PERUBAHAN NILAI DAN NORMA PERKAWINAN ANTARSTRATA SOSIAL PADA MASYARAKAT SASAK DI DESA SUWANGI KECAMATAN
SAKRA KABUPATEN LOMBOK TIMUR
Baiq Annisa Pratiwi, HamidsyukrieZM, Suud,
Program Studi PPKn, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Mataram.
email:baiqannisapratiwi935@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan nilai dan norma perkawinan antar strata sosial pada masyarakat Sasak di Desa Suwangi Kecamatan Sakra Kabupaten Lombok Timur, untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang membuat laki-laki dan perempuan bangsawan menikah dengan orang yang berbeda status sosial
(Jajarkarang), dan untuk mengetahui sanksi apa saja yang diterima ketika melakukan
perkawinan beda strata sosial. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Dalam hal ini, peneliti akan membicarakan mengenai perubahan nilai dan norma perkawinan antarstrata sosial pada masyarakat Sasak di Desa Suwangi Kecamatan Sakra Kabupaten Lombok Timur. Hasil penelitian dan pembahasan ini menemukan bahwa: (a) sudah terjadi perubahan nilai dan norma perkawinan antarstrata sosial pada masyarakat Sasak di Desa Suwangi akibat dari banyaknya masyarakat bangsawan yang mulai menerima perubahan yang terjadi dalam kehidupannya, semakin tinggi pengaruh agama daripada adat, perkawinan antarstrata sosial lebih memberatkan perempuan bangsawan. (b) faktor yang membuat laki-laki dan perempuan bangsawan menikah dengan orang yang berbeda stratasosial karena adanya keinginan dari diri individu, tanpa paksaan atau penekanan dari pihak lain. (c) tidak adanya sanksi yang memberatkan diri (individu) maupun keluarga yang diterima oleh laki-laki maupun perempuan bangsawan karena menikah diluar strata sosialnya.
CHANGES OF THE VALUE AND THE NORM OF THE MARRIAGE BETWEEN SOCIAL STRATUM IN SASAK SOCIETY IN SUWANGI
VILLAGE KECAMATAN SAKRA KABUPATEN LOMBOK TIMUR
Baiq Annisa Pratiwi, Hamidsyukrie ZM, Suud,
Department of Civic education, Faculty of Teaching and Education, Mataram Universitiy.
email:baiqannisapratiwi935@gmail.com
Abstract
The purposes of this research are to find out the changes of the value and the norms of the marriage between social stratum to Sasak society in Suwangi village Kecamatan Sakra Kabupaten Lombok Timur, to find out what are the factors make the noble men and noble woman marriage with people from different social stratum ( jajarkarang) and to find out what are the sanctions if they marriage with people from different social stratum. This research uses qualitative approach by using descriptive method. In this case, the researcher would talk about the canges of the value and the norm in marriage between social stratum in Sasak society in Suwangi village Kecamatan Sakra Kabaputen Lombok Timur. Result of the research and the discussion is found: (a) there is changes of the value and the norm of the marriage between the social stratum to the Sasak society in Suwangi village is caused by many noble people who accept the changes of their live, the higher religion influence than the tradition, the marriage between social stratum would be more distinguished the noble woman side. (b) the factor which makes the noble man and the noble woman marriage with different social stratum because of the desire from the individual without coercion and emphasis from the other party. (c) there is on sanction which incriminating their self (individual) as well as the family who is accepted from noble man or the noble woman because of marriage out of the social stratum.
PENDAHULUAN
Sebagaimana kita ketahui bahwa Bangsa Indonesia memiliki budaya yang majemuk (pluralistik). Hal tersebut disebabkan karena Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai macam suku, adat, agama, dan kepercayaan dan mendiami wilayah yang berbeda. Salah satu kemajemukan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia adalah keanekaragaman dalam sistem perkawinan. Perkawinan merupakan sesuatu yang bersifat fitri dan naluri pada setiap umat manusia. Melalui perkawinan, manusia menjaga kesinambungan kehidupan mereka. Perkawinan dianggap sebagai salah satu fase kehidupan yang hampir pasti terjadi pada setiap manusia. Oleh sebab itu, masyarakat menganggapnya sebagai sesuatu yang sakral dan untuk merayakannya, setiap etnis tentu memiliki cara yang berbeda-beda.
Dalam kaitannya dengan perbedaan keturunan dapat dilihat dari contoh, misalnya dalam masyarakat Sasak di Lombok. Dalam masyarakat Sasak terdapat dua golongan yaitu bangsawan (Perwangsa) dan golongan
biasa (jajarkarang). adanya perbedaan keturunan dalam masyarakat Sasak, mengakibatkan terjadinya perkawinan antarstrata sosial, yaitu pernikahan antargolongan orang bangsawan dan golongan orang biasa (Jajarkarang). Hal ini terjadi hampir di seluruh daerah yang ada di Pulau Lombok, tidak terkecuali yang dilakukan oleh masyarakat Sasak bangsawan dan masyarakat biasa di Desa Suwangi Kecamatan Sakra Kabupaten Lombok Timur. Data mengenai perkawinan antarstrata sosial di Desa Suwangi dalam 2 tahun terakhir ini berjumlah 18 kasus perkawinan yang terdiri atas 6 kasus perkawinan yang dilakukan laki-laki bangsawan dengan perempuan biasa dan 12 kasus perkawinan yang dilakukan oleh perempuan golongan bangsawan dengan laki-laki biasa.
dengan orang dari golongan biasa (jajarkarang). Namun, dari tahun ke tahun, pernikahan antarstrata sosial semakin banyak terjadi, seakan menyampingkan permasalahan yang timbul dari pernikahan tersebut. Kepercayaan yang dipegang teguh mulai bergeser seiring zaman yang mulai berkembang, pemikiran-pemikiran baru mulai muncul di tengah-tengah adat yang tetap dijalankan, secara otomatis hal ini akan berdampak pada sistem kehidupan masyarakat Sasak yang ada di Desa Suwangi.
Dikarenakan masyarakat beranekaragam suku bangsanya, sudah pasti beranekaragam pula adat yang hidup di tanah air Indonesia. Darmansyah, dkk. (1986:112) mengemukakan bahwa adanya berbagai macam perbedaan seperti suku, adat, dan golongan yang diakibatkan oleh latar belakang kemajemukan telah menimbulkan status sosial yang sering digunakan dalam kehidupan masyarakat. Adanya perbedaan kelas sosial ini timbul dari adanya kelompok-kelompok yang
memiliki perbedaan garis keturunan, fanatisme terhadap nilai-nilai kepercayaan yang bersifat mendasar. Soekanto (2002:227) menyatakan bahwa perubahan-perubahan nilai dan norma yang terkandung diyakini oleh masyarakat menjadi latar belakang timbulnya kelas sosial. Kelas sosial adalah kedudukan yang berbeda-beda berdasarkan kelas tertentu mengenai pribadi manusia yang merangkai sistem sosial yang ada dan pelakunya sebagai hubungan atasan dan bawahan satu sama lain dalam hal-hal tertentu oleh masyarakat dianggap penting.
atau malah berubah. Dalam mengkaji perubahan nilai dan norma perkawinan antarstrata sosial, ada banyak indikator yang menarik diteliti antara lain: membandingkan tentang tata cara atau prosesi perkawinan adat Sasak pada zaman dahulu dengan zaman sekarang, sehingga dengan adanya perbandingan tersebut kita bisa melihat adanya perubahan, jika memang banyak yang berubah, banyak yang sudah tidak sesuai, maka bisa dibilang berubah atau malah sebaliknya, selain itu melihat faktor-faktor yang membuat kaum bangsawan mau menikah dengan orang jajarkarang, dan sanksi apa saja yang diterima ketika melakukan perkawinan beda strata sosial.
Penelitian mengenai " perubahan nilai dan norma perkawinan antarstrata sosial pada masyarakat Sasak di Desa Suwangi Kecamatan Sakra Kabupaten Lombok Timur" ini sangat menarik untuk di kaji, karena belum ada yang melakukan penelitian dengan judul dan tempat yang sama. Namun tetap penelitian ini mengacu pada penelitian yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya dengan
mengambil topik yang sama mengenai "perkawinan", namun dengan arah penelitian yang berbeda, sehingga landasan teori mengenai permasalahan ini bisa didapatkan pada penelitian yang relevan dengan penelitian yang peneliti lakukan ini.
Adapun hasil penelitian yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Mulyaningsih (2009). Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Kuswandaru (2013). Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Yuliana (2007).
lakukan lebih luas mencangkup laki-laki dan perempuan bangsawan. Sehingga arah dan hasil penelitan kami berbeda. Kemudian penelitan yang dilakukan oleh Kuswandaru, yang menjadikan penelitian kami berbeda ialah, dalam penelitian Kuswandaru, penelitiannya merupakan penelitian hukum normatif, menganalisis permasalahan dari sudut pandang ketentuan hukum dan perundang-udangan yang berlaku serta pelaksanaannya di dalam praktik. Dan yang terakhir adalah penelitian yang dilakukan oleh Yuliana. Yang menjadi pembeda antara penelitian yang kami lakukan adalah, penelitian Yuliana mengkaji pernikahan antara orang yang beda budayanya sedangkan penelitian yang penulis lakukan mengkaji perkawinan antara orang yang beda strata sosialnya.
Jelas terlihat bahwa antara ke tiga penelitian yang pernah dilakukan tersebut memiliki persamaan dan juga perbedaan dengan penelitian yang peneliti lakukan, sehingga nantinya diharapkan penelitian yang penelitilakukan bisa menambah
informasi dan ilmu baru bagi masyarakat umum khususnya masyarakat Sasak mengenai perkawinan antarstrata sosial yang kerap terjadi.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Nawawi (2005:63) menjelaskan bahwa metode deskriptif dapat diartikan dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Dalam hal ini, peneliti akan membicarakan mengenai perubahan nilai dan norma perkawinan antarstrata sosial pada masyarakat Sasak (studi dinamika perubahan sosial) di Desa Suwangi Kecamatan Sakra Kabupaten Lombok Timur.
berkaitan langsung dengan apa yang diteliti (Arikunto, 2002:122) sedangkan informan merupakan orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar belakang penelitian. (Moleong, 2005:35). Dalam penelitian ini digunakan tiga teknik untuk mengumpulkan data yaitu teknik observasi, teknik wawancara dan dokumentasi. Untuk menganalisis data yang diperoleh dari penelitian ini, digunakan teknik analisis data kualitatif. Teknik analisis kualitatif dilakukan dengan tahap-tahap seperti reduksi data, penyajian data dan menarik kesimpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perubahan Nilai dan Norma Perkawinan Antarstrata Sosial Pada Masyarakat Sasak di Desa Suwangi Kecamatan Sakra Kabupaten Lombok Timur
1. Data Hasil Wawancara
Perubahan Nilai dan Norma Perkawinan Antarstrata Sosial Pada Masyarakat Sasak di Desa Suwangi
Terjadinya perubahan dalam kehidupan sosial budaya ditandai dengan adanya perubahan zaman yakni ditandai dengan akulturasi dan inflasi budaya yang salah satunya adalah perubahan pada nilai dan norma perkawinan antarstrata sosial di Desa Suwangi. Berikut hasil wawancara dengan salah satu tokoh adat, dan diperkuat dengan wawancara dengan narasumber (yang melakukan perkawinan antarstrata sosial:
Informan (tokoh adat)
Menurut informan perkawinan antarstrata sosial yang dahulu dengan sekarang sudah banyak mengalami perubahan, yang membuatnya berbeda adalah pada tata cara perkawinan yang dilakukan. Berikut hasil wawancara: “Perubahan yang terjadi dalam
perkawinan antarstrata pada saat
sekarang ini bisa dilihat dari prosesi
nyongkolannya. Jika pada masyarakat
dahulu, apa yang menjadi ketentuan
adat tidak bisa dilanggar, karena
perempuan bangsawan menikah
dengan laki-laki jajarkarang, maka
turun strata sosialnya, sehingga dalam
nyongkolan baik nyongkolan dengan
diarak ke rumah perempuan baik
nyongkolan pada lingkugan rumah
laki-laki jajarkarang. Namun pada
masyarakat sekarang ini, mulai terjadi
perubahan, dimana banyak yang
melakukan nyongkolan meskipun
nyongkolan tersebut dilaksanakan
pada lingkungan rumah laki-laki
jajarkarang. Perubahan juga terlihat
pada atribut yang digunakan dalam
prosesi nyongkolan, pakaian banyak
yang dimodifikasi, banyak laki-laki
memakai kaos oblong, sepatu ket,
baju, dodot, sapuk digunakan
sembarang, pada perempuan baju
kebaya dan lambung dimodifikasi.
Mana juga banyak yang memakai
music kecimol sambil joget-joget.
Dalam adat Sasak yang sesungguhnya
kan itu tidak benar dan tidak baik.”1
Pernyataan informan di atas menggambarkan bahwa perkawinan antara kaum bangsawan dengan kaum
jajarkarang sudah mulai berubah. Perubahan ditandai dengan berubahnya tata cara perkawinan yang
1
Wawancara dengan tokoh adat tanggal 29 Juli 2015
dilakukan masyarakat Suku Sasak, Hal tersebut dilihat dari prosesi merariq
adat Sasak, yang paling signifikan adalah dalam prosesi nyongkolan.
Faktor-faktor yang Membuat Laki-laki dan Perempuan Bangsawan Menikah dengan Orang yang Berbeda Status Sosial (Jajarkarang)
Faktor sehingga perkawinan antarstrata sosial bisa terjadi karena adanya unsur kemeleq mesak (kemauan sendiri).
Subyek (Baiq Irma)
“Faktor yang membuat saya mau
menikah dengan orang jajarkarang
dari diri pribadi saya karena saya
mencintainya dan menginginkan dia
menjadi suami saya. Saya dan dia
sudah lama saling mengenal,
meskipun komunikasi antara kami
tidak terlalu sering. Kami pacaran
diam-diam, agar keluarga saya tidak
mengetahuinya. Tetapi ketika saya
memutuskan untuk memilih dia
keluarga tidak menentang hal
tersebut.”2
Berdasarakan penjelasan subyek di atas, faktor sehingga perkawinan antarstrata sosial bisa terjadi karena adanya unsur kemeleq mesak (kemauan sendiri) dari kaum bangsawan. Kaum bangsawan dengan penuh keyakinan memilih kaum
jajarkarang sebagai pasangannya,
tanpa ada paksaan dan tekanan dari pihak lain. Perkawinan yang terjadi antara orang bangsawan dengan orang
jajarkarang, baik laki-laki bangsawan dan perempuan bangsawan semua atas dasar keinginan sendiri, pilihan sendiri, dan faktor cinta.
Sanksi yang Diterima Ketika Melakukan Perkawinan Beda Strata Sosial
Pada perkawinan antarstrata antara masyarakat bangsawan dengan orang biasa (jajarkarang) di Lombok, akibat dari perkawinan ini berdampak baik bagi dirinya sendiri maupun berdampak pada keluarganya.
2
Wawancara dengan Baiq Irmayanti tanggal 12 Juli 2015
Terutama pada perempuan bangsawan yang menikah dengan laki-laki
Jajarkarang. Dampak pada dirinya berupa pengucilan dari keluarga besarnya, hilangnya hak waris, bahkan perempuan bangsawan tersebut bisa dibuang dan tidak akan dianggap sebagai anggota keluarga lagi sampai kapanpun. Namun hal tersebut sudah tidak ditemukan dalam perkawinan antarstrata sosial di Desa Suwangi. Subyek (Baiq Irma)
“Ketika tiang memutuskan menikah dengan suami tiang yang jajarkarang,
mengenai hak waris tetap tiang dapat,
dari pihak keluarga tiang tidak
memberikan sanksi berupa pemutusan
hak waris.”3
Berdasakan pernyataan subyek di atas, pada perkawinan antarstrata sosial yang terjadi pada masyarakat sekarang ini, menengenai pemutusan hak waris bagi perempuan bangsawan sudah tidak ada terjadi lagi, hal ini karena hukum pewarisan sudah mengikuti hukum waris secara Islam.
3
Keluarga tidak memberikan sanksi seperti itu lagi, karena hak waris merupakan hak individu itu sendiri, jadi pekawinan yang terjadi tidak menghalangi perempuan tersebut untuk mendapatkan hak warisnya. Sedangkan pada laki-laki bangsawan, dari masa lampau sampai sekarang ini, terkait perkawinan antarstrata sosial yang mempengaruhi hak warisnya tidak ada yang bisa mengganggu gugat. Karena pada dasarnya laki-laki bangsawan akan tetap medapat hak warisnya meskipun menikah dengan siapapun.
2. Data Observasi
Kegiatan observasi ini dilaksanakan pada tanggal 2 sampai dengan 27 Juli 2015. Berdasarkan data observasi yang di dapatkan menunjukkan bahwa, pada perkawinan antarstrata sosial pada masyarakat Suwangi yang melibatkan kaum bangsawan dengan kaum jajarkarang
mengalami perubahan dalam nilai dan normanya. Adapun kegiatan yang diobservasi oleh peneliti yang berkaitan dengan perubahan nilai dan
norma perkawinan antar golongan sosial pada masyarakat Sasak di Desa Suwangi Kecamatan Sakra Kabupaten Lombok Timur dirincikan sebagai berikut antara lain:
Prilaku Pasangan yang Menikah Antarstara Sosial
Berdasarkan pengamatan dari tanggal 2 sampai dengan 27 Juli 2015, di dalam rumah subyek, mengamati bagaimana interaksi antara pasangan suami istri di dalam lingkungan keluarganya, berdasarkan pengamatan, dalam interaksi sesama pasangan dan keluarga sudah menunjukan bahwa antara mereka sudah biasa saja, tidak ada menujukan perbedaan. Mereka seakan menyamakan kedudukan antara suami istri. makan besama satu meja, makanan diletakkan satu nare pesajik
ketika narasumber menceritakannya sendiri.
Istri yang seorang baiq dengan kedudukannya lebih tinggi tidak segan untuk berbaur dengan keluarga suaminya yang jajarkarang. Perempuan baiq tersebut tidak merasa gensi untuk membantu keluarga suami bekerja di sawah, Interaksi yang di tunjukan terlihat sudah sangat terbuka, berdasarkan pengamatan, perempuan baiq mau membaur dan bersenda gurau bersama keluarga sembari menonton tv.
Salah satu subyek yang masih tinggal dengan mertua, dimana laki-lakinya merupakan orang jajarkarang
dan perempuannya baiq, laki-laki tersebut menunjukan bahwa di dalam keluarga perempuan sudah terbuka, sampai menerima laki-laki jajarkarang
yang menjadi suami anaknya tinggal bersama mereka. Ketika mereka makan juga sudah tidak terlihat adanya kesenjangan antara orangtua, anakdan menantu, mereka makan bersama dalam satu nare pesajik (nampan), sehingga kekakuan pada prilaku serta
interksi antara mereka semua sudah tidak ada.
Bahasa yang Digunakan Dalam Berkomunikasi di Dalam Keluarga dan Masyarakat
Pada pasangan yang melakukan perkawinan beda strata sosial, berdasarkan pengamatan, di lihat bahwa dalam berkomunikasi di dalam keluarga sudah mengalami perubahan, hal ini ditunjukan dari bahasa yang digunakan untuk berbicara sehari-hari, dari keseluruhan informan dilihat bahwa, dalam berbica mereka menggunaka bahasa Sasak jamak ( biasa). Bahkan tidak sedikit yang menggunakan bahasa Indonesia.
Bahasa Sasak jamak merupakan bahasa Sasak yang tidak terpaku pada pembahasaan yang kental dan benar-benar halus. Dan hal ini terlihat pada keluarga jajarkarang maupun bangsawan. Bahasa halu yang benar-benar halus seperti pada zaman-zaman dahulu sudah banyak yang tidak mengunakan lagi.
dengan bahasa Sasak, akibat dari pengaruh bahasa Indonesia yang sudah meluas di daerah-daerah Lombok khususnya Desa Suwangi, gaya dan nada bicara juga terlihat ada perbedaan, dari pengamatan, terlihat bahwa ketika berbicara gaya dan nada antara pasangan suami istri sudah biasa saja.
PEMBAHASAN
Perubahan Nilai dan Norma Perkawinan Antarstrata Sosial Pada Masyarakat Sasak di Desa Suwangi
Untuk melihat perubahan nilai perkawinan antarstrata sosial pada masyarakat Sasak di Desa Suwangi bisa dilihat dalam prosesi perkawinannya mulai dari prosesi
midang sampai dengan prosesi baliq lampak nae, dimana ada nilai yang berbeda antara nilai sebelum dan nilai sesudah, perbedaan yang terjadi inilah yang menunjukan adanya perubahan itu sendiri. Sedangkan perubahan norma bisa dilihat dari perubahan berprilaku, berbahasa dan berbicara,
berpakaian, dan cara bekerja, dari norma yang sebelumnya terjadi dalam masyarakat ke norma sesudah terjadi perubahan.
Perubahan nilai yang terjadi pada prosesi perkawinan adat Sasak, sesungguhnya perubahan tersebut terjadi karena adanya pengaruh dari budaya lain, seperti budaya Bali dan Jawa. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa prosesi, seperti prosesi
memaling (dicuri) diganti dengan melamar, yang sebagian besar merupakan cara yang dilakukan oleh orang jawa untuk meminang perempuan yang dicintai. Peniruan juga terjadi pada adat Bali, ini dilihat dari cara memodifikasi pakaian adat Sasak yang digunakan pada saat
nyongkolan, hal ini bisa dilihat dari sanggulan kepala mempelai wanita yang banyak menggunakan sanggulan campuran antara Bali dan Lombok, dilihat dari penggunaan pakaian pengantin perempuannya, yang dari cara pemasangan kain, bebet/kemben
pengantinnya, banyak menggunakan kain kotak-kotak hitam-putih ciri khas orang Bali, ada juga yang menggunakan pakain warna putih dengan sapuk warna kuning, hal ini merupakan ciri-ciri orang Bali.
Terkait banyak masyarakat Sasak yang mulai meniru dan mencoba pada masa sekarang ini, hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan Setiadi (2007: 41) ia mengatakan bahwa, perkembangan zaman mendorong terjadinya perubahan-perubahan disagala bidang, temasuk dalam hal kebudayaan. Mau tidak mau kebudayaan yang dianut suatu kelompok atau masyarakat budaya akan bergeser. Dari keadaan sebelum dan sesudah yang dilihat Dari prosesi perkawinan pada masyarakat Suku Sasak, adanya perubahan dalam prosesi perkawinan disebabkan juga oleh adanya faktor asimilasi. Asimilasi ini merupakan pembauran dua kebudayaan menjadi satu yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk suatu kebudayaan baru. Hal ini ditegaskan oleh Koentjaraningrat
tersebut merupakan keadaan dimana masyarakat Sasak sudah mengikuti gaya hidup modern masyarakat lainnya yang ada di Indonesia maupun di luar Indonesia, yang ditiru dari berbagai macam cara. Terkait perubahan tersebut, senada dengan apa yang dikemukakan oleh Sunarto (2004:207) ia menjelaskan perubahan merupakan transisi dari keadaan trdisional ke modernitas melibatkan revolusi demografi yang ditandai dengan menurunnya ukuran dan pengaruh keluarga, terbukanya sistem stratifiksi, peralihan dari struktur feodal atau kesukuan ke birokrasi, meningkatnya pengaruh agama, beralihnya fungsi pendidikan dari keluarga dan komunitas ke sistem pendidikan formal, munculnya kebudayaan massa. Defenisi lain serupa juga dikemukakan oleh Somardjan (1962:379) ia juga menjelaskan bahwa perubahan-perubahan pada lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok
Faktor-fakor yang Membuat Laki-laki dan Perempuan Bangsawan Menikah dengan Orang yang Berbeda Status sosial (Jajarkarang)
Penjelasan dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sesungguhnya sejalan dengan perkawinan antarstrata sosial yang dilakukan oleh seorang dari golongan bangsawan dengan seorang dari golongan jajarkarang. Mereka melakukan perkawinan atas dasar satu hati. Merasa ada kecocokan satu sama lainnya, meskipun antara mereka memiliki perbedaan dalam strata sosial. Hal tersebut tidak dijadikan masalah lagi, yang terpenting mereka menikah atas dasar suka sama suka dan pernikahan yang mereka lakukan bisa mewujudkan tujuan dari perkawinan itu sendiri. Selain itu juga, perkawinan merupakan ikatan yang kuat (antara laki-laki dan perempuan) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Kaum bangsawan yang menikah
(merariq) dengan kaum jajarkarang
menilai perkawinan yang mereka lakukan sudah benar secara agama,
meskipun secara hukum adat dipersalahkan. Perempuan bangsawan lebih berlandaskan agama karena secara agama menikah dengan laki-laki dari golongan manapun tidak masalah, asal seiman.
Meskipun dalam hukum adat perkawinan antrakelas sosial dianggap melanggar aturan adat yang ada, namun hal tersebut tidak mengurangi tekad perempuan bangsawan untuk memilih laki-laki jajarkarang. Hukum yang lebih baik dan pantas adalah hukum bersumber dari Tuhan, yang mana sudah menjadi aturan dan ketentuan Tuhan, sehingga segala perbuatan manusia Tuhanlah yang berhak mengadili. Perkawinan antarstrata sosial yang terjadi pada masyarakat Sasak sekarang ini, banyak didasari oleh keinginan sendiri, dengan upaya untuk mendapatkan hak-haknya sebagai individu. Setiap orang berhak atas dirinya dan kehidupannya. Namun harus disadari perkawinan antarstrata sosial yang melibatkan perempuan bangsawan dengan laki-laki
perkawinan laki-laki bangsawan dengan perempuan jajarkarang dan pada masyarakat Sasak yang sekufu
(segolongan).
Jadi, jelas terlihat bahwa faktor yang membuat laki-laki dan perempuan bangsawan mau menikah dengan orang jajarkarang adalah karena adanya kemauan sendiri (kemeleq mesak), pilihan sendiri, atas dasar perasaan sayang dan cinta, tanpa adanya paksaan dan tekana dari pihak luar. Kaum bangsawan berani untuk memperjuangkan hak dan perasaannya sendiri, hal ini yang membuat semakin banyak masyarakat Sasak yang menikah di luar kelas sosialnya.
Sanksi yang Diterima Ketika Melakukan Perkawinan Beda Strata Sosial
Dalam perkawinan antarstrata sosial pada masyarakat Suku Sasak, ada kewajiban dan hak yang dimiliki dan jika kewajiban itu dilanggar ada hak yang tidak didapatkan. Kewajiban seorang dalam kelas sosial misalnya seorang perempuan bangsawan harus selalu mampu menjaga garis
kebangsawanannya agar tetap ada pada keturunananya, tidak terjadi penurunan status sosial pada dirinya karena menikah dengan laki-laki jajarkarang, harus bisa menjaga garis kekerabatan bangsawannya. Sedangkan hak yang tidak didapatkan adalah, dalam keluarga perempuan bangsawan punya hak untuk selalu dianggap sebagai anggota keluarga, tidak adanya pemutusan tali kekeluargaan, hak dalam pewarisan keluarga. Namun karena adanya perkawinan antarstrata sosial mengakibatkan kewajiban dilanggar dan haknya sendiri bisa hilang. Ketentuan tersebut sudah diatur dalam hukum adat yang berlaku dalam daerah yang menggunakan hukum adat itu sendiri.
warisan dalam aturan adat Suku Sasak, salah satunya jika seorang bangsawan (Baiq) yang menikah dengan laki-laki
jajarkarang tidak lagi menjadi ahli waris dan berhak untuk tidak diberikan warisan karena menurut hukum adat dia yang meninggalkan warisan. Dalam pelaksanaanya tidak sekufu, aturan adat ini masih ada yang menggunakan. Adapun Masyarakat yang sudah sadar betul dengan hukum agama meskipun anaknya menikah dengan jajarkarang dia tetap diberikan warisan karena dia merupakan ahli waris menurut hukum Islam dan berhak untuk menuntut waris. Walapun seorang perempuan bangsawan menikah dengan laki-laki
jajarkarang namun perempuan tersebut tetap mendapat warisan dari orang tuanya. Para ahli waris akan dibagikan warisan secara Islam walaupun mereka mengetahui bahwa secara adat, yang menikah dengan
jajarkarang tidak berhak mendapat warisan.
Selain berdampak pada pewarisan, perkawinan antarstrata sosial juga berdampak kepada
hubungan sosial keluarga dan hubungan sosial dengan masyarakat. Dalam hubungan sosial dengan keluarga, perempuan bangsawan yang menikah dengan laki-laki jajarkarang
akan menerima perlakuan yang kurang mengenakkan. Kurang mengenakan dalam artian, perempuan bangsawan yang menikah di luar kelas sosialnya akan mendapat hukuman secara adat, hukuman bisa dari suatu yang kecil misalnya pengucilan, sampai dengan suatu yang besar yaitu perempuan tersebut akan dibuat (teteteh) dalam pergaulan dan susunan di dalam keluarga. Namun pada masyarakat dewasa ini, sudah mulai terlihat adanya perbaikan kedudukan perempuan bangsawan dalam kehidupannya, seperti yang dijelaskan di atas, sanksi lambat laun banyak yang tidak digunakan lagi.
keluarga bangsawan. Perkawinan antarstrata sosial tidak dijadikan suatu permasalah yang besar. Dari tidak adanya sanksi yang diterima, menjelaskan bahwa perubahan nilai dan norma perkawinan antarstrata sosial memang benar-benar terjadi, tanpa dipungkiri masyarakat Suwangi pada masa sekarang ini sudah menerima perubahan yang terjadi di dalam kehidupan mereka.
PENUTUP Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dalam masyarakat Suwangi pada saat sekarang ini, sudah banyak terjadi perubahan nilai dan norma dalam perkawinan antarstrata sosial. Perubahan nilai dan norma ditandai dengan berubahnya prosesi semakin terbukanya sistem stratifikasi sosial pada kehidupan masyarakatnya. Nilai dan norma adat pada masyarakat bangsawan lambat laun mengalami perubahan seiring berbagai macam perubahan sosial yang terjadi dalam
kehidupan. Masyarakat di Desa Suwangi mulai bisa menerima perubahan-perubahan yang terjadi, dimana perubahan tersebut juga berdampak pada sistem perkawinannya.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, suharsimi, 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Darmansyah, dkk. 1986. Ilmu Sosial Dasar. Surabaya: Usaha Nasional
James, M. Heslin. 2007. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi. Jakarta: Gelora Aksara Pratama
Kuswandaru. 2013. Pelaksanaan Perkawinan Adat Merariq Suku Sasak di Lombok Nusa Tenggara Barat dalam Perspektif Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia
Koentjaraningrat. 1996. Pengantar Antropologi Sosial. Jakarta: PT Rineka Cipta
Meleong. Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Rosda Karya
Mulyaningsih, Linda. 2009. Perkawinan Antar Bangsawan dan Orang Kebanyakan Serta Implikasinya Terhadap Hubungan Sosial Keluarga Di Desa Kuripan Kecamatan Kuripan Kabupaten Lombok Barat. Mataram: Fkip Universitas Mataram
Nawawi, Hadari. 2005. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University press.
Setiadi, E.M. dkk. 2007. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Soekanto, Soejono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo.
Somardjan, Selo. 1962.Perubahan sosial di Yogyakarta. Editor Rena Asri. Yogyakarta. Aksara Pratama
Sunarto, Kumanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Peneliti Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia