Potential of Seaweed Processing Industry to be Bioethanol
Haslianti1, Muhammad Fajar Purnama2 dan Wa Ode Piliana3
1,2,3)
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo Jl. HEA Mokodompit Kampus Bumi Tridharma Anduonohu Kendari 93232
(Phone/fax : +62401 3193782), 1)e-mail : asi.haslianti@yahoo.co.id., 3)wpiliana@yahoo.com
ABSTRAK
Rumput laut merupakan salah satu sumber devisa negara dan sumber pendapatan bagi masyarakat pesisir. Selain dapat digunakan sebagai bahan makanan, minuman dan obat-obatan, beberapa hasil olahan rumput laut seperti agar-agar, alginat dan karaginan merupakan senyawa yang cukup penting dalam industri serta kandungan karbohidrat dan serat kasar yang terdapat dalam rumput laut berpotensi untuk diproses menjadi bioetanol. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi budidaya rumput laut, jumlah produksi rumput laut, karakteristik jenis rumput laut yang berpotensi sebagai bahan baku menjadi bioetanol, penanganan pascapanen dan pemasaran rumput laut di Kabupaten Buton. Penelitian menggunakan metode desain jejaring APM (Akademisi, Pemerintah, Masyarakat). Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk bahan baku industri yaitu rumput laut masih menghadapi kendala terutama kualitasnya yang masih rendah karena faktor budidaya dan penanganan pasca panen. Namun demikian, rumput laut telah mampu menyumbang bagi kesejahteraan rakyat setempat. Selain itu rumput laut
Eucheuma cottonii yang berpotensi dijadikan bahan baku bioetanol.
Kata Kunci : Bioetanol, Rumput Laut, Industri, Potensi
ABSTRACT
Seaweed is one source of foreign exchange and a source of income for coastal communities. In addition, it can be used as an ingredient of food, beverages and medicines, some of the processed seaweed such as agar-agar, alginate and carrageenan are a compound that important in the industry and the amount of carbohydrate and crude fiber contained in seaweed has the potential processed to be bioethanol. This study aims to determine the potential of seaweed cultivation, the amount of seaweed production, the characteristics of the type of seaweed as a potential feedstock into bioethanol, postharvest handling and marketing of seaweed in Buton. Research using network design method APM (Academics, Government, Society). The results showed that for the raw material and the seaweed industry still facing obstacles, especially the quality still low because of the cultivation and post-harvest handling. Nevertheless, the seaweed
has been able to contribute to the welfare of local people. Additionally, seaweed Eucheuma
cottonii potentially be used as the raw material of bioethanol.
PENDAHULUAN
Rumput laut merupakan
komoditas andalan nasional di sektor perikanan. Hal ini ditegaskan melalui kebijakan yang menem-patkan rumput laut sebagai target komoditas utama yang diharapkan mendongkrak perolehan devisa negara. Hal tersebut didasarkan pada beberapa kelebihan rumput laut seperti pembudidayaan rumput laut relatif singkat yaitu selama 45 hari, produktivitas tinggi, kandungan gula monomer maupun polimer sehingga baik sebagai sumber pangan maupun energi. Produksi rumput laut Indonesia mencapai 4.305.027 ton (KKP, 2011) menunjukkan potensi yang baik untuk pengembangan dan pemanfaatan rumput laut.
Pengembangan dan peman-faatan rumput laut sebagai penghasil bahan bakar akan mendukung kebijakan pemerintah dalam penye-diaan energi terbarukan terutama Bahan Bakar Nabati (BBN) seperti bioetanol, biodiesel, bio-oil dan biogas. Konversi rumput laut men-jadi etanol akan memberi dampak luas bagi perekonomian nasional yaitu peningkatan pendapatan petani dan nelayan, peningkatan pendapatan dari ekspor serta penguatan ketahanan negara dibidang energi khususnya energi terbarukan. Sesuai kebijakan pemerintah Indonesia, tar-get penggunaan gasohol (campuran premium dan etanol) pada tahun 2011-2015 sebesar 3% dari konsumsi bensin dan 5% pada periode tahun 2016-2025. Untuk mencapai target
tersebut maka harus digunakan bahan baku dari gula, pati dan selulosa (Meinita et al., 2011). Kandungan gula, pati dan selulosa yang terkandung dalam rumput laut seperti E. cottonii merupakan sumber penghasil ketiga bahan baku tersebut.
Secara umum rumput laut mengandung polisakarida seperti selulosa, alganate dan monosakarida seperti glukosa, fruktosa dan xilosa. Komposisi tersebut menunjukkan potensi rumput laut sebagai bahan baku etanol (Jung et al., 2012). Alam et al. (2012) menyatakan bahwa makro rumput laut dapat dijadikan sebagai bahan baku utama dalam pembuatan biofuel pengganti energi fosil karena ramah lingkungan dan mampu mengurangi emisi gas karbondioksida yang berdampak
pada efek rumah kaca dan
pemanasan global.
lainnya (BPS, 2011), namun belum ada informasi yang terintegrasi, tersosialisasi dan terdiseminasi sehingga pemerintah, masyarakat dan industri belum mengembangkan industri bioetanol.
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui potensi budidaya rumput laut, jumlah produksi rumput laut, karakteristik jenis rumput laut yang berpotensi sebagai bahan baku menjadi bioetanol, penanganan pasca-panen dan pemasaran rumput laut di Kabupaten Buton.
METODE
Penelitian dilaksanakan bulan Mei sampai November 2013 di
Kabupaten Buton Kecamatan
Mawasangka Tengah dan Lakudo. Penelitian menggunakan metode desain jejaring APM (Akademisi, Pemerintah, Masyarakat) desain pemasaran dan pilot plan industri pengolah rumput laut. Parameter yang diamati meliputi potensi budidaya rumput laut, produksi rumput laut, karakteristik rumput laut yang berpotensi menjadi bioetanol, penanganan pasca panen dan pemasaran rumput laut. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka, wawancara dengan petani dan pengusaha rumput laut serta menggunakan kuisioner. Responden yang menjadi sasaran dalam rangka pengumpulan data adalah petani rumput laut, pengusaha/ pedagang antara, industri pengolah serta pemerintah daerah.
HASIL
Potensi Budidaya Rumput Laut
Pembudidayaan atau pembesaran rumput laut dilakukan dengan cara sistem long line. Lokasi budidaya di Kecamatan Mawasangka Tengah berada di sepanjang teluk, sehingga proses budidaya sangat dipengaruhi oleh keku-atan ombak yang masuk kedalam teluk, semakin masuk ke area teluk maka per-airan semakin tenang, sehingga proses budidaya dapat terus dipertahankan.
Sebagian besar responden petani rumput laut berpendidikan SD sebanyak 83%, SMP sebanyak 8,9%, SMA sebanyak 6,5% dan perguruan tinggi sebanyak 0,65%. Dengan rentang umur 21-60 tahun ke atas. Jika kepala rumah tangga memiliki profesi utama sebagai petani rumput laut maka anggota rumah tangga tersebut serta merta menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pra budidaya atau pemilihan dan pengikatan bibit, budidaya (penanaman), panen dimaksud pemetikan dan pengangkutan hingga pasca panen (pengeringan). Kebanyakan responden memiliki pendapatan bekisar 1-2 juta, hanya sebagian kecil yang memiliki pendapatan diatas 2 juta hingga 4 juta perbulan.
Produksi Rumput Laut
Tabel 1 Biaya produksi rumput laut untuk kontruksi 100m x 25m*
Uraian Jumlah Satuan Total harga peruntukan
Biaya tetap
Sampan (kayu) + mesin 1 unit 5.000.000 transportasi
Tali utama (10mm) 10 kg kontruksi longline
Tali ris bentang (5 mm) 10 kg kontruksi longline
Tali titik (1,5 mm) 5 buah kontruksi longline
Jangkar utama (Batu) 8 buah kontruksi longline
Jangka pembantu (besi) 8 buah kontruksi longline
Pelampung utama 4 buah kontruksi longline
Pelampung pembantu 8 buah kontruksi longline
Pelampung ris bentang 1164 buah kontruksi longline
Parang 3 buah kontruksi longline
Pisau 4 buah memotong bibit
Gunting 4 buah mengunting tali
Catrol 1 buah mengangkat saat panen
Keranjang 3 buah wadah rumput laut
Para-para 1 buah tempat penjemuran
Terpal 1 buah alas dan penutup rumput laut
Jemuran 1 unit tempat penjemuran
Jarum jahit besar 2 buah alat menjahit karung
Biaya tidak tetap
Bibit rumput laut E. cotonii 1 unit bibit
Tenaga pembantu/harian (Rp50.000 x 3 hari) 4 org upah
karung 100 lembar bahan pengemas
bensin 50 liter transportasi
Konsumsi konsumsi
Total
Ket* : Metode longline dengan 40 hari masa budidaya
Karakteristik Rumput Laut yang Berpotensi Menjadi Bioetanol
Tabel 2. Hasil Pengujian Proksimat Sampel Rumput Laut E. cottonii
No Parameter Ketersediaan (%)
1 Air 75,0699
2 Abu 4,1301
3 Protein 1,7432
4 Lemak 0,3725
5 Serat kasar 2,6307
6 Karbohidrat 16,0536
7 Energi 72,6208 Cal/100g
8 Gula reduksi 0,4622
PEMBAHASAN
Potensi Budidaya Rumput Laut
Secara umum wilayah perairan Buton terdiri dari banyak kepulauan dan wilayah Kecamatan Mawasangka Tengah dan Lakudo sangat cocok untuk pengembangan rumput laut. Budidaya rumput laut di Kecamatan Mawasangka Tengah dan Lakudo ini paling besar dibandingkan di Kecamatan lainnya. Pada tahun 2010, jumlah produksi rum-put laut (ton basah) di dua Kecamatan tersebut masing-masing sebesar 1,467.01 dan 923.34 (Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2011). Potensi rumput laut ini didukung oleh pemasaran yang cukup baik karena ada pengumpul rumput laut baik di tingkat desa maupun kecamatan dan produksi rumput laut di kecamatan ini sudah dipasarkan hingga keluar negeri (Cina).
Produksi Rumput Laut
Secara ideal biaya produksi metode long line selama 40 hari untuk menghasilkan 750 kg kering rumput laut dengan luas areal budidaya 100x25m
membutuhkan dana sebesar
Rp11.461.000, biaya tersebut terdiri dari biaya tetap dan tidak tetap (Tabel 1) jika harga jual rumput laut Rp15.000/kg (harga per Oktober 2013) dengan total produksi 750 kg kering maka akan diperoleh hasil penjualan Rp11.250.000.
Karakteristik Rumput Laut yang Berpotensi Menjadi Bioetanol
Potensi rumput laut yang digunakan pada penelitian ini adalah rumput laut jenis Eucheuma cottonii
yang dijadikan sebagai bahan baku bioetanol. Selanjutnya untuk mengetahui karakteristik rumput laut E. cottonii, salah satunya harus dilakukan dengan analisis proksimat. Setelah dilakukan pengujian proksimat, didapatkan hasil seperti disajikan pada Tabel 2.
Kadar air menyatakan jumlah air serta bahan-bahan volatil yang terkandung dalam rumput laut. Tinggi rendahnya nilai kadar air ditentukan oleh kondisi pengeringan, pengemasan dan cara penyimpanan. Menurut Syamsuar (2006) yang menyatakan bahwa kondisi pengeringan, pengemasan dan cara penyimpanan yang kurang rapat berpotensi meningkatkan kandungan air sehingga mutu rumput laut yang dihasilkan menjadi menurun. Hasil penelitian diperoleh kadar air rumput laut sebesar 75,0699%. Hal ini dimungkinkan karena proses penge-ringan yang kurang maksimal ditingkat petani. Rumput laut dengan kadar air tinggi rentan terkena resiko jamur dan kerusakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Syamsuar (2006) menyatakan bahwa rumput laut bersifat higroskopis sehingga penyimpanan pada tempat lembab akan menyebabkan kerusakan menjadi lebih cepat terjadi.
Penanganan Pasca Panen
Penanganan pasca panen
merupakan tahap penentu kualitas hasil olahan rumput laut menjadi produk hilir. Berdasarkan hasil pengamatan, tahap-tahap penanganan pasca panen yang dilakukan petani rumput laut merupakan kegiatan atau proses yang dimulai sejak pasca panen, yaitu meliputi pencucian, pengeringan, pembersihan kotoran atau garam (sortasi), pengepakan, pengang-kutan dan penyimpanan.
Petani menganggap semakin tinggi kadar garam maka akan semakin baik. Hal tersebut diduga menjadi penyebab tingginya kadar air rumput laut. Menurut Anggadiredja et al. (2010) Kadar total garam dan kotoran yang diperkenankan pada rumput laut tidak lebih 3-4% sesuai permintaan industri.
Dekomposisi merupakan
perubahan komponen fisik dan kimia yang dapat terjadi pada rumput laut. Dekomposisi rumput laut dapat terjadi jika didukung oleh beberapa hal diantaranya tinggi kadar air pada produk, faktor lingkungan yang mendukung penyerapan kembali air di sekitar bahan serta cara penyimpanan petani yang membiarkan rumput laut keadaan terbuka setelah dikeringkan. Kondisi tersebut terjadi pada lokasi penanganan rumput laut di lokasi penelitian. Hal ini memberikan peluang akan terjadi dekomposisi jika tidak ditangani dengan tepat.
Masalah lain yang terjadi di lapangan adalah pemalsuan. Pemalsuan akan terjadi jika terdapat rumput laut jenis lain atau benda asing lainnya yang
terikut. Rumput laut di lokasi penelitian merupakan rumput laut E. cottonii yang memiliki spesifikasi, warna yang sama dan petani melakukan sortasi sebelum dijual sesuai permintaan pedagang pengumpul sehingga tidak terdapat peluang untuk pemalsuan.
Pemasaran Rumput Laut
Di wilayah Kabupaten Buton nampak bahwa saluran pemasaran melalui pedagang pengumpul dan ada yang langsung melalui pedagang besar. Petani yang langsung menjual rumput laut ke pedagang besar pada umumnya memiliki tempat tinggal yang dekat dengan pedagang besar dan prosesor yang terletak di Kota Bau-Bau sebagai tempat transit terakhir rumput laut sebelum dikirim ke luar provinsi.
kepada petani, melalui perantara pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul mempunyai ikatan bisnis yang kuat dengan pedagang besar sehingga faktor kepercayaan sangat diperhatikan. Rumput laut E. cottonii pada pihak eksportir akan dikirim ke Cina melalui Surabaya.
Harga rumput laut di Kabupaten Buton sangat fluktuatif bergantung pada kondisi pasar dan mutu rumput laut yang dihasilkan maka harga rumput laut akan lebih tinggi. Harga rumput laut ditingkat petani pada bulan Desember 2011, di Kecamatan Mawasangka Tengah Rp6.000 dan di Kecamatan Lakudo sebesar Rp6.000-6.400. Menurut Hikmayani (2007), menyatakan bahwa produksi yang dihasilkan oleh para pembudidaya sering kali tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh industri pengolahan atau eksportir sehingga hal ini menjadi alasan untuk membeli rumput laut dengan harga murah. Dengan demikian, hilirisasi industri rumput laut merupakan suatu keharusan agar kesejahteraan petani lokal dapat ditingkatkan, selain itu juga dapat meningkatkan nilai tambah dari rumput laut itu sendiri.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Petani sudah menguasai proses budidaya rumput laut dan iklim lokasinya sangat cocok sehingga dari aspek pengadaan bahan baku rumput laut dapat terjamin.
2. Produksi rumput laut kering sebanyak 750kg dengan luas areal budidaya
100x25 meter membutuhkan dana sebesar Rp11.461.000, harga jual rumput laut Rp15.000/kg maka akan diperoleh hasil penjualan Rp11.250.000.
3. Karakteristik rumput laut yang berpotensi menjadi bioethanol adalah jenis Eucheuma cottonii.
4. Penanganan dan pengolahan pascapanen pada tingkat petani, pedagang pengumpul, pedagang besar dan prosesor masih perlu ditingkatkan untuk menjamin mutu bahan baku 5. Rumput laut E. cottonii pada pihak
eksportir akan dikirim ke Cina melalui Surabaya dan rumput laut E. Cottonii dari pengumpul untuk kemu-dian dikirim secara periodik ke Surabaya, sebagian lainnya di kirim ke Makassar, sedangkan prosesor rumput laut E. cottonii akan dikirim ke Surabaya dan langsung masuk ke pabrik pengolahan karaginan
DAFTAR PUSTAKA
Kementrian Kelautan dan Perikanan [KKP], 2011. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2011. Kementrian Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Jung, Seong R.L., Yoori K., Jong M.P. 2012. Potential of macro algae as feedstocks for biorefinery. Journal of bioresource technology. Meinita, M.D., Yong-kihong, Gwi-Taek J. 2011. Comparison of sulfuric and hidrochloric acids as catalyst in hidrolysis of kappaphycus alvarezii (Cotonii). Bioprocess Biosyst Eng (2012) 35:123-128. Syamsuar, 2006. Karakteristik
Karaginan Rumput Laut