Nilai dari Sebuah Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) di
Negara Berkembang
Maria R.U.D. Tambunan1
1. Pendahuluan
Adanya sebuah perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) atau double tax
agreement (DTA) dilakukan dalam upaya mengeliminasi beban pajak berganda yang
disebabkan oleh hubungan ekonomi dari dua jurisdiksi yang berbeda. Terlebih berbagai
literatur menyebutkan bahwa tujuan diberlakukan suatu kesepakatan tersebut adalah untuk
mendorong adanya investasi langsung (Foreign Direct Investment/FDI) (Gunadi, 2013) serta
mencegah terjadinya tax evasion. Selain itu, beberapa negara berkembang juga telah
“menginvestasikan” dana dan waktu untuk melakukan negosiasi P3B. Negara-negara tersebut
juga sudah dengan rela mengalami tax revenue loss untuk mereduksi barrier investasi,
dengan harapan upaya tersebut mampu menarik FDI (Neumayer, 2007; Baker, 2012). Julia
Braun dan Martin Zagler (2014) mencatat bahwa terdapat sekitar 2.600 P3B yang telah
disepakati dimana 1,300 diantaranya merupakan perjanjian antara negara maju dan negara
berkembang serta 800diantara masing-masing negara berkembang. Statistik mengenai
perkembangan P3B sejak 1946 hingga 2007 yang dikutip dari IBFD tahun 2008 kemudian
dipublikasikan oleh Barthel (2009) sebagai berikut:
Gambar 1
Sementara, jumlah P3B yang telah disepakati per 2006 berdasarkan kelompok negara sebagai
berikut:
Gambar 2
FDI yang diharapkan ditarik ke negaranya akan menjadi bagian modal nasional dalam
memperluas lapangan pekerjaan, alih teknologi dan manfaat ekonomis lainnya. Namun,
dalam tataran praktik, apakah dalam pelaksanaannya keberadaan P3B tesebut atau tax treaty
mampu mendorong investasi terutama di negara berkembang, perlu ditelaan lebih lanjut.
Dalam tulisan ini akan diuraikan mengenai perspektif P3B dalam konteks investasi serta
bagaimana pelaksanaan P3B di negara berkembang. Selain itu, dalam tulisan ini juga dibahas
faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi P3B terutama di negara berkembang
sertadampak dari pelaksanaan P3B tersebut.
2. Perspektif Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dalam Kegiatan Investasi
Konsep dasar adanya sebuah Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dalam
konteks FDI adalah untuk menciptakan suatu kepastian dan komitmen mengenai suatu
perlakuan pajak kepada investor. Dengan adanya ratifikasi atas suatu perjanjian,, hal ini
diharapkan menjadi sebuah jaminan bagi investor untuk diberikan suatu treatment standar
ketika terjadi dinamika terkait isu perpajakan di suatu negara. Selain itu, adanya perjanjian
juga merupakan suatu alat penjamin bahwa perlakuan yang diberikan kepada investor akan
tersebut terlihat dengan adanya ketentuan seperti non-discrimination, mutual agreement
procedure untuk meminimalisir terjadinya tax dispute.
Nada senada yang kerap dilontarkan oleh OECD kemudian dikutip oleh Paul L.
Baker (2012), disebutkan bahwa dengan adanya P3B atau double tax treaty (DTT)
diupayakan mampu untuk mengeliminasi adanya permasalahan pajak berganda sehubungan
dengan hal tersebut pula OECD berupaya untuk membuat convention model. Selain itu,
dari konteks sosial politik, adanya tax treaty merupakan bentuk dari political settlement yang
mengikat dua negara atas suatu keputusan spesifik, menginkat serta berdampak jangka
panjang (Hearson, 2015).
Jika mengulas kembali teori mengenai pembagian hak pemajakan (allocating taxing
rights), pada umumnya diasosiakan kepada konsep netralitas dan efisiensi. Efisiensi dalam
konteks netralitas pajak diartikan sebagai minimalisasi distorsi yang disebabkan oleh
ketentuan perpajakan, baik oleh regulasi maupun administrasi. Mengutip pendapat Musgrave
yang cukup terkenal dalam studi keuangan negara menyebutkan “ optimal allocation of
production resources and, from the taxation point of view, the minimalization of any
distortion caused to the private sector by the tax system. Economic efficiency can be best
reached when the international taxation rules support capital export neutrality”, dengan kata
lain bahwa efisiensi ekonomi dapat dicapai salah satunya disebabkan oleh adanya netralitas
yang didukung oleh ketentuan internasional dimana terjadi netralitas aliran modal (capital
flow neutrality).
Dalam kenyatannya, terdapat pergeseran bahwa terdapat 2 pemikiran utama
mengenai pelaksanaan P3B. Pertama, dengan adanya P3B diharapkan mampu meningkatkan
kegiatan investasi langsung (Foreign Direct Investment atau FDI) karena adanya P3B
merupakan sarana untuk mengurangi hambatan (barrier) investasi yaitu pengenaan pajak
berganda (international double taxation). Pemikiran kedua, adanya P3B justru tidak
sepenuhnya berpengaruh terhadap arus FDI (Ohno, 2010).
Mengutip studi yang dilakukan Debashree Pusti, beberapa argumen tradisional yang
dianggap bahwa adanya tax treaty dapat mendorong terjadinya peningkatan volume FDI
sebagai berikut:
a. Minimalisir/eliminasi terhadap pengenaan pajak berganda; adanya tax treaty merupakan
sinyal positif bagi investor bahwa perlakuan pajak yang akan dihadapi di negara tujuan
investasi akan sesuai dengan kelaziman internasional.
b. Certainty and predictability; adanya tax treaty merupakan jaminan kepada investor akan
terjadinya perubahan dan ketidakpastian dalam ketentuan domestik sangat tinggi dapat
diminimalisir. Adanya tax treaty juga memberikan kepastian mengenai besar dan jenis
kewajiban perpajakan yang harus dilaksanakan.
c. Non-discrimination; tax treaty mencegah terjadinya diskriminasi terhadap investor
terutama mengenai besaran beban pajak.
d. Mekanisme untuk mengurangi tax dispute lebih jelas
e. Penentuan dasar pengenaan pajak lebih jelas terutama atas penghasilan atas dasar sumber
(source based) dan asal (resident based)
3. Bagaimana Pelaksanaan Perjanjian Pajak Berganda di Negara-negara Berkembang?
Apakah tax treaty yang merupakan suatu upaya untuk menarik investasi tersebut pada
akhirnya mampu meningkatkan arus dan volume investasi cukup menjadi perhatian bagi para
akademisi perpajakan. Studi yang Eric (2007) kemudian ditegaskan oleh Barthel (2009)
mengatakan bahwa terdapat keyakinan yang terlalu besar dari otoritas pajak di negara
berkembang untuk menggunakan tax treaty untuk menarik investasi asing selain mereka
dihadapkan pada kenyatan bahwa aspek pajaklah yang paling mudah untuk “dieksekusi”
dalam menarik investasi. Pemikiran yang demikian cenderung didasarkan pada pertimbangan
bahwa investor pada umumnya mengingikan kepastian hukum dimana ketentuan pajak
terdapat didalamnya serta stabilitas.
Selain itu, adanya tax treaty juga memberikan kepercayaan diri kepada negara berkembang bahwa dalam jurisdiksinya telah mengikuti “pakem internasional” sebagai suatu
kegiatan ekonomi yang memiliki reputasi “international economic recognition” atau “badge
of international economic respectability”. Dengan keyakinan-keyakinan inilah mengapa
pemerintah negara berkembang kerap melakukan perundingan dan ratifikasi atas perjanjian
pajak berganda. Dengan disepakatinya sebuah perjanjian pajak, terjadi kehilangan
penerimaan pajak serta terbatasnya hak pemajakan atas penghasilan yang bersumber dari
negaranya. Negara – negara berkembang juga kerap menjustifikasi bahwa kehilangan potensi
perimaan pajaknya dicapture dengan keuntungan ekonomi lainnya yang diperoleh akibat
FDI. Keadaan ini akan sedikit berbeda ketika sebuah tax treaty dinegosiasikan antara dua
negara maju. Hal ini disebabkan oleh keadaan masing-masing negara yang tidak jauh berbeda
sehingga capital inflow bagi kedua negara tidak jauh berbeda.
Pada kenyataannya, berbagai studi empiris menunjukkan bahwa terdapat korelasi
(FDI). Mengutip studi Bloningen dan Davies (2002) menyebutkan bahwa tidak terdapat
korelasi antara tax treaty dan investasi. Bahkan dalam studi tersebut ditekankan bahwa
ketika melakukan estimasi dengan menggunakan model ekonometri mengenai hubungan
antara variable tax treaty dan investasi, pada dasarnya sulit untuk melakukan isolasi terhadap
variable lain seperti keadaan ekonomi dan keadaan politik untuk mengetahui secara jelas
dampak dari tax treaty terhadap kegiatan investasi. Hasil estimasi ekonometri yang dilakukan
oleh Sauvant & Sachs pada tahun 2009 kemudian estimasi atas hal yang sama juga dilakukan
oleh Martin Hearson pada tahun 2014, juga mengatakan tidak terdapat evidence yang cukup
atas kedua hubungan variable tersebut, meskipun tidak menutup mata bahwa dari sisi metode
riset terdapat ketidaksempurnaan yaitu informasi mengenai negara berkembang yang tidak
sepenuhnya memadai. Jika pada akhirnya dalam suatu studi empiris misalnya dalam
perhitungan ekonometri tax treaty memiliki korelasi positif dengan kegiatan investasi
langsung, pertanyaan lebih lanjut yang perlu dipikirkan adalah apakah “total cost” yang
dikeluarkan untuk membuat kesepatakan melebihi manfaat yang diperoleh.
Pada akhirnya, diskursus mengenai tax treaty di negara berkembang dapat
digambarkan dengan kutipan-kutipan dari opini para ahli perpajakan berikut:
Martin Hearson (2014), “ developing countries...would be well-advised to sign
treaties only with considerable caution”
Tsilly Dagan (2000) “ in treaties between developing and developed
countries...re-allocating tax revenues means regressive redistribution – to benefit of the developed
countries at the expenses of the developing ones”
Charles Iris (1974) “the present system of tax agreement creates the anomaly of aid in
reverse – from poor to rich countries”
4. Penutup
Pemikiran yang meyakini bahwa tax treaty yang merupakan solusi untuk mengurangi
tax barrier sehingga mampu meningkatkan arus investasi tidak sepenuhnya sesuai dalam
tataran praktik, terutama atas perjanjian yang dilakukan antara negara berkembang dan
negara maju. Sejumlah studi terkini menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi yang cukup
erat antara eksistensi tax treaty dengan FDI meskipun negara berkembang telah
mengorbankan potensi pemajakannya. Dengan demikian, pemerintah negara berkembang
potensi kehilangan penerimaan pajak benar-benar dapat dicapture dengan manfaat dari FDI
yang diperoleh.
5. Daftar Pustaka
Barthel Fabian (2009), The Impact of Double Taxation Treaties on Foreign Direct Investment: Evidence from Large Dyadic Panel Data, Contemporary Economic Policy, Western Economic Association International
Baker Paul L. (2012), An Analysis of Double Taxation Treaties and their Effect on Foreign Direct Investment, University of Cambridge.
Gunadi (2013) Panduan Komprehensif Pajak Penghasilan, Jakarta: MUC Consulting Group
Martin Hearson (2015), Trends in the Conclusion of Tax Treaties by Developing Countries, London School of Economics and Political Science.
Julia Braun dan Zagler Martin (2014), An Economic Perspective on Double Tax Treaties with (in) Developing Countries,World Tax Journal October 2014, International Bureau Fiscal Documentation.
Ohno Taro (2010), Empirical Analysis of International Tax Treaties and Foreign Direct Investment, Public Policy Review Vol. 6 No. 2: Policy Research Institute, Ministry of Finance Japan.