• Tidak ada hasil yang ditemukan

MATI ITU PASTI Ebook

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "MATI ITU PASTI Ebook"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

Penyunting

Handaka Vijjānanda

Penggambar Sampul

Alvina Swarnadhītā Andreas Dīpaloka

Penata

Vidi Dayasati

Penerbit

Ehipassiko Foundation

Copyright ©2012 Chuang Cetakan 1, Okt 2012 Cetakan 2, Feb 2013

Pusat Pelayanan Ehipassiko Foundation 085888503388 | BB 29DFC495 ehipassikofoundation@gmail.com

www.ehipassiko.or.id

_____________________________________________

Dengan mendanai buku ini, Anda membantu kelangsungan perjuangan penerbit dalam

(5)

yang bisa kita lakukan hanyalah balas tersenyum kepadanya.” ~ Maximus, dari film Gladiator

I knew a man who once said, “Death smiles at us all; all a man can do is smile back.”

~ Maximus, from the movie Gladiator

Untuk semua

yang sudah dan pasti akan “pindah alamat” ke alam atau kehidupan berikutnya.

Dan terutama,

untuk Almarhumah Mamaku, semoga senantiasa bahagia

(6)

Syahdan pada masa kehidupan Buddha, terdapatlah seorang perempuan muda bernama Kisa Gotami. Setelah beberapa lama menikah dia akhirnya hamil, dan pada waktunya lahirlah seorang bayi lelaki yang sehat. Tapi mendadak pada suatu hari,

begitu anak itu mulai akan belajar berjalan, anak itu terserang penyakit yang menyebabkan kematiannya.

Kisa Gotami amat sedih. Dia menolak menerima kenyataan bahwa anak yang sangat dikasihinya itu telah mati. Dengan mendekap mayat bayinya, Kisa Gotami pergi berkeliling kota untuk mencari obat agar anaknya bisa “sembuh” kembali. Setiap

orang di kota menganggap Kisa Gotami telah gila. Namun ada seorang baik hati yang bersimpati padanya. Orang itu menyarankan Kisa Gotami pergi menghadap Buddha karena hanya Buddha satu-satunya orang yang bisa memberikan obat

bagi anaknya.

Tanpa membuang waktu, Kisa Gotami bergegas pergi menghadap Buddha. Sesampainya di hadapan Buddha, dengan bercucuran air mata Kisa Gotami memohon Buddha untuk menyembuhkan anaknya. Buddha mengetahui bahwa keadaan batin Kisa Gotami tak siap menerima penjelasan apa pun mengenai hakikat kehidupan dan kematian. Karena itu,

Buddha menyanggupi permohonan dengan meminta Kisa Gotami mencari segenggam biji sesawi dengan syarat biji-biji itu berasal dari rumah tangga yang belum pernah mengalami

kematian anggota keluarganya.

Dengan harapan yang membubung tinggi, Kisa Gotami pergi dari rumah ke rumah, dari pintu ke pintu untuk memperoleh sengenggam biji sesawi yang diminta Buddha. Tapi setiap kalinya, meskipun orang-orang dengan senang hati bersedia

(7)

rumah tangga yang pernah mengalami kematian satu atau lebih anggota keluarganya.

Pada akhirnya, seiring makin lanjutnya proses pencarian segenggam biji sesawi itu, perlahan-lahan Kisa Gotami mulai

menyadari bahwa kematian bukan hanya milik satu orang. Kematian adalah kenyataan tak terelakkan bagi semua yang

hidup, bahwa kehidupan selalu berdampingan dengan kematian. Dan dengan pemahaman itu dia pun terbebas dari

(8)
(9)

Apakah Kematian Itu? Mengapa Kita Harus Mati? Kehidupan Setelah Kematian Mitos Seputar Kematian Mati Itu Pasti

Mempersiapkan Diri Menghadapi kematian Persiapan Spiritual

Perenungan Kerap

Melatih Diri Dalam Moralitas, Meditasi, dan Kebijaksanaan

Mengembangkan Cinta Kasih Menemukan Makna Hidup Persiapan Duniawi

Surat Wasiat Asuransi Jiwa

Membantu yang Lain Siap Serbaneka

Eutanasia Bunuh Diri

Donor Jenazah dan Organ Fakta Unik Tentang Kematian Humor Kematian

(10)

P

ada sebagian besar kebudayaan di dunia, kematian dianggap sebagai sesuatu yang tabu untuk dibicarakan, yang diratapi dengan tangisan dan kesedihan. Beberapa kebudayaan yang dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan tertentu juga menganggap bila suatu keluarga sedang mengalami kematian salah satu anggotanya, maka keluarga itu dianggap berada dalam status “tidak suci” atau “sial” dan harus dijauhkan dari segala upacara yang menyangkut agama sampai batas waktu tertentu atau ketika suatu ritual “pembersihan” telah dilaksanakan untuk mengembalikan keadaan kembali “normal”. Jadi, selain menakutkan, kematian pun dianggap sebagai sesuatu yang “sial” atau “kotor”.

Sikap dan cara pandang seperti ini membuat kematian menjadi sesuatu yang harus dijauhi sebisa-bisanya dari kehidupan, dibenci, tidak menguntungkan. Orang-orang menyembunyikan pekuburan di pinggiran kota dengan harapan tidak akan sering melintasinya, dan jenazah mendiang dirias sedemikian rupa hingga bisa jadi kita mengira itu bukanlah orang mati, melainkan hanya sedang tertidur pulas. Pembicaraan tentang kematian pun sering dianggap sama tabunya dengan membicarakan tentang seks atau pornografi.

(11)

pasti mati menyebabkan kita sadar tak ada gunanya menyimpan dendam, amarah, iri, dengki, dan emosi-emosi negatif lainnya. Kematian juga sebuah penyeimbang hebat yang membuat kita semua setara di hadapannya. Tak peduli siapa pun kita dalam kehidupan ini, apa pun pencapaian kita, pada akhirnya kita semua sama saja tak terelakkan menghadapi kematian. Lagi pula, karena adanya kematianlah dimungkinkan terjadinya pergantian generasi yang pada gilirannya membuat kehidupan terus berputar dan kemajuan pun dapat dicapai.

Tapi bagaimanapun, pertama-tama penting untuk mencari tahu apakah sebenarnya kematian itu yang secara awam dianggap menakutkan dan tabu, sesuatu yang tak menguntungkan siapa pun kecuali mungkin mereka yang bergerak di bidang jasa pelayanan kematian?  Dengan kata lain, apakah definisi kematian?

Itu adalah suatu pertanyaan sederhana yang kedengarannya sangat mudah untuk dijawab. Jika seseorang tahu apa definisi “kehidupan”, secara otomatis ia dapat mendefinisikan kematian. Sebab, definisi kematian tidak lain adalah kebalikan dari definisi kehidupan itu sendiri. Tapi dalam kenyataannya, definisi kematian jauh lebih pelik daripada yang diprakirakan oleh kebanyakan orang.

(12)

bermula dari suatu kepercayaan bahwa sang pencipta dunia dan seisinya, ketika menciptakan manusia, mengembuskan napas kehidupan ke apa yang sebelumnya adalah patung-patung tanah liat berbentuk manusia.

Namun ternyata keberadaan napas sebagai penentu mati atau hidupnya seseorang, yang sekian lama diyakini oleh banyak orang, pada akhirnya tidak lagi mencukupi.

Ketika ilmu pengetahuan dan teknologi semakin berkembang, manakala orang mulai bisa menciptakan alat pernapasan mekanis (respirator), saat itu pula napas sebagai penentu mati atau hidup mulai dipertanyakan. Karena terbukti napas berhenti bukanlah akhir segalanya, ada respirator yang bisa menggantikannya, dan sosok yang berabad-abad lalu pasti sudah dianggap telah mati kini tak lagi begitu saja bisa “diwisuda” menjadi mendiang.

Karena itu, orang-orang mulai mencari rumusan kematian yang lebih bisa diterima. Dan untuk sementara ini, secara hukum dan medis kita menganggap seseorang telah meninggal dunia jika dia mengalami apa yang disebut sebagai “kematian batang otak” yang dapat dideteksi oleh suatu alat yang bernama

electroencephalograph (EEG).

(13)

kehidupan seperti ventilator berarti sama dengan menyebabkan kematian pada anggota keluarga kita atau dianggap tidak memberikan seluruh harapan yang memungkinkan kepada mereka?

Begitu seseorang mati batang otak, maka orang itu telah meninggal dunia. Otak tidak akan pernah dapat dipulihkan kembali. Karena si pasien telah meninggal, kita tidak dapat membunuhnya dengan melepas mesin pernapasan. Mesin pernapasan hanyalah menjaga paru-paru tetap bergerak dan jantung berdenyut, yang memberi penampakan seolah-olah orang tersebut masih hidup.

Dalam kejadian seperti itu, kita tidak semestinya mengatakan bahwa kita akan mematikan sistem pendukung kehidupan, karena hal itu seharusnya dikatakan sebagai kita akan mematikan sistem pendukung kematian.

Jika uraian tersebut di atas adalah definisi kematian menurut medis dan hukum, lalu bagaimana definisi kematian menurut Buddhisme?

Buddhisme secara tegas menolak definisi kematian yang merujuk pada pernapasan. Apakah ini berarti agama Buddha mengikuti definisi modern yang mengacu pada fungsi kerja otak? Jawabannya juga tidak. Definisi kematian dalam ajaran Buddha tidak hanya sekadar ditentukan dari unsur-unsur jasmaniah—entah paru-paru, jantung ataupun otak.

(14)

kematian ialah unsur-unsur batiniah suatu makhluk hidup. Walaupun organ-organ tertentu masih dapat berfungsi sebagaimana layaknya—secara alamiah ataupun melalui bantuan peralatan medis, seseorang dapat dikatakan mati apabila kesadaran ajal (cuticitta) telah muncul dalam dirinya. Begitu muncul sesaat, kesadaran ajal akan langsung padam.

Kepadaman kesadaran ajal merupakan “point of no return” bagi suatu makhluk dalam kehidupan ini. Pada unsur-unsur jasmaniah, kematian ditandai dengan terputusnya kemampuan hidup (jivitindriya). Inilah definisi kematian menurut pandangan Buddhisme.

Kematian adalah cara kehidupan memberitahu Anda bahwa Anda dipecat.

~ Penulis tak dikenal

Death is life’s way of telling you: you’re fired.

(15)

D

alam keseharian hidup, kita akan menemukan orang-orang meninggal pada semua besaran umur. Beberapa orang meninggal persis setelah mereka dilahirkan, atau bahkan malah sebelum dilahirkan (akibat suatu tindakan aborsi atau karena keguguran alami). Beberapa yang lainnya masih sempat muncul ke dunia dan membuka matanya, namun lantas “layu sebelum berkembang”. Beberapa lainnya panjang umur sampai sukses menjadi orang-orang T.O.P. (Tua, Ompong, Peot)  sebelum akhirnya berangkat untuk “pindah alamat” ke alam lain. Mereka semua meninggal karena pelbagai macam sebab yang, secara umum, dapat diringkas menjadi tiga kelompok: penyakit, kecelakaan atau bencana, dan usia lanjut.

Ketika kita ditanyai mengapa seseorang meninggal dunia, kita bisa menjawab ada banyak penyebab seseorang meninggal dunia. Pernyataan-pernyataan seperti, “Kakekku telah meninggal dunia setahun lalu karena serangan jantung”, atau “Sepupu saya tewas dalam kecelakaan pesawat terbang”, atau “Orang tua itu meninggal dunia dengan tenang di tempat tidurnya karena usia yang sudah amat lanjut”, dapat diterima sebagai pernyataan-pernyataan yang terang jelasnya dalam pengertian kebenaran sehari-hari di dunia kita.

Tetapi jika kita bertanya mengapa manusia HARUS mati, maka jawabannya akan tergantung dari latar belakang keyakinan kita.

(16)

dunia akan penuh sesak bila semua manusia tak mati-mati, dan bahwa dunia ini bukanlah rumah sejati manusia, melainkan hanyalah persinggahan sementara sehingga kematian itu akan menjadi suatu perjalanan pulang menuju rumah sejati di sisi pencipta itu. Ajaran lainnya menyatakan bahwa pada mulanya manusia pertama ciptaan makhluk adikodrati itu hidup abadi di surga. Tapi karena dosa yang dilakukannya, manusia itu kemudian diusir dari surga dan jatuh ke bumi menjadi makhluk yang fana, yang masa kehidupannya dibatasi oleh kematian.

Bagi Buddhisme, jawaban untuk pertanyaan mengapa manusia HARUS mati amatlah sederhana namun sekaligus menohok langsung ke ulu hati kesadaran:

KITA MATI karena KITA LAHIR!

Menurut Buddhisme, kelahiran menyebabkan kita “memiliki” lima gugus ini yang secara ringkas disebut badan dan batin. Badan adalah perpaduan dari unsur-unsur seperti tanah, air, api dan angin yang membentuk pancaindra dan seluruh bagian lainnya. Batin terdiri dari kesadaran, pencerapan, bentukan pikiran, dan perasaan. Apa yang secara umum kita sepakati sebagai “manusia” atau “makhluk” adalah perpaduan semua hal ini. Dan karena apa pun yang merupakan perpaduan adalah tidak konstan, maka

Orang tidak mati lantaran cinta atau sakit hatinya atau bahkan usia lanjutnya; dia mati karena dia itu orang. ~ Percival Arland Ussher

(17)

yang disebut kematian. Tanpa adanya perpaduan lima gugus ini (lahir), maka tak ada pula perpisahan lima gugus (mati). Tanpa kelahiran tak ada kematian. Dan keadaan tanpa kematian inilah yang dalam Buddhisme disebut Nibbana, tujuan tertinggi umat Buddha.

Lalu, jika kelahiran menyebabkan kematian, maka apa yang menyebabkan kita lahir?

Menurut keyakinan ajaran lain, kelahiran manusia disebabkan karena adanya satu sosok makhluk adikodrati yang maha pencipta. Makhluk inilah yang dipercaya menciptakan alam semesta berikut semua isinya, yakni: manusia, hewan, tumbuhan, batu, air, udara, tanah, pelangi, bahkan es krim juga! 

Di sisi lain, Buddhisme tidak memercayai konsep ketuhanan seperti itu. Sebagai umat Buddha, kita tidak diajarkan tentang adanya satu makhluk adikodrati yang memiliki segala sifat maha, bahwa makhluk inilah yang merupakan kausa prima atau sebab pertama dari segala yang ada sekarang ini. Umat Buddha diajarkan bahwa terbentuknya alam semesta beserta keberadaan manusia adalah buah dari hukum sebab-akibat serta hukum-hukum alam lainnya.

(18)

menjadi sebab bagi akibat lainnya lagi. Rumusan terkenal untuk proses ini kaprah dikenal dengan:

Ini ada, itu ada.

Ini muncul, itu muncul. Ini tiada, itu tiada. Ini berhenti, itu berhenti.

Pengertian yang didasarkan pada keyakinan yang berbeda membawa konsekuensi berupa sikap yang berlainan pula dalam menghadapi kematian.

Sebagai contoh, ketika dihadapkan pada suatu pengalaman kematian yang menyangkut keluarga atau orang-orang terkasihnya, sebagian orang dari keyakinan lain sering terjebak dalam sikap mengutuki atau menyumpahi makhluk adikodrati itu. Mereka tak bisa memahami bagaimana suatu makhluk adikodrati yang diyakininya mahakuasa dan maha pengasih, begitu “tega” mencabut nyawa dari seorang bayi atau anak manis yang—menurut standar keyakinan mereka— tak berdosa, atau memisahkan seorang ibu amat pengasih dari anak-anak yang amat memerlukan curahan kasih sayangnya.

(19)

bersikap tenang dan rasional dalam menghadapi kematian, tidak seemosional para penganut keyakinan lain. Tiadanya kepercayaan bahwa ada satu makhluk adikodrati mahakuasa + maha pengasih + mahatahu + maha pencipta yang mengatur kehidupan kita membuat umat Buddha tidak terserang oleh kompleksitas rasa penasaran dan rasa tak habis mengerti yang menyangkut kontradiksi-kontradiksi yang terkandung dalam kepercayaan itu sendiri. Dengan begitu, derita yang kita rasakan akibat masih pekatnya kelekatan kita terhadap orang-orang terkasih yang meninggalkan kita tak dilipatgandakan dengan beban-beban rasa penasaran itu.

Ditambah dengan kenyataan bahwa dalam Buddhisme kita diajarkan kematian itu adalah sesuatu yang amat alami, bagian dari lingkaran kehidupan yang tak terelakkan, maka sebagai Buddhis kita lebih bisa menerima kenyataan “pahit” tersebut, lebih bisa bersikap rasional dan tenang ketimbang mereka yang “terpaksa” diberati oleh rasa penasaran dan ketidakpuasan karena pandangan seperti itu.

(20)

S

ebagian besar ajaran di dunia sepakat bahwa kematian bukanlah akhir dari segala-galanya. Kematian hanyalah awal bagi kehidupan berikutnya. Beberapa agama mengajarkan para pengikutnya tentang alam surga dan neraka, tempat di mana kehidupan setelah kematian itu berlanjut. Bagi yang baik dan patuh kepada perintah atau larangan Tuhan—sosok makhluk adikodrati yang diyakini sebagai pencipta dunia— akan diberikan tempat di surga yang kekal. Untuk anak nakal, orang jahat, apalagi koruptor, neraka siap menerima mereka untuk tinggal selama-lamanya. Agama-agama seperti ini tidak mengenal konsep kelahiran ulang dalam pengertian bahwa manusia bisa terlahir ulang menjadi manusia kembali atau bahkan menjadi binatang di kehidupan mendatang. Kelahiran kembali setelah kematian, menurut ajaran-ajaran ini, hanyalah di alam surga atau di neraka, dan kedua alam itu diyakini kekal abadi selama-lamanya: sekali seseorang menjadi penghuni di salah satu alam itu, dia akan terus ada di sana selamanya.

Seperti ajaran-ajaran tersebut, kosmologi Buddhis pun mengenal alam surga dan neraka. Bedanya, Buddhisme tidak hanya mengenal surga dan neraka, tapi bahkan ada 29 alam kehidupan setelah kematian lainnya yang juga dikenal oleh Buddhisme, tempat di mana para makhluk dapat terlahir ulang. Alam-alam itu secara garis besarnya digolongkan menjadi 6 jenis alam: alam surga, alam manusia, alam binatang, alam hantu kelaparan, alam asura/siluman, dan alam neraka.

(21)

hidup oleh para penghuninya. Alam neraka pun ada banyak tingkat seperti alam surga. Hanya saja di sini para pesakitan ini dibedakan berdasarkan tingkat kebengisan atau kejahatan mereka. Seperti di dunia manusia, penjahat kelas kakap tentu tidak berada di penjara yang sama dengan penjahat kelas teri, bukan?

(22)

M

itos adalah suatu kisah atau legenda yang biasanya berisi penjelasan tentang sebab-musabab dari terjadinya suatu peristiwa atau hal. Mitos muncul karena kurangnya pengetahuan dan penalaran kita tentang suatu hal sehingga untuk menjelaskannya kita pun menciptakan mitos.

Bagi kebanyakan orang, kematian adalah sebuah misteri. Hanya sedikit di antara kita yang sungguh-sungguh telah memahami dan menaklukkannya. Karena itu, tak heran dari sejak dahulu kala hingga kini mitos-mitos seputar kematian terus lestari.

Ada mitos tentang orang-orang yang meninggal tak wajar— misalnya, gantung diri, dibunuh, kecelakaan—akan menjadi hantu atau roh yang bergentayangan. Mitos seperti ini diperkuat dan dimanfaatkan oleh produser film untuk menghasilkan film-film horor yang penuh dengan cerita balas dendam dari mantan manusia yang sudah menjadi arwah gentayangan itu.

(23)

kasus ini yang meninggal telah banyak mengumpulkan jasa baik dan keadaan batinnya cukup hening saat meninggal dunia, dia akan terlahir di alam-alam yang baik meskipun cara kematiannya tidaklah indah.

Ada pula mitos—atau mungkin lebih tepatnya kepercayaan— yang sering disalahartikan sebagai ajaran Buddha tapi sebenarnya hanyalah kepercayaan lokal bangsa Tiongkok yang “bercampur” dengan ajaran Buddha. Dikatakan bahwa kita bisa mengirimkan uang dan perbekalan lainnya serta membangunkan rumah di alam sana untuk keluarga kita yang telah meninggal dengan cara membakar kertas tertentu yang dianggap sebagai “uang” dan rumah-rumahan yang terbuat dari kertas lengkap dengan mobil-mobilan, pesawat-pesawatan atau bahkan antena parabola di atas atap rumah-rumahan tersebut.

Tentu saja, bagi umat Buddha yang paham Dharma, hal-hal tersebut bertentangan dengan apa yang telah diajarkan oleh Buddha. Karena menurut Buddhisme, seseorang yang meninggal dunia akan langsung lahir ulang di salah satu dari 31 alam kehidupan sesuai dengan karmanya: seseorang bisa memiliki bekal dan rumah di alam sana bukanlah dengan cara sanak saudaranya membakar “uang” kertas dan rumah-rumahan kertas, tapi dengan usahanya sendiri mengumpulkan jasa-jasa kebajikan serta dengan pelimpahan jasa-jasa yang dilakukan oleh sanak saudaranya yang telah melakukan kebajikan atas namanya.

(24)

percaya bahwa, meskipun kematian itu pasti, tapi kematian tidak akan datang menimpa kita hingga kita menjadi tua bangka!

Itulah mitos kematian paling berbahaya yang menyebabkan kita, selagi muda dan sehat, merasa dunia ada di tangan kita. Kesenangan-kesenangan indrawi memabukkan kita, membuat kita terlena, lupa daratan dan lautan, dan abai bahwa raja kematian bisa datang sewaktu-waktu. Dalam kenyataannya, kehidupan memaparkan pada kita: tak perlu harus tua dulu untuk mati. Karena, bahkan yang amat belia pun pergi meninggalkan dunia ini ditengah-tengah kebeliaannya.

Bagi orang muda, kematian adalah kabar angin. ~ Andrew A. Rooney

(25)

D

alam kehidupan, kita sering mendambakan suatu kepastian. Para pedagang dan investor, jika bisa, dengan senang hati bersedia membayar harga berapa pun asalkan mereka mendapatkan suatu kepastian bisnis atau investasi mereka tidak akan merugi. Para pelajar akan berusaha sekuat tenaga, belajar mati-matian siang malam untuk mendapatkan kepastian bisa diterima di universitas terkemuka yang amat diidamkan. Pasangan kekasih atau mereka yang sedang mencari jodoh, mendatangi para penasihat perjodohan atau peramal demi memastikan jodoh yang tepat untuk mereka. Dalam banyak aspek kehidupan, semua orang sangat menyukai kepastian.

Mengapa?

Karena hidup itu tak pasti, maka kita membuat pelbagai rencana untuk memastikan apa yang kita inginkan atau harapkan bisa tercapai, dan untuk memastikan kita terhindar dari hal-hal yang tak kita inginkan. Kecuali satu: begitu menyangkut kematian, kepastian menjadi sesuatu yang secara umum dianggap menakutkan, ditolak, dijauhi, dan dianggap seolah tak ada.

Sebenarnya, layakkah kita takut terhadap kematian? Layakkah kematian itu dijauhi, ditolak, dan kita pura-pura tidak tahu bahwa kematian itu nyata adanya, bisa datang sewaktu-waktu tanpa perlu diundang?

(26)

tak terelakkan, ketakutan seperti itu terasa konyol: apa ada gunanya kita takut pada sesuatu yang tak terelakkan, yang tak dapat kita hindari dengan cara apa pun?

Dan bila dilihat dari keyakinan Buddhis yang mengakui adanya kelahiran ulang, bahwa kehidupan ini bukanlah yang pertama kali dan bukan yang terakhir kecuali kita telah mencapai kesucian tertinggi, maka peristiwa yang disebut kematian pada dasarnya tidak pernah ada. Kematian sesungguhnya dapat dipandang hanya sebagai suatu peristiwa “pindah alamat”: seseorang yang meninggal dalam kehidupan ini pergi “pindah alamat” menuju alam lain atau kehidupan berikutnya di dunia ini (bila terlahir sebagai manusia lagi). Dan andai yang terakhir ini yang terjadi, seperti yang pernah dikatakan oleh Ajahn Chah dalam salah satu ceramahnya, mendiang yang kita sayangi itu biasanya akan terlahir kembali dalam lingkungan keluarga kita sendiri. Dengan begitu kita kemungkinan besar akan bisa bertemu lagi dengan mereka, jadi tak ada alasan untuk takut atau sedih.

Mati? Ah, cuma pindah alamat saja, kok!

(27)

Saya pun juga, seperti semua orang, punya pengalaman kematian. Mulai dari kematian nenek, bibi, paman, dan terakhir yang amat dekat, mama saya sendiri.

Dari pengalaman terakhir ini, saya baru benar-benar melihat bagaimana seseorang berjuang untuk tetap hidup, tapi yang pada akhirnya karena waktunya telah tiba tetap harus berangkat pergi meninggalkan segala yang ia kasihi. Saya pun menyadari satu pelajaran amat penting, yang meski sebelum ini telah mendapatkan perhatian saya, namun melalui kematian mama arti penting pelajaran itu semakin ditekankan: sedari awal kehidupan, kita semestinya membiasakan diri untuk melepas, membiarkan berlalu. Karena di sepanjang keseharian hidup dan lebih-lebih lagi kelak ketika kita menghadapi kematian, kemampuan melepas itu sungguh amat berguna sekali.

(28)

Tentu saja, saya belumlah suciwan, bahkan masih amat jauh dari itu. Tapi ada beberapa hal yang bisa menjelaskan mengapa saya tidak menangis seperti peran yang dituntut oleh anggapan umum bagi orang yang mengalami kematian keluarganya.

Pertama, mama meninggal pada waktu yang tepat. Maksud saya, beliau meninggal ketika saya telah memiliki suatu tingkat pemahaman terhadap apa sesungguhnya hakikat kehidupan ini. Pemahaman yang saya peroleh melalui pembacaan, perenungan, dan meditasi. Saya membayangkan, andai mama meninggal 10 tahun lalu, saat mana saya masih amat “cengeng” (sekarang pun masih, tapi sudah tidak amat-amat sih, he-he-he….), saya pasti sudah menangis dan bahkan mungkin mengalami depresi.

(29)

Itulah mengapa saya bisa bersikap tenang. Termasuk juga ketika seorang kenalan mama saya yang tak tahu menahu bahwa mama saya telah meninggal, bertanya tentang kabar beliau. Ketika saya bertahukan mama saya sudah meninggal, kenalan itu, seperti adegan klise di film-film Hollywood, meminta maaf. Saya bilang, tidak ada yang perlu dimaafkan. Kematian itu wajar, amat alami, karena bagian dari kelahiran.

Sesungguhnya dari perspektif kelahiran ulang, kematian itu tidak ada. Kematian hanyalah satu proses pindah alamat ke alam lain. Dan dari keyakinan Buddhis, orang-orang yang kita kasihi yang telah berangkat pergi tak akan pergi jauh-jauh dari lingkaran keluarga kita sendiri. Mereka bisa jadi, jika karmanya memungkinkan, terlahir ulang sebagai kerabat dekat atau jauh kita, dan kita pun bisa bertemu kembali dengan mereka jika jalinan karma kita dan mereka masih belum usai.

(30)

Tapi bila kita mempertimbangkan sifatnya yang tak pasti, bahwa tak seorang pun tahu kapankah kematian tiba dan apa yang terjadi setelah kematian, bahwa ada suatu tabir gelap yang tak seorang pun bisa pastikan karena hal ini berada di luar pengetahuan awam kita, kita bisa memahami mengapa orang-orang secara umum takut terhadap kematian.

Selain itu, ada ketakutan setelah kematian keberadaan diri kita akan dilupakan oleh mereka yang masih hidup. Karena bagi manusia awam, eksistensi, suatu keberadaan, hasrat untuk dumadi, pengakuan bahwa seseorang itu ada, amatlah penting. Ketika dilupakan, saat itu pula kita merasa seperti mengalami kematian yang kedua.

Karena itulah kita menghindari membicarakannya. Kita cenderung menipu diri kita sendiri bahwa kematian itu memang tak terelakkan tapi kematian tidak akan datang sebelum kita benar-benar tua. Dan itu pun, pada saat kita telah sungguh tua, sebagian dari kita masih bersikeras tak bersedia menerima kepastian kematian.

(31)

Serigala, Rusa, dan Kematian

Barangkali selama ini sebagian besar dari kita hanya tahu bahwa serigala adalah binatang yang kejam, licik, dan jahat. Seperti ular, serigala diperlakukan sebagai binatang dari neraka, bahkan mungkin malah serigala itulah setan yang menyamar jadi binatang. Anggapan seperti itu bisa dipahami mengingat sedari kecil kita telah disuguhi oleh cerita-cerita tentang serigala sebagai tokoh antagonis. Hanya dalam sedikit kebudayaan saja serigala dihormati sebagai binatang yang sesungguhnya amat cerdas, penyayang keluarga, setia kawan, dan pemburu yang luar biasa. Seperti misalnya dalam kebudayaan Mongolia. Percayakah Anda jika disebutkan bahwa Genghis Khan dahulu mampu menaklukkan dunia karena dia dan rakyatnya banyak belajar dari para serigala?

Dari sebuah novel, Wolf Totem, yang ditulis berdasarkan kisah nyata pengalaman penulisnya sendiri, saya mengetahui sedikit banyak fakta kehebatan serigala. Dan satu hal dari novel itu yang amat mengesankan saya adalah tentang bagaimana cara serigala berburu rusa.

(32)

mereka sadar dalam hal kecepatan lari mereka akan kalah oleh para rusa itu. Jadi, dengan sabar mereka mengintai dari balik rerumputan yang tinggi dan dari jarak yang cukup jauh, menunggu para rusa itu makan sepuas-puasnya, diam hening nyaris tanpa bergerak selama berjam-jam agar buruan mereka tak menyadari bahaya yang sedang mengintipnya. Dan sementara para serigala mengintai, beberapa rusa dengan bodohnya makan sampai perut mereka kenyang kembung seperti balon, tapi beberapa yang lain cukup cerdas dan eling untuk hanya makan secukupnya.

Ketika para rusa bodoh telah makan sekenyang-kenyangnya, saat itulah dengan serentak para serigala menyerbu. Dan karena perutnya terisi penuh, rusa-rusa itu tak mampu berlari. Sebagian dari mereka langsung jatuh lemas, sebagian lagi berusaha lari tapi sia-sia saja. Tanpa kesulitan berarti para serigala bisa berpesta daging rusa gemuk yang masih segar dengan rumput belum tercerna sempurna dalam perutnya.

Sangat luar biasa, bukan, cara para serigala berburu? Amat cerdas, taktis, terorganisir dengan baik, dan sabar menunggu momentum yang tepat.

(33)

kita “makan” sekenyang-kenyangnya dan setelah itu menyerbu masuk untuk “membantai” kita. Sebagian lagi, dan biasanya minoritas, cukup eling untuk selalu ingat bahwa kematian dapat datang kapan pun, dan karena itu mereka menggunakan kesempatan terlahir sebagai manusia dengan sebaik-baiknya untuk mengembangkan kebajikan dan kebijaksanaan. Dan dengan bekal kebajikan dan kebijaksanaan itu, meskipun dalam kehidupan ini belum mampu melarikan diri dari raja kematian, pada akhirnya kematian tak dapat lagi menangkap mereka.

Sesungguhnya, andai saja kita tak abai terhadap kematian, andai kita senantiasa ingat padanya dan menjalani kehidupan dengan sepenuh-penuhnya, kita tak akan begitu saja menjadi santapan empuk raja kematian. Meskipun pada akhirnya toh kita harus mati juga, paling tidak saat itu tiba kita telah sungguh siap dengan bekal yang memadai. Karenanya, kita tak perlu merasa takut terhadap kematian. Apa pun yang terjadi pada saat dan setelah kematian tak lagi mencemaskan kita. Dengan selalu mengingat bahwa kematian itu pasti, dengan selalu mengingat bahwa setiap momen kehidupan kita bisa saja berakhir, kita mempersiapkan diri kita dengan bekal kekayaan kebajikan dan kebijaksanaan, melatih diri dalam meditasi yang mengajari kita untuk mampu melepas, membiarkan berlalu segalanya.

(34)

Iklan “Pindah Alamat” yang Unik

Di harian KOMPAS terbitan 14 Mei 2012 pada rubrik Kilasan Kawat Sedunia tersua berita unik tentang seorang pria di Berlin, Jerman, yang iklan pindah rumahnya di sebuah harian menarik perhatian pembaca. Berikut ini saya tulis ulang beritanya.

Seorang pria yang mengumumkan perubahan alamatnya di surat kabar lokal menarik perhatian media nasional karena alamat “rumah baru”-nya tidak biasa: 6 kaki (1.8 meter) di bawah tanah. Karl Albrecht, yang meninggal dunia sebulan lalu pada usia 88 tahun, memasang iklan obituari dengan gaya seperti baru pindah rumah. Dia mengundang rekan-rekannya untuk perayaan yang “meriah” di pemondokan barunya di sebuah pemakaman di Hamburg, Jerman. “Saya pindah rumah. Alamat baru saya: Pemakaman Olhsdorf-Ruhewald, Kavling Bx 65/28C. Saya sangat mengharapkan kehadiran Anda,” demikian pengumuman yang dimuat harian Hamburger Abendblatt itu. Surat kabar Bild mengabarkan, Albrecht berpesan kepada keluarganya untuk memasang iklan itu di surat kabar. Mantan pemasar asuransi itu dikenal sangat humoris dan gemar tertawa. “Di makamnya tersedia

(35)

almarhum suaminya menginginkan tamu perempuan mengenakan gaun bermotif bunga. “Jangan sampai ada yang mengenakan pakaian hitam. Karl tak tahan dengan suasana suram,” ujarnya.

(36)

Menghadapi Kematian

A

pakah penting mempersiapkan diri menghadapi kematian? Semua pemeluk agama yang benar akan menjawab dengan pasti: jelas amat penting! Karena dalam agama mana pun kematian selalu menjadi salah satu peristiwa dalam kehidupan yang amat penting, jadi mempersiapkan diri untuk menghadapinya juga amatlah penting. Lebih-lebih dalam Buddhisme.

Menurut Buddhisme, momen-momen menjelang ajal berperan amat dominan dalam menentukan ke alam mana pertama-tama kita akan menuju. Meskipun sepanjang hayat kita adalah seorang yang selalu berusaha mengembangkan kebajikan dan kebijaksanaan, tapi karena suatu kejahatan yang pernah kita lakukan dan amat mendalam membekas dalam batin kita menyebabkan saat jelang ajal kita mengalami suatu batin yang gelisah, yang negatif, maka bila kita meninggal dunia dengan batin yang seperti itu kita akan pertama-tama menuju alam yang sesuai dengan keadaan batin itu: alam rendah, alam sengsara. Baru setelah masa hidup di alam rendah itu habis, akibat habisnya kekuatan buah karma yang menyebabkannya, kita bisa terlahir di alam yang lebih baik sesuai dengan timbunan jasa-jasa baik yang telah kita kumpulkan.

(37)

berbakti. Sepanjang hidupnya dia banyak melakukan perbuatan berjasa. Tapi ada satu kejahatan yang pernah dilakukannya dan amat membekas dalam bentuk penyesalan di dalam dirinya hingga terbawa ke momen jelang ajalnya. Karena terkuasai batin tak sehat seperti itu, Ratu Mallika langsung terlahir kembali di alam rendah, dan baru setelah lewat seminggu dia meninggal di alam itu dan pindah ke alam surga sesuai timbunan jasa kebajikan yang telah dikumpulkannya.

Untuk kisah pada masa modern, kita bisa membaca pengalaman Bhante Rastrapal Mahathera, guru meditasi di International Meditation Centre di Bodh Gaya, dalam bukunya “Five Visions of A Dying Man”. Buku itu bercerita tentang pengalaman beliau menangani seorang pria yang menjelang ajalnya melihat lima penampakan, dan setiap penampakan itu adalah perlambang ke alam mana pria itu akan terlahirkan kembali apabila pada saat itu—ketika penampakan itu terlihat—dia meninggal. Penampakan itu berasal dari keadaan batin orang yang sedang sekarat itu. Ketika keadaan batinnya tenang dan damai, dia melihat penampakan dewa-dewi surgawi, atau pohon Bodhi dan kedua orangtuanya yang telah meninggal dunia. Saat keadaan batinnya berubah gelisah atau penuh kelekatan, dia pun melihat penampakan burung gagak yang menakutkan.

(38)

tenang dan berhasil sampai di kehidupan berikutnya yang lebih baik, kita harus mempersiapkan diri kita dengan sebaik-baiknya. Kita perlu membawa perbekalan yang memadai dan mempersiapkan batin kita untuk menerima kematian sebagaimana adanya.

Semua itu pada akhirnya hanya demi satu tujuan: mencapai kebahagiaan. Karena jika kita, misalnya, ditanyai tujuan menjalani kehidupan, kita semua akan sepakat bahwa kita menjalani kehidupan demi meraih suatu kebahagiaan; dan demi tujuan itu mempersiapkan diri menghadapi kematian semestinya menjadi bagian dari cara menjalani kehidupan. Memanglah definisi kebahagiaan dan macamnya ada beraneka ragam, tapi kita bisa menarik satu benang merah yang sama: kita semua menginginkan kehidupan yang damai, tenteram, dan harmonis.

Jadi, seseorang yang mengisi kehidupan dengan persiapan untuk menghadapi kematian berarti dia menjalani kehidupan dengan semestinya. Dan kehidupan yang dijalani dengan semestinya akan membuat kita memperoleh kebahagiaan di sini (semasa hidup) dan di sana (setelah mati), sebab buah dari kebajikan yang telah dilakukan selama hidup akan menjadi bekal dalam perjalanan menuju kehidupan berikutnya, memungkinkan si pembuat memetik hasilnya dalam bentuk kelahiran ulang di salah

Orang-orang bajik pasti mati, tapi kematian tidak bisa membunuh nama mereka. ~ Pepatah

Good men must die, but death can not kill their names.

(39)
(40)

satu alam yang membahagiakan. Seperti yang tertulis dalam ayat Dhammapada 18:

Di dunia ini ia bahagia, setelah mati ia bahagia. Pelaku kebajikan bahagia di kedua alam. Ia bahagia “aku telah berbuat bajik”.

Ia kian bahagia setelah pergi ke alam menyenangkan.

Dalam hal ini, persiapan menghadapi kematian dapat kita bagi menjadi 2 jenis:

1) persiapan secara spiritual, dan 2) persiapan secara duniawi.

Selain itu, kita juga perlu mempertimbangkan tidak hanya mempersiapkan diri kita sendiri, tetapi juga orang-orang terdekat kita supaya mereka pun siap menghadapi kematian bila sudah tiba waktunya, baik untuk kematian mereka sendiri maupun kematian kita dan keluarga lainnya.

Uraian berikut ini tidak dimaksudkan memberi paparan yang terperinci mengenai setiap tahap persiapan yang disarankan. Untuk penjelasan lebih rinci yang disertai dengan tip-tip dalam melakukan kebajikan (dan juga mengembangkan kebijaksanaan), pembaca bisa membaca buku “Berbuat Baik Itu Mudah” dari penulis dan penerbit yang sama dengan buku ini.

Persiapan Spiritual

(41)

tidak terlalu berbeda satu dengan lainnya karena selalu ada penekanan pada mengumpulkan suatu jasa kebajikan (yang disebut dengan pelbagai istilah) dan mengembangkan suatu sikap berserah atau melepas.

PerenunganKerap

Ketika ditanyakan bagaimana cara kita bersiap diri rmenghadapi kematian, Morrie sang profesor dalam buku “Selasa Bersama Morrie”, berkata, “Bertindaklah seperti yang diperbuat oleh umat Buddha. Setiap hari, bayangkan di pundak kita ada seekor burung yang bertanya, ‘Sekarangkah hari ajalku? Siapkah aku? Sudahkah aku mengerjakan semua yang perlu kuperbuat? Apakah aku telah menjadi seperti yang kukehendaki?’”

Apa yang disarankan Morrie adalah suatu cara yang berguna untuk mengingatkan diri kita akan kematian. Karena seringkali dalam keseharian hidup, mata kita begitu butanya akan kebenaran tak terbantahkan bahwa kematian itu bisa datang sewaktu-waktunya, dan bahwa betapa kehidupan ini amatlah getas, sangat rentan.

(42)

Selain cara yang disarankan Morrie, ada satu cara lagi cara untuk membuat kita selalu ingat akan kematian. Dalam sebuah buku kumpulan ceramah Ajahn Chah yang amat berkesan bagi saya, ada sebuah nasihat dari beliau yang amat beliau tekankan untuk dipraktikkan berulang kali. Nasihat itu berkaitan dengan perenungan kerap terhadap kematian, yang dalam naskah Buddhis disebut maranasati. Ajahn Chah amat menekankan hal ini, dan menganjurkan siapa pun yang membaca buku itu untuk sering-sering merenunginya. Menurut Ajahn Chah, perenungan seperti ini akan membuat kita selalu waspada, eling akan hakikat ketidaktetapan kehidupan kita. Dan kewaspadaan ini pada gilirannya akan mencegah kita hidup secara sembrono yang kelak, ketika kematian tiba, hanya akan membawa sesal dan sengsara.

Jadi, apakah isi perenungan itu? Berikut saya tulis ulang sesuai dengan ingatan dan kata-kata saya sendiri yang mungkin agak berbeda dengan versi tertulis pada buku tersebut. Inilah perenungan yang kerap saya renungi menjelang tidur:

Aku akan menderita usia tua; Aku belum mengatasi usia tua.

Aku akan menderita penyakit; Aku belum mengatasi penyakit.

Aku akan menderita kematian; Aku belum mengatasi kematian.

Segala yang kumiliki, yang kucintai; Akan berubah, terpisah dariku.

(43)

Lahir dari karmaku sendiri;

Berhubungan dengan karmaku sendiri; Terlindung oleh karmaku sendiri; Apa pun karma yang kuperbuat; Baik ataupun buruk;

Itulah yang akan kuwarisi.

Seperti yang dianjurkan Ajahn Chah, lakukanlah perenungan ini dengan kerap. Setidaknya dalam sehari 1 kali, akan lebih baik seperti nasihat lazim para dokter: 3 kali sehari; pagi saat baru bangun, siang setelah selesai makan, dan malam menjelang tidur. Jika tak sanggup, sekali sehari menjelang tidur adalah waktu yang terbaik.

Mengapa?

Karena ketika menjelang tidur pikiran kita biasanya berada dalam keadaan rileks dan tenang, sehingga apa pun yang kita renungi pada saat itu akan lebih mungkin tercamkan dengan baik dalam batin kita. Dan ketika maknanya tercamkan dengan baik dalam batin, kita akan menjadi lebih mudah waspada, eling dalam menjalani keseharian hidup kita. Kelekatan menjadi kurang pekat, kesadaran akan ketidaktetapan bertambah tinggi, dan kemampuan untuk melakukan kebajikan menjadi lebih spontan. Dan terutamanya, ketika kita sudah amat terbiasa merenungi kematian, sedikit demi sedikit kita sadari bahwa ada perubahan dalam cara kita memandang kematian. Dari yang semula memandang dengan ngeri dan takut, menjadi pandangan yang tenang dan tabah. Kita mengerti sepenuhnya bahwa kematian tidak layak ditangisi, karena kematian adalah konsekuensi tak terelakkan dari kelahiran.

(44)

amat memengaruhi keseharian hidup kita. Kita akan menjadi pribadi yang lebih mudah bahagia daripada sebelumnya, karena kemampuan untuk melepas atau membiarkan berlalu yang meningkat membuat kita tak terlalu diberati oleh beban-beban tak perlu—sesal, hasrat tak sampai, dendam, kecewa—yang amat sering menjadi penyebab duka kita. Bukankah seringkali hidup ini sesungguhnya sudah cukup memberikan kita masalah, tapi entah mengapa kita sering mencari-cari masalah lain dengan bermuram durja, terus melekati rasa sesal dan amarah kita, dan seterusnya?

Hadiah Liang Lahat

Ada sebuah kisah menarik yang pernah saya baca dari koran KOMPAS, tepatnya di rubrik Kilasan Peristiwa pada terbitan KOMPAS hari Minggu yang sayangnya saya lupa tanggalnya. Kisah ini adalah tentang sebuah yayasan pengelola pekuburan bukan umum yang memberi hadiah liang lahat 1 m x 2 m kepara para karyawannya yang berprestasi. Apa? Liang lahat sebagai hadiah? Yang benar saja?! Kaget, ya?

Berikut ini saya ceritakan kembali secara ringkas isi berita itu.

(45)

liang lahat 1 m x 2 m untuk para karyawannya yang berprestasi.

Menurut Profesor Djokomoelyo yang menjabat sebagai ketua umum pengurus yayasan tersebut, hadiah berupa liang lahat itu telah diberikan kepada sekurang-kurangnya tujuh orang karyawan berprestasi. Hadiah tersebut tidak boleh diuangkan dan harus digunakan sendiri manakala nanti sudah “pindah alamat” ke alam atau kehidupan lain.

Hadiah berupa liang lahat mungkin terkesan aneh atau bahkan edan, seakan-akan mengharapkan si karyawan yang berprestasi agar cepat-cepat pergi dari dunia ini. Tentu bukan itu maksudnya, dan sesungguhnya hadiah itu cukup pantas diberikan mengingat harga untuk 1 lubang makam di Giri Tama adalah Rp5 juta sampai Rp7,5 juta, tergantung lokasi.

(46)

negara lainnya. Karena itu tak mengherankan jika ada yang menyebutkan TPBU Giri Tama sebagai taman makam pahlawan sipil. Hal ini memacu para karyawan yayasan untuk memacu prestasi setinggi-tingginya demi memperoleh hadiah sebuah liang lahat.

(47)

Dalam Buddhisme, kita mengenal Jalan Mulia Berfaktor Delapan. Disebut demikian karena jalan ini adalah satu jalan yang memiliki 8 faktor yang jika dijalani akan membawa seseorang mencapai suatu keadaan yang mulia. Faktor-faktor itu adalah Pandangan Benar, Perniatan Benar, Perkataan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Pengupayaan Benar, Penyadaran Benar, Pengheningan Benar, yang dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu: moralitas (Perkataan, Perbuatan, dan Penghidupan Benar), meditasi (Pengupayaan, Penyadaran, Pengheningan Benar) dan kebijaksanaan (Pandangan dan Perniatan Benar). Di sini, Jalan Mulia Berfaktor Delapan tidak akan dibahas secara terperinci untuk setiap faktornya. Fokus diletakkan pada pembahasan mengenai 3 kelompok moralitas, meditasi dan kebijaksanaan yang dikaitkan dengan manfaatnya untuk mempersiapkan diri menghadapi kematian.

Tentang bagaimana sebaiknya kita mempraktikkan jalan ini, ada suatu pengertian kurang tepat pada sebagian umat Buddha bahwa faktor-faktor dari jalan ini haruslah dilaksanakan secara berurutan. Jadi disebutkan kita harus mula-mula melatih moralitas dulu sampai sempurna, baru setelah itu bisa dilanjutkan

Jangan mencari kematian. Kematian akan menemukanmu. Namun carilah jalan yang membuat kematian menjadi memuaskan.

~ Dag Hammarskjöld

(48)

dengan melatih meditasi, dan akhirnya kebijaksanaan. Jika cara ini sungguh diterapkan, latihan kita tidak akan pernah berhasil. Mengapa?

Karena menunggu moralitas sempurna tak akan bisa bila hanya dengan melatih moralitas. Moralitas menjadi sempurna memerlukan dukungan meditasi, meditasi menjadi sempurna memerlukan dukungan kebijaksanaan, dan kebijaksanaan menjadi sempurna memerlukan dukungan moralitas. Ketiga hal ini saling dukung mendukung, membentuk satu lingkaran yang, jika dilatih secara simultan, akan terus menggelinding mengantarkan kita makin dekat, makin dekat, dan makin dekat lagi ke pencerahan sejati.

Selain dengan cara simultan, ada pendapat yang agak berbeda tentang bagaimana seharusnya kita menjalani Jalan Mulia Berfaktor Delapan.

Menurut Ajahn Chah seperti yang tercatat dalam buku “Being Dharma”, mempraktikkan Jalan Mulia Berfaktor Delapan adalah seperti ketika kita memungut sebatang kayu. Kita bisa saja memungut kayu itu dengan pertama-tama memegang ujung yang satu, atau ujung lainnya, atau bahkan langsung memegang bagian tengahnya. Cara mana pun yang kita tempuh, begitu kita memungut kayu itu, keseluruhan bagian kayu akan ikut terangkat pula.

(49)

dari sana muncul pula suatu rasa kemendesakan untuk mengembangkan kebijaksanaan. Begitulah seterusnya hingga akhirnya kita pun menuntaskan jalan ini dengan berhasil.

Moralitas

Ada sebuah kisah di majalah anak-anak Bobo edisi lama yang pernah saya baca. Cerita ini adalah tentang dua orang perempuan bertetangga.

Perempuan pertama memiliki sebuah rumah yang kumuh, dengan kehidupan rumah tangga dan perekonomian yang “menyedihkan”. Penampilan fisiknya sendiri juga tidak rapi dan bersih. Sedangkan perempuan kedua sebaliknya: rumahnya bersih, rapi, dirinya, suami, dan anaknya bahagia berkecukupan meski tetap sederhana juga. Tiap hari perempuan pertama selalu merasa iri dan penasaran mengapa tetangganya itu bisa begitu bahagia kehidupannya. Dia berusaha mencari tahu apa rahasianya, dan dia sangat ingin tahu.

Suatu hari akhirnya dia menemukan juga seseorang yang bisa memberitahu dia apa rahasia si tetangga. Orang itu adalah anak perempuan penjaja makanan. Tetapi sebelum anak ini bersedia memberitahukan rahasia si tetangga, si anak meminta perempuan ini membeli semua kue dagangannya (anak pintar!). Tanpa pikir 2x24 jam dia setuju dan membeli semua kue dagangan si anak yang masih tersisa.

(50)

Bukan, bukan karena si tetangga dapat warisan dari orangtua atau mertuanya, bukan pula dia punya tuyul yang dipakai untuk mencari uang secara tidak halal, he-he-he…. Tapi ternyata, si tetangga itu punya banyak pembantu yang membantu dia bekerja setiap hari mengelola rumah tangganya sehingga dia bisa memiliki rumah yang rapi dan bersih, dan suami dan anaknya pun terurus baik. Tapi si perempuan pertama heran, karena selama ini tak pernah sekali pun dia melihat batang hidung para pembantu yang disebutkan oleh si anak penjaja kue. Apakah para pembantu itu makhluk-makhluk halus? Tentu saja tidak! Kalau benar begitu, ini akan menjadi kisah horor yang tak layak terbit di sebuah majalah anak-anak, he-he-he….

Jadi, siapa sih para pembantu yang hebat-hebat itu sampai seperti tak terlihat orangnya tapi hasil kerjanya amat menyolok? Anda penasaran?

Saya juga, makanya ketika membaca kisah itu saya terus membaca sampai akhir. Dan jawabannya sungguh tak terduga, membuat saya manggut-manggut sekaligus merenung: para pembantu itu adalah semua anggota badan kita yang bisa kita gunakan untuk bekerja. Mereka adalah kedua tangan dan kaki kita, dan jari jemari kita. Mereka adalah badan kita yang sehat yang memungkinkan kita bekerja keras untuk memperoleh hidup layak.

(51)

tuntutannya pasti lebih tinggi lagi, ya kan?

Umat Buddha diajarkan tentang hukum karma dan kelahiran ulang. Apa yang kita peroleh dan alami dalam kehidupan ini sebagian adalah karena apa yang telah kita tanam dalam kehidupan lampau yang dekat maupun jauh. Seperti misalnya badan dan batin ini.

Dari perspektif hukum karma dan kelahiran ulang, badan dan batin “sempurna” yang kita miliki kini adalah harta kekayaan yang kita warisi dari benih-benih yang telah kita tanam pada kehidupan lampau. Dengan kata lain, kita memiliki harta kekayaan dari masa lampau berupa badan dan batin yang “sempurna” dalam kehidupan ini karena pada masa lampau kita telah cukup banyak melakukan kebajikan dan mengembangkan kebijaksanaan.

Seperti halnya kekayaan materi, harta kekayaan badan dan batin ini pun juga bisa disia-siakan, bahkan disalahgunakan. Sebagian orang sadar dan menggunakan harta ini sebagai kendaraan untuk mencapai kehidupan yang lebih mulia. Mereka giat dan tekun dalam mengembangkan kebajikan dan kebijaksanaan melalui setiap pikiran, ucapan, dan tindakan. Sebagian lagi terlena, mabuk, menyia-nyiakan harta yang mereka warisi dari kehidupan lampau. Mereka menyiksa dan meracuni badan dan batin dengan mengonsumsi zat-zat adiktif. Mereka menyalahgunakan badan dan batin untuk melakukan perbuatan kriminal yang hanya merugikan diri sendiri dan membawa kesengsaraan bagi makhluk lainnya.

(52)

dalam upaya kita meraih kemuliaan. Sila-lah yang menentukan apakah kita berhak menyebut diri kita manusia atau tidak. Dan sebagai umat perumah tangga, kita memiliki 5 sila, dan 8 sila untuk saat-saat tertentu atau dalam kondisi menjadi anagarika/ anagarini. Untuk kalangan monastik Theravada, ada 10 sila yang dijalani oleh bakal bhikkhu (samanera) atau bakal bhikkhuni (samaneri), 227 sila untuk bhikkhu, dan 311 sila untuk bhikkhuni.

Pelaksanaan sila dapat dibagi menjadi 2 aspek: pasif dan aktif. Dalam kehidupan rumah tangga, sila yang dijalani secara pasif adalah bila kita sekadar bertekad untuk tidak membunuh makhluk hidup, tidak mencuri, tidak melakukan perbuatan seksual yang salah, tidak berdusta, dan tidak mengonsumsi zat-zat yang dapat melemahkan kesadaran. Pada aspek aktifnya, menjalani sila berarti kita secara aktif melindungi suatu kehidupan (termasuk juga melestarikan lingkungan), bermurah hati, menghargai dan menjaga kehormatan diri dan pihak lain, menjunjung dan menghargai kebenaran, menghargai kesejahteraan batin dan badan.

(53)

merugikan makhluk lain dan diri sendiri. Contohnya tidak berdagang: senjata, manusia (termasuk prostitusi, perbudakan), hewan untuk disembelih, minuman keras dan narkoba, serta racun pembunuh.

Begitu pun dengan Perkataan Benar. Kehidupan kita dipenuhi oleh perkataan-perkataan yang terucap, tak terucap, maupun yang berupa celutukan atau gema-gema dalam batin. Perilaku ucapan memiliki pengaruh menentukan apakah kita akan menjalani sebuah kehidupan yang tenang dan harmonis atau sebaliknya. Perilaku ucapan yang terbiasa benar, santun, ramah, jujur dan tidak menyakitkan tidak menciptakan beban penyesalan yang dapat memberati diri kita saat melangkah pergi dari kehidupan ini menuju kehidupan berikutnya. Sebagai akibatnya, kita dapat melangkah dengan ringan dan lega menuju kehidupan berikutnya.

Begitulah. Dengan melaksanakan moralitas sebaik-baiknya, berarti kita membiasakan diri dalam kebajikan sekaligus mengumpulkan bekal kekayaan kebajikan. Kedua hal ini sangat membantu kita bersikap tenang dalam menghadapi kematian kita.

Meditasi

(54)

Guru meditasi seperti Ajahn Chah berpendapat, samatha dan

vipassana itu tak dapat dipisahkan ibarat dua sisi telapak tangan dari satu tangan yang sama, atau dua sisi dari sekeping koin. Jadi menurut Ajahn Chah, tidak ada meditasi samatha dan tidak ada meditasi vipassana, meditasi itu hanya satu saja.

Mengenai meditasi, saya ingat bahwa sekitar 10 atau 20 tahun lalu, jika kita ingin mencari informasi mengenai meditasi, kita akan mengalami betapa sulitnya menemukan petunjuk tentang apa dan bagaimana bermeditasi. Sekarang? Wow… silakan

googling dan nikmati luapan informasi tentang meditasi yang disediakan dalam pelbagai ragam nama, bentuk, dan rasa!

Saya sendiri mulai mengenal kata meditasi dari buku-buku Dhamma yang saya baca ketika saya masih duduk di bangku SMK (d/h STM) dulu. Karena masih asing, meditasi terasa begitu jauh dan tak terjangkau, dan ada prasangka buruk yang melingkupinya.

Sebagai contoh, ketika tahu saya tertarik untuk mencari tahu lebih banyak tentang meditasi, salah seorang kerabat memperingatkan saya bahwa meditasi itu bisa membuat orang jadi gila. Untuk menegaskan keyakinannya, dia menunjukkan bukti seorang adik iparnya yang menjadi gila karena, menurutnya, bermeditasi. Ternyata, anggapan salah seperti itu tidak hanya milik kerabat saya seorang.

(55)

berlatih meditasi. Jadi bukan meditasi yang menyebabkan kegilaan itu. Dalam kata-kata Ajahn Brahm: justru kalau kita tidak bermeditasilah kita bisa jadi gila, he-he-he….

Ngomong-ngomong soal Ajahn Brahm, memang sudah menjadi ciri khasnya dalam setiap lontaran humor selalu terkandung suatu pesan moral yang tidak main-main. Tidak terkecuali yang tersebut di atas tadi. Sudah banyak bukti yang menyatakan bahwa orang-orang yang berlatih meditasi menjadi lebih bahagia, lebih waras, lebih sukses, lebih peka, lebih penuh pengertian dan lebih bisa berempati. Meditasi juga membuat kita menjadi lebih bisa melepas atau membiarkan berlalu, dan kemampuan inilah yang amat penting artinya tatkala kita menghadapi kematian. Pada tradisi Buddhisme seperti Tibetan Buddhis bahkan ada metode meditasi yang mengajarkan praktisinya untuk mengakrabi tahapan-tahapan kematian, sehingga dengan begitu dapat diharapkan praktisinya akan bisa bersikap tenang dan damai saat kematian tiba. Mengapa? Karena secara alamiah kita akan merasa lebih takut pada sesuatu yang tak kita kenal.

(56)

Berkaitan dengan persiapan diri menghadapi kematian, seperti telah disebutkan di atas, menjadi penting sekali memiliki salah satu manfaat latihan meditasi. Yaitu, meditasi membuat kita lebih bisa melepas.

Mengapa begitu penting untuk mampu melepas?

Karena ketika kita sedang sekarat, jika pada saat yang amat genting itu kita masih terus menggenggam dunia, kita tidak akan bisa meninggal dengan tenang. Akibatnya, seperti yang kita yakini dalam Buddhisme, ada kemungkinan kita akan terjatuh ke alam-alam rendah meskipun kita sebenarnya punya banyak timbunan jasa kebajikan yang membuat kita pantas mendapat satu unit apartemen di surga. Tatkala kita telah terbiasa untuk melepas, kematian tidak lagi menjadi sesuatu yang mencemaskan kita. Dan karena kita melepas, kita tak membawa beban-beban penyesalan atau kelekatan bersama kita. Itu membuat langkah menjadi ringan, memungkinkan kita terbang membubung tinggi menuju alam atau kehidupan yang lebih luhur, dan dari sana kita menjadi semakin dekat dengan keterbebasan sejati.

Jadi, latihan meditasi membuat kita lebih mampu melepas atau membiarkan berlalu, dan lebih mengenal tahapan-tahapan kematian sehingga kita tak lagi takut atau cemas menghadapinya ketika waktu kita tiba, cepat atau lambat, tapi pasti.

Kebijaksanaan

(57)

Terima kasih...

Bom kentut dapat dibeli di toko sulap online. Bisa menyebarkan bau kentut yang busuk.

Peringatan:

Jangan gunakan pada orang yang berselera humor rendah!

Ugh... Bau busuk apa ini? Ueekk...!

Betapa damainya!!! Aku merasa sangat kuat. Bahkan Empat Pasang Angin Duniawi* pun takkan mampu menggoyahkanku kini!!!

*suka-duka, untung-rugi, terpuji-tercela, terkenal-tak terkenal

(58)

Berlatih meditasi semestinya bukan untuk gagah-gagahan atau menyombongkan diri. Meditasi adalah latihan untuk melepas, untuk membiarkan berlalu. Kita harus senantiasa waspada agar tidak terjebak pada sikap memegahkan diri. ~ Chuang

Dalam keseharian hidup, kita bisa mengembangkan kebijaksanaan dengan tak pernah bosan untuk belajar dari buku-buku dan bahkan dari mereka yang secara akademis diragukan, namun memiliki segudang kebijaksanaan yang lahir dari pergulatan hidup. Kita juga harus bergaul dengan mereka yang bijak, banyak berdiskusi tentang Dhamma dan hal-hal yang berguna untuk kemajuan spiritual, dan melatih diri dalam keheningan meditatif. Meskipun kebijaksanaan bisa dipelajari melalui buku-buku dan diskusi, kebijaksanaan sejati itu sendiri hanya dapat kita raih melalui pengalaman langsung kita karena buku-buku dan diskusi hanyalah teori, kebijaksanaan yang berasal dari pengalaman orang lain. Dalam Buddhisme, kita diajarkan bahwa untuk mencapai kebahagiaan dan kebebasan sejati, menjadi bajik saja tidaklah cukup. Kebajikan tanpa disertai dengan kebijaksanaan akan menjadikan kita orang baik hati yang bodoh. Demikian juga kebijaksanaan sendiri tak dapat membawa kita ke pantai seberang, karena kebijaksanaan tanpa kebajikan akan menjadikan kita orang bijak yang tidak berbelas kasih. Dengan demikian, kebajikan dan kebijaksanaan dapat diumpamakan sebagai sepasang sayap, dan kita terbang membubung ke pantai seberang dengannya.

Mengembangkan Cinta Kasih

(59)

Karena Beliau maha pengasih dan mahatahu. Beliau mengasihi kita, ingin kita murid-murid-Nya ini bebas dari duka, dan Beliau tahu jika kita melatih dan mengembangkan empat kualitas ini maka kita akan hidup bahagia di dunia ini maupun berikutnya.

Dari keempat kualitas luhur ini—cinta kasih (mettā), welas asih (karunā), belasuka (mudita), dan ketenangseimbangan (upekkhā)— yang paling dekat kaitannya berkenaan dengan mempersiapkan diri menghadapi kematian adalah cinta kasih. Karena salah satu manfaat dari mengembangkan cinta kasih menyebabkan pelakunya tidak mengalami kesulitan ketika ajal tiba.

Dalam naskah-naskah suci kita bisa temukan petunjuk yang telah diberikan untuk melatih dan mengembangkan empat kualitas luhur ini. Khususnya untuk mengembangkan cinta kasih, salah satu cara kita dapat melatihnya adalah melalui meditasi cinta kasih.

(60)

Jika dipancarkan pertama-tama kepada diri sendiri, contohnya adalah seperti berikut:

Semoga aku bebas dari marabahaya. Semoga aku bebas dari penderitaan batin. Semoga aku bebas dari penderitaan jasmani. Semoga aku bahagia.

(61)

Semoga adikku bahagia... Semoga semua makhluk bahagia...

Kak...

Kakak... Semoga teman-temanku bahagia... Semoga Gembul, anjingku, bahagia...

Semoga ?!@#$!@#$%...???

JANGAN GANGGU AKU!!! AKU SEDANG LATIHAN

(62)

Memancarkan cinta kasih?

Mana bisa?!

Kakak sedang memarahi aku

sekarang...

“Kadang atau

malah sering

dalam keseharian

antara teori dan

praktik spiritual

tidak nyambung.

Kehidupan spiritual

sejati seharusnya

berlandasan pada

keseimbangan teori

dan praktik.”

~ Chuang

Gambar dan cerita oleh Chuang.

(63)

Sebagian dari kita menjalani kehidupan dengan tanpa suatu gagasan yang jelas mengenai tujuan dan makna keberadaan kita. Kurangnya kejelasan ini bisa menjadi sebuah masalah seiring kita bertambah tua dan dekat dengan ajal. Karena pada saat-saat seperti itu, tatkala banyak dari kemampuan jasmani kita melemah, kita menjadi semakin bergantung kepada orang lain. Ketergantungan itu, jika tak disertai dengan suatu pengertian yang benar dan jelas mengenai apakah tujuan keberadaan kita, berpotensi menimbulkan banyak masalah seperti rasa frustrasi, depresi, dan rasa ketakbergunaan.

Jadi, sementara umur masih muda dan jasmani masih segar, penting untuk mencari tahu dan merenungi tujuan kehidupan. Apa makna menjalani kehidupan ini? Mengapa saya ada di sini? Apakah yang penting dan apa yang tidak penting? Ke manakah seharusnya kehidupan ini saya fokuskan sehingga dapat memberi kebahagiaan di sini (pada kehidupan ini) dan di sana (pada kehidupan mendatang)?

Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut amat bergantung dari latar belakang keyakinan agama, pendidikan, dan budaya apa kita dibesarkan.

Menurut agama tertentu, tujuan kehidupan adalah untuk menjalani perintah dan menjauhi larangan yang telah ditetapkan oleh sang pencipta. Imbalan dari kepatuhan ini berupa kebahagiaan dalam surga yang abadi. Ajaran lain menekankan pada mengisi kehidupan untuk berkarya di jalan yang direstui oleh sang pencipta itu, untuk menjalani kewajiban sebagai manusia sehingga kehadirannya di dunia dapat bermanfaat bagi diri dan orang lain.

(64)

seperti ajaran-ajaran lainnya, Buddhisme dengan terus terang menganggap hidup adalah duka karena dalam kehidupan tidak ada sesuatu pun yang memuaskan. Tentu tidak berarti Buddhisme menganggap tak ada kebahagiaan yang dapat kita peroleh dalam kehidupan ini, tetapi bahwa kebahagiaan itu pun sendiri tidaklah memuaskan karena tidak kekal dan bersyarat. Kebahagiaan duniawi apa pun yang kita rasakan pada akhirnya pasti akan memudar, menghambar, dan manakala rasanya sudah tidak manis lagi, kita memerlukan “suntikan” kebahagiaan yang lebih besar lagi “dosis”-nya agar kita tetap bisa merasakan efek kesenangannya.

Sebagai contoh, ketika kita belum pernah menikmati enaknya makan nasi goreng, nasi goreng menjadi suatu tujuan kebahagiaan kita. Lalu, ketika pada suatu hari kita berhasil menikmatinya, kita merasakan kebahagiaan yang besar. Berikutnya, saat nasi goreng sudah menjadi menu sehari-hari kita, kesenangan yang awalnya mampu diberikannya tidak lagi menjadi sesuatu yang istimewa: rasa nikmatnya mulai menghambar karena efek dari adaptasi kesenangan, dan kita mulai menuntut menu lain yang lebih lezat. Ini mirip seperti keadaan seorang pencandu: demi meraih efek dari zat-zat yang mencandui itu, setiap kalinya kita harus terus menambah dosisnya.

Jadi tujuan keberadaan seorang umat Buddha di dunia ini bukanlah untuk meraih sebanyak mungkin kebahagiaan duniawi: kebahagiaan duniawi hanyalah bonus dan sarana untuk mencapai kebahagiaan yang lebih halus, suatu jenis kebahagiaan yang tak bersyarat dan karenanya tak akan pernah memudar. Kehidupan seorang umat Buddha sejati dipusatkan pada segala upaya untuk meraih kebahagiaan ini.

(65)

mengumpamakannya seperti seekor penyu buta yang muncul 100 tahun sekali ke permukaan laut dan begitu muncul, kepalanya tepat masuk ke sebuah gelang yang mengapung terombang-ambing. Seberapa besar kemungkinan si penyu berhasil?

2) Alam manusia adalah kondisi paling pas untuk melatih diri. Alam-alam surga memiliki terlalu banyak kesenangan yang sangat mungkin membuat para penghuninya terlena dan mabuk akan rasa bahagia. Sedangkan alam neraka dan alam-alam bawah lainnya memiliki terlalu banyak penderitaan yang membuat kita selalu menderita sehingga kita merasa putus asa, tak ada kesempatan yang cukup untuk melatih diri dalam kebajikan dan kebijaksanaan. Sebagai manusia, kadar duka dan suka yang kita alami dapat dikatakan berimbang dibandingkan dengan kesenjangan yang ekstrem di alam-alam lainnya.

Persiapan Duniawi

Selain secara spiritual, kita perlu juga mempersiapkan hal-hal yang bersifat duniawi untuk dapat menghadapi kematian dengan tenang dan bahagia. Persiapan duniawi ini lebih menyangkut hal-hal yang melibatkan keluarga kita atau orang-orang yang berada dalam lingkaran kehidupan keseharian kita.

Surat Wasiat

(66)

Menulis surat wasiat sangatlah bermanfaat mengingat bahwa ketika seseorang meninggal dunia ada potensi masalah yang mungkin ditinggalkannya untuk keluarga atau orang-orang terdekatnya. Seperti misalnya tentang siapa yang berhak mendapatkan harta waris yang mana dan bagaimana, atau apakah mendiang ingin diadakan ritual kematian sesuai tradisi setempat atau menurut agama yang dianutnya, apakah dikubur atau dikremasi, dan sebagainya. Andai ada surat wasiat, maka kemungkinan masalah tak akan timbul karena semua orang bisa mengetahui apakah yang menjadi keinginan atau pesan mendiang. Ditambah dengan kenyataan bahwa secara umum semua ajaran menekankan penganutnya untuk menghormati apa pun yang menjadi keinginan terakhir dari orang yang meninggal sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran itu dan hukum yang berlaku, maka perlunya membuat sebuah surat wasiat demi mencegah konflik yang mungkin muncul karena kematian seseorang.

Meskipun demikian, tetap saja ada pandangan yang menganggap membuat surat wasiat itu tabu karena seolah-olah dengan membuat surat wasiat atau meminta seseorang membuat surat wasiat, kita mengharapkan kematiannya. Sebenarnya tidaklah demikian. Kita semua tentu sepakat bahwa kematian itu tidak dapat dipastikan datangnya. Kasus-kasus di mana seseorang meninggal dunia dengan mendadak bukanlah kasus yang langka. Seperti kasus yang menimpa Michael Jackson dan Whitney Houston, artis penyanyi terkenal dari Amerika Serikat yang meninggal secara mendadak. Keluarga mereka tidak sampai bertikai karena harta warisan karena adanya kepastian berupa surat wasiat yang telah mereka buat jauh-jauh hari. Dengan begitu, surat wasiat sesungguhnya amatlah penting dibuat jika kita ingin keluarga yang kita tinggalkan memiliki kepastian tentang hal-hal yang kita inginkan demi mereka.

(67)

didaftarkan di Balai Harta Peninggalan di bawah Departemen Hukum dan HAM. Kekuatan hukum akta wasiat ini tidak dapat dibatalkan secara sepihak, melainkan harus melalui putusan pengadilan. Singkatnya, wasiat yang melalui akta wasiat lebih menjamin secara hukum, baik bagi yang mengeluarkan wasiat maupun bagi yang menerima wasiat.

Surat wasiat yang dibuat bawah-tangan tentunya cukup ditandatangani oleh pembuat wasiat dan dilengkapi tanda tangan para saksi minimal 2 orang. Secara hukum, surat wasiat bawah-tangan ini tidak memberikan jaminan hukum karena dapat dibatalkan secara sepihak. Lagi pula, cara itu sudah banyak ditinggalkan mengingat rawan terhadap konflik hukum yang timbul pada kemudian hari.

Dalam surat wasiat, baik yang dibuat di notaris maupun bawah-tangan harus menunjuk seseorang atau lebih sebagai pelaksana dari wasiat tersebut. Kepada para pelaksana wasiat, pewaris dapat memberikan penguasaan atas semua barang dari harta peninggalan, atau bagian tertentu daripadanya. Penguasaan itu meliputi barang-barang tetap maupun barang-barang bergerak. Berdasarkan Pasal 1007 KUHPerdata, penguasaan itu menurut hukum tidak akan berlangsung lebih lama daripada 1 tahun, terhitung dari hari ketika para pelaksana dapat menguasai barang-barang itu.

Asuransi Jiwa

(68)

dan bentuk tercetaknya (bentuk fisiknya) yang berfungsi sebagai bukti perjanjian antara pihak Penanggung (perusahaan asuransi) dan pihak Tertanggung (pengguna asuransi) disebut polis asuransi. Melalui perjanjian ini Tertanggung wajib membayar sejumlah dana secara berkala yang disebut premi kepada Penanggung yang besarnya sesuai dengan yang telah ditentukan dalam kontrak asuransi.

Dalam keseharian, asuransi ada banyak macam menurut jenis pertanggungannya. Ada asuransi jiwa, kesehatan, pendidikan, kecelakaan kerja, kebakaran, kehilangan, dan juga asuransi mobil. Bahkan ada pula asuransi khusus yang hanya menanggung bagian-bagian tertentu dari tubuh seseorang yang dianggap sebagai aset berharga. Misalnya asuransi pita suara untuk para penyanyi, asuransi jemari tangan untuk para pelukis dan ahli bedah.

Selain jenis pertanggungannya, asuransi juga dibedakan dengan asuransi murni dan asuransi plus investasi atau biasa disebut unit-link. Asuransi murni semata-mata hanyalah asuransi, tidak ada nilai investasi atau imbal hasil yang diberikan selain manfaat berupa uang pertanggungan. Untuk unit-link atau asuransi yang juga investasi, pemegang polis mendapat kesempatan menikmati hasil investasi yang dipilihnya. Jadi, dari uang premi berkala yang dibayarkan, sekian bagian dari dana itu oleh perusahaan asuransi akan diinvestasikan ke pasar modal berupa saham, atau deposito atau lainnya tergantung kesepakatan.

Memiliki asuransi jiwa dengan memegang minimal 1 polis jelas merupakan sebuah tindakan bijak dalam mempersiapkan diri menghadapi kematian. Mengapa?

(69)

menunjukkan suatu kepedulian atau rasa tanggung jawab terhadap keluarga atau orang-orang terdekat yang kita tinggalkan ketika kita harus “pindah alamat” ke alam lain. Dengan memiliki asuransi jiwa berarti pihak perusahaan asuransi wajib membayarkan uang pertanggungan sejumlah tertentu, sesuai kesepakatan yang tertera dalam kontrak antara kita dengan mereka, kepada para ahli waris yang telah kita tentukan. Dengan demikian, misalnya jika kita adalah tulang punggung keluarga, pencari nafkah satu-satunya atau yang utama, maka keluaga kita tetap dapat menjalani kehidupan tanpa harus cemas akan biaya-biaya hidup karena uang pertanggungan yang kita wariskan kepada mereka itu akan cukup untuk itu.

Kini, setelah mengetahui manfaat memiliki asuransi, karena kontrak asuransi adalah kontrak yang berdurasi panjang dan melibatkan dana yang kadang tidak sedikit, kita perlu cermat memilih perusahaan asuransi yang dapat dipercaya. Untuk membantu memilih perusahaan asuransi yang dapat dipercaya, berikut ini tip-tip dari Eko Endarto, seorang Perencana Keuangan, seperti yang dikutip dari Tabloid Kontan edisi April 2008, sebagai berikut:

1. Reasuransi

(70)

harus mengenal pihak manajemen perusahaan agar jika terjadi sesuatu, informasinya tetap bisa Anda dapatkan.

2. Usia

“Makin tua usia, seharusnya akan makin matang seseorang”. Walaupun sepertinya terlalu klise, tapi harus diakui usia cukup berpengaruh. Sebuah perusahaan asuransi yang berusia lebih tua daripada perusahaan lainnya bisa diartikan bahwa perusahaan tersebut memiliki modal yang cukup kuat sehingga sampai usia yang cukup tinggi tetap eksis. Selain itu juga menggambarkan bagaimana cara manajemen mengelola dana nasabahnya. Dengan makin tua usianya, dapat diartikan bahwa perusahaan mampu mengelola dana tersebut dengan optimal, baik itu untuk mendapatkan hasil bagi pengembangan perusahaan maupun manajemen risiko yang terukur untuk menjamin hak-hak nasabahnya. Secara logika saja, mana mungkin dia bisa bertahan lama bila tidak bisa mengatur keuangannya dengan baik.

3. Keuangan

Kalau bicara tentang perusahaan keuangan, tidak lengkap kalau tidak berbicara tentang keuangannya. Dalam perbankan kita cukup paham dengan pengukuran kesehatan bank yang namanya CAR. Di asuransi, tingkat kesehatan keuangannya biasa diukur dengan RBC atau Risk Based Capital. Tingkat RBC yang bisa dibilang sehat adalah jika RBC-nya lebih besar dari 120%. Tapi tentu saja, makin besar pasti makin baik. Bandingkan hal ini dalam memilih perusahaan asuransi karena RBC ini menggambarkan bagaimana perusahaan mengelola keuangannya sebaik dan seaman mungkin. Harus diingat, bila kita mengambil asuransi, berarti kita akan berbicara mengenai kontrak jangka panjang.

4. Nasabah

(71)

makin banyak nasabah maka makin baik-lah perusahaan asuransi itu. Kenapa demikian? Karena makin banyaknya nasabah akan memperlihatkan tingkat pelayanan yang telah dilakukan perusahaan. Hal ini dapat berarti bagaimana perhatiannya terhadap nasabah, kemudahan klaim, dan tentu saja keamanan dana yang dipercayakan. Kalau Anda akan memilih perusahaan asuransi asing yang beroperasi di Indonesia, tanyakan juga berapa banyak nasabah lokal yang dimiliki dan tersebar di berapa kota. Hal ini penting karena bisa saja terjadi walaupun di luar negeri mereka menjadi kepercayaan, namun di Indonesia mereka kurang. Tingkat penyebaran juga menunjukkan bagaimana luasnya tingkat pelayanan yang mereka berikan. Tingkat penyebaran ini penting khususnya untuk Anda yang memilih asuransi kesehatan. Sebab tidak lucu kan kalau dalam perjalanan ke suatu kota dan Anda sakit, ternyata harus kembali ke kota asal untuk rawat inap.

5. Keluhan

Sebagai tambahan, mungkin hal ini bisa Anda lakukan, lakukan selalu cross check kepada pihak luar terhadap rencana pilihan Anda. Pihak yang utama harus Anda hubungi adalah nasabah kalau memungkinkan, pihak ketiga yang menjadi penghubung misalnya bank atau rumah sakit jika itu asuransi kesehatan, dan tidak menutup kemungkinan ada bagusnya Anda bertanya kepada para

(72)

berisikan kata ”asuransi” dan ”keluhan” dari konsumen terhadap perusahaan asuransinya. Jadi jangan malas untuk membandingkan.

Akhirnya, sama seperti pemilihan barang ataupun jasa lainnya, Anda semua sebaiknya memiliki dasar yang kuat dalam melakukan pilihan. Yang utama memang adalah selalu pilih produk yang sesuai dengan kebutuhan Anda. Namun itu saja tidak cukup. Pilih juga dengan benar perusahaan yang menyediakan barang atau jasa tersebut. Walaupun barangnya bagus, tapi si penyedia tidak bagus, percuma juga. Jadi mulai saat ini jangan lagi memilih perusahaan asuransi hanya karena kenal kepada si penjual, apa lagi karena merasa tidak enak karena tidak beli. Minimal bandingkan 5 hal di atas sebagai alasan dalam memilih atau menolaknya.

Lalu, setelah menentukan perusahaan asuransi yang sesuai, kita tidak bisa langsung membeli asuransi. Kita harus mencari agen asuransi, orang yang kepada siapa kita akan berurusan dalam hal pembelian asuransi dan hal-hal lainnya yang merupakan ikutannya. Jadi, di sini agen asuransi adalah perantara antara kita dengan perusahaan asuransi. Untuk memilih agen asuransi yang terpercaya dan dapat diandalkan, berikut tip-tip yang dikutip dari solusiasuransi.com, sebagai berikut:

1. Pilihlah agen yang berintegritas

Gambar

Gambar dan cerita oleh Chuang.
Gambar dan cerita oleh Chuang.

Referensi

Dokumen terkait

Kompresi data lossless adalah teknik kompresi data dimana data yang telah dikompresi dapat dikembalikan ke data aslinya dengan tidak mengurangi informasi yang ada pada

Lubang-lubang sumur dan lorong atau terowongan pada situs tersebut merupakan petunjuk cara yang digunakan pada tambang Oranje Nassau, yakni penambangan dalam atau tertutup

18 RB201705699 MEGA NUR SONYAWATI P Teknik Elektro Teknik Elektro Universitas Negeri Yogyakarta 19 RB201711883 NURDIANSYAH L Teknik Elektro Pendidikan Teknik Elektro Universitas

Dalam hipotesisi 3 yang menyatakan bahwa kualitas layanan hotel berpengaruh positf terhadap kunjungan ulang, namun hasil nilai koefisien standar memiliki nilai yang

Permasalahan yang dikaji dalam studi ini adalah bagaimana perubahan penggunaan lahan yang terjadi di Kawasan Pesisir Kecamatan Tarakan Timur, Kota Tarakan dari tahun

Penelitian ini menguji bagaimana peran determinasi working capital policy berpengaruh terhadap financial performance pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek

Tetapi mereka yang beribadah kepada allah dengan keimanan, ketetapan hati, dan keyakinan mengetahui bahwa apa yang paling penting di dalam hidup adalah menyerahkan hati mereka

Pada penelitai ini dilakukan untuk menganalisis beberapa komponen yang ada di dalam gaya bahasa artis di media sosial, yaitu (1) jenis-jenis gaya bahasa artis di media sosial, dan