• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian pajak menurut Rochmat Soemitro dalam Mardiasmo. Pengertian lain mengenai pajak menurut P.J.A. Andriani dalam Moch.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian pajak menurut Rochmat Soemitro dalam Mardiasmo. Pengertian lain mengenai pajak menurut P.J.A. Andriani dalam Moch."

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

11 2.1. Konsep, Konstruk, dan Variabel 2.1.1. Pajak

2.1.1.1. Pengertian Pajak

Pengertian pajak menurut Rochmat Soemitro dalam Mardiasmo (2011: 1):

“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.

Pengertian lain mengenai pajak menurut P.J.A. Andriani dalam Moch. Zain (2007: 10) menjelaskan bahwa:

“Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (Undang-Undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”.

Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 menjelaskan bahwa:

“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

(2)

Maka menurut penulis, pajak dapat diartikan sebagai iuran wajib yang harus dibayarkan oleh masyarakat kepada negara dengan tidak mendapat timbal balik atau imbalan secara langsung.

2.1.1.2. Fungsi Pajak

Menurut P. J. A Andriani dan Rochmat Soemitro dalam Resmi (2008: 3) mengatakan bahwa dalam pajak terkandung fungsi di antaranya:

1. Fungsi Anggaran (Budgetair)

Fungsi budgetair yaitu pajak digunakan sebagai alat untuk dapat membiayai pengeluaran negara. Pajak-pajak ini digunakan untuk dapat membiayai pengeluaran rutin dan pembangunan di dalam suatu negara. Untuk mengoptimalkan fungsi budgetair pajak pemerintah biasanya melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pemungutan pajak.

2. Fungsi Mengatur (Regulerend)

Fungsi regulerend yaitu pajak digunakan sebagai pengatur untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang sosial, ekonomi, dan lainnya dalam mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan.

Selain dua aspek di atas, adapun dua aspek tambahan, yaitu: 1). Fungsi Stabilitas

Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk mengeluarkan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan. Hal ini bisa

(3)

dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.

2). Fungsi retribusi pendapatan

Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat

2.1.1.3. Syarat Pemungutan Pajak

Menurut Mardiasmo (2011:2) agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)

Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang dan pelaksanaan pemungutan pajak harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.

(4)

2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat Yuridis) Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya.

3. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis)

Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.

4. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansiil)

Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.

5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana

Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru. 2.1.1.4. Pengelompokan Pajak

Pengelompokan pajak menurut Mardiasmo (2011: 5) adalah sebagai berikut:

1. Menurut Golongannya

1). Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

(5)

2). Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

Contoh: Pajak Pertambahan Nilai. 2. Menurut Sifatnya

1). Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.

Contoh: Pajak Penghasilan.

2). Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.

Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

3. Menurut Lembaga Pemungutannya

1). Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.

Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Bea Materai.

2). Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri atas:

(1). Pajak Propinsi, contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan bermotor.

(6)

(2). Pajak Kabupaten/Kota, contoh: Pajak Hotel, Pajak restoran, dan Pajak Hiburan.

2.1.1.5. Sistem Pemungutan Pajak 1. Official Assessment System

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.

Ciri-cirinya:

1). Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.

2). Wajib pajak bersifat pasif.

3). Utang pajak timbul setelah dikeluarkan ketetapan pajak oleh fiskus.

2. Self Assessment System

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.

Ciri-cirinya:

1). Wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada Wajib Pajak sendiri.

2). Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.

(7)

3. With Holding System

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.

Ciri-cirinya: wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak.

2.1.2. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang KUP: “Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan NPWP.”

2.1.2.1. Pengertian NPWP

Menurut Mardiasmo (2011: 25) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. 2.1.2.2. Fungsi NPWP

Menurut Mardiasmo (2011: 26) fungsi NPWP antara lain: 1. Sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak.

2. Untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan.

(8)

2.1.2.3. Pendaftaran NPWP

Menurut Mardiasmo (2011: 27) kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dibatasi jangka waktunya, karena hal ini berkaitan dengan saat pajak terutang dan kewajiban mengenakan pajak terutang. Jangka waktu pendaftaran NPWP adalah:

1. Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan, wajib mendaftarkan diri paling lambat 1 (satu) bulan setelah saat usaha mulai dijalankan. 2. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan suatu usaha atau

tidak melakukan pekerjaan bebas apabila jumlah penghasilannya tidak sampai satu bulan yang disetahunkan telah melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, wajib mendaftarkan diri paling lambat pada akhir bulan berikutnya.

3. Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP akan dikenakan sanksi perpajakan.

2.1.2.4. Sanksi NPWP

Menurut Mardiasmo (2011: 27) setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan

(9)

paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Pidana tersebut ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.

2.1.2.5. Penghapusan NPWP

Menurut Mardiasmo (2011: 28) penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak apabila:

1. Diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

2. Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha.

3. Wanita yang sebelumnya telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan menikah tanpa membuat perjanjian pemisahan harta dan penghasilan dalam hal suami dari wanita tersebut telah terdaftar sebagai Wajib Pajak.

4. Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia.

5. Dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak

(10)

memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi atau 12 (dua belas) bulan untuk Wajib Pajak Badan, sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap. Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dianggap dikabulkan.

2.1.3. Surat Pemberitahuan (SPT) 2.1.3.1. Pengertian SPT

Menurut Mardiasmo (2011: 31) Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan

2.1.3.2 Fungsi SPT

Menurut Mardiasmo (2011: 31) fungsi Surat Pemberitahuan (SPT) bagi Wajib Pajak Penghasilan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:

1. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.

(11)

2. Penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak.

3. Harta dan Kewajiban.

4. Pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1(satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan (SPT) adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:

1. Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak keluaran.

2. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Bagi pemotongan atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya.

2.1.3.3. Prosedur Penyelesaian SPT

Menurut Mardiasmo (2011: 32) prosedur penyelesaian SPT adalah sebagai berikut:

(12)

1. Wajib Pajak sebagaimana mengambil sendiri Surat Pemberitahuan di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau mengambil dengan cara lain yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Wajib Pajak juga dapat mengambil Surat Pemberitahuan dengan cara lain, misalnya dengan mengakses situs Direktorat Jenderal Pajak untuk memperoleh formulir Surat Pemberitahuan tersebut.

2. Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

3. Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan satuan mata uang selain Rupiah yang diizinkan.

4. Penandatanganan SPT dapat dilakukan secara biasa, dengan tanda tangan stempel, atau tanda tangan elektronik atau digital, yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama.

(13)

1). Untuk Wajib Pajak yang mengadakan pembukuan: Laporan Keuangan berupa neraca dan laporan rugi laba serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.

2). Untuk SPT Masa PPN sekurang-kurangnya memuat jumlah Dasar Pengenaan Pajak, jumlah Pajak Keluaran, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, dan jumlah kekurangan atau kelebihan pajak.

3). Untuk Wajib Pajak yang menggunakan norma perhitungan: Perhitungan jumlah peredaran yang terjadi dalam tahun pajak yang bersangkutan.

2.1.3.4. Pembetulan SPT

Menurut Mardiasmo (2011: 33) Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.

Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan maupun Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar,

(14)

dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratur lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.

Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai keadaan, yang dapat mengakibatkan:

1. Pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil.

2. Rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar.

3. Jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil. 4. Jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil.

Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ini beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima

(15)

puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar, harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan.

Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berada dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.

2.1.3.5. Jenis SPT

Menurut Mardiasmo (2011: 34) secara garis besar SPT dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.

2. Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.

SPT meliputi:

1. SPT Tahunan Pajak Penghasilan 2. SPT Masa yang terdiri dari:

(16)

2). SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai.

3). SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

SPT dapat berbentuk

1. Formulir kertas (hardcopy). 2. E-SPT.

2.1.3.6. Batas Waktu Penyampaian SPT

Menurut Mardiasmo (2011: 35) batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah:

1. Untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak. Khusus untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.

2. Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak.

3. Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.

2.1.3.7. Perpanjangan Jangka Waktu Penyampaian SPT

Berdasarkan Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 28 Tahun 2007

(17)

(UU KUP) jangka waktu untuk menyampaikan SPT tahunan adalah sebagai berikut:

1. Untuk SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak

2. Untuk SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.

Menurut Mardiasmo (2011: 35) pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan dibuat secara tertulis dan disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak, sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan berakhir, dengan dilampiri:

1. Penghitungan sementara pajak terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang batas waktu penyampaiannya diperpanjang.

2. Laporan keuangan sementara.

3. Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang.

Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan wajib ditandatangani oleh Wajib Pajak atau Kuasa Wajib Pajak. Dalam hal ini Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan ditandatangani oleh Kuasa Wajib Pajak, Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus.

Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan dapat disampaikan: 1. Secara langsung.

2. Melalui pos dengan bukti pengiriman surat. 3. Dengan cara lain yang meliputi:

(18)

1). Melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.

2). E-Filing melalui ASP (Application Service Provider).

Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dianggap bukan merupakan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan.

2.1.3.8. Sanksi Terlambat atau Tidak Menyampaikan SPT

Menurut Mardiasmo (2011: 36) apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar:

1. Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.

2. Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya.

3. Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan.

4. Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi.

(19)

2.1.4. Ekstensifikasi Pajak

2.1.4.1. Pengertian Ekstensifikasi Pajak

Menurut Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ.9/2001 tentang Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak adalah:

“Ekstensifikasi Wajib Pajak adalah kegiatan yang berkaitan dengan penambahan jumlah Wajib Pajak terdaftar dan perluasan Objek Pajak dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP).”

Menurut Oktaviani (2010: 2) Ekstensifikasi seharusnya sama sekali tidak membebani Wajib Pajak dengan jumlah pajak yang lebih besar dari yang seharusnya terutang berdasarkan peraturan, melainkan upaya untuk menumbuhkan kesadaran berpajak bagi mereka yang telah menerima penghasilan di atas PTKP dengan mendaftarkan diri dan memperoleh NPWP serta membayar dan melaporkan secara jujur berapa besarnya pajak terutang. Dengan adanya upaya ini, diharapkan timbul kesadaran dari masyarakat untuk mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak.

2.1.4.2. Tujuan dan Sasaran Kegiatan Ekstensifikasi

Menurut Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-13/PJ/2007 tentang Penjelasan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-175/PJ/2006 tentang tata cara pemutakhiran Objek Pajak dan Ekstensifikasi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau memiliki tempat usaha di pusat perdagangan dan/atau pertokoan, angka 1 dan 2, yaitu:

(20)

Pemberian NPWP dengan memperhatikan asas domisili, sedangkan pemenuhan kewajiban perpajakan timbul sebagai akibat pemberian NPWP tetap mengacu pada prinsip self-assessment.

2. Sasaran kegiatan ekstensifikasi.

Kegiatan ini harus dilaksanakan secara menyeluruh terhadap setiap gerai/tempat usaha yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh WPOP baik yang telah memiliki NPWP , data dan identitasnya dimutakhirkan sesuai dengan ketentuan.

2.1.4.3. Ruang Lingkup dan Jangka Waktu Pemeriksaan

Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ.9/2001 tentang Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak dan Intensifikasi Pajak angka 2 adalah sebagai berikut:

1. Pemberian NPWP dan atau pengukuhan sebagai PKP, termasuk pemberian NPWP secara jabatan terhadap Wajib Pajak PPh orang pribadi yang berstatus sebagai karyawan perusahaan, orang pribadi bertempat tinggal di wilayah atau lokasi pemukiman atau perumahan, dan orang pribadi lainnya (termasuk orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan), yang menerima atau memperoleh penghasilan melebihi batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

2. Pemberian NPWP di lokasi usaha, termasuk pengukuhan sebagai PKP, terhadap orang pribadi pengusaha tertentu yang mempunyai

(21)

lokasi usaha di sentra perdagangan atau perbelanjaan atau pertokoan atau perkantoran atau mall atau plaza atau kawasan atau sentra ekonomi lainnya.

3. Pemberian NPWP dan atau pengukuhan sebagai PKP terhadap Wajib Pajak badan yang berdasarkan data yang dimiliki atau diperoleh ternyata belum terdaftar sebagai Wajib Pajak dan atau PKP baik di domisili atau lokasi.

4. Penentuan jumlah angsuran PPh Pasal 25 dan atau jumlah PPN yang harus disetor dalam tahun berjalan, dimulai sejak bulan Januari tahun yang bersangkutan.

5. Penentuan jumlah PPN yang terutang atas transaksi penjualan dalam tahun berjalan, khususnya untuk PKP Pedagang Eceran, yang mempunyai usaha di sentra perdagangan atau perbelanjaan atau pertokoan atau perkantoran atau mall atau plaza atau sentra ekonomi lainnya.

2.1.4.4. Unit Organisasi dan Petugas Pelaksana Kegiatan Ekstensifikasi Kegiatan ekstensifikasi oleh unit organisasi dan Petugas Pelaksana Kegiatan Ekstensifikasi. Hal ini tercantum dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ.9/2001 tentang Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak dan Intensifikasi Pajak angka 3 dan 4 adalah sebagai berikut:

Angka 3, unit organisasi yang melaksanakan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak dan Intensifikasi Pajak;

(22)

1. Seksi Pengolahan Data dan Informasi (PDI) pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) serta Kantor Penyuluhan Pajak yang berada di luar kota kedudukan KPP.

2. Dalam hal kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak dan Intensifikasi Pajak dimaksudkan untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, Kepala KPP dapat menunjuk petugas pada seksi PPh, seksi PPN, dan Pajak Tidak Langsung lainnya serta seksi lainnya di KPP untuk diperbantukan pada seksi PDI dan atau Kantor Penyuluhan Pajak. 3. Khusus untuk pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak dan

Intensifikasi Pajak dalam tahun 2001, dilakukan oleh Tim atau Satuan Tugas yang dikoordinir oleh Kepala KPP dengan pengarahan dan pengawasan oleh Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) DJP.

Angka 4, petugas pelaksana yang melaksanakan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak dan Intensifikasi Pajak adalah petugas yang memenuhi kualifikasi sebagai pelaksana kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak dan Intensifikasi Pajak, meliputi:

1. Petugas yang ditunjuk oleh kepala KPP.

2. Petugas Kantor Penyuluhan Pajak yang ditunjuk oleh Kepala KPP. 3. Petugas lain yang ditunjuk oleh Kakanwil DJP.

(23)

2.1.4.5. Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak

Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ.9/2001 tentang pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak dan Intensifikasi Pajak angka 8 sebagai berikut:

1. Atas pemberitahuan yang dikirim kepada Wajib Pajak terdapat beberapa kemungkinan:

Wajib Pajak menyanggupi dan bersedia untuk mendaftarkan diri dan diberikan NPWP dan atau dikukuhkan sebagai PKP dengan mengisi formulir pendaftaran Wajib Pajak dan atau PKP;

1). Wajib Pajak tidak menanggapi Pemberitahuan, walaupun Pemberitahuan telah dikirim.

2). Wajib Pajak menanggapi Pemberitahuan dengan menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak wajib memiliki NPWP dan atau belum perlu dikukuhkan sebagai PKP.

3). Wajib Pajak menanggapi Pemberitahuan dengan menyatakan bahwa yang bersangkutan sudah memiliki NPWP dan atau telah dikukuhkan sebagai PKP.

4). Wajib Pajak menanggapi Pemberitahuan dengan menyatakan bahwa yang bersangkutan sudah memiliki NPWP dan dikukuhkan sebagai PKP di KPP lainnya.

5). Wajib Pajak tidak menanggapi oleh karena Pemberitahuan kembali dari Kantor Pos (Kempos).

(24)

2. Terhadap Wajib Pajak yang berusaha di sentra perdagangan atau perbelanjaan atau pertokoan atau perkantoran atau mall atau plaza atau sentra ekonomi lainnya, seluruhnya dilakukan PSI.

3. Terhadap Wajib Pajak selain yang dimaksud dalam angka 2, sepanjang memenuhi keadaan dimaksud pada angka 1.1 dilakukan proses pemberian NPWP dan atau pengukuhan sebagai PKP sesuai ketentuan yang berlaku.

4. Terhadap Wajib pajak selain yang dimaksud dalam angka 2 sepanjang memenuhi keadaan dimaksud pada angka 1.2, oleh seksi PDI data Wajib Pajak tersebut diteruskan ke Seksi Tata Usaha Perpajakan untuk dilakukan proses pemberian NPWP dan atau pengukuhan sebagai PKP sesuai dengan tata cara yang sudah ditentukan.

5. Terhadap Wajib Pajak selain yang dimaksud dalam angka 2 sepanjang memenuhi keadaan dimaksud pada angka 1.3, dan angka 1.6, dilakukan PSI.

6. Terhadap Wajib Pajak selain yang dimaksud dalam angka 2, sepanjang memenuhi keadaan yang dimaksud pada angka 1.4, dan 1.5, dilakukan pencocokan dengan data MFL:

1). Dalam hal Wajib Pajak telah terdaftar dengan nama dan alamat domisili Wajib Pajak sesuai dengan MFL, dilakukan updating dalam daftar dimaksud dengan membubuhkan catatan bahwa

(25)

Wajib Pajak sudah terdaftar dan sekaligus mencantumkan NPWP dalam kolom keterangan.

2). Dalam hal Wajib Pajak telah terdaftar namun nama dan alamatnya berbeda dengan data MFL, dilakukan PSL.

3). Dalam hal Wajib Pajak ternyata belum terdaftar, dilakukan PSL. 2.1.5. Pajak Penghasilan

Undang-Undang No.7 Tahun 1984 tentang Pajak Penghasilan (PPh) berlaku sejak 1 Januari 1984. Undang-Undang ini telah beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

Undang-Undang PPh menganut asas materiil, artinya penentuan mengenai pajak yang terutang tidak tergantung kepada surat ketetapan pajak. 2.1.5.1. Pengertian Pajak Penghasilan

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 pasal 1, menjelaskan bahwa:

“Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) mengatur pengenaan Pajak Penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dalam Undang-Undang PPh disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berkahir dalam tahun pajak.”

(26)

2.1.5.2. Subjek Pajak Penghasilan

Menurut Mardiasmo (2011: 135) Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam Tahun Pajak. Yang menjadi Subjek Pajak adalah:

1. Orang Pribadi dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.

2. Badan, terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN/BUMD dengan nama dan bentuk apapun firma, kongsi, koperasi, dana pension, persekutuan, perkumpulan, yayasan, oraganisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif.

3. Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Subjek Pajak dapat dibedakan menjadi: 1. Subjek Pajak dalam negeri yang terdiri dari;

1). Subjek Pajak orang pribadi, yaitu:

(1). Orang Pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari (tidak harus berturut-turut) dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.

(2). Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.

(27)

2). Subjek Pajak Badan, yaitu:

Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:

(1). Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2). Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

(3). Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.

(4). Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.

3). Subjek Pajak Warisan, yaitu:

Warisan yang belum dibagi sebagai kesatuan, menggantikan yang berhak.

2. Subjek Pajak luar negeri yang terdiri dari:

1). Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, Orang Pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

(28)

2). Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, Orang Pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. 2.1.5.3. Objek Pajak Penghasilan

Menurut Mardiasmo (2011: 139) yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk:

1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan. 3. Laba usaha

4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:

(29)

1). Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.

2). Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya.

3). Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan bentuk apapun.

4). Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.

5). Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.

5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak.

(30)

6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.

7. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil koperasi.

8. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak.

9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. 10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.

11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing.

13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva. 14. Premi asuransi.

15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.

16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.

17. Penghasilan dari usaha berbasis syariah.

18. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan. 19. Surplus Bank Indonesia.

(31)

2.1.5.4. Penghasilan Tidak Kena Pajak

Sesuai dengan pasal 6 ayat 3 UU PPh, kepada Orang Pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa PTKP, yang besarnya telah diubah terakhir dengan UU No.36 Tahun 2008 tentang PPh, menjadi sebagai berikut:

Tabel 2. 1

Penghasilan Tidak Kena Pajak Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomo 122/PMK.010/2015

Uraian PTKP

1. Wajib Pajak Orang Pribadi Rp. 36.000.000,-

2. Tambahan untuk Wajib Pajak menikah Rp. 3.000.000,- 3. Tambahan untuk seorang istri yang

penghasilannya digabung dengan penghasilan suami

Rp. 36.000.000,- 4. Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah

dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan

Rp. 3.000.000,- Sumber: pajak.go.id

Menurut Mardiasmo (2011: 149) penghitungan PTKP ditentukan menurut keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak. Penghitungan PTKP untuk pegawai lama (tahun sebelumnya sudah bekerja di Indonesia) dilakukan dengan melihat keadaan pada awal tahun takwim (1 Januari). Bagi pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun takwim, besarnya PTKP tersebut berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun takwim yang bersangkutan.

(32)

2.1.5.5. Tarif Pajak Penghasilan

Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, bahwa tarif pajak penghasilan adalah sebagai berikut.

Tabel 2. 2

Tarif Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif pajak Sampai dengan Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) 5% (lima persen) Di atas Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sampai

dengan Rp.250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah)

15% (lima belas persen)

Di atas Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)

25% (dua puluh lima persen)

Di atas Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) 30% (tiga puluh persen)

Sumber: UU RI No. 36 Tahun 2008 Tabel 2. 3

Tarif Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap

Tahun Pajak Tarif Pajak

2009 28%

2010 dan selanjutnya 25%

PT yang 40% sahamnya diperdagangkan di bursa efek 5% lebih rendah dari yang seharusnya

(33)

Peredaran bruto sampai dengan Rp. 50.000.000.000,- Pengurangan 50% dari yang seharusnya Sumber: UU RI No.36 Tahun 2008

2.1.6. Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak

Menurut Nurmantu (2005) dalam Siti Kurnia Rahayu (2013: 138), kepatuhan Wajib Pajak dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Ada dua macam kepatuhan, yakni kepatuhan formal dan kepatuhan material. 2.1.7. Tingkat Penerimaan Pajak Penghasilan

Penerimaan pajak adalah penghasilan yang diperoleh oleh pemerintah yang bersumber dari pajak rakyat. Tidak hanya sampai pada pengertian singkat di atas bahwa dana yang diterima di kas negara tersebut akan dipergunakan untuk pengeluaran pemerintah untuk sebesar-besarnya, kemakmuran rakyat, sebagaimana maksud dari tujuan negara yang disepakati oleh para pendiri awal negara ini yaitu mensejahterakan rakyat, menciptakan kemakmuran yang berasaskan kepada keadilan sosial (Suherman, 2011)

2.2. Penelitian Terdahulu

1. Abu Gandjar Aritosa Hidayat (2008)

Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Abu Gandjar Aritosa Hidayat (2008) dalam skripsinya yang berjudul “ Pengaruh Kegiatan Ekstensifikasi Terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi” disimpulkan bahwa kegiatan ekstensifikasi

(34)

berpengaruh secara siginifikan terhadap penerimaan pajak penghasilan orang pribadi. Kegiatan ekstensifikasi mempengaruhi penerimaan pajak penghasilan sebesar 77,5%, sedangkan sisanya 22,5% berasal dari faktor-faktor lain.

2. Rahmat Alfian (2012)

Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Rahmat Alfian (2012) dalam skripsinya yang berjudul “Pengaruh Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Terhadap Penerimaan Pajak di KPP Pratama Surabaya Krembangan” disimpulkan bahwa kepatuhan Wajib Pajak mempengaruhi setidaknya 30% terhadap penerimaan pajak. Sedangkan 70% dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak dimasukkan dalam model regresi.

3. Wella Adrianti (2013)

Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Wella Adrianti (2013) dalam skripsinya yang berjudul “Pengaruh Ekstensifikasi Pajak dan Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Terhadap Tingkat Penerimaan Pajak Penghasilan Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kota Tanjungpinang” disimpulkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan yang diakibatkan oleh ekstensifikasi pajak dan kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi terhadap tingkat penerimaan Pajak Penghasilan. Ekstensifikasi pajak dan tingkat kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi hanya mempengaruhi tingkat penerimaan Pajak Penghasilan sebesar 8,6%,

(35)

sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dimasukkan dalam model regresi.

2.3. Kerangka Pemikiran

2.3.1. Hubungan Ekstensifikasi Pajak dengan Tingkat Penerimaan Pajak Penghasilan

Menurut Resmi (2009: 80), pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak.

Dalam rangka kegiatan ekstensifikasi, setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk wilayah kerjanya yang meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), meskipun Wajib Pajak tidak (belum) mendaftarkan diri atau bagi Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), maka akan diberikan NPWP secara jabatan. Apabila kepada Wajib Pajak telah diberikan NPWP secara jabatan, maka telah menggugurkan kewajiban Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri.

Nomor Pokok Wajib Pajak adalah suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Oleh karena itu kepada setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak, selain daripada itu, Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam

(36)

pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Dalam hal ini berhubungan dengan dokumen perpajakan.

Dengan ekstensifikasi, petugas pajak akan mencari, mendata, mencermati dan meneliti setiap tempat, apakah masyarakat sekitar telah terdaftar sebagai Wajib Pajak. Upaya ini bukanlah hal yang baru, dan sering dilakukan. Namun, terkadang gaungnya serasa baru di telinga dan mata masyarakat. Bagi masyarakat yang belum terdaftar sebagai Wajib Pajak selalu menghindar, ekstensifikasi ini akan membuat masyarakat tersebut menjadi tidak nyaman dengan keadaannya.

Untuk dapat meningkatkan penerimaan pajak, maka dibutuhkan penyiapan tenaga ahli yang memadai dalam bidang perpajakan serta penyadaran atas peran serta masyarakat Wajib Pajak (tax payer) harus menjadi perhatian semua pihak. Hal ini penting, karena dari pertambahan jumlah Wajib Pajak di tiap daerah, juga akan menambah jumlah penerimaan APBD-nya melalui bagi hasil pajak (tax sharing) dari Dirjen Pajak, yakni atas PPh orang pribadi dalam negeri dan PPh Pasal 21. Mengingat pokok-pokok pemikiran di atas maka kegiatan ekstensifikasi perlu dilakukan untuk dapat menjaring Wajib Pajak baru yang akan meningkatkan penerimaan pajak penghasilan.

2.3.2. Hubungan Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi dengan Tingkat Penerimaan Pajak Penghasilan

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 2 mendefinisikan Wajib Pajak adalah Orang Pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan

(37)

kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan perpajakan. Sedangkan menurut Simon (2003) seperti yang dikutip oleh Gunadi (2005) pengertian kepatuhan pajak (tax compliance) adalah Wajib Pajak mempunyai kesediaan untuk memenuhi kewajiban pajaknya. Pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut harus sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa perlu ada pemeriksaan, investigasi seksama (obtrusive investigation), peringatan, ancaman, dan penerapan sanksi baik hukum maupun administrasi.

Menurut Diana Sari (2013: 2) pengalihan sistem pemungutan pajak dari official-assessment system ke self-assessment system melimpahkan tanggung jawab pemenuhan kewajiban perpajakan kepada anggota masyarakat Wajib Pajak itu sendiri.

2.3.3. Hubungan Ekstensifikasi Pajak dan Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak dengan Tingkat Penerimaan Pajak Penghasilan

Pajak merupakan sumber penerimaan negara terbesar mengingat banyaknya Wajib Pajak baik yang terdaftar maupun tidak terdaftar dan banyaknya Objek Pajak yang mengakibatkan besarnya kontribusi pajak dalam penerimaan negara. Dilihat dari besarnya potensi pajak karena banyaknya Wajib Pajak, maka salah satu cara untuk mengoptimalkan penerimaan pajak, terutama pada pajak penghasilan dan sistem pemungutan pajak di Indonesia yang menganut self-assessment system maka dibutuhkan fasilitas yang memadai demi berlangsungnya pengoptimalan penerimaan pajak yang juga tidak luput dari partisipasi Wajib Pajak dalam pelaksanaannya untuk patuh dan tertib dalam membayar pajak.

(38)

“Upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan dalam negeri dari sektor pajak, antara lain dengan merubah sistem pemungutan pajak dari official assessment system menjadi self assessment system yang mulai diterapkan sejak reformasi sistem perpajakan tahun 1983 yang sangat berpengaruh bagi Wajib Pajak dengan memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, mem-bayar, dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang.” (Suhendra, 2010)

Gambar 2. 1

Kerangka Pemikiran Pengaruh Ekstensifikasi Pajak dan Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Terhadap Tingkat Penerimaan Pajak

Penghasilan

Berdasarkan kerangka pemikiran pengaruh ekstensifikasi pajak dan tingkat kepatuhan Wajib Pajak terhadap tingkat penerimaan pajak penghasilan, maka disusun sebuah paradigma penelitian sebagai salah satu cara untuk

Pajak Realisasi Penerimaan Sensus Pajak Ekstensifikasi Wajib Pajak OP Kepatuhan WP Penerimaan Pajak Penghasilan

(39)

mengoptimalkan tingkat penerimaan pajak penghasilan yang akan digambarkan pada gambar 1.2 berikut.

Gambar 2. 2

Paradigma Penelitian Pengaruh Ekstensifikasi Pajak dan Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Terhadap Tingkat Penerimaan

Pajak Penghasilan

2.4. Hipotesis Penelitian

Sekaran (2007: 135) mengemukakan hipotesis sebagai berikut:

“Hipotesis merupakan hubungan yang diperkirakan secara logis di antara dua variabel yang diungkapkan dalam bentuk pertanyaan secara logis” Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

H1 : terdapat pengaruh positif dari pelaksanaan ekstensfikasi pajak

terhadap tingkat penerimaan pajak penghasilan pada KPP Pratama Bandung Tegallega.

H2 : terdapat pengaruh postif dari tingkat kepatuhan Wajib Pajak

Orang Pribadi terhadap tingkat penerimaan pajak penghasilan pada KPP Pratama Bandung Tegallega.

Ekstensifikasi Pajak

Kepatuhan Wajib Pajak

Tingkat Penerimaan Pajak Penghasilan

X1

(40)

H3 : terdapat pengaruh postif dari pelaksanaan ekstensifikasi pajak

dan tingkat kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi terhadap tingkat penerimaan pajak penghasilan pada KPP Pratama Bandung Tegallega.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan ini sama dengan penjabaran tujuan tes diagnostik oleh Arikunto yaitu: (1) menentukan apakah bahan prasyarat telah dikuasai atau belum, (2) menentukan

Agar dapat diterima dengan baik dan mendatangkan hasil yang diinginkan, entah secara verbal atau nonverbal pesan itu dirumuskan dalam bentuk yang tepat,

BCA berupaya meningkatkan koordinasi di antara unit kerja terkait dalam melakukan evaluasi atau kajian terhadap proses, sistem dan prosedur untuk mengembangkan maupun

Diharapkan dengan adanya perencanaan strategi pemasaran hasil produk Toko ENKA dengan media website menggunakan framework Enterprise Architecture Planning dapat

Pada studi ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif yang telah digunakan pada penelitian terdahulu, yakni penelitian yang dilakukan oleh Alfarisy dan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kesuburan perairan berdasarkan kandungan bahan organik total, nitrat, fosfat dan klorofil-a di Sungai Jajar Kabupaten

Dalam misteri Allah yang menjadi manusia dalam diri Tuhan Yesus Kristus dalam kuasa Roh Kudus, kita.. perlu mengkontemplasikan dengan tekun misteri kerahiman

Disamping tingkat kemiskinan dan pengangguran, ketimpangan yang terjadi antara wilayah di kabupaten/ kota propinsi Sumatera Utara adalah disebabkan oleh