INOKULASI JAMUR PENGOKSIDASI BELERANG PADA PUPUK FOSFAT ALAM UNTUK
MENINGKATKAN FOSFAT DAN SULFAT TERSEDIA BAGI TANAMAN
The Inoculation of Sulfur Oxidizing Fungi on Phosphate Rocks Fertilizer
to Increase Their Available Phosphate and Sulfate
Sumarno, Hery Widijanto, dan Sudadii
Department of Soil Science, Faculty of Agriculture, Sebelas Maret University Surakarta
Jl. Ir. Sutami 36 A Telp/Fax (0271) 632 477 Kentingan, Surakarta, Jawa Tengah 57126
Abstract
Phosphate rocks as an alternative sources of P fertilizer are cheaper than SP‐36. The main problem was their low of total and available P that must be increased to make them more effective source of P for plants. Inoculate them with S oxidizing fungi will increase their available‐ P. The research aim was to study the potency of two S oxidizing fungi Aspergillus japonicus and Penicillium nalgiovensis to increase available‐P of phosphate rocks. Experimental research done at the Lab. of Soil Biology and Lab. of Soil Chemistry and Fertility, Department of Soil Science, Faculty of Agriculture, UNS, Surakarta, at March – Mei 2008. The experiment arranged in completely randomized design with four factors i.e. the origin of elemental sulphur (from G. Welirang, East Java and from USA), the origin of phosphate rocks (Christmas Island, Ciamis and Madura), kind of inoculums fungi (A. japonicus and P. nalgiovensis) and inoculums densities (0; 106 and 107 spore/g of phosphate rock). Each treatment combinations were replicated three times. Fifty grams mixture of phosphate rocks, cassava solid waste, tapioca and rice bran was poured in 250 ml Erlenmeyer, sterilized with autoclave at 121 oC for 30 minutes, three times alternately in 5 days, then inoculated with fungus spores and incubated at field capacity in room temperature for 3 months. Samples were taken at 1, 2 and 3 months after incubation time for analysis of water soluble‐P, soluble sulphate, pH and total fungus. Data analyzed statistically with F test and Duncan Multiple Range Test at 5% of level significance.
The result show that the two of S oxidizing fungi Aspergillus japonicus and Penicillium nalgiovensis were be able to increases available‐P of phosphate rocks, as well as soluble sulphate more than 200 % of control treatment. Penicillium nalgiovensis was more effective than Aspergillus japonicus. As P sources, phosphate rock from Christmas Island was better than from Ciamis and Madura, while elemental S imported from USA was better than local So from G. Welirang. The increase of inoculums densities and length of incubation times increase soluble P and sulphate.
Keyword: phosphate rocks, S oxidizing fungi, soluble P and sulphate
i
Korespondesi: sudadi_uns@yahoo.com
PENDAHULUAN
Harga pupuk P pabrikan yang tinggi
menyebabkan biaya produksi pertanian
meningkat sehingga perlu dicari pupuk P
alternatif yang lebih murah namun
berkualitas. Pupuk fosfat alam (PFA) menjadi
pilihan karena harganya lebih murah dan
merupakan pupuk alam yang tidak merusak
lingkungan (Utomo, 2000). Namun demikian
efektivitas penggunaan PFA masih belum
memenuhi tuntutan petani karena
kualitasnya yang rendah sehingga perlu
ditingkatkan. PFA berasal dari batuan yang
dihaluskan (Siregar, 1981), sehingga sebagian
besar hara yang terkandung di dalamnya
belum menjadi bentuk yang tersedia bagi
tanaman. Untuk meningkatkan ketersediaan
Inokulasi Jamur Pengoksidasi Belerang.... Sumarno et al.
Sains Tanah – Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 5(2)2008
menginokulasikan mikrobia pelarut fosfat,
baik bakteri atau fungi pelarut fosfat
(Bustaman and Tabatabai dalam Supriyadi
dan Sudadi, 2001) dan menambahkan bahan
organik (Rao, 1994). Mekanisme utama
pelarutan P secara mikrobiologi adalah
melalui asam‐asam organik dan an organik
yang dihasilkan seperti asam sitrat, oksalat,
malat, nitrat dan sulfat. Asam‐asam tesebut
akan mengubah Ca3(PO4)2 menjadi di dan
monobasik‐fosfat sehingga meningkatkan
ketersediaannya bagi tanaman. Selain
mikrobia pelarut fosfat, jamur pengoksidasi
belerang diketahui juga mampu melarutkan P
dari batuan fosfat alam (Wahyuningsih,
2006). Selain dari kelompok bakteri thiobacili
yang bersifat autotrof, beberapa jasad renik
heterotrof dari kelompok bakteri,
aktinomycetes dan fungi diketahui juga
mampu mengoksidasi senyawa belerang
anorganik menjadi asam sulfat, di antaranya
Arthrobacter spp. (bakteri), Alternaria tenuis, Aureobasidium pullulans, Epicoccum nigrum, Streptomyces spp. (aktinomycetes), Fusarium
solani, (Tisdale, dkk., 1990) Penicillium
nalgiovense dan Aspergillus japonicus (fungi)
(Germida, 1998; Sumarsih, 2002; Hamdani,
2004).
Reaksi oksidasi belerang oleh jasad renik
terjadi secara enzimatik (Kilham, dkk., 1981)
menurut reaksi sebagai berikut (Alexander,
1977; Stevenson, 1986; Tisdale, dkk., 1990) :
2 S0 + 3O2 + 2 H2O 2 H2SO4
Jasad renik pengoksidasi S
Selanjutnya ion H+ dari asam sulfat yang
dihasilkan akan melarutkan P dari BFA :
Ca10(PO4)6F2 + 12 H +
Æ 10 Ca2+ + 6 H2PO4 ‐
+ 2 F‐ (Wilson & Ellis, 1984; Hanafi, dkk., 1992; Lowell & Weil, 1995).
Belerang elemental (S0), sulfida dan
beberapa senyawa S‐anorganik lain dapat
teroksidasi secara kimiawi di dalam tanah,
namun umumnya sangat lambat sehingga
tidak cukup penting dibanding oksidasi
mikrobiologis (Pepper & Miller, 1978; Tisdale,
dkk., 1990). Kecepatan oksidasi belerang
secara biologi dipengaruhi oleh interaksi dari
tiga kelompok faktor yaitu (1) populasi
mikroflora di dalam tanah (Lawrence dan
Germida, 1988; Tisdale, dkk., 1990) (2)
karakteristik sumber belerang (Tisdale, dkk.,
1990; Lindermann, dkk., 1991) dan (3) kondisi
lingkungan tanah (Janzen & Betany, 1987;
Tisdale, dkk., 1990). Lawrence dan Germida
(1988) menyatakan bahwa jumlah dan
aktivitas biomassa mikrobia menentukan
kecepatan oksidasi belerang pada tanah
pertanian.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Maret – Mei 2008 di Laboratorium Biologi
Tanah dan Laboratorium Kimia dan
Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret. Bahan untuk
percobaan meliputi inokulum jamur
pengoksidasi belerang Aspergillus japonicus
dan Penicillium nalgiovense), pupuk fosfat
alam asal Kepulauan Christmas, Ciamis dan
Madura, bahan organik (campuran onggok,
bekatul dan tapioka), serbuk belerang asal G.
Welirang dan USA, media Czapek‐dox, dan
khemikalia untuk analisis mikrobiologis dan
kimia. Percobaan menggunakan rancangan
acak lengkap faktorial dengan factor yang
diteliti meliputi asal belerang yaitu S lokal asal
G. Welirang dan S impor asal USA, asal PFA
yaitu PFA asal Kepulauan Christmas, Ciamis
dan Madura, macam jamur pengoksidasi
belerang yaitu Aspergillus japonicus dan
Peniicillium nalgiovense dan kerapatan
inokulum jamur yaitu 0, 106 dan
107 spora/g
PFA. Setiap kombinasi perlakuan dilakukan
pengulangan 3 kali. Campuran PFA – onggok
(60 % : 40 %) sebanyak 150 g dimasukkan
dalam botol gelas, kemudian disterilkan 3 kali secara berselang tiap satu hari menggunakan
otoklaf pada tekanan 1 atm suhu 121 oC
fosfat alam dicampur dengan inokulum
jamur pengoksidasi belerang yang telah
diperbanyak pada media agar miring sesuai
dengan perlakuan, dicampur merata, setelah
itu diinkubasi pada suhu kamar dan dalam
kapasitas lapang selama 3 bulan.
Pengambilan sampel dilakukan pada 1, 2 dan
3 bulan setelah inkubasi. Variabel yang
diamati meliputi P‐larut air, sulfat larut air,
pH (H2O), dan jumlah total jamur.
Analisis statistika yang digunakan adalah
Uji F taraf 5 % dan apabila didapatkan hasil
yang berpengaruh nyata dilanjutkan dengan
analisis DMRT untuk membandingkan rerata
hasil antar perlakuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pupuk fosfat alam, belerang elementer
dan komposisi bahan pupuk biosulfo yang
digunakan pada penelitian ini mempunyai
sifat‐sifat seperti disajikan pada Tabel 1 dan
2. Penggabungan jamur disini dimaksudkan
untuk lebih mendekatkan jamur dengan
bahan organik sebagai sumber karbon dan
energi serta batuan fosfat yang akan
dilarutkan sebagai sumber P dan serbuk
belerang yang akan dioksidasi sebagai
sumber S alamiah bagi tanaman.
Kadar P2O5 total, P‐larut air, kadar
aluminium, dan pH BFA yang berasal dari
Kepulauan Christmas paling tinggi, diikuti dari
Ciamis dan Madura. Kadar belerang dari
kedua sumber belerang relatif sama, namun
belerang asal USA mempunyai kadar S
tersedia lebih tinggi dibanding belerang asal
Gunung Welirang Jawa Timur. Hal ini
menunjukkan bahwa belerang asal USA relatif
mudah teroksidasi dibanding yang berasal
dari G. Welirang.
Pelarutan P dari batuan fosfat alam
tidak hanya dapat dilakukan melalui asidulasi
dengan asam‐asam anorganik seperti asam
sulfat dan asam fosfat yang dibuat secara
kimiawi saja, namun juga dapat dilakukan
dengan asam sulfat hasil oksidasi belerang
oleh jasad renik seperti jamur Aspergillus
japonicus dan Penicillium nalgiovense. Kedua jenis jamur ini mampu mengoksidasi belerang
elementer menghasilkan asam sulfat yang
Tabel 1. Komposisi bahan pupuk Biosulfo
Bahan penyusun %
Campuran
bahan organik
Onggok 60 bag 40
Dedak/bekatul 30 bag
Tapioka 10 bag
Batuan fosfat
alam + serbuk
belerang
(8 bagian : 1 bagian) 60
Jamur
pengoksidasi
So A.japonicus
I0 : 0 spora/g bahan pupuk
I1 : 3,92.10 5
spora/g
I2: 3,85.106spora/g
Jamur
pengoksidasi So
P.nalgiovense
I0 : 0 spora/g bahan pupuk I1 : 15,3.10
5
spora/g
I2: 6,77.106spora/g
Tabel 2. Beberapa sifat kimia dan fisika (terpilih) batuan fosfat alam dan belerang elementer
yang digunakan dalam penelitian.
Sifat yang dianalisis BFA asal Kep. Christmas
BFA asal Ciamis
BFA asal Madura
Belerang asal Amerika
Belerang asal G. Welirang
- Kadar P2O5, % 33,69 26,78 21,3508 ‐ ‐
- Kadar P‐ larut as. Sitrat
2%, % 8,63 11,69 13,44 ‐ ‐
- Kadar P‐larut air, % 0,72 0,41 0,22 ‐ ‐
- pH 7,30 7,06 6,93 2,8 3,9
- kadar S, % ‐ ‐ ‐ 99.8 99.7
- Kadar S tsd, % ‐ ‐ ‐ 9.934 6.709
- Kadar Al, ppm 65787.62 61438.78 31279.62 ‐ ‐
- Kadar Fe, ppm 1281.15 7.99 3148.74 ‐ ‐
- Kadar Mn, ppm 67.32 2301.84 6272.49 ‐ ‐
- Kadar Ca, ppm 30948.0 72457.0 186925.0 ‐ ‐
Inokulasi Jamur Pengoksidasi Belerang.... Sumarno et al.
Sains Tanah – Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 5(2)2008
dapat meningkatkan kelarutan P dari pupuk
fosfat alam sekaligus sebagai sumber hara S
bagi tanaman. Hasil percobaan pengaruh
macam jamur pengoksidasi belerang
terhadap kadar P tersedia dari pupuk fosfat
alam disajikan pada Gambar 1.
Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa dari
kadar P tersedia pada medium pelarutan,
kemampuan jamur P. nalgiovense lebih tinggi
dibanding A. japonicus dalam melarutkan P
dari pupuk fosfat alam. Jamur P. nalgiovense
menghasilkan pH lingkungan yang lebih
rendah dibanding jamur A. japonicus
sebagaimana ditunjukkan Gambar 2. Reaksi
(pH) lingkungan yang lebih rendah dapat
menyebabkan pelarutan P yang lebih besar
dibanding pada pH yang lebih tinggi. Namun
demikian dilihat kemampuannya
menghasilkan asam sulfat yang relatif sama
(Gb. 3) ada dugaan bahwa konsumsi sulfat
dari jamur P. nalgiovense lebih besar dari A.
japonicus sehingga kadar sulfat di media pelarutan tidak berbeda nyata. Kemungkinan
kedua yaitu jamur P. nalgiovense
menghasilkan asam – asam organik yang
lebih tinggi sehingga pelarutan P‐PFA lebih
tinggi dibanding A. Japonicus. Dengan
demikian maka meskipun jumlah jamur A.
japonicus lebih banyak dibanding jamur P.
nalgiovense, (Gb. 4) namun efektivitas jamur
Gb. 5‐6. Pengaruh asal belerang dan kerapatan inokulum jamur terhadap sulfat terlarut dari
media pelarutan BFA yang diberi serbuk belerang asal G. Welirang dan USA dan
diinokulasi jamur pengoksidasi belerang A. japonicus dan P.nalgiovense.
Gb. 1‐4. Pengaruh macam jamur pengoksidasi belerang terhadap P tersedia, sulfat terlarut,
jumlah jamur dan pH media pelarutan BFA yang diberi serbuk belerang asal G. Welirang
dan USA dan diinokulasi jamur pengoksidasi belerang A. japonicus dan P.nalgiovense.
Gb. 5‐6. Pengaruh asal belerang dan kerapatan inokulum jamur terhadap sulfat terlarut dari
media pelarutan BFA yang diberi serbuk belerang asal G. Welirang dan USA dan
yang terakhir ini lebih tinggi dalam
melarutkan P dari pupuk fosfat alam. Hal
yang senada dikemukakan oleh Wahyuningsih
(2006) yang membandingkan kemampuan
pelarutan P batuan fosfat alam oleh kedua
jamur tersebut pada medium cair Kilham
yang dimodifikasi menunjukkan bahwa jamur
P. nalgiovense memiliki kemampuan yang
lebih baik.
Asal belerang menunjukkan adanya
pengaruh yang nyata terhadap
kemudahannya untuk dioksidasi, yang
ditunjukkan oleh sulfat terlarut yang
dihasilkan (Gb. 5). Belerang asal USA lebih
mudah dioksidasi dibanding belerang asal G.
Welirang, Jawa Timur. Hal ini karena belerang
asal USA mempunyai kualitas sedikit lebih
baik, yakni lebih seragam butirannya, lebih
halus, warna kuning seragam, kadar belerang
dan sulfat tersedia yang lebih tinggi. Diduga
hal ini juga berkaitan dengan bentuk
mineraloginya.
Belerang yang lebih mudah teroksidasi
akan menghasilkan asam sulfat yang lebih
banyak sehingga akan mampu menurunkan
pH lebih besar dan selanjutnya akan mampu
melarutkan P dari batuan fosfat alam lebih
tinggi. Kerapatan inokulum jamur merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
aktivitas oksidasi belerang oleh jamur
pengoksidasi sebagaimana ditunjukkan
Gambar 6.
Fosfat larut air dipengaruhi oleh asal
batuan fosfat alam dan kerapatan inokulum
jamur pengoksidasi belerang seperti
ditunjukkan Gambar 7 dan 8. Batuan fosfat
alam asal Kepulauan Christmas memberikan P larut air yang paling tinggi diikuti yang berasal
dari Ciamis dan Madura. Ini menunjukkan
bahwa batuan fosfat asal Kepulauan
Christmas merupakan yang paling mudah
untuk menyediakan fosfat bagi tanaman
karena paling mudah dilarutkan oleh aktivitas
jamur pengoksidasi belerang (Gb.7). Kadar P
telarut juga meningkat dengan meningkatnya
kerapatan inokulum jamur yang digunakan
(Gb.8). Hal ini menunjukkan bahwa dengan
bertambahnya inokulum jamur yang
digunakan sampai kerapatan 106 spora / g
BFA akan meningkatkan efektivitasnya dalam
melarutkan P‐BFA. Meningkatnya pelarutan
P‐BFA ini disebabkan oleh meningkatnya
oksidasi belerang yang ditunjukkan oleh
meningkatnya kadar sulfat terlarut dan
menurunnya pH media dengan meningkatnya kerapatan inokulum jamur yang digunakan.
KESIMPULAN
Dari uraian dan pembahasan terhadap
hasil penelitian di muka dapat diambil
beberapa kesimpulan bahwa inokulasi jamur
pengoksidasi belerang A. japonicus dan P.
nalgiovense mampu meningkatkan secara
nyata kadar P larut air dari pupuk fosfat alam.
Jamur P. nalgiovense mempunyai
kemampuan yang lebih baik dibanding jamur A. japonicus dalam meningkatkan P larut air, Gb. 7 ‐ 8. Pengaruh asal BFA dan kerapatan inokulum jamur pengoksidasi belerang terhadap P
larut air media pelarutan BFA yang diberi serbuk belerang asal G. Welirang dan USA
dan diinokulasi jamur pengoksidasi belerang A. japonicus dan P. nalgiovense.
Gb. 7 ‐ 8. Pengaruh asal BFA dan kerapatan inokulum jamur pengoksidasi belerang terhadap P
larut air media pelarutan BFA yang diberi serbuk belerang asal G. Welirang dan USA
Inokulasi Jamur Pengoksidasi Belerang.... Sumarno et al.
Sains Tanah – Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 5(2)2008
namun mempunyai kemampuan yang tidak
berbeda nyata dalam meningkatkan
ketersediaan sulfat serbuk belerang
elementer yang disertakan dalam pupuk
fosfat alam. Belerang asal USA memnpunyai
kualitas yang lebih baik untuk meningkatkan
kelarutan P dan ketersediaan S dari pupuk
fosfat alam yang diberi serbuk belerang dan
diinokulasi jamur pengoksidasi belerang,
sedang batuan fosfat alam asal Kepulauan
Christmas merupakan yang paling baik dalam
menyediakan P dan S, diikuti batuan fosfat
alam asal Ciamis dan Madura. Inokulasi jamur
pengoksidasi belerang dengan kerapatan
sampai 106 spora/g bahan pupuk
meningkatkan P dan S pupuk fosfat alam.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan terima kasih
kepada Dekan Fakultas Pertanian, Universitas
Sebelas Maret, Surakarta beserta jajarannya
atas bantuan dana penelitian dan
dukungannya sehingga penelitian ini dapat
berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, M.1997. Introduction to Soil
Microbiology. 2nd ed. Jon Wiley and Sons. New York. 467 page.
Germida, J.J. 1998. Transformation of Sulfur.
In. : Sylvia, D.M., J.J. Fuhrmann, P.G. Hartel & D.A. Zuberer., Principles and Applications of Soil Microbiology. p. 346 – 368. Prentice Hall, New Jersey.
Hanafi, M.M., J.K. Syers & N.S. Bolan. 1992.
Leaching Effect on the Dissolution of
Two Phosphate Rocks in Acid Soils. Sci.
Soc. Am. J 56:1325‐1330.
Janzen, H.H. & J.R. Bettany. 1987a. The
Effects of Temperature and Water
Potential on Sulfur Oxidation in Soils. Soil
Sci. 144(2):81‐89.
Lawrence, J.R. & J.J. Germida. 1988.
Relationship Between Microbial Biomass
and Elemental Sulfur Oxidation in
Agricultural Soils. Sci. Soc. Am. J. 52:672‐
677.
Lindermann, W.C ., J.J. Aburto, W.M. Haffner
& A.A. Bono. 1991. Effects of Sulfur
Source on Sulfur Oxidation. Sci. Soc. Am.
J. 55:85‐90.
Lowell, K. & R.R. Weil. 1995. Pyrite
Enhancement of Phosphorus Availability
from African Phosphate Rock : A
Laboratory Study. SSS. Am. J. 59:1645‐
1654.
Pepper, I.L . & R.H. Miller. 1978. Comparison
of the Oxidation of Thiosulphate and
Elemental Sulfur by Two Heterotrophic
Bacteria and Thiobacillus thiooxidans.
Soil Sci. 126(1):9‐14.
Rao,N.S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan
Pertumbuhan Tanaman. Universitas
Indonesia Press. Jakarta. 353 hal.
Stevenson, J.F. 1982. Humus Chemistry. John
Wiley and Sons. New York.
Sumarsih, S. 2001. Pertumbuhan Dan Daya
Oksidasi Jamur Pengoksidasi Sulfur Pada
Medium Dengan Sumber Karbon Glukosa
Atau Polimernya. Tesis. PPS Ilmu Tanah
UGM. Yogyakarta.
Supriyadi dan Sudadi. 2001. Efektivitas
Bakteri Pelarut Fosfat Pada Beberapa
Bahan Pembawa Inokulum. Sains Tanah
1(I). Fakultas Pertanian UNS. Surakarta.
Tisdale, S. L and W. L. Nelson. 1990. Soil
Fertility and Fertilizer. Macsmillan
Publishing Co.,Inc. New York. 694 page.
Utomo, S. 2000. Pupuk Fosfat Alam Sebagai
Pupuk Alternatif Dalam Rangka
Menanggulangi Degradasi Tanah untuk
Menuju Sistem Pertanian Berkelanjutan.
Makalah Seminar KMIT. Fakultas
Pertanian. UNS. Surakarta. 37 hal.
Wahyuningsih, S. 2006. Pelarutan P Dari
Batuan Fosfat Oleh Aktivitas Jamur
Pengoksidasi Belerang. Skripsi. Fakultas
Pertanian UGM, Yogyakarta.
Wilson, M.A. & B.G. Ellis. 1984. Influence of
Calcium Solution Activity and Surface
Area on the Solubility of Selected Rock