Eksistensi Islam Moderat dalam Perspektif Islam Asep Abdurrohman
Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus (CBL) dalam Perspektif Pendidikan Islam Eva Fitriati
Manajemen Pondok Pesantren Tradisional
di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh Bandar Lampung Hasan Mawardi
Efektivitas Pendidikan Profetik dalam Menumbuhkan Budaya Cinta Kasih Siswa Kelas IX di Pondok Pesantren (MTS) Himmatul Aliyah Depok Rd. Arif Mulyadi
Muhammad Muchdi Ardansyah
Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami di Jakarta Selatan Sugiharto
Volume 2 Nomor 2 Halaman 121-234
Depok, Agustus 2017
ISSN : 2503-1651
Nomor 2
Volume 2 Halaman
121-234
Depok, Agustus 2017
ISSN : 2503-1651
The Safina is a journal published by Sekolah Tinggi Agama Islam Madinatul Ilmi (STAIMI)
PERSON IN CHARGE
Asep Kusnadi
EDITOR IN CHIEF
Rd. Arif Mulyadi
EDITORIAL BOARDS
IZ. Muttaqin Darmawan, Alwi Husein, Hasan Mawardi, M. Mahdy Alaydrus, Eva Fitriati, Muhammad Azwar, Salman Parisi, Tismat Abdul Hamid, Nana Mulyana, Abdul Hakim
DESIGN GRAPHIC & LAYOUT
Abdullah Husein
Redaksi menerima tulisan/artikel jenis karya ilmiah atau hasil penelitian, minimal 20 space halaman, ukuran A4, 2 (dua) spasi, font Times New roman (12 pt). Artikel dilengkapi biodata lengkap penulis, pass foto 4 cm x 6 cm atau ukuran close up (colour), menggunakan footnote, kata kunci, daftar pustaka, dan abstrak. Artikel dikirim ke alamat redaksi Safina melalui CD, flash disk, atau e-mail ke alamat: safina.jurnal@gmail.com. Jurnal Safina terbit bulan Maret dan Agustus. Naskah yang sudah dikirim menjadi milik Redaksi, dan redaksi berhak mengedit tulisan Anda tanpa mengubah essensinya serta berhak menolak tulisan yang tidak sesuai dengan ketentuan penulisan jurnal ini. Isi tulisan menjadi tanggung jawab penulis.
Submissions should be sent to the editor Safina,
Gg. Pakis (Kampus), RT 03/05, Jl. Raya Sawangan, Rangkapan Jaya Baru, Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat. Telp: (021) 77887143
DAFTAR ISI
Iftitah IV
Eksistensi Islam Moderat dalam Perspektif Islam 121-138
Asep Abdurrohman
Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus (CBL)
dalam Perspektif Pendidikan Islam 139-163
Eva Fitriati
Manajemen Pondok Pesantren Tradisional
di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh Bandar Lampung 165-187
Hasan Mawardi
Efektivitas Pendidikan Profetik dalam Menumbuhkan Budaya Cinta Kasih
Siswa Kelas IX di Pondok Pesantren (MTS) Himmatul Aliyah Depok 189-211
Rd. Arif Mulyadi
Muhammad Muchdi Ardansyah
Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami
di Jakarta Selatan 213-234
Sugiharto
Indeks
IFTITAH
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Segala puja dan puji hanya milik Allah sang Mahakuasa. Salawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi al-Musthafa, Muhammad saw dan keluarganya yang suci dan disucikan.
Sidang pembaca yang budiman, pertama-tama kami dari Redaksi Jurnal Safinah memohon maaf atas keterlambatan atas jurnal tercinta kita ini karena faktor-faktor yang tidak perlu kami sebutkan. Edisi Safinah kali ini menampilkan lima buah tulisan yang kami susun berdasarkan abjad.
Tulisan pertama berjudul Eksistensi Islam Moderat dalam Perspektif Islam karya Asep Abdurrohman, seorang peneliti dari Universitas Muhammadiyah Tangerang. Penelitian kepustakaan yang bersifat deskripstif analitik ini diarahkan untuk mengkaji konsep keberadaan Islam moderat dalam perspektif Islam. Peneliti menyimpulkan bahwa Islam moderat yang tercermin dalam organisasi sosial keagaman di Indonesia telah memberikan sumbangsih berharga bagi kelangsungan hidup bertolerasi di kancah nasional khususnya dan dunia pada umumnya. Terbukti dengan adanya dialog antarorganisasi dan kerja sama sosial keagamaan mampu menjadi prototipe di khalayak public.
Selanjutnya, pada tulisan kedua, Eva Fitriati menengahkan tulisan bertajuk Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus (CBL) dalam Perspektif Pendidikan Islam. Menurut peneliti, Case-Based Learning (CBL) merupakan pendekatan, metode atau strategi pembelajaran aktif
yang melibatkan eksplorasi tentang situasi realistis dan spesifik yang
VII
safina Volume 2/Nomor 1/ 2017
ketika Allah menyampaikan suatu informasi atau ajaran kepada Nabi Muhammad saw dan masyarakat Arab waktu itu.
Dalam tulisan selanjutnya yang bertajuk Manajemen Pondok Pesantren Tradisional: Studi Kasus di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh – Bandar Lampung, Hasan Mawardi membedah persoalan manajemen pesantren tradisional di kota mukimnya. Menurutnya, dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia yang berbasis masyarakat. Sebagai lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat (society based-education), pesantren telah secara
signifikan ikut andil dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ia telah terbukti berhasil membentuk pribadi-pribadi manusia yang berakhlakulkarimah, baik, bermanfaat bagi masyarakat sekelilingnya, mandiri dan tidak mudah goyah dalam mengarungi kehidupan. Hal demikian tak akan tercapai kecuali dengan melaksanakan sistem manajemen yang baik meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana. Sebab dalam prinsip ajaran Islam yang sangat dipahami para pendidik di pesantren, segala sesuatu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan melainkan harus dilakukan secara rapi, benar, tertib, teratur dan
proses-prosesnya juga harus diikuti dengan tertib. Pesantren Salafiyah
Al-Hijratul Munawwaroh, Bandar Lampung yang ditelitinya kiprahnya pun tak jauh dari hal ini. Pola umum pendidikan tradisional di pesantren
Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh meliputi dua aspek utama. Pertama,
pendidikan dan pengajaran berlangsung dalam sebuah struktur, metode dan bahkan literatur yang bersifat tradisional. Kedua, pola umum pendidikannya masih memelihara subkultur pesantren yang terdiri di atas landasan ukhrawi yang terimplementasikan dalam bentuk ketundukan mutlak kepada Kyai, mengutamakan ibadah, memuliakan kyai demi memperoleh pengetahuan agama yang hakiki. Elemen-elemen
pesantren yang ada di pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh
meliputi hal: kyai, santri, podok, masjid dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik atau yang sering disebut dengan kitab kuning. Dalam struktur
organisasi di pesantren tradisional Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh,
peran kyai sangat menonjol. Ia acap kali menempati atau bahkan ditempatkan sebagai pemimpin tunggal yang mempunyai kelebihan (maziyah) yang tidak dimiliki oleh masyarakat pada umumnya.
Efektivitas Pendidikan Profetik Dalam Menumbuhkan Budaya Cinta Kasih Siswa Kelas IX di Pondok Pesantren (MTs) Himmatul Aliyah Depok. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa (1) Keberadaan dan pelaksanaan sistem pendidikan profetik telah terbukti berlangsung di Pondok Pesantren Himmatul Aliyah Depok. Hal ini dibuktikan dengan Kurikulum yang diajarkan di Pesantren ini cukup seimbang antara mata pelajaran ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umumnya, di sisi lain kegiatan ekstrakurikuler lebih mengarah pada kegiatan peningkatan keimanan Islam; (2) Sistem pendidikan Profetik telah terbukti mampu menumbuhkan budaya cinta kasih di lingkungan pondok pesantren, hal ini bisa diamati dari tingkat kesopanan, kepatuhan, kepedulian dan kerukunan yang terjalin antara santri dengansejawat, santri dengan ustaz, santri dengan lingkungan.
Akhirnya, Jurnal Safina kami pungkas dengan tulisan Sugiharto
berjudul Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami (MAI) di Jakarta Selatan. Di dalamnya peneliti menerangkan keberadaan Pesantren Media Amal Islami (MAI) yang fokus pada pemberdayaan pemulung di sekitar Jakarta Selatan. Menurut penulis, lingkungan yang begitu padat, pengairan yang semrawut dan tergenang, cuaca yang panas mengakibatkan psikologi para pemulung menjadi pribadi yang rentan berbuat kasar. Untuk meredam gejolak pengaruh lingkungan tersebut, diperlukan suatu usaha pembinaan untuk menyirami roh yang kering. Keadaan tersebut membuat pendiri pesantren tergerak hatinya untuk mendidik dan membina santri-santri yang ada di lingkungan Pemulung. Pesantren MAI mempunyai sistem pembelajaran yang mengabungkan sistem pesantren dan sekolah umum yaitu mendidik secara islami dan berkompeten dalam ilmu teknologi, dan metode pembelajaran baca Alquran metode Iqro bagi pemula dan metode talaqi untuk tahap lanjut materi pemahaman keislaman.
Akhirnya, semoga semua tulisan yang tersaji ini bermanfaat bagi semuanya. Dan, selamat membaca!
MANAJEMEN PONDOK PESANTREN TRADISIONAL
DI PONDOK PESANTREN SALAFIYAH AL-HIJRATUL
MUNAWWAROH BANDAR LAMPUNG
Hasan Mawardi
Dosen tetap Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Madinatul Ilmi Depok setiawati_hasan@yahoo.com
Abstrak
Pendahuluan
Pesantren merupakan mata rantai yang sangat penting dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous) (Majid t.t., 3) yang berbasis masyarakat. Pada pesantren terdapat keislaman dan sekaligus keindonesiaan. Sebagai lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat (society based-education), pesantren telah secara signifikan ikut andil dalam upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebuah lembaga pendidikan yang tumbuh dari dan dikembangkan sendiri oleh masyarakat, maka karena keorisinalan atau ke-indigenous-annya ia mampu mempertahankan eksistensinya di tengah serangan arus global sistem pendidikan modern. Karena itu pesantren menjadi sangat menarik untuk diteliti.
Dunia Pesantren telah ada sejak ratusan tahun lalu. Selama itu pula telah terbukti berhasil membentuk pribadi-pribadi manusia yang berakhlakulkarimah, baik, bermanfaat bagi masyarakat sekelilingnya, mandiri dan tidak mudah goyah dalam mengarungi kehidupan. Hal demikian tak akan tercapai kecuali dengan melaksanakan sistem manajemen yang baik meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana. Sebab dalam prinsip ajaran Islam yang sangat dipahami para pendidik di pesantren, segala sesuatu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan melainkan harus dilakukan secara rapi, benar, tertib, teratur dan proses-prosesnya juga harus diikuti dengan tertib. Dalam sebuah riwayat Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang jika melakukan sesuatu pekerjaan, dilakukan secara itqan (tepat, terarah, jelas dan tuntas)”. (HR. Thabrani). Juga sebuah kata mutiara terkenal dari Ali bin Abi Thalib kw: “Kebenaran yang tak terorganisir akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir.”
Sebenarnya, manajemen dalam arti mengatur segala sesuatu agar dilakukan dengan baik, tepat dan tuntas merupakan hal yang disyariatkan dalam ajaran Islam. Setiap organisasi, termasuk pendidikan pondok pesantren memiliki aktivitas-aktivitas pekerjaan yang mempunyai kelebihan (maziyah) yang tidak dimiliki oleh masyarakat pada umumnya.
167
safina Volume 2/Nomor 2/ 2017
tertentu dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Salah satu aktivitas tersebut adalah manajemen. Dengan pengetahuan manajemen, penge-lola pondok pesantren bisa mengangkat dan menerapkan prinsip-prinsip dasar serta ilmu yang ada di dalam Alquran dan Hadis ke dalam pengelolaan lembaga tersebut.
Atas dasar kesadaran tersebut, dan seiring dengan perkembangan zaman yang sangat pesat, dunia pesantren mulai membenahi diri dengan meningkatkan kualitas manajemen lembaga agar tidak ketinggalan atau ditinggalkan oleh zaman. Dalam manajemennya, pesantren dan sistem pembelajarannya mempunyai karakteristik tersendiri, terutama tidak menganut ketentuan-ketentuan formalistik dan prosedural yang ketat. Hal ini karena organisasi sistem pembelajaran itu sendiri tidak terbentuk sebagaimana mestinya. Namun demikian terkadang masih muncul kesan bahwa pesantren merupakan lembaga yang eksklusif dan kurang mengakomodasi perkembangan zaman dalam hal sistem pembelajaran serta manajemen pengelolaannya.
Pembahasan
A.
Pengertian Manajemen
Kata “Manajemen” berasal dari bahasa Inggris, management, yang dikembangkan dari kata to manage, yang berarti mengatur atau mengelola. Kata manage berasal dari bahasa Italia, yaitu maneggio, yang diadopsi dari bahasa Latin, meneggiare yang berasal dari kata “manus” yang berarti “tangan”. (Yusuf 2015, 19). Dalam bahasa Inggris kata ini menjadi management, yang berarti seni melaksanakan dan mengatur. Salah satu contoh teori manajemen adalah teori manajemen Deming (William Edward Demming) dengan siklus manajemen Plan-Do-Check-Act. (www. kaizenconsulting.co.id/tokoh-manajemen-edward-deming.html t.t.).
Adapun pengertian secara umum, manajemen adalah seni menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Ini berarti bahwa seorang manajer bertugas mengatur dan mengarahkan orang lain
untuk mencapai tujuan organisasi. Ricky W. Griffin mendefinisikan
manajemen sebagai sebuah proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai
sasaran secara efektif dan efisien. Efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan perencanaan, sementara efisien berarti bahwa
dengan jadwal. Manajemen belum memiliki definisi yang mapan dan
diterima secara universal. (id.wikipedia.org/wiki/Manajemen t.t.). Menurut George R. Terry, Ph.D, manajemen dapat diartikan sebagai proses khas yang terdiri dari tindakan-tindakan: perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia serta sumber-sumber lain. Ia juga berpendapat bahwa manajemen merupakan ilmu sekaligus
seni, yang definisinya adalah suatu wadah di dalam ilmu pengetahuan,
sehingga manajemen bisa dibuktikan secara umum kebenarannya (Yusuf 2015, 21). Sementara menurut Harlod Koonts dan Cyril O`Donel, manajemen adalah usaha untuk mencapai suatu tujuan tertentu melalui kegiatan orang lain. (Yusuf 2015, 21).
Adapun manajemen pondok pesantren, menurut Suhartini dalam Latief adalah proses kegiatan dalam menangani, mengelola, membawa, mengembangkan baik di dalam pendidikannya maupun yang lain di dalam pondok pesantren (Latief 2015, 50). Dapat ditarik kesimpulan bahwa manajemen merupakan usaha atau tindakan untuk mencapai tujuan, suatu sistem kerjasama, melibatkan secara optimal kontribusi
orang-orang, dana, fisik, dan sumber-sumber lainnya. Manajemen juga
dapat diartikan sebagai ilmu, kiat dan profesi.
Pondok pesantren memiliki keunikan tersendiri dalam hal pola kepemimpinan yang berdiri sendiri. Namun pada era ini pondok pesantren banyak yang membuka sistem pendidikan sekolah atau madrasah yang berarti banyak melibatkan pihak luar. Adapun hal tersebut berkembang sesuai dengan pola tuntutan zaman yang berubah dalam artian zaman yang berkembang.
B.
Pondok Pesantren Tradisional
Pondok adalah asrama para santri atau tempat tinggal yang
dibuat dari bambu atau barangkali berasal dari bahasa Arab ”Fundũq” yang berarti rumah penginapan (Latief 2015, 48; Dhofier 2015, 41), yang
169
safina Volume 2/Nomor 2/ 2017
akhiran ”an” yang menunjukkan tempat1, maka artinya adalah tempat
para santri. Terkadang pula pesantren dianggap sebagai gabungan dari kata ”santri” (manusia baik) dengan suku kata ”tra” (suka menolong) sehingga kata pesantren dapat diartikan tempat pendidikan manusia baik-baik (eprints.walisongo.ac.id t.t.). Menurut Djauhari, dalam Latief, istilah pesantren setidaknya mengandung dua arti: 1) tempat santri yang setara dengan kata pemukiman (tempat mukim), pemondokan (tempat mondok) dan lain sebagainya; 2) proses menjadikan santri yang setara dengan kata pencalonan (proses menjadikan seseorang sebagai calon), pemanfaatan (proses memanfaatkan sesuatu) dan lain sebagainya (Latief 2015, 49).
Adapun kata tradisonal, berasal dari kata tradisi (Bahasa Latin: traditio, “diteruskan”) atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya pada satu negara, kebudayaan, waktu tertentu atau penganut agama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesa, tradisi/tra•di•si/ n berarti adat kebiasaan
turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat; 2 penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar. (kbbi.web.id/tradisi t.t.).
Tradisional adalah sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun-temurun (artikata.com n.d.). Tradisional dalam hubungannya dengan kehidupan manusia dapat diartikan sebagai sesuatu yang mengarah pada kebiasaan masyarakat dalam melakukan aktivitas kehidupan. Dengan demikian, sifat-sifat tradisi sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia yang tinggal di dalamnya, meskipun peradaban dan berbagai kondisi kehidupan telah berubah secara
signifikan, hal tersebut tidak akan dengan cepat mengubah kebiasaan
atau tradisi asalnya.2
Dari pengertian manajemen, pondok, pesantren, dan tradisonal yang dikemukakan di atas, maka pengertian manajemen pondok
1 Imbuhan pe-an membentuk kata dasar sehingga memiliki makna sebagai berikut:
1) Menyatakan suatu hal atau perbuatan: pendidikan, pengangguran, perampokan, pemeriksaan. 2) Menyatakan suatu proses: Pendaftaran, pembentukan, pembuatan. 3) Menyatakan tempat: penampungan, pemandian, pegunungan. http://www.kelasindonesia. com/2015/04/pengertian-dan-contoh-kata-berimbuhan-lengkap.html
pesantren tradisional adalah suatu proses dan perencanaan dalam sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional yang masih bersifat turun-menurun (diwariskan) yang berpegang teguh pada adat kebiasaan dan norma, untuk memperoleh hasil dari pencapaian tujuan yang ditetapkan lembaga masing-masing.
C.
Elemen-Elemen Pesantren
Hampir dapat dipastikan, lahirnya suatu pesantren berawal dari beberapa elemen dasar yang selalu ada di dalamnya. Komponen dasar yang menjadikan sebuah lembaga pendidikan disebut pesantren,
menurut Zamakhsyari Dhofier ada lima komponen yang satu dengan
yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Kelima elemen tersebut meliputi; kyai, santri, pondok, masjid dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik
atau yang sering disebut dengan kitab kuning (Dhofier 2015, 79; Haedari
2004, 25).
Mastuhu mengklasifikasikan perangkat-perangkat pesantren
meliputi aktor atau pelaku seperti kyai dan santri. Perangkat keras pesantren meliputi masjid, asrama, pondok, rumah kyai dan sebagainya. Sementara perangkat lunaknya adalah tujuan kurikulum, metode pengajaran, evaluasi, dan alat-alat penunjang pendidikan lainnya ((Mastuhu 1994; Haedari 2004, 25). Namun demikian elemen-elemen pesantren tergantung pada besar kecilnya, program pendidikan yang dijalankan pesantren. Untuk pesantren yang berskala kecil dan hanya sekadar mengelola pondok pesantren saja, maka hanya kelima elemen dasar tersebut yang menjadi elemen pesantren. Kelima elemen inilah yang menjadi objek manajemen.
1. Kyai
Sebutan untuk pimpinan pondok pesantren sangat beragam, antara lain: kyai, ajengan, ustaz, tuan guru, tuan syaikh, buya, dan lain-lain. Kyai adalah tokoh kharismatik yang diyakini memiliki pengetahuan agama yang luas sebagai pemimpin dan pemilik pesantren. Kyai
merupakan figur sentral yang merencanakan, menyelenggarakan, dan
mengendalikan seluruh pelaksanaan kegiatan pendidikan di pesantren
(Muthohar 2007, 32). Bahkan pengaruhnya mewarnai kehidupan
masyarakat di luar pesantren. Ia pun terkadang menjadi dalang utama di balik para penguasa dalam usahanya memelihara dan menyebarkan
171
safina Volume 2/Nomor 2/ 2017
penghubung antara Islam tradisional yang diajarkan di pesantren dan
dunia nyata di luar pesantren (Dhofier 2015, 281). Karena itu para kyai
dituntut untuk terus berpikir kreatif demi pengembangan pesantren dalam dimensi-dimensi yang baru. Dan, panorama yang berwajah majemuk kehidupan pesantren sekarang ini merupakan petunjuk
adanya kreasi yang jenius dari para kyai (Dhofier 2015, 281).
2. Pondok
Pondok pesantren pada dasarnya merupakan sebuah asrama pendidikan Islam tradisional yang siswanya tinggal bersama kyai dalam satu komplek yang sama. Ia mendapat bimbingan dari kyai tersebut dalam waktu yang relatif terus menerus dalam waktu sepanjang hari. Nama lain dari pondok adalah surau di daerah Minangkabau atau
Dayah di Aceh (Dhofier 2015, 81).
Biasanya, besar kecilnya pondok tergantung dari jumlah santrinya. Pesantren besar yang memiliki santri lebih dari 3.000 ada yang memiliki gedung bertingkat tiga yang terbuat dari tembok; semua ini biasanya dibiayai dari para santri dan sumbangan masyarakat
(Dhofier 2015, 82).
Ada tiga alasan utama mengapa pesantren harus menyediakan asrama bagi para santri:
Untuk menggali ilmu sang kyai secara utuh, maka santri-santri yang kebanyakan berdomisili jauh dari pesantren membutuhkan tempat menginap dalam kurun waktu yang tidak singkat.
Sebagian besar, pesantren berada di daerah perdesaan yang belum tersedia tempat-tempat kos, penginapan, dan juga tidak tersedia perumahan (akomodasi) untuk menampung santri-santri.
Munculnya sikap timbal balik, sehingga antara kyai dan santri terjalin hubungan laksana anak dan bapak yang keduanya saling membutuhkan untuk selalu berdampingan. Seorang kyai dapat membimbing santri secara lebih tanggung jawab, sementara santri dapat membantu kyainya untuk dapat berbakti sebagai wujud timbal
balik dari ia memperoleh ilmu (Dhofier 2015, 81-82).
3. Santri
Santri merupakan elemen pokok dalam sebuah pesantren, seba-gai mana kata pesantren itu sendiri merupakan wujud dari penamaan
2015, 41). Seorang ulama pun dikatakan sebagai seorang kyai (di Jawa), disebabkan memiliki santri yang mempelajari kitab-kitab Islam klasik
di dalam pesantrennya (Dhofier 2015, 88).
Biaya untuk belajar di pesantren pada waktu dulu mahal (baik untuk pelajaran, ongkos hidup, maupun kitab-kitab yang harus dibeli),
bahkan kadang harus ditanggung oleh keluarga dekat (Dhofier 2015,
90-92). Apakah hal tersebut masih berlaku untuk saat ini? Seperti yang penulis cermati bahwa pendidikan pesantren memang merupakan pendidikan yang membutuhkan biaya tidak sedikit.
Walaupun demikian biaya pendidikan di pondok pesantren jauh lebih terjangkau. Hal ini terbukti bahwa sebagian besar santri yang mengenyam pendidikan di pondok pesantren adalah kalangan masyarakat dengan taraf ekonomi menengah ke bawah. Meskipun akhir-akhir ini sudah mulai banyak santri yang berasal dari kalangan ekonomi atas, prosentasenya masih relatif kecil.
4. Masjid
Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Dengan kata lain, kesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat pada masjid sejak Masjid Quba didirikan dekat Madinah pada masa Nabi Muhammad Saw tetap terpancar pada sistem pesantren. Sejak zaman Nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan Islam. Di manapun kaum muslimin berada, mereka selalu menggunakan masjid sebagai tempat pertemuan, pusat pendidikan, aktivitas administrasi, dan kultural. Hal ini berlangsung selama tiga
belas abad (Dhofier 2015, 85-86).
Berdasarkan pengamatan peneliti tidak semua pondok pesantren mempunyai fasilitas masjid, terutama pesantren-pesantren yang masuk kategori kecil. Pesantren semacam ini kadang hanya memiliki musala, bahkan ada yang mempergunakan aula (tempat yang sedikit lebar) untuk difungsikan sebagai pengganti peran masjid.
5. Pengajaran Kitab Islam Klasik
Pengajaran kitab Islam klasik yang diajarkan di pesantren
merupakan kitab-kitab karangan ulama yang menganut paham Syafi’i.
173
safina Volume 2/Nomor 2/ 2017
pemikir muslim lainnya di masa lampau, khususnya beraasal dari Timur Tengah. Namun pengertiannya dapat diperluas menjadi kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab, Melayu, Jawa atau bahasa lokal lainnya di Indonesia dengan menggunakan aksara Arab, yang ditulis oleh ulama Timur Tengah atau oleh ulama Indonesia sendiri (Azra 2014, 143). Di
antara kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren, menurut Dhofier,
dapat digolongkan menjadi delapan kelompok jenis pengetahuan: 1. Nahwu (syntax) dan sharaf (morfologi), 2. Fiqh, 3. Ushul fiqh, 4. Hadits, 5. Tafsir, 6. Tauhid, 7. Tasawuf dan etika, 8. Cabang-cabang lain seperti
tarikh dan balaghah (Dhofier 2015, 90-92).
Kitab-kitab tersebut meliputi teks yang sangat pendek sampai
teks yang terdiri dari beberapa jilid tebal mengenai hadis, tafsir, fikih, ushul fikih dan tasawuf. Kesemuanya dapat digolongkan ke dalam tiga
kelompok tingkatan, yaitu: kitab dasar, kitab tingkat menengah, dan
kitab tingkat tinggi (Dhofier 2015, 90-92).
Meluasnya penggunaan kitab-kitab kuning di berbagai pesantren di Nusantara dipengaruhi oleh semakin intensifnya hubungan antara ulama Nusantara dengan ulama-ulama di Timur Tengah. Itu terjadi pada abad ke-14-15, dimana banyak jamaah haji dan penuntut ilmu dari dunia Melayu-Indonesia yang berkesempatan mendatangi pusat-pusat keilmuan Islam di sepanjang rute perjalanan haji (Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII 1998, 17), selain telah ditemukannya
mesin cetak sehingga kitab-kitab banyak dijual di Timur Tengah dan dibeli serta dibawa ke Nusantara oleh para jamaah haji.
D.
Pola Manajemen Pesantren Tradisional
Setiap pesantren memiliki struktur organisasi sendiri-sendiri yang berbeda-beda satu terhadap yang lain, sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Meskipun demikian, daripadanya dapat disimpulkan adanya kesamaan-kesamaan yang menjadi ciri-ciri umum struktur organisasi pesantren, dan tampak adanya kecenderungan perubahan yang sama di dalam menatap masa depannya.
Berbeda dengan gaya kepemimpinan lainnya, kyai pesantren sering kali menempati atau bahkan ditempatkan sebagai pemimpin tunggal yang mempunyai kelebihan (maziyah) yang tidak dimiliki oleh masyarakat
pada umumnya (Wahid t.t., 73-74). Implikasinya, gap quality (atau kesenjangan kualitas) antara seorang pemimpin dengan lainnya tidak bisa dihindarkan. Sebuah gaya kepemimpinan kharismatik sehingga sisi rasionalistik hanya memperoleh porsi yang sedikit (Mastuhu, Gaya dan Suksesi Kepemimpinan Pesantren 1990, 88).
Meski demikian, bukan berarti gaya kepemimpinan kharismatik harus dihilangkan, mengingat kelebihan yang ditimbulkannya juga cukup dominan. Dalam konteks ini, diktum al-muhafazhatu ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al- ashlah (memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik) patut untuk dikedepankan.
E.
Kurikulum Pesantren
Secara umum, pengertian kurikulum adalah seperangkat atau sistem rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pembelajaran yang menjadi pedoman dalam aktivitas belajar mengajar. Secara etimologis, kurikulum berasal dari istilah curriculum yang dalam bahasa Inggris, kurikulum adalah rencana pelajaran. Curriculum berasal dari bahasa latin yaitu currere, yang memiliki banyak arti yaitu “berlari cepat”, “maju dengan cepat”, “menjalani dan berusaha untuk”.
Dalam bahasa Arab, kurikulum disebut dengan manhaj yang berarti “jalan yang dilalui manusia pada berbagai bidang kehidupan”, dalam pengertian kurikulum pendidikan bahasa Arab yang dikenal dengan istilah manhaj al-dirasah yang jika dilihat artinya pada kamus tarbiyah adalah “seperangkat perencanaan dan media yang dijadikan sebagai acuan lembaga pendidikan untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan”. Dalam pengertian kurikulum, para ahli mengemukakan
pendapatnya dalam memberikan gambaran berupa definisi-definisi
pengertian kurikulum.
Menurut UU No. 20 Tahun 2003, pengertian kurikulum adalah sepe-rangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pem-belajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.3
175
safina Volume 2/Nomor 2/ 2017
Menurut Murray Print, kurikulum adalah sebuah ruang pembelajaran yang terencana, yang diberikan secara langsung kepada siswa oleh sebuah lembaga pendidikan dan pengalaman yang dapat dinikmati oleh semua siswa pada saat kurikulum diterapkan.
Dari pengertian kurikulum secara umum dan pengertian
kurikulum menurut definisi para ahli dapat disimpulkan bahwa dari
penjelasan di atas tentang pengertian kurikulum sangatlah fundamental yang menggambarkan fungsi kurikulum yang sesungguhnya dalam sebuah proses pendidikan. Maka kurikulum pesantren dapat
didefinisikan sebagai “usaha menyeluruh yang dirancang khusus oleh
pihak pesantren mengenai tujuan, isi dan bahan pembelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran guna membimbing santri untuk memperoleh hasil dari pembelajaran yang sudah ditentukan”.
Adapun komponennya, kurikulum mempunyai empat unsur komponen yang membentuk/menyusun kurikulum. Empat unsur komponen kurikulum adalah sebagai berikut: Tujuan, Komponen Isi (Bahan pengajaran), Komponen Strategi, dan Komponen Evaluasi.4
Untuk tujuan, baik tertulis atau tidak, setiap pesantren memiliki visi dan misi masing-masing yang kemudian diterjemahkan ke dalam aktivitas pembelajaran harian. Tujuan pesantren secara umum adalah melahirkan generasi muslim yang siap melanjutkan warisan keislaman untuk generasi setelahnya atau mendatang. Mencetak ulama yang menguasai ilmu-ilmu agama, mendidik muslim agar dapat melaksanakan syariat agama, dan mendidik santri memiliki kemampuan yang relevan
untuk membentuk masyarakat beragama (Noor 2009, 70).
Kedua, isi atau bahan pengajaran. Seperti dijelaskan oleh Dhofier,
bahan ajar di pondok pesantren dapat digolongkan menjadi delapan kelompok jenis pengetahuan: 1. Nahwu (syntax) dan sharaf (morfologi),
2. Fikih, 3. Ushul fikih, 4. Hadits, 5. Tafsir, 6. Tauhid, 7. Tasawuf dan etika, 8. Cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah (Dhofier 2015, 90-92).
Kitab-kitab tersebut biasanya diajarkan berdasarkan tingkatannya (level kelas); tingkat dasar, menengah pertama, menengah atas, dan tingkat
tinggi (Latief 2015, 59-61).
Ketiga, strategi atau metode mengajar, dalam dunia pesantren
4http://file.upi.edu/Direktori/...KURIKULUM.../KP4-KOMPONEN_KURIKULUM.
dikenal beberapa metedologi pengajaran sebagai berikut: sorogan,
hiwar, muharawah atau muhadatsah, bandongan atau wetonan, hafalan, halaqah dan metode baths al-masa’il (Dhofier 2015, 53).
Keempat, evaluasi. Dalam pembelajaran pesantren tradisonal tidak dijumpai komponen-komponen evaluasi hasil belajar secara formal. Jika tujuan sebuah pesantren adalah melahirkan generasi ulama, secara umum gelar keulamaan akan diperoleh secara alamiah oleh masyarakat, bukan melalui sebuah sidang terbuka atau wisuda kesarjanaan seperti di universitas. Namun demikian, terdapat jenjang akademik yang harus diikuti. Santri yang sudah mengikuti metode bahts
al-masa’il adalah mereka yang sudah mencapai level pendidikan yang
tinggi (Dhofier 2015, 53), yang sudah bisa mengajar atau berdakwah di
masyarakat.
Santri level tinggi adalah santri yang telah mengaji kitab-kitab tingkat tinggi; Fath al-Majid dalam Tauhid, Tafsir Ibn Katsir dalam bidang Tafsir misalnya, Al-Itqan fi `Ulum al-Qur’an dalam Ilmu Tafsir,
Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dalam Hadis, Alfiyah al-Suyuthi
dalam Musthalah Hadits, Bidayat Mujtahid dalam Fikih, Jam`u al-Jawami` dalam Ushul Fikih, Uqudu al-Jumah dalam Balaghah, Sullam
al-Munaruq dalam Mantiq, Ihya `Ulum al-Din dalam Akhlak, dan Tarikh Tasyri` dalam Tarikh. Ini semua hanyalah contoh dari beberapa nama
kitab yang dipelajari para santri level tinggi (Latief 2015, 61).
Secara umum lembaga pesantren berorientasi ukhrawi dan
keberhasilan lembaga diukur dari profil lulusan sebagai santri yang
taat, berakhlak mulia tanpa berharap berprofesi dalam jabatan tertentu. Mereka dengan ikhlas akan kembali ke masyarakat dan tidak mengharapkan jabatan tertentu yang bersifat keduaniawian. Maka pesantren tidak perlu dan santri pun tidak memerlukan sebuah ijazah sebagai tanda kelulusan mondok. Mereka hanya mengenal ijazah dalam bentuk lisan dari sang Kyai berupa perintah mengabdi kepada masyarakat (Subhan t.t.).
F.
Sejarah Berdirinya Pesantren
Pondok Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh adalah
177
safina Volume 2/Nomor 2/ 2017
115, Gunung Terang, Raja Basa, dengan luas tanah 1400 meter. Luas tanah tersebut hingga penelitian ini dilakukan 1000 m masih berstatus milik pribadi sang pendiri dan 400 meter berstatus wakaf.
G.
Visi dan Misi Pesantren
Sebagaimana umumnya di sebuah lembaga pendidikan modern seperti sekolah atau universitas kita akan menemukan papan visi dan misi terpampang. Namun demikian tidak atau jarang akan ditemukan di sebuah lembaga pendidikan tradisonal seperti pesantren tradisonal
(salafiyah). Seperti itulah yang dialami peneliti di Pesantren Salafiyah
Al-Hijratul Munawwaroh Bandar Lampung. Peneliti tidak menemukan sebuah papan visi dan misi lembaga. Peneliti harus menggali secara langsung dari pendiri terkait apa yang melatarbelakangi keinginan mendirikan pesantren tersebut dan lulusan seperti apa yang ia inginkan. “Abah—demikian ia mengatasnamakan dirinya—diminta oleh guru Abah di Menes, Banten, dan di Sukabumi, Jawa Barat, tempat Abah dulu mondok, meminta Abah untuk membuka pondok pesantren di seberang. Maksudnya di Lampung atau di tanah Sumatra. Ya, karena sudah ada perintah dari guru, masa Allah tidak memberi jalan. Ya
bismillah, Abah dirikan pondok di sini tahun 1999.” Demikian jawaban pendiri atas pertanyaan peneliti, “Kapan pesantren ini berdiri”.
Saat ditanya “mengapa tidak mendirikan pesantren yang ada sekolahnya, seperti pesantren-pesantren sekarang atau biasa disebut pesantren modern”, ia menjawab, “Seperti diamanahkan guru-guru Abah, pesantren zaman sekarang tidak seperti pesantren zaman dulu yang mampu melahirkan banyak ulama, menguasai kitab-kitab. Maka itu, sejak awal Abah sudah bertekad ingin mendirikan pesantren yang
salafiyah kama taqaddam (seperti pesantren dulu), yang mengajarkan para santri kitab-kitab.” Ia melanjutkan, “Baru-baru ini Abah ditawari bantuan melalui Departemen Agama biaya pembangunan hampir 1 milyar, tapi Abah tolak karena takut tidak dapat menjaga amanah. Kan banyak tuh pesantren-pesantren yang sekarang sudah berubah tidak
salafiyah lagi setelah mendapatkan bantuan dari pemerintah Australia.
Abah mah mau tetap saja seperti ini, kama taqaddam.”
Al-Hijratul Munawwaroh. Visinya adalah: “melahirkan ulama seperti ulama dahulu yang mampu menguasai kitab-kitab kuning”.
Setelah berhasil mengetahui visi pesantren, peneliti terus melan-jut kan wawancara untuk menggali misinya, yaitu langkah-langkah yang sudah, sedang dan akan ditempuh oleh pesantren dalam mewujudkan visi tersebut. “berapa lama atau berapa tahun seorang santri bisa menguasai kitab-kitab”, tanya peneliti. Ia menjawab: “Abah meminta para santri untuk mondok minimal 10 tahun baru Abah nyatakan lulus. Lulus dari pondok Abah. Kalau dia punya modal, seperti sudah beberapa orang Abah kirim, Abah akan kirimkan santri yang sudah 10 tahun mondok untuk mondok kembali di beberapa pesantren di Jawa. Salah satunya di pesantren tempat Abah dulu mondok, di Cibeureum Golpara, Sukabumi”.
“Sepuluh tahun itu santri ngaji kitab apa saja Bah,” lanjut peneliti.
Ia menjawab, “Ada banyak, fikih, tauhid, tasawuf”. “Itu abah sendiri yang
ngajar?” tanya peneliti. “Dulunya sih Abah sendiri, sekarang kan sudah ada santri yang senior, yang hampir 10 tahun. Ada juga yang sudah sepuluh tahun karena tidak mau lanjut ke pesantren lain ia mengabdi di sini. Abah minta beberapa santri senior untuk ngajar yang dasar-dasar: Alquran, tajwid, nahwu dan sharaf, dan kitab dasar kayak Safinah,” jawabnya. “Mereka ngaji setiap hari Bah?” lanjut peneliti. “Ya setiap hari. Setiap habis salat wajib, bakda subuh sampai pukul 08.00, lanjut pukul 10.00 sampai salat Zuhur. Pukul 13.00 siang sampai pukul 14.00. Bakda salat Asar kira-kira satu jam. Antara magrib dan isya, dan dilanjutkan pukul 21.00 sampai pukul 23.00 malam. Ya tidak Abah semuanya sekarang. Antara magrib dan isya, bakda subuh, setelah salat Asar biasanya santri senior ngajarkan kitab-kitab dasar, tajwid, dan lain-lain,” tegasnya.
“Kalau misalnya ada masyarakat sekitar yang ingin ngaji tapi tidak mukim atau tidak mondok boleh tidak Bah?” “Oh itu tidak Abah bolehkan. Memang ada sih tapi Abah tidak mau. Mereka harus mondok. Kalau mondok tapi mau sambil sekolah masih Abah bolehkan,” jawabnya. “Ada ya Bah yang sambil sekolah?” tanya pene-liti. Ia menjawab, “Ada beberapa bahkan ada yang kuliah juga, tapi hanya beberapa orang saja. Cuma tetap kitab, mondok harus lebih diutamakan. Mereka harus mondok sambil kuliah bukan kuliah sambil mondok. Kan beda,” ujarnya.
179
safina Volume 2/Nomor 2/ 2017
1) Menyelenggarakan pendidikan pesantren salafiyah dengan masa
studi 10 tahun.
2) Meminta santri senior untuk mengabdi sebagai pengajar (badal) semaksimal kesanggupannya.
3) Mengirimkan lulusan untuk melanjutkan studi ke berbagai
pondok salafi di Jawa.
4) Hanya mengajarkan kitab-kitab klasik (kitab kuning), seperti
pada umumnya diajarkan di pondok-pondok salafiyah.
5) Komitmen pada tradisi salafiyah secara mandiri dengan tanpa
bergantung pada bantuan yang mengikat.
Dari penjelasan pimpinan pondok di atas nampak jelas bahwa visi dan misi pondok hanya dibuat oleh Kyai sendiri, masih belum terumuskan dengan baik dan tidak ada sosialisasi kepada unsur lain dalam pesantren kecuali secara lisan: mencetak para ulama. Para santri dibiarkan sendiri mencerna apa yang disampaikan kyai.
C.3. Elemen Pesantren
Seperti diungkapkan oleh Zamakhsyari Dhofier, ada lima komponen
yang satu dengan yang lain saling mendukung dan tidak dapat dipisahkan, yaitu kyai, santri, pondok, masjid dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik
atau yang sering disebut dengan kitab kuning (Dhofier 2015, 79). Artinya,
jika kelimanya ada pada sebuah institusi pendidikan, sudah layak disebut sebagai pesantren. Maka berdasarkan observasi yang peneliti lakukan
di Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh – Bandar Lampung,
lembaga ini sudah bisa disebut sebagai pesantren karena sudah memiliki kelima elemen tersebut. Lembaga ini memiliki seorang kyai, beberapa orang santri, pondok atau asrama untuk putra dan putri, masjid atau biasa lebih sering disebut aula serbaguna, dan pengajaran kitab-kitab kuning, bahkan hanya mengajarkan kitab kuning.
Namun demikian, mengingat pesantren ini masih dapat disebut
pesantren kecil dengan hanya 107 santri, kelima elemen pesantren
menjadi objek manajemen dalam penelitian di Pesantren Salafiyah
Al-Hijratul Munawwaroh adalah kelima elemen tersebut di atas saja.
1. Kyai
Sebutan kyai sangat beragam, antara lain: ajengan, aang, abuya, tuan guru, tuan syaikh, dan mungkin ada sebutan lainnya. di Pesantren
Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh, pendiri dan pengasuh pondok
sering mengatasnamakan dirinya sebagai Abah. Abah terlihat sangat karismatik yang diyakini para santrinya memiliki pengetahuan agama
yang luas dan kesaktian atau karamah. Beliau merupakan figur sentral
yang merencanakan, menyelenggarakan, dan mengendalikan seluruh
pelaksanaan kegiatan pendidikan di pesantren tersebut. Sebuah figur
yang memang unik, sebagai agen penyalur tradisi pesantren yang paling efektif dan pendukung utama dalam memelihara dan menyebarkan ideologi Islam tradisional. Sosok yang menjadi penghubung antara Islam tradisional dan dunia nyata dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai pimpinan pesantren Abah dituntut untuk selalu kreatif mengembangkan pesantren dalam dimensi-dimensi yang baru (tuntutan modernitas),
sambil tetap mempertahanlan kesalafiyahan atau ketradisonalannya.
Kurikulum bisa saja tetap tradisonal dengan mengajarkan kitab-kitab kuning, sementara manajemen bisa saja dilakukan secara modern. “Sebagian santri, terutama yang sambil sekolah dan kuliah pernah sengaja sowan ke Abah, usul agar ke depan membuka sekolah sendiri saja. Namun, mayoritas santri tidak menginginkan itu dan abah juga tidak ada niatan buka sekolah”, ungkapnya saat peneliti bertanya “mengapa tidak membuat sekolah sendiri saja”.
Saat ditanya, “Ada tidak Bah struktur organisasi santri?” ”Ya ada” jawabnya. “Ada lurah kobong (ketua santri—pen.), ada sekretaris, bendahara. Ada seksi masak, dakwah, kebersihan, keamanan ada. Nanti bisa lihat di tangga kobong (asrama) papannya.” Demikian ini selaras dengan penjelasan lurah kobong bernama Hayatun Nufus. “Untuk masak satri dibentuk kelompok, setiap kelompok beranggotakan 12-15 santri. Untuk kepentingan bayar listrik terutama dan keperluan lain-lain setiap santri diminta iuran minimal Rp. 10.000, dan kita membutuhkan uang per bulan untuk listrik sekitar sembilan ratus sampai satu juta. Rumah Abah, musala dan asrama putra dan putrid.” Memang sepengetahuan peneliti dari wawancara dan observasi di sana, hampir tidak ada pengeluaran
181
safina Volume 2/Nomor 2/ 2017
pemasukan perbulan minimal Rp. 1.170.000.
Dengan demikian biaya pendidikan di Pondok Pesantren Salafiyah
Al-Hijratul Munawwaroh jauh lebih terjangkau oleh kalanagn bawah. Hal ini terbukti bahwa sebagian besar santri yang mengenyam pendidikan di pondok pesantren ini berasal dari kalangan masyarakat dengan taraf ekonomi menengah ke bawah. Walaupun ada beberapa santri yang berasal dari kalangan ekonomi atas, prosentasenya masih relatif kecil. “Mereka yang mampu dianjurkan membayar uang bulanan lebih dari Rp 10.000, dan biasanya mereka bayar lebih, ada yang bayar per bulan Rp 50.000,” jelas ketua santri.
2. Pondok
Di lembaga pendidikan Islam tradisonal pondok pesantren siswa pada umumnya tinggal bersama kyai dalam satu komplek yang sama. Ia mendapat bimbingan dari kyai tersebut dalam waktu yang relatif terus menerus dalam waktu sepanjang hari. Pondok atau asrama atau di Jawa Barat disebut kobong merupakan ciri khas tradisi pesantren.
Sesuai dengan hasil observasi peneliti, pesantren Salafiyah
Al-Hijratul Munawwaroh memiliki dua asrama: putra dan putri dengan kapasitas 150 untuk putra dan 50 untuk putri. Bangunan asrama terdiri dari dua lantai, dengan bahan bangunan dari kayu dan bambu. Kamar didesain sangat kecil berukuran 2 x 2 m yang diperuntukkan untuk 2-3 santri.
Seperti diungkapkan oleh Dhofer, keberadaan asrama sangatlah
signifikan bagi para santri agar dapat menggali ilmu sang kyai secara utuh.
Bahkan tidak hanya ilmi, seluruh kehidupan Kyai adalah contoh yang patut diikuti. Maka itu mereka harus menginap agar tidak buang-buang waktu untuk pulang dan pergi, khususnya bagi mereka yang berdomisili jauh dari pesantren atau dari luar kota dan bahkan dari luar provinsi.
Alasan lainnya adalah sebagian besar pesantren berada di daerah pedesaan yang belum tersedia tempat-tempat penginapan. Kalaupun ada karena berlokasi di perkotaan, mayoritas santri berasal dari keluarga tidak mampu yang justru alasan memilih pesantren karena biayanya yang relatif murah dibanding sekolah.5 Maka terciptalah jalinan emosional
5Alasan kenapa memilih pesantren? Selengkapnya: http://www.kompasiana.com/
yang cukup erat antara kyai dan santri terjalin hubungan laksana anak dan orang tuanya.
3. Santri
Elemen penting berikutnya dari sebuah pesantren adalah santri. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa kata pesantren itu sendiri berasal dari kata santri yang mendapatkan awalam pe- dan akhiran -an. Umumnya mereka berasal dari berbagai daerah di sekitar pesantren, tetapi ada pula yang datang dari luar kota dan luar provinsi. Maka di
beberapa pesantren, sebagaimana dijelaskan oleh Dhofier sebagian
mereka lebih memilih mukim, yaitu murid-murid yang dari jauh maupun dari dekat pesantren yang menetap untuk waktu yang lama. Sebagian lainnya yang berasal tidak jauh dari pesantren lebih memilih tidak menetap atau pulang-pergi. Inilah yang disebut santri kalong.
Di pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh, sebagaimana
peneliti saksikan sendiri dalam observasi, seluruh santri diwajibkan mukim, bahkan bagi mereka yang sangat dekat sekalipun rumahnya dari pesantren. Demikian itu, sebagaimana peneliti dengar langsung dari pimpinan pesantren, agar “mereka benar-benar merasakan bagaimana rasanya menjadi santri itu. Belajar jauh dari tv, belajar sederhana, belajar
merih (lapar—pen.), seperti santri-santri dulu, makanya mereka berhasil
menjadi ulama. Siap hidup dalam segala kondisi”.
Sampai penelitian ini dilakukan, pondok Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh memiliki 107 santri, terdiri dari 15 santriwati dan 92
santri. Mereka berasal dari berbagai daerah di Lampung dan Jawa Barat dan Banten. Sebagian ada yang berusia SMP, SMA dan mahasiswa yang secara keseluruhan berstatus sebagai santri mukim. Untuk memenuhi tuntutan zaman, pesantren bertekad untuk tetap mempertahankan
kesalafiyahannya namun diimbangi dengan kebijakan mengizinkan santri
bersekolah dan kuliah di luar pondok pesantren, sekalipun jumlahnya hanya sedikit. Ketua santri, Hayatun Nufus mengatakan bahwa ada tujuh santri mengambil kuliah di tiga kampus berbeda di Bandar Lampung dan kurang dari dua puluh santri yang sambil sekolah di luar.
Untuk menjalankan aktivitas pondok agar lebih teratur dan sekaligus
membantu meringankan tugas kyai, para santri pondok Salafiyah
183
safina Volume 2/Nomor 2/ 2017
tertulis tata-cara pemilihan ketua dan seberapa lama ia menjabat. Semuanya ditentukan oleh kebutuhan dan menurut titah Sang Kyai.
4. Masjid
Dalam sejarah Islam, keberadaan masjid selalu dijadikan sebagai pusat pendidikan. Pada zaman Nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan Islam. Di manapun kaum muslimin berada, mereka selalu menggunakan masjid sebagai tempat pertemuan, pusat pendidikan, aktivitas administrasi, dan kultural. Tidaklah heran jika masjid menjadi elemen sentral dalam sebuah pesantren. Ia merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional.
Berdasarkan pengamatan peneliti, pondok pesantren Salafiyah
Al-Hijratul Munawwaroh tidak memiliki fasilitas masjid, pesantren hanya memiliki musala dengan ukuran 12 m x 8 m. Musala yang dipergunakan sebagai tempat salat, mengaji atau kelas belajar, rapat santri, dan menyampaikan berbagai pengumuman dan kebijakan pondok. Pada
saat observasi, hari Minggu tanggal 2 April 2017, pimpinan pondok, K.H.
M. Suproni Al-Alawi mengumumkan bahwa “jadwal pengajian bakda Isya ditiadakan karena Abah akan menghadiri undangan Isra Mikraj”.
Dari sini nampak bahwa jadwal ngaji menjadi sangat fleksibel. Kyai
punya otoritas penuh menentukan kitab apa yang hendak ia ajarkan. Di masjid inilah Kyai mengajar dengan menggunakan berbagai
metode yang lazim dilakukan di pesantren-pesantren salafiyah lainnya:
sorogan, hiwar, muharawah atau muhadatsah, bandongan atau wetonan,
dan hafalan. Adapun untuk halaqah dan metode bahtsul masa’il masih
belum dilakukan di pesantren ini.
5. Pengajaran Kitab Islam Klasik
Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh sangat menjaga
tradisi dan bahkan hanya mengajarkan kitab kuning saja. Sesuai penelusuran peneliti dari jadwal ngaji salah seorang santri bernama Aji atau Khairul Fajri dan penjelasan keduanya tentang nama-nama kitab yang biasa diajarkan Abah, berikut nama-nama kitab dimaksud:
Kitab-kitab alat atau tata bahasa: 1) Jurûmiyyah
2) Murâdu Jurûmiyyah 3) Alfiyah
5) Murâdu al-`Awâmil
6) Matan Bina
7) Nazham Maqshud 8) Al-Kailani
Kitab-kitab Fikih: 1) Safinah al-Najah 2) Sullamu al-Taufiq 3) Fathu al-Qarîb (Taqrib) 4) Minhâj al-Thâlibîn 5) Nihâyat al-Zaîn
6) Anwâr al-Masâlik
7) Fathu al-Mu`în 8) Al-Iqna
9) Kifâyat al-Akhyâr 10) Tausyih
11) Praktik Ibadah
Kitab-kitab Akhlak:
1) Al-Akhlaq li al-Banîn/al Banât. 2) Ta`lim al-Muta`allim
3) Tanbîhu al-Ghâfilîn 4) Syarah al-Hikam 5) Al-Adzkâr al-Nawâwi
Kitab-Kitab Hadis: 1) Al-Arba`in al-Nawawi 2) Mukhtâr al-Ahâdîs 3) Riyâdu al-Shâlihîn 4) Bulûgh al-Murâm
Kitab-Kitab Tafsir: 1) Tafsir al-Munîr 2) Tafsir al-Jalâlain
Kitab Sejarah:
185
safina Volume 2/Nomor 2/ 2017
Nama-nama kitab tersebut sekaligus menjadi mata ajar atau mata kuliah yang akan diikuti para santri. Secara alamiah dari nama-nama kitab tersebut terciptalah level atau kelas belajar. Level rendah diajarkan oleh sejumlah santri senior yang telah ditunjuk Abah (Kyai), sementara level sedang dan tinggi diajarkan oleh Abah sendiri. Jika melihat dari nama-nama kitab tersebut yang diajarkan,
berdasarkan klasifikasi keilmuan dari tingkat dasar, menengah dan tinggi oleh Dhofier dan Latief (Dhofier 2015, 87; (Latief 2015, 59-61), pondok Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh terkategori pondok dengan
standar pendidikan menengah. Demikian ini diperkuat oleh kebijakan pesantren yang meminta santri yang sudah mondok lebih dari 10 tahun untuk melanjutkan studi di pondok lain yang lebih tinggi secara jenjang akademiknya di pulau Jawa yang direkomendasikan Kyai.
Kesimpulan
Pola umum pendidikan tradisional di pesantren Salafiyah
Al-Hijratul Munawwaroh meliputi dua aspek utama. Pertama, pendidikan dan pengajaran berlangsung dalam sebuah struktur, metode dan bahkan literatur yang bersifat tradisional. Kedua, pola umum pendidikannya masih memelihara subkultur pesantren yang terdiri di atas landasan ukhrawi yang terimplementasikan dalam bentuk ketundukan mutlak kepada Kyai, mengutamakan ibadah, memuliakan kyai demi memperoleh pengetahuan agama yang hakiki.
Elemen-elemen pesantren yang ada di pesantren Salafiyah
Al-Hijratul Munawwaroh meliputi lima elemen dasar yaitu; kyai, santri, podok, masjid dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik atau yang sering disebut dengan kitab kuning.
Dalam struktur organisasi di pesantren tradisional Salafiyah
Al-Hijratul Munawwaroh, peran kyai sangat menonjol, kyai sering kali menempati atau bahkan ditempatkan sebagai pemimpin tunggal yang mempunyai kelebihan (maziyah) yang tidak dimiliki oleh masyarakat pada umumnya.
Atas dasar itu, dapat disimbulkan bahwa opini tentang pesantren sebagai lembaga yang eksklusif dan kurang mengakomodasi perkem-bangan zaman tidaklah benar sepenuhnya.
Daftar Pustaka
Buku
Ali, Atabik. Kamus Kontemporer Arab Indonesia. Yogyakarta: Multi
Karya Grafika Pondok Krapyak, 1999.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII. Cet-4. Bandung: Mizan, 1998.
---, Pendidikan Islam: Tradisi Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III. Cet.-2. Jakarta: Kencana, 2014
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 2015.
Haedari, Amin dkk. Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Kompleksitas Global. I. Jakarta: IRD Press, 2004.
Latief, H. Abdul Majid. Manajemen Pendidikan Islam. Jakarta: HAJA Mandiri, 2015.
Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS, 1994.
Noor, H. Ahmad Syafi’i. Orientasi Pengembangan Pendidikan Pesantren Tradsional. Jakarta: Prenada, 2009.
Yusuf, Burhanuddin. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rajawali Press, 2015.
Jurnal
Mastuhu. “Gaya dan Suksesi Kepemimpinan Pesantren.” Ulumul Qur’an II (1990): 88.
187
safina Volume 2/Nomor 2/ 2017 Budiman, Alipir. www.kompasiana.com.
eprints.walisongo.ac.id.
id.wikipedia.org/wiki/Manajemen. kbbi.web.id/tradisi.
www.bimbingan.org.
INDEKS
A
Abad Pertengahan, 220 Abangan 125
Abdullah bin Umar 134
Abu Sa’id ibn al-Mu’alla, 153 Ahlusunnah waljama’ah 129-130
Aisyah 135
Akomodasi 145, 171, 224 Alfiyah al-Suyuthi 176 Ali bin Abi Thalib 166
Alquran IV, VI, 122, 125-126, 130-133, 135, 139, 150-156, 158-160, 167, 178,
198, 213, 220-221, 232-233
Analogi 156, 158, 235
Asimilasi 145
Aswaja 129-130, 136, 235 Azra, Azyumardi 136, 186 Al-Itqan fi `Ulum al-Qur’an 176
Al-Khulafa al-Rasyidin 122
B
Bahts al-masa’il 176 Bidayat al-Mujtahid 176
Bilal 134-135
bandongan 176, 183, 231
C
Case-Based Learning IV, 139, 141, 148-150, 153, 155, 158-159, 162-163 Cinta kasih III, VI, 189-194, 197, 200-201, 203-209
Civil society 128
D
Darussalam 214
Dayah 171
Depok, II, 193, 207-208
Deskripstif analitik IV, 121
Dhofier, Zamakhsyari 136, 186
E
Efektivitas III, VI, 189, 194-196, 207-209
Ekuilibrasi 145
F
Fath al-Majid 176 Fikih ibadah 16 Filosofi 206
Filsafat 132, 144, 151, 159, 210
G
Geertz 125
H
Hadis 122, 134-135, 167, 173, 176, 184, 228, 232 Halstead, Mark 162
Hayatun Nufus 180, 182
Heinich 142-143, 161
Himmatul Aliyah III, VI, 189, 193-194, 196, 207-208
Hindu-Budha 131 Hindu-Jawa 124
I
Ihya `Ulum al-Din 176
International Center for Research on Women 191, 211 Islam Jawa 125
“Islam kultural” 131
Islam moderat III, IV, 121-123, 128-129, 131, 133 “Islam nominal” 125
Islam pesantren 124
K
Kawula Gusti 126
Kementerian Agama 214, 232 Khawarij 132
Kitab kuning V, 165-166, 170, 172, 179, 183, 185, 220, 224 Konstruktivisme 140, 142, 144-145, 147, 158
Konstruktivisme kognitif 158 Konstruktivisme pendidikan 144 Konstruktivisme sosial 142, 158 KPAI 191, 193, 211
Kurikulum VI, 140, 145, 151, 170, 174-175, 180, 189, 194, 208, 214, 220,
222-223, 231-233
Kurikulum pesantren 174-175
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 140
Kyai V, 165-166, 170-174, 176, 179-183, 185-186, 216, 218-219, 222, 224-227,
229-232
L
Langeveld 196 Lindgren 142, 161
Lurah kobong 180
M
Manajemen III, V, 165-170, 173, 180, 185-187, 194-195, 210, 226, 231-234
Manajemen Sumber Daya Manusia 194 Manhaj 220
Martabat Tujuh 126
Masjid V, 134-135, 153-155, 165, 170, 172, 179, 183, 185, 224-225, 229-230 Masjid Quba 172
Mastuhu 170, 174, 186, 221, 227, 234 Mas’ud, Abdurrahman 136
Matsal 156
Media Amal Islami III, VI, 213, 215-216, 228, 233
Metode “studi kasus” 153
Model pembelajaran IV, 139-141, 146, 149-150, 153, 155, 158-159
Model pembelajaran tradisional 141 Moderasi Islam 128, 131-134
Muasaroh 195, 211
Muhammadiyah IV, 121, 123, 127-129, 135-136 Musala 172
Muslim moderat 131-132
N
Nabi Muhammad IV, V, 122, 130, 136, 139, 150, 152-156, 159, 172, 193, 198, 202, 207, 210, 230
Nahdlatul Ulama 123 Naib al-ulama 228
NU 123, 127-130, 135-137
P
Pandangan dunia Tauhid 150, 159 Pembangun aktif 158
Pembelajaran aktif IV, 139, 148, 158-159
Pembelajaran autentik 142, 146, 150
Pembelajaran berbasis kasus III, IV, 139-141, 146-150, 152-153, 155,
158-159
Pembelajaran berbasis masalah 145-147 Pemulung VI, 213, 216, 228
Pendidikan Islam III, IV, 139, 141, 150-152, 159-161, 170-172, 181, 183, 186, 190, 198, 209, 214, 216, 220, 224, 230, 233
Pendidikan profetik III, VI, 189-191, 193-199, 206-208, 210
Penelitian kualitatif 219, 234
Perkembangan kognitif 142, 144-145
Pesantren III, V, VI, 124, 136, 165-183, 185-186, 189, 193-194, 196, 207-209,
213-234
Pesantren MAI VI, 213, 215, 218, 221, 231-233
Pesantren tradisional III, V, 165-166, 168, 170, 173, 180, 185, 220, 225-227,
230, 232-233
Piaget, Jean 161
Planning for Teaching, and Introduction 141
Poerwadarminta 196
Pondok pesantren III, V, VI, 165-172, 175-177, 179, 181-183, 186, 189, 193-194, 196, 207-209, 213-220, 222-223, 229, 231-232, 234
Pribumisasi Islam 124 Priyayi 125
Proses Islamisasi 190
Proses pembelajaran 140, 143, 147, 149-150, 158, 205-206
R
Rahmatan lil alamin 123, 192 Rais al-ummah 229
Ranah afektif 143 Ranah kognitif 143 Ranah psikomotorik 143
Rasul 126, 153, 198, 202-203, 207, 228 Rasulullah 135, 153, 166, 198-199, 202, 207
S
Safinah IV, 178, 184
Salafiyah III, V, 165, 176-177, 179-183, 185
Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh V, 165, 180, 182, 185
Santri V, VI, 125, 165, 168-172, 175-183, 185, 190, 198, 208-209, 213, 216-217,
219-230, 232
Santri kalong 227 Santri mukim 227
Satrul al-aurah 228 Scaffolding 155-158
Shahih Bukhari 176 Shahih Muslim 176
Shalih li kulli zaman wa makan 125 Sinkretisme 125
Sisdiknas 218
Sistem pendidikan profetik VI, 189, 194, 196, 198, 207-208
Sistem weton 219
Struktur linguistik bawaan pikiran 144
Subculture 173 Sudjana, Nana 161 Sufi Jawa 124 Sufisme 123
Sugiharto III, VI, 213
Suhartini 168
Sullam al-Munaruq 176
T
Tafsir Ibn Katsir 161, 176 Tarikh Tasyri` 176 tark al-ma’shi 229 Tasawuf Islam 126
Tawalib 214 Tebu Ireng 214
Teori manajemen Deming 167, 185
Teori Vygotskian 158 The religion of Java 123
Timur Tengah 125-126, 133, 173, 186
Tradisi besar 125
Tradisi lokal 124-125, 130-131
Tradisional III, V, 127, 141, 148, 165-166, 168-173, 180, 183, 185, 220, 224-227, 230, 232-234
U
Ummatan Wasathan 121, 131, 136
Universitas Muhammadiyah Tangerang IV, 121
Uqudu al-Jumah 176
V
Von Glasersfeld 144
Vygotsky, Lev 161
W
Wahyu, Ramdhani 211
Walisongo 122-125, 130, 136, 169, 187, 233
Waratsat al-anbiya 218 Washatiyyah 132-133
Washatiyyah Islamiyyah 133
Wells, Gordon 162
Z
Zhahiriyah 132