• Tidak ada hasil yang ditemukan

Depresi Pada Pasien Kanker Payudara Depresi merupakan bagian dari gangguan mood yang ditandai dengan hilangnya perasaan akan kendali diri dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Depresi Pada Pasien Kanker Payudara Depresi merupakan bagian dari gangguan mood yang ditandai dengan hilangnya perasaan akan kendali diri dan"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

2 Depresi Pada Pasien Kanker Payudara

Depresi merupakan bagian dari gangguan mood yang ditandai dengan hilangnya perasaan akan kendali diri dan pengalaman subjektif akan adanya penderitaan berat. Pasien depresi mengalami penurunan mood yang dapat disertai dengan beberapa gejala, seperti kehilangan energi dan minat, merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilang nafsu makan, dan muncul pikiran mengenai kematian atau ide bunuh diri. Tanda dan gejala lain dari gangguan depresi adalah penurunan tingkat aktivitas, kemampuan kognitif, pembicaraan, dan fungsi vegetatif, seperti tidur, nafsu makan, aktivitas sosial, dan irama biologis lainnya (Kaplan, Sadock, dan Grebb, 2010). Berdasarkan data WHO tahun 2010, kanker merupakan salah satu penyebab utama kematian global dengan angka mencapai 13% (7,4 juta) dari semua kematian setiap tahunnya. Menurut Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS), jenis kanker tertinggi yang diidap oleh pasien rawat inap di RS seluruh Indonesia tahun 2008 adalah kanker payudara sebanyak 18,4%, disusul kanker leher rahim 10,3%. (tribunnews, 2010). Usia terserang kanker pun kini menjadi lebih muda. Di Indonesia, sekitar 30% pasien yang terkena kanker payudara berusia kurang dari 40 tahun (Mayasari, 2013).

Kanker payudara disebabkan karena perkembangan jaringan secara abnormal yang dapat terjadi pada bagian lobus (kelenjar yang memproduksi susu) atau pada pembuluh yang menyalurkan susu dari lobus ke puting payudara. Abnormalitas ini dapat disebabkan oleh banyak faktor, seperti usia (sekitar 60% kanker payudara terjadi pada usia di atas 60 tahun), riwayat kanker dalam keluarga, gen bawaan (p53, BARDI, BRCA3, dan Noey2), ketidakseimbangan hormon reproduksi, belum pernah hamil dan atau menyusui, pemakaian pil KB atau terapi estrogen, obesitas, konsumsi alkohol, serta terpapar pada zat-zat yang bersifat karsinogenik (Abdullah, 2011).

Sel-sel kanker merupakan salah satu hasil perkembangan jaringan-jaringan abnormal yang bersifat tidak menyebar (non-invasif) atau menyebar (invasif). Sel kanker non-invasif (in situ) berkembang hanya di sekitar bagian lobus atau pembuluh dan tidak menyebar ke jaringan lain yang normal atau bagian tubuh selain payudara. Sel-sel kanker yang bersifat invasif akan menyerang jaringan lain, bahkan bagian lain tubuh selain payudara melalui darah dan getah bening. Bila sel kanker telah menyebar ke organ tubuh lain, disebut kanker payudara metastatik (breastcancer.org, 2013).

(2)

3 Depresi dan kanker merupakan komorbid yang seiring sejalan. Telah banyak penelitian yang menunjukkan kaitan antara depresi dan kanker, seperti yang telah terangkum dalam tabel 1 :

Tabel 1. Temuan Penelitian tentang Kaitan Kanker dengan Depresi

No Hasil Sumber

1  Penelitian longitudinal menunjukkan 50% wanita yang mengidap kanker payudara tahap awal mengalami depresi dan anxietas selama satu tahun setelah didiagnosis

 Jumlah subjek yang mengalami depresi menurun tiap tahunnya, namun pada tahun kelima, 15% klien masih mengalami depresi

Burgess, Cornelius, Lovem Graham, Richards & Ramirez (2005)

2 Sebanyak 42% pasien yang telah mengidap kanker payudara dengan rata-rata waktu 3,1 tahun menunjukkan skor depresi menengah hingga berat

 Bower (2008)

 Rabin, Heldt, & Hirakata (2009)

3 Sebanyak 43,4% survivors kanker payudara mengalami depresi tingkat menengah dan 34,7% mengalami depresi tingkat berat

Frazzeto, Vacante, Malaguarnera, Vinci, Catalano, Cataudella, & Drago (2012)

4 Simtom-simtom depresi lebih banyak dialami pasien berusia muda dan belum menikah

 Reyes-Gibby, Anderson, Morrow, Shete, & Hassan (2012)

 Bardwell & Fiorentino (2012)

5 Depresi berat dialami sebesar 60,7% pada pasien kanker payudara dengan lama waktu diagnosis ditegakkan ≤1 tahun dan 37,9% pada pasien dengan stadium III, dan 53,8% pada pasien yang telah menjalani kemoterapi serta operasi (penelitian di RS Margono Soekarjo, Purwokerto)

 Setyaningsih, Wijayana, & Suharmilah (2012)

Teodora, Ianovici, dan Bancila (2012) mengemukakan depresi pada pasien kanker merupakan kontribusi dari berbagai aspek, yaitu (1) terkait penyakit (lama diagnosis, tingkat keparahan, prognosis yang buruk, rasa sakit), (2) pasien (ketakutan akan rasa sakit, mati, kehilangan kontrol dan kemandirian, merasa tidak berdaya), (3) penanganan (efek samping terapi, lamanya waktu penanganan, perawatan berulang, mahalnya biaya), dan tim medis (kurangnya komunikasi dan informasi). Salah satu aspek yang cukup mempengaruhi kondisi emosional pasien adalah efek samping dari penanganan medis. Pengobatan medis untuk kanker dapat mempengaruhi sistem metabolisme tubuh yang berdampak pada aspek psikologis.

(3)

4 Kemoterapi, sebagai bentuk terapi kanker yang paling sering diberikan, memiliki efek samping terbesar, yaitu fatigue. Fatigue merupakan rasa lelah yang menetap, tidak biasa, dan berlebihan yang dialami oleh tubuh, yang tidak berhubungan dengan jumlah aktivitas atau tenaga yang dikeluarkan, dan tidak bisa tertangani dengan istirahat ataupun tidur (Roscoe, Morrow, Hickok, Bushunow, Matteson, Rakita, & Andrews, 2002). Beberapa penelitian menunjukkan para wanita dengan kanker payudara yang menjalani kemoterapi sebanyak 26-60% mengalami fatigue tingkat menengah hingga parah, simtom-simtom depresif (20-39%), insomnia (79%), dan tidak mampu untuk beraktivitas (40-74%) (Heather, Small, Faul, Franzen, Apte, & Jacobson, 2011). Fatigue dapat mempengaruhi irama sirkadian dalam tubuh individu sehingga dapat menimbulkan simtom-simtom, seperti gangguan tidur, sulit berkonsentrasi, iritabilitas, sakit kepala, dan kehilangan selera makan (Roscoe et al., 2002). Fatigue merupakan kondisi yang sangat menimbulkan stres pada pasien dan dapat menurunkan kualitas hidup, karena mempengaruhi kemampuan pasien untuk bekerja, bersosialisasi, dan menikmati kehidupan (Heather et al., 2011).

Kemoterapi dapat menghambat produksi neurotransmitter, seperti serotonin, norephineprin, domapin, dan GABA (European Society for Medical Oncology/ESMO, 2009). Serotonin berperan untuk mempengaruhi mood, hasrat, serta berperan dalam fungsi memori, norephinephrin berperan pada fungsi kesadaran (untuk membuat tubuh dan otot tetap fokus), dan dopamine berperan pada proses berpikir dan motivasi. Penurunan ketiga neurotransmitter tersebut dapat menurunkan fungsi kognisi, afeksi, dan motivasi pada individu, yang sering kali ditemukan pada pasien depresi. Penelitian menunjukkan rendahnya kadar norepinephrine pada pasien depresi dan serotonin pada pasien berhubungan dengan meningkatnya perilaku impulsif dan tindak kekerasan (Ainsworth, 2000). Penurunan fungsi emosi pun membuat pasien menunjukkan simtom-simtom anxietas, ketidakmampuan untuk menikmati kesenangan, dan mengalami penurunan kualitas hidup (ESMO, 2009).

Tidak hanya neurotransmitter, kemoterapi dapat mengganggu fungsi hormonal, seperti menurunnya kadar estrogen secara drastis, yang biasanya ditandai dengan menopause dini. Rendahnya tingkat hormon estrogen dalam tubuh dapat

(4)

5 mengakibatkan penurunan atau ketidakstabilan mood pada wanita sehingga lebih rentan mengalami depresi (Ainsworth, 2000).

Efek lain dari terapi pengobatan kanker adalah gangguan fungsi koordinasi gerak (neuropathies) yang biasanya diakibatkan oleh pengobatan untuk kanker tahap lanjut. Gangguan fungsi koordinasi gerak dapat terjadi pada tubuh bagian atas (seperti : tidak mampu mengangkat gelas, memegang pensil, mengancingkan baju) atau tubuh bagian bawah (seperti : tidak mampu berjalan atau naik tangga tanpa bantuan) (ESMO, 2009). Pada kanker payudara tahap awal, terapi hormon menghambat penyerapan kalsium sehingga tulang menjadi tipis, rapuh, dan rentan osteoporosis, bahkan muncul rasa nyeri berulang pada persendian (Breast Cancer Network Australia (BCNA), 2011). Gangguan ini biasanya menghambat pasien dalam beraktivitas sehari-hari.

Pasien kanker payudara pun mengalami gangguan dalam hubungan seksual mereka. Mastektomi akan menciptakan body image negatif pasien akan keutuhan tubuhnya sebagai wanita (Christie, Meyerowitz, & Maly, 2010) dan juga menurunkan kepercayaan diri pasien (Frazetto et al., 2012). Tidak hanya kehilangan payudara, kehilangan rambut (rontok) dan penurunan berat badan juga dapat mempengaruhi body image pasien wanita (Rabin, Heldt, Hirakata, Bittelbrunn, Chachamovich, & Marcelo, 2009). Fatigue, sebagai akibat dari kemoterapi, serta kekeringan vagina, dan menopause prematur dikarenakan penurunan kadar estrogen dan progesteron akibat terapi hormon, membuat mereka sulit merasa terangsang dan nyeri saat berhubungan (Christie et al., 2010), yang akhirnya turut berperan menurunkan tingkat libido seksual. Depresi pada pasien kanker dapat mempengaruhi kualitas hidup maupun prognosis kesembuhan. Rabin et al., (2009) menyatakan bahwa rendahnya skor kepuasan hidup berasosiasi dengan kehadiran simtom-simtom depresi. Rendahnya kepuasan hidup pasien akan menimbulkan persepsi negatif pasien akan kondisi, penanganan, maupun orang yang merawat mereka (caregiver) (Dasey, 2000., Rabin et al., 2009). Pesimisme pada pasien kanker payudara menurunkan perilaku hidup sehat, seperti menunda mencari pengobatan, tidak mengikuti aturan medis, bahkan meningkatkan perilaku berisiko (Kricker, Price, Butow, Goumas, Armes, & Armstrong, 2009). Depresi juga dapat meningkatkan persepsi pasien akan rasa sakit, menurunkan sensitivitas akan khasiat pengobatan, memperpanjang waktu inap di

(5)

6 rumah sakit (Chintamani, Khandelwal, Tandon, Jain, Kumar, & Narayan, 2011), dan dapat merujuk pada ide atau tindakan bunuh diri (Chintamani et al., 2011., Teodora et al., 2012) diakibatkan timbulnya perasaan-perasaan, seperti tidak berdaya, kehilangan harapan, mempersepsikan penyakit sebagai suatu hukuman, dan menganggap diri mereka sebagai beban bagi orang lain (Teodora et al, 2012).

Kricker et al (2009) menyatakan stres pada pasien kanker payudara dapat menurunkan imunitas tubuh dan mengganggu fungsi kelenjar endokrin, yang dapat meningkatkan ukuran sel kanker. Hal ini disebabkan saat individu mengalami stres, hipotalamus melepaskan hormon adrenocorticotropic (ACTH) yang mendorong kelenjar adrenal memproduksi glucorcotiroid yang menghasilkan hormon kortisol; sering disebut juga sebagai hormon stres. Terlalu tingginya kadar hormon kortisol dalam tubuh dapat mengganggu sistem metabolisme glukosa, meningkatkan reaksi stres, dan menurunkan imunitas tubuh (Ainsworth, 2000). Penelitian Reyes-Gibby et al (2012) menunjukkan bahwa pasien kanker payudara yang mengalami depresi lebih banyak melaporkan simtom-simtom, seperti konstipasi, diare, fatigue, mual dan muntah, nyeri, dyspnea, insomnia, dan kehilangan selera makan, dibandingkan pasien kanker payudara yang tidak mengalami depresi.

Behavioral Activation (BA) sebagai Penangan Depresi

Dampak depresi yang mengganggu proses penyembuhan dan mempengaruhi kualitas hidup pasien kanker perlu mendapatkan penanganan. Sayangnya, masih banyak instansi kesehatan yang belum menyediakan penanganan psikologis untuk pasien kanker. Pengobatan depresi lebih banyak ditekankan pada farmakologi, yang dikhawatirkan dapat memperburuk efek samping pengobatan medis. Untuk itu, peneliti mengajukan teknik penanganan depresi untuk pasien kanker payudara yang bernama Behavioral Activation.

Behavioral Activation (yang selanjutnya akan disingkat menjadi BA) merupakan salah satu teknik yang berasal dari pengembangan terapi perilaku yang dikembangkan berdasarkan konsep depresi Lewinsohn, yaitu depresi terjadi karena berkurang atau menghilangnya penguat positif terhadap perilaku. Berdasarkan prinsip Lewinsohn, peristiwa-peristiwa negatif yang terjadi pada individu akan menimbulkan

(6)

7 respons emosional yang tidak menyenangkan dan kecenderungan individu akan didominasi oleh usaha untuk menghindari dan melarikan diri dari kondisi emosi tersebut (emotional-focused coping), yang disebut sebagai perilaku menghindar. Bila individu bertahan dengan perilaku menghindar, masalah akan bertambah parah dan menurunkan penguat positif sehingga tercipta siklus depresi Untuk memutus siklus tersebut, individu diharapkan beralih pada problem-focused coping dengan cara terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang menyenangkan, produktif, dan memberikan penguat positif. Dalam BA, terdapat berbagai strategi yang membuat klien kembali aktif, seperti membuat target aktivasi, pengawasan aktivitas, dan asesmen prinsip hidup, tak lupa melibatkan orang-orang terdekat klien (Kanter, Manos, Busch, & Rusch, 2009).

Terdapat beberapa alasan mengapa BA dapat menjadi terapi yang efektif bagi pasien kanker. Berikut ini merupakan keunggulan-keunggulan BA untuk menangani depresi pada pasien kanker, yaitu (1) memiliki komponen sederhana dan fleksibel, (2) dapat dijalankan dalam waktu singkat, (3) efektivitas setara dengan terapi lain yang lebih kompleks, (4) sesuai dengan kondisi pasien kanker tahap diagnosis awal, (5) fokus pada aktivitas fisik, dan (6) meningkatkan kualitas hidup pasien.

Pasien kanker biasanya memiliki kondisi fisik yang rentan diakibatkan oleh penyakit, efek pengobatan, dan ditambah oleh kondisi depresi, sehingga terapi dianjutkan tidak membebani dan tidak berlangsung terlalu lama (Frazzeto et al., 2012). BA memiliki komponen yang sederhana dan fleksibel sesuai dengan kondisi klien dengan durasi yang relatif singkat namun mampu memberikan hasil yang optimal. Penelitian-penelitian sebelumnya mengenai perbandingan BA dengan terapi lain menunjukkan bahwa (1) BA memiliki efektivitas setara dengan keseluruhan paket Cognitive Therapy (CT) dan dapat mencegah kekambuhan dalam tindak lanjut 2 tahun setelahnya (Hopko, Lejuez, Ruggerio, & Eifert, 2003) yang diteliti kembali oleh Coffman, Martell, Dimidjian, Gallop, & Hollon (2007) dan (2) BA memiliki performa terkuat dibandingkan paroxetine dan CT untuk menurunkan gangguan depresi mayor (Dimidjian, Hollon, Dobson, Schmaling, Kohlenberg, Addis, et al, 2006).

Kesederhanaan serta kefleksibilan komponen BA pun membuatnya mudah untuk dimodifikasi sehingga dapat diberikan pada berbagai kalangan, seperti (1) menurunkan skor Behavior Anxiety Inventory (BAI) dan the Outcome

(7)

Questionnaire-8 45 (OQ-45), serta menghilangkan ketergantungan alkohol pada veteran perang yang mengalami PTSD (Mc.Clain, 2011), (2) meningkatkan kontrol gula darah dan mood pasien diabetes tipe II yang mengalami depresi (Schneider, Pagoto, Handschin, Panza, Bakke, & Liu, 2011), (3) mengatasi anxietas dan depresi pada remaja (Chu, Colognori, Weissman, & Bannon, 2009), dan (4) meningkatkan kesejahteraan kelompok pada setting non-klinis (Mazzuchelli, Rees, & Kane, 2009). Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa BA merupakan terapi yang sangat fleksibel dan tidak harus terpatok pada kaidah-kaidah yang sangat baku. Dalam proses terapi, target-target aktivasi disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan klien sehingga tidak memberatkan. Terapi BA juga membutuhkan waktu yang relatif singkat sehingga dapat menghemat biaya terapi.

Pasien yang baru didiagnosis kanker, mereka akan berada pada fase shock yang terwujud dalam bentuk perilaku menarik diri, menangis, bahkan menyangkal mereka memiliki kanker (cancer.org). Penyangkalan akan penyakit dapat membuat proses mencari pengobatan menjadi lebih lambat. Sebanyak 60% pasien kanker baru mengambil pengobatan medis setelah kanker tahap lanjut karena menganggap biaya pengobatan mahal atau lebih memilih metode pengobatan alternatif (Panirogo, 2013). Keterlambatan pengobatan maupun pengobatan yang tidak sesuai akan memperparah prognosis kanker yang dapat berdampak pada kondisi psikologis klien. BA dapat digunakan untuk memutus siklus perilaku menghindar dan membantu pasien untuk membentuk perilaku sehat.

Gabungan antara tingkat keparahan penyakit, efek pengobatan, maupun depresi yang dialami, dapat membuat kondisi fisik pasien menurun sehingga mereka cenderung menurunkan tingkat aktivitas. Padahal aktivitas memiliki banyak manfaat untuk fisik maupun psikologis. Penelitian-penelitian mengenai manfaat aktivitas fisik bagi pasien kanker, yaitu (1) latihan fisik selama dirawat di RS berkorelasi negatif dengan gangguan anxietas dan dan depresi pada pasien kanker yang mendapatkan kemoterapi dosis tinggi dan terapi transplantasi sumsum tulang belakang (Courneya, Keats, & Turner, 2000), (2) pasien yang tidak aktif secara fisik menunjukkan skor depresi dan anxietas pada skala HADS (Hospital Anxiety Depression Scale) yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang aktif (Thorsen, Nystad, Stigum, Dahl,

(8)

9 Klepp, Bremnes, Wist, & Fossa, 2005), (3) aktivitas fisik pada pasien kanker payudara dapat meningkatkan capaian Body Mass Index (BMI) ideal, meningkatkan masukan oksigen dalam tubuh, melatih kekuatan otot, dan meningkatkan kualitas hidup (Fong, Ho, Lee, MacFarlane, Leung, et al., 2012), (4) aktivitas fisik pada pasien kanker dapat meningkatkan fungsi dan performa fisik, menurunkan fatigue, dan meningkatkan kualitas hidup (Hatchett & Bellar, 2012), dan (5) latihan aerobik secara rutin pada pasien kanker payudara meningkatkan harga diri, kekuatan otot, dan berhasil menyelesaikan kemoterapi tanpa efek samping (Ryan, 2008). Penelitian-penelitian tersebut memperkuat asumsi dasar BA bahwa peningkatan aktivitas fisik dapat meningkatkan suasana hati, dan sesuai dengan kondisi pasien kanker yang memerlukan terapi yang dapat meningkatkan aktivitas fisik.

Untuk mengetahui mekanisme BA dalam meningkatkan mood pasien, dapat dilihat dalam gambar 1 di bawah ini :

Gambar 1. Mekanisme BA Depresi :  Mood depresif  Kehilangan energi dan minat  Minder, merasa bersalah Aktivasi Perilaku menghindar BA Aktivasi Perilaku menghindar Fisiologis :  Asupan oksigen lebih banyak  Aliran darah dalam tubuh lebih lancar  Peningkatan kadar serotonin, dopamine, dan norephinephhrin  Peningkatan hormon endorphin  Penurunan kadar hormon kortisol  Organ-organ tubuh berfungsi optimal  Menurunkan fatigue  Penurunan kadar stres  Rasa senang, rileks  Rasa puas, produktif, dan

bermakna

 Lingkungan sosial sebagai sumber penguat positif

 Kegiatan dalam BA adalah kegiatan yang menyenangkan,

menimbulkan rasa puas, dan sesuai prinsip hidup

 Meningkatkan interaksi sosial 

(9)

10 BA merupakan terapi yang mengutamakan aktivitas fisik. Terdapat dua keunggulan dari beraktivitas, yaitu dari aspek fisiologis dan psikologis. Berdasarkan aspek fisiologis, aktivitas fisik terbukti meningkatkan kadar neurotransmitter, yaitu norephinephrin, ephinephin, dan serotonin (Gligoroska & Manchevska, 2012). Selain itu, aktivitas fisik dapat memicu pelepasan hormon endorfin. Pelepasan endorfin memberikan rasa rileks dan senang, serta menghalangi sinyal akan rasa sakit. Kerjasama antara endorfin, adrenalin, dan serotonin yang tercipta saat beraktivitas akan menimbulkan perasaan bahagia (Rokade, 2011). Pelepasan endorphin juga akan menghambat pelepasan hormon kortisol; hormon stres yang dapat mengganggu imunitas tubuh (Ainsworth, 2000).

Saat tubuh bergerak, jantung akan bekerja memompa darah lebih banyak untuk mencukupi kebutuhan oksigen pada tiap bagian tubuh. Kondisi ini membuat otot jantung akan menjadi lebih kuat, demikian pula dengan otot-otot tubuh yang terjaga kekuatan dan kelenturannya. Aktivitas fisik pada pasien kanker terbukti mampu meningkatkan fungsi dan performa fisik, menurunkan tingkat kelelahan (fatigue), bahkan meningkatkan kualitas hidup (Hatchett & Bellar, 2012). Aktivitas fisik juga dapat memperbaiki, bahkan meningkatkan kemampuan kognitif, karena meningkatkan aliran darah ke otak (Gligoroska dan Manchevska, 2012).

Bila tubuh berfungsi optimal secara fisik, maka psikologis pun mengikuti. Bila individu memiliki kondisi fisik yang positif maka mood pun akan positif. Tidak hanya itu, BA pun mengutamakan aspek psikologis dalam aktivasi. Aktivasi dalam BA merupakan upaya pasien untuk mendapatkan dan mempertahankan penguat positif. Sesuai dengan konsep Lewinsohn mengenai pentingnya kehadiran penguat positif untuk menurunkan perilaku depresi. Penguat positif dalam BA dihadirkan dalam bentuk aktivasi yang berfokus pada kegiatan-kegiatan yang menyenangkan, menimbulkan rasa puas, dan sesuai dengan prinsip hidup, serta kegiatan yang melibatkan interaksi sosial. Kegiatan yang menyenangkan, memberi rasa puas, dan sesuai dengan prinsip hidup dapat menciptakan rasa senang dan bermakna saat melakukannya sehingga dapat dijadikan penguat internal, sedangkan interaksi dengan

Gambar

Tabel 1. Temuan Penelitian tentang Kaitan Kanker dengan Depresi
Gambar 1. Mekanisme BA   Depresi :     Mood depresif    Kehilangan  energi  dan minat    Minder,  merasa  bersalah        Aktivasi       Perilaku           menghindar BA  Aktivasi  Perilaku  menghindar   Fisiologis :    Asupan  oksigen lebih banyak  Aliran darah dalam  tubuh  lebih lancar  Peningkatan   kadar  serotonin,  dopamine,  dan  norephinephhrin    Peningkatan  hormon endorphin    Penurunan  kadar  hormon kortisol   Organ-organ tubuh  berfungsi optimal    Menurunkan fatigue    Penurunan kadar stres    Rasa senang, rileks    Rasa puas, produktif, dan

Referensi

Dokumen terkait

Sarana, iklim sekolah dan motivasi dalam meningkatkan minat baca di SDN 82 Pattene Kecamatan Marusu Kabupaten Maros ternyata dari ketiga variabel bebas ini,

Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik konsumen yang berbelanja kebutuhan sembilan bahan pokok (sembako) di pasar tradisional dan pasar modern di

Segenap big family prodi D3 Kebidanan angkatan 2014 dibawah naungan Universitas Islam Sultan Agung Semarang yang selama 3 tahun ini banyak sekali memberikan

Pendahuluan Vagina spa merupakan perawatan daerah vagina melalui teknik penguapan dengan menggunakan ramuan tertentu, yang mempunyai manfaat merawat organ intim

Gagal jantung merupakan sindroma klinis kompleks yang disebabkan gangguan struktur dan fungsi jantung sehingga mempengaruhi kemampuan jantung untuk memompakan darah

aging terhadap karakteristik sifat fisis dan mekanis velg paduan aluminium A356 produk OEM ternama. Hasil penelitian menginformasikan bahwaketangguhan impak

Relai ini akan memberikan perintah pada PMT pada saat terjadi gangguan hubung singkat dan besarnya arus gangguan melampaui pengaturannya (Is), dan jangka waktu kerja relai

Struktur organisasi fungsional diciptakan oleh F.W. Struktur ini berawal dari konsep adanya pimpinan yang tidak mempunyai bawahan yang jelas dan setiap atasan