• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - BAB 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - BAB 1"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan merupakan institusi yang agung dalam agama islam, keberadaannya sangat dihormati, di dalamnya ada hak dan kewajiban antara suami dan istri yang bertujuan untuk mendapat keridhaan dari Allah. Selain itu pernikahan adalah sebuah institusi yang didalamnya tercakup

tujuan-tujuan syariat (maqâshid as-syari‟ah) yang merupakan perkara sangat utama

(ad-dharûriyât).1 yaitu memelihara agama (ad-dîn), memelihara keturunan (an-nasl) disamping memelihara harta (al-mâl ) memelihara jiwa (an-nafs),

dan untuk melindungi akal (al-„aql).2 Pernikahan juga memiliki syarat, rukun

dan tujuan-tujuan yang akan dicapai untuk mendapatkan kebahagiaan keluarga dunia dan akherat.

Anak dalam keluarga merupakan anugerah Allah yang diberikan kepada pasangan suami istri, ia adalah perhiasan dalam hidup sebagai buah dari pernikahan suci dalam bingkai cinta dan kasih sayang. Kehadiran anak didalam keluarga menambah kehangatan dan kebahagian keluarga. Anak adalah titipan sekaligus amanah dari Allah. Sebuah keniscayaan saat keluarga merindukan kehadiran seorang anak, tempat mencurahkan kasih sayang,

perhatian dan kepedulian.3

Seorang anak yang terlahir dari keluarga yang utuh, sah baik secara agama dan hukum ia akan berkembang menjadi generasi masa depan dengan penuh optimisme. Karena memiliki kejelasan status dan kedudukan dalam hukum. Namun jika seorang anak terlahir dari status yang tanpa kejelasan baik secara hukum maupun secara agama, ia akan menjadi objek permasalahan karena efek dari pihak lain. Sehingga sangat sulit untuk maju dan berkembang layaknya anak-anak yang terlahir dari keluarga normal. Bahkan nyaris menimbulkan konflik antar keluarga dan ini sangat tidak baik dari sisi psikologis. Karena tak bisa dipungkiri, dalam diri anak mengalami masa-masa perkembangan secara fisik, emosional maupun sosial hingga ia

tumbuh dewasa.4

1Muhammad Abdul „Athi Muhammad „Ali, al-Maqâshid as-Syari‟ah wa Atsaruhâ

fî al-Fikh al-Islami, (Kairo: Dâr al Hadits, 1428 H) h. 161. 2

Ibrahîm bin Musabin Muhammad al-Lakhmi al-Gharnathi as-Syâtibi, al-Muwâfaqât, Juz II (Mesir: Dar Ibnu Affan,1417H) h. 18-19

3

Abdullâh Nâsih „Ulwan, Tarbiyatul Aulâd fi al-Islam,( Cairo: Dar As Salam Li at

Tiba‟ah wa Nasyr wa Tauzi‟e, 1412 H) Juz I h. 50

4

(2)

Hukum Islam yang mengatur keluarga (al-ahwâl as-syakhsiyah) bertujuan untuk memuliakan manusia sesuai dengan naluri insani,

menghadirkan ketenangan dan kesempurnaan dalam hidup.5 Al-Qur‟an

dengan jelas menggambarkan bahwa kita dilarang meninggalkan anak keturunan dalam kondisi lemah.

“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatirkan terhadap (kesejahteraan) nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah. Dan hendaklah mereka

berbicara dengan tutur kata yang benar.” (Q.S. An Nisâ‟ [4]:9)

Imam At Thabari dalam tafsirnya memberi komentar terkait ayat diatas:

َأ َل

hukum maupun agama, biasanya banyak menuai konflik dan permasalahan di kemudian hari, baik terkait harta warisan, perwalian, nasab dan hak-hak sebagai warga negara. Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, jugahanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu,

namun tidak memiliki hubungan perdata dengan ayahnya.7

Menurut Andy Hartanto: “Apabila suatu perkawinan tidak dilaksanakan

menurut hukum, maka dapatlah dikatakan bahwa perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum, sehingga akibat dari perkawinan tersebut adalah tidak

5

Abdul Wahâb Khalâf, Ahkâm al-Ahwâl as-Syakhsiyah Fi as-Syarî‟ah al-Islamiyah, (Kuwait: Dar al-Kalam, 1410 H) h. 15.

6

Muhammad bin Jarîr at-Thabari, Jâmi‟ul Bayan Fî Ta‟wil Ay Al-Qur‟an, Jilid VI (tt.p: Muassasah ar-Risalah, 1420 H) h.19

7

(3)

dilindungi oleh hukum yang berlaku, baik pihak suami-isteri yang terikat

perkawinan maupun anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut”.8

Oleh karena itu keputusan untuk melangsungkan pernikahan adalah keputusan yang sudah berdasarkan pemikiran yang matang, karena pernikahan bukan hanya menyatukan dua sejoli dalam ikatan yang kuat (mitsâqan ghalîzha). Seperti tersebut dalam firman Allah:

اًظيِلَغ اًقاَثيِم ْمُكْنِم َنْذَخَأَو

“…Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat

dari kamu”(QS. An Nisâ‟[4]:21)

Syekh an Nawawi al Bantâni dalam tafsirnya menyebutkan:

َِل

“Karena pihak yang mengambil perjanjian hakikatnya adalah Allah, akan tetapi sampai taraf seolah pihak yang mengambil perjanjianadalah para istri, sungguh Allah telah mengambil perjanjian

atasmu sebab mereka.”

Dengan kata lain pernikahan adalah perbuatan hukum yang akan berimplikasi kepada hukum juga. Baik hukum sah atau tidaknya pernikahan atau hukum turunannya berupa hukum anak hasil pernikahan, warisan,

pemberian nafkah dan perwalian.10

Dalam konteks kekinian sahnya perkawinan bukan hanya sah secara hukum agama saja, akan tetapi harus sah juga secara hukum negara. Karena jika hanya sah secara hukum agama, bisa jadi kedepan akan ada celah merugikan pada salah satu pihak baik suami atau istri, namun kebanyakan adalah istri dan anak. Oleh karena itu, pemerintah ikut serta dalam pengaturan perkawinan tak lain agar proses perkawinan serta pihak-pihak yang terkait dapat mencapai tujuan-tujuan mulia sebuah pernikahan.

Keikut-sertaan ini dalam hal menyangkut proses administratif, di mana perkawinan harus dicatatkan:

Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku11

8

Andy Hartanto, Kedudukan Hukum dan Hak Waris Anak Luar Kawin Menurut Burgerlijk Wetboek,(Yogyakarta: Laksbang Press, 2008 M) h. 1.

9

Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi al Bantani, Marâh Labîd Li Kasyf Ma‟na al

Qur‟an al Mâjîd, Juz I (Beirut: Dar al Kutûb al Ilmiyah, 1417 H) h. 190 10

Ali Uraidi, Perkawinan Sirri dan Akibat Hukum ditinjau dari Undang-Undang

Perkawinan no. 1 tahun 1974”, dalam Jurnal Ilmiah Fenomena, Vol. X, Nomor 2, November

2011, h.: 982 11

(4)

Dengan adanya pencatatan ini juga akan memberikan perlindungan bagi suami istri dan anak-anaknya termasuk untuk kepentingan harta kekayaan yang terdapat dalam perkawinan tersebut. Pencatatan perkawinan bagi yang beragama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatatan Nikah, talak dan rujuk sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954. Bagi mereka yang beragama selain Islam pencatatan dilakukan di Kantor Catatan Sipil. Pencatatan tersebut tidak menentukan sahnya suatu peristiwa hukum suatu perkawinan, tetapi hanya memberikan pembuktian bahwa peristiwa hukum itu telah terjadi dan dilakukan, sehingga hanya bersifat administratif, karena sahnya perkawinan itu sendiri ditentukan oleh masing-masing agama dan kepercayaannya. Dengan kata lain sebenarnya Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur secara tegas permasalahan terkait wali dalam pernikahan. Sebagaimana tertera dalam Undang-Undang Perkawinan yang

berbunyi:”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”12

Ketika tidak ditemukan aturan yang tegas terkait hukum wali nikah dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut diatas maka akan terjadi kasus terkait misalnya nikah siri dan sebagainya.

Di Indonesia terdapat beberapa institusi hukum yang mengatur

kedudukan anak, yakni Hukum Perdata Barat (Burgerlijk Wetboek), Hukum

Islam, Hukum adat dan Hukum Nasional produk pemerintah Indonesia berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Yurispruden Mahkamah

Agung termasuk Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia13.

Adapun ketentuan dalam bidang hukum perkawinan yang diaur dalam Kitab Undang Hukum Perdata, sepanjang telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan maka dengan sendirinya tidak berlaku lagi, hal ini berdasarkan ketentuan pasal 66 Undang-Undang Perkawinan yang berbunyi: Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Howelijks, Ordonnantie Christen Indonesiers S. 1933 No.74 ), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak

berlaku”14

Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010, tanggal 17

Februari 2012 yang berkaitan dengan permohonan uji materi (Judicial

12

Undang-Undang Nomor 1 tentang Perkawinan Tahun 1974,Pasal 2 ayat (1) 13

M. Anshary, Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Nasional, (Bandung: CV. Mandar Maju,2014), Cet 1 h. 1

14

(5)

review) terhadap ketentuan Pasal 43 ayat(1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mengenai status anak luar kawin terhadap pasal 28B ayat(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh seorang perempuan berinisial Mcc, putusan tersebut

menyatakan: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai

hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan

darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”15

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengundang banyak kontroversi maupun reaksi dari beberapa kalangan baik agamis maupun praktisi hukum, artinya dengan putusan MK tersebut maka terjadilah perubahan besar dalam sistem hukum perdata di Indonesia. Misalnya hukum waris, sejak adanya putusan MK tersebut banyak kalangan berasumsi bahwa anak diluar kawin sah (secara hukum negara) memiliki kedudukan yang sama dengan anak sah sehingga bapak biologisnya mempunyai hubungan nasab, nafkah, pendidikan, perawatan, perwalian dan sebagainya.

Jika merujuk hukum-hukum yang berlaku di Indonesia akan muncul istilah-istilah tentang anak sebagai buah dari perkawinan, yaitu: anak sah, anak luar kawin, anak zina, anak sumbang (incest), anak angkat dan anak tiri. Dalam pranata hukum di Indonesia, istilah-istilah tersebut mempunyai konotasi yang berbeda sehingga berpengaruh pula terhadap kedudukan anak dalam perspektif hukum.16 Terkait istilah anak sah dan tidak sah, di dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa anak yang sah adalah: (a). Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; (b). Hasil pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri

tersebut.17Pengesahan anak yang dilakukan seorang ayah terhadap anak

biologisnya sesuai dengan ketentuan Burgerlijk Wetboek (BW) hanya dapat

dilakukan apabila laki laki tersebut menikahi Ibu dari anak yang bersangkutan dengan dibuktikan dengan Kutipan Akta Nikah (Akta Perkawinan), hal mana tidak dapat dilakukan apabila yang bersangkutan tidak dapat melaksanakan pencatatan pernikahannya. Pengesahan sebagai anak kandung ini dilakukan sebagai rasa pengakuan yang bersangkutan dan tanggung jawab yang bersangkutan bahwa anak yang lahir dari istri/calon istrinya adalah benar anak biologis dari laki laki tersebut, sehingga dengan

adanya pengesahan anak ini menurut Burgerlijk Wetboek (BW), laki laki

15

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII tahun 2010 16

M. Anshary, Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Nasional, h.1

17

(6)

tersebut mempunyai tanggung jawab yang sama dengan anak kandung yang dilahirkan setelah terjadinya pernikahan.

Dalam konteks hukum indonesia kita mengenal ada tiga konsep asas hukum, yaitu hukum harus memiliki tiga unsur asas pokok yaitu asas

keadilan hukum, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum.18 Artinya hukum

yang diputuskan oleh lembaga hukum atau lembaga peradilan harus mencakup tiga asas tersebut. Manakala sebuah putusan hukum tidak mencakup ketiga unsur asas diatas maka kenyamanan publik atas putusan hukum tersebut. Sehingga implikasinya adalah keresahan masyarakat sebagai objek hukum tersebut.

Mahkamah konstitusi dalam hal ini mengeluarkan putusan terhadap status anak diluar kawin yang memiliki hubungan perdata dengan ayahnya menuai kontroversi ditengah masyarakat. Pokok permasalahan dalam perkara tersebut bukan saja mengenai status anak luar kawin, namun perkawinan tersebut telah memenuhi norma agama namun tidak memenuhi norma hukum. Tentang status perkawinannya pemohon Mcc berdalil dengan diberlakukannya Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang perkawinan yang berbunyi:

“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku”19

Berdasarkan pasal diatas, maka hak-hak konstitusional pemohon sebagai warga Negara Indonesia yang dijamin oleh pasal 28 B ayat (1) dan ayat ( 2) telah dirugikan, yang bunyi pasalnya adalah:

Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Ayat (2) Hak anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi”20

Tentang status perkawinan Mcc dengan alm. Md. Dalam pertimbangan

Mahkamah Konstitusi, pencatatan itu merupakan kewajiban administrasi sebagaimana diatur dalam penjelasan angka 4 huruf b Undang-Undang perkawinan yang berbunyi:

“Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah

bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam

18

Tata Wijayanta, Asas Kepastian Hukum Keadilan dan Kemanfaatan dalam Kaitan dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga dalam Jurnal Dinamika Hukum, Vol 14. No. 2Mei tahun 2014, h 219

19

Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat 2 20

(7)

Surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam pencatatan.21

Adapun tujuan negara dalam hal ini adalah memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia, sebab sebuah perkawinan yang dibangun pada dasarnya berimplikasi hukum yang sangat luas, yang dikemudian hari hanya dapat dibuktikan dengan bukti otentik perkawinan, sehingga hak-hak yang timbul dapat terpenuhi dengan baik. Meskipun selama ini negara telah mewajibkan pencatatan perkawinan demi tertib administrasi, namun ternyata pada praktiknya masih banyak orang yang melakukan perkawinan tanpa dicatatkan dengan berbagai alasan. Terkadang persyaratan yang berbelit-belit termasuk aspek finansial terkesan masih dirasa membebani sebagian orang untuk melakukan pencatatan.

Fenomena pernikahan yang tidak dicatatkan sering dikenal dengan nikah

yang dirahasiakan (sirri), meski dengan beragam makna. Secara etimologi

sirri artinya rahasia seperti disebutkan oleh Ibnu Manzûr:

َرْسَلا َنِم :ُّرِّسلا

ِرا

َتْيَفْخَأ اَم :ُّرِّسلاَو .ُمَتْكُت ِتَِّلا

22

”Kata as Sirru berasal dari asrar yaitu sesuatu yang disembunyikan, dan sesuatu yang kau sembunyikan”.

Para ulama klasik dari kalangan mazâhib al arba‟ah memiliki pengertian

yang berbeda-beda tentang nikah sirri namun sering dikenal sebagai nikah di

bawah tangan. Dikalangan Mâlikiyah melarang nikah sirri, karena nikah tersebut bertentangan dengan ajaran Nabi yang menyuruh untuk mengumumkan nikah, sabda Nabi:

«

َ

لا ِفِ ُهوُلَعَْاَو ،َحاَكِّنلا اَذَى اوُنِلْعَأ

ِفوُفُّدلِبِ ِوْيَلَع اوُبِرْضاَو ،ِدَِاَس

23

“Umumkanlah nikah, lakukanlah di masjid dan pukullah duff ( sejenis

rebana)

Kalangan Malikiyah memiliki pendapat yang paling keras dibanding mazhab yang lain, Menurut Ibnu Rusyd , orang yang melakukan nikah sirri terkena hukuman pidana rajam, karena tujuan syariat tidak tercapai dalam hal

ini menghindari fitnah zina dalam masyarakat.24 Sementara dikalangan

Hanabilah memakruhkan pernikahan sirri, sedangkan kalangan Syafi‟iyah

21

Penjelasan UU Nomor 1 Tahun 1974 dan PP Nomor 9 Tahun 1975 22

Muhammad bin Mukarram bin Ali Abu Fadl Jamaluddîn Ibnu Manzur Al-Anshari, Lisanul „Arab, Jilid 4 ( Beirut: Dar As Shadir, 1414 H) h. 356

23

Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Dhahaq at-Tirmizi, Sunan at-Tirmizi, Jilid III ( Mesir: Maktabah Musthafa al-Halbi, 1395 H) h.309 no. hadits. 1089

24

(8)

dan Hanafiyah membolehkan, dengan alasan bahwa merahasiakan

pernikahan tidaklah terkait dengan sah atau tidaknya sebuah pernikahan.25

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwa nomor 10 tahun 2008 tentang pernikahan dibawah tangan menyebutkan:

Nikah Di Bawah Tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah Pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana

diatur dalam peraturan perundang-undangan.26

Namun demikian Majelis Ulama Indonesia memandang bahwa sahnya hukum pernikahan dibawah tangan tersebut tidaklah berhenti sampai disitu. Sahnya hukum tersebut menjadi haram manakala terdapat mudharat. Bahkan

menganjurkan untuk dicatatkan sebagai bentuk langkah preventif ( saddan

lidz dzari‟ah)27

“Mencegah mafsadah (kerusakan) lebih didahulukan daripada menarik kemaslahatan.”

Untuk mencegah kerusakan dalam tatanan kemasyarakatan terkait dengan pernikahan ini maka pemerintah dalam hal ini menurut Undang-Undang Pernikahan tahun 1974 berfungsi sebagai pembuat kebijakan yang sesuai dengan kemaslahatan masyarakat pada umumnya.

Hal ini sesuai dengan kaidah fikih:

29

ِةَحَلْصَمْلِبِ ٌطوُنَم ِةَّيِعَّرلا ىَلَع ِماَمِْلْا ُفُّرَصَت

”Kebijakan pemimpin kepada rakyatnya sesuai dengan pertimbangan kemaslahatan”

Ketaatan kepada pemimpin, dalam hal ini pemerintah, sesuai dengan Al

Qur‟an yang menyuruh manusia untuk taat kepada pemimpin, seperti

tercantum dalam ayat Al Qur‟an:

25Tim redaksi Tanwirul Afkar Ma‟had Al

i PP. Salafiyah Sukerejo SituBondo, Fikih Rakyat Pertautan Fikih dengan Kekuasaan, Cet. 1 ( Yoryakarta: LKIS, 2000 M) h.287

26

Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 10 Tahun 2008h. 531 27

Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 h. 531 28

Muhammad Sidqi bin Ahmad bin Muhammad al-Burnu, al Wajiz Fî Idhah Qawaid al fikh al Kuliyyah, ( Beirut: Muasasah ar Risalah, 1422 H) h. 265

29

(9)

َي

(Muhammad) dan ulil amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka

kembalilah kepada Allah (Al Qur‟an) dan Rasul-Nya (Sunnah-nya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian yang demikian lebih

utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An Nisa[4]:59)

Dalam menafsirkan ayat ini, Syekh Mutawalli as-Sya‟râwi menyebutkan:

َي ُد

“Menunjukkan atas perintah kepada waliyul amri (pemangku

kekuasaan) merupakan keharusan (mulzim) jika bersumber dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, itulah perlindungan Allah untuk

masyarakat beriman.”

Abdurrahman Nâsir as Sa‟di dalam tafsirnya menyebutkan bahwa syarat

ketaatan kepada ulil amri manakala mereka tidak menyuruh kepada

kemaksiatan.31 Oleh karena tidak ada ketaatan kepada makhluk untuk

bermaksiat kepada Al Khâliq (Allah).32

Perkawinan yang tidak dicatatkan berakibat tidak diperolehnya

perlindungan hukum (no legal protect) yang diberikan oleh negara meskipun

perkawinan dipandang sah karena dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Sehingga saat salah satu dari kedua belah pihak melakukan

penyimpangan (wan prestasi), maka pihak yang merasa dirugikan akan

30

Mutawwalli as-Sya‟râwi, Tafsir as Sya‟rawi,jilid IV (t.tp: Akhbar al-Yaum,1997) h. 2360

31

Itulah rahasia mengapa kata kerja dalam ayat ini hanya pada kata athiullah wa atiu Rasul, sedangkan pada kata ulil amri tidak disebutkan langsung, karena ketaatan kepada pemimpin tetap dibingkai oleh ketaatan kepada perintah-Allah dan Rasul. Karena taidaklah mungkin seorang Rasul memerintahkan kepada kesesatan.

32

(10)

kesulitan mengajukan gugatan karena tidak ada akta otentik untuk

membuktikan adanya ikatan perkawinan.33

Penetapan asal usul anak dalam perspektif hukum islam memiliki arti yang sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat diketahui hubungan mahram antara anak dan ayahnya. Meskipun demikian seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir dari perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang terlahir dari diluar pernikahan yang sah, tidak dapat disebut dengan anak sah, biasa disebut dengan anak zina, atau anak diluar perkawinan yang sah dan hanya memiliki

hubungan nasab dengan ibunya.34 Persoalan nasab sangatlah penting dalam

agama islam, ketika nabi Muhammad SAW mengangkat seorang anak bernama Zaid bin Haritsah. Kemudian oleh orang-orang dinasabkan kepada Nabi Muhammad dikemudian hari, ternyata dikemudian hari mendapat

teguran dari Allah di dalam Al Qur‟an:

َنوُرِىاَظُت يِئ َّللا ُمُكََاَوْزَأ َلَعََ اَمَو ِوِفْوََ ِفِ ِْيَْ بْلَ ق ْنِم ٍلََُرِل َُّللَّا َلَعََ اَم

َُّللَّاَو ْمُكِىاَوْ فَِبِ ْمُكُلْوَ ق ْمُكِلَذ ْمُكَءاَنْ بَأ ْمُكَءاَيِعْدَأ َلَعََ اَمَو ْمُكِتاَهَّمُأ َّنُهْ نِم

َ ي َوُىَو َّقَْلْا ُلوُقَ ي

َليِبَّسلا يِدْه

.

َْلَ ْنِإَف َِّللَّا َدْنِع ُطَسْقَأ َوُى ْمِهِئَبِ ِل ْمُىوُعْدا

اَميِف ٌحاَنَُ ْمُكْيَلَع َسْيَلَو ْمُكيِلاَوَمَو ِنيِّدلا ِفِ ْمُكُناَوْخِإَف ْمُىَءَبِآ اوُمَلْعَ ت

َُّللَّا َناَكَو ْمُكُبوُلُ ق ْتَدَّمَعَ ت اَم ْنِكَلَو ِوِب ُْتُْأَطْخَأ

اًميِحَر اًروُفَغ

ْباَزْحَلا ُةَرْوُس(

]

[33

:

٤

)

Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya, dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zihar35 itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandungmu sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu

33

M. Anshary, Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional hal. 72

34

Siska Lis Sulistiani, Kedudukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Beda Agama menurut Hukum Positif & Hukum Islam (Bandung: Refika Aditama, 2015) h. 16

35

Zihar adalah menyerupakan istri seperti ibu kandung sendiri, seperti perkataan

seorang suami kepada istrinya,” Punggungmu haram bagiku seperti punggung ibuku”.

Maksud dari perkataan ini adalah suami yang sudah tidak mau berumah tangga dengan istrinya atau bermaksud menjatuhkan talak. Zihar pada masa jahiliyah digunakan oleh suami unuk mengharamkan berhubungan dengan istrinya, sedangkan pada masa islam terkait

dengan peristiwa Khaulah binti Tsa‟labah yang dizihar oleh suaminya Aus bin Shamit,

(11)

saja, Allah mengatakan yang sebenarnya, dan Dia menunjukkan jalan yang lurus. Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak mereka maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maula36. Dan tidak ada dosa atasmu jika kamu khilaf tentang itu, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.(QS. Al Ahzâb [33]:4-5)

Inspirasi dari ayat diatas adalah seseorang tidak dibolehkan menasabkan dirinya kepada selain ayah kandungnya, karena hakekatnya bukan anak kandung, inilah bukti betapa pentingnya nasab dan kejelasan asal-usul.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Penentuan status anak merupakan persoalan yang sangat krusial ditengah masyarakat Indonesia yang nota bene mayoritas adalah muslim, apalagi penduduk muslim Indonesia tergolong unik karena berasal dari kebhinekaan kultur dan budaya suku daerah masing-masing. Perkawinan yang sah melahirkan anak dengan status jelas baik secara hukum islam maupun hukum nasional, artinya kedudukan anak tersebut didalam keluarga, hak-haknya dilindungi secara hukum terjamin. Namun jika seorang anak terlahir dari pernikahan yang hanya sah secara agama, tidak di catatkan sesuai dengan ketentuan pencatatan dalam Undang-undang Nomer 1 tahun 1974 maka hak-hak yang seharusnya di dapatkan oleh anak tersebut bisa terabaikan.

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi tentang status anak yang diajukan oleh

perempuan berinisial Mcc terdapat dua hal yang berbeda37, yang seharusnya

oleh MK dibedakan kriterianya terlebih dahulu sebelum menjatuhkan putusan.

Pertama, anak yang dilahirkan dari perkawinan yang memenuhi norma agama, namun tidak memenuhi norma hukum. Mengapa demikian? Karena pernikahan yang dilakukan oleh perempuan berinisial Mcc. Telah memenuhi syarat pernikahan secara agama yang dianut oleh Mcc dan Md. Hanya saja pernikahan tersebut tidak dilakukan didepan petugas pencatat nikah tentu dengan berbagai pertimbangan, dan tidak dicatatkan. Secara agama pernikahan ini sah karena telah memenuhi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

Perkawinan yang berbunyi,”

36

Hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seseorang yang menjadi anak angkat, seperti panggilan kepada Salim yang merupakan anak angkat Huzaifah sering dipanggil Salim Maula Huzaifah.

37

(12)

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaanya itu,”38

.Berdasarkan pasal tersebut diatas, perkawinan ini sah, namun tidak memiliki kekuatan hukum, karena tidak memiliki bukti otentik.

Kedua, anak yang lahir dari luar perkawinan baik norma agama dan diluar norma hukum (anak zina dan sejenisnya), selanjutnya disebut sebagai anak luar kawin. Anak yang terlahir dari perbuatan ini tidak memiliki hubungan nasab dengan ayahnya. namun dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi dijelaskan bahwa ketentuan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang

Perkawinan harus dibaca,” Anak yang dilahirkan diluar perkawinan

mempunyai hubungan perdata dengan ibunyadan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga

ayahnya”.

Tentang istilah”mempunyai hubungan perdata” yang tercantum dalam

amar putusan tersebut mengandung makna yang umum.sehingga mengundang multi penafsiran. Bisa dipahami hanya sebatas memberi nafkah, biaya pendidikan, pengayoman dan sebagainya, namun bisa juga dipahami memiliki hubungan nasab dengan ayahnya sebagai konsekuensinya

menimbulkan hubungan waris dan perwalian nikah. Istilah “mempunyai hubungan perdata” dalam Pasal 280 KUH Perdata menghendaki hubungan

anak luar kawin dengan bapak biologisnya tdak hanya sebatas memberikan pengayoman, nafkah, pendidikan, jaminan kebutuhan hidup saja namun juga

in clued hubungan nasab juga. Jika alur pasal ini diikuti maka Putusan Mahkamah Konstitusi telah memposisikan anak luar kawin sama dengan anak sah, akibatnya dalam kasus warisan misalnya bisa menggeser keberadaan dan hak-hak anak sah.

2. Pembatasan Masalah

Oleh karena pembahasan tersebut diatas cukup luas maka penulis membatasi permasalahan pada penelitian ini sebagai berikut:

a. Mengungkap jenis-jenis perkawinan yang berimplikasi kepada status

anak yang terlahir akibat perkawinan tersebut.

b. Melakukan kajian tentang status anak pasca putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terkait anak yang terlahir di bawah tangan di tinjau dari pendekatan keperdataan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia.

38

(13)

3. Perumusan Masalah

Penulis merumuskan masalah dalam tesis ini kedalam pokok bahasan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah status anak yang terlahir dari pernikahan dibawah tangan

ditinjau dari sudut Putusan Mahkamah Konstitusi dan fatwa Majelis Ulama Indonesia?

b. Apakah implikasi yuridis terhadap status anak dibawah tangan pasca

Putusan Mahkamah Konstitusi dan sejauh mana kekuatan fatwa Majelis Ulama Indonesia terkait permasalahan tersebut?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui status anak dari perkawinan di bawah tangan serta problematikanya di Indonesia dengan pendekatan tinjauan Putusan Mahkamah Konstitusi dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih secara teoritis maupun praktis dalam sebagai berikut:

a. Teoritis, hasil dari penelitian ini semoga dapat memberikan kontribusi positif dalam ilmu pengetahuan dan hukum terkait hukum terkait keluarga dan anak.

b. Praktis, hasil dari penelitian ini semoga dapat bermanfaat bagi pihak-pihak terkait seperti pemerintah khususnya dibidang hukum, agama, ormas maupun masyarakat Indonesia secara umum.

D. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian kepustakaan

(library research) yang bersifat yuridis normatif 39, yang mengacu pada norma-norma hukum positif Indonesia dan hukum Islam, dalam hal ini adalah institusi Majelis Ulama Indonesia (MUI).

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, dengan mengemukakan data-data yang terkait pembahasan jenis-jenis pernikahan, implikasinya terutama terkait dengan status anak yang terlahir dibawah tangan.

39

(14)

3. Tekhnik Pengumpulan Data

Karena penelitian ini bersifat penelitian kepustakaan,maka penulis merujuk kepada sumber-sumber primer dan sekunder. Sumber-sumber primer dalam penelitian kepustakaan bertujuan untuk mengkaji yang diperoleh dari buku-buku terkait, seperti kitab al-Fikh al-Islami wa Adillatuh karya Syeikh Wahbah Az-Zuhaily dan kitab-kitab fikih lainnya. Selain itu juga penulis meneliti dan menelusuri data-data sekunder berupa jurnal ilmiyah yang terkait dengan masalah, sumber bahan primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, bahan sekunder yaitu memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, dan bahan hukum tertier yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.40

4. Tekhnik Analisi Data

Analisi data dilakukan secara kualitatif normative yakni analisis yang dipakai tanpa menggunakan angka maupun rumusan Statistika dan Matematika, disajikan dalam bentuk uraian, dimana hasil analisis

dipaparkan secara deskriptif dengan pertimbangan dapat

menggambarkan status anak dari perkawinan dibawah tangan serta implikasi hukum didalamnya baik secara pandangan hukum islam yang bersumber dari kitab-kitab klasik dan hukum nasional dalam hak ini Mahkamah Konstitusi maupun institusi hukum lainnya, serta merujuk kepada fatwa-fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI)

40

(15)

E. Kajian Pustaka

Kajian mengenai status hukum anak sudah sering muncul dalam

berbagai forum terutama hukum keluarga (al ahwâl as syakhsiyah)41

Namun meski sering dikaji dalam berbagai forum, istilah anak luar kawin dan statusnya belumlah banyak yang memahami, apalagi dikalangan masyarakat awam. Hukum-hukum dan norma yang terkait dengan keluarga sering dilanggar baik secara sadar maupun tidak. Oleh karena itu menurut hemat penulis pembahasan tentang problematika keluarga dan status hukum anak dan perlindungan menurut hukum tetaplah menarik untuk dikaji dengan beberapa pertimbangan diantaranya:

1. Hukum keluarga akan senantiasa berjalan sesuai dengan tingkat

pertambahan penduduk, karena siklus hidup manusia senantiasa berputar dari dalam kandungan, lahir, anak-anak, remaja, dewasa dan berkeluarga, oleh karena itu hukum-hukum terkait didalamnya senantiasa relevan setiap zaman. Karena syariat Islam pada prinsipnya adalah menarik kebenaran kepermukaan sehingga bisa dirasakan oleh manusia dan

menjauhi kerusakan (mafsadat).42

2. Status anak yang berasal secara dari pernikahan sah, hukum dan

implikasinya relatif tanpa permasalahan berarti, namun anak yang

terlahir dengan status yang “menggantung” sah secara hukum agama

namun tidak sah secara hukum negara banyak diantara mereka yang praktis menjadi korban, nyaris minim sekali perlindungan hukumnya.

3. Anak merupakan anugerah dan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa,

didalamnya ada harkat dan martabat yang harus dijunjung tinggi, dan setiap mereka memiliki hak yang sama. Prinsip-prinsip umum perlindungan anak adalah non diskriminasi, kebutuhan hidup, kelangsungan hidup, partisipasi dan lingkungan yang nyaman untuk

menggapai cita-citanya.43

Berikut ini penulis akan mengetengahkan kajian pustaka terlebih dahulu untuk memperoleh gambaran lebih spesifik tentang kajian-kajian yang sudah pernah dilakukan.Dalam literratur klasik hukum-hukum tentang anak terkait

langsung dalam bab munâkahat (pernikahan) atau kitab nikah. Imam An

Nawawi dalam kitabnya Al Majmu‟ Syarh Muhazab, menukil bab yang ada

41

Al-Ahwâl As-Syakhsiyah adalah hukum dan perundang-undangan yang secara spesifik membahas tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan hukum keluarga, dari penikahan, perceraian, waris, wasiat, status anak, anak angkat dan sebagainya. Dalam kajian fikih klasik tidaklah dikenal istilah al ahwâl as syakhsiyah, namun fikih-fikih yang terkait dengan keluarga yang tersebar dalam kitab-kitab fikih mazhab.

42

Izzuddin Abdu as-Salâm, Qawâidul Ahkâm Fi Mashâlih al-Anâm, Juz 1( Cairo: Maktabah al-Kuliyat al-Azhariyah, 1414H) h.11

43

(16)

korelasinya dengan pembahasan ini, yaitu bab mula‟anah atau bab li‟an. Bahkan menyebutkan sebuah bab yang berjudul:

ُي اَم ُبَبِ

bersumber dari pernikahan yang jelas dan kemungkinan hamil pada proses pernihakan dalam waktu yang bisa perkirakan. Sedangkan sisi lain beliau membahas tentang perkiraan usia pernikahan terkait kemungkinan dengan

pengakuan status anak.45 Kitab fikih klasik lain yang terkait dengan

pembahasan penulis adalah Kitab Bidâyat al Mujtahid wa Nihâyat al

Muqtashid karya Ibnu Rusyd. Dalam kitab ini beliau menyinggung tentang permasalahan dalam pembahasan terkait pengakuan anak beliau secara komprehensip membahasnya dalam limam bab terstruktur, mulai dari jenis-jenis tuduhan dan syarat-syaratnya, sifat-sifat pihak-pihak yang melakukakn

li‟an, sifat li‟an itu sendiri, jika salahsatu dari kedua belah pihak rujuk‟ dan hukum sempurnannya sebuah li‟an. Semua dijelaskan dengan gambling,

namun masih sebatas teori-teori dalam fikih islam46. Sementara itu Syekh

Wahbah az Zuhaili dalam kitabnya Al Fikhul Islâmi wa Adillatuhu

menyebutkan bab khusus tentang Al Ahwâl As Syakhsiyah, yang terbagi

menjadi tiga bagian besar yaitu: bab tentang perwalian, bab tentang keluarga secara umum yang terdiri dari hukum keluarga, perceraian, mahar, nafkah dan lain-lain. Serta bab ketiga tentang hukum harta keluarga berupa warisan

dan wasiat47. Adapun menurut Sayid Sabiq dalam kitab Fikih Sunnah, beliau

mengatakan bahwa lia‟an adalah proses pengingkaran anak, karena tuduhan

dari pihak suami yang menuduh istinya berzina, sehingga anak yang dikandungnya bukan merupakan anak hasil pernikahan mereka. Sehinga anak

yang terlahir dari pengingkaran sang suami dihukumi al walad al firasy.48

Sedangkan Imam As Syaukani dalam kitab Nailul Authar mengatakan bahwa

anak yang terlahir dari sebab li‟an maka nasabnya kepada ibunya:

44

Imam An-Nawawi, al- Majmu‟ Syarh Muhazzab, Juz XVII ( Mesir: Dar al Fikr, tt) h. 399

45

Imam An-Nawawi, al-Majmu‟ Syarh Muhazzab, hal. 399 46

Ibnu Rusyd al-Hafid, Bidayatul Mujtahid wa Nihayat al Muqtashid, jilid 3(Cairo: Darul Hadits, 1425H)h. 133

47

Wahbah Az-Zuhaili, al-Fikh al-Islami wa Adillatuhu, jilid IX ( Damaskus: Dar al- Fikr, tt) h.6487

48

(17)

« ُأ

ِْلْ

ُدَلَوْلا َق

ِوِّمُِبِ

: »

ْيَأ

َفَ نَو اَىَدْحَو اََلَ ُهَرَّ يَص

ِراَوَ ت َلَف ِجْوَّزلا ْنَع ُها

ُث

اَمُهَ نْ يَ ب

49

Anak dinasabkan dengan ibunya, maksudnya adalah ikatan nasab dengan ibunya seorang diri dan meniadakan nasab suaminya, dan tak

ada saling mewarisi diantara keduanya”.

Bahan-bahan tersebut menjadi acuan bagi penulis sebagai pembanding antara hukum klasik dan hukum modern.

Menurut M. Anshary, dalam bukunya yang berjudul “Kedudukan Anak

Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional, membahas secara umum tentang berbagai istilah anak, namun kajiannya masih bersifat umum

dan terlalu”kental” dengan paradigma hukum nasionalnya dibanding hukum

islam, beliau sedikit sekali mencantumkan literature yang bersumber dari Al

Qur‟an dan Sunnah yang merupakan rujukan utama hukum islam, sebab judulnya menyebutkan perspektif hukum islam. Sehingga penulis tidak melihat bagaimana pandangan islam terutama fikih terkait masalah anak. Terkait hukum anak yang terlahir diluar pernikahan sah, beliau mengutip fatwa Majelis Ulama Indonesia yang terkait dengan anak zina, padahal anak zina berbeda hukumnya dengan anak yang terlahir dari pernikahan yang tidak dicatatkan.50

Literatur lain yang terkait dengan pembahasan adalah karya J. Andi

Hartanto dalam bukunya berjudul” Hukum Waris Anak Luar Kawin menurut

Burgerlijk WetBoek” namun dalam buku ini hanya membahas tentang hak

-hak waris anak saja tanpa membahas status hukum anak yang terlahir dari

pernikahan bawah tangan secara spesifik.51. Kemudian literatur yang

menyangkut pembahasan penulis adalah sebuah buku yang ditulis oleh Siska

Lis Sulistiani dengan judul “Kedudukan Hukum Anak Hasil Pernikahan

Beda Agama menurut Hukum Positif dan Hukum Islam”. Namun buku ini khusus membahas tentang kedudukan anak hasil pernikahan beda agama meski didalam nya disebutkan beberapa bab yang terkait dengan materi penulis, namun belumlah lengkap, bahkan pembahasan dalam buku ini mengelompokkan anak luar kawin dalam tiga kelompok yaitu: anak zina,

49

Imam As Syaukani, Nail al- Authar,jilid VI ( Mesir: Dar Al Hadits, 1413H) h. 318

50

M. Anshary, Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional, ( Bandung: Mandar Maju, 2014) h. 78

51

(18)

anak hasil hubungan sedarah (incest) dan anak luar nikah lainnya.52 Untuk itu dalam tesis ini penulis akan mengungkap dan mengulas kajian-kajian serta pendekatan teoritis secara komprehensif lagi sebagai langkah strategis terkait status anak dari pernikahan di bawah tangan dalam tinjauan hukum islam, hukum nasional dan fatwa Majelis Ulama Indonesia.

F. Sistematika Penulisan

Penulis akan membahas tesis ini dalam beberapa bab yang terkait dengan judul yang penulis ketengahkan diantara pembahasan itu adalah:

BAB I berisi pendahuluan yang akan membahas tentang latar belakang masalah, perumusan dan batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka serta metode penelitian serta sistematika pembahasan.

BAB II penulis akan membahas tentang tinjauan pernikahan dari sudut pengertian, jenis-jenisnya, rukun, syarat dan tujuan pernikahan. Selain itu

penulis juga akan membahas tentang nikah siri, mut‟ah dan nikah dibawah

tangan serta perbedaan diantaranya, penulis akan membahas tentang pengertian dan kedudukan anak didalam keluarga, istilah-istilah anak yang sering dijumpai, anak zina, anak dibawah tangan dan seterusnya, juga akan

membahas tentang kedudukan anak dalam Al Qur‟an, hadits serta hukum

nasional. Juga akan membahas tentang urgensi pencatatan pernikahan.

BAB III pada bab ini penulis akan mengetengahkan kajian tentang pengakuan anak dari pernikahan dibawah tangan, terkait asas hukum, kedudukan dan akibat hukum serta pengakuan anak tersebut, dikaitkan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia.

BAB IV penulis akan membahas tentang implikasi yuridis dari putusan Mahkamah Konstitusi terkait anak dibawah tangan, menyangkut sah atau tidaknya, perlindungan hukum terhadap anak tersebut dan tindak lanjut pasca putusan Mahkamah Konstitusi dikorelasikan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia terkait putusan tersebut.

BAB V pada bab ini penulis akan menyebutkan kesimpulan-kesimpulan terkait pembahasan, rekomendasi pada pihak terkait serta masukan-masukan positif terkait pembahasan masalah diatas.

52

(19)

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, maka komunikasi penyuluhan yang dilakukan baik dari segi teknik, bahasa, dan sarana yang digunakan harus disesuaikan dengan daya nalar masyarakat yang dilihat

Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Puguh Harianto sebagai Ketua Pelaksana yaitu tugas dari dua divisi ini hampir sama dan sesuai dengan keputusan dari DPM agar

Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Islam "Ibnu Sina" Yarsi Sumbar Bukittinggi menunjukkan bahwa 54,7% perawat memiliki kecendrungan turnover, dari

Kenaikan indeks harga terjadi pada subkelompok tembakau dan minuman beralkohol sebesar 1,04 persen, minuman yang tidak beralkohol sebesar 0,09 persen, serta makanan

value Teks default yang akan dimunculkan jika user hendak mengisi input maxlength Panjang teks maksimum yang dapat dimasukkan. emptyok Bernilai true jika user dapat tidak

Kemudian Anda juga harus menyatakan bahwa karena Anda mengajukan permohonan terhadap Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris yang

Sebelumnya dikatakan bahwa Kecamatan Reok lolos untuk menjadi Pusat Kegiatan Lokal dikarenakan memiliki pelabuhan kelas III dan jalan areteri yang mendukung

Lokasi tersebut dipilih secara purposif dengan alasan (a) ja- lan lintas Papua merupakan jalan yang mengikuti garis perbatasan antara Indonesia dan Papua New Guinea