• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh iringan gamelan Jawa terhadap penghayatan iman umat dalam perayaan ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran Yogyakarta - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pengaruh iringan gamelan Jawa terhadap penghayatan iman umat dalam perayaan ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran Yogyakarta - USD Repository"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh: Agustina Erisusanti

NIM: 051124034

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

Kehidupanku yang menakjubkan

Bapak Ignatius Sumidi dan Ibu Cicilia Dwi Sutini Florentina Fibrianingtyas

Bpk. Agustinus Sukarno

Umat Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran Sor Asem Community

Teman-teman angkatan 2005 tercinta Dosen-dosenku yang tersayang

(5)

v

(6)
(7)
(8)

viii

TERHADAP PENGHAYATAN IMAN UMAT DALAM PERAYAAN EKARISTI DI PAROKI HATI KUDUS YESUS PUGERAN diangkat berdasarkan ketertarikan penulis pada budaya Jawa khususnya pada inkulturasi kebudayaan Jawa dalam Gereja. Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran adalah satu-satunya paroki di kota Yogyakarta yang masih rutin menggunakan bahasa Jawa dan iringan gamelan Jawa pada Perayaan Ekaristi tiap Minggunya. Unsur-unsur budaya Jawa melekat dan dihidupi oleh umat di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran.

Oleh karena itu dalam skripsi ini penulis menguraikan dua hal pokok. Pada bagian pertama, melalui studi pustaka penulis menggali penggunaan iringan gamelan Jawa pada Perayaan Ekaristi. Gamelan Jawa adalah hasil budaya masyarakat Jawa yang pada umumnya dipakai untuk menyajikan karawitan. Mulai pada tahun 1925 gendhing Jawa mulai digunakan dalam liturgi gereja. Setelah tahun 1958 gamelan Jawa dapat digunakan dalam Perayaan Ekaristi namun tidak semua alat musiknya dapat dimainkan. Sekitar tahun 1967 setelah Konsili Vatikan II berlangsung, seluruh alat musik gamelan Jawa dapat dimainkan dalam liturgi Gereja. Pada bagian kedua, penulis menguraikan pengaruh iringan gamelan Jawa terhadap penghayatan iman umat dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran. Iringan gamelan Jawa membawa pengaruh positif bagi penghayatan iman dalam Perayaan Ekaristi. Iringan gamelan Jawa membawa umat memasuki suasana khidmad dan tenang untuk mempersiapkan hati bertemu dengan Tuhan dalam Perayaan Ekaristi sehingga mampu memberi daya dan kekuatan dalam kehidupan sehari-hari.

(9)

ix

ACCOMPANIMENT TOWARD THE LIVING FAITH OF THE CONGREGATION IN THE EUCHARIST IN THE SACRED HEART OF JESUS PARISH PUGERAN. It is chosen based on the writer’s interest on Javanese culture especially on its inculturation in the church. The Sacred Heart of Jesus Parish Pugeran is the only parish that is still using the Javanese gamelan accompaniment and language at every weekly Sunday mass. The elements of Javanese culture are still used by the congregation of this parish.

Therefore, the writer describes two basic points. At the first part, the writer discovers the use of Javanese gamelan accompaniment during the Eucharist by an investigation of the literature about Javanese gamelan music. Javanese gamelan is a product of Javanese people's culture, commonly used as karawitan. Since 1925, Javanese sacred tunes have been used in the church's liturgy. After 1958, the Javanese gamelan orchestra partly has been used in the celebration of Eucharist. Round the year 1967, after the Second Vatican Council, all the instruments of the Javanese gamelan can be played in the Catholic liturgy.

At the second part, the writer describes the impact of Javanese gamelan accompaniment toward the living faith of the congregation during the Eucharist in the Sacred Heart of Jesus Parish Pugeran. The accompaniment of Javanese gamelan brings a positive influence to the living faith of the Eucharist. It creates a meditative and sacred atmosphere in the church so that the celebrations give strength and faith into the hearts to meet God in the Eucharist and in daily lives.

(10)

x

Allah sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi berjudul PENGARUH IRINGAN GAMELAN JAWA TERHADAP PENGHAYATAN IMAN UMAT DALAM PERAYAAN EKARISTI DI PAROKI HATI KUDUS YESUS PUGERAN YOGYAKARTA ini dengan baik.

Skripsi ini ditulis berangkat dari ketertarikan penulis pada inkulturasi budaya khususnya budaya Jawa dalam Gereja. Bentuk bangunan gereja, ornamen-ornamen dalam gereja, pakaian liturgi serta kesenian Jawa membantu umat untuk semakin menghayati imannya sesuai dengan budaya yang dimilikinya. Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran merupakan satu-satunya Paroki di kota Yogyakarta yang tetap melestarikan budaya Jawa hingga saat ini. Salah satu hasil budaya yang tetap dipertahankan keberadaannya dan penggunaannya adalah gamelan Jawa. Gamelan Jawa memberikan peran positif untuk menciptakan suasana hening dan khusuk bagi umat yang berdoa. Gamelanpun memiliki nilai dan makna filosofis yang kuat bagi masyarakat Jawa. Diharapkan dengan masuknya unsur-unsur budaya setempat iman umat semakin mengakar dan kokoh. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat diselesaikan tanpa bantuan banyak pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

(11)

xi

3. Bapak Yoseph Kristianto, SFK selaku dosen pembimbing ke tiga yang telah membantu penulis, memberikan semangat yang tak kan ada habisnya.

4. Seluruh umat di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran.

5. Segenap dosen dan karyawan Prodi IPPAK yang telah membimbing dan membantu penulis selama kuliah 4,5 tahun di IPPAK.

6. Kedua orang tua Bapak Ignatius Sumidi, Ibu Cicilia Dwi Sutini dan saudaraku satu-satunya Florentina Fibrianingtyas atas hidup yang indah yang telah penulis rasakan selama ini juga atas semangat yang senantiasa penulis dapatkan lewat senyum kalian.

7. Romo Suhardiyanto SJ, yang telah mengijinkan penulis tinggal di pondok asem sehingga proses studi dapat berjalan dengan lancar dan mendapatkan suatu semangat tak terhingga dari teman-teman yang selalu datang dan bekerja dengan keras di tempat ini.

8. Semua teman-teman angkatan 2005 baik yang masih bertahan, sudah lulus ataupun yang sempat meninggalkan kami, terima kasih atas semangat yang senantiasa diberikan, atas semua kehangatan cinta dan persahabatan yang terjalin di IPPAK.

(12)

xii

Sexen 2007, Sexen 2009, Tim Van Lith 2007-2008, Tim Retret Regina Pacis, dan Gregorius Natalius, terimakasih atas dukungan, kerja keras dan kenangan indah yang senantiasa memacu penulis.

12.Yohanes Itto, terimakasih untuk semangat dan dukungan yang tak pernah habis meskipun tak pernah lagi bertemu.

13.Semua pihak yang tidak dapat penuliskan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak mengalami kekurangan. Untuk itu dengan penuh kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk lebih menyempurnakan penulisan ini. Akhirnya semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membutuhkannya

Yogyakarta, 9 September 2009 Penulis,

(13)

xiii

PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

PENGESAHAN ... iii

PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xvi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penulisan... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penulisan... 5

D. Manfaat Penulisan... 5

E. Metode Penulisan ... 6

F. Sistematika Penulisan ... 7

BAB II PENGGUNAAN IRINGAN GAMELAN JAWA DALAM PERAYAAN EKARISTI... 9

A. Gamelan Jawa ... 10

1. Deskripsi Gamelan Jawa ... 10

2. Sejarah dan Perkembangan Gamelan Jawa... 12

3. Jenis dan Komponen Gamelan Jawa... 17

a. Alat yang Memainkan Balungan... 17

b. Alat yang Menunjukkan Struktur Kalimat... 20

c. Alat Penghias... 21

(14)

xiv

2. Fungsi Paduan Suara dalam Gereja Katolik... 26

C. Perayaan Ekaristi... 27

1. Pengertian Sakramen ... 27

2. Tata Perayaan Ekaristi dalam Gereja ... 28

a. Ritus Pembuka... 30

b. Liturgi Sabda... 32

c. Liturgi Ekaristi ... 33

d. Ritus Penutup ... 35

3. Peran Serta Umat dalam Perayaan Ekaristi... 36

4. Makna Ekaristi dalam Hidup Sehari-hari... 41

D. Penggunaan Iringan Gamelan Jawa dalam Perayaan Ekaristi ... 42

1. Masuknya kebudayaan setempat dalam liturgi ... 42

2. Penggunaan Iringan Gamelan Jawa dalam Liturgi ... 46

BAB III PENGARUH IRINGAN GAMELAN JAWA TERHADAP PENGHAYATAN IMAN UMAT DI PAROKI HATI KUDUS YESUS PUGERAN YOGYAKARTA... 49

A. Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran ... 50

1. Letak dan Wilayah Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran... 50

2. Sejarah Singkat Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran... 55

a. Sebelum Kemerdekaan... 55

b. Masa Pendudukan Jepang/ Sebelum Perang Dunia II... 57

c. Sesudah Perang Dunia II ... 58

d. Sebelum Konsili Vatikan II... 59

e. Masa Sesudah Konsili Vatikan II... 63

3. Penggunaan Gamelan Jawa dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran ... 65

B. Pengaruh Iringan Gamelan Jawa bagi Penghayatan Perayaan Ekaristi ... 71

1. Mengalami Kehadiran Allah Melalui Iringan Gamelan Jawa... 72

(15)

xv

6. Unsur-Unsur Budaya Jawa sebagai Saran Pewartaan Karya Allah ... 80

C. Usaha Pengembangan Penggunaan Iringan Gamelan Jawa Guna Membantu Umat Menghayati Iman Pada Perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran ... 81

1. Peluang Untuk Mengembangkan Penggunaan Iringan Gamelan Jawa Pada Perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran ... 81

2. Hambatan-Hambatan dalam Pengembangan Penggunaan Iringan Gamelan Jawa Pada Perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran... 83

3. Usaha yang Akan Dilakukan Untuk Mengembangkan Penggunaan Iringan Gamelan Jawa yang Membantu Penghayatan Iman Umat Dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran ... 85

4. Usulan Katekese Untuk Kaum Muda... 87

BAB IV PENUTUP ... 113

A. Kesimpulan ... 113

B. Saran... 115

Daftar Pustaka ... 117

Lampiran ... 119

Lampiran 1: Surat Keterangan Penelitian ... (1)

Lampiran 2: Surat dari Mgr. A. Soegijapranata, SJ ... (2)

Lampiran 3: Hasil Wawancara... (4)

(16)

xvi

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat. (Dipersembahkan kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA III). Ende: Arnoldus, 1981, hal 8.

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja CT : Chatechesi Tradendae LG : Lumen Gentium

PUMR : Pedoman Umum Missale Romanum SC : Sacrosanctum Concilium

GS :Gaudium et Spes

C. Daftar Singkatan Lain

Art : Artikel

DIY : Daerah Istimewa Yogyakarta dll : dan lain-lain

G 30 S/ PKI : Gerakan 30 September/ Partai Komunis Indonesia HUT : Hari Ulang Tahun

ISI : Institut Seni Indonesia

(17)

xvii PML : Pusat Musik Liturgi PNS : Pegawai Negeri Sipil

Pr : Praja

Rm : Romo

Sdr. : Saudara SJ : Society of Jesus

(18)

A. LATAR BELAKANG

Ekaristi merupakan sumber dan puncak hidup Kristiani (LG artikel 11). Sebagai sumber hidup Kristiani, Ekaristi memiliki makna yang sangat dalam. Dengan ikut serta dalam kurban Yesus Kristus, umat Kristiani memperoleh kekuatan rohani untuk kehidupan selanjutnya. Perayaan Ekaristi menjadi puncak karya keselamatan Allah bagi manusia melalui kurban Yesus yang dirayakan. Kristus sungguh hadir dalam Perayaan Ekaristi melalui tubuh dan darah-Nya yang digambarkan dalam rupa roti dan anggur. Dalam perayaan Ekaristi Kristus sendirilah yang hadir dan menjadi sumber keselamatan melalui sabda yang diwartakan. Hal itu ditegaskan dalam dokumen Ad Gentes atrikel 9 “melalui sabda yang diwartakan dan perayaan sakramen, yang pusat dan puncaknya Ekaristi maha kudus, Gereja membuat Kristus, sumber keselamatan, menjadi hadir”. Tidak hanya dalam wujud roti dan anggur serta sabda yang dibacakan dalam perayaan Ekaristi, Kristus pun hadir dalam diri para pelayan Ekaristi serta umat sendiri.`Perayaan ekaristi merupakan pengungkapan iman Gereja sehingga seluruh umat Allah yang hadir turut serta ambil bagian secara sadar dan aktif.

(19)

itu perayaan Ekaristi tidak dapat begitu saja dilepaskan dari kebudayaan masyarakat setempat. Unsur-unsur budaya yang dimiliki oleh umat digunakan dalam rangkaian perayaan Ekaristi yang bertujuan membantu umat menghayati iman sesuai dengan budaya yang dihidupinya. Perayaan Ekaristi yang dilakukan dengan menggunakan unsur-unsur budaya Eropa belum tentu dapat diterima dan dihayati oleh umat yang berada di wilayah Asia karena bahasa, simbol, kesenian yang digunakan dalam liturgi tidaklah sama. Semua unsur budaya tersebut adalah sarana dan bukanlah tujuan yang ingin dicapai dalam menghayati misteri keselamatan Tuhan dalam perayaan Ekaristi.

Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman suku dan budaya. Masing-masing budaya memiliki kekhasan dan nilai yang sungguh dihidupi oleh masyarakat setempat tak terkecuali dalam hal peribadatan. Perayaan Ekaristi di Indonesia dilaksanakan dengan menggunakan unsur-unsur budaya setempat misalnya bahasa daerah, simbol-simbol, seni musik, seni tari, dan lagu-lagu dengan gaya daerah tertentu. Daerah Jawa khususnya di Keuskupan Agung Semarang hingga saat ini masih menggunakan unsur-unsur budaya Jawa dalam liturgi, meskipun di banyak tempat unsur-unsur itu perlahan-lahan mulai pudar. Sebagian umat di Keuskupan Agung Semarang menggunakan bahasa Jawa, nyanyian berbahasa Jawa, iringan gamelan Jawa, tarian Jawa dalam perayaan Ekaristi dan lain-lain.

(20)
(21)

semestinya sebagai orang Jawa, kaum mudapun harus mengenal dan mengerti akan kebudayaan tradisinya.

Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran adalah satu-satunya paroki di kota Yogyakarta yang masih rutin menggunakan iringan gamelan pada misa tiap hari minggunya. Hal ini merupakan keunikan dan kekhasan tersendiri yang dimiliki oleh Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran. Bangunan gedung gereja Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran dibangun dengan corak Jawa. Selain itu hal penting yang hingga kini dipertahankan sekaligus menjadi kekhasan gereja Hati Kudus Pugeran adalah dalam hal liturgi dengan digunakannya bahasa Jawa dan iringan gamelan Jawa. Inkulturasi ini dimantapkan sejak tahun 1958 oleh Romo E. Hardjawardjaya, Pr bersama dengan F. Atmadarsana, C. Hardjasoebrata, dll. Dengan sarana-sarana tersebut umat Katolik diharapkan senantiasa dapat dengan sungguh-sungguh beriman Kristiani dan berakar pada kebudayaannya. Dari satu pihak umat tetap hidup dalam kesatuan dengan Gereja universal dan dari lain pihak tetap hidup dan berakar pada budayanya sendiri. Selain membuat iman umat mengakar dan berdiri kokoh, juga menjadikan Gereja bukanlah sesuatu yang asing tapi merupakan budaya umat sendiri.

(22)

Penghayatan Umat dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran Yogyakarta.

B. RUMUSAN PERMASALAHAN

1. Bagaimanakah penggunaan iringan gamelan Jawa dalam Perayaan Ekaristi? 2. Seberapa besar peran iringan gamelan Jawa terhadap penghayatan iman umat

dalam perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran? C. TUJUAN PENULISAN

Skripsi ini ditulis dengan tujuan sebagai berikut:

1. Menjelaskan penggunaan iringan gamelan Jawa dalam Perayaan Ekaristi.

2. Mengetahui peranan iringan gamelan Jawa terhadap penghayatan iman umat dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran.

3. Sebagai syarat untuk mencapai gelar sarjana pendidikan.

D. MANFAAT PENULISAN

Manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi umat di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran

a. Memberi informasi tentang proses masuknya iringan gamelan Jawa dalam Gereja dan penggunaannya yang berlangsung hingga sekarang.

b. Memberi informasi manfaat iringan gamelan Jawa bagi penghayatan iman umat dalam perayaan ekaristi

(23)

Dengan diketahui seberapa besar pengaruh iringan gamelan Jawa terhadap penghayatan iman umat dalam perayaan ekaristi, maka selanjutnya dapat dikembangkan usaha-usaha yang dapat semakin memperkembangkan penghayatan iman umat dalam perayaan ekaristi melalui bidang inkulturasi kebudayaan Jawa 3. Bagi Penulis

a. Memberikan informasi seberapa besar pengaruh iringan gamelan Jawa terhadap penghayatan iman umat dalam perayaan ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran.

b. Memberi informasi pentingnya penggunaan unsur-unsur budaya setempat dalam pengembangan penghayatan iman umat yang mendalam.

E. METODE PENULISAN

(24)

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: Bab I PENDAHULUAN

Menguraikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II PENGGUNAAN IRINGAN GAMELAN JAWA DALAM PERAYAAN EKARISTI

Menguraikan berbagai macam informasi pertama tentang gamelan Jawa yang terdiri dari deskripsi gamelan Jawa, sejarah dan perkembangan gamelan Jawa, jenis dan komponen gamelan Jawa, fungsi iringan gamelan Jawa, gendhing; kedua tentang paduan suara yang terdiri dari sejarah singkat paduan suara, fungsi paduan suara dalam Gereja Katolik; ketiga tentang perayaan Ekaristi yang terdiri dari pengertian Sakramen Ekaristi, Tata Perayaan Ekaristi dalam Gereja, peran serta umat dalam perayaan Ekaristi, makna Ekaristi dalam hidup sehari-hari; keempat tentang penggunaan iringan gamelan Jawa dalam perayaan Ekaristi yang terdiri dari Masuknya gamelan Jawa dalam liturgi, dan penggunaan iringan gamelan Jawa dalam liturgi.

(25)

bagi Penghayatan perayaan Ekaristi yang terdiri dari mengalami kehadiran Allah melalui iringan gamelan Jawa, cara penghayatan iman dipengaruhi oleh usia umat, unsur budaya Jawa memberi daya yang membawa pada relasi lebih mendalam, gerak batin yang terjadi dalam perayaan Ekaristi, hal-hal yang diperoleh dari perayaan Ekaristi, unsur-unsur budaya Jawa menjadi sarana pewartaan karya Allah; ketiga tentang usaha pengembangan penggunaan iringan Gamelan Jawa guna membantu umat menghayati iman pada perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran yang terdiri dari peluang untuk mengembangkan penggunaan iringan gamelan Jawa pada perayaan ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran, hambatan-hambatan dalam pengembangan penggunaan iringan gamelan Jawa pada perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran, usaha yang akan dilakukan untuk mengembangkan penggunaan iringan gamelan Jawa yang membantu penghayatan iman umat dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran, usulan program katekese untuk kaum muda.

Bab IV PENUTUP

(26)

Pada bab sebelumnya penulis memaparkan latar belakang yang mendasari skripsi berjudul PENGARUH IRINGAN GAMELAN JAWA TERHADAP PENGHAYATAN IMAN UMAT DALAM PERAYAAN EKARISTI DI PAROKI HATI KUDUS YESUS PUGERAN YOGYAKARTA. Salah satu tujuan penulisan skripsi ini adalah menjelaskan penggunaan iringan gamelan Jawa dalam perayaan Ekaristi. Hal tersebut akan dibahas pada bab ini.

Gamelan Jawa merupakan hasil budaya masyarakat di daerah Jawa yang berwujud seperangkat alat musik yang terbuat dari tembaga dan kuningan. Secara khusus penulis membahas gamelan sebagai hasil budaya masyarakat Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Gamelan tidak saja merupakan hasil seni tradisional Jawa, melainkan merupakan gambaran filosofis masyarakat Jawa yang menjunjung tinggi nilai gotong royong, keharmonisan dan kepemimpinan yang dekat dengan masyarakat. Gamelan Jawa pada umumnya berfungsi untuk menyajikan karawitan dan uyon-uyon. Seturut dengan perkembangan, maka gamelan juga digunakan dalam ibadat di gereja.

(27)

A.Gamelan Jawa

1. Deskripsi Gamelan Jawa

Bagi masyarakat Jawa khususnya, gamelan bukanlah sesuatu yang asing dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain masyarakat Jawa tahu benar apa yang disebut gamelan atau seperangkat gamelan. Gamelan adalah hasil budaya masyarakat Jawa yang berwujud seperangkat alat musik yang terbuat dari tembaga dan kuningan (Dinas Kebudayaan DIY, 1999:2). Gamelan Jawa adalah salah satu orkes tradisional di Indonesia. Gamelan dalam bahasa Jawa disebut juga gangsa atau dalam bahasa Jawa Kuno disebut pradonggo yang berarti gamelan (Winter, 1983:339). Kebanyakan alat musik gamelan dibuat dari perunggu atau dari besi (Wisnubroto, 1997: 1). Menurut Prof. Dr. Mantle Hood (1958: 9) dalam tulisannya , gamelan yang lengkap mempunyai kira-kira memiliki 75 alat dan dimainkan oleh 30 niyaga dengan disertai 10 atau 15 pesinden dan atau gerong.

Setiap instrumen gamelan terdiri atas wadhah dan isi. Wadhah merupakan tempat untuk meletakkan atau menggantungkan bilah-bilah atau pencon-pencon gamelan. Wadhah tersebut biasanya dibuat dari kayu yang berkualitas tinggi seperti kayu jati dan kayu nangka. Ada berbagai macam bentuk wadhah dalam gamelan atara lain adalah gerobog, rancak, plangkan, gayor, dan pangkon. Sedangkan yang dimaksud dengan pencon adalah bagian dari instrumen gamelan itu sendiri. Bilah dan pencon yang baik kualitasnya dibuat dari perunggu yaitu paduan antara timah putih (Sn) dan tembaga (Cu) dengan perbandingan antara Sn : Cu = 3:10.

(28)

tersebut. Pandangan hidup masyarakat Jawa akan keselarasan dan keharmonisan kehidupan jasmani dan rohani, keselarasan dalam berbicara dan bertindak, serta perwujudan toleransi antar sesama tertuang dalam musik gamelan tersebut. Perwujudan nyata dalam musiknya adalah adanya tarikan rebab yang sedang, paduan yang seimbang antara bunyi kenong, saron, kendang, dan gambang serta suara gong pada setiap penutup irama (Utomo Wiji, accesed on Februari, 7, 2009).

Alat musik gamelan pada umumnya dimainkan oleh kurang lebih 15 orang. Hal itu disebabkan karena alat musik gamelan dapat berbunyi sebagaimana mestinya jika semua alatnya dimainkan. Demikian halnya dengan masyarakat Jawa, dengan bermain gamelan masyarakat Jawa mengalami suasana kekeluargaan sama halnya dengan orang berkumpul untuk berbicara tentang masalah sehari-hari. Kebersamaan dalam memainkan gamelan merupakan suatu kegiatan gotong royong yang hanya menarik bila dikerjakan bersama-sama. Gotong royong adalah peristiwa sosial yang menjadi ciri khas masyarakat Jawa. Ciri yang khas dari musik gamelan Jawa adalah heterofoni.

(29)

merubah tempo permainan lagu. Dialog dalam permainan gamelan memakai kalimat-kalimat yang diakhiri secara jelas dengan bunyi gong (Prier, 2009: 21)

Permainan gamelan sama halnya dengan suatu musyawarah di kampung. Dalam musyawarah semua orang berbicara bersama, mengutarakan maksud dan usulan, meskipun hati masyarakat belum bisa menyatu, namun ada suatu usaha untuk menjalin sebuah persatuan. Pimpinan dalam permainan gamelan dipegang oleh pemain kendhang yang duduk bersama-sama dengan pemain yang lain, sehingga kerjasama antar pemain dapat terjalin dengan mudah. Demikian halnya dengan pemimpin dalam masyarakat Jawa yang tidak jauh dengan masyarakat karena pemimpin amat menyadari bahwa ia membutuhkan dukungan dari rakyat dan pada saat tertentu ia dihormati dan selalu diingatkan bahwa ada bawahan yang tergantung padanya. Pada tulisannya, Prier (2009:22) menyatakan bahwa “tempo musik gamelan klasik umumnya lambat”. Hal ini merupakan suatu gambaran dari hidup sehari-hari masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta yang terkenal sabar. Kesabaran adalah suatu keutamaan dengan menahan emosi, menguasai diri. Hal tersebut merupakan suatu nilai yang luhur dan tinggi dalam tata masyarakat Jawa.

Alunan nada dalam gamelan Jawa yang lambat, seimbang dan harmonis misalnya suara gong dengan gaung yang dihasilkannya mampu menciptakan suasana tenang yang menggugah hati para pendengar untuk mencari yang transenden, yang tidak nampak namun memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam kehidupan.

(30)

Alat musik gamelan Jawa mulai ada sejak jaman pra sejarah. Sekitar tahun 2500-1500 sebelum masehi terjadi suatu perpindahan bangsa dari Asia Tengah ke Asia Tenggara yang disebut Imigrasi Pra-Melayu atau proto Melayu. Perpindahan bangsa-bangsa ini membawa hasil-hasil budaya mereka. Salah satu hasil budaya yang mereka bawa adalah alat musik dari bambu. Setelah mengalami perkembangan beberapa waktu kemudian muncullah alat musik seperti angklung, seruling dan gambang yang termasuk dalam salah satu komponen musik gamelan jawa hingga saat ini (Prier, 2006:74-74).

Pada abad 4 Sebelum Masehi, kembali terjadi imigrasi besar atau disebut Deutero Melayu yang berpusat di daerah Cina Selatan bernama Annam. Abad 4 disebut juga dengan jaman perunggu, maka kedatangan orang-orang tersebut membawa pengaruh juga di bidang musik. Diperkirakan bahwa gong-gong yang pertama berasal dari Asia Selatan di Desa Dong Son daerah Annam. Pada penggalian kurang lebih tahun 1930 ditemukan banyak sekali alat dari perunggu, sehingga terbukti bahwa dari sinilah kebudayaan perunggu tersebar tidak hanya ke Indonesia tapi ke seluruh Asia Tenggara. Tangga nada pelog juga ikut dibawa ke Indonesia oleh kelompok proto melayu. Tangga nada pelog ini tersebar di seluruh Asia Tenggara namun kemudian terutama dipelihara di Jawa dan Bali. Gong-gong yang dibawa oleh orang-orang proto Melayu dari Cina Selatan ke Indonesia ditemukan dalam penggalian di Jawa. Gong-gong ini pada jaman dahulu digunakan orang-orang dalam upacara adat antara lain untuk mendatangkan hujan secara magi (Prier, 2006: 75-78).

(31)

intensif. Para pedagang India mendatangi daerah-daerah Indonesia sejak abad 2 dan 3 untuk mencari bahan perdagangan, sehingga pengaruh India di Indonesia menjadi besar terutama dalam hal perdagangan, politik, agama dan kebudayaan. Pada abad ke IV Agama Budha masuk ke Indonesia dan mendirikan pusatnya di Sumatera awal abad ke VII dengan nama Kerajaan Sriwijaya dan di Jawa dengan Kerajaan Syailendra pada tahun 750-850. Pada masa itu berkembanglah kebudayaan Jawa berupa musik dan tari, arsitektur dan seni rupa, serta dibangunnya Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Selain tangga nada pelog, dipakai juga tangga nada slendro yang diperkenalkan oleh Dinasti Syailendra pada abad VIII. Perkembangan musik sangat dipengaruhi oleh drama Hindu Ramayana (Prier, 2006: 78-80).

Pada waktu orang Hindu datang ke Jawa, mereka telah menemukan bermacam-macam alat musik. Dalam relief Candi Borobudur terdapat alat musik lokal maupun alat musik yang diimpor dari India. Musik-musik tersebut adalah gendang, termasuk gendang dari tanah dengan kulit di salah satu sisinya, angklung, alat tiup (semacam hobo), xylofon (bentuknya setengah gambang setengah calung), sapeq, sitar dan harpa dengan 10 dawai, lonceng dari perunggu dalam berbagai macam ukuran, gong, saron, bonang. Alat-alat tersebut mula-mula dimainkan menurut kebiasaan India. Selain itu dari penggalian-penggalian di Jawa Tengah telah ditemukan sejumlah besar bonang, nada-nada gender dan saron, lonceng, gendang, gong-gong namun belum diketahui berasal dari abad berapa. Alat-alat musik ini telah digunakan sebelum jaman Hindu (Prier, 2006: 80).

(32)

1389-1520 merupakan jaman kemunduran dan kehancuran Majapahit. Pada tahun itu juga di Malaka terjadi perkembangan kerajaan-kerajaan Islam yang berkuasa sampai di Sumatera. Pada tahun 1511 Malaka direbut Portugis dan masuk pula ke kepulauan Maluku pada tahun 1522. Sementara itu di Jawa berdiri Kerajaan Demak, kerajaan Islam yang pertama. Kesultanan Demak menguasai seluruh Jawa dan sebagian besar kepulauan di luar Jawa. Bersama dengan agama Islam masuk Indonesia, alat musik Arab seperti rebana, gambus dan rebab masuk. Alat musik rebab berkembang dan hingga saat ini senantiasa digunakan untuk memainkan gendhing bersama dengan komponen gamelan yang lain (Prier, 2006: 81).

Gamelan sebagai alat musik tradisional Jawa dilestarikan dalam dua jalur. Pertama, gamelan dipakai dan dilestarikan sebagai musik rakyat dalam bentuk jathilan, reog, salawatan, rinding, siteran, lesungan, gamelan mulut, gamelan bambu atau gumbeng dan lain sebagainya. Kedua gamelan digunakan sebagai musik istana untuk mengiringi tari klasik dan wayang, digunakan sebagai musik sakral (sekaten) serta vokal tunggal berupa Sekar Ageng, Sekar Alit, Macapat, Panembrama dan sebagainya. Selama berabad-abad gamelan dipelihara di keraton sebagai suatu kebiasaan dan fasilitas hidup yang mewah dan mahal. Namun pada umumnya kesenian tidak dinikmati secara pribadi oleh raja sehingga rakyat sering diberi kesempatan untuk ikut menikmatinya pula (Prier, 2009: 22).

(33)

masih di bawah perlindungan dan dalam ketergantungan dari keraton. Pada tahun 1945 Indonesia mengalami kemerdekaan dan sejalan dengan politik Indonesia yang mulai berkembang maka tradisi dan kehidupan sosial masyarakat Solo dan Yogyakarta pun turut berubah dan berkembang. Hal itu menyebabkan terbentuknya suatu jurang antara tradisi dan perkembangan kontemporer. Tradisi keraton tetap dipelihara, sementara di luar keraton termasuk dalam sekolah dan Gereja gamelan dimainkan dengan adanya kreasi yang baru. Dari situ permainan gamelan dihayati secara sungguh-sungguh sehingga mampu menghubungkan batin dengan roh nenek moyang (Prier, 2009: 23). Perkembangan yang ada pun menimbulkan suatu perubahan yang mencolok. Prier (2009:23) dalam bukunya mengemukakan bahwa

Bukan rahasia juga bahwa generasi muda merasa tidak tertarik lagi dengan gamelan tradisional. Dunia jaman sekarang dialami berputar lebih cepat daripada hidup di lingkungan Kraton dan musik gamelan klasik. Hidup sederhana dirasa lebih tepat dari pada hidup mewah seperti dapat disaksikan dalam kraton Yogya dan Solo. Adat Jawa makin kurang dikenal oleh generasi muda yang lahir dan tumbuh di kota.

Seiring dengan perkembangan jaman, musik gamelan Jawa tidak terbatas pada gaya klasik Keraton. Saat ini terdapat bermacam-macam eksperimen kreasi baru misalnya memukul gong tidak pada kepala gong tapi pada bagian lain yang menghasilkan bunyi yang lain pula, memukul kayu rancakan gender, bonang dan sebagainya untuk menciptakan bunyi kotekan. Perkembangan lebih jauh lagi adalah penggunaan tambahan alat musik lain seperti terompet, keyboard, gitar dan lain-lain yang disebut dengan Campursari.

(34)

asli. Campursari terdiri dari tiga jenis musik yaitu keroncong, uyon-uyon atau karawitan dan musik diatonis. Ketiga jenis musik tersebut disatukan sehingga menjadi bentuk yang harmonis. Banyak orang menyukai jenis musik ini karena ketiga jenis musik campuran ini telah mengakar dalam hati masyarakat (Redaksi Tembi, 2004: 9-10). Musik Campursari ini merupakan suatu cermin dari masyarakat Jawa yang sedang berkembang hingga saat ini (Prier, 2009: 24).

3. Jenis dan Komponen Gamelan Jawa

Satu perangkat gamelan terdiri dari bagian-bagian alat musik yang memiliki fungsi tertentu dalam memainkan gamelan. Dalam buku Deskripsi Umum Gamelan Jawa (Dinas Kebudayaan DIY, 1999: 4-22), tugas alat-alat musik gamelan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Alat yang Memainkan Balungan

Gamelan Jawa memiliki komponen-komponen pokok yang memainkan balungan dalam sebuah lagu. Komponen-komponen tersebut antara lain adalah:

1) Alat Musik Metalofon

Komponen gamelan Jawa yang termasuk dalam jenis metalofon memiliki bentuk bilah. Alat musik metalofon ini dibagi dalam tiga jenis yaitu:

a) Saron Demung

(35)

laras pelog yang masing-masing berisi 7 bilah dan 2 pangkon yang lain untuk laras slendro yang masing-masing pangkon berisi 6 bilah.

b) Saron Ricik

Dalam seperangkat gamelan ageng yang lengkap, terdapat 8 pangkon saron ricik, 4 pangkon di antaranya untuk laras pelog yang masing-masing pangkon berisi 7 bilah dan 4 pangkon yang lain untuk laras slendro yang masing-masing pangkon berisi 6 bilah

c) Saron Peking

Jenis saron ini memiliki bentuk yang lebih kecil dari saron ricik. Saron ini memiliki 2 pangkon untuk laras pelog dan laras slendro.

2) Gong Kecil

Gong kecil adalah instrumen gamelan yang berbentuk pencon. Komponen gamelan Jawa yang berbentuk gong kecil ini dibagi dalam 3 jenis yaitu:

a) Bonang Panembung

Bonang penembung adalah ricikan yang berbentuk pencon yang diletakkan di atas rancakan dengan sususan dua deret yakni bagian deret atas yang disebut brunjung dan bagian deret bawah disebut dhempok. Bonang panembung terdiri dari 2 rancak, 1 rancak untuk laras slendro yang berisi 10 pencon dan laras pelog berisi 14 pencon.

b) Bonang Barung

(36)

c) Bonang Penerus

Bonang penerus memiliki bentuk lebih kecil dari bonang barung. Bonang penerus memiliki 2 rancak yaitu satu rancak untuk laras slendro yang berisi 10 pencon dan satu rancak pelog yang berisi 14 buah pencon.

3) Alat lembut dengan gema panjang

Komponen ini adalah ricikan bentuk bilah berukuran besar yang menggunakan tabung atau bumbungan yang dibuat dari bambu atau seng sebagai resonator. Alat musik ini dibagi dalam 3 jenis yaitu:

a) Slenthem

Alat musik slenthem terbagi menjadi dua rancak yaitu satu rancak untuk laras pelog yang terdiri dari 7 bilah dan satu rancak yang lain untuk laras slendro yang berisi 6 bilah.

b) Gender Barung

Komponen gender barung memiliki tiga rancak yaitu satu rancak untuk laras slendro, satu rancak untuk laras pelog bem dan satu rancak yang lain untuk laras pelog barang yang masing-masing rancaknya biasanya terisi 14 bilah.

c) Gender Penerus

(37)

b. Alat yang Menunjukkan Struktur Kalimat

Gamelan Jawa memiliki komponen alat musik yang menunjukkan struktur kalimat dalam memainkan sebuah lagu. Komponen tersebut antara lain:

1) Kendhang

Kendhang termasuk ricikan gamelan yang menggunakan kulit atau selaput tipis yang direnggangkan sebagai sumber bunyi. Ricikan kendhang menurut bentuk dan ukurannya dibagi menjadi beberapa macam yaitu teteg (bedhug), kendhang ageng, kendhang batangan, kendhang penunthung, dan kendhang ketipung. Fungsi kendhang adalah menentukan bentuk gendhing, mengatur irama, dan jalannya laya. Mengatur mandheg (berhenti) dan manyuwuk (memulai) gendhing.

2) Gong Ageng

Alat musik gong dalam gamelan Jawa disebut pemangku irama. Fungsi gong adalah menguatkan permainan kendhang dalam menentukan bentuk gendhing. 3) Kempul

Kempul adalah jenis gong yang memiliki ukuran lebih kecil dari ukuran dari gong ageng dan digantung pada gayor. Kempul untuk laras slendro memiliki 5 buah pencon yang bernada dhadha (3), lima (5), nem (6), barang (1) dan jangga (2). Sedangkan untuk gamelan laras pelog terdapat 6 buah pencon yang bernada dhadha (3), lima (5)

4) Kethuk

(38)

memiliki 2 rancak, untuk laras slendro 1 rancak dengan nada jangga (2), slendro dan untuk laras pelog 1 rancak dengan nada jangga (2) pelog.

5) Kenong

Kenong adalah alat musik sejenis gong yang berukuran lebih kecil dan diletakkan dalam sebuah rancakan. Untuk gamelan laras slendro terdapat 5 pencon, yang nadanya: dhadha (3), lima (5), nem (6), barang (i), dan jangga(2): sedangkan untuk gamelan laras pelog terdapat 6 pencon, yang nadanya dhadha (3), lima (5), nem (6), barang (7), panunggul/ bem (i) dan jangga (2).

c. Alat Penghias

Gamelan Jawa memiliki komponen alat musik yang berfungsi sebagai penghias yang memperindah sebuah lagu. Komponen tersebut antara lain adalah:

1) Siter

Siter adalah ricikan gamelan dengan kawat yang diregangkan sebagai sumber bunyinya. Siter adalah alat musik dimainkan dengan cara dipetik.

2) Gambang/ Xilofon

Gambang adalah komponen gamelan Jawa yang berbentuk bilah kayu. Gambang berjumlah 3 rancak dengan bilah yang terbuat dari kayu berlian, yaitu 1 rancak laras slendro, 1 rancak laras pelog bem dan 1 rancak lagi untuk laras pelog barang yang masing-masing rancakan berisi 21 bilah.

(39)

Suling adalah ricikan gamelan berbentuk pipa yang terbuat dari buluh (bambu). Suling untuk laras slendro memiliki 4 buah lubang sedangkan suling untuk laras pelog terdiri dari 6 lubang. Setiap suling bila dibuka semua lubangnya kemudian di-sebul masing-masing bernada jangga (2) dan bila semua lubangnya ditutup lalu di-sebul masing-masing akan bernada dhadha (3).

4) Rebab

Rebab termasuk instrumen gesek yang menggunakan dua buah kawat sebagai sumber bunyinya. Dalam seperangkat gamelan terdapat dua macam rebab yaitu rebab byur (polos satu warna) dan rebab ponthang.

4. Fungsi Iringan Gamelan Jawa

Sebagai orkes tradisional, gamelan Jawa memiliki banyak fungsi baik fungsi secara umum dan khusus. Fungsi-fungsi tersebut antara lain:

a. Pada umumnya fungsi gamelan adalah menyajikan karawitan. Gamelan Ageng disajikan dalam bentuk uyon-uyon baik soran maupun lirihan.

b. Selain itu gamelan berfungsi untuk mengiringi pementasan wayang orang, wayang kulit, kethoprak, dagelan mataram, tari-tarian Jawa dan lain-lain. Penyajian karawitan pada umumnya dibedakan menjadi dua macam yaitu:

(40)

2) Lirihan, adalah bentuk penyajian gendhing-gendhing dengan volume tetabuhan yang halus atau pelan, semua instrumen ditabuh meskipun yang diutamakan adalah tabuhan ngarep seperti gender, gambang, rebab, calempung/ siter, dan suling dengan menggunakan variasi permainan tempo yang berbeda-beda.

c. Selain berfungsi untuk menyajikan gendhing-gendhing seperti yang telah disebutkan, gamelan juga mempunyai fungsi sebagai sarana upacara. Gamelan upacara tersebut adalah:

1) Gamelan sekati.

Di daerah Yogyakarta gamelan sekati bernama Kangjeng Kyai Guntur Madu dan Kangjeng Kyai Nagawilaga. Gamelan ini memiliki laras pelog. Gamelan ini ditabuh dalam perayaan sekaten mulai tanggal 15 Maulud petang hari sampai tanggal 12 Maulud di pagongan masjid besar. Gamelan sekati juga ditabuh pada saat menyambut tamu Agung, Supitan, Tetesan putra-putri Sultan dan Sakarsa Dalem (Dinas Kebudayaan DIY, 2000: 2).

2) Gamelan Munggang

Gamelan munggang berlaras slendro. Gamelan ini ditabuh untuk menyambut penobatan Sultan, maleman, mantu, rampog macan, grebegan dan lain-lain (Dinas Kebudayaan DIY, 2000: 2)

3) Gamelan Kodhok Ngorek

(41)

d. Gamelan juga menjadi salah satu musik Gereja.

Mulai tahun 1925 gendhing digunakan dalam ibadat sebagai langkah pertama ke arah inkulturasi musik Jawa ke dalam Gereja. Pada saat itu penggunaan lagu pelog banyak tidak mendapat dukungan, namun karena usaha keras Bapak C. Hardjosoebroto dan dukungan Br. Clementius, gendhing Gereja dalam Bahasa Jawapun diperbolehkan digunakan dalam Gereja Katolik. Sekitar tahun 1955-1956 gamelan mulai diperbolehkan untuk mengiringi gendhing. Namun meskipun demikian komponen gamelan yang diperbolehkan adalah komponen gamelan yang memiliki suara lembut. Sesudah tahun 1967, semua komponen gamelan diperbolehkan digunakan dalam Gereja (Prier, 1986: 11-13).

5. Gendhing

Gendhing dimengerti sebagai sebuah lagu, nyanyian atau ragam bunyi yang memiliki irama (Susantina, 2001: 108). Gamelan memiliki tiga gendhing yaitu:

a. Gendhing lancaran

Gendhing ini disebut gendhing lancaran karena termasuk gendhing kecil yang biasanya disajikan dalam tempo yang cepat. Satu gong lancaran terdiri dari 8 balungan (Siswanto, 2007:18).

b. Gendhing Ladrang

(42)

Dalam gendhing ketawang satu gongan terdiri dari 16 balungan yang dibagi menjadi dua baris dan setiap baris terdiri dari 8 balungan atau dua gotro (baris) (Siswanto, 2007: 23).

Selain jenis-jenis gendhing tersebut di atas, terdapat juga bentuk-bentuk lain seperti slepegan.

B.Paduan Suara

1. Sejarah Singkat Paduan Suara

Paduan suara atau koor adalah sebuah kelompok yang bertugas menyanyikan sebuah lagu. Dalam Gereja Katolik paduan suara bertugas untuk meyanyikan sebuah lagu mazmur dengan cara bergantian dengan umat dan juga menyanyikan lagu rohani lain dalam perayaan liturgi (Heuken, 2005: 55). Pada abad-abad pertama sampai abad ke 4 nyanyian dalam ibadat hanya menggunakan satu suara saja. Penggunaan nyanyian tersebut berkembang di Roma dan Milano (Heuken, 2005: 250).

Pada abad empat muncullah paduan suara berupa schola atau kelompok penyanyi terlatih yang terdiri dari kaum klerikal yang menerima pelantikan rendah sampai sub diakon dan dari anak laki-laki (Heuken, 2005: 72). ”Sesudah abad ke empat ketika nyanyian liturgi mulai dikembangkan menjadi lebih indah dan sulit maka dibentuklah Schola Cantorum (sekolah para penyanyi) yaitu kelompok terlatih yang mengambil peranan umat dalam hal menyanyi” (Heuken, 2005: 55).

(43)

beriman makin dikesampingkan, paduan suara bernyanyi tanpa partisipasi umat sehingga lagu yang dinyanyikan umat merupakan lagu selingan saja (Heuken, 2005: 72).

2. Fungsi Paduan Suara dalam Gereja Katolik

Dalam suatu perayaan liturgi Gereja, paduan suara atau koor amat diperlukan. Keberadaan koor dalam liturgi sangat mempengaruhi tingkat kemeriahan perayaan. Paduan suara berperan untuk mendorong dan menumbuhkan semangat umat dalam bernyanyi. Koor juga berperan untuk mengiringi dan memberikan suasana tersendiri dalam perayaan liturgi, sehingga umat sangat terbantu dalam berdoa (Martasudjita, 2000:61). “Perayaan liturgis menjadi lebih agung bila dirayakan dengan nyanyian dimana berbagai tingkat petugas menunaikan tugas pelayanannya dan umat berpartisipasi di dalamnya” (Musicam Sacram art. 5). Paduan suara secara khusus bertugas untuk menjadi pewarta sabda dan misteri Allah sendiri.

(44)

berlatih terlebih dahulu agar lebih menguasai lagu–lagu yang baru (Martasudjita. 2000: 61).

Koor dengan bahasa Jawa dalam gereja pertama kali dilakukan pada tahun 1925 di gereja Kidul Loji Yogyakarta oleh sekelompok koor dari Muntilan di hadapan pembesar Gereja dan para umat. Hal ini menimbulkan banyak suara yang menyatakan keberatan jika gendhing masuk dalam Gereja. Namun para pembesar Gereja tidak merasa keberatan asalkan penggunaan lagu-lagu tersebut tidak digunakan dalam misa. Pada pentas lain tanggal 31 Januari 1926 di Kidul Loji masih terdapat juga suara yang menyatakan keberatan akan lagu gereja berbahasa Jawa karena lagu tersebut dirasa mirip dengan lagu keraton. Seiring berjalannya waktu mulai tahun 1956 gendhing Gereja mulai digunakan dengan iringan gamelan Jawa dan paduan suara. Pada tahun yang sama juga Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran Yogyakarta menjadi pusat kegiatan musik gamelan gerejani (Prier, 1986:11).

C.Perayaan Ekaristi 1. Pengertian Sakramen

(45)

Kata sakramen berasal dari kata kerja dalam bahasa Latin yaitu sacrare yang berarti menguduskan. Cara Yesus menguduskan umat-Nya disebut dengan tindakan sakramental. Bakker (1988: 24) memberikan definisi sakramen sebagai “suatu tanda atau perbuatan simbolis dan suatu sabda yang menyatakan apa yang secara tak kelihatan dibuat oleh Yesus dalam karya penyelamatan-Nya”. Sakramen juga diartikan sebagai segala sesuatu yang merupakan tanda dan sarana karya penyelamatan Allah (Banawiratma, 1989: 13).

Pada abad pertengahan istilah sakramen mulai dibatasi pada bidang liturgi saja. Sakramen memiliki unsur ‘materia’ dan unsur ‘forma’. Unsur material adalah barang atau tindakan tertentu yang terlihat dan menghubungkan dengan karya Allah. Sedangkan unsur forma adalah kata-kata yang menyertai karya penyelamatan Allah dalam sakramen. Gereja katolik memiliki tujuh sakramen yaitu sakramen Baptis, Krisma, Ekaristi, Tobat, Pernikahan, Imamat dan Pengurapan Orang Sakit. Sakramen yang hanya diterima satu kali seumur hidup adalah sakramen pembaptisan, krisma dan imamat. Sedangkan sakramen yang bisa diterima berulang kali adalah sakramen Ekaristi, Tobat, Pengurapan Orang Sakit dan perkawinan apabila salah satu pasangannya telah meninggal dunia

2. Tata Perayaan Ekaristi dalam Gereja

(46)

salib. Pada perjamuan terakhir Yesus memecah roti dan membagikannya pada para murid-Nya dan berkata “Ambilah dan makanlah, inilah tubuhKu” (Mat. 26:26). Roti adalah tubuh Kristus yang dibagikan sebagai tanda pemberian Kristus. Dalam roti tersebut Yesus mempersatukan para rasul dengan diri-Nya yang merupakan kesatuan rahmat, kesatuan iman dan kesatuan pribadi. Yesus juga memberikan piala yang berisi anggur pada para muridNya. Angur dan piala melambangkan perjanjian baru yang sangat terkait dengan darah yang ditumpahkan. Dengan minum dari piala, para rasul mengambil bagian dalam penyerahan diri Yesus kepada Bapa, berpartisipasi dalam kurban Yesus (Jacobs, 1989: 144-145).

Atas perintah Yesus sendiri Gereja katolik melaksanakan perayaan Ekaristi pada hari minggu dan juga pada hari-hari biasa. Perayaan Ekaristi merupakan sumber dan puncak seluruh hidup kristiani (LG art. 11). Melalui perayaan ekaristi umat Allah mendapatkan kekuatan rohani untuk kehidupan selanjutnya. Hal tersebut juga disampaikan dalam Pedoman Umum Misale Romanum artikel 16 sebagai berikut:

Perayaan Ekaristi adalah tindakan Kristus sendiri bersama umat Allah yang tersusun secara hirarkis. Baik bagi Gereja universal dan Gereja partikular, maupun bagi setiap umat beriman, Ekaristi merupakan pusat seluruh kehidupan Kristen. Sebab dalam perayaan Ekaristi terletak puncak karya Allah menguduskan dunia, dan puncak karya manusia dimuliakan Bapa lewat Kristus , Putra Allah dalam Roh Kudus. Kecuali itu perayaan ekaristi merupakan pengenangan misteri penebusan sepanjang tahun. Dengan demikian boleh dikatakan misteri penebusan tersebut dihadirkan untuk umat. Segala perayaan ibadat lainnya juga pekerjaan sehari-hari dalam kehidupan Kristen berkaitan erat dengan perayaan Ekaristi bersumber pada-Nya dan tertuju Pada-Nya.

(47)

Dalam perayaan Ekaristi umat dihimpun di bawah imam sebagai pimpinan sekaligus wakil Kristus. Melalui perayaan Ekaristi umat berkumpul untuk mengenangkan Tuhan seperti yang dijanjikan Kristus “Dimana ada dua atau tiga orang berhimpun dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat 18: 20). Dalam seluruh perayaan Ekaristi Kristus benar-benar hadir baik dalam jemaat yang berkumpul maupun dalam pribadi pelayan ibadat, dalam sabda dan secara hakiki dalam rupa roti dan anggur ekaristis (Pedoman Umum Missale Romanum art. 27).

Perayaan Ekaristi terdiri dari dua bagian yakni Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi. Dalam Liturgi Sabda Allah dihadirkan melalui sabda-sabda-Nya dalam Kitab Suci. Sedangkan di dalam Liturgi Ekaristi Allah dihadirkan dalam roti dan anggur sebagai tubuh dan darah Kristus santapan rohani umat Kristiani. Dalam Pedoman Umum Missale Romanum Perayaan Ekaristi dibagi menjadi empat bagian utama yang terdiri dari:

a. Ritus Pembuka

Ritus pembuka meliputi bagian-bagian yang mendahului Liturgi Sabda yaitu: 1) Perarakan masuk

(48)

2) Penghormatan Altar dan Salam kepada Umat

Setiba di panti imam, imam, diakon dan pelayan menghormati altar dengan membungkuk khidmad. Hal itu dilakukan sebagai tanda penghormatan. Setelah itu imam menyampaikan salam kepada umat untuk menunjukkan bahwa Tuhan hadir di tengah-tengah mereka (PUMR art 49 dan 50).

3) Pernyataan Tobat

Pernyataan tobat diawali dengan hening sejenak dan dilanjutkan dengan rumusan pengakuan umum. Melalui pengungkapan tobat umat disadarkan kembali untuk mau kembali pada Allah Bapa yang baik (Lukasik, 1991: 19). 4) Tuhan Kasihanilah

Melalui ungkapan atau nyanyian Tuhan Kasihanilah, umat berseru kepada Tuhan dan memohon belas kasihan-Nya (PUMR art 52).

5) Kemuliaan

Melalui madah kemulian baik dinyanyikan maupun didaraskan, Gereja yang berkumpul atas dorongan roh kudus memuji Allah Bapa dan memohon belas kasihan-Nya (PUMR art 53).

6) Doa Pembuka

(49)

b. Liturgi Sabda

Melalui liturgi Sabda, Allah menyingkapkan misteri penebusan dan keselamatan serta memberikan makanan rohani. Lewat sabda-Nya Kristus sendiri hadir di tengah-tengah umat beriman (PUMR art 55).

Liturgi sabda meliputi bagian-bagian sebagai berikut: 1) Saat Hening

Saat hening merupakan kesempatan bagi umat untuk meresapkan sabda Allah dengan dukungan roh kudus dan untuk menyiapkan jawaban dalam doa (PUMR art 56).

2) Bacaan-bacaan dari Alkitab

Melalui pembacaan Alkitab, Sabda Allah dihidangkan bagi mereka dan khasanah harta Alkitab dibuka bagi umat (PUMR art 57).

3) Mazmur Tanggapan

Mazmur tanggapan memiliki makna liturgis serta pastoral yang penting karena menopang permenungan atas Sabda Allah (PUMR art 61).

4) Bait Pengantar Injil

Dengan aklamasi bait pengantar Injil, umat menyambut dan menyapa Tuhan yang siap bersabda kepada mereka dalam Injil dan sekaligus menyatakan iman (PUMR art 62).

5) Homili

Homili merupakan bagian liturgi yang penting untuk memupuk semangat hidup Kristen (PUMR art 65).

(50)

Tujuan pernyataan iman atau syahadat adalah agar seluruh umat yang berhimpun dapat menanggapi Sabda Allah yang dimaklumkan dalam Alkitab dan dijelaskan dalam Homili. Dengan melafalkan kebenaran-kebenaran iman lewat rumus yang disahkan untuk penggunaan liturgis umat mengingat kembali dan mengakui pokok-pokok misteri iman sebelum mereka merayakannya dalam liturgi ekaristi (PUMR art 67).

7) Doa Umat

Dalam doa umat jemaat menanggapi Sabda Allah yang mereka terima dengan penuh iman. Lewat doa umat, umat memohon keselamatan semua orang dan dengan demikian mengamalkan tugas imamat yang mereka peroleh dalam pembaptisan (PUMR art 69).

c. Liturgi Ekaristi

Liturgi Ekaristi berpangkal pada perjamuan malam terakhir Yesus dengan para murid-Nya. Kristus menetapkan kurban dan perjamuan paskah yang terus menerus menghadirkan kurban salib dalam Gereja. Hal ini dilaksanakan terus menerus oleh Gereja sebagai kenang-kenangan akan Yesus (PUMR art 72).

Liturgi ekaristi meliputi bagian-bagian sebagai berikut: 1) Persiapan Persembahan

(51)

tangan imam yang melambangkan persiapan akan hati yang bersih (PUMR art 73-76).

2) Doa Syukur Agung

Pusat dan puncak seluruh perayaan Ekaristi dimulai pada Doa Syukur Agung yaitu sewaktu doa syukur dan pengudusan. Tujuan Doa Syukur Agung ini adalah agar seluruh umat beriman menggabungkan diri dengan Kristus dalam memuji karya Allah yang agung dan mempersembahkan kurban (PUMR art 78).

3) Bapa Kami

Dalam doa Bapa Kami, umat beriman mohon rezeki sehari-hari. Bagi umat Kristen rezeki sehari-hari ini terutama adalah roti Ekaristi. Umat juga memohon pengampunan dosa supaya anugerah kudus diberikan pada seluruh umat. Dalam doa Bapa Kami umat memohon agar dibebaskan dari segala kejahatan (PUMR art 81).

4) Ritus Damai

Pada ritus damai ini umat memohon damai dan kesatuan bagi Gereja sendiri dan bagi seluruh umat manusia, sedangkan umat beriman menyatakan persekutuan jemaat dan cinta kasih satu sama lain sebelum dipersatukan dalam tubuh Kristus (PUMR art 82).

5) Pemecahan Roti

(52)

6) Komuni

Melalui komuni seluruh umat berpartisipasi dalam kurban Kristus yang sedang dirayakan (PUMR art 85).

d. Ritus Penutup

Ritus penutup meliputi bagian-bagian sebagai berikut 1) Doa Sesudah Komuni

Doa sesudah komuni ini diarahkan untuk masa depan ke hidup yang akan dijalani. Doa ini terdiri dari dua bagian yaitu mengingat akan pemberian yang baru diterima dan permohonan agar pemberian yang telah diterima menghasilkan buah dalam hidup sehari-hari umat (Lukasik, 1991: 120).

2) Salam dan Berkat Imam

Salam ini merupakan salam perpisahan dengan umat dan tempat suci. Salam ini bertujuan untuk mengingatkan umat bahwa mereka akan berjalan bersama-sama dengan Kristus. Imam memberi berkat sebagai tanda bahwa Kristuslah yang memberi berkat lewat perantaraan imam (Lukasik, 1991: 121).

3) Pengutusan Jemaat

Sebagai umat Allah yang telah menerima berkat , maka umat diutus untuk mewujud nyatakan sehingga menjadi berkat bagi orang lain yang akan dijumpai (Lukasik, 1991 :122-123).

(53)

Pada saat penghormatan altar, imam dan diakon mencium altar kemudian bersama dengan pelayan lain membungkuk khidmad ke arah altar (PUMR art 90).

3. Peran Serta Umat dalam Perayaan Ekaristi

Ekaristi adalah perayaan umat, sehingga diperlukan suatu kehadiran dan partisipasi aktif dari umat beriman (PUMR 17). Pembaharuan liturgi pada abad ke 20 menghasilkan dokumen pertamanya yaitu Sacrosanctum Concilium yang secara ekplisit pada artikel 14 menegaskan bahwa

Bunda Gereja sangat menginginkan, supaya semua orang beriman, dibimbing ke arah keikutsertaan yang sepenuhnya, sadar dan aktif dalam perayaan-perayaan liturgi. Keikutsertaan seperti itu dituntut oleh hakikat liturgi sendiri dan berdasarkan baptis merupakan hak serta kewajiban umat Kristiani sebagai bangsa terpilih, imamat rajawi, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri.

Dengan demikian Gereja mengajak agar umat terlibat secara sadar dan aktif.

Keterlibatan umat secara aktif mengarah pada partisipasi umat yang sungguh-sungguh. Umat bukanlah penonton namun umat adalah pelaku liturgi sendiri. Umat bukanlah objek tetapi termasuk subjek yang berliturgi. Jadi istilah “aktif” menunjuk pada keterlibatan umat yang total dalam liturgi (Martasudjita 1998:49).

(54)

Partisipasi umat yang sadar dan aktif diwujudkan dalam tindakan nyata. Panggilan Allah pada umatNya ditanggapi dengan suatu tindakan untuk hadir ke perayaan Ekaristi dengan tepat waktu bukan semata-mata hanya untuk kepentingan sopan santun saja namun karena umat merasa wajib berada tepat waktu di tengah-tengah umat Kristus yang hadir untuk menjawab panggilanNya. Berkumpulnya umat merupakan unsur pokok dan penting dalam mempersiapkan perayaan Ekaristi. Namun perayaan tersebut bukan hanya bersifat lahiriah atau hadir begitu saja, melainkan kesadaranlah yang harus dipersiapkan. Umat benar-benar sadar tujuan mereka datang ke gereja untuk merayakan Ekaristi (Lukasik, 1991: 11).

Selain persiapan-persiapan pokok tersebut perlu juga dipersiapkan alat-alat yang dipergunakan dalam misa, karena semua peralatan yang digunakan memiliki tujuan masing-masing. Semua alat yang dipersiapkan akan digunakan oleh Kristus sendiri untuk menyampaikan misteriNya pada umat.

Selama mengikuti perayaan ekaristi umat dapat mengambil sikap-sikap badan sebagai berikut:

a. Berjalan

Berjalan dengan tegap dan khidmad serta pandangan ke arah depan merupakan tanda penghormatan dan kesungguhan niat untuk bertemu dengan Tuhan (Windhu, 1997: 11)

b. Membuat Tanda Salib

Umat membuat tanda salib selama perayaan Ekaristi yang mengingatkan umat akan pembaptisan yang telah diterima (Windhu, 1997: 12).

(55)

Perarakan dilakukan oleh imam dan misdinar serta pembantunya. Selain itu perarakan juga dilakukan oleh beberapa wakil umat untuk mengantar bahan persembahan (Windhu,1997: 15)

d. Membungkuk

Membungkukkan badan merupakan tanda penghormatan yang lebih besar daripada menundukkan kepala. Rombongan imam dan misdinar juga melakukan penghormatan terhadap alatar Tuhan (Windhu, 1997: 15)

e. Mengecup

Mengecup adalah tanda cinta dan penghormatan terhadap seseorang atau barang. Sikap ini dilakukan oleh imam terhadap meja altar sebelum dan sesudah perayaan Ekaristi (Windhu, 1997:17).

f. Mendupai

Maksud pendupaan ini adalah untuk menciptakan suasana doa dan kurban bagi Allah. Pendupaan altar bergerak dari bagian kiri ke kanan mengelilingi altar (Windhu, 1997: 19)

g. Menundukkan kepala

Menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan (Windhu, 1997: 21) h. Berlutut

Sikap ini menunjukkan sikap rendah hati, sembah sujud dan tobat (Lukasik, 1991:12) .

i. Menebah Dada

(56)

Sikap ini adalah sikap rileks, istirahat, sikap yang cocok untuk berfikir, berefleksi, merenung. Sikap seperti ini mempermudah umat untuk mendengarkan dan menerima Sabda Allah dan merenungkannya (Lukasik, 1991: 12).

k. Bersila

Bersila atau bersimpuh merupakan sikap doa yang umum di Asia bagian selatan dan Timur seperti India Jepang dan Indonesia (Windhu, 1997: 27)

l. Berdiri

Sikap berdiri ini menunjukan kesiap siagaan yaitu sikap untuk menerima, sikap untuk diutus, siap untuk berkarya. Sikap ini mengungkapkan juga rasa syukur, harapan akan kebangkitan, kebebasan anak-anak Allah yang menghadap kepada Bapa dan berbicara padaNya lewat doa (Lukasik, 1991:11).

m. Merentangkan Tangan

Merentangkan tangan adalah tanda penyerahan kepada kehendak Allah. Dengan merentangkan tangan orang membuka seluruh genggaman dan mau menyerahkan yang dimilikinya pada Tuhan (Windhu, 1997: 29)

n. Menengadahkan Kepala

Menengadahkan adalah sikap doa yang mengungkapkan permohonan dengan kekuatan hati

o. Mengangkat TanganMengangkat kedua tangan ke atas melambangkan permohonan yang disertai pengharapan penuh (Windhu, 1997: 31)

p. Menyembah

(57)

q. Mengatupkan Tangan

Mengatupkan tangan merupakan ungkapan kesetiaan. Dengan tangan mengatup umat mau menutup sementara segala kegiatan sehari-hari untuk bertemu dengan Tuhan (Windhu, 1997:33)

r. Bergandeng Tangan

Bergandeng tangan merupakan tanda kesatuan dan kebersamaan (Windhu, 1997: 34)

s. Bersalaman

Bersalaman adalah sikap untuk mengungkapkan kasih sayang persaudaraan, dalam perayaan Ekaristi sikap ini dilakukan pada saat Salam Damai (Windhu, 1997: 35)

t. Mencium

Mencium merupakan tanda cinta dan penghormatan (Windhu, 1997: 36) u. Menumpangkan Tangan

Menumpangkan tangan merupakan tanda menyerahkan wewenang sambil menyerukan turunnya Roh Allah atas diri orang yang ditumpanginya (Windhu, 1997:37)

v. Memerciki

Pemercikan air merupakan tanda penyucian dan peringatan akan pembaptisan umat (Windu, 1997: 38)

w. Menelungkup

(58)

x. Memberkati

Memberkati adalah doa, ungkapan permohonan pada Tuhan, semoga yang diminta umatNya terkabulkan, terjadi, atau terlaksana (Windhu, 1997: 43).

Sikap-sikap seperti di atas membantu umat untuk berkomunikasi dan bertemu dengan Allah (Lukasik, 1991:11-12).

4. Makna Ekaristi dalam Hidup Sehari-Hari

Dalam perayaan Ekaristi umat beriman merayakan peristiwa penyelamatan Allah yang terlaksana dalam Yesus Kristus. Melalui Yesus dan oleh darahNya yang tertumpah umat memperoleh pengampunan dosa. Oleh sebab itu, maka liturgi merupakan jalan dan peristiwa bagi umat merayakan penebusan Allah yang menjadikan umat sebagai anak-anakNya. Karya penebusan yang terlaksana dalam Kristus kini dihadirkan dan diwujudkan “melalui kurban dan sakramen-sakramen, sebagai pusat seluruh hidup liturgis” (SC art 6).

Karunia penyelamatan Allah yang diperoleh dan dinikmati umat beriman dalam perayaan Ekaristi sesungguhnya berisi persatuan umat dengan Allah. Melalui perayaan ekaristi umat dimasukkan dalam hidup Allah yang berupa hubungan kasih antara Bapa, Putra dan Roh Kudus. Dengan demikian perayaan ekaristi memiliki daya untuk menyatukan Allah dan sesama dalam kehidupan (Marasudjita, 1998: 67-68)

(59)

dipandang sebagai sumber dan puncak kegiatan hidup umat kristiani (Martasudjita, 1998:75). Pandangan demikian ditegaskan oleh Konsili Vatikan II sebagai berikut

Liturgi itu puncak yang dituju oleh kegiatan Gereja dan serta merta sumber daya kekuatannya. Sebab usaha-usaha kerasulan mempunyai tujuan ini supaya semua orang melalui iman dan baptis menjadi putra-putra Allah, berhimpun menjadi satu, meluhurkan Allah di tengah-tengah Gereja, ikut serta dalam kurban dan menyantap perjamuan Tuhan (SC 10)

Liturgi adalah puncak dan sumber kehidupan Gereja, karena semua kegiatan dan fungsi Gereja memiliki arah dan tujuan satu dan sama, yakni perayaan misteri karya keselamatan Allah (Martasudjita, 1998: 75). Dalam liturgi yang berpuncak pada perayaan Ekaristi, umat berjumpa dengan Allah serta menerima daya kekuatan dan penyalamatan dari Allah untuk hidup umat sehari-hari (Martasudjita, 1998: 76).

Kebersamaan umat beriman dengan Allah terlaksana dalam kehidupan sehari-hari baik yang bersifat pribadi maupun bersama dengan orang lain. Kebersamaan dengan Allah yang dihayati setiap saat dalam hidup sehari-hari tersebut dirayakan, disadari, diakui, dinyatakan dan disyukuri serta dimohonkan dalam perayaan Ekaristi. Dengan demikian segala suka dan duka kehidupan yang dialami umat sehari-hari dibawa dan dimasukkan ke dalam liturgi pada perayaan Ekaristi (Martasudjita, 1998:77-80).

D.Penggunaan Iringan Gamelan Jawa dalam Perayaan Ekaristi 1. Masuknya Kebudayaan Setempat dalam Liturgi

(60)

manusia”. “Sinonimnya dengan kata lain adalah ‘kebudayaan’, dari ‘budi-daya’ dan ‘peradaban’ dari kata Arab ‘adaba’ yang berarti mendidik”. Kultur atau kebudayaan diartikan sebagai semua hasil karya manusia yang meliputi cara pengolahan tanah, cara berfikir, sastra, kesenian, ilmu dan teknik, cara penghayatan nilai-nilai moral serta nilai-nilai lainnya.

Menurut Sir Edward B Taylor sebagaimana dikutip oleh Karl Edmund Prier (Prier, 2009: 4) kebudayaan adalah “keseluruhan kompleks yang terbentuk di dalam sejarah dan diteruskan dari angkatan ke angkatan melalui tradisi yang mencakup organisasi sosial, ekonomi, agama, kepercayaan, kebiasaan, hukum, seni, teknik dan ilmu”. Konsili Vatikan II dalam konstitusi Gaudium et Spes artikel 53 memberikan suatu deskripsi sebagai berikut:

Kebudayaan dimaksudkan segala sarana dan upaya manusia untuk menyempurnakan dan mengembangkan pelbagai bakat-pembawaan jiwa-raganya….Begitulah dari tata hidup yang diwariskan muncullah pusaka nilai-nilai yang khas bagi setiap masyarakat manusia. Begitu pula terwujudlah lingkungan hidup tertentu dengan corak historisnya sendiri, yang menampung manusia dari bangsa dan jaman manapun, dan yang menjadi sumber nilai-nilai untuk mengembangkan kebudayaan manusia serta masyarakat.

Jadi budaya terdapat di mana manusia hidup bersama, kerja sama, mengungkapkan diri dalam acara bersama. Ibadat adalah unsur dari budaya itu. Dalam ibadat diungkapkan secara simbolis visi dan sikap inti yang menentukan hidup manusia, asal-usul serta tujuannya.

(61)

menghilangkan kepribadian kedua budaya sebelumnya (Prier, 2009: 7). Inkulturasi dapat digambarkan sebagai berikut

Budaya asli Budaya baru Budaya lama dan baru mengalami transformasi

Gereja Katolik mengenal inkulturasi dalam pewartaan imannya. Istilah inkulturasi pertama kali dalam dokumen resmi Gereja pada tahun 1977, yaitu oleh sinode para uskup di Roma mengenai katekese dalam naskah “Pesan kepada umat Allah” (Banawiratma, 1985: 19) yang disampaikan sebagai berikut

Warta dan pesan Kristiani mesti berakar dalam kebudayaan-kebudayaan dan untuk itu penyampaian pesan itu mesti sanggup tidak hanya memberi kepada melainkan juga menerima dari kebudayaan-kebudayaan yang mendengarkan Injil.

Menurut Giancarlo Collet sebagaimana dikutip Karl Edmund Prier ( Prier, 2009: 8) inkulturasi didefinisikan sebagai berikut:

(62)

Inkulturasi dalam gereja katolik merupakan sarana bukanlah tujuan yang hendak dicapai. Maka unsur-unsur kebudayaan haruslah membantu umat untuk menghayati Kerajaan Allah dan Injil. Suatu unsur kebudayaan bagaimanapun tinggi nilainya jika tidak membantu umat menghayati imannya maka tidak layak dimasukkan sebagai sarana penghayatan iman (Koenjono, 1985: 11).

Dalam Gereja Katolik terdapat bermacam-macam inkulturasi. Bentuk-bentuk inkulturasi itu antara lain adalah inkulturasi liturgi yang terdiri dari musik liturgi serta arsitektur dan desain gedung gereja; Inkulturasi hidup rohani; inkulturasi struktur Paroki sampai yang paling sulit yaitu inkulturasi teologi misalnya gambar tentang Allah (Prier, 2009: 8). Dalam tulisannya Prier menyebutkan bahwa “Inkulturasi liturgi adalah suatu proses timbal balik antara budaya setempat dengan ‘budaya’ Gereja berupa pewartaan dan ungkapan iman dalam ibadat”.

(63)

Inkulturasi membuka pintu untuk memelihara dan memajukan kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa. Apa saja dalam adat kebiasaan para bangsa yang tidak secara mutlak terikat pada tahayul dan ajaran sesat, oleh Gereja dipertimbangkan dengan murah hati, dan bila mungkin dipeliharanya dalam keadaan baik dan utuh. Bahkan ada kalanya Gereja menampungnya dalam liturgi

sendiri, asal saja selaras dengan hakekat semangat liturgi yang sejati dan asli. Gereja adalah orang-orang beriman akan Kristus yang terikat pada budaya lokal dan dari kelompok-kelompok tertentu. Sejak semula Gereja tidak pernah bisa melepaskan diri dari musik. Liturgi sebagai perayaan iman Gereja senantiasa tidak dapat lepas dari unsur musik dari tradisi setempat. Khususnya tentang musik liturgi, konstitusi dalam art. 119-120 menentukan bahwa

Tradisi musik yang memainkan peran penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat hendaknya mendapatkan penghargaan selayaknya dan sewajarnya, baik dalam membentuk sikap religius mereka, maupun dalam menyesuaikan ibadat dengan sifat perangai mereka. Alat-alat musik (selain orgel) dapat juga dipakai dalam ibadat suci sejauh memang cocok atau dapat disesuaikan dengan penggunaan dalam liturgi, sesuai pula dengan keanggunan gedung gereja dan sungguh membantu memantapkan penghayatan umat beriman.

Sesudah Konsili Paus Paulus VI dan Paus Yohanes Paulus II memperkembangkan gagasan teologis ini dengan menegaskan bahwa Allah berkarya dalam segala budaya, berkat karya Kristus yang tersembunyi di dalamnya

Istilah “Inkulturasi”....dengan tepat sekali mengungkapkan satu faktor misteri agung inkarnasi....Pewartaan Injil pada umumnya dipanggil untuk mengantar kekuatan Injil merasuki inti kebudayaan ... Katekese akan mampu menyumbangkan kebudayaan-kebudayaan itu pengertian tentang misteri yang tersembunyi serta membantunya membuahkan dari tradisi-tradisinya yang hidup ungkapan-ungkapan asli bagi kehidupan (CT art 53).

(64)

Mulai tahun 1925 inkulturasi gendhing mulai digunakan dalam ibadat. Bapak C. Hardjosoebroto atas dukungan Br. Clementius memberanikan diri untuk

mengarang beberapa gendhing Gereja dalam bahasa Jawa di antaranya adalah Atur Roncen dengan tangga nada pelog yang dinyanyikan tanpa iringan. Lagu tersebut dinyanyikan pertama kali oleh koor dari Muntilan di Gereja Kidul Loji Yogyakarta di hadapan pembesar Gereja dan para umat. Meski pada saat itu ada pihak yang berkeberatan dengan penggunaan gamelan serta lagu berahasa Jawa, namun di sisi lain pembesar Gereja saat itu tidak keberatan. Maka untuk selanjutnya Bapak C. Hardjasoebrata diperbolehkan untuk terus membuat dan menggunakan lagu

berbahasa Jawa dengan diiringi gamelan, hanya saja tidak dipergunakan dalam misa. Sebuah pentas lain pada tanggal 31 Januari 1926 yang bertempat di Gereja Kidul Loji meyakinkan orang-orang yang tadinya berkeberatan dengan penggunaan gendhing Jawa hingga akhirnya mereka menyadari bahwa lagu gereja ini mirip dengan lagu Keraton (Prier, 1986: 11).

(65)

Mulai tahun 1956 Paroki Pugeran Yogyakarta menjadi pusat kegiatan musik gamelan Gerejani. Pada saat itu Romo Harjowardoyo menerbitkan kumpulan Gendhing Gereja dengan judul Kyriale dan Natalia. Setelah Konsili Vatikan II, dukungan terhadap inkulturasi semakin kuat sehingga berkembanglah banyak sekali gendhing mazmur antara lain ditulis oleh M. Siswanto, Ign. Pujoharsono, RI. Suwarja, Z. Sudiro, V. Marsudi. Buah karya mereka lalu dikumpulkan oleh Romo Wahyosudibyo Pr dan diterbitkan di awal tahun 1970an dengan judul Kidung Masmur Gendhing Jawi, Gendhing Pangiring Bojana Kurban, Gendhing Suci-Gendhing Jawi Minggu Adi. PML menerbitkan pada tahun 1978 suatu kumpulan lagu gereja non gendhing dengan judul Cahya Sumunar. Tahun 1983 suatu panitia khusus dari Keuskupan Agung Semarang bersama PML menyusun buku Kidung Adi” yang merupakan suatu perpaduan antara gendhing dan lagu Gereja dengan nada diatonik, baik dengan lagu dan doa (Prier, 1986: 12).

(66)

YESUS PUGERAN YOGYAKARTA

Pada bab sebelumnya penulis telah memaparkan penggunaan iringan gamelan Jawa dalam Perayaan Ekaristi. Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran adalah Paroki yang dinaungi oleh budaya Jawa yang kuat karena letaknya yang berdekatan dengan keraton Yogyakarta. Hingga tahun 2009 ini Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran ini tetap mempertahankan unsur-unsur budaya Jawa yang ada dalam liturgi. Bahasa Jawa dan iringan gamelan Jawa masih tetap digunakan secara rutin tiap Minggu dalam Perayaan Ekaristi. Penggunaan iringan gamelan Jawa dalam perayaan Ekaristi membawa peran yang positif bagi umat di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran. Iringan Gamelan membawa umat memasuki suasana tenang dan khidmad untuk bertemu dengan Tuhan dalam perayaan Ekaristi.

(67)

A. Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran

1. Letak dan Wilayah Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran

(68)

kecik berjumlah sembilan batang. Bentuk joglo dari bangunan gereja ini menyimbolkan warga Gereja adalah satu keluarga besar yang merupkan bagian dari Gereja di dunia. Pada bagian dalam gereja terdapat senthong (kamar utama) dalam rumah Jawa, sedangkan dalam gereja Pugeran terdapat tabernakel sebagai tempat bertahtanya sakramen maha kudus yang merupakan inti dari sebuah gereja. Dalam gereja terdapat empat tiang penyangga atau disebut saka guru yang melambangkan empat penulis Injil dalam Kitab Suci yaitu Matius, Markus, Lukas, Yohanes. Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran memiliki gandok yang dulu hanyalah pastoran, kini ditambah dengan bangunan wisma Rosari di belakang gereja. Bagian depan rumah Jawa sebagaimana juga terdapat di gereja Hati Kudus Yesus Pugeran terdapat sumur yang menurut peletakannya disebut Sumur Pendhita untuk menyucikan diri. Sumur ini dipercaya memiliki pengaruh positif bagi orang yang menggunakannya. Pohon yang ditanam di sekitar gereja adalah pohon sawo kecik yang bermakna memberi perlindungan dari bencana bagi para penghuninya (Alexander, 2004:11-13).

Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran memiliki corak Jawa yang amat kuat. Hal itu disebabkan oleh letak paroki Hati Kudus Yesus Pugeran yang dekat sekali dengan Keraton Yogyakarta. Hampir seluruh umat di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran adalah masyarakat Jawa, kecuali sebagian umat yang termasuk pendatang. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Pugeran adalah bahasa Jawa yang terkadang diselingi dengan bahasa Indonesia.

(69)

toko, kios, warung, perusahaan besar, sedang maupun kecil, hotel, angkutan kota. Di wilayah Pugeran kehidupan beragama sangatlah harmonis. Hal itu bisa dilihat dengan adanya banyak masjid, mushola, dan kapel. Masyarakat di wilayah Pugeran, mayoritas beragama Islam, namun mereka tetap menjaga kerukunan umat beragama.

Paroki Pugeran adalah paroki yang besar dan mempunyai bentuk wilayah yang unik. Paroki Pugeran terdiri dari Gereja Pusat dan Gereja Wilayah dengan gedung gereja yang besar dan berdekatan. Gereja-gereja tersebut antara lain adalah Gereja Brayat Minulyo Wirobrajan, Gereja Salib Suci Gunung Sempu, Gereja Santo Yusup Padokan, dan Gereja Santo Martinus Bangunharjo (Jayasewaya, 2004: ix).

Paroki Pugeran dibagi menjadi 15 wilayah yaitu a. Wilayah Keraton

Wilayah Keraton terdiri dari 10 lingkungan yaitu Lingkungan

Referensi

Dokumen terkait

Peranan baktri asidogenik pada pembutan biogas sangatlah penting karena bakteri tersebut dapat mengubah gula sederhana menjadi asam organik yang selanjutnya

Film dokumenter juga menjadi salah satu solusi dalam menyampaikan kembali makna dan ajaran pendidikan Ki Hadjar Dewantara sehingga dapat memberi informasi lebih

memberi kesaksian. Kurangnya pengalaman Penyidik dalam melakukan penyidikan. Tidak menutup kemungkinan faktor interen juga bisa menjadi pengahambat atau kendala dalam

Menu "I Want To" berisi berbagai tuntunan pekerjaan (mencetak foto, amplop, banner, poster, atau mencetak pada kedua sisi kertas) untuk membantu Anda memilih setelan cetak

Sedangkan menurut Apriadji (2002), sampah atau dalam bahasa inggrisnya waste , adalah zat atau benda-benda yang sudah tidak terpakai lagi, baik berupa bahan buangan yang

bullying. Untuk memperoleh informasi mengenai penyebab terjadinya bullying di SD Negeri 3 Manggung, peneliti melakukan serangkaian wawancara mendalam dengan kepala sekolah,

suatu langkah preamplifier analog yang diikuti oleh langkah output analog (tergantung jenis

(1) Agar setiap penanggungjawab usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara melakukan pengolahan air limbah yang berasal dari kegiatan pengolahan dan atau