Seibert, Kraimer, dan Crant, 2001; Chan, 2000, dimensi

employability terdiri dari konstruk kemampuan kerja yang mempengaruhi

individu secara proaktif untuk mengubah situasi mereka dan dapat dibentuk,

sehingga mampu memenuhi tuntutan lingkungan (dalam Fugate et al.,

2004). Fugate et al. (2004) menjelaskan bahwa employability merupakan

konstruk multidimensi yang memiliki hubungan timbal balik antar

dimensinya, sehingga dapat dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh.

Masing-masing dimensi memiliki fungsinya sendiri, namun mereka

bergabung dan membentuk suatu konsep yang disebut employability.

Fugate et al. juga mengungkapkan bahwa employability terdiri dari 3

dimensi:

a. Identitas karir (Career Identitiy)

Dimensi identitas karir menjelaskan bagaimana seseorang mampu

memberikan gambaran tentang dirinya mengenai tujuan, harapan,

ketakutan, sifat kepribadian, dan nilai yang dimilikinya (Fugate et al.,

2004). Dengan identitas karir, seseorang dapat percaya bahwa ia

(35)

Khapova, & Jensen, 2015). Fugate et al. (2004) mengatakan bahwa

identitas karir dapat digunakan sebagai pedoman untuk memotivasi diri

seseorang dalam meningkatkan kemampuan kerjanya. Identitas karir

membuat seseorang mampu mengarahkan, mengatur, dan

mempertahankan perilakunya dalam bekerja (Locke, Shaw, Saari, &

Latham, 1981 dalam Fugate et al., 2004). Seseorang yang memiliki

identitas karir yang baik akan lebih mudah dalam menentukan setiap

keputusan berkaitan dengan pekerjaannya (Fugate et al., 2004).

Identitas karir juga dapat mewakili komponen motivasi kerja seseorang

(Gonza´lez-Roma´, Gamboa & Peiro´, 2016), yang merupakan faktor

penting bagi keberhasilan karir seseorang (Jackson, 2014; Tomlinson,

2012, dalam Gonza´lez-Roma´ et al., 2016)

b. Adaptasi Personal

Fugate et al. (2004) mengatakan bahwa adaptasi personal

merupakan kemampuan seseorang untuk mau dan mampu mengubah

keadaan dalam dirinya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan

kerjanya. Crant (2000, dalam Fugate et al., 2004) mengatakan bahwa

kemampuan adaptasi mampu mempengaruhi seseorang dalam

(36)

17

Kemampuan beradaptasi memiliki 5 komponen yang mempengaruhi

dan mengarahkan individu dalam konteks pekerjaan:

1) Optimisme

Merupakan sikap seseorang untuk melihat perubahan sebagai

bentuk tantangan dan pengalaman pembelajaran yang tidak ternilai

(Stokes, 1996). Seseorang yang optimis akan memiliki pandangan

yang positif terhadap diri mereka dan terhadap masa depan dan

melihat kesempatan sebagai sebuah harapan. Mereka yang optimis

juga akan menunjukkan kemampuannya untuk menghadapi

tantangan secara objektif dan afektif. Seseorang yang memiliki

optimisme dalam dirinya akan memiliki employability yang baik.

2) Kecenderungan untuk belajar

Kecenderungan untuk belajar merupakan dasar dari kemampuan

seseorang untuk beradaptasi. Seseorang dengan kecenderungan

belajar yang tinggi akan mencoba mempelajari tantangan, ancaman,

dan peluang yang ada di lingkungan kerjanya. Seseorang dengan

tingkat employability tinggi mampu melihat pekerjaan yang ada dan

memperkirakan pengalaman apa saja yang diperlukan untuk

pekerjaan tersebut. Kecenderungan untuk belajar mampu

memprediksi kesuksesan karir seseorang. Dengan adanya

perubahan lingkungan, seseorang yang memiliki kecenderungan

untuk belajar akan bertahan karena dapat memenuhi tuntutan yang

(37)

pembelajaran merupakan kontributor yang signifikan terhadap

kemampuan adaptasi dan kemampuan kerja individu.

3) Keterbukaan

Keterbukaan merupakan suatu kemampuan yang penting bagi

seseorang agar dapat beradaptasi dengan lingkungannya.

Seseorang yang memiliki keterbukaan cenderung lebih mudah

menyesuaikan diri saat menghadapi tantangan, meskipun ada

dalam situasi yang sulit. Sikap terbuka seseorang membuatnya

mampu menghadapi perubahan secara positif dan menganggapnya

sebagai tantangan kemudian menerimanya sebagai proses

kehidupan yang baru. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki

keterbukaan akan mampu beradaptasi dengan lingkungannya dan

akan lebih bisa diandalkan dalam pekerjaannya.

4) InternalLocus of Control

Internal Locus of Control juga dapat mempengaruhi seseorang

dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Seorang internal locus

of control memiliki keyakinan bahwa mereka turut serta

mengendalikan hal-hal yang terjadi di lingkungan, sehingga

mereka cenderung melakukan sesuatu secara proaktif selama

bekerja. Sedangkan orang dengan external locus of control percaya

bahwa faktor lingkunganlah yang mengendalikan mereka.

Orang-orang dengan internal locus of control dipercaya lebih mampu

(38)

19

locus of control. Hal tersebut terjadi karena orang dengan internal

locus of control memiliki perencanaan yang baik dalam situasi

yang tidak pasti.

5) Generalized Self-efficacy (GSE)

Self efficacy merupakan faktor yang penting bagi kondisi

internal agar mampu beradaptasi secara efektif. GSE menunjukkan

persepsi seseorang terkait kemampuan mereka dalam bekerja dan

menghadapi tantangan serta perubahan dalam kehidupan mereka.

Selain itu, GSE juga membuat seseorang memiliki persepsi yang

positif baik terhadap kemampuan adaptasi dengan lingkungan

maupun dalam menghadapi situasi di lingkunan kerja. GSE mampu

memprediksi peran kerja lulusan universitas pada 10 bulan

pertama.

c. Social and Human Capital

Social and Human Capital dapat diartikan sebagai kemampuan

seseorang untuk melihat adanya peluang kerja berdasarkan modal atau

faktor yang ada dalam diri seseorang. Social and human capital terdiri

dari 2 komponen, yaitu social capital dan human capital. Social capital

adalah kemampuan seseorang untuk melihat adanya peluang kerja

ditinjau dari relasi seseorang terhadap orang lain. Fugate et al. (2004)

menjelaskan bahwa social capital meliputi modal atau faktor yang

(39)

pertemanan. Ukuran jaringan merupakan seberapa besar lingkup

jaringan pertemanan yang dimiliki seseorang terhadap orang lain.

Seseorang yang memiliki lingkup jaringan pertemanan yang besar

akan memiliki banyak informasi terkait dengan kesempatan kerja.

Sedangkan kekuatan jaringan pertemanan dapat dilihat dari seberapa

kuat pengaruh orang lain terhadap pengambilan keputusan seseorang.

Semakin kuat jaringan pertemanan seseorang, maka semakin kuat pula

pengaruh yang diberikan seseorang terhadap orang lain dalam hal

pengambilan keputusan terkait dengan kesempatan kerja. Seseorang

yang memiliki social capital yang baik akan mampu memanfaatkan

hubungan pertemanan yang mereka miliki untuk mendapatkan

pekerjaan. Granovetter (1995) mengatakan bahwa banyak orang yang

mendapatkan pekerjaan dari jaringan keluarga, kenalan, maupun teman.

Human capital merupakan kemampuan seseorang untuk melihat

adanya peluang kerja ditinjau dari faktor yang ada dalam diri seseorang.

Modal kerja tersebut mengacu pada beberapa faktor seperti usia,

pendidikan, pengalaman kerja, pelatihan, kemampuan kognitif, dan

berbagai faktor lainnya. Human capital juga dianggap mampu

mewakili kemampuan seseorang untuk memenuhi harapan kerja dari

(40)

21

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Employability

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Davis dan Luthans

(1980), ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi employability seseorang,

yaitu:

a. Faktor Lingkungan

Faktor ini berkaitan dengan bagaimana seseorang mampu

memperkuat, mempertahankan, maupun mengubah perilaku yang

dimilikinya agar dapat sesuai dengan lingkungannya.

b. Faktor Perilaku

Faktor ini berasal dari konsekuensi yang dihasilkan dari suatu

tindakan, sehingga bisa lebih mudah diprediksi. Ketika standar perilaku

yang dibuat seseorang tidak tercapai, maka ia akan cenderung

mengubah standar yang telah ditetapkan sebelumnya.

c. Faktor Personal

Faktor ini menjelaskan konstruksi psikologis yang ada dalam diri

seseorang yang mampu mempengaruhi perilakunya dalam

berorganisasi, diantaranya adalah emosi, motivasi, persepsi, sikap,

harapan, serta karakteristik kepribadian.

Selain 3 faktor tersebut, hasil penelitian yang dilakukan oleh Rotwell,

Herbert, dan Rothwell (2008) mengatakan bahwa terdapat perbedaan

employability antara subjek berjenis kelamin laki-laki dengan subjek

(41)

dengan jenis kelamin laki-laki memiliki tingkat employability yang lebih

rendah dibandingkan dengan subjek dengan jenis kelamin perempuan.

B. Kecerdasan Emosional (EQ)

1. Definisi Kecerdasan Emosional

Istilah kecerdasan emosional pertama kali diperkenalkan pada tahun

1990 oleh Psikolog bernama Peter Salovey, yang berasal dari Universitas

Harvard serta John Mayer, yang berasal dari University of New Hampshire.

Tujuh tahun sebelum Salovey Mayer menerbitkan artikelmengenai konsep

kecerdasan emosional, Gardner (1983) mengadakan penelitian dan

menemukan bahwa ternyata seseorang memiliki kecerdasan interpersonal

dan intrapersonal dalam dirinya (dalam McCleskey, 2012).

Akan tetapi, konsep kecerdasan emosional mulai dikenal sejak

Goleman menerbitkan buku berjudul: “Why it Can Matter than IQ” pada

tahun 1995. Dalam bukunya, Goleman (1995) mengatakan bahwa

kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang untuk mengenali dan

mengelola perasaan diri sendiri maupun perasaan orang lain. Menurut

Salovey dan Mayer (1990), kecerdasan emosional merupakan kemampuan

seseorang untuk memahami dan mengendalikan emosi diri sendiri maupun

orang lain, dan menggunakannya untuk mengembangkan pikiran serta

tindakan yang akan dilakukannya. Kondisi emosional seseorang mampu

(42)

23

pekerjaan. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Goleman (1998) bahwa

kecerdasan emosional mampu mempengaruhi seseorang pada situasi kerja.

Beberapa tahun kemudian, Salovey dan Mayer (1997) memperbaharui

definisinya mengenai kecerdasan emosional, menjadi kemampuan

seseorang untuk mempersepsikan secara akurat, menilai, dan

mengekspresikan emosi. Setelah Salovey dan Mayer, ada banyak peneliti

yang mengusulkan definisi kecerdasan emosional, beberapa diantaranya

adalah Ciarrochi dan Godsell (2005), Petrides dkk., (2007), Oyatzis (2009),

Zeider et al., (2009), Gignac (2010), dan masih banyak lagi (McCleskey,

2012). Namun, dari banyaknya peneliti yang mengusulkan model

kecerdasan emosional, model kecerdasan yang diusulkan Salovey dan

Mayerlah yang dianggap paling umum diterima (McCleskey, 2014).

Beberapa tahun setelah itu, Boyatzis dan Goleman memperluas

cakupan kecerdasan emosional mereka yang terkait dengan kompetensi

sosial dan emosional seseorang di lingkungan kerja (dalam McCleskey,

2014). Akan tetapi, Conte dan Dean (2006, dalam McCleskey, 2014)

menganggap bahwa kecerdasan emosional tidak dapat diteliti, karena

dianggap memiliki validitas yang rendah. Pengukuran terhadap kecerdasan

emosional juga dianggap rentan akan manipulasi ketika responden

memberikan data (Grubb & McDaniel, 2007, dalam McCleskey, 2014).

Lain halnya dengan Conte dan Dean, Antonakis dan Dietz (2010)

mengatakan bahwa penelitian terkait kecerdasan emosional masih memiliki

(43)

oleh Salovey dan Mayer (2008). Salovey dan Mayer (2008) mengatakan

bahwa jika seseorang ingin meneliti tentang kecerdasan emosional, ada

beberapa saran yang diberikan, yaitu: 1) Sebaiknya peneliti menggunakan

definisi yang sudah ada, dan tidak mengusulkan definisi baru, karena

definisi baru yang diusulkan dianggap dapat mengacaukan konsep utama

dari kecerdasan emosional. 2) Kecerdasan emosional hanya diteliti sebagai

kemampuan. 3) Peneliti harus menetapkan batasan penelitian, yaitu hanya

untuk meneliti aspek, pengetahuan emosional, kemampuan pengenalan

wajah, tingkat kesadaran emosi, dan pengaturan diri emosional. 4)

Memisahkannya dari sifat dan keterampilan kepribadian. 5) Peneliti juga

harus melakukan pengembangan dan penelitian terkait teori kecerdasan

emosional.

Penelitian ini menggunakan konsep teori Salovey dan Mayer digunakan

karena teori ini merupakan teori yang paling umum digunakan dan paling

mudah untuk dipahami. Selain itu, konsep ini juga dipercaya sebagai

“standar emas” untuk menentukan konsep kecerdasan emosional

(McCleskey, 2014). Schutte et al. (1997) juga mengatakan bahwa teori

kecerdasan emosional yang dicetuskan oleh Salovey dan Mayer ini sesuai

untuk melihat perkembangan emosi seseorang saat ini dari berbagai

dimensi.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan

emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali, memahami,

(44)

25

orang lain, sehingga dapat digunakan untuk mengembangkan pikiran dan

tindakannya.

2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional

Menurut Salovey (1990, dalam Goleman, 1999), kecerdasan emosional

terdiri dari:

a. Mengenali emosi diri

Mengenali emosi diri adalah kemampuan seseorang untuk

mengenali dan menyadari perasaan yang sedang dirasakan. Seseorang

yang mampu mengenali emosi dirinya akan mampu mengenali

kelebihan maupun kekurangan yang dimilikinya.

b. Mengelola emosi

Mengelola emosi merupakan kemampuan seseorang untuk

mengolah dan menunjukkan perasaan atau emosinya pada orang lain

secara tepat.

c. Memotivasi diri sendiri

Memotivasi diri adalah kemampuan seseorang untuk mengelola

emosi dalam diri yang kemudian digunakan untuk mencapai tujuan yang

telah ditentukan sebelumnya.

d. Mengenali emosi orang lain

Mengenali emosi orang lain merupakan kemampuan seseorang

(45)

akan berdampak pada tumbuhnya rasa percaya seseorang terhadap orang

lain.

e. Membina hubungan

Membina hubungan merupakan kemampuan seseorang untuk

masuk dan bergabung dalam dinamika sosial di lingkungannya.

Selain Salovey, Goleman (1995) mengatakan bahwa kecerdasan

emosional terdiri dari 5 aspek, yaitu:

a. Kesadaran Diri

Kesadaran diri merupakan kemampuan seseorang untuk mengenali

emosi yang dimilikinya, mengetahui kekuatan dan kelemahan diri

sendiri, dan memiliki keyakinan terkait harga diri dan kemampuan diri

sendiri (Lihat bab 4)

b. Pengaturan Diri

Pengaturan diri adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan

diri sendiri, memelihara norma dan kejujuran, bertanggungjawab atas

diri sendiri, menyesuaikan diri dalam menghadapi perubahan, mampu

untuk menerima dan terbuka terhadap ide dan informasi baru.

c. Motivasi

Motivasi merupakan kemampuan seseorang untuk menjadi lebih

baik, mampu menyesuaikan diri dengan orang lain dan kelomok,

(46)

27

ada, serta gigih untuk memperjuangkan tujuan meskipun banyak

tantangan.

d. Empati

Empati merupakan kesadaran seseorang terkait perasaan,

kebutuhan, dan kepentingan yang dimiliki orang lain.

e. Keterampilan Sosial

Keterampilan sosial adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi

orang lain, bernegosiasi, bekerjasama, dan menciptakan sinergi dalam

kelompok.

Berdasarkan penjelasan tersebut, peneliti menggunakan teori yang

dicetuskan oleh Salovey dan Mayer (1990). Teori kecerdasan emosional

yang dicetuskan oleh Salovey dan Mayer menjelaskan kecerdasan

emosional sebagai suatu kemampuan (ability) yang berfokus pada

hubungan antara emosi dan kognisi seseorang. Sedangkan Al-Rfou (2012)

mengatakan bahwa teori milik Goleman (1995) merupakan perpaduan

antara kemampuan mental seseorang dan ciri kepribadian yang dimilikinya.

3. Dampak Kecerdasan Emosional

Buku “The Emotionally Intelligent Workplace” karangan Cary Cherniss

(2001) menjelaskan bahwa ternyata kecerdasan emosi memiliki peran yang

penting dalam mengatasi permasalahan yang timbul dilingkup pekerjaan.

(47)

kerjasama, komitmen karyawan, produktivitas, efisiensi, dan kualitas

pelayanan. Organisasi yang memiliki karyawan dengan kecerdasan emosi

yang tinggi akan mampu merespon berbagai konflik dengan baik dan

menunjukkan kerjasama, komitmen, dan kreativitas, sehingga dapat

meningkatkan efektivitas organisasi. Druskat dan Wolff (2001) dan Paul

(2006) mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional memberikan

kontribusi bermakna untuk membangun sebuah organisasi yang memiliki

kecerdasan emosi. Masing-masing orang memiliki tanggung jawab untuk

meningkatkan dan mengembangkan kecerdasan emosi yang dimilikinya,

sehingga dapat diterapkan dalam relasinya dengan orang lain di lingkup

organisasi.

Nurdin (2009) dan Luca dan Tarricone (2001) juga mengatakan bahwa

kecerdasan emosional dapat mempengaruhi seseorang dalam menyesuaikan

diri dengan lingkungan serta mengelola konflik yang mungkin muncul

dalam berelasi dengan orang lain. Senada dengan Nurdin, Patton (1998)

juga mengatakan bahwa orang dengan kecerdasan emosional yang baik akan

lebih mampu menghadapi tantangan, konflik, perubahan, ketidakpastian,

serta situasi yang membuatnya kurang nyaman. Selain itu, ia juga

mengatakan bahwa orang yang cerdas secara emosional akan melihat

pekerjaan sebagai suatu tantangan dan bukan beban, sehingga dianggap

(48)

29

C. Mahasiswa Tingkat Akhir

Menurut Marseto (2007, dalam Alexander, 2015), mahasiswa tingkat akhir

adalah mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi

diatas semester 7 dan sudah atau sedang mengambil mata kuliah skripsi atau

tugas akhir. Pada umumnya, mahasiswa tingkat akhir memiliki rentang usia

antara 20-25 tahun (Winkel dalam Alexander, 2015). Dalam bukunya,

Santrock (1997) menjelaskan bahwa individu yang berusia 20-25 tahun sedang

berada pada tahap specification dan implementation. Tahap specification

adalah tahap dimana individu mulai menetapkan pilihan karir dan

menyesuaikan perilaku mereka untuk mencapai pilihan karir tersebut. Tahap

selanjutnya adalah implementation. Implementation adalah suatu tahap dimana

individu mulai menyelesaikan pendidikan yang sedang ditempuh dan mulai

memasuki dunia kerja.

D. Dinamika Hubungan Kecerdasan Emosional dan Employability pada

Mahasiswa Tingkat Akhir

Mahasiswa tingkat akhir merupakan mahasiswa yang berada pada

semester akhir yang kemudian akan melanjutkan masa depannya ke dunia kerja

setelah lulus dari perkuliahan (Agusta, 2015). Ketika akan memasuki dunia

kerja, seseorang harus memiliki kemampuan yang dapat membuatnya

merasakan dan memahami emosi diri sendiri maupun orang lain, sehingga

dapat membantunya untuk membuat keputusan dalam pemecahan masalah

(49)

orang lain, sehingga kemampuan untuk dapat merasakan dan memahami emosi

diri sendiri dan orang lain sangat diperlukan.

Kemampuan seseorang untuk merasakan, memahami, mengelola, dan

mengekspresikan emosi diri sendiri maupun orang lain disebut sebagai

kecerdasan emosional (Salovey & Mayer, 1990). Kecerdasan emosional dapat

membantu seseorang untuk menentukan tindakan dan membuat keputusan

secara adaptif (Coetzee & Harry, 2013). Semakin tinggi kecerdasan emosional

yang dimiliki seseorang, semakin terampil seseorang melakukan tindakan yang

menurutnya benar (Patton, 1998). Menurut Salovey (1990, dalam Goleman,

1999), kecerdasan emosional memiliki 5 aspek, diantaranya adalah mengenali

emosi diri atau memiliki kesadaran diri, mampu mengelola emosi, mampu

memotivasi diri, mampu mengenali emosi orang lain atau empati, dan mampu

membina hubungan dengan orang lain.

Watkin (2000, dalam Zeidner, Matthew, Roberts, 2004) mengatakan

bahwa sesuatu yang membedakan kualitas seseorang bukanlah IQ ataupun

keahlian teknis, melainkan kecerdasan emosional yang dimilikinya. Hal

tersebut sejalan dengan pernyataan Goleman (1999) yang mengatakan bahwa

kecerdasan emosional yang dimiliki seseorang mampu membuatnya memiliki

kinerja yang berkualitas.

Patton (1998) mengatakan bahwa seseorang yang memiliki kecerdasan

emosional akan mampu untuk mengelola dan mengoptimalkan emosi mereka,

mempertahankan motivasi dan disiplin untuk menjaga kualitas diri, serta

(50)

31

bekerja yang lebih baik bila dibandingkan dengan pekerja lain. Ia juga akan

mampu menjadi anggota kelompok yang baik, merasa percaya diri untuk

mencapai tujuan, mampu mengatasi masalah dengan efektif, mampu

memberikan pelayanan yang baik pada orang lain, serta mampu memimpin dan

mengelola orang lain dengan bijaksana. Salovey Mayer (dalam Goleman,

2001) juga menjelaskan bahwa seseorang dengan kecerdasan emosional yang

tinggi akan mampu mengatasi masalah serta tantangan yang muncul dalam

kehidupannya. Selain itu, seseorang dengan kecerdasan emosional yang tinggi

juga dinilai mampu mengendalikan emosinya untuk menghadapi masalah

ketika menghadapi sesuatu yang memunculkan tekanan (Salovey Mayer dalam

Shapiro, 1997). Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi akan

memiliki sikap optimis terhadap hidupnya, ia percaya bahwa segala sesuatu

dalam hidup dapat teratasi (Seligman dalam Goleman, 2001).

Berbeda dengan seseorang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi,

seseorang dengan kecerdasan emosional rendah dinilai pemarah, agresif, dan

tidak sabar. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional rendah terkadang

bertindak tanpa memikirkan akibat dari tindakannya tersebut. Selain itu,

mereka juga tidak memiliki tujuan yang jelas, mudah putus asa, kurang peka

terhadap perasaan diri sendiri dan orang lain, tidak dapat mengendalikan

perasaan negatifnya. Tidak mampu mengendalikan perasaan negatif, tidak

mampu menjalin persahabatan dengan orang lain, tidak mampu berkomunikasi

yang baik, serta cenderung menyelesaikan konflik dengan kekerasan juga

(51)

Kecerdasan emosional yang dimiliki seseorang mampu membuatnya

bekerja dengan baik (Patton, 1998). Hal tersebut didukung oleh Karrir (2003)

yang mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional mampu membantu

seseorang dalam interaksi interpersonal serta mampu mengatasi berbagai

permasalahan yang ada. Coetzee dan Harry (2013, dalam Schutte et al., 2008)

mengatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan seseorang

yang perlu diperhatikan karena berkaitan dengan potensi kerja (employability)

seseorang. Tingginya tingkat kecerdasan emosional seseorang diharapkan

mampu memprediksi tingkat employability yang dimilikinya, selain itu juga

diharapkan mampu meningkatkan keinginan seseorang untuk meningkatkan

performansi kinerjanya kelak (Triana, 2013).

Employability merupakan kemampuan individu yang membuatnya mampu

untuk beradaptasi secara kognisi, perilaku, maupun afeksi, sehingga mampu

meningkatkan kualitas kerjanya (Fugate, Kinicki, & Ashford, 2004). Menurut

Fugate, Kinicki, dan Ashford (2004), employability memiliki 3 dimensi, antara

lain identitas karir, kemampuan beradaptasi, dan social and human capital.

Identitas karir merupakan cara seseorang menilai dirinya dalam konteks dunia

kerja. Dimensi employability yang selanjutnya adalah kemampuan beradaptasi,

yaitu kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan,

walaupun harus mengubah faktor personal yang ada dalam dirinya. Dimensi

ketiga adalah social and human capital, yaitu faktor diluar individu yang dapat

mempengaruhi employability seseorang. Faktor tersebut adalah kekuatan dan

(52)

33

mempengaruhi perkembangan karir seseorang, seperti usia, pendidikan,

pengalaman kerja, masa kerja, serta kecerdasan emosi (human capital).

E. Kerangka Berpikir

Skema 1 : Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Employability pada

Mahasiswa Tingkat Akhir

F. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang positif dan

signifikan antara kecerdasan emosional dengan employability pada mahasiswa

tingkat akhir. Hal tersebut berarti bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional

seseorang, maka semakin tinggi pula employability yang dimiliki seseorang.

Kecerdasan Emosional Tinggi

Mampu merasakan, memahami, dan mengendalikan emosi

Mampu membuat keputusan dengan

tepat

Mampu menghadapi tantangan Memiliki kinerja yang

baik

(53)

34 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan menggunakan pendekatan kuantitatif.

Penelitian yang dilakukan menggunakan studi korelasional yang melibatkan

hubungan antara kecerdasan emosional dengan employability (Johnson, 2001).

Penelitian korelasional dilakukan dengan mengumpulkan data untuk

menentukan apakah ada hubungan diantara kedua variabel, dan sampai sejauh

mana hubungan tersebut dapat dihitung, sehingga dapat digu nakan untuk

membuat prediksi (Johnson, 2001).

B. Variabel Penelitian

Variabel merupakan karakteristik atau atribut individu maupun organisasi

yang bervariasi dan yang dapat diukur atau diobservasi (Creswell, 2009).

Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah :

1. Variabel bebas : Kecerdasan emosional

2. Variabel tergantung : Employability

C. Definisi Operasional

Harvey dan MacDonald (1993) mengatakan bahwa operasionalisasi

merupakan proses mengubah suatu konsep teoretis menjadi indeks yang dapat

(54)

35

operasionalisasi adalah menentukan konsep secara teoretis, memisahkan

dimensi-dimensi yang mencakup makna konsep, mengidentifikasi berbagai

indikator dalam masing-masing dimensi, memilih satu atau lebih indikator pada

masing-masing dimensi, membuat rancangan instrument untuk mengumpulkan

informasi pada masing-masing indikator, kemudian menentukan apakah akan

memiliki sekumpulan indikator multidimensi, rangkaian indeks atau indeks

tunggal dan jika sesuai gabungkan indikator tersebut ke dalam indeks.

1. Employability

Employability merupakan kemampuan mahasiswa untuk

menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaannya, memahami gambaran

dirinya dan melihat adanya peluang kerja berdasarkan faktor yang ada

dalam diri seseorang. Employability terdiri dari 3 dimensi, yaitu identitas

karir, kemampuan adaptasi, dan social and human capital.

Skala employability yang digunakan dalam penelitian disusun oleh

peneliti. Hal tersebut bertujuan agar seluruh item dalam skala dapat

disesuaikan dengan kondisi subjek yang terlibat dalam penelitian.

Selanjutnya skala tersebut diberikan pada mahasiswa tingkat akhir.

Semakin tinggi skor yang didapat oleh subjek penelitian, menunjukkan

semakin tinggi employability yang dimilikinya. Sebaliknya, semakin kecil

skor yang didapat, menunjukkan semakin rendahnya employability yang

(55)

2. Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional adalah kemampuan mahasiswa untuk

mengenali, memahami, mengelola, dan mengendalikan emosi diri sendiri

maupun orang lain yang kemudian digunakan untuk mengembangkan

pikiran dan tindakannya. Kecerdasan emosional memiliki 5 aspek, yaitu

mengenali emosi diri dan orang lain, mengelola emosi, memotivasi diri

sendiri, mengenali emosi orang lain atau empati, dan membina hubungan.

Kecerdasan emosional diukur dengan menggunakan skala kecerdasan

emosional yang disusun oleh peneliti. Semakin tinggi skor kecerdasan

emosional yang didapat menunjukkan semakin tinggi pula kecerdasan

emosional yang dimiliki mahasiswa tingkat akhir tersebut. Sebaliknya,

semakin rendah skor kecerdasan emosional yang didapat menunjukkan

semakin rendah pula kecerdasan emosional yang dimiliki mahasiswa

tingkat akhir tersebut.

D. Subjek Penelitian

Marseto (2007, dalam Alexander, 2015) dan Peraturan Pemerintah RI

nomor 60 tahun 1999 mengatakan bahwa mahasiswa tingkat akhir adalah

mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi diatas

semester 7 dan sudah atau sedang mengambil mata kuliah skripsi atau tugas

akhir. Rachmana (dalam Dinata, 2013) menyebutkan bahwa seorang mahasiswa

(56)

37

Pada rentang usia tersebut, seseorang mulai memasuki masa kedewasaan.

Menurut Eccles dan Gootman (dalam Kulsum, 2016) masa dewasa awal adalah

masa dimana seseorang secara perlahan belajar untuk mengambil tanggung

jawab dalam keluarga dan komunitas. Masa ini juga masa dimana seseorang

mampu membuat perencanaan akan masa depan serta mengambil keputusan

yang tepat untuk mencapainya. Selain itu, juga meningkatkan

kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan untuk keberhasilan dalam masa transisi menuju

masa dewasa.

Peneliti menetapkan mahasiswa tingkat akhir sebagai subjek penelitian

dengan alasan bahwa mahasiswa tingkat akhir yang akan berstatus fresh

graduate akan segera memasuki dunia kerja, sehingga dinilai perlu untuk

melihat tingkat employability-nya.

Metode sampling yang peneliti gunakan adalah metode convenience.

Metode ini mengajak subjek yang bersedia untuk berpartisipasi dalam

penelitian yang dilakukan (Supratiknya, 2015). Convenience sampling

dilakukan dengan cara bertanya terlebih dahulu apakah subjek yang ditemui

sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh peneliti. Setelah itu peneliti

bertanya mengenai kesediaannya untuk mengikuti penelitian yang dilakukan.

Apabila subjek sesuai dengan kriteria yang ditentukan dan bersedia untuk

mengikuti penelitian yang dilakukan, maka peneliti memberikan skala kepada

(57)

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah

penyebaran skala. Penyebaran skala dilakukan dengan memberikan skala

kepada subjek penelitian yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan

sebelumnya. Skala merupakan sekumpulan pertanyaan maupun pernyataan

yang telah disusun guna mengungkap atribut-atribut tertentu, yang kemudian

diberikan respon tertentu terhadap pertanyaan maupun pernyataan tersebut

(Azwar, 2012). Skala yang disebarkan berisi 2 variabel, yaitu variabel

employability dan variabel kecerdasan emosional.

Kedua skala ini disusun berdasarkan model skala Likert. Skala Likert

adalah skala yang dibuat untuk mengukur sikap seseorang terhadap atribut

psikologis tertentu. Skala Likert dipilih karena dinilai lebih mudah dalam

penyusunannya, lebih mudah diterapkan di berbagai objek, situasi, dan setting,

serta mampu mengungkapkan arah dan intensitas sikap responden terhadap

atribut psikologis tertentu (Supraktinya, 2014).

Pada skala ini responden diminta untuk memberikan respon setuju maupun

tidak setuju terhadap beberapa pernyataan yang disajikan. Terdapat 4 respon

jawaban, yaitu Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak Setuju (TS), Setuju (S), dan

Sangat Setuju (SS). Penggunaan respon berjumlah genap dilakukan untuk

menghindari responden memberikan jawaban netral (Supratiknya, 2014).

Dalam metode skala Likert, terdapat 2 kategori pernyataan. 1) Pernyataan

Gambar

 Tabel 1.
Tabel 3. Blue Print Skala Kecerdasan Emosional sebelum uji coba
Tabel 4. Sebaran skala item employability hasil uji validitas
Tabel 5. Sebaran skala item kecerdasan emosional hasil uji validitas
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosional dengan problem focused coping dalam menyusun projek akhir pada mahasiswa

Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa hipotesis yang diajukan peneliti yaitu ada hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosional

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan

Hipotesis awal pada penelitian ini adalah terdapat hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan manajemen konflik siswa.. Semakin tinggi

Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa hipotesis yang diajukan peneliti yaitu ada hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosional

Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada atau tidak korelasi antara kecerdasan emosional dengan kecemasan pada mahasiswa tingkat akhir di BINUS University dalam

Dengan kata lain, tingkat kepercayaan dari kesimpulan berdasarkan hasil penelitian ini bahwa ada hubungan korelasi positif antara Kecerdasan Emosional terhadap